04 September 2008

Wacana Negara Islam di Indonesia: Beberapa Catatan Dari Aceh

WACANA NEGARA ISLAM DI INDONESIA:
BEBERAPA CATATAN DARI ACEH


Al Chaidar*)

Di kalangan Muslim Indonesia, diskursus tentang Piagam Madinah dan Negara Madinah, bukan barang asing. Di era Presiden Abdurrahman Wahid saat ini, diskursus tentang Negara Madinah itu kian merebak di kampus-kampus, kalangan gerakan Islam dan aktivis masjid. Tentang Negara Madinah ini, mungkin, hanya ada satu negara Islam yang paling ideal, yaitu Negara Madinah dengan Piagam Madinah-nya pada masa Rasulullah. Namun, untuk kebanyakan, Negeri Madinah ini hampir-hampir bagaikan "negeri dongeng" meski ada dalam sejarah.
Untuk menghindari "dongengisasi," maka ada baiknya diajukan contoh negara Islam lain di jantung Eropa: Spanyol zaman Islam (Islamic Spain). Negeri Muslim dan umat Muslim di Spanyol merupakan salah satu wilayah yang paling jauh dari jantung dunia Islam, tetapi sangat toleran. Bernard Lewis menunjukkan bahwa Islam yang lebih awal itu, ternyata cenderung lebih toleran dibanding Islam yang lebih belakangan. Pada masa Islam awal itu, banyak pergaulan sosial yang berlangsung dengan lancar antara kaum Muslim, Kristen, dan Yahudi. Meskipun menganut agama-agama yang berbeda, mereka membentuk sebuah masyarakat yang tunggal, di mana perkawanan antarpribadi, kemitraan dalam bisnis, hubungan guru-murid dalam kehidupan ilmu pengetahuan, dan bentuk-bentuk lain kegiatan bersama berlangsung normal dan bahkan sangat umum.
Kerja sama kultural ini tampak dalam banyak cara. Orang-orang Islam, Kristen, dan Yahudi hidup dalam suasana penuh peradaban, saling hormat, dan saling mengembangkan ilmu pengetahuan dan seni budaya. Tidak ada sedikit pun diskriminasi. Karena itu, masalah pluralisme adalah masalah bagaimana kaum Muslim mengadaptasikan diri mereka dengan dunia modern. Hal ini pasti akan melibatkan masalah-masalah bagaimana mereka memandang dan menilai sejarah Islam, dan bagaimana mereka melihat dan menilai perubahan dan keharusan membawa masuk nilai-nilai Islam yang normatif dan universal ke dalam dialog dengan realitas ruang dan waktu.
Sejarah kaum Muslim, seperti halnya sejarah komunitas umat manusia manapun, selalu memiliki potensi untuk membuat kesalahan atau berbelok dari jalan yang benar. Selain karena truisme sederhana seperti yang dikatakan penyair Inggris Alexander Pope, yakni bahwa “berbuat salah itu manusiawi,” semua sejarah jelas dengan sendirinya adalah sejarah manusia, dan tidak ada seorang manusia biasa pun yang sakral dan suci.
Singkatnya, manusia pada dasarnya baik, tetapi ia juga lemah. Berkaitan dengan kelemahan ini, manusia memiliki potensi untuk mengubah dirinya menjadi seorang tiran, kapan saja ia memandang dirinya serba berkecukupan dan tidak lagi membutuhkan manusia-manusia lain. Terhadap prinsip ini, harus juga ditambahkan ajaran Islam yang sangat terkenal bahwa pada mulanya umat manusia adalah satu dan bahwa semua orang pada dasarnya sederajat. Dalam hal ini, kaum Muslim klasik seperti di Spanyol ini telah berhasil sepenuhnya menginternalisasikan konsepsi mengenai manusia yang positif dan optimistik seperti disebutkan di atas. Sebuah konsepsi yang kemudian menjadikan mereka komunitas yang demikian kosmopolit dan universalisnya, sehingga mereka bersedia belajar dan menerima segala yang bernilai dari pengalaman-pengalaman komunitas lain.
Demikianlah, peran kaum Muslim yang awal sebagai salah satu di antara beberapa komunitas yang menginternasionalisasi ilmu pengetahuan. Dalam setiap peradaban, orang-orang tertentu meneliti pada alam itu sendiri sebab-sebab perubahan yang menggejala, bukan pada kemauan manusia atau luar manusia .Meskipun demikian, sebelum orang-orang Arab mewarisi filsafat alam Yunani dan alkeni Cina, kemudian meneruskannya ke Barat, tidak ada badan tunggal ilmu pengetahuan alam yang diteruskan dari satu peradaban ke peradaban lain.
Sebaliknya, dalam setiap peradaban, penelitian tentang alam mengikuti jalan sendiri-sendiri. Para filsuf Yunani dan Cina memberi penjelasan yang berbeda tentang dunia fisik yang sama. Sebagian besar hasil usaha itu pertama-tama diserap oleh Islam, yang dari tahun 750 M hingga akhir Zaman Tengah terbentang dari Spanyol hingga Turkestan. Orang-orang Arab menyatupadukan badan ilmu pengetahuan yang luas itu dan menambahnya.
Dalam kesepakatan lain, hal senada yang juga dikemukakan demikian: adalah kelebihan orang-orang Arab bahwa, meskipun mereka merupakan para pemenang secara militer dan politik, mereka tidak memandang peradaban negeri-negeri yang mereka taklukkan dengan sikap menghina, bahkan Islam menghormati pluralitas dan menghargai kultur masyarakat yang ada. Sebagai ilustrasi, segera setelah diketemukan, kekayaan kebudayaan Syiria, Persia, dan Hindu mereka salin ke dalam bahasa Arab. Para khalifah, gubernur, dan tokoh-tokoh yang lain menyantuni para sarjana yang melakukan tugas penerjemahan, sehingga kumpulan ilmu bukan-Islam (non-Islamic learning) yang luas dapat diperoleh dalam bahasa Arab. Semangat pluralisme dikembangkan dan toleransi ditegakkan dengan kasanah intelektual yang diperkaya.
Dalam konteks Indonesia ketika negara ini berada di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, di mana berbagai kemajemukan kini mengalami pengeroposan dan kerusuhan merebak, dari Ambon, Maluku, Mataram sampai kawasan lain, kita tidak perlu lagi mempersoalkan pluralitas pengikut Kristen, dan Muslim serta Yahudi, tiga agama Ibrahim itu. Yang dibutuhkan adalah leadership (kepemimpinan) Gus Dur untuk mengatasi krisis ekonomi, sosial dan politik-ideologis, dengan mendayagunakan pluralitas (kemajemukan) itu, jangan sampai pemerintahannya mengalami breakdown of economic, political and social-cultural policy making, yang justru bisa menimbulkan konflik horisontal pada tingkat menengah ke bawah. Pada aras ini, prinsip dan nilai-nilai Negara Madinah (Piagam Madinah) yang sering diartikulasikan Gus Dur (dan Cak Nurcholish Madjid), semestinya dipraksiskan dan disosialisasikan pemerintahan Gus Dur agar salah pengertian dan phobia tentang Islam di kalangan non-Muslim bisa diminimalisasikan Mudah-mudahan apa yang dikemukakan di sini bisa sedikit mereduksi kengerian akan bayangan sistem Negara Madinah (Islam) di Indonesia, di mana kini para tokoh Muslim menjadi pemimpinnya yakni Gus Dur, Amien Rais (Ketua MPR) dan Akbar Tanjung (Ketua DPR). Pada level wacana, Phobia Islam sebaiknya disikapi dengan pemahaman ilmu pengetahuan, akal budi dan logika. Islam menjamin pluralisme. Bukankah Islam rahmatan lil alamin?
Di bawah era Presiden Abdurrahman Wahid, ternyata gagasan "jalan ketiga” Anthony Giddens menjadi wacana (discourse) memikat di kalangan kaum pro demokrasi, kalangan santri dan aktivis Islam. Politik “jalan ketiga” adalah representasi dari pembaharuan demokrasi sosial. Politik “jalan ketiga”, demikian Giddens, diperlukan karena masalah-masalah yang berkaitan dengan perbedaan antara garis kiri dan garis kanan dalam politik sudah begitu besar. Saat ini pandangan (mengenai dunia) dari elite kiri yang lama sudah tidak bisa dipakai lagi. Sementara pandangan kanan yang baru juga tidak memadai karena mengandung banyak kontradiksi.
Pandangan politik aliran tengah sendiri juga telah menjadi begitu radikal hingga tidak lagi mampu menampung politik kiri maupun kanan. Diperlukan sebuah wahana baru untuk menampung kiri moderat (hasil pembaruan kanan) dan kiri tengah (hasil pembaruan kiri) agar politik emansipatoris dan keadilan sosial tetap menjadi pusat perhatian. Menanggapi gagasan brilian Giddens dalam konteks masyarakat Barat itu, Profesor Chibli Mallat, ahli politik Lebanon, mengatakan konsepsi "jalan ketiga" Anthony Giddens sebagai konsepsi politik yang baru. Namun Giddens dinilai telah mengabaikan negara-negara non-Barat, khususnya negara-negara Muslim. Sejak dasawarsa 1970-an dan 1980-an, slogan "jalan ketiga" Giddens itu sudah berkumandang di negara-negara Muslim. Revolusi Iran-lah yang mencanangkannya dengan menegaskan bahwa "jalan ketiga" adalah Islam, yang sistem kemasyarakatan bukan model Barat (kanan) atau model Soviet (kiri), tidak Blok Barat maupun Blok Timur (laa syarqiyah wa laa gharbiyah).
Profesor Mallat mencatat, dalam sejarah abad ke-XX, "jalan ketiga" adalah nama lain dari Nazisme Jerman dan Fasisme Italia, yang mencoba memberi alternatif baru terhadap ideologi komunisme (Uni Soviet) dan kapitalisme (AS). Mallat kemudian mengusulkan agar para penganut "jalan ketiga" lebih menekankan nilai-nilai peradaban yang mampu menghilangkan berbagai ketimpangan struktural. Dengan menyimak gagasan Giddens dan tanggapan Mallat itu, saya kira, ada baiknya para inteligensia Muslim kini harus mencermati “jalan ketiga” yang kontekstual dengan Indonesia, di mana pluralitas (kemajemukan) sangatlah sarat kompleksitas.
Tentang Islam dalam hubungannya dengan “jalan ketiga” Giddens itu, saya ingin meminjam diskursus Bernard Lewis yang menyatakan bahwa Islam yang lebih awal di era Cordova Spanyol, sangatlah toleran. Saya kira, di Indonesia Islam yang lebih awal itu datang dengan jalan damai melalui perdagangan. Dan sebagaimana di zaman Islam Cordova Spanyol, di Indonesia pun Islam awal ini ternyata cenderung lebih toleran dibanding Islam yang lebih belakangan. Pada masa Islam awal itu, banyak pergaulan sosial yang berlangsung dengan lancar antara kaum Muslim, Kristen, Hindu, Buddha dan Cina. Meskipun menganut agama-agama yang berbeda, mereka membentuk sebuah masyarakat yang beradab, di mana perkawanan antarpribadi, kemitraan dalam bisnis, hubungan guru-murid dalam kehidupan ilmu pengetahuan, dan bentuk-bentuk lain kegiatan bersama berlangsung normal dan bahkan sangat umum.
Kerja sama kultural ini, seperti dicatat Anthony Reid, tampak dalam banyak cara orang-orang Islam, Hindu-Budha dan Kristen menjalankan kehidupan dan kebudayaan. Bahkan di era pergerakan nasional untuk mewujudkan kemerdekaan, kaum pluralis ini berjuang dalam spirit Sumpah Pemuda. Dan sampai era demokrasi parlementer Bung Karno pada 1950-an, kaum Muslim dan non-Muslim itu hidup dalam suasana penuh peradaban, saling hormat, dan saling mengembangkan ilmu pengetahuan dan seni budaya. Tidak ada sedikit pun diskriminasi, karena pembangunan bangsa dan karakternya (nation and character building) berjalan wajar. Karena itu, masalah pluralisme adalah masalah bagaimana kaum Muslim mengadaptasikan diri mereka dengan dunia modern, yang sampai kurun 1950-an itu dijamin oleh konstitusi. Pada kurun waktu itu Islam menghormati pluralitas dan menghargai kultur masyarakat yang ada. Semangat pluralisme dikembangkan dan toleransi ditegakkan dengan kasanah intelektual yang diperkaya.
Akan tetapi, di bawah Orde Baru Soeharto,semua itu mengalami keretakan: state building (pembangunan negara) telah melebihi dan menghancurkan nation building (pembangunan bangsa). Negara kian represif dan hegemonik, melibas masyarakat di seluruh etnis, kelas, dan lapisan. Politik belah bambu dan regimentasi Orde Baru Soeharto meluluhlantakkan spirit kebangsaan dan kemanusiaan. Karena itu, para intelektual dan elite Islam harus mencari jalan keluar dari krisis-krisis sosial,ekonomi,politik dan ideologi dewasa ini, agar reformasi tidak mengalami stagnasi, agar bangsa ini tidak mengalami disintegrasi. Giddens menyebut politik “jalan ketiga” dengan menekankan “tak ada hak tanpa tanggung jawab”. Di dalam Islam era Rasululah, “tak ada hak tanpa tanggung jawab” itu teraksentuasikan dalam Piagam Madinah, yang menjamin kebebasan, persamaan dan keadilan. Di era Islam Cordova, Spanyol, spirit dan konsepsi “Piagam Madinah” itu kemudian menjadikan mereka komunitas yang pluralistik, kosmopolit dan universal, sehingga mereka bersedia belajar dan menerima segala yang bernilai dari pengalaman-pengalaman komunitas lain.
Dalam konteks Indonesia era Presiden Abdurrahman Wahid ini, selain sumber non-Islam, maka Islam seyogyanya menjadi sumber inspirasi dan nilai untuk membentuk good governance dan supremasi hukum, yang merupakan suatu keharusan. Ini signifikan untuk mewujudkan apa yang disebut Anthony Giddens sebagai politik “jalan ketiga”, yang menekankan nilai-nilai peradaban untuk menghapuskan struktur ketimpangan. Tegaknya negara hukum dan terwujudnya good governance ini akan melandasi tegaknya demokrasi, politik emansipatoris dan keadilan sosial guna menjamin pluralitas (kemajemukan) yang kini dalam kerawanan.
Sebagai sebuah sistem (politik) yang bersifat partisipatif, yang mengesahkan persamaan hak di antara sesama manusia, maka demokrasi mungkin merupakan struktur "terbaik" yang pernah ada. Dan tidaklah mengherankan jika pengalaman dan eksperimen demokrasi di zaman Yunani kuno itu menjadi model ideal bagi para pemikir dan teoritikus politik di zaman modern ini. Akan tetapi, ada satu konsep lagi yang pantas dijadikan wacana dan didiskusikan idealitasnya bagi Indonesia masa depan, yaitu Negara Madinah. Negara Madinah ini merupakan alternatif dalam menghadapi keganasan kapitalisme di tingkat global, regional dan nasional yang telah menimbulkan dehumanisasi, yang oleh Peter Berger disebut piramida kurban manusia yang amat dahsyat atau disebut Herbert Marcuse telah membikin umat manusia menjadi “one dimentional man”, manusia satu dimensi.
Untuk memulai wacana tentang Negara Madinah ini, yang berbeda hampir 180 derajat dengan Negara atau Masyarakat Madani, maka perlu ada penjelasan teoritis. Berdasarkan diskursus Prof Dr Muhammad Thahir Azhary, saya melihat umat Islam Indonesia, melalui parti-partai politik Islam, perlu menghidupkan lagi pemikiran Ibnu Khaldun (1332-1406) yang diakui otoritasnya, baik sebagai pemikir tentang negara maupun sebagai ahli sejarah dan peletak dasar sosiologi. Dalam bukunya Ibnu Khaldun menemukan suatu tipologi negara dengan tolok ukur kekuasaan (al mulk). Ia membagi negara menjadi dua kelompok yaitu 1) negara dengan ciri kekuasaan alamiah (mulk tabi'i) atau negara tradisional, dan 2) negara dengan ciri kekuasaan politik (mulk siyasi) atau negara modern.
Tipe negara alamiah ditandai oleh kekuasaan yang sewenang-wenang dan otoriter (despotisme) dan cenderung kepada "hukum rimba". Di sini keunggulan dan kekuatan sangat berperan. Hukum hanya dipakai untuk menjerat leher rakyat yang tertindas, sementara elit penguasa bebas melakukan dosa dan maksiat sesukanya dan prinsip keadilan diabaikan. Baik keadilan ekonomi maupun keadilan sosial-politik. Ia menyebut negara alamiah seperti ini sebagai negara yang tidak berperadaban (uncivilized state). Sementara itu, tipologi negara modern yang berdasarkan kekuasaan politik dibaginya menjadi tiga macam yaitu (1) negara hukum atau nomokrasi Islam (siyasah diniyah), (2) negara hukum sekuler (siyasah 'aqliyah), dan (3) negara "Republik" ala Plato (siyasah madaniyah). Negara Madani yang disebutkan terakhir adalah sebentuk negara sekuler yang dipertahankan oleh para politisi Islam yang bekerja sama bahu-membahu dengan orang-orang sekuler dalam membentuk suatu "negara sekuler" dalam bingkai nasionalisme. Dan itu sah saja.
Negara hukum dalam tipe yang pertama adalah suatu negara yang menjadikan syari'ah (hukum Islam) sebagai fondasinya. Malcolm H. Kerr, sebagaimana dikutip oleh Thahir Azhary, menamakannya dengan istilah nomokrasi Islam (Islamic nomocracy). Karakteristik siyasah diniyah atau Negara Hukum berdasarkan Islam menurut Ibnu Khaldun adalah negara yang berdasarkan al- Qur'an dan Sunnah, serta akal manusia yang turut juga berperan dan berfungsi dalam kehidupan negara. Akal manusia yang dimaksudkan adalah ijma' ulama dan qiyas. Sehingga Negara Nomokrasi Islam atau Negara Islam adalah Negara Ulama. Waqar Ahmad Husaini mencatat, nomokrasi Islam bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat universal, baik di dunia maupun di akhirat (al-masalih al-kaffah). Ahmad Husaini bahkan menggunakan istilah "Negara Syari'ah" untuk siyasah diniyah atau nomokrasi Islam. Hal ini karena hukum di dalam Islam dikenal secara yurisprudensi sebagai syariah.
Menurut Ibnu Khaldun tipe negara yang paling baik dan ideal di antara siyasah diniyah, siyasah 'aqliyah, dan siyasah madaniyah ialah siyasah diniyah atau nomokrasi Islam. Siyasah 'aqliyah hanya mendasarkan pada hukum sebagai hasil rasio manusia tanpa mengindahkan hukum yang bersumber dari wahyu. Negara semacam ini dapat kita lihat pada negara-negara demokrasi Barat di Eropa maupun Amerika pada umumnya. Pada siyasah madaniyah (Republik ala Plato) merupakan suatu negara yang diperintah oleh segelintir golongan elit atas sebagian besar golongan budak yang tidak mempunyai hak pilih. Negara Madani ini bisa kita lihat pada masa Demokrasi Parlementer 1950-an di bawah Soekarno.
Sedangkan archetype Negara Madinah terbaik di masa modern adalah konsep siyasah diniyah, yang pernah didirikan dan diproklamasikan oleh Hassan Turabi di Sudan, mendiang Moh Ali Jinnah di Pakistan dan mendiang S.M. Kartosoewirjo di Indonesia. Mereka mencoba mengidealisasikan Negara Madinah, bukan Negara Madani yang notabene adalah Negara Sekuler. Negara Madinah yang dibayangkan Ibnu Khaldun itu, lebih menyukai bentuk nomokrasi Islam atau dalam istilahnya siyasah diniyah sebagai "satu-satunya bentuk tata politik dan kultural yang permanen". Dalam pandangan Muslim, demikian Olivier Roy, Negara Madinah seperti itulah yang menjadi cita-cita ideal mayoritas umat Islam.
Di Indonesia, jika partai-partai politik Islam luput dengan perdebatan tentang hal ini, maka kehadirannya akan kehilangan signifikansi. Dan, lebih dari itu, secara ideologis partai-partai Islam tidak memihak sedikit pun pada Islam jika tidak mengemukakan konsep Negara Madinah ini dan implementasinya di Indonesia. Saya yakin, tidak ada seorang tokoh partai politik Islam pun yang pernah memperdebatkan tentang konsep Negara Madinah dan Negara Madani (sekuler) ini sebelumnya. Karena dari banyak pernyataan-pernyataan mereka, mengindikasikan bahwa mereka tidak punya wawasan sedikit pun tentang sistem kenegaraan. Kalau aspirasi dan suara umat diserahkan pada orang-orang yang seperti tokoh-tokoh partai politik Islam sekarang ini, maka itu artinya sama dengan menyerahkan jiwa-raga rakyat kepada politisi berjiwa singa dan buaya. Maka, tidaklah berlebihan, —dengan menggunakan konsep teoritis Samuel Huntington, the clash of civilization (perbenturan atau pertarungan peradaban) antara peradaban "madani" dan peradaban "madinah"— jika sekarang ini kita sebut sebagai pertarungan ideologis antara konsep ideologi negara sekuler dan negara agama (Islam), antara partai-partai politik Islam dan partai-partai politik sekuler.
Pada hemat saya, berdasarkan teori nomokrasi Islam (rechstaat) dari Ibnu Khaldun tentang siyasah diniyah yang merupakan tipe ideal dari mulk siyasi, maka perdebatan tentang Negara Madinah itu kini ditunggu publik politik. Namun, untuk membawa wacana Negara Madinah ini ke ruang publik guna diperdebatkan secara terbuka dan fair di era KH Abdurrahman Wahid dulu hingga kini, ternyata sulit dan tergantung pada situasi, sejarah dan realitas obyektif yang mengitarinya. Aceh dapat menjadi sebuah titik tolak untuk eksperimen Negara Islam dalam konteks mikro.
Dalam sebuah surat di tahun 1953, seorang pengamat politik, Boyd R. Compton, menuliskan sesuatu yang tak terduga tentang Aceh: "Sungguhkah keadaan Aceh rawan pada saat ini? Daud Beureueh menandaskan, desas-desus tentang ketidakpuasan yang pecah di Aceh itu, dihembuskan oleh kaum feodal yang kehilangan kekuasaan selama revolusi."
"Selain itu, adalah ngawur pikiran bahwa Daud Beureueh mau menerima posisi rendahan di bawah Kartosuwirjo Darul Islam. Sulit pula dibayangkan para tokoh kuat PUSA menyingkir ke pegunungan untuk melancarkan kampanye gerilya gelap melawan pemerintah. Posisi runding mereka dalam berhadapan langsung dengan pemerintah pusat sekarang ini cukup kuat untuk menegaskan keinginan-keinginan secara damai. Namun, tentu saja, tidak ada kepastian bahwa pimpinan PUSA berpikir demikian."
Compton selanjutnya memprediksikan bahwa, "Saya menyatakan, kedamaian dan ketenangan di Aceh agaknya lebih bersifat tak nyaman ketimbang memperlihatkan kegelisahan terbuka. Saya memperoleh kesan umum dari kunjungan singkat ini, bahwa Daud Beureueh dan tokoh-tokoh PUSA memegang kontrol kuat atas pengikut mereka; ketenteraman di Aceh mungkin sekadar menunjukkan bahwa umat Islam Aceh mentaati perintah para pemimpin mereka dan menunggu semacam perkembangan lebih lanjut. Seandainya benar demikian, alternatif-alternatif di Aceh agaknya adalah perdamaian yang terus berlanjut, atau jihad suci menegakkan Negara Islam besar-besaran dan terkoordinasi di masa datang yang cukup jauh."
Laporan di atas menggambarkan sebuah keadaan Aceh di masa lalu dalam periode yang sedang berubah. Mungkin tidaklah terlalu jauh berbeda jika sekarang gambaran yang sama akan muncul kembali. Untuk menelusuri akar perdebatan konsep negara madani atau masyarakat madani dan negara madinah, maka kita perlu memahami adanya pembelahan kaum intelektual yang menjadi "sumur watershed" sumber berbagai inspirasi. Di samping kelompok kaum cendekiawan yang merupakan sumber dari pemikiran politik dalam masa kini, ada suatu kelompok penting lain yang terdiri atas orang-orang yang terikat pada partai-partai politik.
Dengan pesatnya perubahan masyarakat serta nilai-nilai sosial, banyak sekali orang, terutama kaum muda yang telah mendapat pendidikan modern, mencari jawaban berdasarkan ideologi berupa kepercayaan-kepercayaan baru, alasan-alasan kuat guna menjawab tantangan-tantangan yang diajukan oleh kepercayaan-kepercayaan yang mereka warisi dari keluarga serta kelompok-kelompok mereka. Dan dalam periode ini, mereka dapat menjumpainya dalam partai-partai politik. Maka persaingan antara partai-partai tersebut merupakan pertarungan ideologis sistem-sistem gagasan. Namun, persaingan sebenarnya terdapat dalam lapangan pertempuran di gunung-gunung yang dilakukan para pejuang, kaum mujahidin dan sebagainya. Kalau di Aceh, lapangan perjuangan ini dinamakan sebagai glee (hutan rimba); dan orang-orang-orang yang melakukan perjuangan ini dinamakan ureung glee (orang yang bergerilya di hutan) atau ureung ateuh (kaum gerilyawan).
Pertempuran di gunung-gemunung itu hampir tak menyiratkan konsep wacana ideologi apa yang mereka perjuangkan. Mungkin sekadar mensimplifikasi persoalan, maka konsep negara yang mereka perjuangkan adalah sesuatu yang jauh berbeda atau berlawanan dengan konsep yang selama ini dijalankan oleh Republik Indonesia. Maka, dengan segala keterbatasan itu pula kami mencoba melihatnya dengan wacana konsep Negara Islam atau Negara Madinah dan wacana konsep Negara Sekuler atau Negara Madani.
Untuk memulai wacana tentang Negara Madinah ini, yang berbeda hampir 180 derajat dengan Negara atau Masyarakat Madani, maka perlu ada sedikit penjelasan teoritis tentang hal ini. Berdasarkan disertasi Prof Dr Muhmmad Thahir Azhary, saya melihat umat Islam Indonesia, melalui parti-partai politik Islam, perlu menghidupkan lagi pemikiran Ibnu Khaldun (1332-1406) yang diakui otoritasnya, baik sebagai pemikir tentang negara maupun sebagai ahli sejarah dan peletak dasar sosiologi. Dalam bukunya Ibnu Khaldun menemukan suatu tipologi negara dengan tolok ukur kekuasaan (al mulk). Ia membagi negara menjadi dua kelompok yaitu 1) negara dengan ciri kekuasaan alamiah (mulk tabi'i) atau negara tradisional, dan 2) negara dengan ciri kekuasaan politik (mulk siyasi) atau negara modern.
Tipe negara alamiah ditandai oleh kekuasaan yang sewenang-wenang dan otoriter (despotisme) dan cenderung kepada "hukum rimba". Di sini keunggulan dan kekuatan sangat berperan. Hukum hanya dipakai untuk menjerat leher rakyat yang tertindas, sementara elit penguasa bebas melakukan dosa dan maksiat sesukanya dan prinsip keadilan diabaikan. Baik keadilan ekonomi maupun keadilan sosial-politik. Ia menyebut negara alamiah seperti ini sebagai negara yang tidak berperadaban (uncivilized state).
Sementara itu, tipologi negara modern yang berdasarkan kekuasaan politik dibaginya menjadi tiga macam yaitu (1) negara hukum atau nomokrasi Islam (siyasah diniyah), (2) negara hukum sekuler (siyasah 'aqliyah), dan (3) negara "Republik" ala Plato (siyasah madaniyah). Negara Madani yang disebutkan terakhir adalah sebentuk negara sekuler yang dipertahankan oleh orang-orang Islam yang bekerja sama bahu-membahu dengan orang-orang kafir dalam membentuk suatu "negara musyrik".
Negara hukum dalam tipe yang pertama adalah suatu negara yang menjadikan syari'ah (hukum Islam) sebagai fondasinya. Malcolm H. Kerr, sebagaimana dikutip oleh Thahir Azhary, menamakannya dengan istilah nomokrasi Islam (Islamic nomocracy). Karakteristik siyasah diniyah atau Negara Hukum berdasarkan Islam menurut Ibnu Khaldun adalah negara yang berdasarkan al- Qur'an dan Sunnah, serta akal manusia yang turut juga berperan dan berfungsi dalam kehidupan negara. Akal manusia yang dimaksudkan adalah ijma' ulama dan qiyas. Sehingga Negara Nomokrasi Islam atau Negara Islam adalah Negara Ulama. Waqar Ahmad Husaini mencatat, nomokrasi Islam bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat universal, baik di dunia maupun di akhirat (al-masalih al-kaffah). Husaini bahkan menggunakan istilah "Negara Syari'ah" untuk siyasah diniyah atau nomokrasi Islam. Hal ini karena hukum di dalam Islam dikenal secara yurisprudensi sebagai syariah.
Menurut Ibnu Khaldun tipe negara yang paling baik dan ideal di antara siyasah diniyah, siyasah 'aqliyah, dan siyasah madaniyah ialah siyasah diniyah atau nomokrasi Islam. Siyasah 'aqliyah hanya mendasarkan pada hukum sebagai hasil rasio manusia tanpa mengindahkan hukum yang bersumber dari wahyu. Negara semacam ini dapat kita lihat pada negara-negara demokrasi Barat di Eropa maupun Amerika pada umumnya. Pada siyasah madaniyah (Republik ala Plato) merupakan suatu negara yang diperintah oleh segelintir golongan elit atas sebagian besar golongan budak yang tidak mempunyai hak pilih. Negara Madani ini bisa kita lihat pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno (1959-1965). Sedangkan archetype Negara Islam terbaik adalah konsep siyasah diniyah. Yang pernah didirikan dan diproklamasikan oleh S.M. Kartosoewirjo adalah nomokrasi Islam berdasarkan konsepsi siyasah diniyah ini. Negara Diniyah inilah yang dicoba pertahankan oleh para pejuang dan syuhada Islam Indonesia di masa lalu, bukan Negara Madani yang notabene adalah Negara Sekuler atau dalam sebutan yang lebih emosional adalah Negara Syaitan. Dari ketiga tipe negara yang termasuk ke dalam bentuk mulk siyasi itu, maka secara teoritis Ibnu Khaldun lebih menyukai bentuk nomokrasi Islam atau dalam istilahnya siyasah diniyah sebagai "satu-satunya bentuk tata politik dan kultural yang permanen".
Negara Islam seperti itulah yang menjadi cita-cita ideal seluruh umat manusia. Berdasarkan kerangka teoritis nomokrasi Islam (rechstaat) dari Ibnu Khaldun tentang siyasah diniyah yang merupakan tipe ideal dari mulk siyasi, maka perdebatan tentang Negara Islam sudah waktunya untuk dibuka kembali. Jika partai-partai politik Islam luput dengan perdebatan tentang hal ini, maka kehadirannya akan kehilangan signifikansi. Dan, lebih dari itu, secara ideologis partai-partai Islam tidak memihak sedikit pun pada Islam jika tidak mengemukakan konsep Negara Madinah ini dan implementasinya di Indonesia. Saya yakin, tidak ada seorang tokoh partai politik Islam pun yang pernah mendengar tentang konsep Negara Diniyah atau Negara Madinah atau konsep Negara Madani ini sebelumnya. Karena dari banyak pernyataan-pernyataan mereka, mengindikasikan bahwa mereka tidak punya wawasan sedikit pun tentang sistem kenegaraan. Kalau aspirasi dan suara umat diserahkan pada orang-orang yang seperti tokoh-tokoh partai politik Islam sekarang ini, maka itu artinya sama dengan menyerahkan jiwa-raga kepada singa dan buaya. Maka, tidaklah berlebihan, —dengan menggunakan konsep teoritis Samuel Huntington, the clash of civilization (perbenturan atau pertarungan peradaban) antara peradaban "madani" dan peradaban "madinah"— jika sekarang ini kita sebut sebagai pertarungan ideologis antara konsep ideologi negara sekuler dan negara Islam, antara partai-partai politik Islam dan partai-partai politik sekuler, antara partai politik dan front pembebasan atau seccesionist movement.
Tentu saja uraian ringkas ini belum memberikan bekas yang mendalam bagi pergulatan pemikiran politik umat manusia. Sebagai sebuah sistem (politik) yang bersifat partisipatif, yang mengesahkan persamaan hak di antara sesama manusia, maka demokrasi mungkin merupakan struktur "terbaik" yang pernah ada. Dan tidaklah mengherankan jika pengalaman dan eksperimen demokrasi di zaman Yunani kuno itu menjadi model ideal bagi para pemikir dan teoritikus politik di zaman modern ini. Padahal ada satu konsep lagi yang pantas dibahas idealitasnya bagi Indonesia masa depan, yaitu Negara Madinah.***


--------------
*) Penulis buku 'Reformasi Prematur' dan 'Aceh Bersimbah Darah', dosen pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.

No comments: