Militer Indonesia, sejak awal mula secara diam-diam menyimpan rasa kurang senang terhadap organisasi-organisasi Islam. Keti-dak-senangan itu muncul semenjak tahun-tahun pertama berdirinya Republik Indonesia, dan mencapai puncaknya hingga ke tingkat permu- suhan setelah pemerintahan militer resmi memegang tampuk kekuasaan tahun 1965. Sebagaimana terlihat dalam perkembangan yang mencapai puncaknya pada tahun 80-an, bahwa kemiliteran itu dibentuk untuk menopang kekuatan negara, dan selalu siap untuk men-jalankan perannya sebagai kekuatan negara mengha-dapi rongrongan ideologi apapun, termasuk ideologi-ideologi agama yang secara resmi diakui, yaitu Islam, Kristen, Budha dan Hindu. Kondisi semacam ini terus berlangsung, sehingga jurang pemisah di antara militer dan organisasi-organisasi (gerakan) politik Islam semakin dalam.
Sejak awal dibentuknya kekuatan militer Indonesia, hanya penduduk pulau Jawa sajalah yang berperan mengendalikan dan mengontrol tentara, khususnya dalam pembinaan karakter maupun kultur (tsaqafah) nya. Suku Jawa selamanya menduduki posisi-posisi penting dan strategis sejak lahirnya gerakan kebangsaan di Indonesia, sehingga mereka berhasil menguasai setiap bagi-an dari kehidupan bangsa, dan merambah ke suku-suku lain di luar Jawa yang pada umumnya lebih kuat berpe-gang kepada ajaran Islam dibandingkan dengan mereka yang ada di pulau Jawa. Perkembangan politik selanjut-nya menunjukkan, bahwa apa yang terjadi diantara kelompok militer dan organisasi-organisasi Islam telah merambah masuk hingga ke persoalan-persoalan asasi di dalam tubuh masyarakat Jawa yang memiliki dua pola kultur berbeda: Yaitu, pertama golongan santri, mereka adalah muslim yang taat pada agama. Dan kedua, golongan abangan, adalah mereka yang secara formal mengaku muslim tetapi dalam praktiknya tetap setia berpegang teguh kepada filsafat dan kebudayaan Jawa sebelum Islam.
Kira-kira satu bulan sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 telah terjadi perdebatan sengit antara dua kubu, kelompok santri dan abangan yang tergabung di dalam “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai”, yaitu sebuah badan yang dibentuk oleh tentara pendudukan Jepang, guna mencari dasar bagi kemerdekaan Indonesia serta mendisku-sikan UUD Republik di masa datang. Pada akhirnya dicapailah suatu kesepakatan yang memuat kerangka undang-undang negara Indonesia sekaligus lima dasar Pancasila yang salah satunya berisi kepercayaan kepada Allah SWT.
Para wakil-wakil muslim di dalam badan ini berhasil mengokohkan prinsip tadi yang memungkinkan untuk memberikan warna ke-Islaman dan menonjolkan kepribadian Islam dengan menambahkan kalimat: “Dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Kese-pakatan ini kemudian diterima sebagai preambule (pembukaan) undang-undang dasar yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Akan tetapi ketika UUD ini diumumkan tanggal 18 Agustus 1945, sehari sesudah proklamasi kemerdekaan, kalimat tersebut dihapuskan melalui tangan pemimpin sekuler Soekarno, yang kemudian diangkat menjadi presiden RI yang pertama. Dengan kejadian ini, maka kemenangan yang semula berada di tangan kaum muslimin berubah menjadi serangan dan penistaan. Dihapusnya tujuh kalimat, yang terdapat di dalam Piagam Jakata (The Jakarta Charter) pada akhirnya menimbulkan permusuhan berkelanjutan selama 20 tahun pertama berdirinya Republik Indonesia.
Bab 01-01 Pertentangan Militer dan Organisasi Islam
Dalam rentang waktu antara 1945-1949, merupakan masa-masa penuh gejolak dengan terjadinya dua kali peperangan, yang dilancarkan oleh pemerintah kolonial Belanda guna mengembalikan kekuasaannya dan menghancurkan Repubik Indonesia yang baru lahir. Pada masa-masa ini kita menyaksikan berbagai konfrontasi terbuka antara kelompok-kelompok bersenjata Indonesia dan kesatuan-kesatuan pejuang bersenjata Islam. Pembentukan tentara nasional pada tahun 1945, cikal bakalnya diambil dari pasukan yang dilatih oleh Jepang. Dan di antara anggotanya adalah seorang yang kini menjadi kepala negara Indonesia, yaitu Soeharto. Tentara ini dibentuk pada masa pendudukan Jepang, dari tahun 1942-1945 yang disebut dengan PETA (Pembela Tanah Air), yaitu kesatuan-kesatuan Jepang yang dilatih untuk membela ibu pertiwi.
Namun PETA bukanlah satu-satunya tentara yang berjuang membela negara. Di luar kelompok tentara tersebut, terdapat banyak kesatuan milisi diantaranya milisi Hizbullah, kelompok yang dengan gagah berani melawan penjajah Belanda hingga mereka berhasil merebut kekuasaan dan memindahkannya ke tangan putra-putra Indonesia tahun 1949.
Usaha Jepang untuk membentuk milisi-milisi Islam sejak awal telah gagal, kecuali PETA, yaitu kesatuan Jepang yang diberi latihan kemiliteran seperti tersebut di atas. Para anggota PETA sebagian besar berasal dari kaum abangan, yaitu mereka yang secara formal mengaku muslim tetapi realitas sehari-harinya dikuasai oleh budaya Jawa sebelum Islam. Adapun milisi Hizbullah, sekalipun dibentuk juga oleh Jepang, namun baru bisa tumbuh berkembang setelah Jepang dikalahkan tentara sekutu.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, pasukan Hizbullah menjadi kesatuan-kesatuan tentara yang dominan, khususnya di wilayah-wilayah yang kuat Islamnya, seperti daerah Jawa Tengah. Tentara Indonesia berkeinginan keras untuk menyatukan seluruh kelompok-kelompok milisi ke dalam lingkungan TNI, dan bertekad menumpas habis pihak manapun yang menolak perintahnya. Akan tetapi, melumpuhkan kekua-tan Hizbullah bukanlah hal yang mudah; akibatnya bentrokan sengit tidak bisa dihindari, dan bentrokan paling buruk dan tragis adalah yang terjadi di daerah Jawa Barat.
Pada tahun 1947 seluruh kesatuan militer yang berada di Jawa Barat dan Jawa Tengah ditarik mundur, sebagai realisasi atas persetujuan yang telah disepakati oleh tentara Indonesia dan pihak Belanda pada tahun itu juga. Namun pasukan Hizbullah tetap pada pendiriannya, dan menolak untuk meninggalkan wilayah yang telah dikuasainya itu serta bertekad melakukan perang gerilia.
Bukan itu saja, pasukan republik yang tidak menarik diri itu, bahkan berubah nama menjadi Darul Islam (DI) dan menyebut sayap militernya sebagai Tentara Islam Indonesia (TII).
Pada awal tahun 1949, sesudah ibukota Republik Indonesia, Yogya-karta jatuh ke tangan Belanda, pasukan Republik kembali ke Jawa Barat dalam keadaan kocar kacir, sementara itu mereka menghadapi perlawa-nan keras dari TII di bawah komando Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Darul Islam menolak tunduk terhadap usaha-usaha tentara untuk me-ngembalikan kekuasaan republik atas daerah Jawa Barat (yang pernah ditinggalkannya). Sebaliknya mereka memproklamasikan berdirinya sebuah negara merdeka yang menikmati hak-hak otonomi secara rasional.
Dan pada awal tahun 1960-an, ketika tentara Indonesia berhasil menumpas gerakan Darul Islam, sejak saat itu nama SM. Kartosuwiryo beserta orang-orang yang bergabung dalam gerakan melawan republik, di dalam sejarah kemudian disebut sebagai kelompok pengkhianat dan pemberontak negara. Dan sampai sekarang gerakan Darul Islam tetap dicap sebagai perusak negara dan penyeleweng ideologi negara. Akibat begitu banyaknya bentrokan-bentrokan yang terjadi dengan kaum musli-min diberbagai daerah Republik Indonesia sehingga menyebabkan pepera-ngan yang panjang. Peristiwa ini sangat membekas di dalam hati perwira-perwira tinggi, dan menumbuhkan rasa permusuhan yang mendalam terhadap para pejuang muslim, sehingga muncul kepercayaan, bahwa mereka harus memperlakukan para pejuang muslim secara otoriter.
Bab 01-02 Orpol Islam dan Perjuangan Melawan Penjajah
Eksistensi ideologi Darul Islam kurang mendapat sambutan di masyarakat Jawa, baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur. Hal itu dikarenakan, jauh sebelum Darul Islam muncul, masyarakat Jawa telah memiliki kebudayaan dan kepercayaan tersendiri yang telah berakar umbi. Oleh karena itu kepribadian Islam yang tumbuh di daerah-daerah lain di wilayah Indonesia terlihat berbeda dengan masyarakat di Jawa, dimana kepribadian Islamnya tampak sangat lemah.
Pada awal abad ke-20, di Indonesia telah muncul banyak organisasi Islam. Dan yang paling terkenal diantaranya adalah Syarikat Islam (SI) dan Nahdhatul Ulama (NU). Sebagai organisasi politik Islam modern pertama di Indonesia, Syarikat Islam yang berdiri tahun 1912 berdasarkan pada prinsip-prinsip perlawanan terhadap penjajah, dengan cepat mendapatkan pendukung. Organisasi ini mencapai masa kejayaannya pada awal tahun 1920-an. Pada th 1926 - 1927 meletus revolusi melawan Belanda di Jawa Barat dan Sumatera Barat. Revousi yang didalangi oleh kelompok Islam kiri ini mengalami kegagalan. Oleh karena itu seluruh tokoh dan pemimpin mereka, baik dari kalangan Islam maupun komunis dibuang oleh Belanda ke tanah Merah yang terletak di Papua Barat (Irian Jaya sekarang, pent.).
Bab 01-03 Organisasi Sosial Keagamaan
Di Indonesia, ada dua organisasi Islam yang sama sekali berbeda coraknya dengan Syarikat Islam, yaitu Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.
1. MUHAMMADIYAH. Organisasi Muhammadiyah didirikan tahun 1912. Salah seorang pendirinya adalah santri keraton - tokoh agama keraton piodal di Jawa, yang melakukan ritual keagamaan di keraton-keraton tradisional di Yogyakarta dan Solo. Setelah Islam datang, para piodal Jawa ini tetap memelihara tokoh semacam itu untuk melaksanakan ritual agama di keraton mereka.
Tokoh-tokoh pendiri Muhammadiyah, seluruhnya bergelar haji, maksudnya mereka yang telah pergi ke Mekah melaksanakan rukun Islam ke lima. Tokoh-tokoh ini berasal dari keluarga kaya diantara keluarga-keluarga Jawa.Yang demikian itu tampak menonjol hatta dalam rekruitmen anggota organisasi pun banyak ditujukan pada kalangan pedagang kaya di Yogya dan daerah sekitarnya.
Kiai Haji Ahmad Dahlan adalah orang pertama yang mendirikan organisasi Muhammadiyah. Sebelumnya, Ahmad Dahlan bukanlah seorang yang memiliki keahlian dalam bidang pengajaran dan manaje-men organisasi, namun kedua hal ini (pendidikan dan keorganisasian) pada gilirannya malah menjadi ciri organisasi tersebut.
Prinsip dasar organisasi ini jelas, yakni menjalankan perintah Al-Qur’an, melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Maksudnya, mengajak orang berbuat baik dan menjauhkan dari perbuatan dosa. Tujuan uta-manya adalah untuk meredam dua faham yang kontroversial yang terjadi diantara dua kubu (santri dan abangan) yang sama-sama tumbuh di dalam masyarakat Jawa. Mereka beranggapan bahwa pengajaran Islam secara tradisional, terutama di tingkat pedesaan sudah sangat kolot sekali, sehingga menyebabkan ketidakmampuan menghadapi tantangan-tantangan modern. Tetapi juga mereka tidak senang melihat kultur Jawa terlalu banyak mencelup pendidikan dan prilaku-prilaku ke-Islaman yang mengajak orang untuk kembali kepada Qur’an secara murni.
Oleh karena mereka adalah tokoh-tokoh Jawa yang utama, maka mereka beranggapan bahwa pemerintah Belanda dan sistem pendidikan yang pernah berjalan, yang oleh masyarakat dianggap hanya mengabdi kepada kepentingan pemerintah penjajah, merupakan penghinaan kepa-da mereka. Hal semacam itu merintangi pertumbuhan golongan peda-gang dan menghalangi hak mereka untuk memperoleh kemajuan. Untuk memecahkan problema ini perlu diadakan pendidikan yang lebih baik, tetapi harus berjiwa Islam.
Sekalipun mereka mengakui bahwa sistem pendidikan sekuler Barat dapat memperluas pengetahuan dan kemampuan ilmiah yang penting, namun rasa kemanusiaan dan perasaannya tidak dapat tumbuh seperti diinginkan. Maka menurut pendapat mereka hal semacam ini tidak akan bisa diatasi kecuali bila dilakukan di bawah naungan sistem yang berjiwakan Islam.
2. NAHDHATUL ULAMA. Organisasi NU didirikan th 1926, pendirinya adalah KH. Hasyim Asy’ari. Istilah Kiai dipergunakan sebagai sebutan bagi seorang guru muslim. Organisasi ini didirikan sebagai reaksi terhadap pertumbuhan pesat organisasi Muhammadiyah. Dapat kami katakan, bahwa NU secara prinsip berhadapan dengan pola-pola modern yang dijalankan Muhammadiyah. Sekolah-sekolah Muhammadiyah dengan cepat tersebar diberbagai tempat sehingga dapat dianggap sebagai suatu ancaman bagi sekolah-sekolah tradisional maupun sekolah Islam pedesaan serta pusat-pusat pendidikan yang menjadi basis pesantren yang dikelola ulama-ulama tradisional.
Kedua organisasi ini, pola kegiatan pendidikan dan kemasyarakatan- nya selalu bersaing. Untuk menjadi kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan sosial dan keagamaan di Jawa, NU punya pengikut besar dan mengakar di desa-desa, baik di Jawa Timur maupun Jawa Tengah. Pesantren yang menjadi basis NU membentuk perkampungan-perkam-pungan kecil di bawah pengawasan Kiai dan para santri, yang memiliki hubungan emosional yang kuat dengan keta’atan serta komitmen kepada pesantrennya. Mereka ini mudah Anda kenal melalui pakaian khas yang mereka kenakan.
Akan halnya Muhammadiyah, pengikutnya sebagian besar adalah penduduk kota dari kalangan pengusaha menengah, pegawai sipil dan tenaga profesional. Anak-anak mereka mengenakan pakaian ala barat dan memanggil guru-guru mereka dengan panggilan ustadz, sebutan bahasa Arab untuk guru. Pengikut kedua organisasi ini semakin bertam-bah besar. Ulama-ulama NU mengurus banyak pesantren, sedangkan pengikut Muhammadiyah mendirikan jaringan sekolah mulai dari tingkat TK, Akademi hingga Perguruan Tinggi. Juga mendirikan tempat-tempat penampungan anak yatim dan jompo serta Rumah Sakit. NU lebih banyak berkiprah dalam masalah-masalah tradisional sedangkan pengi-kut Muhammadiyah lebih banyak melakukan gerakan pembaruan. Per-bedaan antara kedua organisasi ini sudah nampak sejak awal berdirinya. Dan perkembangan keadaan belakangan ini menjadikan perbedaan-perbedaan diantara kedua organisasi, menyusup pula di kalangan seba-gian perwira militer. Pada awal tahun-tahun berdirinya Muhammadiyah, organisasi ini sangat terpengaruh oleh gagasan reformasi sosial secara total. Barangkali hal ini akibat dari pengaruh misionaris yang membuat menonjol badan-badan pendidikan Kristen. Para anggota Muhamma-diyah berpendapat, bahwa sistem pendidikan misionaris dapat menjadi perantara untuk membangun kemampuan khusus kalangan terpelajar, guru, dan kaum pemikir. Jumlah anggota Muhammadiyah sampai seka-rang ( tahun 1989 ) kurang lebih berjumlah dua puluh juta orang dengan membawahi tidak kurang dari 2000 sekolah, 16 Universitas, 21 Akademi, 9 rumah sakit umum ( PKU ), ratusan tempat penampungan anak yatim, puluhan ribu masjid. Adapun ‘Aisiyah, adalah bagian perempuan Muha-mmadiyah, terdiri dari para putri dan ibu-ibu yang tergabung di dalam organisasi pendidikannya.
Sistem pendidikan di dalam organisasi Muhammadiyah telah men-capai tingkatan yang kokoh dan mapan sehingga dapat menyaingi sistem pendidikan sekolah negeri. Dalam kenyataannya tidak terdapat perbeda-an apapun mengenai sistem pengajaran dan pendidikan antara kedua lembaga tersebut (Muhammadiyah dan Pemerintah ). Tetapi Muhamma-diyah memiliki sistem birokrasi sendiri. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya memelihara sekolah-sekolah, Universitas dan rumah sakit-rumah sakit, termasuk juga memelihara ide pembaharuan yang menjadi ciri khasnya sejak semula. Sebab pada tahun-tahun terakhir ini muncul anggapan dari para cendekiawan muslim, bahwa sistem yang ditempuh oleh peme-rintah dalam pengajaran yang mereka terapkan di sekolah, ternyata merugikan upaya memelihara kepribadian Islam.
Dalam bidang politik Muhammadiyah tetap menjaga prinsip me-ngambil jarak dan tidak ikut di dalam aktivitas politik, kecuali yang terjadi pada tahun-tahun 1950-an, ketika menjadi anggota dari partai politik Masyumi. Muhammadiyah telah menetapkan langkah-langkah tertentu guna menjauhkan usaha-usaha dibidang pendidikan dan sosialnya dari segala macam kegiatan politik. Tujuannya adalah, sebagai upaya men-jauhkan diri dari sikap konfrontasi dengan kekuasaan negara. Organisasi ini selamanya menikmati hubungan yang harmonis dengan pemerintah, walaupun terjadi pergantian pemerintahan, sejak zaman Belanda kemu-dian Jepang, lalu Soekarno dan akhirnya pemerintahan militer dewasa ini yaitu rezim Soeharto. Dengan bersikap semacam ini,
Muhammadiyah memperoleh banyak keuntungan, seperti subsidi bagi sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Adapun sekolah-sekolah NU yang berkonsentrasi pada bidang pendi-dikan agama, yang dewasa ini sudah jarang dilakukan orang, sebagian besar sudah menjadi sekolah pemerintah atau hampir menjadi bagian dari sistem pengajaran di sekolah-sekolah negeri. Umumnya pesantren-pesantren ini berbasis di lingkungan masyarakat agraris, kantor-kantor modern dan organisasi-organisasi sosial. Para Kiai pada umumnya merasa bangga dapat melakukan usaha pembinaan manusia seutuhnya, berbeda dari sekolah-sekolah negeri yang hanya bertujuan mencetak pegawai negeri. Sementara kelompok abangan berpandangan bahwa pesantren tidak lebih dari suatu tatanan yang sudah ketinggalan zaman, dan tidak sesuai dengan realitas kehidupan modern.
Lain lagi pandangan dari para Kiai, mereka menilai guru-guru di sekolah Muhammadiyah sebagai orang-orang yang berwawasan sempit, sebab mereka tidak memiliki kepedulian sedikitpun terhadap kepentingan kehidupan di pedesaan. Masalah industri lokal atau pengaruh konsume-risme barat di pedesaan-pedesaan yang sederhana tidaklah dapat diselesaikan hanya dengan mengajak kembali kepada Qur’an dan Hadits. Demikian pula dengan para guru-gurunya yang terikat dengan modernisme. Oleh karena itu, upaya mengajak melakukan pembenahan berfikir yang seringkali didengungkan, tidak lebih dari sekedar propaganda.
Seperti telah kami katakan bahwa Muhammadiyah tidak hendak menyimpang dari metode pendidikan sosialnya, dan tidak pula terlibat dalam aktivitas politik, kecuali hanya beberapa tahun. Berbeda dengan NU yang memproklamirkan diri sebagai partai politik pada tahun 1953, dan berkecimpung dalam kegiatan kepartaian hingga tahun 1984. NU melakukan peran utama bersama pemerintah yang berkuasa, ikut ber-peran juga dalam pemerintahan Soekarno di bawah demokrasi terpim-pinnya, sebagai unsur agama dalam Nasakom yang mencakup partai-partai Nasionalis, Agama dan Komunis. Pada tahun-tahun terakhir ini, NU mengalami sedikit kesulitan dengan pemerintahan militer Soeharto. Tujuan pokok dari NU adalah tetap survive, termasuk juga keberlang-sungan pesantren-pesantrennya, dan seluruh anggota NU memperoleh perlindungan keamanan. Pada tahun 1974, untuk alasan-alasan yang akan kami sebutkan kemudian, menjadi jelaslah bahwa hidup matinya NU hanya bisa dipertahankan dengan menjadikan dirinya semata-mata sebagai lembaga pendidikan dan sosial, serta secara total menarik diri dari aktivitas partai politik (kembali ke khittah 1926. pent.)
Sekalipun kedua organisasi ini menggunakan cara-cara berbeda sejak berdirinya, namun perbedaan tersebut pada tahun-tahun terakhir ini kian menipis. Kini NU tampil sebagai kelompok konservatif, sedangkan Muhammadiyah tampil sebagai reformis di Indonesia. Kedua organisasi ini sekarang merupakan organisasi Islam yang berpengaruh besar di-Indonesia.
Bab 01-04 Partai Politik Islam
Pemilu 1955 diikuti oleh empat partai Islam. Pemilu ini merupakan satu-satunya pemilu yang berlangsung secara bebas dan demokratis dalam sejarah Indonesia. Sekalipun kaum muslimin merupakan 90% penduduk Indonesia, tetapi parpol Islam yang ikut serta dalam pemilu hanya menda-patkan kurang dari separuh suara yang masuk.
Golongan Islam abangan tidak mendukung parpol Islam, sebaliknya mereka mendukung partai nasionalis Indonesia (PNI) dan partai komunis Indonesia (PKI).
Mayoritas kaum muslimin memilih Masyumi dan NU. Masyumi mendapatkan 57 kursi dari 260 kursi di parlemen, sedangkan NU mem- peroleh 45 kursi saja. Suara NU itu diperoleh dari basis-basis NU di Jatim dan Jateng. Adapun Masyumi merata disebagian besar wilayah Indonesia. Masyumi juga mendapat dukungan dari Muhammadiyah di Jateng dan Jabar serta pendukung lainnya yang bertebaran di propinsi lain.
Masyumi selalu menjadi anggota paling menonjol dalam kabinet pemerintahan pertama yang dibentuk sejak 1948 dan seterusnya. Kemu-dian memperoleh kursi Perdana Menteri berulang kali. Sekalipun kekuatannya semakin bertambah setelah pemilu 1955, tetapi pada periode selanjutnya mengalami kemerosotan. Partai ini terlibat di dalam gerakan daerah melawan pusat yang disponsori oleh Darul Islam. Perlawanan ini ditumpas oleh pemerintah pusat dan militer hingga keakar-akarnya. Masyumi juga beroposisi terhadap presiden Soekarno yang berkolaborasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan bersikap oposan seperti itu, Masyumi akhirnya ikut serta dalam gerakan-gerakan revolusioner di Sumatera (PRRI) dan Sulawesi Selatan (Per-mesta). Tokoh-tokoh Masyumi yang menonjol bergabung dengan peme-rintahan revolusioner di Sumatera Barat pada awal 1958. Pembelotan inilah yang dijadikan alasan oleh Jendral Abdul Haris Nasution untuk menumpas seluruh cabang Masyumi di daerah-daerah basis pemberontak pada tahun yang sama. Dua tahun kemudian, tahun 1960, Soekarno melarang aktivitas partai ini untuk selamanya.
Soekarno dan Nasution memaksakan didirikannya suatu pemerinta-han koalisi dan secara diktatorial mengharuskan kembali kepada UUD 45, serta menyatukan tiga parpol, yaitu PNI, PKI dan NU dalam koalisi pemerintahan. Masyumi menjauhkan diri dalam koalisi tersebut dan tetap menjadi oposisi tunggal dalam menentang pemerintah yang beralih kepada demokrasi terpimpin.
Bab 01-05 NU Dibawah Demokrasi Terpimpin dan Pemerintahan Baru (NASAKOM)
Berbeda dengan pemimpin Masyumi yang berani bersikap oposan, pemimpin NU yang aktif di dalam politik nasional semasa demokrasi terpimpin berharap dapat bekerjasama dengan Soekarno dan militer. Idham Khalid, pemimpin NU dan tokoh yang paling menonjol di dalam partai ini memainkan peranan kunci di dalam bidang politik selama lebih dari 30 tahun, mulai sejak masa rezim Soekano dan rezim diktator Soeharto. Pada tahun 1983, NU mengalami penyusutan peran politik, dan Idham Khalid ikut mengalami surut.
NU banyak sekali mendapatkan keuntungan dari kerjasamanya dengan pemerintah demokrasi terpimpin. Ia menguasai posisi Depar-temen Agama hingga keakar-akarnya. Juga mendapatkan lisensi istimewa untuk usaha pemberangkatan jama’ah haji, baik melalui laut maupun udara yang merupakan usaha sangat menguntungkan. Tetapi para Kiai menjauhkan diri dari trik-trik politik walaupun Kiai-lah yang menjadi basis NU; mereka membatasi diri sebagai pemimpin agama untuk melindungi kegiatan keagamaan setempat dari campur tangan kekuatan-kekuatan politik dan militer pusat. Sekalipun demikian, NU merupakan bagian dari koalisi Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) bersama-sama dengan PKI di Jakarta. Guna menyelamatkan kepentingan-kepentingan sosialnya, membuat NU selalu berkonfrontasi dengan golongan kiri di daerah-daerah pedesaan, karena tokoh-tokoh NU yang berada di desa-desa merupakan tuan-tuan tanah yang sangat menentang landreform yang dipelopori Soekarno. Barisan tani Indonesia (BTI) yang menjadi onderbow PKI menjadi tulang punggung dari gerakan pelaksanaan land reform yang kemudian menyebabkan timbulnya kon-frontasi antara NU dan golongan kiri. Organisasi Anshar tampil ke depan dengan menggunakan kekerasan menghadapi BTI dan gembongnya. Hal ini terjadi akibat dari undang-undang landreform. Peristiwa ini terjadi jauh sebelum Soeharto memegang kekuasaan. Kemudian muncullah peristiwa Oktober 1965. Soeharto menyalahkan PKI karena usahanya untuk melakukan revolusi, dan selanjutnya melakukan pembersihan serta penghancuran terhadap golongan kiri. Anggota-angota Anshar berada pada barisan terdepan bersama dengan Angkatan Bersenjata membunuh orang-orang yang dicurigai sebagai PKI dan keluarga-keluarga mereka. Sedangkan peranan NU di dalam aksi pembantaian ini yang diperkirakan menelan 100.000 korban mengambil posisi sebagai pengkritik terhadap kejadian-kejadian yang berlangsung disaat itu. Hal ini terjadi setelah Soeharto memegang tampuk kekuasaan di tahun 1965. NU memperkira-kan akan memperoleh banyak keuntungan dari dukungan yang diberikan terhadap pemerintahan militer, tetapi ternyata hal itu tidak menjadi kenyataan. Setelah militer berkuasa penuh, orang-orang militer banyak ditempatkan di dalam posisi-posisi yang tadinya diduduki oleh NU di dalam berbagai jabatan yang secara tradisional dipegang mereka. Namun NU tetap diperkenankan meneruskan kegiatannya seperti halnya partai-partai lain sesudah komunis dibubarkan dan secara berangsur-angsur NU pun mulai kehilangan eksistensi politiknya di pentas nasional.
Sekalipun demikian, pada pemilu tahun 1971 NU tetap memperoleh dukungan yang pernah diperolehnya pada pemilu 1955. Peranan partai-partai di dalam DPR, pemerintahan daerah dan pusat tenggelam di bawah kaum militer dan partainya yaitu Golkar atau pejabat-pejabat pemerin-tahan yang berbendera Golkar.
Bab 01-06 Partai Masyumi
Besar kemungkinannya bahwa konfrontasi Masyumi dan rezim Soekarno membuat sekutu-sekutunya keheranan. Akan tetapi masalahnya tidak lagi demikian, sebab NU telah lama bergandeng tangan dengan Soekarno dan telah diterima pula oleh Soeharto melebihi penerimaannya terhadap Masyumi, sebuah partai yang telah menjadi penentang Soekarno. Oleh karena itu, pemimpin Masyumi pada akhir dasawarsa 1960-an berusaha untuk membangun partai baru, tetapi dihalangi oleh Soeharto dengan segala macam cara. Soeharto malah menganjurkan untuk membentuk partai lain dengan nama Parmusi (Partai Muslimin Indonesia). Parmusi akhirnya diakui oleh pemerintah, dengan syarat anggota-anggotanya tidak boleh aktif dalam jabatan-jabatan politik. Dengan cara inilah pemerintah berhasil mengganti Masyumi yang baru saja hendak dilahirkan, dengan partai lain yang akhirnya terpuruk.
Sebelum diadakan Pemilu, kalangan militer melakukan penelitian khusus (Litsus) terhadap para calon anggota parlemen, dan menolak mereka yang diragukan loyalitasnya pada pemerintah. Mayoritas calon dari Parmusi dianggap sebagai orang-orang yang masih memiliki ikatan emosional dengan Masyumi, oleh karenanya partai ini mengalami litsus paling ketat dari pihak inteljen. Dan hampir 75% dari calon yang diajukan ditolak.
Akan tetapi sebaliknya, hanya sedikit calon-calon dari NU yang ditolak, dan barangkali yang paling sedikit ditolak dibandingkan calon dari partai militer (Golkar), dan akhirnya dengan mudah Parmusi dapat dikalahkan dalam pemilu 1971. Para intelijen militer banyak yang menyu-sup ke kantor pusat Parmusi, dan akhirnya menyebabkan hancurnya organisasi-organisasi politik Islam yang masih tersisa.
Pada tahun 1973 Soeharto memaksa partai-partai Islam bergabung (fusi) menjadi satu di bawah bendera Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di luar dugaan pemerintah, partai yang berfusi ini merjadi wadah bagi umat Islam, yang ternyata pengaruhnya jauh melebihi keempat partai anggotanya semula. Dan tahun 1977, PPP meraih kursi lebih banyak dibanding keempat partai sebelumnya pada 1971. Target partai Islam pada umumnya sudah jelas, namun sayang upaya-upaya politiknya sama sekali tidak mendukung perannya di DPR, apalagi di dalam menangani administrasi pemerintahan. Pada dasawarsa 1970-an NU yang merupakan organisasi pendukung PPP dengan jumlah pendukung terbesar di dalam tubuh PPP memperoleh lebih dari 60% kursi di DPR .
Partai Islam PPP menunjukkan kekuatannya ketika menentang UU perkawinan yang didukung pemerintah pada tahun 1973. Rencana undang-undang ini bermaksud mengatur masalah perkawinan sesuai dengan hukum sekuler yang oleh partai ini dianggap sebagai langkah pemerintah untuk menjauhkan Islam dari kehidupan sehari-hari umat-nya. Dalam persoalan ini seluruh partai Islam bersatu menghadapi peme-rintah, hal ini merupakan awal perbenturan antara kaum muslimin dan golongan militer semenjak Soeharto naik ketampuk kekuasaan. Hal yang sangat menonjol dan jauh lebih penting ialah bahwa pemerintahan militer selalu memanfaatkan DPR untuk menelurkan undang-undang dengan prinsip musyawarah mufakat, sehingga tidak mungkin bagi partai-partai lain untuk melakukan penentangan terhadap setiap RUU yang diajukan. Sebagai akibatnya, kaum muslimin, terutama organisasi-organisasi pemu-danya mengalihkan penentangan mereka dari eksekutif kepada badan legislatif sebagai pembuat undang-undang, sehingga mereka kemudian menduduki gedung DPR selama beberapa jam. Agar tidak terjadi krisis berkepanjangan, akhirnya RUU perkawinan mengalami perubahan prinsipal. Sikap mengalah pemerintah ini membuat masyarakat Islam mempunyai pandangan sedikit berubah terhadap pemerintahan militer. Walau demikian, terjadi pula keributan-keributan lain semasa gerakan perlawanan para mahasiswa antara tahun 1974-1978 dimana kaum muslimin memainkan peran aktif di dalamnya.
Perlawanan terhadap pemerintah bukanlah merupakan agenda yang secara keseluruhan diterima oleh kaum muslimin. Ada pimpinan PPP yang memperlihatkan sikap berbeda, misalnya yang dilakukan oleh Idham Khalid, Ketua Umum NU. Mereka bekerjasama erat dengan penguasa militer, yang telah membantu mereka untuk mengalahkan Parmusi. Dan mereka berhasil duduk di pusat pimpinan PPP, walaupun dukungan mereka lemah. Namun negara memberikan kepada mereka berbagai fasilitas materi sehingga mereka memperoleh keleluasaan yang dapat “membeli” dukungan Kiai lokal. Persoalannya kemudian menjadi lebih semrawut ketika militer, melalui Golkar berhasil melakukan trik-trik tertentu merayu para ulama masuk ke dalam Golkar. Akhirnya Golkar dapat membentuk sebuah organisasi Islam bernama GUPPI (Gabungan Usaha Pengembangan, Pendidikan Islam). Dalam usahanya untuk memperoleh dukungan kaum muslimin, Golkar pada pemilu 1971 lebih banyak menampilkan warna santri daripada abangan. Dalam pemilu ini banyak Kiai yang terpilih, sebagai imbalannya Golkar mengirimkan banyak pegawai negeri ke Mekah untuk memperoleh gelar haji dengan biaya pemerintah. Bantuan-bantuan keuangan banyak diberikan ke masjid dan pesantren guna melakukan renovasi dan menaikkan pamor anggota-anggota Golkar dari kalangan Islam. Para perwira militer setempat turut pula menyumbang sejumlah uang untuk mendirikan masjid baru guna menciptakan hubungan baik dengan kaum muslimin. Pemerintah Indonesia juga mengambil peran positif di dalam konfrensi negara-negara Islam (OKI), guna memberikan gambaran kepada dunia luar mengenai posisi kaum muslimin di dalam negeri, bahwa kaum muslimin, tentunya tidak hanya sebatas Muhammadiyah dan NU saja.
Bab 01-07 Intervensi Pemerintah Terhadap PPP
Akibat kemajuan yang diperoleh PPP dalam Pemilu 1977, pemerintah merasa yakin bahwa rekayasanya untuk menggagalkan organisasi-organisasi Islam dan menguasai partai tersebut tidak berhasil. Oleh karena itu, pemerintah mengambil keputusan untuk merubah format PPP agar menjadi alat yang loyal. Pemerintah memperkenankan tetap berdirinya partai-partai kecil, kecuali PKI agar sistem diktatornya dapat terlihat sebagai sesuatu yang demokratis dengan adanya banyak partai. Terutama sekali partai-partai ini dibiarkan untuk mengambil peran pinggiran dan selalu memberi dukungan penuh kepada pemerintah. Setelah pemilu 1977, secara umum strateginya mengarah kepada campur tangan (intervensi) ke dalam urusan internal partai. Misalnya, dengan cara memasukkan pegawai-pegawai negeri ke dalam partai-partai itu, dan duduk sebagai pimpinan teras, walau dengan jalan memberi suap dan mengintimidasi orang-orang dengan berbagai cara ilegal. Hal ini dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa orang-orang yang berani menentang pemerintah pasti akan tersingkir.
Tipu daya ini dengan mudah dapat diamati setelah terjadinya fusi partai-partai secara paksa. Pada saat yang bersamaan dengan digabung-kannya partai-partai Islam ke dalam PPP, maka pemerintah juga meminta kepada partai-partai nasionalis dan Kristen untuk melakukan fusi dengan membentuk PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Partai-partai ini dengan cepat menerimanya atas saran pemerintah yang pandai melakukan tipu daya ini. Adapun PPP masalahnya berlainan, karena kepribadiannya berbeda. Sejak awal terlihat bahwa banyak kesulitan yang dihadapi untuk menerima rencana pemerintah ini, dan pemerintah tidak mungkin mela-kukan tekanan penuh terhadap partai ini kecuali setelah tahun 1984. Pada akhir dasawarsa 1970-an ada beberapa pendapat yang bermaksud untuk melemahkan internal PPP. Akan tetapi para tokoh politik NU menentang rencana undang-undang ormas dan orpol yang diajukan kepada MPR, sebagai lembaga tertinggi untuk membuat gagasan baru yang ingin memaksakan asas baru yang disebut Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh bangsa. Para Kiai semakin gusar terhadap Soeharto yang dikultuskan sedemikian rupa, seperti diangkatnya Soeharto sebagai Bapak Pembangunan dan dicalonkannya dia untuk jabatan Presiden yang ketiga kalinya. Pertentangan ini semakin mendalam, dan puncaknya mencuat tatkala Parmusi sebagai eksponen PPP yang kemudian disebut dengan MI (Muslimin Indonesia) membuat daftar calon PPP dalam pemilu 1982. Dalam membuat daftar calon sama sekali tidak menyertakan unsur-unsur lain dari PPP. Tujuannya adalah menyingkirkan calon-calon NU yang bersikap oposan dan menutup segala pintu yang memungkinkan masuknya orang-orang NU ke dalam parlemen. Dan usaha-usaha yang dilakukan NU untuk membatalkan keputusan ini tidak membawa hasil sedikitpun.
Penggusuran semacam ini membuat anggota-anggota NU yang kritis mengajukan gagasan untuk meninggalkan partai dan kehidupan politik serta menarik diri dari PPP dan kembali kepada khittah 1926. KH. Abdurrahman Wahid memimpin kelompok yang mendukung pengun-duran diri NU dari PPP. Dia adalah cucu pendiri organisasi ini, dan salah seorang alumni pesantren. Akan tetapi para politikus partai di Jakarta di bawah pimpinan Idham Chalid menentang gagasan pengunduran diri. Sebagai puncak pertentangan ini, pemerintah kemudian mengeluarkan RUU yang mewajibkan setiap orpol dan ormas menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal seluruh bangsa. RUU ini baru berhasil menjadi undang-undang pada tahun 1985 sehingga memunculkan perselisihan baru antara kaum muslimin dan pemerintah.
Setelah beberapa bulan NU mengadakan konfrensi, maka pada akhir 1983 dengan terus terang Abdurrahman Wahid menyerukan supaya kembali kepada khittah 1926. Namun pengunduran diri NU dari arena politik, tidak berhasil menyelesaikan persoalan partai dalam melakukan kerjasama dengan pemerintah. Sebaliknya kelompok Abdurrahman Wahid berusaha untuk mendekati Soeharto agar mengizinkan diberlang-sungkannya muktamar nasional, dimana Abdurrahman Wahid beroposisi terhadap kepemimpinan Idham Chalid. Soeharto merasakan adanya keuntungan, dalam melakukan kolaborasi dengan para Kiai lokal yang mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, daripada bergantung kepada tokoh politik Jakarta yang berada di sekeliling Idham Chalid. Para tokoh ini hanya mewakili kepentingan dirinya sendiri, dan beberapa orang lainnya yang hanya melakukan kritikan kepada pemerintah.
Delegasi kedua NU pimpinan Gus Dur, tidak merasa berkeberatan untuk menerima Pancasila sebagai asas partai. Hal ini dilakukan oleh NU jauh sebelum pemerintah mewajibkannya, dan jauh sebelum NU bergabung ke dalam PPP telah dapat mengadakan kontak langsung dengan pejabat pemerintah. Abdurrahman Wahid biasa mondar-mandir ke istana negara untuk menghadap presiden Soeharto dan secara teratur datang menemui petinggi-petinggi militer khususnya Panglima ABRI, Jendral Beny Murdani. NU yang telah menjauhkan diri dari politik, berubah menjadi alat politik yang loyal pada pemerintah, sehingga mereka kemudian mengabdi kepada kepentingan politik pemerintah.
Akan halnya PPP minus NU merupakan kekuatan yang tidak berarti, apalagi kemudian terkoyak-koyak menjadi kelompok-kelompok yang saling bersaing. Dengan bersedianya menerima asas tunggal, mereka kemudian mengikuti pemilu tetapi dalam kondisi lemah seperti yang dialami PDI. Tak seorangpun menilai bahwa PPP mencerminkan sema-ngat politik Islam. NU meminta anggotanya menggembosi PPP menjelang diadakannya pemilu, sehingga mengakibatkan tak seorangpun memberi-kan suaranya. Dengan demikian NU merasa yakin bahwa tidak ada lagi partai politik di Indonesia yang mewakili kepentingan umat Islam. Ketika PPP tidak lagi menampakkan simbol-simbol ke-Islaman, maka dia sudah dianggap bukan merupakan partai Islam lagi. Golkar sebagai partai militer dengan penuh kegigihan berusaha untuk menjadi corong Islam di Indonesia. Kami katakan dengan sebenarnya, bahwa umat Islam yang ber-gabung di Golkar jauh lebih banyak dibandingkan yang ada di partai-partai lain.
Ketika wakil ketua Golkar, Drg. Abdul Ghafur, menguasai koran Pelita, korannya PPP, maka kenyataan ini menjadi lebih jelas. Dengan demikian kini telah menjadi kenyataan bahwa benar-benar kaum muslimin sudah tidak terwakili dalam percaturan politik pada umumnya.
Bab 01-08 Hancurnya Perekonomian Umat Islam
Pada saat kaum muslimin merasa dirinya unggul, ternyata mereka mengalami kegagalan besar dalam bidang perdagangan dan perindus-trian. Harta kekayaan mereka hancur sejak republik ini diproklamirkan, dan baru dapat dibangun kembali sekitar 20 tahun terakhir ini. Ini semua disebabkan oleh faktor sejarah. Penyebab kehancuran ekonomi ini mempunyai akar sejarah yang panjang, yaitu persaingan mereka dengan Cina.
Sejak abad 19 kaum muslimin bergerak dibidang perdagangan kecil-kecilan, dan memproduksi barang-barang sederhana serta melakukan pemberian kredit pada para petani. Namun usaha mereka ini menghadapi persaingan berat dari pengusaha-penguasaha Cina yang lebih kuat dan lebih mampu.
Organisasi politik yang pertama kali didirikan oleh umat Islam adalah Sarikat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1909, kemudian berubah menjadi Syarikat Islam pada tahun 1912. Salah satu tujuan organisasi ini adalah menghadpi persaingan dengan Cina. Pada tahun-tahun pertama berdiri Republik Indonesia, program pemerintah berkisar pada upaya pemerintah memperkuat posisi pribumi menghadapi Cina. Tetapi keadaan ekonomi secara umum, utamanya kenaikan-kenaikan harga menyebabkan tidak berhasilnya upaya pertumbuhan ekonomi. Politik yang paling populer yaitu politik Benteng (1950-1958), yang bertujuan memberikan kemudahan-kemudahan kepada importir pribumi mendapatkan berbagai fasilitas, selama badan-badan usaha pribumi tersebut tidak terdapat saham Cina didalamnya. Namun dengan cepat program ini diseleweng-kan. Partai-partai politik yang mempunyai pengaruh besar di tubuh pemerintah mengeluarkan lisensi kepada kolega-kolega dekatnya lalu menjual lisensi itu pada orang lain. Pada saat politik Benteng ini diha-puskan tahun 1958 tidak satupun industri dan perusahaan-perusahaan pribumi yang lebih baik keadaannya dari semula. Di bawah demokrasi terpimpin yang menjadikan negara sebagai kendali ekonomi ternyata tidak mampu membangkitkan semangat mereka untuk menjadi tuan di negerinya sendiri di bidang perekonomian.
Dengan lahirnya Orba, para politikus yang menentang sistem ekonomi di bawah pemerintahan demokrasi terpimpin, yang umumnya mereka adalah orang-orang Masyumi, menginginkan perubahan dari ekonomi yang dikendalikan oleh negara kearah ekonomi bebas. Hal ini hanya terjadi dalam hal-hal tertentu dan pada saat bersamaan, Indonesia mem-buka pintu selebar-lebarnya bagi penanaman modal asing, di samping mempergunakan bantuan-bantuan asing untuk mengimpor barang-ba-rang konsumtif. Banyak jenderal dan tentara yang memegang posisi di dalam pemerintahan, berkolusi dengan tokoh-tokoh pengusaha Cina. Kolusi ini berlangsung pada masa berlakunya pemerintahan demokrasi terpimpin. Mereka melakukan semua ini untuk memperoleh sumber-sumber pendapatan negara disamping untuk kepentingan pribadi.
Perusahaan-perusahaan pribumi mengalami pukulan hebat, sehingga tidak sanggup lagi bersaing dengan barang-barang konsumtif import yang begitu tinggi. Lebih-lebih kurangnya fasilitas dan akses ke bank-bank pemerintah. Gerakan oposisi yang ditampilkan kelompok maha-siswa dan kaum terpelajar pada tahun 1973 dan 1974 adalah pencermi-nan dari kegagalan yang sejak semula diharap-harap oleh tokoh-tokoh nasionalis. Salah seorang tokoh Masyumi, Syafruddin Prawiranegara, mantan Mentri Keuangan dan Gubernur Bank Central adalah salah seorang tokoh yang menonjol dalam memberikan kritik terhadap kebija-kan ekonomi pemerintah pada awal dasawarsa 1970-an, tetapi peme-rintah Soeharto menjawab kritikan tersebut dengan mengadakan revolusi politik yang kemudian menghasilkan gerakan oposisi pada tahun 1974, yang bertujuan melindungi kepentingan tokoh-tokoh aktivis nasionalis. Kemudian terbukti di belakang hari, bahwa orang-orang yang menuai hasil dari gerakan ini hanyalah mereka yang dekat dengan militer dan tokoh-tokohnya.
Di bawah orde baru terdapat sejumlah kecil keluarga yang mempe-roleh peluang besar di dalam mengemudikan rencana bisnisnya, seperti memiliki saham-saham pada beberapa perusahaan penanaman modal, baik di dalam maupun di luar negeri. Disisi lain mereka melakukan kolusi dengan tokoh-tokoh pengusaha Cina dalam pengembangan perekonomi-an. Contoh yang paling jelas merajalelanya kapitalisme di zaman orde baru, adalah keluarga Soeharto sendiri. Kenyataan ini sama sekali tidak mendekatkan jurang pemisah antara kelas menengah kaum muslimin dan golongan buruh kecil yang merasa dirinya jauh dari kegemerlapan ekonomi. Yang dapat menikmati kemajuan ekonomi hanyalah kalangan keluarga pembesar Indonesia dan konglomerat Cina. Ekonomi di zaman orde baru perkembangannya tidak terlepas dari akar sejarah lama, segolongan kaum militer mengambil harta kekayaan dari tauke-tauke besar seperti Liem Swi liong dan Bob Hasan, dua orang sahabat dekat Soeharto, dengan cara tidak langsung berhubungan dengan Soeharto dan anggota keluarga lainnya.
Bab 01-09 Gelombang Gerakan Islam
Sebagaimana yang terjadi di negara-negara lain, di Indonesia pun Islam mengalami kebangkitan di banyak kota. Di desa-desa muncul masjid-masjid dengan suburnya, sebagian besar pengunjungnya adalah kalangan muda, baik dari keluarga kaya maupun keluarga miskin. Hal semacam ini tidak sulit untuk ditafsirkan sebagai kebangkitan Islam. Kenyataan ini sangat berlawanan dengan terjadinya perubahan-perubahan sosial yang cepat di Indonesia sejak dasawarsa 70-an, ketika minyak merupakan sumber pendapatan yang melimpah tetapi dinikmati oleh segolongan kecil warga masyarakat. Pola kehidupan barat tersebar di kalangan penduduk-penduduk pedesaan yang kaya raya, dan menghadirkan peradaban asing yang kontroversial. Namun nilai-nilai spiritual masih mampu mengalahkan nilai-nilai materialis. Pada saat yang sama sebagian pemuda Islam menuntut ilmu ke berbagai tempat di Timur Tengah, diantaranya Cairo, Damaskus dan Bagdad. Mereka kemudian pulang ke negerinya dengan membawa pandangan baru tentang posisi Islam di dunia ini.
Dari sisi kekuasaan, gerakan-gerakan ini mengandung cikal bakal revolusi, yang berarti ancaman serius terhadap stabilitas kekuasaan negara. Setelah bertahun-tahun penguasa dapat menghancurkan golo-ngan kiri, kemudian Soeharto naik ke puncak kekuasaan, kini para penguasa itu bersiap-siap untuk mengarahkan bidikannya kepada kelompok, yang mereka namakan ekstrimis muslim serta ekstrimis-ektrimis lainnya.
Gelombang baru gerakan Islam menyebar ke berbagai bidang aktivitas keagamaan, sosial dan politik. Muncullah studi-studi Qur’an, dan gerakan back to mosque (kembali ke masjid). Di setiap masjid muncul kelompok-kelompok “ekstrimis” yang menyuarakan pandangan-pandangan poli-tiknya. Banyak dari kebijakan-kebijakan pemerintah menjadi sasaran kritik mereka. Di sini muncul perhatian yang besar terhadap usaha perjua-ngan kaum muslimin dalam menentang penjajahan pemerintahan repu-blik, termasuk di dalamnya adalah jama’ah Darul Islam, yang mulai mengumandangkan seruannya untuk mendirikan Negara Islam.
Sejak dasawarsa 1970-an, muncul demonstrasi-demonstrasi umat Islam menentang undang-undang perkawinan, dan asas tunggal Panca-sila yang dipaksakan kepada rakyat. Seluruh gerakan ini dipimpin oleh generasi muda Islam.
Bab 01-10 Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI )
Salah satu organisasi kecil tetapi sudah lama memiliki peran positif dalam situasi baru yang sedang bergolak, adalak HMI. Organisasi ini secara prinsip mempunyai hubungan dengan Masyumi, tetapi pada dasawarsa 1950-an, HMI melepaskan diri secara resmi dari Masyumi, sekalipun tetap memiliki hubungan erat secara emosional. Di bawah pemerintahan Soekarno, HMI mulai menunjukkan tradisi baru dengan bersikap oposan pada pemerintah. HMI merupakan organisasi mahasiswa paling kuat di negeri ini. Dari organisasi inilah muncul banyak tokoh-tokoh Islam dan tokoh-tokoh cendekiawan Indonesia dewasa ini. Pada tahun-tahun terakhir demokrasi terpimpin, organisasi ini menghadapi serangan terus menerus dari kelompok kiri, yang dengan segala daya berusaha menyulut perselisihan antara HMI dan Masyumi, tetapi tidak berhasil. Setelah Soeharto berkuasa tahun 1965, organisasi ini merupakan pelopor pemben-tukan front kesatuan aksi mahasiswa yang memperoleh dukungan di kota-kota besar untuk membantu militer dalam melawan komunis. HMI tidak beraliansi ke partai politik manapun, juga tidak menjadi bagian dari Partai Persatuan Pembangunan. Mereka tetap memelihara indepen-densinya, tetapi menjalin kerjasama dengan pemerintah.
Pada pertengahan dasawarsa 1970-an, HMI menunjukkan kemahi-rannya yang hebat dalam menghadapi NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus). Tokoh-tokoh cendekiawan muslim yang menonjol dahulunya adalah aktivis dari organisasi ini atau pemimpinnya. Organisasi ini banyak berhasil dalam melakukan kerjasama dengan pemerintah, misalnya Abdul Ghafur menjadi menteri pemuda dan Olah Raga, demikian pula Akbar Tanjung yang menjadi wakil ketua Golkar.
Di antara organisasi Islam yang ada, maka HMI adalah satu-satunya organisasi yang dengan keras menentang pemaksaan asas tunggal diberlakukan pada organisasinya. Setelah muktamar nasional tahun 1983, seringkali HMI melontarkan penolakan secara total terhadap tuntu-tan pelaksanaan asas tunggal bagi organisasinya, sekalipun berkali-kali mendapat ancaman dari Abdul Ghafur, mantan ketua HMI Cabang Jakarta. Namun tekanan dan ancaman ini akhirnya berhasil menaklukkan sebagian besar cabang-cabang HMI di daerah dan membuat cabang-cabang sisanya tunduk di bawah tekanan. Berdasarkan kenyataan ini, maka dibuatlah pengurus-pengurus cabang baru sebagai tandingan bagi pengurus lama, sehingga penerimaan asas tunggal lebih bersifat rekayasa daripada ketulusan. Oleh karena itulah banyak rekayasa, intervensi dan pemaksaan dilakukan terhadap pengurus-pengurus cabang, sehingga tatkala mereka mengadakan muktamar tahun 1986, HMI bersedia mene-rima asas tunggal. Beberapa saat sebelum muktamar ini dilakukan, Jend. Beny Murdani mengumumkan, bahwa organisasi apa saja yang menolak Pancasila harus memikul resiko dan pergi meninggalkan Indonesia.
Meskipun demikian, beberapa cabang yang ada di berbagai perguruan tinggi di kota-kota besar memisahkan diri dari organisasi pusat, dan tidak mau menerima hasil kongres bahkan mendirikan organisasi tandingan yang disebut MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) dan mengaku mempunyai pendukung sebanyak 23.000 anggota.
Bab 01-11 Gerakan Aktivis Masdjid dan Kelompok Pengajian
Masjid merupakan basis utama gerakan Islam baru serta berbagai kelompok keagamaan yang dikenal dengan nama pengajian. Istilah ini diberikan kepada kelompok pengajian yang berbagai macam itu, dimana kegiatannya terutama membaca Al-Qur’an, mengadakan pengajian dengan kelompok-kelompok kecil di rumah, masjid maupun tempat umum. Banyak penceramah keliling yang dikenal dengan nama muballi-gh. Mereka ini berperan untuk menarik jumlah pengunjung yang besar ke dalam pengajian-pengajian yang diadakan di masjid atau tempat lain. Kegiatan semacam ini tersebar di berbagai pelosok negeri. Sebagian besar muballigh ini berasal dari kelompok yang dihormati, yang tidak berbicara masalah-masalah yang bernuansa politis dan sosial yang riel, yang diang-gap dapat membuat pendengar emosi. Nasionalisme para muballigh ini bertambah besar ketika menyaksikan aktivitas parpol menurun. Dan masjid berbeda dengan gereja, karena gereja merupakan bagian dari sistem gereja nasional/wilayah (paroki). Sedangkan masjid merupakan institusi independen. Oleh karena itu kegiatan masjid bersifat lokal, dan tidak memerlukan koordinasi dengan hirarkhi tertinggi baik lokal ataupun nasional. Dewasa ini masjid-masjid banyak dikuasai oleh harakah-harakan pemuda, menggantikan posisi pengurus atau ta’mir yang birokratis dalam melaksanakan aktivitas masjid. Koordinasi pemuda ini biasanya diberi nama Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid (BKPRM). Masjid-masjid yang dikelola oleh para pemuda-remaja ini seba-gian besar terdapat di Jakarta dan sekitarnya, sehingga mereka ini dikenal dengan sebutan hizamul ahdhar (Selendang hijau). Warna Hijau diasosia-sikan sebagai simbol Islam. Masjid inilah yang merupakan tempat me-nyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Gerakan baru ini tidak mengenyampingkan usaha mempersiapkan metoda-metoda pendidikan keagamaan yang disampaikan melalui masjid dan masyarakat. Gerakan ini juga melakukan diskusi-diskusi politik, penerbitan buletin dan buku-buku kecil yang kritis. Melalui masjid-masjid kampus, juga muncul pusat-pusat gerakan mahasiswa.
Bab 01-12 Upaya Pengebirian Gerakan Baru
Pemerintah mulai melakukan sejumlah tindakan, yang bertujuan memati-kan gerakan baru ini. Soeharto dan konco-konconya menempuh cara-cara yang dahulu pernah digunakan oleh penjajah Belanda terhadap Islam. Penjajah Belanda dahulu berpendapat, Islam perlu diberi kebebasan melakukan ibadah, bahkan diberi vasilitas, selama umat Islam hanya menjalankan ritualitas keagamaan saja. Akan tetapi, jika sekarang kaum muslimin mulai menyusun langkah-langkah politik, maka harus ditindak tegas.
Sebelum pemilu 1977, PPP mempunyai optimisme besar dalam diri-nya. Karena itu beberapa jenderal bersekongkol untuk melakukan makar, diantaranya dengan melakukan dua rencana, yang pertama, menampil-kan Golkar sebagai front Islam. Untuk itu mereka menyogok beberapa orang ulama untuk bergabung ke dalam Golkar. Tugas ini dibebankan kepada Amir Murtono, seorang tokoh yang menonjol di Golkar. Langkah kedua, menugaskan seorang tokoh baru intelijen militer bernama Ali Murtopo untuk memancing aktivis muslim melakukan tindakan kriminal dan menimbulkan kerusuhan.
Kedua manuver politik tersebut terus berjalan hingga hari ini, sekalipun PPP sudah tidak memiliki kemampuan apa-apa, tetapi yang menjadi sasaran utama operasi ini adalah kelompok-kelompok kecil inde-penden yang mulai bermunculan.
Operasi pertama Ali Murtopo adalah merekrut mantan aktivis gerakan Darul Islam. Setelah dibebaskan dari penjara pada awal dasa-warsa 1960-an, dan sebulan sebelum berlangsungnya Pemilu bulan Juli 1967, segala tindakan mereka senantiasa dalam pengawasan militer. Panglima Kopkamtib, Laksamana Soedomo mengumumkan, bahwa ada sekitar anggota kelompok Komando Jihad telah ditangkap di Asahan (Sumatera Utara), Riau, Lampung (Sumatera Selatan), Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka yang tertangkap ini adalah para pendukung Darul Islam. Beberapa tahun setelah diadili, sebagian dari mereka mengungkapkan dengan penuh penyesalan bahwa mereka dahulu telah diperalat oleh BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen) mela-kukan operasi-operasi khusus. Akan tetapi Ali Murtopo membantah adanya tim semacam itu di tubuh BAKIN. Tujuan utama dimunculkan-nya issu KOMJI (Komando Jihad) sebenarnya untuk memberikan kesan kepada masyarakat, bahwa gerakan teroris itu memang ada; dengan demikian umat Islam merasa tercekam, dihantui rasa ketakutan. Operasi yang dilakukan oleh badan intelijen semacam ini merupakan alat politik rezim Soeharto. Pengumuman tentang berbagai komplotan teroris yang diissukan itu berlangsung dalam kondisi tertentu, yaitu bila menghadapi peristiwa-peristiwa politik penting, misalnya menjelang pemilu, atau pemilihan presiden, pengajuan RUU kepada DPR karena pada moment seperti ini suhu politik semakin memanas. Kelompok-kelompok yang dituduh melakukan kegiatan teror terbukti di kemudian hari, umumnya adalah orang-orang yang direkrut melalui rekayasa dan tipu daya. Dan penyelesaian perkaranya di persidangan, hanya didasarkan pada BAP (Berita Acara Pidana) yang dibuat oleh penyidik.
Terdapat rangkaian panjang dari “operasi teroris” yang tidak pernah sekalipun terungkap kepermukaan, tetapi orang-orangnya tetap diseret ke pengadilan, kemudian menjerumuskan aktivis gerakan muslim. Pernah disiarkan secara terperinci tentang gerakan teror yang direkayasa bebe-rapa hari sebelum berlangsungnya SU MPR 1978, ketika pemerintah pertama kali mengambil langkah untuk memaksakan Pancasila diterima sebagai asas tunggal bagi kehidupan berbangsa. Pada awal dasawarsa 1980-an ada dua kelompok Islam yang disebut sebagai ekstrim dan dituduh hendak melakukan kegiatan teroris. Pertama, adalah kelompok Warman yang dituduh telah melakukan banyak pembunuhan. Tapi ternyata tidak terdapat bukti sedikitpun yang membenarkan tuduhan itu. Sebab Warman telah terbunuh oleh ABRI ketika tempat persem-bunyiannya diserbu pada tahun 1981. Kedua, kelompok Imran bin Muhammad Zein, yang dituduh melakukan serangan terhadap salah satu markas polisi di Cisendo Jawa Barat dan menewaskan tiga orang petugas. Kemudian kelompok ini membajak pesawat pada bulan Maret 1981. Penyelidikan atas kasus ini tidak pernah tuntas karena para pemba-jaknya mati tembak di tempat. Lima orang ditembak ketika pasukan menyebu pesawat dan orang keenam ditembak saat berada dalam tahanan.
Di persidangan terungkap bahwa kelompok Imran hanya diperalat oleh badan intelijen untuk mendeskreditkan kaum muslimin. Akan tetapi masalah ini belum pernah dibuktikan secara valid. Berbagai tuduhan yang dilontarkan kepada Warman dan Imran mencapai puncaknya bersamaan dengan pemilu 1982.
Pada tanggal 4 Maret 1983, sebelum Soeharto terpilih kembali sebagai presiden, para tokoh Islam di Jawa Timur menjadi sasaran penculikan yang dibeking militer. Hal ini berjalan selama berbulan-bulan sehingga menewaskan ratusan orang. Penyelidikan terhadap kasus-kasus penculi-kan ini ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Sebab para tokoh Islam di wilayah ini merasa ketakutan untuk mengungkapkan apa yang mereka ketahui tentang diri para korban dan para penjahat yang melakukan penculikan.
Para muballigh Islam ini selalu menjadi sasaran intimidasi, mereka sering mendapatkan peringatan agar menyerahkan teks khotbah sebelum disampaikan kepada umat. Ada sementara muballigh yang di black list dan nama-nama mereka dikirimkan kepada takmir masjid agar tidak menggunakan muballigh tersebut. Pada suatu ketika militer memaksa salah seorang muballigh yang ketika itu namanya demikian populer tetapi selalu menyampaikan kritik terbuka kepada rezim penguasa, namun dia menolak lalu diculik oleh beberapa orang perwira dan dipukuli hingga babak belur. Para penasehat hukum yang bermaksud melakukan pembe-laan menemui para perwira yang melakukan penculikan, dan juga menemui Laksamana Soedomo, tetapi akhirnya para penasehat hukum ini disuruh supaya mengundurkan diri dari kasus tersebut.
Muballigh yang dimaksud dalam kasus di atas bernama AM. Fatwa, anggota pendiri Petisi 50, yang didirikan bersama para politikus muslim dan nasionalis, pada awal tahun 1980.
Gerakan Islam terus bermunculan, sekalipun tekanan dari pemerintah untuk memaksa mereka menerima asas tunggal, datang bagai gelombang dahsyat. Ketika undang-undang ini diumumkan, sejumlah muballigh membuat lembaga baru yang disebut dengan Korp Muballigh Indonesia (KMI). Pimpinannya terdiri dari tokoh-tokoh Islam terkenal, seperti mantan pimpinan Masyumi dan mantan wakil PM, Syafruddin Prawira-negara dan AM. Fatwa. Pemaksaan asas tunggal ini semakin membuat marah kaum muslimin. Penentangan yang keras terhadap undang-undang ini mendorong rezim penguasa untuk melakukan tindakan-tinda-kan kejam terhadap para aktivis muslim. Seorang komandan Koramil di wilayah Dokland daerah Tanjung Priok Jakarta Utara, sengaja mempro-vokasi kaum muslimin agar melakukan unjuk rasa menuntut pembebasan empat orang takmir masjid yang ditahan, tetapi oleh pihak militer dijawab dengan brondongan senjata berat secara keji tanpa peringatan lebih dahulu sehingga mengakibatkan ratusan orang terbunuh dan luka-luka.
Para penandatangan Petisi 50 menuntut tanggung jawab pemerintah atas terjadinya peristiwa tersebut. Mereka mengeluarkan buku putih yang menyerukan agar diadakan penyelidikan terhadap peristiwa pemban-taian tersebut. Pada saat bersamaan terjadi serangkaian pengeboman dan pembakaran di beberapa kota. Ratusan orang kemudian ditangkap dengan tuduhan menyebarkan buku putih yang illegal. Mengenai pembantaian tersebut dan orang-orang yang dituduh melakukan pele-dakan bom, sebagian besar dari mereka adalah para muballigh. Mereka dijatuhi hukuman berat karena menyampaikan khotbah yang ekstrim. Dan semakin banyak dilakukan persidangan-persidangan terhadap sejumlah orang dengan berbagai tuduhan, sebagian dari mereka adalah orang-orang yang memang taat beragama yang dituduh melakukan komplotan untuk menggulingkan Soeharto.
Persidangan kasus Tanjung Priok dimulai bulan Januari 1985, dan terus berlangsung selama dua tahun bersamaan dengan pemilu yang jatuh pada bulan April 1987 serta pemilihan kembali Soeharto sebagai presiden pada tahun 1988. Dan barangkali persidangan ini akan terus dilanjutkan selama dua tahun lagi.
No comments:
Post a Comment