04 September 2008

Bab 05 Persidangan Kasus Muballigh

Penangkapan Para Terdakwa

Korp Muballigh Indonesia (KMI) & Asas Tunggal Pancasila

Persidangan (H. Salim Qadar - Hendrayana - Abdul Qadir Djaelani - AM. Fatwa - Tony Ardi - Mawardi Noor - Rani Yunsih -Ahmad Ratono - Prof. Oetsmany Al-Hamidy - Abdul Latif bin Amir - Drs. Hasan Kiat

Model Kasus Tanjung Priok Menjalar di Jawa Tengah (Ahmad Zonet Sumarlan - Irfan Suryahardi )



Bab 05 Persidangan Kasus Muballigh
“Sekarang saja, tahun 1985 kritik terbuka para muballigh sudah dianggap sebagai kegiatan subversi. Pelakunya diancam hukuman mati. Hal semacam ini sangat menge-rikan”. Oetsmany El-Hamidy, Nov. 1985
BEGITU usai persidangan kasus Tanjung Pri-ok, dan menjelang berakhirnya persida-ngan kasus pengeboman BCA, maka dimu-lailah persidangan terhadap para mubal-ligh. (Baca bab VI)
Kini, tibalah giliran tokoh-tokoh yang dianggap oleh pemerintah sebagai pembakar emosi massa, dan otak munculnya peristiwa-peristiwa kerusuhan. Para mubal-ligh ini, dikesankan, sebagai sosok yang memiliki kemam-puan orasi dan penyebab gara-gara munculnya tindakan keberingasan. Ceramah-ceramah yang dilontarkannya, telah menimbulkan akibat negatif serta tindakan-tinda-kan destruktif di tengah-tengah masyarakat. Menurut hukum di Indonesia, ucapan-ucapan memiliki konse-kuensi hukum yang sama dengan tindakan.

Pada awalnya, orde baru bisa meyakinkan masya-rakat bahwa ada segolongan muballigh yang menjadi biang keladi di belakang setiap kerusuhan di negeri ini. Mereka berusaha membakar emosi massa, kemudian melakukan tindakan melawan pemerintah. Pada saat yang sama, persidangan-persidangan yang diadakan untuk menghukum orang-orang yang dihormati oleh masyarakat secara luas, tetapi di samping itu mengin-timidasi orang-orang yang bermaksud mengikuti jejak mereka. Target persidangan ini, ialah menghukum tokoh-tokoh yang mendukung kegiatan pendidikan dan dakwah Islam, demi menunjang pelaksanaan kehidupan yang dengan sunnah Rasul di dalam setiap aspek kehidupan.

Persidangan kasus muballigh merupakan fenomena baru dalam kehidupan politik di Indonesia, karena memang benar bahwa kaum muslimin tidak dalam suasana yang baik dan harmonis dengan penguasa yang mengendalikan Indonesia, sejak masa kolonial Belanda. Namun sebelum ini penindasan terhadap para muballigh tidak pernah terjadi secara meluas, lantaran mereka melakukan kegiatan dakwah atau me-nyampaikan ceramah agama.
Berikut ini adalah tuduhan yang sangat mendetail terhadap Mawardi Noor. Sesungguhnya terdakwa, baik sebagai individu ataupun sebagai anggota Korp Muballigh Indonesia, dituduh “secara berturut-turut di dalam berbagai kegiatan yang dapat dinilai sebagai perbuatan terpisah satu dengan lainnya, namun secara keseluruhannya menimbulkan berba-gai macam tindak pidana yang dapat dikenai oleh undang-undang yang sama. Tujuan dari semua perbuatan itu adalah untuk menimbulkan kera-guan terhadap idiologi negara, atau rencana pemerintah yang telah teratur.

Demikian pula ejekan dan pelecehan terhadap pemerintah yang sah serta aparatnya, menyebarkan rasa permusuhan, perpecahan, kekacaun dan kebingungan di tengah masyarakat atau seluruh masyarakat dalam arti yang luas. Semua kegiatan yang dilakukan oleh terdakwa, dan yang dikampanyekannya, tidak lain maksudnya, agar pemerintah bersama masyarakat bersedia berpegang kepada ajaran Qur’an dan hadits. Kegia-tan ini ia lakukan dalam bentuk ceramah, atau kegiatan lain berupa penerbitan atau ceramah keagamaan yang satu dengan lainnya saling berkaitan, sehinga saling mendukung dan dilakukan berulangkali”.

Persidangan-persidangan kasus ini dengan jelas berbeda sekali model-nya dari dua persidangan sebelumnya. Mayoritas terdakwa adalah muballigh-muballigh berpengalaman dan memiliki kemampuan meng-konter jaksa maupun hakim. Mereka mampu menarik simpati pengun-jung yang berada di luar ruang persidangan. Para muballigh ini dipukuli, disiksa dan dihinakan selama beberapa bulan dalam tahanan dan intro-gasi, karena itu beberapa orang saja yang berani menghadapi hakim secara gentleman. Para saksi dari pihak penuntut umum, mayoritas ada-lah anggota militer berpangkat rendah, atau pegawai sipil yang telah berbulan-bulan bertugas melakukan kegiatan mata-mata terhadap mubal-ligh tersebut, seperti mencatat setiap ceramahnya disegenap pelosok tanah air. (Baca Lamp. IV) Bukti-bukti yang dikemukakan oleh jaksa, ialah berupa beberapa kaset ceramah yang direkam secara rahasia atau sepo-tong-sepotong dari ceramah-ceramah yang diberikan di dalam pengajian umum. Rekaman sepotong-sepotong yang digunakan oleh para jaksa penuntut, adalah hasil rekaman sejak tahun 1982 sehingga meneybabkan tim pembela bertanya-tanya”. Mengapa baru hari ini para tertuduh disidangkan, mengapa mereka tidak ditangkap sejak dulu?

Bab 05-01 Penangkapan Para Terdakwa
Pada tanggal 13 September 1984, sehari setelah pembantaian Tanjung Priok, ada 4 orang muballigh diciduk dari rumahnya dan kemudian ditahan. Mereka adalah: Abdul Qadir Djaelani, Tony Ardi, A. Rani Yunsih, dan Mawardi Noor.

Hari berikutnnya, seorang berusia lanjut bernama Utsmani El-Hamidi pun ditangkap. Pada tanggal 19 September, AM. Fatwa juga ditangkap. Dan selanjutnya, ada beberapa orang lain yang ditangkap. Pada tanggal 2 Oktober, Salim Qadar di tangkap. Tanggal 2I Oktober Yayan Hendra-yana ditangkap, dan 28 Oktober Drs. Ratono ditangkap. Sembilan orang ini adalah aktivis dalam organisasi yang sama. Lima orang di antara-nya sebagai pimpinan Korp Muballigh Indonesia. Tiga orang lagi sebagai dosen pada PTDI (Perguruan Tinggi Dakwah Islam), sedangkan
Utsmani El-Hamidi adalah rektornya, danYayan dan A. Qadir termasuk pengurus yayasan. Sebagian besar dari mereka ini adalah penandatangan deklarasi yang berjudul: ”Pernyataan umat Islam Jakarta”, ditulis oleh Abdul Qadir Djaelani di Tanjung Priok, 12 September 1984, yang isinya: ”Berseru kepada pemerintah untuk tidak memaksakan kepada organisasi politik dan sosial menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi. Dalam persidangan A. Qadir Djaelani mengatakan bahwa sebenarnya dia ber-maksud menyampaikan deklarasi itu kepada DPR dan mengadakan demonstrasi di luar gedung DPR. Ketujuh orang penandatangan ini telah dijatuhi hukuman. Mereka dihukum dalam persidangan yang secara berturut-turut diadakan untuk mengadili mereka, yaitu: Utsmani El-Hamidi, Yayan Hendrayana, Abdul Qadir Djaelani, Ratono, Salim Qadar, Mawardi Noor dan Tony Ardi. Dua orang lagi menjadi buron setelah demonstrasi Tanjung Priok, yaitu Syarifin Maloko dan Nasir. Syarifin Maloko kemudian ditangkap dan pada saat itu juga dijatuhi hukuman. Sedangkan M. Nasir sampai sekarang tidak ada beritanya.

Amir Biki termasuk salah seorang penandatangan deklarasi di atas, telah terbunuh oleh militer saat pembantaian Tanjung Priok. Sedangkan tiga orang lagi masih berada di dalam tahanan, walaupun tidak ada pernyataan yang menyatakan mereka disidangkan kasusnya. Orang-orang tersebut ialah Rasyad Muslim, MS. Suhari dan Amir Muhammad. Suhari pernah menulis buku berjudul “Membangun Tatanan Masyarakat Islam Indonesia” yang telah dilarang predarannya.

Bab 05-02 Korp Muballigh Indonesia (KMI) & Asas Tunggal Pancasila
Sekalipun kami tidak banyak tahu tentang Korp Muballigh dan persyarat- an keanggotaannya, tetapi sikapnya yang idiologis telah sering dipapar- kan di dalam berbagai penerbitan. Organisasi ini hanya berumur beberapa tahun. Didirikan untuk mengkoordinir kegiatan para muballigh yang jumlahnya semakin bertambah dari kelompok yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Organisasi ini berfungsi mengajak masyarakat kembali kepada agama dan berpegang teguh kepada garis Qur’an dan Sunnah Nabi. Mereka ini, sebagaimana diketengahkan dalam pernyataan organisasi Amnesti internasional bukanlah merupakan tokoh-tokoh agama dan tidak pula terikat pada masjid tertentu.

Anggotanya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Sebagian besar waktunya dihabiskan kerja di kantor atau berdagang, mengajar ngaji, tetapi merupakan orang-orang yang taqwa. Dan mereka ini dikenal sebagai orang-orang yang pandai bicara. Setiapkali diundang bicara mereka selalu siap. Biasanya terjadi dalam seminar-seminar atau diskusi-diskusi ke Islaman yang dapat dilakukan di mana saja dan dalam kesem-patan apa saja. Ceramah yang disampaikan oleh para muballigh biasanya memakan waktu beberapa jam. Yang biasa dibicarakan di dalam cera-mahnya ialah persoalan akhlaq, politik dan komentar atas berbagai persoalan kemasyarakatan. Ceramah biasanya disampaikan secara serius tapi santai dan bebas. Umumnya pengajian ini dihadiri ribuan orang, terutama sekali di kampung-kampung miskin. Ukuran sukses tidaknya seorang muballigh, dilihat dari jumlah besarnya pengunjung. Oleh karena itu acaranya disebar luaskan atau didatangkan muballigh terkenal seperti tokoh-tokoh yang ditangkap tersebut. Para muballigh biasanya menerima undangan dari tempat-tempat yang jauh. Demikianlah peranan yang dimainkan oleh muballigh di dalam menyatukan kelompok-kelompok Islam yang banyak terdapat di dalam masyarakat Islam, apalagi di dalam Islam tidak dikenal adanya sistem kependetaan.

Syafruddin Prawiranegara adalah ketua umum KMI, public figur yang memperoleh penghormatan tinggi di masyarakat. Ia memainkan peran politik beberapa tahun lamanya setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ia seorang anggota partai Masyumi, juga pernah menduduki jabatan beberapa kali dalam kabinet, setelah proklamasi kemerdekaan. Pernah menjadi Perdana Menteri dalam pemerintahan PDRI (Pemerinta-han Darurat Republik Indonesia) yang didirikan di Sumatera Barat, 1948, yaitu ketika Soekarno sebagai orang terakhir pemerintah republik di-tangkap Belanda, sesudah Belanda menduduki ibu kota RI. Setelah penyerahan kedaulatan ke tangan RI, Syafruddin Prawiranegara menja-bat sebagai Menteri keuangan di dalam beberapa kabinet, lalu menjadi gubernur Bank Central selama beberapa tahun. tetapi karena sikap kritisnya terhadap politik Soekarno semakin tajam, pada tahun 1958 ia bergabung dengan pemerintah pembangkang di Sumatera Barat dan menjabat sebagai perdana menterinya. Setelah menyerahkan diri pada tahun 1961, ia kemudian dijebloskan ke penjara selama beberapa tahun sampai Soeharto naik memegang kekuasaan. Ternyata dalam waktu singkat saja terungkaplah bahwa Soeharto tidak menyukai Masyumi, sama halnya dengan Soekarno. Karena itu Syafruddin kembali lagi sebagai pengkritik pemerintah dan termasuk salah seorang tokoh Masyumi yang menandatangani petisi 50 tahun 1980. Beliau mempunyai pendirian yang berseberangan dengan pemerintah dalam masalah pengelolaan ekonomi dan menjadi pendukung bagi demokrasi lebih besar untuk rakyat, baik pada masa pemerintahan Soekarno maupun Soeharto. Sikap semacam ini menjadikan beliau termasuk dalam golongan penganjur kebebasan berpendapat di Indonesia dan salah seorang mediator yang memper-temukan antara para muballigh dan kelompok-kelompok oposan peme-rintah yang sangat lugas suaranya dalam melontarkan kritikan. Pada permulaan disahkannya asas tunggal oleh MPR pada bulan Maret 1983 sebagai satu-satunya idiologi yang diakui negara, Syafruddin Prawira-negara menulis surat kepada Soeharto untuk menjelaskan pendirian kaum muslimin terhadap masalah tersebut. Ia menulis:”Kalau orang-orang Kristen tidak dibenarkan membentuk organisasi atas dasar Kekristenan, baik Protestan ataupun Katholik, dan kaum muslimin tidak boleh mendirikan organisasinya berdasarkan Islam dan begitu pula warga negara Indonesia lainnya yang beragama lain, maka sesungguhnya Indonesia menjadi sebuah negara nasionalis-facis, sehingga keburukan dan kejahatannya tidak berbeda dengan negara-negara komunis”.

Beliau juga mengingatkan, bilamana kita menginginkan persatuan nasional dan tidak merusak harmonisasi hubungan kemasyarakatan seperti yang menjadi keinginan dan tekad asas tunggal, maka kelak hasil yang dapat dipetik bakal berlainan dengan yang kita inginkan.

Setelah kasus Tanjung Priok dan penangkapan sejumlah besar anggota-anggota KMI, Syafruddin Prawiranegara selaku ketua KMI menerbitkan bulletin untuk para muballigh pada bulan April 1985. Beliau menyatakan,”Diskusi mengenai beberapa masalah penting, terutama sekali masalah asas tunggal adalah merupakan hak setiap warga negara yang dijamin oleh hukum dan konstitusi. Para muballigh menilai atau meyakini bahwa telah terjadi kedzaliman, dan mengingatkan orang-orang yang melakukan kezaliman itu. Bahwa kewajiban para muballigh adalah memberikan nasehat dan menuntun masyarakat ke jalan yang terbaik agar dapat memecahkan permasalahan dengan sebaik-baiknya. Untuk menentang kezaliman, yang melaksanakan undang-undang berdasarkan kekuasaan bukanlah kewajiban KMI semata. Tetapi ini tidak berarti mengajak untuk melawan hukum yang berlaku. Problem kaum muslimin Indonesia yang hidup di bawah naungan konstitusi ciptaan manusia dan sekaligus di bawah konstitusi Ilahiyah sekaligus adalah merupakan hal yang patut didiskusikan bersama. Kami, kaum muslimin, menerima Pancasila sepenuh hati sebagai dasar resmi negara, tetapi kami sebagai kaum muslimin mustahil menerima Pancasila sebagai dasar hidup kami. Rezim militer sekalipun berusaha menghindari memasukkan tokoh yang menonjol dan terkenal, ke dalam penjara, namun ternyata selalu merintangi dan menekan mereka, karena penjelasan-penjelasannya yang berbeda dengan rezim. Pada bulan Juni 1985, Syafruddin di tangkap dan di introgasi berkenaan dengan ceramah yang disampaikan pada akhir bulan Ramadhan. Introgasi itu dilakukan atas perintah Kodam Jaya Tri Sutrisno, yang merupakan kelompok perwira tinggi, dahulunya mendapatkan didikan Islam dengan baik dan diangap sebagai orang yang dapat diterima dilingkungan umat Islam. Pada bulan Juni 1986 dia diangkat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab). Nasehat yang membuat Tri Sutrisno sangat marah, yakni tulisan dengan judul “Bebas-kan Diri Kita Dari Rasa Ketakutan”. Dalam pasannya ini, Syafruddin mengkritik cara-cara intimidasi terhadap masyarakat Islam setelah peris-tiwa Tanjung Priok. Demi keadilan dan peradaban, kaum muslimin seharusnya menyiagakan diri menghadapi musuh-musuh peradaban.

Adalah keliru, jika kita beranggapan bahwa KMI dengan seluruh anggotanya terlibat di dalam pembentukan opini massa tentang masalah-masalah fondamental yang dihadapi umat Islam Indonesia, padahal dalam persidangan kasus para muballigh terbukti adanya sejumlah pen-dapat yang berbeda. Mawardi Noor, wakil ketua KMI di dalam persida-ngannya menyatakan:” Saya ulangi penolakan saya terhadap gagasan asas tunggal. Hal ini tidak berarti bahwa saya menolak Pancasila, tetapi justru sebaliknya. Penolakan saya hanyalah semata-mata untuk menjaga kebersihan dan keaslian Pancasila. Sejak semula Pancasila dimaksudkan sebagai payung yang menaungi semua aliran dan idiologi serta keyakinan yang berkembang dan mengakar di dalam setiap warga negara bangsa ini. Karenanya tidak patut ada asas tunggal yang nantinya menggusur aliran-aliran lain, terutama sekali aqidah keagamaan”.

Sedangkan Abdul Qadir Djaelani, hanya menunjukkan penghinaan-nya kepada Pancasila yang dikatakannya sebagai filsafat ciptaan manusia yang mengalami penafsiran yang berubah-ubah. Pancasila menurut rezim Soeharto, adalah suatu filsafat negara yang kokoh dan agung, karena telah muncul sejak zaman nenek moyang dahulu. Padahal nenek moyang dahulu sebenarnya adalah orang-orang bodoh dan primitif.

Sedangkan pendapat AM. Fatwa, hampir sejalan dengan pendapat Mawardi Noor. Dia mengatakan: ”Pancasila tidak lebih dari sebuah statmen yang memberikan tempat bagi semua pandangan, keyakinan dan pendapat sesuai dengan keadaan sebenarnya di dalam negara. Fatwa tidak mendukung tuntutan untuk mendirikan negara Islam seperti yang dituduhkan oleh pengadilan. Tetapi dia mendukung pendapat, bahwa Islam tidak bisa dipisahkan antara urusan agama, politik dan negara.

Bab 05-03 Persidangan
PADA tanggal 20 Juli 1985, mulailah menyidangkan kasus dua orang muballigh di pengadilan Jakarta Utara. Masing-masing tertuduh disidang di ruangan tersendiri, tetapi saksi-saksinya sama. Kedua terdakwa ini adalah Salim Qadar dan Hendrayana. Salim menjadi saksi untuk terdakwa Hendra, dan sebaliknya Hendra dijadikan saksi bagi terdakwa Salim. Keduanya dijadikan saksi oleh jaksa penuntut umum untuk kasus masing-masing.
Kedua terdakwa ini kesaksiannya menyangkut semua muballigh yang dihadapkan ke persidangan dalam kasus pembantaian Tanjung Priok. Karena itu secara rinci kami paparkan di bawah ini.

1. Nama : H. Salim Qadar
Umur : 51 tahun.
Jabatan : Ketua III KMI
Alamat : Banten Jawa Barat
Keterangan : Dia seorang tokoh masyarakat Banten dan meru-pakan kelompok besar di Tanjung Priok. Dia dituduh memprovokasi massa melalui ceramah-ceramahnya agar ikut demonstrasi pada 12 September 1984 malam. Sebagaimana halnya dengan muballigh lain, selalu diincar oleh intel selama beberapa bulan. Jaksa penuntut umum mengutip sebagian dari ceramah-nya yang disampaikan pada tahun 1984 terutama bagian-bagian yang berkenaan dengan kritiknya ter-hadap asas tunggal dan program Keluarga Beren-cana (KB). Jaksa beranggapan bahwa ceramah semacam ini membangkitkan kemarahan masyara-kat dan membahayakan idiologi negara, menyebar-kan rasa kebencian dan perpecahan serta melawan pemerintah. Jaksa juga menuduh terdakwa meng-kritik secara tajam beberapa orang menteri dan anggota DPR karena politik dan kegiatan mereka yang merusak. Saksi yang dihadapkan bagi tertuduh Salim terdiri dari 5 orang militer dan 6 buah kaset ceramah.

Salim menolak semua tuduhan dan menyatakan bahwa kritik-kritik-nya terhadap asas tunggal adalah merupakan hak warga negara dalam menentang setiap peraturan dan politik pemerintah. Di depan pengadilan ia menceritakan perannya pada dasawarsa 1960-an sebagai pemimpin front Pancasila di Tanjung Priok, sebuah organisasi yang mendukung militer dan membantu melawan komunis sesudah peristiwa kudeta tahun 1965. Dia menegaskan bahwa dirinya tidak menentang Pancasila, tetapi yang dia tentang adalah pemaksaan Pancasila sebagai asas tunggal.

2. Nama : Hendrayana
Umur : 36 tahun
Asal : Majalaya
Jabatan : Sekretaris umum KMI cabang Jakarta utara, dan asisten dosen PTDI, mata kuliah dakwah Islam.
Keterangan : Dia termasuk penandatangan petisi umat Islam Jakarta. Dia ikut memberikan ceramah dalam pe-ngajian di Tanjung Priok, 12 September 1984. Tudu-han yang dikenakan kepadanya sama dengan tudu-han terhadap Salim Qadar. Jaksa penuntut menon-jolkan masalah ceramah yang ia sampaikan pada Juli 1984 berjudul “Pancasila Sebagai Asas Tunggal Hanya Akan Menjerumuskan Orang Ke Keramat Tunggak”. Dia juga dituduh melakukan tindak pidana karena mengkritik Laksamana Soedomo yang menjadi menteri tenaga kerja. Soedomo telah mengirim TKW ke Arab Saudi sebagai tenaga kerja murah. Dia mengkritik Ali Murtopo sebagai Aspri Presiden Soeharto. Tidak ada orang yang menyang-kal bahwa dia telah menggunakan kata-kata kasar terhadap pemerintah sekalipun mereka terus mene-rus menyatakan dirinya sama sekali bersih dari tuduhan melakukan subversi. Jika mereka dianggap melakukan kejahatan maka kejahatan yang mereka lakukan itu tidak lain hanyalah berupa kata-kata yang dengan terus terang mereka ungkapkan bah-wa mereka berbeda dengan pemerintah yang mereka sampaikan dalam beberapa kesempatan. Jaksa penuntut menuduh Yayan telah mempergunakan pernyataan-
pernyataan yang dapat menimbulkan kesalah-fahaman besar di dalam masyarakat. Seperti yang dikutip oleh mass media mengenai jalannya persidangan ini, bahwa kedua terdakwa kondisi kesehatannya sangat buruk akibat perlakuan tidak manusiawi dan perawatan kese-hatan yang kurang. Salim yang menderita kencing manis ternyata hakim tidak mengizinkan penun-daan persidangan kasusnya. Hanya Yayan ketika dia muntah-muntah di ruang sidang, hakim mengi-zinkan penundaan sidang atas permintaan pembela.

Kedua terdakwa dituntut hukuman seumur hidup oleh jaksa. Tetapi hakim memutuskan hukuman bagi masing-masing selama 22 tahun.

Setelah persidangan kedua orang ini, Fatwa dan Abdul Qadir Djaelani diajukan ke pengadilan. Keduanya tidak asing lagi bagi polisi, tentara dan pengadilan.

1. Nama : Abdul Qadir Djaelani
Umur : 46 tahun
Keterangan : Pertamakali diadili tahun 1973, divonis 2,5 tahun, karena keterlibatannya dalam demonstrasi menen-tang RUU Perkawinan. Kemudian dia ditangkap lagi sebelum pemilu 1977 karena terlibat dalam penyerangan tempat massage (tempat pijat) di Jakarta.

Walaupun ke dua hal tersebut belum dilakukannya tetapi Djaelani ternyata dijatuhi hukuman sekali lagi selama 2 tahun penjara. Djaelani pernah menjabat sebagai ketua pemuda GPII ( Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Pada tahun 1984, sebelum dia ditangkap, dia adalah pengurus KMI dan dikenai tuduhan berkaitan dengan ceramah-ceramah yang diberikannya. Dia juga didakwa terlibat secara langsung dalam penge-boman BCA dan tempat-tempat lain. (Baca bab VI). Masyarakat luas yang menghadiri persidangannya membuktikan dia sebagai seorang muballigh yang dicintai dan terpandang di dalam masyarakat. Pengun-jung yang menghadiri persidangannya jumlahnya sangat banyak. Seka-lipun dilakukan pemeriksaan ketat bagi pengunjung yang masuk ke ruang sidang. Dalam pemeriksaan ini diteliti KTP dan tubuhnya. Di luar sidang ratusan pengunjung yang berdiri untuk mendengarkan jalannya persida-ngan lewat pengeras suara. Keterangan-keterangan yang disampaikan terdakwa seringkali mendapatkan aplaus dari para pengunjung.

Dalam pledoinya yang berjudul:”U U Kadaluarsa yang Tetap Berlaku Sesudah 40 TH Indonesia Merdeka”. Djaelani menerangkan adanya perlakuan buruk yang dialami para tapol. Dia menjelaskan adanya tindakan penghinaan dan pemaksaan untuk mengorek pengakuan terdak-wa. Mereka menggunduli kepala dan mencukuri kumis, mempermak sampai pingsan, melarang membaca dan menulis dan melarang melaku-kan shalat Jum’at.

Sebagian besar dari bukti-bukti yang diutarakan oleh jaksa tentang tindak pidana Abdul Qadir Djaelani berupa rekaman ceramah yang telah dimanipulasi oleh intel-intel militer. Pada saat dua orang anggota militer setempat membacakan ceramah-ceramah Djaelani yang berisikan kritik terhadap RUU Keormasan, para pengunjung di luar sidang bersorak-sorak dan memukulkan sandal atau sepatu berama-ramai ke tanah.

Tentang tuduhan terhadap dirinya sebagai orang yang terlibat penge-boman Jakarta ternyata diajukan seorang saksi saja bernama Amir Wijaya, orang yang dianggap bertanggung jawab terhadap dana yang diterima-nya dari Sanusi (Baca bab VI). Wijaya menganggap bahwa Djaelani telah meminta sejumlah dana dari dirinya dan juga beberapa buah bom dua bulan sebelum terjadinya peristiwa pengeboman pada bulan Oktober 1984. Djaelani menyangkal semua ini. Dia dapat membuktikan alibinya bahwa pada saat itu dia berada di Bandung, padahal menurut pengakuan Wijaya dia bertemu dengan Djaelani pada saat itu di Jakarta. Kemudian jaksa menghadirkan seorang saksi yang memberatkan Djaelani tentang peranannya dalam pengeboman. Beberapa pengakuan dari saksi ini di dalam BAP dicabut kembali, sebab menurutnya pengakuan itu diberikan karena tekanan.
Jaksa menuntut Djaelani dengan hukuman seumur hidup, tapi hakim memvonis hukuman 18 tahun penjara.

2. Nama : AM. Fatwa
Umur : 46 tahun
Asal : Bone, Sulawesi
Keterangan : Sejak umur 20 tahun sudah menjadi aktivis. Dia pernah ditangkap pada zaman rezim demokrasi ter-pimpin. Pada akhir dasawarsa 1960-an pernah men-jadi rohaniawan di Angkatan Laut. Pada dasawarsa 1960-an terpilih sebagai ketua pembinaan rohani di DKI Jakarta, dimasa Ali Sadikin menjabat Gubernur DKI.
Saat ini Fatwa bekerja sebagai skretaris MUI Jakarta dan ketua lem-baga Tahfizul Qur’an di Jakarta di samping Koordinator muballigh se Jakarta.

Pada awal masa berdirinya orde baru setelah tahun 1965 Fatwa mendukung pemerintahan orde baru Soeharto, tetapi kemudian berbalik menjadi pengritik rezim militer ini.

Pada tahun 1978 dia ditahan selama 9 bulan tanpa diadili. Karena dia dengan terus terang menentang dipersamakannya aliran kebatinan dengan agama tauhid. Ia mengatakan,”Aliran kepercayaan tidak ter-masuk dalam lima agama resmi: Islam,Kristen sebagai agama langit, Budha dan Hindu sebagai agama yang diakui negara. Setelah bebas dari tahanan, tak lama kemudian dipecat dari kepegawaian. Dia kemudian ditahan selama 2 minggu karena ceramahnya yang berisi kritik terhadap kebijakan pemerintah. Lalu menjadi pembantu pribadi Ali Sadikin ketika yang bersangkutan digusur dari jabatannya sebagai Gubernur, 1977.

Bulan Agustus 1979 Fatwa ditangkap untuk ke dua kalinya dan dipermak. Rezim militer memperlakukannya dengan kasar, pisik maupun mental. Ketika ia bergabung dalam penandatanganan petisi 50 pada Maret 1980 dia menjadi sekretaris badan pekerja hariannya yang mengadakan pertemuan-pertemuan secara teratur di rumah Ali Sadikin. Sekalipun Fatwa tidak dilarang menjadi muballigh, komandan-koman-dan militer selalu mengingatkan pada para pengurus takmir masjid, untuk tidak memanggil Fatwa sebagai khatib atau penceramah. Berbagai usaha Fatwa gagal, seperti halnya nasib para penandatangan petisi 50 lainnya, dia kehilangan kesempatan memperoleh kredit Bank. Pengajian-pengajian yang disampaikannya di dalam berbagai pertemuan seringkali diganggu. Pengeras suaranya dimatikan, rumah dan keluarganya diserbu orang serta hubungan telponnya diputus.

Pada tahun 1980 dia ditangkap 2 kali, disiksa oleh intel-intel DKI secara sadis. Dibelakang hari dia mengajukan gugatan ke pejabat yang bertanggung jawab, termasuk didalamnya Laksamana Soedomo yang menjabat sebagai panglima Kopkamtib, karena dialah yang dianggap pimpinan dari orang-orang yang harus dimintai tanggung jawab. Guga-tannya ini hilang begitu saja setelah para pembelanya menarik diri dengan alasan adanya tekanan dan intimidasi. Pada 19 September 1984 Fatwa ditangkap lagi setelah ia mengikuti pertemuan di mushalla yang berdeka-tan dengan rumahnya. Dalam pertemuan ini dibahas kasus Tanjung Priok. Saat ditangkap dia tidak kedapatan memiliki lembaran putih yang berisikan kritik kasus pembantaian Tanjung Priok. Pada saat ditangkap jaksa memberitahu bahwa ditangkap karena ceramah-ceramahnya yang disampaikannya dua tahun belakangan ini. Tuduhan yang dihadapkan kepadanya menyangkut tindak pidana kriminal, bukan tindak pidana subversi. Dua minggu setelah penahanannya, sampai dengan dia mene-rima ancaman penahanan diketahui bahwa penyebabnya ialah pener-bitan lembaran putih.

Setelah peristiwa pengeboman di Jakarta, dan peristiwa 4 Oktober 1984, jaksa penuntut umum dalam introgasinya berusaha untuk mema-sukkan Fatwa ke dalam dakwaan teroris. Di dalam persidangan, Fatwa mengatakan, ketika dia dipindahkan ke Rutan Salemba, Tasrif Tuasikal menemui dirinya untuk pertamakali. Dialah orang yang mengaku dibiayai untuk melakukan penyerangan dalam peristiwa peledakan bom di Jakarta.(Baca bab V).

Tuasikal tiba-tiba datang kepada saya dengan tujuan agar saya memaafkannya, padahal saya tidak tahu apa kesalahan yang dilakukan pada saya. Dia benar-benar merasa sangat tertekan karena dia menyam-paikan pengakuan-pengakuan yang menyudutkan saya. untuk meyakin-kan hal ini mereka menunjukkan gambar-gambar, ada yang mengatakan bahwa Tuasikal menerima dari saya uang 2000 dolar untuk membeli bom. Saya benar-benar marah mendengar kebohongan semacam ini, tapi dia meminta agar saya mau memaklumi kondisinya. Ia menunjukkan bekas-bekas luka didadanya karena disiksa siang malam, dan tangan serta kakinya membengkak.
Tuduhan yang dikenakan pada Fatwa adalah pertemuan yang dila-kukannya di Mushalla dekat rumahnya. Pertemuan inilah yang mengakibatkan malapetaka sehingga memunculkan tuduhan-tuduhan yang juga dikenakan pada umat Islam dalam masa-masa persidangan Fatwa. Jaksa beranggapan bahwa dalam pertemuan ini telah dibicarakan rencana melakukan serangan dengan bom sebagai tindak balasan terhadap kasus pembantaian Tanjung Priok. Dia juga dituduh ikut menandatangani lembaran putih dan melakukan teror mental terhadap pejabat-pejabat pemerintah.

Persidangan AM. Fatwa terus menerus dikunjungi orang. Fatwa menggunakan ruang sidang untuk menyerang kebijakan-kebijakan pemerintah yang zalim. Hal ini membuat takut hakim yang selalu mengulang-ulang tuduhan terhadap dirinya dan tim pembelanya, sengaja mengulur-ulur waktu memperpanjang proses, sehingga masa persida-ngan habis bersama dengan habisnya masa penahanan. Sebenarnya terjadinya penundaan waktu dikarenakan introgasi yang dilakukan sebe-lum pengadilan dibuka, karena introgasi ini telah memakan waktu 8 bulan.

Pada tahap-tahap akhir, majelis hakim berusaha dengan segala upaya mempercepat proses pradilan atas diri Fatwa. Fatwa menulis pledoi setebal 1118 halaman. Hal ini merupakan sesuatu yang luar biasa., padahal dia tidak memperoleh fasilitas apapun untuk dapat menyusun pledoi semacam itu. Ia menulis di dalam sel tahanan tanpa bantuan orang lain. Hakim memintanya membaca pledoi tanpa istirahat hingga menjelang tengah malam. Dia melakukan penyerangan secara tajam terhadap rezim yang represif dan militer yang mendominasi kehidupan sosial politik. Ujarnya,”Kelompok Petisi 50 telah menulis sebuah pernyataan untuk memberikan reaksi atas hilangnya demokrasi di Indonesia”. Fatwa membaca pledoinya selama dua hari dan beberapa jam tanpa berhenti. Tetapi tekanan fisik yang dialami olehnya memang berat. Pada hari ketiga ia pingsan di ruang pengadilan dan dilarikan ke RS. Tiga hari kemudian dia dibawa lagi ke ruang persidangan untuk memba-cakan pledoinya dengan duduk di atas kursi roda. Tetapi disini dia pingsan lagi. Kali ini dia tidak lagi dilarikan ke RS, tetapi dimasukkan ke dalam sel penjara. Dua hari kemudian, dihadirkan lagi kepersidangan. Kali ini tim pembela yang membacakan kelanjutan pledoinya. Namun Fatwa kembali lagi pingsan. Petugas-petugas yang terdapat di ruang persida-ngan, kali ini mengejeknya. Akhirnya Fatwa divonis 18 tahun penjara.

Pada bulan September 1985, dimulailah persidangan untuk tiga terdakwa lain, yaitu:

1. Nama : Tony Ardi
Umur : 31 Tahun
Pekerjaan : Muballigh, Anggota KMI
Jabatan : Ketua HMI Cab. Jakarta
Keterangan : Seorang muballigh muda yang digemari mahasiswa di Jakarta. seringkali diundang ceramah ke Yogya-karta untuk berbicara di masjid Kampus.
Pada tahun 1983 dijatuhi hukuman 9 bulan, karena dia mengkritik pemerintah yang melarang pelajar putri dan mahasiswi menggunakan jilbab di sekolah-sekolah pemerintah. Dia ditangkap pada bulan Oktober 1984, karena telah memberikan ceramah yang berapi-api selama beberapa bulan sebelum bulan September tahun yang sama. Khotbahnya diter-bitkan tahun 1983. Pada awal persidangan kasusnya dia menyampaikan keluhan tentang buruknya perlakuan dan merosotnya kesehatannya da-lam tahanan. Pada bulan kedua persidangannya tim pembela dan teman-temannya yang hadir di dalam persidangan berteriak-teriak ketika dia tidak mau menjawab pertanyaan dalam persidangan. Bahkan dia menga-takan,”bahwa dirinya memang bersalah dan minta maaf kepada majelis hakim”. Sekalipun demikian persidangan tetap dilanjutkan. Jaksa penun-tut mengajukan tuntutan hukuman penjara 7 tahun. Pengadilan menga-nggap dia sudah keterlaluan dan divonis 9 tahun. Ketika vonis dibacakan, dia menyatakan tidak akan naik banding, tetapi akan meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat. Kami tidak memperoleh informasi yang menjelaskan mengapa akhirnya Tony Ardi berubah pikiran dan mengaku bersalah. Padahal di dalam persidangan dia mengeluh adanya tekanan pisik dan mental yang dialaminya selama dalam tahanan.

2. Nama : Mawardi Noor
Umur : 60 tahun
Jabatan : Pengacacara, Wakil Ketua KMI, pernah menjadi anggota parlemen dari partai Masyumi.
Keterangan : Ketika ditangkap dia masih menjabat sebagai pengurus Rabithah Alam Islami yang berkantor pusat di Makkah. Tuduhan pokok yang dikenakan kepadanya seperti berikut ini.
Ia dituduh menolak program-program pemerintah dan mengkritik Pendidikan Moral Pancasila. Ia mengatakan kemiskinan di Indonesia adalah akibat kezaliman yang dilakukan oleh penguasa. Media massa tidak menyebutkan bagaimana perlakuan yang diterima oleh Mawardi Noor selama dalam tahanan, seperti yang dinyatakan oleh AM. Fatwa di dalam pledoinya, bahwa pernah ketika dia dalam tahanan militer Cimanggis, penjaga melepaskan ular berbisa ke dalam tahanannya. Petugas tertawa-tawa mendengar jeritan ketakutannya.
Terdakwa yang pengacara ini menyampaikan keluhan dengan mengatakan, bahwa sulit bagi dia untuk mendapatkan pengacara yang dapat diajak bertukar fikiran. Dia menyangkal semua tuduhan. Ketika jaksa mengutip potongan-potongan ceramahnya yang bersifar provokatif sebagai bukti, dia menolak dengan keras. Ujarnya, ”Mengapa tidak ditangkap waktu itu, dan mengapa harus menunggu munculnya tragedi Tanjung Priok? Dalam eksepsinya, terdakwa menyatakan bahwa penda-pat-pendapat yang ia lontarkan sudah merupakan pendapat umum di masyarakat Indonesia. Selanjutnya ia berkata:”Bilamana pengadilan mengadili para muballigh karena ceramah-ceramahnya sebagaimana terjadi sekarang ini maka saya sangat khawatir, dalam waktu dekat, kita akan menyaksikan ribuan bahkan jutaan orang Islam yang ditangkap. Hal ini akan merupakan tragedi yang menghancurkan umat dan negara. Dan kita akan memperoleh azab dan laknat Allah. Saya sama sekali tidak percaya bahwa di dunia ini ada sebuah negara yang mempidanakan para penceramah dan pengkhotbah seperti yang dilakukan disini”.

Mengenai tuduhan bahwa dirinya membuat ketidakstabilan akibat ceramah-ceramahnya, maka Mawardi Noor menyatakan dia telah menyampaikan dakwah Islam sejak 45 tahun lalu, dan belum pernah menimbulkan kekacauan dalam bentuk apapun atau mengganggu keamanan akibat ceramah-ceramahnya. Mawardi Noor kemudian divo-nis 14 tahun, yang berarti dia akan tinggal di penjara sampai mati.

3. Nama : A. Rani Yunsih
Umur : 41 tahun
Jabatan : Ketua Fron Pelajar Kalimantan Barat, sebuah organisasi yang mendukung Suharto dan juga mendukung pembubaran PKI pada tahun 1965.
Keterangan : Ia dijatuhi hukuman oleh pengadilan Jakarta Timur karena dituduh menghasut massa, melakukan kekerasan dalam demonstrasi Tanjung Priok dan menyampaikan kritik-kritik pada pemerintah dalam ceramahnya pada tahun 1984. Tuduhan Jaksa terhadap dirinya, bukti-buktinya lemah karena terbukti dia tidak melakukan penghasutan. Misal-nya, dua orang saksi yang diajukan oleh jaksa, kedua orang ini bekerja sebagai petugas Hotel Indonesia. Mereka mengatakan tidak ingat isi ceramah yang disampaikan terdakwa di hotelnya. Media massa menyebutkan bahwa kedua orang saksi ini rasialis. Salah seorang saksi mengatakan, dia tidur ketika ceramah dimulai. Salah seorang dari mereka ditu-duh oleh jaksa terlibat dalam peristiwa Tanjung Priok (Baca bab II). Kedua saksi ini bernama Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman. Ia menyangkal dengan keras adanya kaitan antara ceramah terdakwa dengan keberingasan yang terjadi di Tanjung Priok.

Rani Yunsih menolak semua tuduhan-tuduhan jaksa yang mengata- kan gambar dan kaset-kaset ceramah yang dibawa oleh intel militer tidak dapat diterima sebagai bukti, karena barang tersebut tidak diambil dari rumahnya. Hakim menerima penolakannya. Yunsih yang dituntut 17 tahun penjara, kemudian datang ke tempat duduk jaksa dengan marah. Media massa menggambarkan persidangan kasusnya sebagai dagelan. Pengadilan menyatakan terdakwa sebagai orang yang telah berbuat salah bukan karena menghasut, tetapi semata-mata karena paket yang ditetapkan pemerintah. Akhirnya dia divonis 7 tahun penjara. Sekalipun banyak orang menganggap vonis ini sedang-sedang saja bila diban-dingkan dengan tuntutan jaksa dan terdakwa lain, tetapi terdakwa dan tim pembelanya mengatakan, akan mengajukan permohonan naik banding.

4. Nama : Ahmad Ratono
Umur : 30 tahun
Pekerjaan : Mantan Angkatan Laut, dan mahasiswa PTDI.
Keterangan : Kami tidak dapat mengatakan dia sebagai seorang muballigh, sebab dia baru saja masuk Islam. Dia di-tuduh karena ketika itu dia berada di Tanjung Priok, membawa pengeras suara pada saat terjadinya demonstrasi 12 September. Dia menyampaikan pe-ngumuman akan mengadakan pengajian dan me-ngharapkan masyarakat menghadirinya. Dengan kata lain, dia dianggap menyampaikan hasutan seperti yang disebutkan di dalam tuduhan jaksa. Ia menghadiri pengajian yang tidak direncanakan sebelumnya. Sekalipun dia menandatangani petisi kelompok muslim Jakarta, namun keikutsertaannya itu hanya ikut-ikutan. A. Qadir Djaelani menjadi saksi bahwa Ratono menandatangani petisi tersebut tanpa membacanya lebih dahulu secara teliti. Sekalipun begitu dia dihukum 8 tahun penjara.

5. Nama : Professor Oetsmany Al-Hamidy
Umur : 72 tahun
Keterangan : Muballigh terakhir yang disidangkan kasusnya di pengadilan. Dia menderita rematik, sehingga selalu absen dari persidangan karena gangguan kesehatan yang parah. Dia juga mengeluh sakit jantung. Dia menghadiri beberapa kali persidangan sambil duduk di atas kursi roda dan tidak sanggup berdiri tanpa dipapah, tetapi tidak pernah kehilangan semangat perlawanan. Dia tidak bisa menyembunyikan sikap penghinaannya terhadap hakim dan jaksa yang berumur lebih muda dari dirinya. Oetsmany belajar di Mesir dan di Arab Saudi. Dia pernah menjadi tentara setelah zaman proklamasi, dan mencapai pangkat perwira menengah dalam korp polisi militer. Dia berhenti dari militer, 1953 dan men-curahkan kegiatannya dalam dakwah. Walaupun perkara yang dituduhkan kepadanya dapat dijaring dengan undang-undang anti subversi tetapi dia tidak dikenai tuduhan subversi, hanya dituduh me-nolak Pancasila dan mengkritik pemerintah karena persoalan asas tunggal. Dia juga termasuk penanda-tangan petisi kelompok umat Islam Jakarta dan rektor PTDI.

Dia menolak didampingi tim pembela dan berkata:”Selama yang dikenakan kepadanya adalah undang-undang anti subversi maka tidak perlu adanya pembelaan. Semoga Allah menjadi pembelaku”. Sekalipun demikian, pengadilan tetap menunjuk pembela untuk dirinya sebab terdakwa menghadapi dakwaan yang bisa dikenai hukuman mati. Akhirnya dia setuju atas penunjukan tim pembela.

Dia berkata:”Saya dihukum karena tuduhan subversi. Saya diadili karena masalah subversi. Saya tidak dituduh melakukan komplotan atau revolusi atau mengangkat senjata melawan pemerintah yang resmi. Saya diadili semata-mata karena berbeda pendapat dengan pemerintah. Dewasa ini mengajak orang ke jalan Allah dianggap subversi. Ancaman-nya, hukuman mati”.

Mengomentari undang-undang anti subversi, beliau mengingatkan majelis hakim mengenai situasi politik yang melahirkan UU tersebut. ”UU ini bagus untuk menghukum orang Islam, dengan UU yang dibuat oleh orang komunis”, katanya.

Terdakwa menggunakan setiap kesempatan untuk mencerca para saksi yang memberikan kesaksian yang memberatkannya. Dalam suatu kesempatan ketika ada saksi yang tidak mau menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, ia mengintrupsi sidang dengan mengatakan: ”Dengan sedikit siksaan mungkin saksi ini mau memberikan keterangan yang sebenarnya”. Salah seorang saksi yang diajukan jaksa bernama Ratono yang ternyata mencabut semua keterangan berkenaan dengan Oetsmany. Ujarnya,”Kesaksian itu saya berikan di bawah tekanan”.

Ketika Oetsmany tidak lagi sanggup menghadiri salah satu persi-dangan karena gangguan kesehatan yang parah, hakim menolak ketera-ngan tertulis dari beliau untuk dipakai sebagai bahan di persidangan. Alasannya, karena dia memberikan keterangan tertulis tanpa sumpah. Anehnya, mengapa hakim mau menerima keterangan-keterangan saksi secara tertulis yang diajukan oleh jaksa penuntut sebelumnya, yang oleh tim pembela diprotes. Keterangan tertulis para saksi sebagai ganti kehadirannya secara langsung.

Selesai persidangan sembilan muballigh ini dilanjutkan dengan yang lain-lain, yaitu
1. Nama : Abdul Latif bin Amir
Umur : 43 tahun
Katerangan : Dipenjarakan karena ceramah-ceramahnya yang mengecam pemerintah yang disampaikannya pada tahun 1985. Tahun 1986 dijatuhi hukuman 7 tahun penjara.

2. Nama : Drs. Hasan Kiat
Umur : 36 tahun
Katerangan : Ditangkap setelah memberikan pengajian Rama-dhan tahun 1985 dan dikenai tuduhan subversi, karena secara terang-terangan menentang asas tunggal. Dijatuhi hukuman 7 tahun penjara.

Bab 05-04 Model Kasus Tanjung Priok Menjalar di Jawa Tengah
Setelah berakhirnya sidang-sidang kasus para muballigh di awal tahun 1986, perhatian kemudian beralih ke Jawa Tengah. Di kota pelajar Yogya-karta ini, dijatuhkan vonis hukuman penjara 1 tahun terhadap sedikitnya tiga orang terdakwa yang dipersalahkan mengedarkan bulletin yang menyorot kasus Tanjung Priok.

Akan tetapi kasus yang paling banyak menyedot perhatian di daerah ini, menyangkut dua orang terdakwa kasus subversi yang tengah membawa majalah Islam, berisi kritik terhadap militer dalam menangani kasus Tanjung Priok serta politik pemerintah, termasuk di dalamnya Asas Tunggal. Dua orang terdakwa itu adalah:

1. Nama : Ahmad Zonet Sumarlan
Umur : 24 tahun
Jabatan : Mahasiswa Teknik Tekstil UII
Keterangan : Dituduh menyebarkan tiga eksemplar bulletin Al-IKHWAN

2. Nama : Irfan Suryahardi
Umur : 25 tahun
Keterangan : Dituduh oleh jaksa sebagai wakil pimpinan Ko-mando Jihad di Yogyakarta, dan anggota BKPMI (Badan Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia) Yogyakarta, redaktur bulletin AL-IKHWAN dan AR-RISALAH, dua bulletin dakwah yang dilarang pemerintah.

Al-Ikhwan dilarang terbit pada 29 Mei 1985, namun hal ini baru diumumkan pada bulan Juli. Bulletin ini diterbitkan oleh BKPMI. Bulletin al-Ikhwan dibaca oleh kalangan luas dan oplahnya mencapai lebih dari 10.000 eksemplar yang didistribusikan secara luas di masyarakat.

Kasus Ahmad Zonet, relatif lebih terbuka jika dibandingkan dengan kasus Irfan. Akan tetapi sikap mereka yang menolak untuk didampingi tim pembela, mempunyai pengaruh luas di masyarakat. Kedua orang ini membuat penerapan hukum acara pidana menjadi cacat. Ahmad Zonet divonis hukuman 6 tahun penjara dan diminta menjadi saksi kasus Irfan, tetapi tidak terlaksana. Ada yang berpendapat, bahwa hal itu gagal disebabkan Irfan sendiri menolak kesaksian yang bersangkutan, karena tidak ada relevansinya. (Baca bab IV).

Persidangan kasus Irfan ini lebih banyak kekacauannya, sebab tuduhan yang dikenakan kepadanya berkaitan dengan gerakan Islam di Iran. Untuk meyakinkan hal ini, jaksa dalam tuduhannya mengatakan, bahwa yang bersangkutan ketika ditangkap membawa paspor dengan nama samaran. Dan membawa bulletin yang ditulisnya sendiri dengan judul “Ajaran Ayatullah Khomaini”. Jaksa juga menuduh bahwa yang bersangkutan punya hubungan politik dengan gerakan yang bermaksud mendirikan Negara Islam di Indonesia. Jaksa penuntut juga menyebut-nyebut nama Ir. Syahirul Alim, Msc. seorang yang terkenal di masyarakat, sebagai saksi di dalam beberapa kasus dan juga disebut-sebut namanya sebagai Imam Darul Islam.

Daftar saksi-saksi untuk dihadirkan dalam kasus persidangan Irfan, banyak dari dosen-dosen UGM. Ada beberapa orang yang duduk sebagai staf ahli dalam dua bulletin yang dipimpinnya. Tetapi hanya dua orang yang hadir sebagai saksi (Prof. DR. M. Amin Rais dan DR. Kuntowijoyo. pent.). Kedua saksi ini menyangkal punya hubungan dalam bentuk apa-pun dengan terdakwa, dan menyatakan bahwa keduanya telah mengun-durkan diri dari kedudukannya sebagai staf ahli. Kemudian dimuncul-kanlah dua saksi lain, yaitu Ir. Syahirul Alim, MSc. dan Mursalin Dahlan. Kesaksian dua orang ini seringkali dipergunakan di dalam kasus-kasus lain, tetapi ternyata keduanya tidak hadir secara langsung dalam memberi kesaksian, hanya secara tertulis saja.

Meskipun tidak jelas kemana arahnya perkara-perkara ini, tapi ternyata persidangan kasus Irfan ini berpengaruh pada persidangan-persidangan lain berikutnya, yang mengkait-kaitkan adanya hubungan antara Jawa Tengah dan kegiatan subversi di tempat-tempat lain. Ada yang mengira, bahwa Irfan mengkonter gerakan anti Soeharto dan ada pula yang mencurigai, ada orang yang “dipasang” pemerintah di sekretariat redaksi bulletin Ar-Risalah yang dipimpin Irfan, walaupun hal ini tidak disebut-sebut dalam persidangan atau pun di media massa.

Komplotan yang dituduhkan ini menjadi malapetaka pada persida-ngan-persidangan lain di Jakarta, dimana HM. Sanusi dalam persidangan yang kedua kalinya dituduh demikian. Dia divonis hukuman penjara 20 tahun. Dalam persidangan kasus Irfan, mulailah digunakan kata-kata Usrah untuk pertamakalinya seperti yang akan diterangkan pada bab VII. Kegiatan Usrah ini menjadi sasaran sidang pengadilan secara berturut-turut, mulai bulan Juli 1986, berkisar kegiatan-kegiatan dakwah Islam di Jawa Tengah. Para aktivis gerakan Usrah dituduh telah terpe-ngaruh oleh tulisan-tulisan yang dimuat dalam bulletin Ar-Risalah dan Al-Ikhwan. Semua tuduhan ini disangkal oleh Irfan. Saksi dari pihak pembela, termasuk Ahmad Zonet dimintakan untuk hadir, tapi pengadilan tidak mengijinkan. Dan tidak seorangpun saksi dari pembela yang hadir, sekalipun keterangannya sangat dibutuhkan. Irfan Suryahardi akhirnya dinyatakan bersalah oleh pengadilan, dan dijatuhi hukuman 13 tahun penjara, potong masa tahanan .

No comments: