04 September 2008

Dari Ekonomi Kapitalis Ke Reformasi Humanis

Sebuah Pengantar

Herdi SRS


Modernisasi sekuler Orde Baru Soeharto memiliki ciri khas kapitalistis: orientasi pertumbuhan ekonomi, konglomerasi, kesenjangan sosial-ekonomi, krisis ekologi juga korporatisme politik dan rendahnya partisipasi.
Keruntuhan Orde Baru dan labilitas orde reformasi Presiden Abdurrahman Wahid merupakan bukti adanya benang merah kegagalan modernisasi sekuler kapitalistis yang digalakkan kaum intelektual modernis sekuler sejak era 1970-an menyusul jatuhnya Soekarno. Kegagalan ini menjadi tantangan bagi kaum intelektual santeri, sosial demokrat, nasionalis sekuler dan kalangan lain yang kompeten, untuk mencari alternatif dan solusi atas berbagai permasalahan yang ada.
Pada kaum sosialis-demokrat, pertanyaan itu barangkali adalah apakah sosialisme demokrat mampu memberikan solusi atau model penyelesaian atas krisis-krisis Indonesia dewasa ini? Pertanyaan intelektual muslim barangkali: apakah Islam bisa memberikan jawaban atas situasi ini? Barangkali begitu juga pertanyaan kaum nasionalis sekuler dan kombinasi kesemuanya. Pendek kata, ideologi-ideologi itu mencari jawaban yang paling mendekati.
Di Indonesia, pendukung utama paradigma modernisasi ini adalah kalangan kelas menengah kota yang disebut William Liddle sebagai “secular modernizing intellectual". Dengan meminjam perspektif ilmu-ilmu sosial —melalui karya-karya seperti Geertz, Feith, Shills, Riggs, Eisenstadt, Rostow dan lainnya— mereka mencoba mempengaruhi iklim intelektual di mana pasca-Soekarno dengan slogan-slogan pembangunan. Bagi mereka, inti dasar ideologi pembangunan adalah pemahaman mengenai perbedaan tajam antara masyarakat modern dengan tradisional. Secara struktural, suatu masyarakat modern lebih terdiferensiasikan, kendatipun terintegrasi, di mana ikatan-ikatan sekuler maupun sekunder mengontrol ikatan-ikatan suci dan primer; sementara masyarakat tradisional hanya mempunyai sedikit struktur otonomi di mana ikatan-ikatan kekeluargaan dan agama sangat dominan. Secara kultural, mereka berpendapat bahwa pandangan modern adalah rasional, berorientasi pada tujuan, dan sekuler; sementara pandangan tradisional tidak berorientasi pada tujuan, emosional dan bercampur aduk antara magis dan mistik.
Orde Baru sepenuhnya berhutang kepada pemikiran-pemikiran ini, sehingga ide-ide itu telah memenuhi kebutuhan untuk mencari legitimasi terhadap eksistensinya Didesak oleh kondisi ekonomi yang terus memburuk yang ditinggalkan oleh Orde Lama, Orde Baru dipaksa memanfaatkan orientasi-orientasi pragmatis yang hanya ditawarkan oleh mereka yang telah terdidik secara Barat untuk menanggulangi krisis ekonomi itu. Pada tahap kritis inilah ide-ide pembangunan Barat di atas secara obyektif mulai berakar di dalam logika elit Orde Baru. Atas keinginan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomilah kemudian kebebasan politik dikebiri habis-habisan, terutama politik Islam.
Ringkasnya, ide-ide pembangunan ekonomi menang atas ide-ide politik—yang menurut Fachry Ali, secara kuat menekankan retorika-retorika ideologis dan romantisme politik. Segera setelah itu, kegemaran elite politik menggunakan slogan-slogan yang bersifat romantis itu berubah dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan pragrnatis yang secara langsung tertujukan kepada persoalan-persoalan konkret. Program-program pembangunan ekonomi —suatu usaha sistematis dan berskala besar untuk meningkatkan kemakmuran material masyarakat luas- dengan demikian, menjadi diskursus yang dominan di awal Orde Baru. Untuk pembangunan politik, Orde Baru di bawah rezim Soeharto yang disokong oleh para konglomerat kemudian menjalankan money politics di mana suara rakyat, yang merupakan suara Tuhan, dapat dibeli dengan harga murah. Artinya, dengan keberhasilan pembangunan ekonomi gaya Barat, suara dapat dibeli dengan uang-uang kolusi dengan kong1omerat.
Tetapi, usaha-usaha pembangunan ekonomi di masa Orde Baru pada masa awal tidaklah mendapatkan landasan legitimasi massa Islam secara memadai. Pembangkangan Islam politik oleh kaum Muslim modernis pimpinan Amien Rais, juga pembangkangan Islam kultural, yang dilakukan Abdurrahman Wahid dengan NU dan Forum Demokrasinya, sekedar ilustrasi, sempat mengemuka.

Khawatir akan kegagalan program pembangunannya, yang akan segera langsung berpengaruh terhadap legitimasi keberadaannya, Orde Baru mengerahkan seluruh daya untuk menciptakan keberhasilannya. Karena itu, agar supaya program-program mendapatkan landasan struktural yang mendukung, ekonomi Indonesia harus diintegrasikan ke dalam sistem ekonomi dunia Jalan ke arah itu ditempuh dengan memperkenalkan kebijaksanaan pintu terbuka (open door policy) yang memberikan jaminan kepada aktor-aktor internasional untuk turut serta dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Proses reintegrasi ekonomi Indonesia ke dalam ekonomi dunia inilah yang pada akhirnya melahirkan transformasi struktural di dalam masyarakat Indonesia, sekaligus menyebabkan ketergantung pada kekuatan global dan marginalisasi ekonomi rakyat oleh kekuatan modal asing,aliansi domestik dan para kompradornya.
Dalam kenyataannya, ketergantungan dan marginalisasi itu, berbarengan dengan krisis ekonomi-politik yang menguat. Dan partai-partai Islam ternyata tidak mampu menjawab krisis-krisis ekonomi-politik dewasa ini dan kualitas sumber daya manusia maupun ekonomi mereka lemah. Alih-alih, program dan orientasi developmentalism partai-partai Islam itu mirip atau serupa dengan Orba, hanya mungkin dikemas dengan simbol-simbol Islam. Secara intelektual, partai-partai Islam juga belum bisa mengajukan alternatif dan opsi untuk mengatasi krisis ekonomi-politik yang terjadi. Sehingga kegagalan modernisasi sekuler baru bisa mereka jawab dengan slogan.
Kegagalan modernisasi sekuler bisa dilihat pada orientasi ekonomi yang didominasi konglomerasi, pertumbuhan dan korporatisme politik, yang terbukti hanya menguntungkan segelintir elite yang bernaung dalam rezim otoriter birokratik.
Sedangkan pemberdayaan masyarakat bawah diabaikan dan margnalisasi ekonomi massa miskin berkelanjutan. Deprivasi sosial-ekonomi di bawah modernisasi sekuler sudah amat jauh dan mendalam sehingga ketika angin reformasi dihembuskan, massa miskin di Indonesia menjadi lamban dalam memberi jawaban.
Di sinilah perlunya jawaban Islam terhadap persoalan politik-ekonomi ummat dinantikan. Jawaban Islam ini harus mencakup untuk kebutuhan seluruh ummat beragama, yakni Muslim dan Non-Muslim, tanpa pembedakan etnis, kultur dan ideologinya. Sebab Islam merupakan rahmatan lil’alamin yang harus dibuktikan oleh kaum Muslim sendiri dalam suatu “the struggle for the real dan politics of meaning di arena masyarakat dan negara. Modernisasi yang bersuasana religiusitas berarti harus memberikan landasan keagamaan dan pembebasan bagi masyarakat untuk melakukan amar maruf nahi munkar, yang berarti konsistensi terhadap demokrasi dan hak asasi manusia mutlak diperlukan.
Ada dua ummat, kata Hasan Hanafi, yang harus dicermati: ummat yang kaya dan yang miskin. Dan ummat yang miskin merupakan golongan yang paling menderita dalam krisis-krisis dewasa ini akibat modernisasi sekuler yang elitis dan urban bias. Karena itu, ummat yang miskin harus dibela dan diperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara.
Kalau di masa Orde Baru agama dan modernitas ternyata baru sebatas ritual dan verbalisme, yang ditandai dengan kemenangan pembangunan ekonomi atas ide politik dengan orientasi sekuler. Maka kini, religiusitas semestinya menjadi sumber nilai dan inspirasi bagi modernisasi, agar reformasi bisa berhasil dalam membangun masyarakat yang berakhlak dan membentuk sistem yang terbuka, equal, adil, taat asas dan hukum, serta menghargai meritokrasi. Korupsi ekonomi, nepotisme politik dan kolusi kultural hanya bisa dibasmi dengan sistem yang mampu mengaktualisasikan misi dan visi reformasi. Sistem ini kita sebut sebagai reformasi Islami, yang toleran pada pluralisme, partisipasi dan emansipasi masyarakat madani.
Islam, demikian Fazlur Rahman , merupakan sistem peradaban yang komprehensif, lebih dari sekedar ritus atau ideologi serta memberikan panduan etis bagi seluruh aspek kehidupan. Di sini hubungan antara Islam dengan seluruh aspek kehidupan tidak harus dalam bentuk yang legalistik dan formalistik, tapi substantif, di mana isi daripada bentuk menjadi acuan dalam kehidupan sosial masyarakat muslim. Pada aras ini, suatu common platform untuk mengembangkan dimensi yang substantif dan makna konkrit Islam, seyogyanya dibangun. Islam adalah agama yang oleh Jose Casanova dinyatakan telah mengalami deprivatisasi dan bayangan Negara Madinah atau Islam Cordova Spanyol yang modern, demokratis dan pluralistis telah dibuktikan secara historis.
Dalam konteks ini, suatu transformasi dari modernisasi kapitalis yang sekuler ke arah reformasi humanis, yang dilandasi religiusitas berpeluang direalisasikan. Di sini jawaban Islam yang merujuk pada sistem Negara Madinah yang modern itu, harus disosialisasikan dan dipraksiskan untuk menemukan kemanusiaan dan kebenaran itu kembali. ***

No comments: