04 September 2008

Bab 11-1 Tokoh Peristiwa Lampung berdarah 1989 - Tokoh-Tokoh Utama (1)

Bab 11 TOKOH PERISTIWA DAN PARA KORBAN MUSIBAH POLITIK LAMPUNG BERDARAH, 1989

BEBERAPA tokoh yang terekam dalam lem-bar-lembar catatan sejarah berikut ini adalah profil yang berkarakter sangat beraneka ragam. Satu dan lainnya agak bersebarangan dan sementara itu banyak juga terjalin kerja-sama yang ganjil. Namun, apapun yang mereka telah lakukan, belumlah bisa menjelaskan siapa sebenarnya mereka. Beberapa tokoh berikut ini masih diselimuti oleh misteri dan kabut-kabut penjelasan yang terkadang samar-samar kita dengar. Namun, bagi penulis, siapa-pun mereka dan sesalah apapun media massa meng-hujat mereka, setidak-tidaknya mereka sudah berbuat untuk sebuah perubahan. Dan sebagian gambaran citra tentang mereka, dalam penelitian buku ini, dipengaruhi oleh sumber-sumber sekunder yang dihimpun oleh tim peneliti.

Bab 11-01 Tokoh-Tokoh Utama Peristiwa Talangsari

1. Anwar Warsidi sebagai Imam.
Yang paling tahu dengan peristiwa Talangsari, 1989, adalah Warsidi. Dialah tokoh utama dalam drama kehidupan para jama’ah yang berani menghadang kekuatan negara. Anak bungsu dari empat orang bersaudara1 ini, lahir di desa Seberang Rawa, Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Warsidi adalah tokoh pembe-rontak yang konsisten dengan ajaran poligamis Islam. Ia mempunyai dua istri, Mariam dan Juairiyah. Dari hasil perkawinannya dengan Mariam, ia memperoleh satu orang putra yang tidak berumur panjang, beberapa tahun kemudian Mariam menyusul. Dan dari Juairiyah, ia memperoleh empat anak.

Warsidi menetap di Lampung pada tahun 1937, ia diajak oleh ayahnya seorang petani bernama Martoprawiro masuk ke kecamatan Batanghari, kemudian menetap di pedukuhan Talangsari III2 pada bulan Juni 1988 bersama istrinya, Juairiyah, dan anaknya. Di pedukuhan inilah Warsidi mengamalkan ilmu spiritual dari aliran Lelampah3 yang diperolehnya dari gurunya yang bernama Anwaruddin dari Banyumas, Jawa Tengah, kepada masyarakat. Ia mulai mengajarkan ajaran Lelampah ini pada tahun 1966. Karena pengajaran ini maka kemudian masyarakat Lampung mengenalinya sebagai tokoh spiritual. Bersamaan dengan itu pulalah, bakat kepemimpinannya terlihat dengan berkembang. Paralel dengan bakat kharismatiknya yang berkembang itulah, dalam waktu singkat ia memperoleh jamaah pengikut yang banyak. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa jumlah jamaahnya hingga tiga ratusan orang itu sering berkumpul, makan dan tidur bersama. Dalam mengembangkan jama’ah Islam, Warsidi dibantu oleh Ir. Usman.4 Konon, Ir. Usman ini pernah bermukim di Pesantren Al Islam milik Kyai Djunaidi di Desa Labuhan Ratu. Pembangunan jama’ah dan pengajian-pengajian di tengah-tengah zaman Soeharto yang anti Islam adalah sebuah pemba-ngunan yang dianggap counter-productive oleh berbagai kalangan yang tengah terkesima dengan modernisasi dan modernisme gaya hidup yang gegap gempita.

Maka, secara psiko-sosial, masyarakat kurang menerima perkem-bangan ini sehingga, walaupun pengajian atau kelompok spiritual ini berkembang, maka ia tetap diterima secara reluctant oleh publik sekitar. Antara publik sekitar, yang cenderung lebih mentoleransi sekulerisme ketimbang Islam, dengan jama’ah terjadi perbedaan-perbedaan. Pada awalnya Warsidi adalah orang yang lemah-lembut, santun dan sangat mengerti terhadap orang lain.5 Sikapnya mulai radikal setelah kedatangan beberapa tokoh pemuda aktivis Islam yang memiliki semangat jihad yang menggebu di dadanya. Radikalisasi Warsidi mulai terjadi pada saat ia mendapat pengaruh fundamentalistik dari jama’ah pemuda yang datang ke Jakarta. Sikap furqaan (menarik garis pembeda) dari jamaah pun muncul. Ketika garis demarkasi perbedaan ditarik, maka yang kafir dan yang beriman pun segera kelihatan. Namun perbedaan pandangan dengan Lurah setempatlah yang kemudian menyulut peristiwa ini terjadi. Diawali dengan dipanggilnya Warsidi oleh aparat keamanan, maka hubungan kontradiktif antara jamaah Warsidi dan masyarakat serta aparat militer pun terjadi. Dari pihak Warsidi mensikapi undangan tersebut dengan caranya sendiri.
Ia tidak mau datang memenuhi undangan tersebut. Menurut Sukidi, jika tokoh ini datang, tak seorang pun di luar jemaah ‘Mujahiddin’ diperkenankan masuk ke lokasi kegiatan.6 Bahkan, terakhir sebelum meledaknya huru-hara tersebut, penjagaan dari pihak jama’ah ‘Mujahiddin’ semakin diperketat. Dan betul geger ‘Komando Mujahiddin Fi Sabilillah’ pun terjadi. Dalam kejadian tersebut Warsidi alias Anwar meninggal dunia. Dengan meninggalnya Warsidi, maka misteri yang melingkupinya pun seakan-akan ikut terkubur. Namun, beberapa keping informasi tentang dirinya, lebih jauh sebagai-mana dituturkan Soerjadi mungkin sedikit bisa menguak tirai misteri tersebut:

Soerjadi mengenal Anwar Warsidi pada tahun 1986-1987 di Cihi-deung. Anwar Warsidi nama aslinya adalah Warsidi. Karena ia mempu-nyai guru bernama Anwar, maka bergabunglah nama itu menjadi Anwar Warsidi. Anwar, gurunya Warsidi itu, adalah tokoh yang disebuit-sebut punya hubungan dengan gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Secara struktural, ia tidak terkait dengan NII secara langsung karena ia memiliki langkah inisiatif sendiri. Ia melangkahkan kakinya dalam suatu misi perjuangan yang tidak memakai ketentuan-ketentuan perintah dari NII struktural. Dari keterangan ini, agak sulit ditarik korelasi antara NII dan jamaah Warsidi. Mungkin secara ide, mereka memiliki sikap dan orientasi yang sama. Namun, setelah dalam perkembangan tahun pada tahun 1960-an, riwayat Anwar berubah setelah ia bertemu dengan Yusuf Roni, seorang Katolik yang masuk Islam. Pengaruh dari Yusuf Roni, seorang Katolik yang masuk Islam karena ketertarikan pada aspek liberating forces Islam yang luar biasa, telah memanas-manasi Anwar untuk terpengaruh, sehingga Anwar terbakar untuk membunuh seorang pastur di Jakarta sehingga ia divonis 20 tahun penjara. Penjara pertama di Cipinang Jakarta, lalu kemudian dipindahkan ke Tanjung Karang Lampung.

Sebuah ide memang memiliki kaki, maka radikalisme dan pencerahan tentang kekuasaan dalam Islam pun berjalan menemui determinisme kehidupan Warsidi di Lampung. Warsidi bertemu dengan gurunya, Anwar, setelah Anwar bebas dari hukuman. Anwar membina Warsidi untuk melanjutkan perjuangannya. Warsidi yang hanya menempuh SD hingga kelas 5 (tidak tamat) pun terpengaruh. Pengaruh ideologis memang terkadang tidak mengenal seseorang berpendidikan atau tidak. Pengaruh ajaran-ajaran agama dan ideologi Islam yang dialami Warsidi ternyata tidak tunggal. Warsidi juga mendapat pengaruh dari Imam Bakri dari tahun 1960-an sampai 1968-an.

Sebuah pengaruh biasanya tidak terhenti ketika sang guru masih ada. Setelah gurunya yang kedua itu wafat, ia meneruskan posisi gurunya. Maka, jadilah Warsidi sebagai guru bagi pendidikan informal agama bagi publik yang juga informal. Warsidi mempunyai 6 orang jamaah: Soerjadi, keluarganya sendiri, anaknya Bejo, keluarga Jayus, dan adiknya, Marsudi. Setelah itu, jamaah yang diasuhnya pun semakin berkembang. Satu per satu mulai masuk ke jamaah Warsidi untuk belajar Islam dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Arifin, misalnya, adalah jamaah Warsidi dari Brebes yang paling setia. Ia adalah saksi hidup ketika ada pembakaran di daerah jamaah Warsidi di Talangsari. Ketika jumlah jamaah ini membesar, maka ia mengidap paham tentang kekuatan yang dimiliki oleh komunitasnya yang sesungguhnya belum seberapa jika dibanding dengan kelompok jamaah lainnya. Apa lagi setelah didatangi oleh Nur Hidayat, Fauzi Isman dan Sudarsono, tiba-tiba kelompok jamaah Warsidi menjadi kelompok yang militan. Tidak ada kata mundur dalam gerakannya. Barangsiapa yang mundur, maka sank-sinya mati karena dianggap murtad.8 Banyak anggota jama’ahnya yang kemudian merasa sangat takut terhadap ancaman ini.

2. Sudarsono
Sudarsono divonis hukuman selama 17 tahun penjara oleh pengadi-lan atas kasus GPK Lampung.9 Ia adalah Pujakesuma, putra Jawa kelahiran Sumatra. Sudarsono atau lebih akrab dipanggal “Mas Dar” ini lahir di Deli Serdang tanggal 21 April 1963. Dia adalah seorang pejuang Islam sejati. Ia memiliki seorang ayah yang menjabat sebagai Anggota Korps Marinir. Karena tugas orang tuanya yang sering berpindah-pindah, ia telah banyak membawa pengalaman tersendiri bagi dirinya, di antara-nya mampu membawa diri dan mudah diterima oleh berbagai kalangan dari berbagai latar-belakang. Ia adalah tokoh Peristiwa Lampung yang sangat shabar dalam wawasan pergerakan.
Awal aktivitas keislamannya dimulai dari remaja masjid Al Falah di Surabaya. Bersamaan dengan kepindahan dinas orang tuanya ke Jakarta, Sudarsono muda aktif di BKPRMI (Badan Kontak Pemuda Remaja Masjid Indonesia) di Jakarta, di sana ia dekat dengan Jurdil Heri dan Arifin Agule. Karena semangat revolusionernya yang menggebu-gebu, tidak cukup di organisasi BKPMRI ini saja ia menyalurkan aktivitas, maka ketika duduk di perguruan tinggi dia masuk organisasi FORMAHI (Forum Mahasiswa Islam), hal itu dilakukannya pada tahun 1985. Ketika di FORMAHI inilah dia mengadakan gerakan pengkaderan Usroh. Tidak cukup sampai di situ, setelah menyelesaikan perguruan tinggi ia terlibat dalam kegiatan LSP (Lembaga Studi Pembangunan) di mana sering mengadakan berbagai training. Berbagai pengalaman hidup yang banyak dilaluinya lewat aktivitas gerakan, pada saatnya nanti ternyata telah menghantarkan dirinya sebagai salah seorang tokoh yang terlibat dalam kasus Talangsari.

Keterlibatan Sudarsono dalam kasus Talangsari ini bermula dari aktivitasnya dalam gerakan usroh yang dibina oleh Abdullah Sungkar di Jakarta tahun 1984-1985. Di tahun itu dia bersama rekan yang lainnya selalu mengadakan kegiatan rutin di rumah kontrakannya di Gang Remaja, Prumpung, Jakarta. Dalam gerakan usroh itu disusun beberapa shaf, di antaranya shaf Ali, shaf Umar, shaf Abu Bakar dan shaf Usman.10 Dia sendiri memegang tanggungjawab sebagai bagian pendanaan di shaf Usman. Dibentuknya shaf ini karena mereka terobsesi oleh pemikiran fundamentalisme Islam untuk persiapan basis tegaknya syariat Islam. Oleh karena itu perkampungan Islam merupakan langkah awal perjuangan dengan pola Darul Arqam. Selanjutnya, ditunjuklah daerah Cihideung Talangsari sebagai pengkonkritan programnya itu.

Berkaitan dengan kasus Cihideung Talangsari ini, menurut panda-ngannya bahwa daerah Cihideung dipilih sebagai tempat untuk mem-bentuk Islamic Village. padahal tujuan Islamic village ini adalah sebagai tempat awal bagi tegaknya Negara Islam.11 Jika rencana membentuk Negara Islam diketahui, maka tentu akan dihantam habis-habisan oleh pemerintah yang sangat anti dengan segala hal yang berbau Islam. Menurut pemahaman Darsono ciri dan syarat Negara Islam adalah: (1) sahabat, (2) sistem, (3) informasi,12 (4) pemimpin,13 dan (5) wilayah.14 Kalau kelima itu sudah kita penuhi, maka kita sudah memenuhi semua prinsip de jure, tinggal kita usahakan wilayah de fakto-nya saja. Maka, untuk itu ia dan teman-teman memilih Lampung sebagai tempat hijrah. Dipilihnya Lampung sebagai tempat hijrah adalah karena kalau harus hijrah ke luar negeri visanya dan biaya perjalannya sangat mahal. Kelanjutan dari program aksi hijrah ini adalah menciptakan amir-amir daulah di suatu daerah yang tidak begitu jauh dari Makkah Jakarta, yaitu di Lampung. Pernah juga terpikir oleh Darsono kalau harus hijrah ke Patani (Thailand Selatan) sebagai tempat untuk membuat sebuah titik bagi basis perjuangan. Pikirannya ketika itu adalah mencari mati syahid, yakni, suatu mati yang diperoleh dalam keadaan seseorang sudah ber-hijrah. Sehingga kalau terjadi perang (misalnya AS membom para pejuang tersebut, maka matinya adalah mati hijrah.

Prinsip Darsono tentang hijrah pada saat itu adalah sebuah prinsip konsekuensi dari ajaran historik Rasulullah. “Kalau kita tidak hijrah —seperti NU dan Muhammadiyah yang pimpinan RI Pancasila— semua akan amburadul dan akan mati kafir semua,” yakinnya waktu itu. Namun, apapun pengetahuannya tentang prinsip-prinsip politik Islam, menunjukkan bahwa ide-ide tentang kekuasaan Islam telah begitu mempengaruhi banyak kaum muda. Tidak sedikit di antara mereka kemudian yang membentuk sebuah keyakinan comitted with Islamic state ideals.15
Sudarsono adalah tokoh Peristiwa lampung yang pada saat terjadinya peristiwa tersebut ia tidak sedang berada di Cihideung. Namun, ia memahami peristiwa tersebut dari teman-temannya. Kendatipun demikian, Darsono adalah tokoh yang sudah terlebih dahulu datang ke Warsidi setelah Warsidi mendapat panggilan dari Camat. Warsidi menolak “undangan” dari “umara” tersebut karena ia sangat teguh memegang prinsip bahwa: umaro16 yang harus datang ke Ulama, bukan ulama yang mendatangi umaro. Sebaik-baiknya umaro adalah yang mendatangi ulama dan sejelek-jelek ulama adalah yang mendatangi umaro. Karena keteguhannya memagang prinsip inilah, akhirnya sampai ada sebuah laporan di sana genting. Setelah mendengar adanya suasana yang semakin genting tersebut, utusan datang ke Jakarta yang meminta agar Darsono dan Nur Hidayat datang menemui Warsidi dan mengajak-nya untuk bersikap sedikit lunak dan strategis.

”Pak Warsidi datangi saja, kalau dibubarkan bubarkan saja,” saran Darsono ketika sudah tiba di Cihideung. Kemudian Warsidi bertanya,” Boleh ya, mas Dar?” Ada semacam ketakutan yang tersimpan dalam benak Warsidi. Dari pertanyaannya ini, tersirat juga perasaan ragu. Dan, ketakutan atau keraguan ini adalah ketakutan umum dari masyarakat sipil yang awam. Ia memang menyadari dirinya sebagai transmigrasi gelap, sehingga ia berusaha tidak sampai kelihatan. Selain itu, ia juga ingin menyembunyikan kenyataan bahwa di daerahnya ia sudah mulai membina jamaah dan diam-diam jamaah menganggap bahwa “bumi ini milik Allah”. Namun, undangan pihak kecamatan ini sebenarnya menunjukkan sebuah kenyataan bahwa apa yang dilakukan oleh jamaah Warsidi sudah terdeteksi. Dari laporan-laporan masyarakat, mulai tersing-kap semua keresahan petani di daerah ini. Aksi dan tindakan arbitrer sering dipraktekkan oleh anggota jamaah yang sudah mendapatkan keyakinan tentang “semua yang di bumi adalah milik Allah dan diwaris-kan kepada hambanya yang shaleh.” Karena menganggap dirinya sebagai “hamba yang shaleh” itulah, maka kelapa, pisang, singkong dan semua hasil pertanian lainnya main ambil saja. Lama-kelamaan, kondisi ini mengakibatkan munculnya akumulasi kekesalan dari masyarakat agraris sekitarnya.

Tindakan yang arbitrer ini dilakukan, mungkin, oleh orang-orang kota yang mendapatkan kesadaran agama secara destruktif dan meman-dang diri dan kelompoknya sebagai “kaum muhajirin” yang mendapat segala macam kemudahan dari “kaum Anshar” yang menetap di sekitar wilayah tersebut. Bahkan, di antara para tokoh pelaku peristiwa Lampung ini, ada yang merasa dirinya sebagai “bayangan” Rasulullah. Nurhidayat —selaku pimpinan— akan datang hijrah ke Talangsari belakangan setelah semuanya selamat di-hijrah-kannya yang menurut shirah17 Rasul, Rasul dan beberapa sahabat memang datang belakangan.18

Menurut Darsono, ada lima anggota jama’ah Warsidi diculik oleh Koramil. Kelima orang ini berhasil dibebaskan kembali pada malam berikutnya setelah didatangi oleh dua puluh orang anggota jama’ahnya yang lain. Dan, setelah temannya dilepas, kantor Koramil dibakar. Maka akhirnya Warsidi pun dipanggil oleh Komandan Koramil Sutiman. Keadaan ini cepat diketahui oleh jamaah yang ada di Jakarta, sehingga ada kesepakatan Nur Hidayat dan Darsono berencana akan berangkat, tapi batal karena dilarang oleh Nur Hidayat. Di situlah kesatuan kedua tokoh ini terjadi dan mulai mengadakan koordinasi kembali karena di sana-sini mulai ada penggerebekan. Mulailah avonturisme aktivis ini terbentuk di masa-masa formative age-nya. Hidup mereka yang sudah berkeluarga ini berpindah-pindah mulai dari Gang Remaja I Prumpung sampai Kali Malang. Intelejen ada di mana-mana sehingga seakan-akan untuk keluar membeli permen pun sudah tidak bisa. Mata-mata dari sistem spionase negara bagaikan “mata Tuhan” yang mampu melihat apapun, siapapun, di manapun serta bagaimanapun tindakan seseorang itu.

Karena “mata” intelejen itu seakan-akan melingkupi setiap jengkal tanah yang dinjak, maka yang selama itu terjadi hanya kontak komunikasi telepon saja antara mereka. Pertemuan fisik dihindari untuk tidak menambah kecurigaan pihak intelejen. Namun, pancingan teman-teman dan sahabat-sahabat serta ustadz sangat sulit dihindari selama masa pelarian. Hingga akhirnya tertangkap, Darsono masih menyimpan rasa curiga yang besar terhadap Abdul Mafaid Faedah Harahap yang dianggapnya telah berkhianat dengan memberitahukan tempat persem-bunyiannya. Darsono ingat waktu tempat persembunyian di Kalimalang digerebek oleh aparat Intel Kodam Jaya. Yang ia ingat hanyalah sebuah episode tentang kunjungan Abdul Mafaid Faedah Harahap dengan istri-nya ke sana tempat ia bersembunyi. Hal ini tambah meyakinkan dirinya setelah ia teringat dengan kalimat emosional Nur Hidayat, ”Mafaid Faedah Harahap penghianat”.

Darsono pernah bertemu dengan Abdul Mafaid Faedah Harahap di Depok. Dari pertemuannya inilah ia bisa mengambil kesimpulan bahwa ustadz ini adalah penghianat. Sebenarnya Darsono diperkenalkan dengan Abdul Mafaid Faedah oleh Nur Hidayat dan Maulana Latief. Setelah penggerebekan di Kalimalang Darsono sebagai shaf Usman (Darsono) terus mencari dana untuk konsolidasi dan dengan mengusa-hakan dana bersama tim shaf Umar (bagian PHB). Pada saat itulah terjadi pengge-rebekan. Sebelumnya, Darsono sudah meminta pendapat Pak Sulaiman Mahmud untuk hijrah ke Abdulah Sungkar dan Sulaiman Mahmud sebagai tokoh sepuh Darul Islam Aceh itu setuju dan sayangnya rencana hijrah ke negeri jiran ini tidak pernah terlaksana karena jaring-jaring intelejen ternyata lebih rapat ketimbang jaring ikan teri di laut.

Hijrah adalah sebuah perintah dalam agama Islam yang jika satu perintah saja kita laksanakan, maka kita akan selamat. Setelah ditemukan-nya Darsono, maka mulailah terlihat bagaimana sebenarnya jaring-jaring yang dipasang oleh negara intelejen Orde Baru tersebut. Namun, di tengah-tengah kuatnya kekuataan represif Orde Baru, semua orang terkejut dengan resistensi orang-orang Islam di Lampung Tengah tersebut. Pihak ABRI sendiri juga kaget atas peristiwa yang tidak dinyana-nyana pada waktu itu. Di tengah-tengah suasana stabilitas politik dan keamanan yang ketat dan didukung dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi —serta semua komponen bangsa sipil tunduk kepada militer— kok bisa terjadi peristiwa musibah politik Talangsari tersebut. Bahkan tidak ada seorang pun dari anggota jama’ah Warsidi yang menduga akan terjadi hal yang demikian. Harapan mereka setelah dilatih dan dididik membuat panah dan anak panah beracun,19 mereka mengira akan dikembalikan ke pesantren karena panah-panah itu sudah disiapkan di pesantren-pesantren di Ujung Pandang, Kalimantan, dan di Pesantren Pak Kamil di Surabaya. Jadi setelah dilatih perang-perangan dengan senjata yang ala kadarnya itu, yang sangat mirip seperti latihan komando dengan jumlah tiga puluh orang sebagai pasukan komando, akan melanjutkan pendidikan agama di pesantren sebagai tempat mendapatkan bekal bagi kesabaran dalam berjuang. Namun, harapan ini jauh tertinggal, yang ada hanya rencana-rencana dan agenda-agenda jangka pendek untuk mempersiapkan perang yang bahkan lawannya pun belum sempat terumuskan secara jelas.
Setelah terjadinya peristiwa Talangsari itu, maka Darsono pun harus menyadari banyak kekeliruan yang telah dilakukan secara sadar atau tidak sadar. Yang paling terpenting adalah sikap terhadap orang-orang yang diduga bisa menjadi intelejen, walaupun ia seorang ustadz atau teman dekat, atau bahkan teman seperjuangan. Dari peristiwa yang telah menelan korban sipil yang banyak itu, ada banyak pelajaran dan hikmah yang harus dipetik. Darsono juga tidak dapat memastikan berapa korban dari ABRI, tapi yang jelas disiarkan 2 (dua) orang yaitu Kapt Inf. Sutiman dan Kopral Satu Syahbudi yang disiarkan sedangkan yang lain tidak disiarkan, ini menciptakan Siaga I. Pembangkangan jamaah Warsidi memperoleh momentumnya karena secara kebetulan ketika itu masyara-kat Gunung Balak—yang kasusnya kebun kopinya dibakari mau diganti oleh tanaman sonokeling untuk membuat gagang senjata— bersamaan merasa telah didzalimi oleh rezim Orde Baru sehingga masyarakat Gunung Balak melawan tentara juga.

3. Fadilah alias Sugito
Fadilah alias Sugito bin Wiryopoerwito lahir pada tanggal 13 Desember 1959 di Yogyakarta, Jawa Tengah. Ia didakwa oleh Jaksa Effendi Pane, SH telah memutarbalikkan, merongrong atau menyelewengkan ideologi negara Pancasila. Merongrong kewibawaan pemerintah atau aparatur negara serta telah menyebarkan rasa permusuhan, kegelisahan dalam masyarakat. Dengan sebab itu ia dituntut hukuman mati.

Dalam vonisnya setebal 64 halaman yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum secara gamblang, menguraikan bahwa tindakan yang pernah dilakukan oleh Fadilah—baik fakta yang diperoleh selama di persidangan dari 12 orang saksi maupun keterangan yang diberikan secara langsung sebelum resmi menjadi anggota kelompok Warsidi dengan terlebih dahulu di-bai’at20 oleh Imam Warsidi—untuk memusuhi negara Republik Indonesia. Pem-bai’at-an ini sendiri amat penting, karena merupakan suatu ikatan janji setia para anggota kelompok tersebut untuk terus patuh dan menjalankan segala perintah sang Imam. Setelah menjadi anggota kelompok Warsidi, ia secara aktif mengikuti setiap pengajian yang dilangsungkan di Masjid Mujahidin di Cihideung. Serangkaian kegiatan itu merupakan manifestasi dan cita-cita anggota jama’ah untuk mendiri-kan Negara Islam yang berdasarkan Al Quran dan Hadist. Yang membe-ratkan hukuman Fadilah karena ia tidak menyesali perbuatannya, tidak mengakui Pancasila dan peraturan pemerintah. Selain itu, juga melaku-kan persiapan perang melawan pemerintah RI.

Mengenai keterlibatan Fadilah menurut Majelis Hakim, dialah yang memimpin “kelompok 12”21 yang menyerang kantor Koramil dan membakar pasar Way Jepara dalam rangka membebaskan lima peronda malam anggota jama’ah Cihideung yang ditangkap 5 Februari 1989 di markas Koramil Way Jepara. Akan tetapi tugas ini gagal dilakukan karena kesiangan, kemudian dia membawa kelompoknya ke desa Sidorejo. Melalui Benny, Fadilah mendapat perintah lagi dari Imam Warsidi untuk mengacau Sidorejo dan Bandar Lampung. Dalam rangka melakukan pengacauan ini, anggota jama’ah di Sidorejo melakukan musyawarah di Mushola Al-Barokah22 milik Zamzuri. Musyawarah ini disepakati pembentukan kelompok aksi yang kemudian dibagi dua: satu kelompok mengacau di Sidorejo sedangkan kelompok lainnya—yang di pimpin Riyanto—melakukan pengacauan di Bandar Lampung dengan melempar bom-bom molotov di markas Kodim 043 Garuda Hitam.

Terhadap putusan Majelis Hakim, Fadilah dengan tegas mengatakan “Saya hanya ta’at kepada hukum Allah. Soal hukuman yang dijatuhkan hakim, terserah”. Inilah sejatinya sikap seorang fundamentalis, begitu legowo menerima risiko apapun yang akan menimpa dirinya.

4. Marsudi
Marsudi alias Pak Su bin Martoperwiro mengakui kepada Majelis Hakim bahwa ia telah membacok Danramil Way Jepara, Mayor Inf Suti-man hingga tewas,23 sewaktu rombongan Kasdim 0411 Lampung Tengah mengunjungi Desa Cihideung, Way Jepara, Lampung Tengah.24 Marsudi diancam dengan hukuman oleh pasal 110 (1) jo 107 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 KUHP. Tentang Marsudi, Soerjadi memiliki memori sebagai berikut:25

Marsudi adalah kakak kandung Warsidi yang berwatak sangat keras, pemberani dan nekat. Ia tidak peduli atau tidak ada rasa takut kepada siapapun. Siapapun umaro tidak ditakutinya, Ketua RT, Hansip dilawan. Tak ada seorangpun di Way Jepara yang berani berurusan dengannya. Yang ditakutinya hanya Allah SWT sahaja. Bahkan jago-jago manapun tidak ingin berharap berurusan dengannya. Sering pula terlihat Marsudi cekcok dan berkelahi dengan Warsidi, adiknya sendiri. Sebuah gambaran sosiologis keluarga kelas bawah Jawa di mana ketidakharmonisan memang sering terjadi antara adik dan kakak. Marsudi seringkali ditangkap oleh pihak polisi karena tindakan-tindakan tertentu yang merugikan banyak pihak dan ia dikenakan wajib lapor. Memang Marsudi mempunyai keunikan, hidup sendiri di tengah hutan tanpa tetangga. Kalau bicara dalam keadaan marah, selalu mengungkapkan kata “tak pateni”, jika ada golok ketika ia sedang marah, seseorang bisa ditebas oleh dia.26

Mungkin masyarakat sekitar menaruh dendam terhadap Marsudi. Kepribadian unik dan ganjil Marsudi ini merupakan sikap eksklusif dan memiliki karakter tersendiri yang berbeda dengan karakter umum jamaah Warsidi lainnya. Shalat selalu disertai dengan menari-nari dan berlari-lari27 (diduga ia mempunyai kepercayaan tersendiri, yaitu aliran Lelampah). Kepribadiannya yang nekat menjadikannya sebagai seorang yang tujuan hidupnya mencari mati. Tak ada seorangpun di Way Jepara yang berani berurusan dengannya. Ia tidak peduli atau tidak ada rasa takut kepada siapapun. Kapten Sutiman sendiri ditebas dengan memakai golok oleh Marsudi. Hubungan dengan warga di sekeliling desa Cihideung pun berjalan kurang harmonis karena beberapa sikap yang tidak berkenan dari Marsudi terhadap penduduk desa sekitarnya. Ada tiga desa yang mengelilingi lokasi jama’ah Warsidi. Konflik dengan penduduk desa pernah ada, yaitu dulu pernah jama’ah Warsidi mendatangi penduduk di daerah Amir Puspamega. Peristiwa ini terjadi karena keinginan Marsudi mengambil bambu untuk membuat gubuk. Tapi dilarang oleh pihak warga desa tersebut.

Mengenai peristiwa pembacokan Kapten Inf. Sutiman, menurut Soerjadi, setelah mendengar penuturan yang disampaikan oleh Sugeng Yulianto, ia mendengar ada suara tembakan peringatan pada tanggal 6 Pebruari 1989. Tetapi santri Parjoko yang tertembak di tempat. Parjoko tertembak pahanya. Kapten Sutiman tidak menyangka ada seorang jama’ah yang kena tembak di pahanya. Kapten Sutiman yang sedang bengong dengan tembakan peringatan yang tak terduga itu, tiba-tiba terkena panah di kepala dan di dekat dadanya. Kapten Sutiman pun roboh seketika yang kemudian dikejar oleh Pak Marsudi dan membacoknya dengan badik.28 Menurut Riyanto yang seruangan dengan Marsudi dalam tahanan, Marsudi trauma dengan Yulianto yang memfitnah Marsudi sebagai PKI. Tuduhan teman terkadang lebih menyakitkan ketimbang tuduhan resmi dari pemerintah. Fitnah —meskipun fitnah yang tidak menyangkut tentang pembunuhan— di mana-mana terasa lebih kejam dari pembunuhan itu sendiri. Ia tidak mau lagi mengungkapkan apa yang terjadi. Ia mengalami tekanan yang luar biasa selama berada di dalam penjara. “Stress terus di dalam sel, kalau sholat sambil lari-lari,” kata Soerjadi.

Dari penuturan Riyanto,29 Marsudi mempunyai keanehan tersendiri. Hidup sendiri di tengah hutan tanpa tetangga. Banyak keanehan-keanehan pada diri Marsudi. Namun, oleh banyak orang, ia diyakini mampu mengobati orang gila. Pernah Marsudi berdiri di tengah-tengah tanah lapang, kemudian ia membuat gerakan tertentu yang membuat ia dihampiri dan dikelilingi beberapa ekor kerbau dan kemudian ia menggerakkan sesuatu dan kerbau itu kembali berpencar.30 Tak ada orang yang ditakuti olehnya. Sehingga, semua orang tidak mau berurusan dengan dia. Jago-jago manapun tidak ada urusan dengan dia. Yang dia cari mati dulu, bukan hidup. Beberapa orang yang ingin mengesankan tentang dirinya, seperti Riyanto, hanya dengan sebuah adagium yang populer: “Biarlah yang tua dulu mati”. Di Nusakambangan pun tidak ada yang berani dengan Marsudi. Sewaktu dia hidup bertani, orang yang tinggi besar yang pernah nyepelekannya sebagai orang yang berbadan kecil. Tidak lama kemudian orang itu dibuat nyungsep KO tidak bangun-bangun sekali kena tempeleng oleh Marsudi di Nusakambangan. Semen-tara itu, suasana sedikit agak paradoks akan ditemukan jika sedang sadar, maka kita akan menemukan segala nasehatnya akan sangat bagus.
Marsudi ternyata, menurut Riyanto, sering berkelahi dengan saudara kandungnya, Warsidi. Ia, sebagaimana halnya dengan almarhum Warsidi, adalah juga pengikut Anwar, dan pernah ditangkap karena beberapa kasus-kasus politik sehingga ia dikenakan wajib lapor. Suryadi sendiri mengambil keputusan untuk pergi dari Cihideung gara-gara terlibat konflik dengan Marsudi. Pihak aparat sipil seperti RT, Hansip tidaklah segan-segan untuk dilawan olehnya.

5. Musdi.
Musdi yang pernah dihukum kurang lebih 7 tahun adalah anak asli daerah Sidorejo. Dia lahir pada tanggal 10 November 1980 yang ketika dilahirkan daerahnya masih hutan. Masa-masa pendidikannya dilalui di Cihideung, SD-nya di madrasah Muhammadiyah Al Barokah dan menamatkan SMP-nya di Tsanawiyah. Pada waktu kejadian dia baru berumur 15 tahun dan masih duduk di kelas tiga Tsanawiyah.31 Sebelum peristiwa berdarah, dia pernah ditempa aqidah dan pengetahuan agama lainnya dalam kelompok pengajian Warsidi selama dua bulan. Yang pertama membinanya adalah Kardi, kemudian Herdiawan, dr. Murdia-wan, Mursyid, Abdullah Abdurrahman, dan terakhir Ir. Usman.32 Karena rutinitasnya di pengajian itu pada akhirnya sekolah di Tsanawiyahnya jadi terbengkalai, selanjutnya dia dikeluarkan karena sering tidak masuk sekolah dan lebih sering mengikuti pengajian di Cihideung.

Sebelum tanggal 6 Februari 1989—ketika lima orang kelompok pengajian Anwar ditangkap Koramil—Musdi langsung dibawa ke Koramil. Tanpa proses apa-apa langsung saja dia digebuki oleh anggota Koramil, setelah itu dia dikirim ke Kodim Metro Bandar Lampung. Begitupun ketika berada di Kodim, dia mendapat perlakuan yang tidak wajar, yaitu disiksa tanpa diproses hukum terlebih dahulu. Mungkin, karena usianya yang masih sangat muda, maka akan sulit didelik dengan menggunakan KUHP, maka jalan satu-satunya disiksa tanpa proses hukum. Siksaan demi siksaan diterimanya, dari ujung kaki sampai ujung kepala dipukuli sampai babak belur tanpa rasa kemanusiaan sedikitpun, kemudian dimasukkan ke dalam sel yang luasnya hanya satu meter. Padahal, menurut pengakuannya sendiri, dirinya tidak tahu menahu terjadinya peristiwa Talangsari itu. Ia adalah korban tindakan oknum yang berusaha menunjukkan prestasi di hadapan pimpinan. Dan, setelah diketahui oleh Danrem 043 Gatam, ia dilepas.

Perlakuan serupa terus berlanjut ketika berada di ruang tahanan, sampai hendak wudlu pun dilarangnya. Tentu saja membuat dirinya tidak berdaya lagi menghadapi penyiksaan yang begitu kejam dan kejinya. Bahkan sudah berada di LP pun sama saja nasibnya, yaitu menerima hukuman-hukuman yang kelewat batas. Musdi dipaksa harus mengakui bahwa kelompok pengajian yang diikutinya itu sesat. Tuduhan aneh lainnya adalah tentang cara jamaah Warsidi melakukan shalat telanjang bulat. Pengakuan lainnya yang harus dilakukannya di bawah paksaaan militer adalah: jika anggota jamaah punya istri bisa digilir sesama jama’ah lainnya. Sesuatu yang tidak pernah ada ini harus diakuinya, walaupun Musdi sendiri mengetahuinya bahwa perbuatan terlarang seperti itu tidak pernah dilakukan dalam kelompok pengajian Warsidi.

Sebagaimana yang dirasakan oleh orang-orang setelah keluar dari penjara, Musdi pun merasakannya. Ketika orangtuanya menyuruh untuk menamatkan sekolahnya, dia tidak bisa melanjutkan studinya. Cemoohan dan ejekan yang selalu dilontarkan masyarakat ketika bertemu membuat dirinya tidak tahan juga. Siksaan psiko-sosial dari peristiwa Talangsari ini begitu dahsyatnya. Hari-hari selanjutnya menjadi kelam entah apa yang harus diperbuatnya. Belum lagi tugas apel tiap minggu yang mesti dijalankannya di kantor Koramil dan Korem. Karena letak kedua instansi itu yang amat jauh membuat dirinya semakin menderita. Protes yang diajukan kepada aparat pada akhirnya meringankan tugas apelnya. “Sekarang tidak jauh lagi, mas.”33

Dari cerita Musdi membuat diri kita mempunyai beberapa gambaran tentang kekejaman penguasa dan penderitaan rakyat yang tak berdosa. Fakta menunjukkan bahwa dalam operasi militer tersebut telah terjadi tindakan represif dan kekerasan militer yang tidak menghormati hak-hak rakyat di sekitar lokasi. Banyak rakyat yang menjadi korban tidak hanya rakyat yang ada dilokasi pengajian Warsidi tetapi juga rakyat yang ada di sekitar lokasi yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan kelompok pengajian Warsidi baik secara langsung ataupun tidak langsung.34
Bentuk represi dan kekerasan militer yang dialami rakyat korban berupa penangkapan dan penahanan—seperti Musdi yang dicurigai sebagai anggota pengajian tanpa proses hukum—intimidasi paska pem-bantaian dan stigmatisasi melalui penyebutan GPK Warsidi yang seolah-olah menunjukkan bahwa mereka adalah kelompok pemberontak yang akan melakukan penggulingan terhadap pemerintahan dan akan membentuk negara sendiri.35

6. Nur Hidayat
Nur Hidayat Assegaf lahir di Kuningan Cirebon Jawa Barat tanggal 26 Maret 1959. Nurhidayat yang dikenal sebagai pimpinan (amir musyafir) Front Komando Mujahidin (FKM) dalam peristiwa Talangsari ini. Dulu ia pernah bekerja pada kantor Bea dan Cukai di Riau. Ia berhenti kerja dan kembali ke Jakarta. Selama menganggur ia aktif dalam kegiatan di suatu LSM, dan sambil memperdalam pemahaman keislaman, ia kemudi-an mengikuti jamaah pengajian yang mengarah pada upaya hijrah ke Lampung. Pada tahun 1983 Nurhidayat diangkat sebagai Panglima Selatan.
Dalam sidang lanjutan perkara subversi yang dipimpin Majelis Hakim yang diketuai Yoesoef SH saksi Nurhidayat —yang juga terdakwa pada sidang lainnya ini— menegaskan “jangankan orang lain keluarga sendiri sekalipun akan dibunuhnya jika menentang rencananya.”36 Nurhidayat —yang juga dikenal sebagai karateka nasional ini— dalam keterangannya menguraikan penggunaan senjata panah yang dibuat sebagai persiapan mengadakan aksi keonaran dan pembakaran di pusat-pusat dan pompa bensin di Jakarta. Kebanyakan aktivis muslim pada masa itu, mereka selalu menerjemahkan makna jihad dengan tindakan-tindakan kekerasan yang seringkali berbentuk kriminal. Padahal tindakan kriminal bertenta-ngan dengan semangat Piagam Madinah bagian 13 yang pernah diterap-kan Nabi Muhammad SAW.

Ia juga menguraikan sekitar rencananya membajak pesawat terbang, pembunuhan terhadap dua tokoh Islam yakni Kiyai Haji Hasan Basri (Ketua MUI) dan Haji Jeilani Naro (ketua umum PPP). Ia juga mcnjelaskan peranan “kelompok 4” yang terdiri dari Fauzi Isman, Sudarsono, Wahidin dan Nur Hidayat sendiri.

Khusus mengenai pembunuhan dua tokoh Islam tadi menurut Nur Hidayat baru sampai pada tahap kasak-kusuk sesama jema’ah pada setiap pertemuan yang diadakan di Jakarta—setelah peristiwa GPK Warsidi di Lampung meledak tanggal 6 Februari 1989. Menurut pendapat Nurhida-yat, peraturan yang diberlakukan pemerintah Republik Indonesia seka-rang adalah pembuatan manusia yang bertentangan dengan perintah Allah dalam Al Quran. Dalam Al Quran, yang berhak mengatur bumi dan langit adalah Allah. Oleh sebab itu, “Saya tidak mentaati peraturan yang dibuat manusia yang penuh dengan kedzoliman.” Sebu-ah sikap konsisten yang sangat radikal. “Untuk itulah,” kata “Nurhidayat ia bermaksud mendirikan Negara Islam sekaligus berniat memisahkan diri dari Republik Indonesia tanpa merasa takut akan konsekwensinya.” Pergulatan Islam dan negara memang tidak pernah pupus di tangan-tangan para pejuang seperti ini. “Selama tidak dibenci dan tidak menen-tang Allah saya tidak takut kcpada siapapun,” demikian Media Indonesia mengutip keterangan Nur Hidayat ketika duduk di kursi terdakwa di pengadilan Jakarta.

Mengenai rencana yang akhirnya berbuah kegagalan untuk memba-jak pesawat terbang, Nurhidayat mengatakan ketika tantangan itu disampaikan kepada jama’ahnya ternyata ditolak dengan alasan tidak ada yang bisa berbahasa Inggris. Ternyata, menguasai “bahas kafir” ada-lah syarat yang juga penting untuk melaksanakan tugas-tugas seorang fundamentalis. “Meski bisa berbahasa Inggris belum tentu bisa dilakukan kerena kami tidak mempunyai duit untuk biaya,” lanjut Nurhidayat lagi.37 Persoalan finansial umat Islam dalam dunia pergerakan hampir sama tuanya dengan persoalan kemiskinan rakyat secara umum.

Ia juga pernah ke Lampung untuk mengecek keadaan perkampu-ngan Islam Warsidi itu, tetapi saat itu ia tidak bisa masuk karena diblokir pihak keamanan.38 Dalam program jangka pendek kelompok Front Komando Mujahidin disebutkan bahwa mereka akan membentuk Islamic village atau base camp. Program tersebut berupa pendirian perkampu-ngan Islam dengan hukum di mana diberlakukannya hukum Islam secara kaffah. Terkadang, semangat melaksanakan hukum Islam —yang oleh sebagian orang masih terkesan mengerikan dan menakutkan—adalah semangat yang luar-biasa. Bahkan sering tergambar tentang hukum potong-tangan sebagai satu-satunya hukum dasar dalam Islam. Padahal, meskipun hukum ini disyari’atkan dalam Al Qur’an, hukum potong tangan ini tidak pernah dilaksanakan oleh Rasulullah Muhammad SAW.39

Menurut pendapat Nurhidayat, peraturan yang diberlakukan peme-rintah sekarang adalah pembuatan manusia yang bertentangan dengan perintah Allah dalam Quran. Dalam Al Quran kata saksi yang berhak mengatur bumi dan langit adalah Allah. Oleh sebab itu saya tidak mentaati peraturan yang dibuat manusia yang penuh dengan kedzoliman. Untuk itulah menurut keyakinannya bahwa dirinya bermaksud mendirikan Negara Islam Indonesia sekaligus berniat memisahkan diri dari Republik Indonesia tanpa merasa takut akan konsekwensinya. “Selama tidak dibenci dan tidak menentang Allah saya tidak takut kepada siapapun.”

7. Sugeng Yulianto.
Sugeng Yulianto alias Sugiman Yulianto bin Marto Djoyo lahir di Solo pada tahun 1959. Sugeng Yulianto —yang dalam sidang pernah meminta kepada majelis Hakim menghukum Jaksa Penuntut Umum karena telah memfitnah dirinya— adalah seorang patriot sejati. Menurut-nya, ia dituduh menjadi anggota jama’ah Mujahidin Fi Sabilillah, padahal dirinya datang ke Lampung karena dibujuk Soleh untuk tinggal di sana dengan alasan bahwa di Lampung gampang cari nafkah. Di samping itu, bisa menjalankan ajaran Islam dengan sebenarnya.40

Dalam kertas tanggapannya yang ditulis sendiri, Sugeng Yulianto —yang didampingi Tim Penasehat Hukum yang hebat dari LBH Lam-pung— juga mengkritik pembelanya dan majelis yang mangadilinya. Ia menyebutkan, tim penasehat hukumnya telah bertindak terlalu jauh dengan menambah keterangan saksi-saksi yang tidak relevan dengan perbuatan yang dilakukan Sugeng Yulianto, pada pledoi Tim Penasehat hukumnya dalam sidang terdahulu. Sedangkan tentang Majelis, Sugeng menilai waktu yang dipergunakan majelis terlalu sedikit, sehingga fakta keterlibatan dalam anggota jama’ah belum jelas.

Sugeng Yulianto, warga asal Solo, Jawa Tengah di persidangan yang dipimpin Majelis Hakim diketuai M. Rifai, SH mengungkapkan bahwa dia datang ke Sidorejo karena bujukan temannya. Dan mengenai keterli-batannya dengan orang-orang yang melakukan huru-hara di Tanjung karang karena dipaksa oleh kelompok Warsidi itu, sebab bila tidak mau dirinya akan dibunuh. Di pihak lain Tim Penasehat Hukum Sugeng menilai, tuntutan Jaksa Penuntut Umum terlalu memaksakan diri agar Sugeng Yulianto dihukum berat. Padahal keterangan para saksi yang telah diajukan di persidangan, intinya ternyata mereka tidak ada yang mengenal Sugeng Yulianto secara pasti, dan tidak ada satupun yang mengetahui Sugeng Yulianto anggota jama’ah atau bukan. Oleh sebab itu, Tim Penasehat Hukum Sugeng Yulianto memohon kepada Majelis sebelum memutuskan perkara dapat mempertimbangkan dengan mata-ng dan seksama, sehingga hukuman buat Sugeng Yulianto benar-benar adil.
Menurut mereka, “apakah perbuatan Sugeng Yulianto benar-benar merugikan kepentingan negara, sehingga perlu adanya hukuman berat bagi Sugeng Yulianto, dengan demikian Sugeng Yulianto tidak ada kesempatan mendidik dirinya atau menyesali perbuatannya”. Dalam kasus persidangan itu Sugeng Yulianto dituntut dengan hukuman penjara seumur hidup.

8. Zamzuri
Zamzuri adalah profil seorang pejuang Islam sejati. Zamzuri lahir di Gunung Kidul, Yogyakarta pada tahun 1942. Meskipun riwayat pendidi-kannya sangat sederhana, ia adalah seorang yang sangat antusias menuntut ilmu. Ia menjalani Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ibtidai-yah sekaligus di Solo dan menamatkannya pada tahun 1951. Sekolah Menengah Pertama Al Islam dijalaninya hingga kelas 2 karena pada tahun 1962 ia telah mengalami sebuah dampak besar dari krisis ekonomi masa Soekarno. Maka, pada tahun 1963, ia mengambil sebuah kebijakan penting, sebuah keputusan yang mengubah hidupnya hingga kini: ia hijrah ke Lampung. Dialah generasi pertama yang mendiami wilayah Way Jepara di Sidoredjo dengan membuka lahan baru sebagai wilayah harapan baru setelah Jawa mengalami proses involusi pertanian yang berkepanjangan.

Zamzuri adalah seorang tokoh dengan karakter Islam yang kuat. Penampilannya begitu menyejukkan hati, penyabar dan murah senyum. Tidak ada sedikitpun sikap kasar dalam dirinya. Ia, setelah menjalani hukuman di pulau Nusa Kambangan, tampil sebagai seorang sufi sejati dengan konsep-konsep Negara Madinah yang historik serta kental dalam dirinya. Segera setelah perpindahannya ke Lampung, pada tahun 1964, ia mengaji pada seorang ustadz, As Mu’in namanya. Ustadz As Mu’in inilah yang memberikan banyak fundamen dasar penting bagi keberis-laman Zamzuri. Ustadz As Mu’in adalah seorang ustadz yang berani merambah daerah-daerah baru untuk memastikan ada nur Ilahi di tanah tersebut. Namun, yang kemudian menyedihkan hati Zamzuri adalah ia harus menerima sebuah kenyataan pahit: ustadz As Mu’in dibunuh oleh orang Lampung karena kasus agraria. Untuk menutupi kesedihannya, ia menikah pada bulan Juni 1964 dengan seorang gadis bernama Sugirah, tempat ia bisa membenamkan segala persoalannya dan bersama istrinya inilah ia mengarungi lautan belantara kehidupan yang keras di daerah baru itu.

Konflik agraria adalah konflik permanen di Lampung. Hukum negara ini belum begitu mampu menyelesaikannya secara komprehensif sehingga jumlah korban berjatuhan seperti belalang yang disemprot. Maka, pada tahun 1969, ia mengambil sebuah keputusan penting lainnya dalam hidupnya: ia pindah ke Sidoredjo. Ia membuka lahan yang masih hutan belantara di sana. Namun, ternyata usaha ini mengakibatkan pihak Peseka (sebutan untuk Polisi Kehutanan) berang. Pada tahun 1972 semua para pembuka lahan baru diusir oleh Peseka dan rumah-rumah mereka dibakar. Sebuah kebiadaban dan kekerasan negara berjalan dengan senyap di tengah belantara Sidoredjo tersebut. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang peduli, bahkan hingga kini. Kisah tragis ini merupakan sebuah voice of the silence untuk diceritakan olehnya. Semua pembuka lahan, penerobos jalan baru bagi sebuah peradaban Sidoredjo, merasa sangat marah. Maka, pada tahun 1972, seorang polisi kehutanan berpangkat pager praja dibunuh dalam sebuah keroyokan massa. Sejarah hidupnya begitu panjang yang sebagiannya menggambarkan kemuraman sejarah Lampung yang lebih panjang dari usianya.

Dengan masa lalu yang demikian, maka dirinya terbentuk menjadi seorang muslim yang ta’at serta berkarakter teduh. Namun, untuk mem-bela agama, apapun akan dilakukannya sehingga ia sendiri seperti terbawa dan larut dalam semangat zaman yang buram di masa lalu. Ia terlibat dengan kasus Lampung di dalam setting Sidoredjo di mana ia menebas batang leher Serma Sudargo hingga nyaris putus. Lihatlah bagaimana sikap hidupnya ini kemudian harus merespon pengadilan. Seusai mende-ngar tuntutan jaksa penuntut umum Zainuddin K, SH yang tetap menun-tutnya hukuman seumur hidup, Zamzuri bertanya: “apakah hukuman yang dijatuhkan kepada saya ini, karena saya salah terhadap hukum Islam atau hukum negara. Kalau saya salah dari hukum Allah, saya serahkan kepada Allah. Tetapi kalau salah dari hukum negara, saya terima semua itu, silahkan!” ujarnya dengan suara agak menantang.41 Orang-orang kecil terkadang kehilangan bahasa untuk mengungkapkan penderi-taan yang ditimpakan atasnya oleh institusi negara yang sangat berkuasa ini. Hanya dengan suara yang menantang sajalah ia bisa menghadirkan eksistensi dirinya yang kecil di hadapan negara yang besar.

Mendengarkan pertanyaan Zamzuri seperti itu, jaksa penuntut umum mengatakan, bahwa kesalahan Zamzuri adalah melanggar hu-kum negara, dengan kedok untuk menegakkan hukum agama di muka bumi. Atas jawaban jaksa tadi, Zamzuri lantas menyahut, “Ya, sudah, kalau begitu sudah jelas bagi saya. Kalau begitu silahkan, saya terima,” kata Zamzuri yang tetap pada pendiriannya semula, tanpa merasa gentar, takut atau merasa keberatan atas tuntutan jaksa.
Itulah sekelumit kisah dalam persidangan Zamzuri, Majelis Hakim Pengadilan negeri Kelas I Tanjungkarang dalam putusannya menjatuhi hukuman penjara seumur hidup kepada Zamzuri bin Muhcroji berusia 46 tahun, karena terbukti sah dan meyakinkan melanggar UU No. 11/PNPS1963. 42
Cukup pahit memang hasil keputusan Hakim tersebut. Tapi bagi Zamzuri sendiri dia tidak merasa berkeberatan, karena apa yang diper-buatnya dengan kelompok Warsidi merupakan perintah Allah yang harus dijalankan. Walaupun mungkin pada kenyataannya bertentangan de-ngan hukum negara. Menurut keyakinannya, “lebih takut kepada Allah ketimbang mengikuti hukum-hukum yang dibuat oleh manusia.” Dan setelah keputusan itu, hari demi hari hidup Zamzuri dilaluinya dalam tahanan.
Jauh sebelum meletusnya peristiwa di desa Sidorejo, Zamzuri tercatat di desanya sebagai salah satu penduduk yang berekonomi kuat. Ia mempu-nyai puluhan ekor sapi dan puluhan hektar lahan perkebunan. Zamzuri mempunyai seorang isteri dan lima orang anak.43 Di akhir tahun 1988, baik siang maupun malam hari, rumah Zamzuri selalu ramai dikunjungi orang. Karena sebab itu pula masyarakat setempat merasa curiga.

Sebenarnya, ketika peristiwa berdarah itu terjadi, Zamzuri tidak ada di tempat kejadian. Karena merasa penasaran, ditanyakan kepada tetang-ganya. Tapi, dari sikap mereka menandakan bahwa mereka sudah menu-tup diri. Menurut Zamzuri, “penduduk di sekitar rumah saya sudah tutup pintu, mereka cuma mengintip-ngintip saja. Ketika berpapasan mereka menjawab tidak tahu.”44
Menurut penuturan Zamzuri berdasarkan informasi yang didapat dari kawan-kawannya di sana, bahwa sebelum meletusnya kejadian, sebenarnya tidak ada tantangan dari masyarakat mengenai pendirian pesantren di sana. Namun setelah mereka mendapatkan isu dari pemerin-tah, bahwa jama’ah itu sesat, PKI, pemberontak. Karena memang pendu-duk Talangsari itu dari awalnya tidak mengerti apa-apa, maka diterima-nya informasi itu secara mentah-mentah.45 Rekayasa yang digalang oleh aparat itu pada akhirnya menjebak penduduk setempat untuk sama-sama menghantam habis kelompok Warsidi. Termasuk dalam rangkaian peristiwa itu, yang pada akhirnya menimpa pada Zamzuri. Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim bahwa perbuatan Zamzuri dinilai berba-haya terhadap ketentuan atau hukum negara dan pemerintah yang bagai-manapun tujuannya menegakkan, pelaksanaan niat jahat, merongrong ideologi dan kekuasaan negara.

Zamzuri bersama anggota jama’ah lainnya telah menyiapkan tempat-tempat bagi anggota sesama jama’ah, mengumpulkan dana dan turut bersiap siaga membuat keonaran di Sidorejo, dan ikut dalam pembunuhan Kades Sidorejo, Arifin Santoso dan anggota Polisi Sidorejo, Serma Sudargo selaku Ka Polpos Jaga di Sidorejo.

Menurut keputusan hakim, “Perbuatan Zamzuri merupakan mani-festasi pandangan hidup, ideologi dan cita-cita perjuangan jama’ah. Ini merupakan pelaksanaan dari cita-cita perjuangan jama’ah dan merupa-kan pelaksanaan dari cita politik, menegakkan berdirinya Negara Islam di Indonesia sekaligus menyebarkan syariat Islam.”

Setelah sepuluh tahun lebih mengalami hidup dalam penderitaan di penjara, kini Zamzuri bisa merasakan kembali kehidupan normal. Namun amat disayangkan, ternyata penduduk setempat masih trauma dengan kejadian masa silamnya. Zamzuri tidak bisa berkomunikasi dengan pen-duduk, karena setiap kali berhubungan dengannya sudah tidak boleh. Jadi, kini, dalam kesehariannya dia hanya bisa nongkrong di rumahnya saja. Tetapi, untunglah isteri tercinta masih bisa membantunya. Kalau ada tamu mencari ke sini dicurigai, Zamzuri sendiri bila merasakan hal yang demikian terbayang seperti masa-masa di penjara, bahkan kejadian yang dialaminya sekarang lebih membuatnya menderita. Menurut Zam-zuri, “Ya, rata-rata masyarakat itu heran saja, kalau mau ditanya sering nutup-nutup terus. Ada yang ditanya, tapi tidak mau membuka padahal mereka saksi. Mungkin sudah diintruksikan oleh Lurah Amir Puspa Mega dan oleh Tentara-tentara itu”. Namun, dalam percakapan terakhir dengan penulis, ia menyatakan bahwa Peristiwa Talangsari dan Sidoredjo tahun 1989 bukanlah kesalahan Hendro Prijono. Hendro Prijono, menurutnya, tertawan oleh situasi yang mengharuskan ia menjalankan tugasnya secara normatif TNI. Yang salah adalah para pengambil kebijakan di tingkat Pusat seperti Pangdam dan Menko Polkam serta Kopkamtib. Dan, di atas semua itu adalah Soeharto. Maka, ia pun tidak pernah menaruh sikap dendam terhadap Hendro Priyono pada saat orang-orang lain meng-gunakan kesempatan masa reformasi sekarang ini untuk menggugat dan meneror mental atas nama pelanggaran HAM. Bagi Zamzuri, orang-orang Islam tidak pernah menuntut HAM, karena tindakan di masa lalu adalah untuk perubahan di masa sekarang dan yang akan datang. Biar Allah sajalah yang akan membayarnya dengan surga-surga yang telah dijanjikan-Nya.


Bab 11-1 Tokoh Peristiwa Lampung berdarah 1989 - Tokoh-Tokoh Utama (2)
Bab 11 TOKOH PERISTIWA DAN PARA KORBAN MUSIBAH POLITIK LAMPUNG BERDARAH, 1989

9. Zainal Arifin bin M. Amin
Zainal Arifin bin M Amin, lahir di desa Way Hano Teluk betung tahun 1936. Dalam dakwaannya Zainal dituduh sebagai salah seorang peren-cana —sekaligus sebagai “gubernur bayangan”— untuk mendirikan Negara Islam di Propinsi Lampung.46 Jaksa Penuntut Umum J. Subiyanto dalam dakwaan mengatakan bahwa Zainal bersama-sama rekannya antara lain Farid Ghozali dan Abdul Kodir Baroja, mulai merintis kegiatan da’wah di bawah tanah guna mendirikan Negara Islam sejak tahun 1974, sebagai kelanjutan dari rencana Kartosoewirjo yang memproklamasikan NII tanggal 7 Agustus 1949.47

Ketiga orang ini selama empat tahun (1974-1978) mencoba mencari kekuatan atau pengikut dari kegiatan terlarang tersebut. Waktu itu, Abdul Kodir Baroja ditunjuk sebagai Ketua NII Lampung, wakil ketuanya Farid Ghozali, sedangkah Zainal Arifin diangkat menjadi sekretaris. Di samping itu, Zainal juga pernah menjabat sebagai ketua Jama’ah Islamiah Teluk-betung antara tahun 1976-1977. Menurut Jaksa Penuntut Umum, Zainal aktif melakukan pertemuan di pantai Suka Maju Teluk betung Barat dengan rekan-rekan seperjuangannya, diataranya adalah Slamet asal Jawa Tengah. Badran Hindarto asal Palembang. Di mana setiap kali bertemu, Zainal selalu menambah keyakinan rekan-rekannya agar terus berjuang. Tempat pertemuan lainnya adalah di Kali Pucung, Telukbetung Selatan.

Cara Zainal mencari massa cukup efektif, menyamar sebagai peda-gang Jahe gajah disamping itu giat melakukan ceramah. Ketika melaku-kan ceramah di Umbul Mas, Lampung Tengah, Zainal sempat bertemu dengan Warsidi bahkan sempat bermalam di kediaman Warsidi, dia sempat berkenalan dengan Purson, seorang anggota NII asal Jakarta dan kawan dekat Abdul Kodir Baroja.
Anggota jama’ah NII asal Jakarta itu, secara lisan lantas mengangkat Zainal Arifin sebagai “gubernur bayangan” di Lampung. Setelah diangkat lantas dia mengadakan pertemuan dengan sejumlah anggotanya.48 Mereka adalah Rajal, Rujito, Sai’an, Sumarno, Slamet, Warsidi, Imam Bakri serta Amir. Beberapa waktu kemudian kembali Zainal mengumpul-kan anggota jama’ahnya di Telukbetung. Pada kesempatan tersebut dia lantas mengangkat Sai’an selaku “Bupati Lampung Tengah”. Sumarno sebagai Wakil “Bupati Lampung Tengah”. Amir sebagai “Camat Bandar Agung”. Warsidi sebagai “Camat Way Jepara.49 Slamet sebagai Juru Da’wah, sedangkan Rajal, Imam Bakri dan Rujito diangkat sebagai anggota.
Namun, yang menarik dari kasus ini, ternyata Warsidi tidak puas sebagai Camat NII Way Jepara. Ia ingin menjadi “Imam” Lampung. Kare-nanya setelah terpengaruh oleh “orang Jakarta”, ia lalu berpaling dari Zainal Arifin dan ber-bai’at kepada Nur Hidayat.

10. Riyanto
Riyanto lahir pada tahun 1954. Menurut penuturan yang disampaikan oleh Riyanto (46 th), di Jakarta pada tahun 1988 seorang bernama Aminuddin datang bertemu dengan salah seorang jamaah Nurhidayat. Aminuddin bercerita bahwa di Lampung ada sekelompok jamaah ditemu-inya, jamaah itu dipimpin oleh seorang bernama Warsidi. Tertarik dengan cerita yang dituturkan oleh Aminuddin, tak lama kemudian dari Jakarta mengirim utusan ke Lampung. Pertemuan dengan Aminuddin memang belum lama terjadi.
Riyanto yang mendengar penuturan Aminuddin itu sedikit ragu akan kebenaran informasi itu, maka atas inisiatif sendiri ia mengecek kebenaran cerita tersebut dengan berangkat ke Lampung. Benar bahwa ada jama’ah di Lampung. Riyanto bertemu langsung dan berbincang-bincang dengan Warsidi. Setelah itu Riyanto balik lagi ke Jakarta.
Di Jakarta, Riyanto bertemu kembali dengan Nurhidayat yang sejak awal tahun 80-an sudah dikenalnya. Mengingat Nurhidayat mempunyai sebuah rencana tentang Lampung, Riyanto kemudian berbaiat kepada Nurhidayat, dan sekaligus Nurhidayat mengajak Riyanto untuk hijrah ke sana, tetapi Riyanto belum mau, karena belum ada bekal yang cukup untuk menetap di sana beserta keluarganya ke Lampung.

Di tengah perjalanan hendak mengunjungi kakak iparnya, Riyanto bertemu (alm.) Alex yang berniat hijrah beserta keluarganya. Alex minta tolong kepada Riyanto untuk berangkat ke sana. Segala ongkos ditang-gung Alex. Riyanto menyetujui dengan niatan menolong membantu keluarga dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil sebanyak tiga orang pindah ke Lampung. Tanggal 28 Januari 1989 berangkat ke lampung tanpa bekal cukup. Setibanya di Lampung, Riyanto ingin pulang ke Jakarta, tapi tidak punya ongkos. Hingga meletus peristiwa tersebut. Mau keluar dari Cihideung tidak bisa, karena peraturan yang keras dari Warsidi. Pernah salah seorang, gara-gara membantah perintah Si Dullah yang menjadi panglima siaga satu, menugaskannya. Ia tidak mau. Langsung oleh Warsidi ditodong pakai keris. Semua menjadi takut keluar dari jemaah pada waktu itu.
Menurut Riyanto, mulai terjadi konflik ceritanya berawal setelah adanya kecurigaan Sukidi (Kepala Dusun Talangsari III) memberikan laporan kepada Amir Puspamega (Kepala Desa) dan kemudian naik ke kecamatan bahwa ada banyak pendatang asing di tempat Warsidi yang tidak laporkan keberadaannya dalam jumlah yang sangat banyak. Waktu itu memang banyak pendatang baru berkumpul di tempat Warsidi yang luas tanahnya cuma 1,5 hektar persegi. tapi belum ada acara pengajian. Juga belum ada kurikulum.

Gubuk-gubuk penampungan jamaah Warsidi yang Riyanto ingat terdiri dari. Rumahnya Pak Iman dan anak istrinya. Gubuk keluarga Marjuki, gubuk keluarga Jayus, gubuk keluarga Marsudi, gubuk keluarga Warsidi, gubuk keluarga Umar, gubuk keluarga Imam, 8 (delapan) gubuk baru penampungan rombongan Jakarta di dalam, kalau di gubuk Pak Warsidi ada 2 (dua) tingkat ada beberapa keluarga.
Tidak lama setelah adanya penangkapan kelima orang jamaah Warsidi, siatuasi menjadi sangat memuncak. Menurut Riyanto, seminggu sebelumnya memang Warsidi telah mempersiap siagakan jamaahnya untuk mengantisipasi kemungkinan buruk terhadap kedatangan pihak aparat. “Siaga satu” kata mereka. Ia telah memberikan beberapa koman-do khusus kepada beberapa kelompok jamaahnya, setelah mendapatkan kabar lima orang jamaahnya ditahan di Kodim.
Bersama Fadillah alias Sugito, Riyanto adalah pemimpin tim yang merampas mobil Colt angkutan umum dan membunuh penumpangnya, Agus Santoso, membunuh Pratu Budi Waluyo dan melukai sopir serta kernetnya di simpang tiga Sri Bawono pada 6 Pebruari 1989. Timnya juga melempar bom molotov ke kantor Harian Lampung Post di Bandar Lampung, namun tidak meledak.

11. Fauzi Isman
Fauzi bin Isman kelahiran Lampung, 27 Februari 1967, namun ia bukanlah orang asli suku Lampung. Ia adalah orang Jawa tulen. Sejak menamatkan pendidikan SMA nya, ia pindah untuk melanjutkan pendidikan formal aliyah dan pesantren di Jombang yang ditamatkannya tahun 1985 dan kuliah di STIS Jakarta hingga selesai tahun 1988.51
Menurut Fauzi bahwa terdapat kondisi khusus yang ikut melatar-belakangi terbentuknya jama’ah di Cihideung. Kondisi khusus yang dimaksud Fauzi Isman adalah kondisi politik ummat Islam di Indonesia yang ditandai dengan terpecahnya berbagai kekuatan Islam non-parlementer menjadi kelompok-kelompok kecil yang satu sama lain saling cakar-mencakar. Kondisi keterpecahan inilah yang sesungguhnya melatarbelakangi semangat untuk menyatupadukan kekuatan-kekuatan umat Islam yang dimulai di Cihideung ini. Keprihatinan kepada nasib persatuan umat Islam yang terkoyak-koyak inilah yang kemudian meng-hantarkan para tokoh Peristiwa Talangsari ini untuk berbuat sesuatu. Menurut Fauzi Isman, ada beberapa permasalahan yang menyebabkan timbulnya perpecahan di kalangan kekuatan Islam non-parlemen pasca Darul Islam. Perpecahan yang sebenarnya tidak perlu timbul, kalau saja kejumudan dan kepicikan pemahaman Islam dan pengalamannya tidak terjadi. Di antara permasalah tersebut, pertama adalah tentang Imamah, kaitannya dengan persoalan ini menyangkut tentang siapa yang paling berhak menjadi imamah.52 Kedua, tentang masalah jama’ah, dalam masa-lah ini berkaitan tentang manakah yang paling benar sesuai dengan Al Quran dan Sunnah Rasul. Ketiga, tentang masalah mujahadah. Menyang-kut permasalahan kesungguhan dalam berjuang menegakkan hukum Allah. Ketiga permasalahan tersebut yaitu imamah, jama’ah dan mujahidah yang berkaitan langsung dengan pembinaan jama’ah, telah membelenggu para aktifis Islam selama lebih kurang 27 tahun dalam permasalahan menyusun shaf.

Berangkat dari kondisi ini, tumbuh upaya-upaya membentuk jama’ah baru yang lebih segar dan bersemangat. Kebetulan pula Fauzi bertemu Nur Hidayat dan Sudarsono yang masing-masing mempunyai pendapat yang hampir sama sehingga mereka bergabung. Meskipun berlatar-belakang mazhab dan aliran keagamaan yang berbeda, mereka saling bertukar gagasan, serta bermusyawarah untuk mencari jalan keluar, memikirkan kondisi ummat Islam yang berada di tengah stagnasinya peran kalangan aktivis muslim non-parlementer di tengah percaturan masyarakat bangsa di Indonesia. Maka diadakan berbagai pertemuan untuk menindaklajuti keseriusan perhatian mereka dengan aksi. Pertemuan-pertemuan rutin diadakan di sebuah rumah kontrakan milik Sudarsono di Prumpung Jakarta, mereka berhasil mematangkan gagasan sederhana yakni keinginan membentuk suatu jamaah yang independen. Sekaligus juga dapat menampung seluruh kalangan kelompok jama’ah yang ada. Mereka ingin membangun suatu jamaah dengan mengumpul-kan orang-orang yang satu fikrah. Dengan demikian maka seluruh kekuatan kaum muslimim non parlementer dapat disatukan. Dan untuk selanjutnya, adalah usaha untuk mempersatukan kekuatan kaum muslimin yang ada di Indonesia menjadi lebih mudah.

Dari pertemuan di Cibinong, mereka mengambil kesepakatan bulat, yakni ingin mewujudkan sebuah perkampungan Islami (Islamic village) di Lampung bagi kaum muslimin. Dengan demikian kaum muslimin dapat menerapkan aturan-aturan hidup Islami di tengah-tengah masyara-katnya sendiri secara kaffah. Dan bagi kaum muslimin lain yang ingin menetap di tempat baru itu dapat ber-hijrah ke sana. Ir Usman mengatakan bahwa hijrah itu tidak sama dengan konsep transmigrasi bukan hanya sekedar pindah dari tempat yang padat ke tempat yang jarang penduduknya—yang menimbulkan kesan ekonomistik dan materialistik semata. Tentang penawaran konsep Islamic village ini, banyak yang setuju dan banyak pula yang tidak setuju. Itu dibuktikan dengan adanya bergabung dan yang ragu-ragu serta ada juga yang menolak, disebabkan trauma politik peristiwa Tanjung Priok dan Usrah yang masih baru terjadi. Walau semua kelompok jamaah yang punya fikrah dan cita-cita yang sama.

Hampir pada waktu itu karena pandangan yang ekstrim, kelompok yang kemudian dikenal dengan jamaah Warsidi itu dikenal di antara kelompok ekstrim dan memang doktrin pada waktu itu adalah qital, perang. Kalau perang, sebenarnya segala resiko perang harus diterima. Setelah dari Cibinong itu kemudian harus disosialisasikan ke seluruh Indonesia, Fauzi diutus ke Lombok dan Bima, Darsono ke Kalimantan dan Surabaya, Pak Ridwan ke Sumatra sampai ke Medan sampai ketemu Timsar Jubil. Memang sambutan-sambutan beragam dan akan mengadakan pertemuan yang berskala nasional dipusatkan di Lampung pada tanggal 28 Febuari 1989. Namun sayang, tanggal 7 Februari itu terjadinya peristiwa Lampung, sehingga Fauzi Isman tidak tahu sampainya ke aparat tanggal 7 Febuari kita ingin melakukan hal-hal bagaimana tapi sebenarnya kita mau mengadakan Musyawarah serta pembentukan Imamah, karena pada waktu itu kan keimamahan jamaah itu terpencar-pencar bahkan kita menghubungi orang-orang DI yang tua-tua terpecah belah, kita mencoba menyatukan.
Sebetulnya secara garis besarnya sama yang kita ketahui. DI pasca Imam SMK itu mempunyai banyak perbedaan karena orang tua yang dianggap sebagai pimpinan ada yang ambisi mengklaim sebagai Imam yang sah yang lain tidak dan sebagainya, ya perbedaan hanya dari jalur itu.

Tadinya binaan dari kelompok Darul Islam, assyahid Abdulah Sungkar tapi kita semua kemudian mengkritik Abdulah Sungkar, itu sendiri sema-cam koreksi karena waktu itu kelompok Usrah begitu keras dan anti institusi dan kehidupan sosial.53 Jadi orang itu merasa ketakutan orang itu pengajiannya sembunyi-sembunyi, mestinya harus dibedakan antara dakwah dan harokah kalau dakwah itu harus terbuka kalau perlu orang yang tidak satu harakah dengan kita diajak, Harokah baru diam diam sembunyi-sembunyi, ini perbedaan dakwah dan harakah tipis sekali. Penyampaian materi yang dianggap harakah akhirnya dicurigai gerakan usrah pada waktu itu, nah kita pada semacam mengkoreksi tapi akibatnya orang-orang tua balik memukul kelompok Lampung ini sebagai kelompok pembangkang, tapi pada satu sisi mereka menganggap tidak taat pada jalur mereka, di sisi yang lain tidak bisa menapikan keberadaannya, karena peristiwa Lampung itu sendiri mungkin gerakan satu-satunya di luar jalur komando mereka, jadi persamaanya eks Lampung istilahnya dulu ini kelompok sempalan DI.

Gerakan hijrah di Lampung ini banyak diwarnai oleh Abdullah Sung-kar dan kelihatannya ada perbedaan juga pemikirannya. Ya kebanyakan memang baik Pak Warsidi, Usman, Nurhidayat dulu orang-orang yang dibina oleh Abdulah Sungkar tapi itu tadi akibat hijrah ke Malaysia kita melakukan semacam otokritik dan pada waktu itu sangat tabu di kala-ngan DI dan kita tidak maju-maju tapi kita sudah mengawali, sampai dikritik macam-macam di dalam penjara oleh Pak Aceng, Ules Sujai dan pak Adah pokoknya tidak mengakui kita. Itulah perjuangan Islam tidak perlu mendapatkan pengakuan dari dia, kita gitu saja, Islam memangnya punya dia dan negara bukan punya dia bukan berarti kita menafikan dia, bukannya sekarang masanya anak muda. Memang, ada kesamaan karena dibina orang orang Abdulah Sungkar, tapi kalau ada perbedaan itulah karena kita banyak kritik terakhir juga sebelum almarhum ketika di Malaysia dia melakukan otokritik sampai keluar dari jalur struktural, kita mendengar itu alhamdulillah. Mungkin di Malaysia lebih terbuka pikirannya ketika kita melakukan otokritik dia marah juga tapi pada satu sisi mengakui juga.
Pada masa hijrah, Fauzi Isman pernah ke Lampung, dan itu bukan sekali tapi 2-3 kali. Sebelum hijrah Fauzi Isman sendiri belum sempat hijrah waktu itu. Memindahkan teman-teman dari sini rekomendasinya dari Fauzi Isman, Nurhidayat dan Darsono sementara kita sedang menyi-apkan pertemuan 7 Februari 1989 sementara yang lain sudah hijrah bersama keluarganya seperti Kardi dan Usman.

Pada waktu itu kejadian di Lampung Fauzi Isman masih berada di Bali dalam perjalanan pulang dari Bima ke Jakarta, Nurhidayat sendiri ada di Jakarta, sebab Fauzi Isman melihat kejadiannya di mana pendeka-tan keamanan terlalu kuat, sebenarnya kalau Pak Warsidi tidak mau melaporkan orang yang pindah ke sana tidak sampai harus terjadi cuma pada waktu itu Islam dicurigai, cuma tidak mereka sangka oleh Kapten Sutiman cs mereka melakukan perlawanan. Jadi tidak ada rencana-renca-na untuk mengadakan gerakan.
Jadi memang belum ada rencana apapun, mereka baru bertemu. Fauzi Isman kenal dengan Warsidi baru beberapa bulan. Pokoknya kelom-pok Jakarta dengan kelompok Lampung Warsidi cs (almarhum Soleh, menantunya, dan Ir. Usman) pada waktu itu secara fikrah54 sama, cuma dalam penafsiran fikrah itu berbeda. Kalau Nurhidayat maunya qital kearah pembinaan bersenjata, sementara dari Pesantren Ngeruki tidak mau qital harus membina perkampungan muslim. Pada akhirnya Nurhi-dayat bisa mengurangi tuntutan qital dan kita membina hubungan sekali-gus membuat base camp bersama, pada waktu itu imam belum ada Nurhidayat terpilih sebagai Amir Musafir, baru setelah kumpul nanti akan dipilih Imam Jamaah jadi pada waktu itu belum ada pimpinan permanen.
Jadi pada waktu itu Pak Warsidi belum diangkat sebagai pimpinan. Tetapi sementara hanya sebagai komunitas pimpinan jamaah di Lam-pung. Jadi pada waktu hasil kesepakatan di Cibinong belum terlaksana. Pada waktu itu kesepakatan Cibinong belum memilih imam, jadi jamaah itu harus ada imam, Cibinong itu menentukan Islamic Village dan harus hijrah ke Lampung itu saja.
Jadi, hijrah ke Lampung seperti diceritakan pada tanggal 7 Februari 1989 bukan untuk gerakan. Itupun ada kesalahan, Warsidi dan teman-teman di sana orang-orang yang dihijrahkan, dikonsentrasikan di satu tempat, pada hal kita banyak tempat di Lampung. Kesepakatan waktu itu harus dipencar, tidak boleh dijadikan satu, tidak dikonsentrasikan. Dasar pemikiran pak Warsidi itu Fauzi Isman baru diketahui setelah kejadi-an Lampung, itu terkonsentrasi disatu tempat saja.
Jumlah korban terakhir yang didata menurut Fauzi Isman hampir 25055 orang itu dari jamaah yang ia dengar dan ada juga penduduk setempat yang kena peluru nyasar, tidak tahu berapa persisnya, di samping dari aparat sendiri jumlahnya mereka tidak transparan. Jadi korban itu mulai dari anak-anak sampai orang tua dan cerita teman-teman katanya ada yang dimasukkan dalam satu rumah kemudian ditembaki lalu dibakar rumahnya. Namun, data ini belumlah merupakan sebuah data jumlah korban yang pasti karena Fauzi Isman sendiri tidak berada di lokasi kejadian pada saat peristiwa.

Ekses dari kasus Cihideung Talangsari terhadap beberapa kejadian seperti di Jakarta ada kaitan tapi dengan peristiwa itu tidak terlibat, pada waktu itu politik harus membabat rumput sampai ke akar-akarnya. Jadi orang-orang yang ada di Jakarta itu tidak lari, tapi mereka ingin melaku-kan gerakan lokal di Jakarta, kita pikir tadinya teman-teman masih banyak selamat jadi kita ingin melakukan untuk memecah perhatian mereka cuma rupanya ada teman-teman yang dari Lampung mereka sudah ditangkap dilepas lagi dan diikuti, jadi sebelum sempat melakukan gerakan di Jakarta sudah tertangkap, adapun yang di Bandung itu Ajengan Kecil karena Nurhidayat pernah bertamu ke rumahnya, dia orang DI kena ditahan 5 tahun dan yang di Bima karena Fauzi Isman pernah datang ke sana dan mereka punya fikroh yang sama, di Bima itu direkayasa seakan-akan mereka sudah latihan militer, pada hal itu foto latihan ABRI yang dijadikan barang bukti untuk persidangan, Haji Abdul Gani Masjkur dan jamaah akhirnya dimasukan penjara. Intelejen me-mang bertindak secara sangat busuk. Adapun kasus insiden yang lain di Lampung macam di Siderejo itu gerakan sporadis mendengar Cihideung dibumihanguskan, teman-teman yang tidak di Cihideng mereka bermu-syawarah melakukan perlawanan.

Pada waktu pertemuan-pertemuan ada tidak perasaan dari kawan-kawan bahwa pertemuan ini direkayasa dan dilaporkan ke intel. Kalau Fauzi Isman lihat sampai terjadinya Lampung itu rupanya ada teman-teman sengaja diloloskan oleh aparat dan gabung ke Jakarta yang sebelumnya dia sudah dalam pengawasan. Dugaan beberapa kawan-kawan karena ada hubungan dengan Abdul Mafaid Faedah Harahap. Setelah Lampung tapi sebelum peristiwa Lampung tidak pernah ikut, Mafaid Faedah Harahap itu sendiri karena kentalnya Nurhidayat jadi agak ceroboh gampang percaya sama orang dan kita pada waktu itu menerima karena jaminan Nur Hidayat tidak tanya latar belakangnya. Mafaid itu sendiri mengkhianati gerakan Komando Jihad (Komji) akhir-nya jari tanganya dipotong oleh Timsar Jubil. Nah, di situlah fatalnya di situ Nur Hidayat mempercayai dia, dan mereka pun mengadakan perte-muan di rumah dia. Makanya, pasca Lampung itu sudah tidak steril rencana gerakan di Jakarta itu. Lampung sendiri sampai kejadianya tidak ada rencana karena aparat itu sendiri terkejut kita mampu menyusun langkah perlawanan barisan di sana walaupun apa adanya. Jadi mereka tidak menyangka jadi ada suatu perlawanan lebih terorganisir ketika dibandingkan dengan Priok, Priok itu pembantaian tanpa ada perlawa-nan.56 gerakan spontanitas Lampung itu gerakan jamaah, ini yang mem-buat aparat pada waktu itu terkejut ada suatu perlawanan atau pertem-puran selama Soeharto. Memang pada waktu itu kita melihat ada pemiki-ran bahwa pada waktu itu dominasi Militer ABRI Soeharto baru disebut sebagai Bapak Pembangunan, mereka ada rencana dan orang pada waktu itu takut sekali kepada militer kita berpikir militer biasa saja tidak perlu takut, tapi wujudnya harus dengan mereka juga kan kalau sekarang orang berani mengkritik militer karena sudah lemah.

Bahkan menurut Fauzi Isman, peristiwa Lampung adalah peristiwa kejahatan intelejen negara Orba terhadap rakyatnya, khususnya umat Islam. Ia menganggap apa yang telah terjadi adalah sebuah kondisi perang di mana segala konsekuensi dan risiko harus diterima, menang atau kalah, terbunuh atau dibunuh.57
Pada waktu Fauzi Isman dan rekan-rekan mencoba menyelesaikan karena dasar pemikiran pada jaman itu militer masih kuat, reformasi hanya euphoria ternyata sekarang reformasi apa tetap sama saja cuma bungkusnya saja yang lain dan kemasannya yang berbeda. Pada waktu kami tawarkan dengan cara ishlah karena ishlah itu sendiri adalah langkah taktis tujuannya membebaskan teman-teman yang ada di penjara yang hukuman terbanyak adalah tahanan politik kasus Lampung ada 8 orang yang dihukum seumur hidup, sekarang hukuman seumur hidup berarti dia seumur hidup di penjara sampai mati kalau tidak dapat grasi. Itulah kemudian kita menuntut ke aparat pemerintah dan ishlah itu kita artikan penyelesaian hubungan nilai, ishlah itu kita ambil dari Al Quran dan sunah rasul.
Selama masa sidang ada delik-delik hukum yang memang sengaja ditampilkan supaya terjadi pembenaran untuk melegalitas orang Lam-pung ini ditahan. Banyak sekali bukan dalam sidang saja, sejak dari pemeriksaan mereka mengarahkan seakan akan tujuan kita itu mendiri-kan Negara Islam pada hal itu cita cita kemudian kita ingin mengganti ideologi pancasila yang mereka paksakan. Terhadap sikap demikian kami hanya menjawab dengan iman yang memang kami yakini kebenaran Islam dan pancasila memang harus diganti, jadi kami tidak menolak tuduhan itu memang kenyataan cita cita kami dan niat kami begitu.58

Hubungan dengan kawan-kawan yang lain setelah kasus Lampung, baik masalah ada perbedaan wajar-wajar saja masing-masing sudah dewasa harus menentukan sikap sendiri-sendiri yaitu tadi dibesar-besar-kan orang ada perpecahan dan sebagainya, Fauzi Isman kira, kita bebas memilih ke mana. Selama dipenjara yang dikerjakan dengan napi yang lain, Fauzi Isman mengajar ngaji dan membina permasalahan keluarga mereka supaya tidak ada persoalan-persoalan dengan petugas di penjara dan selama di penjara, Fauzi Isman mendapatkan haq cipta dari hasil karya Fauzi Isman untuk mempelajari membaca dan menulis Quran. Haq cipta No 016796 Kotak Kataba Belajar Membaca dan Menulis Quran. Selama ini orang bisa membaca quran tapi dia tidak kenal huruf.
Masalah pembinaan napi, kita diangkat sebagai pemuka agama oleh pihak LP karena membantu pihak LP di bidang pembinan rohani mereka, jadi pada waktu itu kita disediakan ruangan mushola yang waktu itu kita perjuangkan, karena napi itu bisa sholat dalam sehari 4 kali kecuali subuh karena pintu sel belum dibuka dan dari situ kami punya kesimpulan bahwa kebanyakan mereka masuk penjara itu salah satu faktornya karena mereka belum pernah mendapat siraman rohani. Contoh ada yang habis kencing langsung sholat, tidak istinja’ lagi.

Dikabarkan melalui berbagai media massa soal gerakan jamaah Warsidi yang tidak mengenal Islam, mereka diwarnai PKI. Selama di dalam tahanan Fauzi Isman lihat, tokoh-tokoh komunis yakin dengan komunisnya daripada Islamnya. Fauzi Isman mengatakan begini karena pernah satu blok dengan tokoh pemuda rakyat Kusno. Juga bekas sekreta-risnya Aidit, Iskandar Seberjo. Kemudian bekas anggota biro khusus Pak Asep Suryaman, kolonel Latief. Fauzi Isman melihat walaupun mereka sudah di penjara selama berpuluh-tahun dan mereka diancam hukuman mati tidak ada kepastian kapan mereka akan bebas, ibarat menanti kema-tian mereka berpuluh tahun tetap yakin dengan kebenaran komunisnya.

Fauzi Isman lihat gerakan lainnya, sama memiliki basis perguruan tinggi59 misalkan kasus Imron, Imron sendiri lulusan Universitas King Abdul Azis dengan Luqman Samrah, Ahmad Yani dari UNISBA, Ir Army dosen Unpad bahwa pada umumnya gerakan Islam dimotori oleh aktifis kampus yang memiliki basis intelektual pendidikan yang cukup tinggi. Cuma memang selama ini memang tidak pernah diungkap jadi hanya diberitakan militansi dan sikap ekstrimnya, sikap ekstrim itu sendiri lahir akibat tekanan yang cukup represif dari aparat. Jadi itu lahir sebagai sikap reaktif bahwa kita tidak mau ditindas.

Lampung itu sendiri penyelesaiannya pada waktu itu perbedaan kita dengan Kontras, Munir ingin membawa pada penyelesaian hukum sedangkan memakai proses hukum yang mayoritas terbukti membunuh pratu Budi harus dilihat konteknya mengapa mereka membunuh Pratu Budi hal itu ada latar belakang politik. Karena itu Fauzi Isman melihat ishlah itu adalah penyelesaian politik perbedaannya di situ. Pemikiran kami begini, jangan terpaku kepada kejadian di masa lalu kita semua tahu kejadian itu adalah musibah politik dan ishlah bukan menutupi masalah Lampung karena salah satu syarat terjadinya ishlah harus ada klarifikasi persoalan, cuma dalam penyelesaian kita lebih berorientasi kepada perbaikan supaya kejadian di masa lalu jangan terulang kembali. Ishlah inilah yang ditawarkan oleh Rasul ketika futuh Mekkah, tidak pernah Rasul itu menyatakan Abu Sofyan itu penjahat perang, padahal perang Badar, Uhud dia yang memprovokasi, tapi rasul memaafkan karena Rasul lebih melihat ke depan bukan ke belakang tapi klarifikasi persoalan tetap ada. Inilah perbedaan antara ishlah dan yang sekarang digembar-gemborkan oleh para lawyer dan LBH melalui hukum itu nilai moralnya. Cuma saja oleh Pak Hendro ditafsirkan lain, ishlah itu hanya dijadikan sekedar penyelesaian politik untuk kepentingan politik. Dalam hal ini untuk meredam isu yang mendiskreditkan dia, makanya konsepsi ishlah yang murni tak bisa jalan, karena ada saja salah satu pihak dari orang yang berishlah niatnya karena tidak karena Allah, ishlah itu tidak bisa jalan.

Target ishlah hanya membebaskan teman-teman seperjuangan dalam berbagai kasus politik dari penjara.60 Adapun pelanggaran HAM tahun 1999 ke bawah tidak tercakup dalam Perpu itu, perihal ini mendapat kritikan dari mentri Yusril Ihza Mahendra, peraturan dan perundangan yang diajukan ke DPR lagi untuk dibahas yang intinya harus berlaku surut. Konsekwensi dari perpu itu otomatis Priok, Lampung pelaku pelanggaran HAM harus diadili.

Kenyataannya sekarang banyak orang menggunakan ishlah terlepas dari penafsiran pribadi masing-masing, mereka tentang ishlah tapi minimal sebagai konsep sospol, jadi dikenal oleh publik. Walaupun Fauzi Isman sadar ketika ishlah itu dicetuskan, waktu itu Yani Wahid ngobrol dengan AM Fatwa yang mempertemukan dengan Pak Hendro dan komentar AM Fatwa bahwa Ishlah memang bagus tapi tidak populer dalam kondisi sekarang ini jawaban politis dan diplomatis tapi kami mengambil resiko tidak populer, karena lebih menonjolkan kebaikan dan kebajikannya. Tidak populernya begini waktu itu arus menuntut Komnas HAM, sehinga pada waktu itu balas dendam adalah perbuatan mulia, dan memaafkan suatu perbuatan dosa adalah suatu akhlak tercela. Esensi ishlah itu memberi maaf ini dianggap nilai tercela ini yang harus dijelaskan kemudi-an bercampur aduk. Alhamdulillah kami dengar sekarang lagi mencoba ishlah dalam kasus Tanjung Priok dan yang lainnya termasuk konteks Ambon juga begitu. Di sinilah diperlukannya konsep ishlah itu, kalau kita masing-masing mengungkit kesalahan tidak selesai masalahnya.

12. Wahidin AR Singaraja
Pak Wahidin, atau akrab dengan panggilan Pak Zainal, adalah satu-satunya tokoh kasus Lampung yang memiliki kemampuan “menghilang” dari kejaran musuh. Hingga hari ini pihak intel Melayu kita tak pernah bisa menemukannya. Ia lahir di Komring, Dusun Betung, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Palembang, pada tanggal 24 Agustus 1948. Ia adalah salah seorang dari “Empat Sekawan” (Nur Hidayat, Fauzi Isman, Darsono dan Wahidin sendiri). Dalam kelompok empat inilah ia bertugas mengurus masalah jama’ah, Nur Hidayat mem-bidangi urusan konsolidasi, Fauzi Isman bidang Litbang dan Darsono mengurus soal keuangan. Namun, pengalaman dan pembentukan karakter masing-masing orang berbeda-beda. Bagi mereka yang di pen-jara, mungkin mengalami serangkaian terminal spiritual yang panjang sehingga berkesempatan memperdalam apa yang selama di luar penjara mereka tidak sempat memperdalamnya. Sedangkan yang berada di luar penjara, mungkin mengalami kerumitan hidup yang jauh lebih mencekap ketimbang dalam penjara. Namun, semua itu hanyalah ujian dari Allah SWT. Allah SWT hanya akan menguji hamba-hambanya yang sanggup menerima ujian yang setimpal dan tidak akan mengujinya dengan suatu ujian hidup yang tidak sanggup dilaluinya.

Kisah pelariannya mungkin bisa dikaji oleh para aktivis Islam tentang bagaimana menyiasati pihak intelejen dalam mencari mangsanya. Kisah-nya termuat secara utuh melalui Tekad61 yang penulis rasa perlu dikutip secara utuh dalam buku ini. Semenjak penumpasan Kelompok Pengajian Warsidi di Lampung Februari 1989, mendorong banyak anggotanya menjadi buron. Salah satunya Wahidin AR Singaraja. Ia sempat bersem-bunyi di rumah Motinggo Busye dan Jalaludin Rakhmat.
Tak pernah Wahidin AR Singaraja berpikir akan menjadi buron alat negara. Kisahnya dimulai pada 1988, seusai peristiwa penyerbuan militer atas perkampungan kelompok Warsidi di Lampung. Try Sutrisno, pang-lima ABRI kala itu, menegaskan bahwa Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) Warsidi Lampung akan ditumpas sampai ke akar-akarnya. Wahidin memang rnempunyai kaitan dengan Warsidi. Itu dimulai ketika ia memutuskan ke luar dari tempat kerjanya di Taman Impian Jaya Ancol (TIJA). Posisinya lumayan tinggi, asisten manajer. Tapi ia keluar karena tak tahan dengan teror di sana. Ia seringkali dituduh terlibat kasus Tanjung Priok, hanya karena ia lulusan Perguruan Tinggi Dakwah Islam (Seka-rang PTDI, Perguruan Tinggi Dakwah Islam) Tanjung Priok. Keluar dari TIJA (1987), Wahidin bergabung dengan suatu jama’ah, yang lantas ber-gabung dengan jama’ah pimpinan Nur Hidayat (yang belakangan juga dituduh terlibat GPK Warsidi), di Jakarta Pusat. Pada akhir 1988 mereka menggelar pelatihan-pelatihan. “Kami melakukan pelatihan-pelatihan itu untuk mengubah ego menjadi kami, kami menjadi kita, dan seterus-nya,” kenang Wahidin. Lewat pelatihan-pelatihan itu pula mereka sepakat membentuk perkampungan Islam (Islamic village). Sebagai pilot project, mereka memutuskan perkampungan Islam itu berlokasi di Dukuh Talangsari III, Desa Rajabasa Lama. Kec, Way Jepara, Lampung Tengah. Ditemani rekannya, Fauzi Isman, dia datang ke Way Jepara melakukan studi kelayakan. Ketika itulah dia bertemu dengan orang-orang keperca-yaan Warsidi. “Tercapai kesepakatan antara kami dan Warsidi untuk membangun perkampungan Islam di sana,” ujar Wahidin yang kemudian memberangkatkan jamaahnya ke sana. Dia sendiri tetap di Jakarta.

Pada 7-8 Februari 1988, meletuslah Peristiwa Warsidi, sebuah tragedi kelabu tentang musibah politik yang sangat sering harus dialami oleh umat Islam. Selama Orde Baru, umat Islam sering menjadi korban yang dikorban (the victimized victims). Wahidin dan kawan-kawannya sempat shock dengan tragedi crime against humanity yang dilakukan oleh pihak intelejen. Soalnya, rezim Orde Baru memvonis pengajian Warsidi sebagai gerakan pengacau keamanan yang berencana mendirikan negara Islam. Mereka yang berada di Jakarta dianggap sebagai arsitek gerakan. Pangab Jenderal Try Sutrisno pun memerintahkan anak buahnya mem-buru kelompok Wahidin, termasuk yang ada di Solo, Bima, Palembang.62

Wahidin sendiri lari dari kejaran petugas. Ia mulai hidup sebagai buron. Karena tak bisa keluar dari Jakarta, ia datang ke bekas tempat kerjanya, TIJA, untuk meminta bantuan teman-temannya. Namun, tak ada yang mau membantunya, sehingga ia sempat menggelandang di sana. Wahidin kemudian memutuskan pergi dari TIJA dan berangkat ke rumah (alm) Motinggo Busye (pengarang novel—Red). Namun, Motinggo tak siap menerima. Ia menyuruh seseorang mengantarkannya naik bus ke Bandung. Berbekal surat itu, Wahidin menuju ke rumah Jalaluddin Rakhmat di Bandung. Tapi, keberadaan Wahidin di rumah Kang Jalal —sapaan Jalaluddin— tercium aparat. Sejumlah intel terus mengawasi rumah itu. Si buron lalu pamit kepada Kang Jalal. Usai shalat subuh, berbekal sepasang kaus kaki, baju, dan tasbih pemberian Kang Jalal, ia berangkat ke Palembang, Sumsel, kampung halamannya. Sampai di sana, aparat keamanan baru saja mengacak-acak rumah kakaknya. Namun, ia tetap memutuskan tinggal, karena merasa aman berada di tengah-tengah keluarga, meski mereka sebenarnya agak keberatan. Setelah sembuh dari sakit yang dideritanya selama enam bulan, akhirnya ia kembali ke Jakarta. Malang, teman-temannya di ibu kota malah menu-duhnya sebagai intel. Maka ia pun lalu berangkat ke Kalimantan untuk mencari pekerjaan, tapi gagal. Belum genap sehari di Kalimantan, pada 1990, Wahidin kembali ke Bandung. Kebetulan, Kirab Remaja yang digagas Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut) mencari pendekar-pende-kar silat dari daerah. Wahidin pun mendaftar. “Mereka tidak tahu kalau saya buronan,” ucap lelaki yang sempat beberapa kali mengganti nama-nya selama buron. Dari situlah Wahidin berkenalan dengan orang-orang Tutut dan Titi Prabowo (istri mantan Pangkostrad Prabowo). Berkat perkenalan itu, bisa menjadi guru silat di Perguruan Silat Satria Mauda Indonesia yang didirikan Prabowo. “Saya mengaji silat di Kopassus, terutama di bidang rohani dan mental,” kenangnya.

Berkat kedekatannya dengan Kopassus, sejak 1991, ia mulai bisa mengunjungi istri dan keenam anaknya di Kuningan, Jabar. Selama men-jadi buronan, istrinya kerap didatangi aparat keamanan. “Mertua saya sering pingsan kalau aparat datang,” katanya. Sang mertua pun sempat akan menjodohkan istrinya dengan orang lain, tetapi istri menolak. Bahkan, anak Wahidin yang ketika itu masih duduk di kelas empat SD pernah diculik aparat untuk menunjukkan di mana bapaknya bersem-bunyi. “Anak saya yang sekarang baru tamat dari Politeknik ITB sempat trauma bila melihat tentara,” katanya.

Sejak mengajar silat itu, kehidupannya mulai normal. Kini ia mulai menuntut keadilan atas segala pelanggaran HAM yang menimpa diri dan kawan-kawannya. “Kami berharap Komnas HAM membentuk KPP HAM Lampung,” desaknya.63 We have arrived at the point of nowhere to return.



Bab 11-2 Tokoh Peristiwa Lampung berdarah 1989 - Saksi & Korban (1)
Bab 11 TOKOH PERISTIWA DAN PARA KORBAN MUSIBAH POLITIK LAMPUNG BERDARAH, 1989

Bab 11-2 Para Saksi dan Korban Intelijen Peristiwa Talangsari

1. Ridwan Casari
Menurut Ridwan Casari, yang dihukum 7 tahun dalam perkara Talang-sari ini, di Cihideung ada masyarakat yang terdiri dari berbagai suku dan latar belakang. Awalnya, para pendatang Cihideung ini mendapatkan pengajaran dari Abdullah Sungkar langsung atau tidak langsung dari pesantrennya, Al Iman, Ngruki, Solo, Jawa Tengah. Di sana kebanyakan umat yang dibina oleh Abdulah Sungkar berada di daerah Siderejo, Karanganyar,Way Jepara dan Talang Sari yang kemudian terjadi peristiwa sehingga Abdulah Sungkar pergi ke Malaysia, meninggalkan ummatnya dan tanah beberapa puluh hektar yang belum dimanfaatkan.

Karena ditinggal mereka berguru kepada Pak Abdulah (Pak Dullah) yang di Siderejo Lampung, kemudian mereka mendapatkan didikan setelah mendapatkan didikan mereka berusaha ingin mengamalkan ilmu-nya dengan membuat perkampungan muslim yang ada di Talangsari Cihideng. Kemudian mereka dikoordinasikan oleh Pak Abdulah di Sido-rejo dengan dipusatkan di Talangsari di rumah Pak Warsidi yang cukup sukses mengelola Kebon Lada .Jadi bisa menjamin orang-orang yang hijrah ke sana baik dari Jawa Tengah dan Jawa Timur sehingga merupakan jama’ah --—Jama’ah Islamiah— kemudian berkembang, termasuk Ridwan sendiri tahun 1987 pernah ke sana dan betul dia sukses.

Tapi kemudian tahun 1988 terjadi kontak dengan Jakarta termasuk yang ada kontak kesana Nurhidayat, Darsono, Wahidi dan Fauzi. Kemu-dian orang orang Jakarta ingin memperbanyak orang yang hijrah kesana. Tapi sebelum ke sana ada pertemuan khusus dulu para pemuda Islam di Jakarta tanggal 12-12-1988 di Cibinong .

Pertemuan tersebut di sana karena bagaimanapun organisasinya atau jama’ah harus ada pemimpin baik orang hijrah maupun orang yang menerima hijrah, sehingga ada kesepakatan untuk membuat per-kampungan Muslim di Cihideng Way Jepara sehingga ada kesepakatan dengan anak-anak Jakarta sampai nama, struktur dan yang menerima Hijrah di sana .Sehingga yang bertanggung jawab menerima di sana Warsidi dan Usman, dan yang berhak untuk menghijrahkan Nurhidayat, Darsono dan Fauji disebut Amir Musafir.

Maka dari tanggal 12-12-1988 itu menghijrahkan sampai tanggal 6-2-1989 itu menghasilkan kurang lebih 50 orang yang hijrah ke sana secara bertahap diantaranya keluarga Margono, keluarga Sukardi. Ridwan ber-pesan dalam pertemuan tersebut mengapa disebut Amir Musafir, Amir sementara, Amir jalan karena di Indonesia banyak Amir .Takut dianggap menyaingi kelompok yang ada sehingga mempunyai ciri tersendiri, dan sifatnya sementara dengan tujuan tempat tersebut untuk konsolidasi pimpinan umat Islam yang terpecah pecah dan untuk membicarakan perjuanganpun harus mempunyai tempat de fakto kecil-kecilan yang tidak tersentuh oleh thogut. Maka ketika itu juga diupayakan adaptasi dengan mereka supaya tidak ada pertentangan di sana dengan mereka dan juga pakai KTP.

Setelah kurang lebih 2 bulan di sana menghasilkan jama’ah kurang lebih 300 orang baik dekat maupun jauh, termasuk dari kampus UNILA Ir. Muklis, Ir. Salamun (Muklis Syahid) dan kehadiran jama’ah di sana oleh masyarakat dianggap aneh karena dalam ajarannya: (1) Keluarga Berencana haram karena dianggap pembunuhan, (2) Larangan meng-hormat bendera karena lambang kemusyrikan.
Tentang peristiwa kejadian musibah politik Talangsari, ia mencerikan versinya sendiri. Hal ini dimulai setelah tak lama tercium oleh penguasa dan memanggil Pak Warsidi tapi karena punya pandangan mendatangi penguasa itu sesuatu yang tidak boleh (umaro yang harus mendatangi ulama). Warsidi tidak pernah datang. Kemudian karena Warsidi tidak datang diambillah 9 orang anak buah Warsidi setelah beberapa hari kemu-dian ke Koramil dan tidak dipulangkan. Orang orang jamaah di sana mengadakan persiapan untuk menghadapi tindakan kekerasan dari pe-nguasa termasuk membikin panah dan ronda bergilir siang dan malam tua dan muda.

Setelah yang ditahan tidak dipulangkan tanggal 6-2-1989 Danramil dan Camat datang dengan jumlah kurang lebih 40 orang ke Warsidi dari pertemuan di rumah pihak Muspika merasa tidak dihargai sehingga sampai harus datang ke Warsidi dan pertemuan itu mengalami kegagalan ,pihak keamanan membuang tembakan sehingga sampai jatuh korban dari pihak Warsidi. Karena merasa di-dzolimi. Sekalipun semut kalau diinjak akan melawan, maka dilawanlah sehingga pimpinan Danramil Sutiman di bacok oleh Marsudi, kakak dari Warsidi, dan yang lainnya kabur. Akibatnya yang lari itu melapor ke Kodim dan Korem, maka di-steling-lah wilayah itu dengan jumlah personil 100064 orang, sehingga orang yang keluar masuk kedaerah itu ditangkapi. Maka setelah itu pada jam 4 Subuh tanggal 7-2-1989 tanpa pemberitahuan dilakukan manuver militer dengan tembakan mortir kepada rumah-rumah penduduk kurang lebih 250 orang di daerah itu mati dan yang belum mati sekitar 50 orang dimasukkan juga ke dalam api, termasuk istri Sukardi dan anaknya mati ikut terbakar hangus, kebetulan Sukardi tidak sedang dilokasi. Walaupun ada perlawanan tapi apalah daya: hanya dengan panah yang jaraknya terbatas dan dalam radius itu desa desa sekitarnya yang ada jama’ah Warsidi dihabisi dan yang tertingggal 24 orang, ditahan seumur hidup. 14 orang termasuk Pak Zamzuri dan Pak Maulana dari Siderejo.65 Pak Muhidin, cucu dan menantunya habis di sana digusur pakai mobil, yang kedapatan masih hidup dan tidak terbakar Ridwan tidak dapat mengkla-sifikasikan yang jelas 25066 orang habis, baik yang terbakar, dibunuh dan digusur.
Kemudian yang tertangkap hidup dipakai untuk mencari data dari mana sumbernya dan mereka menamakan “Front Mujahidin” mungkin karena ada nama itu dari yang ditangkap itu diinterograsi dan bocorlah pertemuan-pertemuan yang di Jakarta. Karena di Jakarta dianggap otak-nya sehingga dipandang perlu siapa yang terlibat. Sehingga pada tanggal 25-2-1989 diadakan penangkapan-penangkapan di Jakarta yang pernah mengadakan pertemuan di Cibinong. Ditangkaplah yang ada di Jakarta itu —di antaranya Sofyan, Kardi (yang ditangkap di Pangkalan Jati Pondok Gede) dan Nurhidayat. 67

Pada tanggal 6 Februari 1989 siang itu Ridwan tertangkap karena ada janji untuk pengajian, maka Ridwan datang ke rumah kontrakan itu sudah kosong, keluar dari rumah itu Ridwan langsung disergap oleh tentara yang sudah men-steling tempat itu. Hubungan Pak Ridwan awal-nya dengan kasus Lampung ini adalah ia sering ke Jakarta dan mampir kerumah Pak Sulaiman Mahmud —seorang tokoh besar Darul Islam Aceh yang sekarang bermukim di Jakarta— dan Nurhidayat pun sering ke sana. Nurhidayat rupanya cukup proaktif menanyakan alamat Rid-wan di Bandung. Dari alamat yang didapat Nurhidayat langsung ke rumah Saiful Malik —tempat kontrak Ridwan—maka diantarkanlah Nurhidayat ke rumah Ustadz Sofandi, maka Ridwan kejar ke sana. Di sana sudah mengadakan pembicaraan dengan Ustadz Sofandi, Muhidin dan Abdul Rahman. Agenda pertemuan itu dimana orang Bandung diminta untuk mendukung gerakan dengan isu ditubuh ABRI sudah terkotak-kotak dan Suharto sebentar lagi akan hancur.

Orang Bandung mempertahankan bahwa persoalan ini belum jelas dan orang yang datangpun belum jelas ketika Ridwan datangpun tidak kenal. Akhirnya Nurhidayat, Alek dan Dede Saefudin diperingatkan bah-wa dalam Islam kalau mau bergerak,(1)Harus jelas motivasi untuk Li’ila Kalimatillah,(2) Harus ada komandan, jihad tanpa imam tidak sah, (3)Sasaran harus jelas dan alat perang harus ada, masa’ mau ngajak perang tidak ada alat perangnya. Akhirnya tawaran itupun tidak diterima apalagi setelah Ridwan ditanya dalam forum tersebut kenal atau tidak, Ridwan katakan tidak kenal. 68

Tapi setelah mereka tidak diterima mereka menyampaikan undangan bahwa pada tanggal 12 Desember 1988 akan ada pertemuan di Jakarta. Karena Ridwan tidak kenal dengan Nurhidayat maka Ridwan mengecek ke Jakarta kepada Sulaiman Mahmud dan dia mengatakan bahwa ketiganya memang muridnya. Maka pada tanggal 12-12-1988 Ridwan ikut menghadirinya termasuk Fatah Kosim —bukan Abdul Fatah Wirananggapati— tapi beliau sempat diajak Ridwan ke Lampung tahun 1987 namun tidak berjumpa dengan Zaenal Arifin, anggota jamaah Ajengan Masduki —seorang pemimpin Darul Islam yang masih aktif dan memiliki jumlah pengikut militan yang sangat banyak.
Pembicaraan di Cibinong itu terrnyata mau membuat perkampungan Muslim dengan beberapa alasan: (1)Kita hidup di Jakarta beribadah campur yang haq dengan yang bathil. (2)Mempersiapkan kader, (3)Bukan untuk bergerak kecuali mereka dipaksa. Tapi Ridwan sendiri merasa kecolongan dengan adanya gerakan tersebut karena tidak sesuai dengan kesepakatan di Cibinong. Sebab setelah pertemuan di Cibinong itu Ridwan tidak pernah mengadakan kontak lagi dengan kawan kawan Cihideung. Sebenarnya karena tidak sesuai dengan rezim Soeharto —dan itulah bukti kekejaman— bahkan kawan sendiri yang tidak sesuai dengan konsepnya dibabat seperti Ali Sadikin dan H.R. Darsono.

Maka setelah itu Nurhidayat diacuhkan oleh anak buahnya —karena secara historik Rosul dan sahabat kalau berperang memimpin anak buahnya untuk berperang— tapi Nurhidayat tidak pernah. Sebab setelah kejadian baik di luar maupun di dalam dengan Darsono dan Fauzi pecah, respon sudah rendah dari anak buahnya dan akhlaknya kurang baik. Yang Ridwan ambil hanya yang baiknya saja karena Ridwan lihat waktu itu dia membuat “Front Islam”. Kemudian “Front Sabilillah” sehingga dia bisa turut membantu menangani kasus Lampung.

Sehingga tanggal 1 Juni 1998 Ridwan dengan Darsono dan 10 orang lagi—jadi berjumlah 12 orang—dengan perantaraan AM Fatwa, bertemu dengan Hendropriyono. Kami diajak bicara dan dia mengungkapkan bahwa dia merasa kaget kalau kami terlibat masalah Lampung pada hal itu tidak dalam agendanya itu kesalahan Kodam Jaya, jadi seolah-olah dia mengelak.Dia mengupayakan untuk merehabilitasi dan menawarkan kapal di Kendari. Kami pada waktu itu tidak menjawab, yang kami minta adalah untuk melepaskan kawan kawan kita. Dia menjawab bahwa dia tidak bertanggung jawab karena dia Mentrans. Kami menja-wab bahwa dia bisa memberikan jaminan militer kepada Wiranto karena dia bekas Kasdamnya. Maka pada pertemuan kedua tanggal 5 Juni 1998 hari Jum’at dia membicarakan bahwa kawan kawan akan dibebaskan termasuk yang di Nusa Kambangan. Pada tanggal 5 Agustus 1998 dia membicarakan kalau kapal terlalu jauh maka dia menawarkan untuk menerima tambak udang di Lampung. Tapi karena harus bertemu dengan korban kasus Lampung dari pihak TNI akibat korban Warsidi sehingga kami bertemu dalam dua kubu dengan tujuan untuk di-islah-kan, setelah itu kami ditawarkan tambak udang sambil menunggu kawan-kawan yang dibebaskan.

Tanggal 20 Agustus Ridwan membawa 15 orang untuk ditrening di CPB (Central Perti Bahari) karena yang memelihara harus bisa dahulu. Akhirnya tanggal 1 Oktober1998 Ridwan disuruh magang kerja menge-lola tambak udang ,tapi sampai pada hari ini Ridwan bicara bulan November 1999 tambak udang itu punya PT Center Prima Bahari di daerah Lampung, jadi kita sampai pada hari ini tidak dibiayai oleh Hendro dan pihak PT Bahari tidak mau membiayai karena itu tanggung jawab Mentrans. Dari pihak Lampung juga tidak mau diberi tambak karena dendamnya masih ada. Jadi ini bukti peristiwa Lampung masih terkatung katung. 69

Dengan tokoh Warsidi, Ridwan kenal akrab karena sebelum tahun 1987 ada hubungan langsung urusan NII —melalui Furson dan Wijayanto dari binaannya Abdul Qodir Baraja.70 Dan, dia adalah salah seorang komandan wilayah perang DI Jawa Barat. Kasus Lampung ini “menular” hingga ke NTB karena Fauzi Isman setelah kasus Lampung ini dia pergi ke sana tujuannya untuk mencari tempat hijrah. Namun, yang sangat menarik dari semua itu adalah pengakuan Ridwan tentang adanya unsur-unsur intelejen yang memainkan skenario yang jahat terhadap umat Islam. Hal ini dianalisis olehnya berkaitan dengan Mafaid Harahap. Justru pertemuan semuanya di rumah Mafaid Harahap awal peristiwa Lampung—di Jalan Karet Kubur yang berakhir di Kalimalang— dan Ridwan curiga kenapa dia tidak ditangkap.

2. Muhammad Yusuf
Muhammad Yusuf lahir di Pandeglang Jawa Barat, 13 April 1963. Pendidikan yang ditempuh SD di Pandeglang tahun 1970-1976, SMP di Pandeglang tahun 1976-1979, SMA di Sukabumi 1979-1982/83. Dialah satu-satunya saksi yang paling dekat dengan dua hari kejadian Talangsari 1989 itu, ia ikut berperang dalam peristiwa yang kemudian ditinggalkan-nya. Penuturannya kepada penulis begitu lugas dan meyakinkan, sejauh yang masih bisa ia ingat dalam ingatannya yang sudah tidak segar lagi. Berikut ini wawancara penulis dengan Muhammad Yusuf:
Selama masa kecil atau masa sekolah, apa ada pengalaman belajar mengaji? Saya aktif mengaji di SMA, kebetulan saya sekolah di SMA Muhammadiyah di Sukabumi, itu ada acara kegiatan pengajian minggu-an sebelum pengajian bulanan. Sebagai aktivitas selama sekolah saja. Mendapat bimbingan pengajian dari ketua Muhammadiyah. Dari kemu-hamadiyahan saja kita mendapat bimbingan dakwah, sebagaimana para pendahulu Muhammadiyah berdakwah. Selepas SMA bekerja di Nasional Gobel Cempaka Putih. Di Cempaka Putih itu saya bertemu dengan kawan-kawan yang memang aktif dakwah. Sejak tahun 1985 itu saya aktif di dalam kegiatan dakwah harakah DI yang dibimbing oleh orang Aceh yaitu ustadz Sulaiman Ma’fudz. Mulai dari situ, saya mengikuti dinamika dakwah-dakwah harakah, sehingga saya sampai bertemu dengan Abdul Fatah Wiranggapati dan saya diangkat sebagai ajudannya. Walau sering dimarah-marahi. Di situ Abdul Fatah Wirang-gapati, dirinya sebagai sosok dia sebagai tangan kanannya SM Kartosoe-wirjo. Dan dia memperkenalkan diri sebagai pelanjut kepemimpinan, yang saya ketahui juga dia sebagai KUKT, yang saya lihat di lapangan dia mencari kavling infaq sendiri. Waktu itu saya aktif pengajian di lingkungan Masjid Al Hidayah Serdang, Kemayoran tahun 1985-1989. Bulan Januari sampai Maret saya berada di Lampung. Pada tanggal 7 Februari 1989 terjadi penyerangan oleh kelompoknya Kapten Inf. Sutiman. Tanggal 8 Februari 1989, kita (Warsidi dan jema’ahnya) dikepung pada waktu pagi pukul 5:00 WIB.

Selama pengajian bagaimana? Saya bertemu dengan Nurhidayat dan kawan-kawannya dan saya bergabung dengan kelompok Nurhida-yat. Saya bertemu dengan Nurhidayat pada tahun 1986-1987. dua sampai tiga tahun perjalanan dakwah dengan Nurhidayat. Pada saya itu ke mana pun saya ikut dengan Nurhidayat. Ke mana pun Nurhidayat, di situ saya berada. Di kelompok Nurhidayat itu, saya banyak melakukan bimbingan-bimbingan dakwah yang lebih intensif lagi. Artinya dakwah terarah kepada pengarahan, bukan hanya aqidah yang kita tebalkan, tetapi juga mempersiapkan mental. Kemudian saya diperkenalkan dengan beberapa kawan, seperti Iskandar di Bekasi. Tidak saja secara finansial banyak membantu kita, tetapi juga secara moral sangat membantu kita dalam hal pergerakkan ini. Terus kemudian pada tahun itu juga (1986-1987) saya bertemu dengan kru-krunya Abdul Fatah Wiranggapati, seperti Pak Khalil, Zainal Arifin. Mereka sebagai saksi-saksi hidup pergerakkan DI/TII. Nampaknya Zainal Arifin juga sebagai saksi hidup kasus Idul Adha di Masjid Istiqlal beberapa puluh tahun yang lalu di masa Presiden Soekarno itu. Saya sering bertemu dengan dia. Zainal Arifin orang dari Jawa Barat. Terus kemudian pada tahun itu juga bertemu dengan orang yang mengaku dirinya orang dari Timor Timur. Yang merencanakan mendirikan negara Islam di Timor Timur. Dan berdiri tahun itu. Dia tokoh Negara Islam Timor. Saya lupa namanya. Orangnya kurus, setengah tua. Kalau ke mana-mana jalan kaki, tidak menggunakan kendaraan. Dia banyak memberi tahukan tentang ketatanegaraan Negara Islam Timor Timur. Saya ke Way Jepara, Lampung. Di sana saya berkumpul dengan kawan-kawan. Kawan terdekat saya di sana adalah Heri Firdaus, dengan Heri Firdaus. saya berangkat dari Jakarta menuju Lampung. Kemudian saya bertemu dan berkumpul dengan Alex, Margono, Sofan (alias Sofyan). Di Lampung itu kami mempersiapkan senjata panah beracun dua-tiga minggu yang dirancang oleh Pak Alex sendiri. Tentang ramuan racun itu saya belajar dari Pak Alex. Dan pengetahuan tentang racun ini untuk daerah Pandeglang waktu itu belum saya wariskan, bahkan untuk daerah Jakarta pun belum saya wariskan. Hanya beberapa orang saja bisa bikin racun ini.

Bagaimana tentang panah-panah yang ada di Jakarta? Pembuatan panah di Jakarta itu belakangan, setelah pembuatan dari Lampung. Pem-buatan panah di Jakarta itu dikerjakan di rumah Iskandar. Kapan pem-buatan panah itu? Masa pembuatan panah itu selama satu bulan. Antara dua sampai tiga minggu. Kapan Pak Yusuf datang ke Cuhideung Lam-pung? Pertengahan bulan Januari 1989. waktu pertama datang, Pak Yusuf langsung ke mana? Saya mampir ke rumah orang tuanya mas Heriyanto Yusuf, pagi itu saya diantar oleh saudaranya mas Heri itu sen-diri ke Way Jepara, dukuh Cihideung. Di sanalah saya membuat panah langsung. Pak Alex sudah ada di situ. Di situ, sewaktu membuat panah terjadi intimidasi dari aparat keamanan.

Waktu Pak Yusuf pertama datang, rumah dan keluarga yang ada di lingkungan jama’ah Warsidi di Cihideung ada berapa? Saya tidak tahu persis. Yang jelas sudah ada beberapa keluarga, sebelum orang-orang dari luar datang. keluarganya Pak Warsidi, keluarganya Pak Imam Bakri, keluarganya Pak Jayus, keluarganya Pak Marsudi, dan ada lagi saya lupa. Kurang lebih antara lima sampai enam rumah yang didiami oleh keluarga. Berapa banyak Para pendatang? Sedangkan para penda-tang itu diperkirakan kalau dalam masjid pada waktu shalat sekitar kurang lebih 5 (lima) shaf. Kalau satu shaf 15 orang. Jadi kurang lebih 75 orang. Yang bujangan laki-laki dan perempuan diperkirakan sekitar 30 % (tiga puluh persen). Karena pada saat itu juga status saya masih bujangan. Masih ada yang berdatangan lagi? Sejak peristiwa itu tidak ada lagi berdatangan para pendatang dari luar yang hijrah. Kira-kita Pak Yusuf tahu atau tidak jumlah kaum wanitanya berapa? Sekitar antara 30-40 (tiga puluh sampai empat puluh) orang wanita yang gadis. 50 (lima puluh) orang yang sudah berkeluarga dan janda. Tambah dengan anak-anak dan bayi. Mas Kandi dengan istri dan dua orang putrinya. Margono putranya tiga. Alex bersama istri dan dua orang anaknya. Di sana kurang lebih 10-15 bayi. 20 anak-anak.

Apa kegiatan di sana? Apa Cuma membuat panah saja? Ya. Cuma membuat panah saja. Untuk apa panah-panah itu dibuat? Untuk jaga-jaga dari kemungkinan buruk terjadi, kalau kita diserang oleh orang-orang yang tidak menyukai kehadiran para pendatang di sana. Semata-mata untuk pertahanan jamaah, apabila datang serangan tiba-tiba dari orang-orang luar. Karena tidak adanya senjata yang dapat diandalkan di lingkungan jama’ah. Siapa saja di antara jama’ah yang mengecap pendidikan tinggi? Usman Insinyur Pertanian Bogor dan istrinya Sarjana Tehnik Kimia. Pak Fauzi juga. Temannya Pak Suryadi. Jadi bukan jama’ah primitif. Berapa anak panah dan busur yang dibuat? Jumlah anak-anak panah yang dibuat mencapai 500 (lima ratus) anak panah dan 75 (tujuh puluh lima) busur berupa ketapel untuk 75 (tujuh puluh lima) orang. Anak panah itu kita buat dari jari-jari sepeda motor, kemudian dilengkapi ujung anak panah itu dengan timah cor. Karena timah mudah dipanas-kan di dalam panci. Panahnya sendiri mudah ditarik, tetapi akan tertinggal racunnya. Panah itu dibuat dengan sangat sederhana sekali. Pak Alex sebagai perancang juga sebagai peramu racun. Pak Alex juga orang yang selalu berdzikir. Yang lama adalah proses memasukkan ramuan beracun itu, itu sampai empat puluh hari di dalam tanah. Bahan-bahannya kami rahasiakan sampai sekarang. Karena khawatir mudah digunakan untuk tujuan-tujuan lain. Ramuan itu bahan-bahannya mudah didapatkan karena tersebar di mana-mana dan biasa dipakai untuk obat sehari-hari. Bahannya banyak. Sepulangnya dari Lampung, saya pernah dibawa ke LBHI oleh Bang Mulyana dan kawan-kawannya. Pada saat itu Ketua umum YLBHInya Abdul Hakim Garuda Nusantara. Waktu itu saya diwawancarai sebagai saksi mata setelah peristiwa itu, tetapi saya tetap mengelak untuk memberitahukannya dan saya memposisikan diri sebagai survey printing di sana, karena mereka bukan kawan kita. Karena paman saya punya percetakan di sana. Walaupun pada akhirnya sampai seka-rang pun saya tidak pernah bertemu dengan paman saya.

Apakah wanita juga memakai busur katapel dan panah? Kaum wanita hanya konsentrasi kepada pendidikan anak-anaknya. Bagai-mana kejadian tanggal 7-8 Februari 1989? Waktu kejadiannya pada hari Minggu dan hari Senin tanggal 7-8 Februari 1989 tidak lama. hari Minggu, 7 Februari 1989 itu kelompoknya Pak Camat berikut Kades dan kelompoknya Danramil Kapten Inf. Sutiman. Mereka datang ke sana. Dan saya ada menyaksikan peristiwa itu di sana. Mereka mengunakan kenda-raan satu mobil jeep dan enam sepeda motor. Jika 4 (empat) orang dalam satu mobil jeep dan satu motor 2 (dua) orang, maka mereka seluruhnya berjumlah 16 (enam belas orang) orang. Mereka menyerang dahulu. De-ngan tindakan itu pihak keamanan mengharapkan kita menyerang. Mereka memberondong kami dengan senjata-senjata pistol mereka. Tidak bisa dihitung berapa kali mereka melepaskan tembakan senjata pistol. Lalu kita balas menyerang sehingga Kapten Inf. Sutiman terkena anak panah pada langit-langit mulutnya. Lalu Pak Marsudi membabat Kapten Inf. Sutiman lehernya sehingga hampir putus dan tewas di tempat. Yang menjadi korban di pihak aparat hanya Kapten Inf. Sutiman saja, sedang lainnya melarikan diri. Satu-satunya kawan kita yang terluka adalah Heri Firdaus. Pada akhirnya kendaraan jeep itu lari dan tidak dapat kita rebut. Yang dapat kita rebut hanya 3 (tiga) kendaraan sepeda motor. Mereka lari karena keterbatasan peluru. Mereka tidak sanggup menghadapi kami di sana. Pada malam harinya kita mengadakan siskam-ling selama satu malam di sekitar wilayah waktu itu. Dan tidak terjadi apa-apa. Saya bilang kepada kawan-kawan, “Kali ini kok terasa suasana-nya lain.” Saya melihat langit cerah, bintang berkelip-kelip. Angin bertiup begitu indahnya. Sepertinya besok akan terjadi apa.

Hari Senin tanggal 8 Februari 1989. Ketika pagi-pagi sekali, waktu sebelum shalat subuh. Saya dengar dari kawan-kawan. Dia bilang, “Mas, saya melihat tadi dari sana, dari arah barat itu. Sorotan baterai yang terus menerus”. Saya bilang, “Itu mungkin orang-orang yang hendak menengok kebunnya atau sawahnya. Bukan sesuatu yang harus kita khawatiri”. Sehabis shalat subuh. Saya turun ke sawah sebagai kegiatan rutin dengan cari bahan-bahan untuk ramuan-ramuan membuat racun yang ada di sekitar situ, kawan-kawan sering menangkap seperti kodok dan lain-lain. Pagi-pagi itu perkampungan itu tenyata sudah dikepung. Kurang lebih beberapa ratus tentara yang mengepung kita. Enam buah truk diparkir untuk mengepung. Mereka masing-masing dipersenjatai dengan M-16 lengkap dengan peluru. Pelurunya teruntai di kanan kiri badannya seperti Rambo.

Pada saat itulah saya ikut bermain. Pada akhirnya pulang dari sawah saya ikut bermain untuk melihat-lihat. Kemudian pada saat penyerangan, saya ikut bermain. Ada seseorang, ia berjalan mencurigakan. Saya tidak berpikir kalau itu adalah tentara yang diperlengkapi dengan senjatanya. Pada saat itu juga, pada 5:15 WIB, saya mendengar letupan peluru, yang ternyata itu adalah sebagai sandi komando mereka untuk menyerang. Tiba-tiba ketika sesampai saya di ujung jalan yang memasuki perkampu-ngan ini. Berondongan di tengah kampung. Yang pertama kali syahid adalah Warsidi sendiri ditembak. Dan itu kejadiannya dengan penyerbu-annya. Penyerbuan itu dengan kekuatan sekitar 300-400 personil.

Berapa orang yang tewas yang anda sempat saksikan sendiri? Yang saya ketahui dari perhitungan mereka itu saya tidak melihat. Itu saya mendengar angka sampai dengan 27 orang yang meninggal di situ pada hari itu, itu yang prianya saja. Belum lagi, ibu-ibu dan anak-anak, remaja, kakek jompo serta bayi-bayi yang mati terpanggang api di tempat itu. Apakah ada korban dari pihak militer? Sampai saat itu saya belum melihat adanya korban dari pihak militer. Lama terjadi pertempuran. Sekitar Jam delapan, saya lari ke belakang terus saya duduk sejenak di kebun jagung. Saya duduk di kebun jagung. Kemudian saya melepaskan sarung dan panah saya, menyeberang rawa-rawa. Turunan. Sehingga saya masuk ke suatu kampung. Di kampung itu karena belum sarapan, saya sempat mampir di rumah salah satu penduduk yang ternyata orang Bali. Saya minta minum di situ dan ngobrol-ngobrol. Saya pura-pura tidak tahu tentang kasus itu. Saya tanya kepada dia, “Ada apa sebenarnya pak di sana. Saya tidak tahu apakah ia beragama Hindu atau tidak yang pasti ia tidak benci kepada kita. Dia hanya bilang, “Itulah yang diperangi oleh tentara itu. Saya tidak tahu mereka maunya apa.” Saya bicara-bicara sedikit kepada mereka. Saya bicara bahwa mereka mungkin menuntut keadilan. Mungkin bapak itu merasakan hal yang bagaimana mereka memperlakukan bapak di sini. Pada saya itu juga saya bertemu dengan anaknya Pak Salikun yang bernama Sidik di rumah itu juga. Wallahu Alam, bagaimana caranya Allah mempertemukan saya. Sidik berusia + 12 tahun baru kelas 5 SD. Dia minta sama saya, ”Bang tolong antar saya pulang. Saya mana tahu jalan di sini.” “Ya okelah, ikuti saya saja”, jawab saya. Saya jalan dengan dia, hanya berbekal niat mengantar dia pulang ke rumahnya. Saya pulang dengan dia apa adanya. Makan pun makan kelapa muda di perjalanan mengantarkan dia pulang dari para petani penduduk di sekitarnya itu.

Waktu anda lari, apa nggak takut ditangkap karena dalam keadaan perang?
Atribut saya saya lepas semua, agar saya tidak membawa suatu ba-han yang mencurigakan mereka. Itu setelah terjadi pembakaran. Pembaka-ran itu sendiri terjadi sekitar jam delapan. Pembakaran rumah-rumah itu, baik itu rumah Pak Imam Bakri, Pak Warsidi, dan semuanya itu di satu kampung itu terbakar hangus, sehingga tidak ada yang tersisa barang satupun di sekitar situ. Berapa orang yang tertangkap? Persisnya saya tidak tahu berapa orang yang tertangkap. Tentang catatan pada peristiwa itu. Dulu saya minta izin dulu kepada Pak Warsidi. Bisa dijadikan bukti. Nggak usahlah mas Yusuf. Jadi, nanti dia bilang, itu bisa dijadikan barang bukti oleh mereka. Kita adalah sebagai pengacau keamanan di sini. Jadi itu tidak harus dibuat. Saya urungkan buku itu. Sehingga sampai saat ini tidak ada sesuatu catatan yang berarti yang bisa dijadikan bukti yang tercatat.

3. Tardi Nurdiansyah
Tardi Nurdiansyah lahir di Karanganyar, 9 November 1977, Solo, Jawa Tengah. Pendidikan terakhirnya di Pondok Pesantren Ngruki Solo Jawa Tengah. Menurut penilaiannya, “Ada yang mengatakan bahwa gerakan Lampung ini adalah gerakan orang yang tidak mengenal Islam. Baginya sebagai muslim, tuduhan Jaksa itu sangat hina sekali, tapi kami di Lampung padahal sangat tulus dan ikhlas melakukan bakti karena Allah SWT sesuai dengan pola pikir ketika itu”.71
Dia berkenalan dengan tokoh-tokoh yang terkait Gerakan Lampung semasa di Jakarta Utara dan di Lampung. Bahkan dia sudah saling mengenal dengan baik dan akrab pada Pak Warsidi. Kemudian memu-tuskan untuk menetap di Lampung. Tardi berdiam di rumah kakaknya di Cihideung, Talangsari. Dengan berbekal ilmu dari pesantren dia mengajar mengaji di daerah tersebut. Dia merasakan senang tinggal di sana, karena suasana Islami seperti di Pesantren Ngruki Solo.

Gerakan keagamaan yang dilakukan Warsidi itu menurutnya adalah gerakan untuk membangun masyarakat dengan suasana Islam, tidak ada tujuan untuk memberontak terhadap pemerintah. Yang jelas menu-rutnya, bahwa gerakan pengajian itu untuk menuju mardhatillah72 , walau-pun tidak ditunjang penuh oleh kemampuan agama Warsidi yang tidak sehebat ulama di Solo. Tapi tujuannya sudah baik, Warsidi ingin menegak-kan syariat Islam. Namun karena sifat pengajiannya yang agak eksklusif mengakibatkan aparat menduga bahwa gerakan itu adalah gerakan perlawanan terhadap pemerintah.

Menurut Tardi, dalam kasus Talangsari ini sebenarnya tidak diren-canakan sebagaimana pernyataan pemerintah. Kasus ini sifatnya insiden atau musibah saja, karena ada miskomunikasi maka terjadilah tragedi Talangsari tersebut. Padahal masyarakat setempat tidak ada niat sedikitpun hendak melawan pemerintah. Pada saat kejadian, sebenarnya Tardi kebe-tulan tidak ada di tempat. Dia sedang berada di Rajabasa dan dalam perjalanan pulang ke Cihideung menemui kakaknya. Namun kenapa ketika sampai di daerah Talangsari dia ditangkap oleh aparat keamanan. Maka pada waktu penangkapan terjadilah insiden kekerasan itu. Tardi mengalami perlakuan yang tidak sesuai dengan hukum. Padahal dirinya tidak tahu menahu tentang perlawanan rakyat itu, dan dirinya langsung dibawa ke Kodim.

Sesampai di Kodim, Tardi diinterogasi oleh tentara Kodim. Selanjutnya setelah beberapa lama dalam sel dibawa ke Korem Gatam. Selama di Korem, Tardi ditanyai banyak oleh tentara tentang kakaknya. Ada terbetik kabar bahwa kakaknya telah meninggal tertembak di lokasi kejadian Cihideung pada waktu operasi penggerebekan. Berdasarkan kedekatan-nya dengan pengajian Warsidi itulah maka oleh aparat Tardi diperkirakan sebagai aktivis Islam gerakan Lampung. Uniknya dalam penangkapan itu tidak diberitahu dasar hukum apa sehingga ditahan selama itu. Dalam proses pemeriksaan di Rajabasa itu kurang lebih selama 1 (satu) bulan di Korem.

Selanjutnya perkara tentang dirinya di limpahkan ke pengadilan. Pada saat sidang di Tanjung Karang yang tanpa pembela itu dia meng-hadapi tuntutan hukuman mati dan penjara hukuman seumur hidup. Tardi dituduh merongrong pemerintah yang sah dan menghina aparatur negara dan dipojokkan secara politik., bersama dengan 17 orang lainnya dari Lampung dan Jakarta ditahan di Nusakambangan.

Waktu mengalami pemeriksaan verbal di Lampung, Tardi sempat bertemu dengan aparat keamanan. Dalam perjumpaan itu ada proses dialog yang menanyakan perihal kejadian Talangsari. Karena jawaban-nya tidak tahu, akhirnya dkembalikan ke sel kembali. Namun selama proses tersebut tidak ada tindak kekerasan. Dalam perkembangan lebih lanjut, tatkala bertemu dengan oknum aparat yang lain, Tardi mengalami berbagai penghinaan/penyiksaan yang luar biasa, sampai badan tidak merasakan lagi bagaimana sakitnya dan darah berceceran akibat penyik-saan.

Tardi merasakan bahwa ada kalanya proses tindakan penyidikan itu betul-betul terlalu mengabaikan hak asasi manusia (HAM). Padahal kalau dilihat dalam status hukumnya haruslah mengacu kepada proses hukum praduga tak bersalah. Pada waktu penangkapan, tidak ada surat penangkapan. Malah yang ada penggebukkan dan tindakan kekerasan. Jadi yang Tardi alami hanya itu, di luar dari aturan hukum yang berlaku. Yang jelas negara ini adalah negara hukum, apakah hukum itu berlaku? “Yang pada kenyataanya hukum telah tercampakkan oleh aparat yang tidak manusiawi.”73
Terhadap perlakuan aparat keamanan yang semena-mena itu, Tardi tidak memiliki rasa dendam. Menurutnya, “kita tahu, aparat militer itu apa kata pimpinan dan saya lihat Pak Hendro dan kami memiliki kemau-an untuk ishlah. Pak Hendro ada kemauan untuk ishlah.” Ditambahkan-nya, karena kedua belah pihak telah mendapatkan korban, ia secara pribadi tidak ada perasaan dendam, tapi tidak menutup kemungkinan kalau dari yang lain untuk menuntut itu terserah. Yang jelas dengan diprosesnya dia di pengadilan, masyarakat merasa senang karena mengetahui kejadian sebenarnya, di mana orang takut terhadap Presiden Soeharto, kita tantang ketakutan itu dan masyarakat respon terhadap kita. Ketika orang takut dijerat kasus subversif, kita tantang itu karena bagaimanapun masyarakat akan hidup dalam suasana demokrasi, kalau salah dijerat dalam kasus subversif.”



Bab 11-2 Tokoh Peristiwa Lampung berdarah 1989 - Saksi & Korban (2)
Bab 11 TOKOH PERISTIWA DAN PARA KORBAN MUSIBAH POLITIK LAMPUNG BERDARAH, 1989

Bab 11-2 Para Saksi dan Korban Intelijen Peristiwa Talangsari (Sambungan)

4. Arief
Arief lahir di Sidorejo, ketika terjadinya peristiwa Talangsari ia berusia 18 tahun. Yang ada dalam gambarannya tentang kejadian itu adalah suasana perang. Saat itu, tepatnya tanggal 7 Februari 1989, ia melihat telah terjadi bentrokan antara tentara dengan anggota jama’ah Warsidi, yang satu menggunakan senjata dan yang lainnya dengan memakai panah-panah beracun. Karena keberadaannya di tempat lokasi kejadian, maka bisa dikatakan bahwa dirinya merupakan saksi hidup yang melihat secara langsung peristiwa itu.75

Ia sadari betul bahwa yang terjadi di desa Talangsari itu merupakan pengalaman pahit bagi dirinya. Untuk itu, sembilan tahun lebih peristiwa pahit itu dipendam dalam bathinnya, dan berusaha dengan susah payah dihilangkan dalam memorinya. Baginya peristiwa tersebut memberikan bukti nyata begitu mudahnya orang berbuat kekerasan apakah itu pihak militer maupun warga jama’ah Warsidi sendiri, padahal pada saat kejadian ia baru satu malam di pedukuhan Cihideung. Mungkin yang paling disesalinya adalah kecerobohan dan sikap keterlaluan dalam menantang negara yang dilakukan oleh para tokoh tragedi ini dari Jakarta.

Jauh sebelum peristiwa terjadi, kejadian-kejadian kelam tidak nampak dalam kehidupannya. Ia tumbuh seperti anak-anak desa umumnya secara wajar, bermain dan bercanda. Tidak pernah dalam pikirannya akan mengalami hal-hal di luar jangkauan pikirannya, karena dirasakan ketika itu dia hidup di daerah yang aman-aman saja. Bahkan ketika menginjak usia 9 tahun, ia masih bisa menikmati bangku sekolahan. Ia duduk di bangku sekolahan kelas 4 SD. Di samping kegiatan di SD, ia juga aktif menjadi santri di Pondok Pesantren Al Islam pimpinan Muhammad Usman.
Siapa sangka bahwa musibah akan menimpanya, karena memang musibah itu datang tanpa diketahui sebelumnya kepada siapa dan kapan. Tepatnya, pada hari senin tanggal 6 Februari 1989 sekitar pukul 17.00 WIB, ia bersama rombongan dengan menggunakan dua truk mobil datang ke Cihideung untuk mengikuti pengajian akbar. Malam itu ba’da Maghrib sampai dengan menjelang isya, ia mengikuti pengajian bersama dengan jamaah lainnya. Setelah itu dia dengan rekan-rekan sebayanya disuruh untuk tidur.

Pada subuh harinya, selasa,7 Febuari 1989, ia mendengar suara tem-bakan. Akibat desingan peluru yang amat keras membuat ia bangun dari tidurnya dan kemudian keluar untuk melihat apa gerangan yang sedang terjadi. Ketika ia sudah berada di luar rumah ternyata yang ia lihat adalah bentrokan antara tentara dengan jamaah. Suasana ketika itu persis seperti kejadian “perang” saja. Ketika sedang berkecamuknya “perang”, kemudian ia mendengar suara dari seorang jama’ah yang menyuruhnya masuk ke rumah. Lalu tanpa bertanya-tanya lagi ia pun menuruti perintah jama’ah tersebut. Rumah yang dimasukinya hanya berselang satu rumah saja dengan musholla Mujahiddin. Di dalam, ia bertemu dengan istri Abadi dan anak-anak seusianya. Mereka berada di sana kurang lebih 3 jam. Di balik persembunyiannya itu sayup-sayup ia mendengar suara orang meneriakkan “Allahu Akbar” dan suara tem-bakan. Dari bilik dinding rumah itu ia mengintip dan menyaksikan bentro-kan itu masih terus terjadi.

Namun selang beberapa jam kemudian suasana berubah hening. Dalam suasana yang seperti itu Arief hanya cuma bisa berharap bahwa semoga Allah memberikan pertolongan kepadanya. Tidak lama kemudi-an ia mendengar seseorang memberikan aba-aba hitungan. “Saya hitung sampai 3, jika tidak keluar, rumah ini dibakar,” katanya. Mendengar itu, istri Abadi menyuruh Arief dan lainnya ke luar. “Dik, kamu ke luar saja, Masa Depan kamu Masih Panjang.” Ia bersama rekan yang lainnya keluar lewat pintu belakang, berlari, merunduk dan sesekali tiarap. Pada saat itu ia melihat banyak mayat bergelimpangan dan masih ada yang sekarat. Bahkan sempat menyuruh seseorang yang sekarat untuk mengucapkan Istigfar dan Syahadat. “Pak, Istigfar, Ucap Syahadat,” katanya. Selanjutnya mereka terus berlari ke arah kali beringin.

Sesampai di sana, kami memceburkan diri dan berendam, sesekali menyelam, sesekali menonggolkan kepala. Di saat itu juga, saya melihat 2 orang melakukan hal yang sama dalam kandisi tertembak. Waktu itu, tinggi air sedagu Saya. Karena merasa tidak tahan, 3 orang dari kami mencoba keluar untuk menjelamatkan diri dengan cara berenang. Tetapi tidak lama, Mereka ditangkap oleh tentara. Saya dan satu orang kawan seusia mencoba untuk bertahan. Tapi karena sudah tidak tahan, kami mencoba bergerak berenang dengan cara melawang arus. Sama seperti 3 orang sebelumnya, kami pun tertangkap oleh tentara. Spontan saya sempat angkat tangan tanda menjerah. “Tidak usah angkat tangan.” Kata salah seorang anggota tentara. Kemudian saya dibawa melewati lokasi semula. Di sana saya melihat banyak mayat dan rumah-rumah sudah terbakar.

Saya beserta dengan yang tertangkap lainnya, dibawa keluar lokasi. Kami dikumpulkan berdasarkan umur disalah satu rumah penduduk. Kawan-kawan seusia yang ada ibunya dijadikan satu.Kami disuruh duduk. Saya pikir kami mau ditembak, ternyata saya dan lainnya malah diberi uang recehan. Tidak tahu apa maksudnya.

Kami diangkut dengan mobil tentara dan dibawa entah kemana. Perjalanan diperkirakan memakan waktu 1 jam. Sesampainya tempat yang dituju ternyata tenpat penjara, Saya dimasukan ke dalam sel berlima dengan yang seusianya. Saat akan masuk kepenjara, tahanan yang lain-nya mengata-ngatai kami sebagai GPK atau PKI. Saya dipenjara selama satu minggu. Kami yang tadinya berlima, karena yang dua menangis mencari ibunya.

Dari penjara, kami dibawa ke salah satu komplek tentara. Di sana, kami diberikan pengarahan bahwa kami akan dibawa ke Pelabuhan Bakauheni untuk menunggu pelarian GPK. Selanjutnya kami dibawa lagi yang saya tahu kemudian komplek tentara lagi. Sama seperti sebelumnya, kami diberi pengarahan yang sama. Dan untuk itu, kami akan dibagi seperti shift kerja. Salah satu orang anggota tentara sempat berkata dengan saya, “Dik, Kalau lihat Anggota GPK, kasih tahu Bapak, ya.”

Selam 24 jam secara bergantian kami menunggui orang-orang yang dianggap pelarian. Saya tidak pernah menunjukan orang, walau ada satu yang saya kenal. Sedangkan kawan saya yang satunya bernama Abas, banyak menunjukkan orang. Setiap yang ditunjuk, pasti ditangkap aparat. Dan dibawa ke kompleks tentara tersebut. Terhadap orang-orang yang ditangkap, Mereka diintrogasi, disiksa dalam bentuk dipukul dengan tangan, dihantam senapan, disudut rokok, perempuan berjilbab dipaksa lepas dan yang laki-laki hanya memakai celana dalam. Saya tidak tahu dibawa kemana orang-orang yang ditangkap tersebut.

Di Komplek Tentara dan Pelabuhan Bakauheni, kami beberapa hari lamanya. Dan setelah operasi penungguan pelarian dianggap selesai, kami ditanyai alamat rumah. Saya tidak tahu rumah orang tua saya.Tetapi saya menjebut salah seorang saudara yang ada di Way Jepara. Saya sempat ditawarkan untuk menjadi anak oleh seorang anggota tentara tetapi saya tidak mau.

Dari kompleks tentara, kami dibawa pergi dengan menggunakan helikopter. Selanjutnya saya dibawa ke Makorem 043/Gatam. Saya terpisah dengan 2 orang kawan saya. Tidak tahu kemana mereka dibawa. Di Makorem 043/Gatam, Saya nginap satu malam. Keesokan harinya, saya dibawa ke Way Jepara. Setelah sampai, saya tidak langsung ditawar-kan ke tempat Saudara saya. Saya nginap satu malam di Makoramil Way Jepara. Keesokan harinya, saya baru diantarkan. Setelah saya ditawarkan ke rumah Saudara saya, hampir setiap 2 bulan sekali , anggota koramil Way Jepara mengecek keberadaan saya atau sesekali saya dipanggil ke Makoramil. Dalam kedatangannya,kadang-kadang saya dibawakan oleh-oleh seperti baju atau diberi uang, sedang saya sendiri melanjutkan sekolah di tempat semula. Dan setelah lulus SMP, kunjungan tersebut tidak pernah lagi. Belakangan saya baru mengetahui, ketika saya ditangkap, seluruh saudara dari orang tua angkat diperiksa oleh tentara. Mereka diinterogasi berkaitan dengan keberadaan saya di lokasi Cihedeung dan sejauh mana keterlibatan saya.

Dalam pergaulan sehari-hari, baik dengan kawan di sekolah atau di rumah, saya terkadang mendapat ejekan. “ Hei, kamu anggota GPK, ya.” Atau, “Kamu, PKI, ya.” Saya tidak menanggapi ejekan tersebut. Karena saya tahu mereka tidak mengetahui keadaan sebenarnya. Tapi, kadang-kadang Saya membantah ejekan tersebut dengan ucapan, “Kalau tidak tahu. Jangan ngomong.”

Saya ini tidak lagi bersekolah karena tidak sanggup biaya. Saya sebenarnya masih ingin sekolah. Bila memungkinkan sampai menjadi Sarjana. Padahal, kata orang tua angkat Saya, dulu katanya biaya sekolah saya akan ditanggung oleh pemerintah.Tapi ternyata tidak.
Saya ingin peristiwa tersebut diungkap lagi. Para pelaku pembunuhan diusut dan dihukum. Biar semuanya menjadi jelas dan terang.

Saat ini, Saya mendapat amanat untuk mencari anak Muhammad Usaman yang bernama Muhammad Faruk. Waktu itu, usianya kira-kira baru 3 Thn. Terakhir saya melihat waktu berjalan bersama-sama dengan orang-orang yang ditangkap ke rumah salah satu penduduk, Muham-mad Faruk digandeng oleh salah seorang anggota Tentara. Tetapi saya tidak tahu namanya. Saya yakin Muhammad Faruk masih hidup sampai sekarang.
Demikian kesaksian ini Saya sampaikan sesuai dengan yang Saya alami, Saya ketahui dan Saya lihat.

5. Masudi
Dihukum kurang lebih 7 tahun di Cihideung. Tempat tanggal lahir di Siderejo 10 Oktober 1920, waktu itu masih hutan. Pendidikan SD Ma-drasah, SMP Tsanawiyah, waktu itu (waktu kejadian) masih kelas tiga. Pertama kali ia dibina oleh Kardi, Herdiawan, Murdiawan, Mursyid, Abdullah Abdurrahman, Ir. Usman.
Sewaktu ditangkap bersama 5 orang oleh Koramil tanggal 5 Februari 1989. Saya (Masudi), Herdiawan, Diman, (calon) Ir. Usman langsung dibawa ke Koramil dan langsung dipukuli dan digebuki oleh Koramil dan terus dikirim ke Kodim. Jadi tidak mengetahui peritiwa 7 Februari 1989. Itu waktu saya mengasih penjelasan selama diproses itu sama saya berangkat dari Siderejo berapa orang sampai di sana jam berapa terus pengajian terus ketangkap. Ya karena kenal jalan, teman saya yang termasuk ketangkap lima orang itu semuanya masih hidup. Saya, Her-diawan, Diman. Yang empat itu sebaya, yang satu agak dewasa, nama-nya Herdiawan itu. Dia sudah lama ikut di situ.

Di Kodim ia disiksa, dipukul, ditarik-tarik, diinjak pakai kursi, digencet jempol kaki pakai sepatu, dipopor pakai bedil, kepala digebuk, sekujur tubuhnya, termasuk pakai kayu sampai patah dua terus dimasukkan di sel sebesar 1 meter. Tidur, kencing, shalat di ruang itu di Kodim Metro Lampung. Yang periksa dan yang memproses ganti-ganti dan pakai baju preman. Lihat matanya saja tidak boleh, lihat wajahnya terus dipukuli. Di Korem 403 disiksa juga. Waktu diproses saya sudah mengantuk, sama seperti waktu di Cihideung tapi pihak pemerintah/ABRI itu yang mem-proses saya tidak juga percaya, ya main pukul main siksa. Di Korem itu lama. Saya di Korem 403 itu tempat proses kalau sore dibawa ke lembaga gelar Pramuka di Rajabasa kalau sore itu. Tapi kalau mau diambil dari lembaga itu tidak pakai berdiri tapi harus merangkak di LP Rajabasa. Di LP itu tidak disiksa, tapi kalau mau keluar dari LP itu harus merangkak di kerikil mau keluar LP selama 7 bulan.

Saya sering ditanya, apakah jama’ah Warsidi itu shalat telanjang? istri kamu, ya istri Warsidi? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sengaja dituduhkan, dari penduduk kampung yang tidak senang kepada jama’ah Warsidi. Padahal, pelajaran agama di sana baik menurut Islam. Tidak ada untuk melenceng dari Al Qur’an dan Hadits. Waktu itu saya berumur 15-16 tahun. Nama saya diganti Mujiana, karena takut membawa nama yang asli untuk keluarga saya yang di rumah karena keluarga saya tidak tahu mereka turut menanggung resiko. Selain Ibtidaiyah itu ikut pengajian ikut di mana. Ya, Ibtidaiyahnya itu ya di sini masuk di Al Barokah, terus ya di Madrasah ini saya dipecat oleh guru saya karena terlambat setiap hari karena ikut pengajian di Cihideung, di sana ngaji berapa lama kemudian kejadian. Ya adalah. Ikut pengajian selama satu sampai dua bulan. Itulah pak tapi tidak terus menginap, kadang pulang tapi saya pakai sepeda lewat hutan. Jarak tersebut ditempuh selama tiga jam.

Saya ingin sekolah sampai tamat. Makanya setelah saya pulang masyarakat banyak yang mengejek, yaitu yang membuat saya tidak kuat. Sampai ada apel segala kok di Jagur baya setelah bebas itu tiap minggu apel. Saya protes, saya minta apelnya di sini, lalu apelnya di sini. Lalu waktu mau pindah saja lapor kebaikan polisi ke tempat ke Kecamatan saudara.
Ya kalau saya ketika itu masih dini, termasuk masih kanak-kanak. Itu pengajian dari mulai makan minum secara Islami di Cihideung. Makan sendiri-sendiri. Kalau pakai tangan kanan ya secara Islami. Itu juga kalau merokok waktu di kebon lada pak Warsidi merokok. Tidak ada yang sesat. Kalau bagi saya walaupun baru lima belas tahun bagi saya menilai mengajarkan Islam kepada saya itu tidak ada melesetnya. Benar tidak ada melesetnya. Masalahnya asli saya hadir, memang di sini agak kerasnya harus sami’na wa ‘atha’na itu. Kalau haq, ya haq. Kalau batil ya batil.
Ya, makanya seperti tadi pak! Anwar Warsidi itu kan amir saya, tahu ya karena sepaham dengan adilnya. Itu kan yang membikin masalah. Ya masyarakat saja cuma selisih waktu. Bukan masalah tujuan. Dan ajaran sesuai dengan Al Quran dan Hadits tapi masayarakat yang masih awam kebanyakan menyalahkan duluan bukan disini di Siderejo, sedikit-sedikit bicara Al Quran banyak yang tidak senang. Terus ketika mengirimkan orang dari Jakarta. Saya tidak ingat, karena saya pulang ke rumah orang tua saya.

Soal bangunan di Cihideung, setahu saya, ada gedek, musholla itu, tempat orang tua, sama anak yatim. Itu cuma kayu bukan gedung. Yang berkeluarga itu bikin pondok satu kamar, kalau masak bisa di luar ada empat rumah. Terus musholla (rumah yang didiami pak Jayus). Biasanya saya menginap di Musholla dari kayu saja, lantainya sudah ada batu setengah badan. Makanan harian dari teman-teman kita yang ditemui di luar komplek itu. Di kirim untuk yang ngaji di situ undangan dari teman. Beli sendiri. Jama’ahnya ngumpulin duit, tidak ada paksaan. Kalau ada teman kita yang tidak ada ya kita bantu. Saya tidak pernah dipungut untuk infak. Kalau yang sudah punya ya wajib. Ya masukkan untuk infak itu. Kalau makan itu, yang diutamakan anak kecil, orang perempuan lalu kalau masih ada yang laki-laki. Ustadnya itu sisa. Kalau kebagian ya kebagian, kalau tidak ya tidak. Saya yakin itu, di sana itu saya sekitar sebulan tinggal. Saya pernah ngumpul di kebun ladanya pak Warsidi di jalan Sanding. Orangnya bagus persaudaraannya. Saya dulu pengajian di sini sama di Jamzuri di Al Barokah.

Itu dulu rencananya tanggal 12 Desember 1988 tempat Warsidi itu dijadikan tempat pelaksanaan pengajian supaya tidak campur antara hak dan batil sebab di kota besar kami punya pendapat atau pendirian tidak mungkin dapat menghindarkan dari maksiat. Ini merupakan bikin basis apa begitu? Jadi terjadi pengajaran-pengajaran Islam itu terlaksana sebab kami mengirimkan lima puluh orang itu tanggal satu Januari 1989. Jadi mereka tinggal sebulan. Jadi mereka belum ditata. Itu belum dilaksa-nakan karena baru perintah belum ditata masih bikin di pondok-pondok itu. Sentuhan-sentuhan sudah baik dan Soleh Munawar itu kan ada tanah wakaf pak Jayus karena ada perselisihan entah bagaimana tanah wakaf pak Abdullah Sungkar yang beli khusus untuk jama’ah dengan tujuan akan mendirikan pesantren di sana.

Saya tidak mengerti politik sebab umur saya masih 15 jadi saya dimasukkan ke kanak-kanak. Ada terlampir di buku induk tidak jadi di Tibum. Jadi waktu ditangkap saya itu tidak secara terang-terangan, masa Koramil menangkap saya di gardu, karena saya di musholanya pak Warsidi banyak tamu saya ingat di gardu saya tiduran di situ. Jadi waktu menangkapnya itu tidak secara wajar jadi aparat kalau mau benar-benar menangkap sebenarnya kok datang merangkak melewati pagar kemudi-an melompat sudah ada di depan gardu.

Selama dua bulan pengajiannya kalau sore membaca Al Quran kalau Isya mendapatkan sentuhan rohani. Pak Warsidi pernah termasuk ustad-ustad lain di situ. Ustadz Usman, Abdullah, Soleh. Isinya Aqidah Islam, menghantam Pancasila itu tidak pernah saya dengar. Tentang memben-tuk negara Islam dalam pelajaran sedikit sentuhan Islam yang lebih baik. Hukum menegakan Islam ya ada waktu itu. Abdullah Sungkar setelah peristiwa sudah di Malaysia.
Waktu di Korem sayakan dipukuli karena dilarang hormat bendera dilarang tidak boleh pakai pancasila karena saya bilang tidak dipukul, saya bilang Insya Allah., yang memasukan saya kedalam kasus itu dengan sistem main pukul, itu termasuk paksaan supaya saya lebih dalam supaya saya nanti keluar bisa mengikuti perintah ajaran yang sebenarnya ya kita jawab Insya allah kan cuma itu.

Pak Warsidi itu setahu saya tidak gimana ya orangnya gampang bersahabat, penyayang. Sama Pak Warsidi untuk pulang dan makan dikasih Rp. 15.000,- rupiah tiga hari. Jadi dia tidak kerja paksa, dia dermawan. Istrinya satu dan anaknya tidak tau ya itu yang saya tau karena waktu itu saya pernah diajak metik lada di way kambas. Ladang yang Pak Abdulah Sungkar saya kira masyarakat disuruh pergi tapi barangnya hilang kalau mau menandai kelompok ini saya tidak setuju mereka ngak mau bikin masalah saya pulang kerumah bertemu dengan tetangga lantar saya bikin kesalahan tidak pernah.

Pada waktu terbunuhnya kapten Sutiman itu, saya sudah di Kodim. Sebelumnya Kapten Sutiman sebelumnya tidak datang karena sudah ada surat panggilan. Waktu mendapatkan panggilan untuk menghadap ke aparat itu saya tidak tahu, sebab kalau siang saya ikut menanam ubi, singkong di Cihideung. Kebunnya itu luas. Ustad Jamin, Sugih, Pakdenya Diman, Carsum. Waktu itu sedang ada panen
Waktu di koran dikatakan korban itu sekitar 70 orang. Padahal dari sini saja 7 orang dari Siderejo 11 orang , anaknya pak Takwa 3 orang, dikubur jadi satu dilempar begitu saja satu lubang yang ngubur rakyat. Orang yang dibunuh di Siderejo dan di Cihideng, 3 anak pak Takwa, 4 anak Jamjuri, 1anak pak Saman,2 anak pak Setum, 2 Bani dan Diun, 1anak Zamzuri, 5 orang dari Jakaman, 4 keluarga Alex, 4 orang keluarga Kardi, 2 Arifin dan keluarga, 2 Sugeng, Musrin, 3 Runim, 3 Yanto, 3 Yatna, Supry dan Udin, 2 Heri, 3 Usman, Markum, 3 Kusnadi, Pak Tarik ini yang saya ingat nanti dijumlah saja.

Ya itu tadi mereka tinggal di gubuk gubuk dan mereka akan musya-warah untuk membuat perencanaan pembangunan dan dari Jakarta belum datang semua , nanti setelah datang dan rapat akan diajak ke pemerintah untuk mencari dana, tapi pemerintah sudah menuduh lebih dulu bahwa jamaah ini jamaah PKI itulah terjadinya panas memanas.

Yang mau mengeluarkan saya itu Muladi , Pak Rohani, Kardi, Muklis, 9 orang waktu itu, mungkin mereka mendengar tentang penyiksaan tentara yang gemuk-gemuk.

Tentang masyarakat tetangga dan Pak Warsidi bagaimana waktu itu.
Yang banyak tau itu Pak Iman yang bantu bawa beras selain itu belum kenal dan pengajian macam kuliah subuh. Berarti kejadiannya setelah di Cihideng baru kesini.

Ya sehari itu setelah selesai penyerangan di Cihideung terus ke sini tanggal 7-8 Februari 1989 di Siderejo waktu kejadian di sana itu tanggal 6 Februari 1989. Jadi tanggal 8 Februari 1989 itu sudah habis di sini hanya mengambil saya. Saya waktu ditahan di Lampung Metro itu 5 orang termasuk saya, yang satu dicekik, masa orang sudah ditahan disuruh telanjang kemaluannya ditarik dari belakang terali itu namanya An sampai sekarang sakit kemaluannya, saat penyiksaan pada waktu itu luar biasa, mengucur air mata saya itu waktu menyaksikan penyiksaan, sampai militer itu anak itu dengan ikat pinggang seperti anjing gila tidak ada rasa kemanusiaan sedikit juga sekenanya yang dipukul dada kepala kaki badan, kepada anak-anak ini mereka tidak punya perasaan, kepada saya mereka saya tanya apa kesalahan saya kalau benar silahkan tembak.
Orang tua saya, sebenarnya begini, dibilang setuju tidak. Dibilang tidak ya gimana. Karena orang ngaji waktu itu mau berangkat ke sana minta sarung dibelikan, minta baju koko dikasih setelah itu saya ke sana beberapa hari kejadian saya sudah dianggap mati di Cihideung, ternyata saya tanpa membawa-bawa bapak saya bisa pulang. Pas pulang orangtua terkejut. Ya pas begini, waktu magrib. Pas puasa.

Besoknya rumah Zamsuri dibawa teman ke rumahnya pak Nu RT 03. Ya warga masalahnya begini. Ada yang bilang orang yang jaga gardu sudah ada yang dipulangkan. Ada yang menjawab apa saya tidak tahu katanya. Yang juga masyarakat yang jadi korban tentara di belakang disuruh membawa lidi, kalau tidak hadir membawa lidi direndam di comberan seperti pak Sugeng Mantri, disuruh mandi di comberan. Ten-tara yang nyuruh pokoknya sudah di luar batas. Kalau saya dulu kesala-han harus dibelokin. Kalau saya mengaku tidak, maka digebuki. Kejadian masalah ini, mau dijadikan saksi menuntut keadilan.

6. Azwar Kaili
Azwar Kaili lahir tahun 1942 di Painan, Sumatera Barat. Dia adalah seorang pejuang yang tak kenal menyerah, berbudi pekerti baik dan bersi-kap tegas. Dalam hidupnya, segala persoalan dihadapinya dengan lapang dada dan senantiasa bersabar mencari hikmah dari semua peristiwa-peristiwa sejarah. Ia berhijrah ke Lampung pada tahun 1960. Baru pada tahun 1969 ia pindah ke Sidoredjo, sebagai the last frontier bagi hidupnya dan keluarga. Pada tahun 1969 tersebut, jumlah kepala keluarga yang berpindah ke Sidoredjo sebanyak 600 KK. Dia adalah salah seorang yang diperlukan sebagai mantri pengobatan di daerah baru tersebut. Pada waktu itu, sekitar tahun-tahun 70-an, penyakit malaria adalah penyakit yang ditakuti semua warga. Ia menyediakan obat-obat pil kina yang mencoba mengatasi penderitaan rakyat di sana. Pada awalnya, sebagai mantri pengobatan, ia juga bercocok tanam kedele dan tanaman tumpang sari lainnya.

Hidup memang terasa sangat keras di Sidoredjo pada tahun-tahun awal pembukaan lahan. Ia juga mengalami peristiwa tragis yang juga dialami banyak orang di Sidoredjo pada tahun 1971. Pada tahun 1971 terjadi sebuah peristiwa yang tidak dimengertinya, segerombolan tentara republik, tentara kehutanan, datang dan mengusir mereka semua yang tinggal di lahan pembukaan baru di Sidoredjo. Peristiwa ini sangat menge-jutkan karena terjadi tanpa sebab yang jelas. Namun, semua itu dianggap sebuah “kekerasan formal” yang mungkin harus terjadi pada waktu itu. Pada tanggal 3 Maret 1973, ia menikah dengan seorang perawat bernama Ismini. Dengan istrinya inilah ia mengarungi hidup yang penuh dengan suka duka bersama dengan lima orang anaknya.76
Dia merupakan satu-satunya orang dari Sumatera Barat —di samping itu ada lagi yang bernama St. Malano— yang ditangkap karena peristiwa berdarah itu. Diketahui, keterlibatannya dalam kelompok Warsidi ini di bawah koordinasi Sudiono dan Zamzuri. Bahkan Azwar merupakan penyelenggara kursus kesehatan dengan mengambil instruktur dari RSAM Tanjungkarang.77 Berkat ketekunan istrinya dalam mempelajari kursus tersebut, sehingga ia mendapat keahlian menyuntik dan mendapat gelar dari masyarakat setempat sebagai manteri kesehatan. Namun Azwar sendiri, sehari-harinya bekerja sebagai tukang jahit pakaian.

Sesungguhnya keberadaan dirinya di Lampung sudah sejak lama, kira-kira tahun 1969 di Teluk Betung. Jadi, hampir 30 puluh tahun lebih. Di daerah barunya itu lebih kurang ada 600 kepala keluarga. Menurut sepengetahuannya, yang pertama kali membuka daerah Teluk Betung itu adalah Taufik Hidayat dari Kostrad Bandung. Selanjutnya diikuti oleh yang lainnya, karena daerah tersebut merupakan lingkungan daerah tumpangsari. 78

Ketika pertama kali masuk ke Teluk Betung pada tahun 1969, Azwar menjadi pedagang obat. Waktu itu di sini karena masih daerah pembu-kaan, sangat rawan dengan berbagai penyakit, terutama penyakit malaria. Banyak penduduk di sekitarnya yang kena terjangkit penyakit malaria. Oleh karena itu, dirinya diminta oleh kepala pembukaan untuk menetap di sini untuk membantu mereka. Cuma karena waktu itu masih dalam pembukaan sebagian pamong-pamongnya mengeluh karena biayanya tidak ada. Setelah panen kedelai dan jagung, daerah ini supaya dikosongkan karena ada perintah pengosongan.

Ada tuduhan bahwa beberapa hari ketika gerakan Warsidi di Sidorejo akan melakukan aksinya, rumah Azwar dijadikan sebagai pusat logistik untuk mempersiapkan rencana mereka melakukan penyerangan tanggal 19 Februari 1989. Setelah mereka telah matang menyusun rencana, istri Azwar mendapat tugas mengatur persiapan logistik itu. Setelah dilakukan penyerangan oleh petugas keamanan, Azwar diketahui merupakan salah satu dari tujuh orang yang menyerang pos polisi Sidorejo.

Perambah jalan baru bagi peradaban Sidoredjo ini beberapa kali mengalami peristiwa konflik agraria yang menyejarah di Sidoredjo. Pada tahun tahun 1974 terjadi peristiwa perebutan lahan kebun antara orang-orang Jawa, Bali dan Lampung di Sidoredjo. Banyak korban yang jatuh dalam peristiwa tersebut. Namun, keadaan kembali berjalan normal setelah konsensus terjadi antara pihak-pihak yang bertikai. Keadaan damai ini berlangsung lama tanpa ada suatu peristiwa apapun. Baru setelah intervensi pihak pemerintah keadaan mulai berubah. Hubungan-hubungan sosial menjadi begitu kakunya pada tahun-tahun akhir 1980-an. Lurah Santoso dan Bapak Muharram sebagai Koramil79 tetap bersikap sangat agamis, hingga setelah melihat ada perkembangan pengajian di Langgar Al Barokah, di samping Lapangan Alun-Alun Sidoredjo, sikap kedua aparat ini tidak berubah. Pengajian di Masjid Al Barokah ini sangat penting artinya dalam peristiwa Sidoredjo 7 Februari 1989.

Pengajian di Masjid Al Barokah telah berlangsung sejak tahun 1987 yang diisi oleh seorang yang fasih dalam pendidikan Al Qur’an dan Hadits, bernama ustadz Dallari. Namun, kemudian pengajian Al Qur’an dan Hadits yang telah mencerahkan orientasi keagamaan mereka diisi oleh Dullah (Abdullah) yang pada waktu itu masih bujang. Karena perbedaan status perkawinan inilah kemudian terjadi komunikasi yang kurang lancar. Namun, karena kegigihan Dullah, pada akhirnya pengajian ber-tambah ramai dan semarak. Banyak orang ingin mendapatkan pengeta-huan agama di wilayah yang kering secara spiritual tersebut. Apalagi dengan pluraritas pendudukinya yang menganut berbagai agama telah menyebabkan hawa sejuk Islam menyirami mereka semua. Pak Zamzuri, Pak Maulana dan Pak Azwir pun menjadi aktif dalam pengajian Ming-guan tersebut. Untuk mentransformasikan semua ilmu keislaman, maka jadwalnya pun ditambah sehingga pihak Lurah dan Kapolsek kepanasan dengan pengajian tersebut.

Maka, pada hari Senin, 7 Februari 1989, terjadilah peristiwa konflik antara pihak Koramil, Lurah dan beberapa angkatan muda dari jamaah pengajian biasa tersebut. Ketika didatangi oleh Kapten Polisi Sudargo80 , dari pihak Polsek, Nursalim, Sudiono dan Sony berhamburan keluar dan lari melintas lapangan alun-alun. Beberapa kali suara tembakan meletus dan mengenai Sony hingga tewas. Mayatnya tergolek lemas di pinggir lapangan. Merasa ada sesuatu yang kurang beres, maka Zamzuri, Mau-lana dan Azwir sebagai tetua dalam jamaah tersebut mendatangi lokasi. Rakyat sudah ketakutan dengan suara-suara letusan senjata dari Sersan Mayor Polisi Sudargo. Maka, Zamzuri pun segera mengambil sebilah parang panjang dan menebas batang leher Kepala Desa Sidoredjo Santoso Arifin hingga putus. Aksi para jamaah yang dianggap meresahkan itu juga sempat membunuh Serma Sudargo di hutan lindung Gunung Balak serta melukai Serda Arif Sembiring.

7. Munawar Warsidi
Munawar81 memiliki kesamaan nama dengan Warsidi, akhirnya jadi korban juga, yang menunjukkan lemahnya analisa intelejen Orde Baru. Ia masuk ke Lampung sejak September 1976 dengan menyusul keluarga dari adik dan pamannya. Ia dan adik-adiknya sudah aktif di lapangan pergerakan, karena dulu waktu pengajian dari Solo. Sesudah aktivis Islam Abdullah Sungkar di Solo dikejar-kejar aparat, kemudian hijrah ke Lampung mendirikan suatu pemerintahan pola Islami. Anak-anak dan adik-adiknya, memang cenderung ikut aktif dipergerakkan dan sudah ada dampak benci terhadap Soeharto dan kaset-kaset yang didengar polanya memang pengajian dari Ngeruki Abdulah Sungkar, memang dulu pengajian mesti menghujat pemerintahan. Masuknya adik-adik di sini tahun 1986, terjadinya Warsidi tahun 1989 bulan Februari. Tahun 1986 sudah mulai masuk sini dan pengajian itu belum begitu terkoordinir di daerah Lampung Tengah di Cihideung sampai sekarang saya belum tahu.

Munawar tidak mengetahui tentang bagaimana peristiwa kematian adik Munawar, sedangkan yang jadi korban di sini laki-laki yang nyata perlu didata sebagai sejarah yang benar kejadiannya dan berapa korban di sini. Kalau dulu pak Sis pendatang benar atau tidak karena seakan-akan menyalahkan yang ikut jamaah pak Sis itu, yang masuk jamaah itu kan semua termasuk keponakan pak Sis itu. Pak Sis dulunya menyalah-kan, karena belum tahu saja, baru sekarang ini dia tahu. Tapi dalam hati Munawar, dulu pernah orang-orang di Cihideng ada yang masuk sini, istilahnya bawa masuk mencari ikhwan-ikhwan di sini, mencari yang simpatik termasuk Abdulah dari Siderejo.
Kalau disini Munawar yang lainnya keluarga besar Munawar, adalah orang-orang yang buat surat pernyataan. Munawar difitnah karena nama Warsidi Munawar, tentara tim penjaga main timpuk sehingga Munawar menyebut Allahu Akbar, tidak Munawar tidak mau berhenti kalau masih membaca mantra-mantra seperti itu akhirnya Munawar Allah-Allah saja, ya salam dholim memang.

8. Ibu Munjiatun
Ibu Munjiatun yang bersuamikan Bapak Ahmad Zaini adalah keluar-ga korban dari Talangsari. Yang pertama, Siti Khairiyah berusia 18 tahun dan Siti Mutmainah berusia 17 tahun pada waktu kejadian itu.82 Mereka pindah ke Talangsari karena ikut bersama suaminya masing-masing. Kedua-duanya tidak tahu apa-apa, hanya karena ikut menyertai suami-nya masing-masing. Pernah ditanya Bapaknya, untuk menghindari ikut suami. “Apakah sudah ikhlas?”, tanya Bapak Ahmad Zaini melepas anaknya untuk selamanya. “Ya sudah ikhlas,” jawab mereka.

Nama suami Siti Khairiyah adalah Sofyan dan suami Siti Maimunah adalah Fahruddin. Siti Khairiyah dan suaminya dulu tinggal di Cempaka Putih, sedangkan Maimunah masih sekolah, tinggal tunggu ujian selesai sekolah Tsanawiyah, dia sudah ambil keputusan nggak ngurusi sekolah juga tidak apa-apa. Bapaknya cuma bilang, “Terserah kamu.” Sebuah kepasrahan keluarga muslim Jawa puritan melihat dinamika anaknya berpindah ke suatu tempat yang naif.

Ibu Munjiatun dan Bapak Ahmad Zaini mendengar tentang kejadian Lampung, dari orang yang pulang dari Lampung. Orang yang memberi-tahukan kepadanya tentang kejadian itu adalah Sopan (Sofyan)83 yang mampir datang ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta memberitahukan tentang kabar bahwa di Lampung telah terjadi pembunuhan Kapten Sutiman. Dan meminta orang-orang Jakarta untuk pergi ke Lampung. Dan memang benar, situasi tengah terjadi penyusuran dan pembakaran serta penembakan. Melihat gelagat ini, Bapak Ahmad Zaini tidak men-capai tempat kejadian, ia balik kembali ke Jakarta. Sementara itu Sofyan sendiri telah balik pergi kembali ke Lampung dan kemudian balik kembali ke Jakarta hingga Sofyan tertangkap pihak keamanan di tengah perjala-nan. Bapak Ahmad Zaini langsung pulang ke Jawa (Solo). Tetapi di Solo ia gelisah, lalu ke Jakarta lagi, ke Solo lagi, jadi buron-buronan dan tidak menentu karena perasaan yang tidak enak, pikiran tidak tenang, makan tidak doyan.

Yang menarik dari perjalanan Ibu Munjiatun ini adalah bahwa sela-ma kejadian Tragedi Talangsari tersebut, petugas keamanan tidak ada yang datang, tapi kalau mata-mata ada. Ia dan suaminya merasa selalu diawasi mata-mata intel. Negara Orde Baru benar-benar sebuah “Negara Intelejen”. Jika Wet Wet Wet menyebut “Love is all around”, maka di Indonesia “Intel melayu is all around”. Mereka tidak menggangu tetapi Cuma mengawasi saja. Demikian tenangnya rakyat cilik menghadapi mata-mata negara intelejen ini.

Setelah merasa diawasi itu, suaminya pergi, tidak ada di rumah. Sebuah perlawanan halus yang bisa diberikan oleh seorang mukmin Jawa sejati. Sementara sang istri tetap di rumah bersama anak-anak yang masih kecil-kecil, sedangkan anak-anak yang besar-besar sudah pergi, walau mereka akhirnya tewas. Para tetangga itu tadinya tidak tahu, tapi lama-lama pada tahu tentang keluarga ibu yang meninggal karena karena peristiwa Lampung. Namun, sikap mereka di luarnya terlihat baik-baik saja atau pura-pura tidak tahu padahal tahu, tidak tahu di dalam batin, ya benci.
Kalau ngobrol-ngobrol dengan warga tetangga biasa biasa saja. Mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang peristiwa tersebut. “Mereka pada takut sendiri-sendiri dan diam-diam saja. Sama saya juga diam,” papar Ibu Munjiatun. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat memahami dunia intelejen yang menakutkan ini sehingga untuk berbicara pun dia sudah sangat takut. Fir’aun terbesar yang berada di balik semua penyebab ketakutan rakyat adalah Soeharto.
Selama dalam buron Bapak Ahmad Zaini mondar-mandir Jakarta Solo. Begitu saja mereka menjalani kehidupannya. Dan Bapak Zaini tidak pernah ke tempat lain. Tidak ke mana-mana. Hanya Jakarta-Solo saja. Mundar-mandir. Sebuah dunia yang dipersempit. Tida ada upaya untuk bertanya ke pada pihak-pihak lain tentang kematian anaknya. Ia mene-rima kenyataan bahwa anaknya telah meninggal. “Kalau meninggal karena Allah, saya merasa ikhlas saja. Tetapi kalau dibunuh dan ditembak itu saya tidak ikhlas,” katanya dengan nada perlawanan. Ia jelas ingin menuntut keadilan, “Saya menuntut keadilan pemerintah.”

Pihak pemerintah menyebutkan bahwa ada 30 korban yang mening-gal di sana, tetapi pihak pemerintah tidak menunjukkan di mana kuburan anaknya. Tentu saja ia dan suaminya ingin tahu di mana kuburan kedua orang anaknya yang sangat ia cintai itu. Dan usahanya dua tahun terakhir ini, telah melapor tentang itu. Kalau kasus ini dibuka lagi, ia siap untuk memberikan kesaksian tentang anaknya yang meninggal di sana. Sebelum meninggal kedua anaknya itu, ia menyimpan foto mereka. Tetapi sejak mereka meninggal, ia menjadi tidak tahan untuk menyimpannya. “Kok foto-fotonya ada tetapi orangnya tidak ada. Saya jadi tertekan…..”

Ia tidak ikhlas mendengar kematian anak-anaknya itu, karena mereka telah pamit dari rumah masih sehat, masih segar bugar. Ketika sampai tempat yang dituju katanya cari ilmu, tetapi lain kejadiannya, kok ada sebuah persiapan perang di sana. “Saya tidak ikhlas. Tidak terima. Kalau ingat itu, saya merasa tidur tidak nyenyak, makan tidak enak.” Anaknya tidak mencuri apa-apa. Orangnya baik-baik semua. Mereka Cuma mau cari ilmu. Cari kebenaran. Nggak nyolong atau ngambil-ngambil apa. Mereka mencari ilmu yang benar untuk dunia akhirat. Sebuah keihklasan manusia Jawa untuk menerima kenyataan luhur dari pencarian ilmu agama.

Maimunah, pendidikan terakhirnya adalah Tsanawiyah Negeri Kaca-ngan Solo, Kabupaten Boyolali, tidak sampai tamat.

Tentang peristiwa lampung ini tetangga-tetangganya di Boyolali, orang sekampung sudah pada tahu semua. Itu anaknya Pak Zaini dianu, ditembak atau dibakar itu semua orang sudah pada tahu. Cuma mereka diam-diam saja. Ia sendiri tidak mengerti aliran sesat itu apa. Baginya, tidak ada aliran sesat. Padahal mereka itu berpedoman kepada Al Qur’an. Itu yang mereka cari. Karena keadian itu sudah berlangsung lama, tentu ibu ini punya harapan. Harapan ibu ini hanyalah sebuah kepasrahan biasa, kalau mereka itu sudah mati, ia mengharapkan ditunjukkan kubur-nya. Ia ingin tahu dan berziarah ke tempat anak-anaknya itu. Dari delapan orang anaknya, yang meninggal tiga orang. Dua orang meninggal di Lampung. Yang satu meninggal sewaktu masih kecil, sedang yang enam masih hidup sampai sekarang.

Sekarang kegiatannya adalah berdagang sayur, untuk menutupi nafkah sehari-hari walau masih terasa kurang mencukupi. Sebuah pengharapan ekonomi dari semakin terjepitnya seorang rakyat kecil yang naif di tengah-tengah negara inetelejen yang kejam

1 comment:

Anonymous said...

saya pribumi lampung sangat mengecam tindakan orang2 yg tak tau terima kasih, udah dikasih lahan usaha tempat tinggal malah membuat gerakan dan pengacauan di daerah orang lain kalu udah jagoan sana jihad keluar negeri aja.