04 September 2008

Bab 10 Rekayasa Makar Pihak Intelijen "Tragedi Lampung Berdarah" (1)

10-01 Latar Belakang Terjadinya Peristiwa GPK Warsidi
10-02 Persiapan-persiapan di Jakarta.
10-03 Persiapan-persiapan di Lampung
10-04 Membentuk “Basis Perjuangan”
10-05 Respon Masyarakat Sekitarnya
10-06 Kronologi Terjadinya Peristiwa Talangsari, Lampung, 1989

Bab 10 REKAYASA MAKAR PIHAK INTELIJEN DALAM TRAGEDI LAMPUNG BERDARAH
PERISTIWA Lampung adalah sebuah musi-bah politik yang terjadi begitu cepat, akibat makar yang memang sengaja dibuat pihak tentara. Peristiwa ini oleh pemerintah disebut sebagai peristiwa “Gerakan Pengacau Kea-manan (GPK) Warsidi”, peristiwa “Komando Mujahi-din Fi Sabilillah”, peristiwa “GPK Anwar” dan dengan istilah-istilah lainnya yang cenderung menyudutkan umat Islam sebagai obyek pelaku dalam peristiwa terse-but. Istilah yang mungkin agak membahagiakan ada-lah istilah dari kalangan LSM. Kalangan LSM menyebut peristiwa Lampung ini dengan sebutan peristiwa Talang-sari atau peristiwa Cihideung. Peristiwa Lampung terjadi pada tanggal 6 dan 7 Februari 1989 di dua tempat. Cihi-deung (dusun Talangsari III, Kelurahan Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah) dan di Sidorejo, Lampung Tengah.

Peristiwa yang terjadi di Cihideung Talangsari, pada tanggal 6 Februari 1989 bermula dari hubungan sosial yang kurang harmonis antara komunitas Cihideung dan aparat pemerintahan sipil di tingkat desa. Kemudian berlanjut dengan diperiksanya lima warga dari komuni-tas Cihideung yang selama ini terasuh di bawah jama’ah Warsidi oleh pihak Koramil Way Jepara. Kemudian pihak jama’ah Warsidi yang berjumlah antara 12 hingga 20 orang mendatangi kantor Koramil dan menuntut segera dilepaskannya jama’ah mereka. Ketegangan kemudian terjadi setelah masing-masing pihak memper-tahankan arogansinya, maka dibakarlah kantor Koramil tersebut. Sebelumnya, pihak kecamatan, kelurahan dan dusun telah mencoba berdialog dengan pihak jama’ah Warsidi yang dirasa telah meresahkan psiko-sosial warga Talangsari III. Setidaknya keresahan psiko-sosial ini dirasakan oleh pihak aparat sipil di tingkat bawah. Undangan kepada Warsidi sebagai imam dari jama’ah tersebut disambut dengan sebuah tantangan yang sangat Islami: “Sebaik-baik ulama adalah yang tidak mendatangi umara, dan seburuk-buruk ulama adalah yang mendatangi umara”. Maka difusi sosial pun menjadi tak terelakkan. Maka pada tanggal 5 Februari 1989, kedatangan Kapten Sutiman disambut dengan penyanderaan. Dan masyarakat melihat militer masih lamban dalam merespon kejadian tersebut. Pada tanggal 6 Januari 1989, Korem 043/Gatam mendatangi tempat tersebut dengan kekuatan 3 peleton tentara plus 2 peleton Brimob.

Setelah mencoba membuka komunikasi dengan megaphon ternyata pihak jama’ah Warsidi meresponnya dengan panah beracun yang lang-sung menewaskan beberapa tentara. Maka situasinya menjadi sebuah situasi perang. Senjata-senjata seperti parang, badik, golok, panah bera-cun, ketapel dan bom molotov menjadi alat dalam —meminjam istilah Eric J. Hobsboum— primitive rebel yang telah diperankan secara sukses oleh jama’ah Warsidi. Bagaimana pun peristiwa ini haruslah dilihat sebagai sebuah perang (yang dalam istilah Islamnya qital ) atau setidak-tidaknya sebuah pertempuran (yang dalam istilah Islam adalah ghazwah). Segala sesuatunya haruslah dilihat dari kacamata hukum perang. Primitive rebel ini dilakukan hanya untuk to stand against terhadap aparat pemerintah. Pihak tentara dan Brimob tidak menduga akan terjadinya peperangan.
Di tengah situasi yang represif di bawah sistem Orde Baru —dan pertumbuhan ekonomi yang cukup menggairahkan— orang lebih banyak berpikir tentang bagaimana hidup makmur, sejahtera dan bahagia. Maka pihak tentara dan Brimob pun seakan tidak siap menghadapi serangan yang cukup dahsyat ini. Pihak jama’ah Warsidi bahkan sudah memper-siapkannya jauh-jauh hari sebelumnya. Mereka sudah membangun lubang-lubang persembunyian di tanah seluas 5 hektar tersebut. Bahkan senjata-senjata pun sudah dibuat sebulan sebelumnya. Yang paling menarik dari persiapan ini adalah keterkejutan Muhdi dan Isnan yang merasa curiga dengan kedatangan tiga orang dari Jakarta (Nur Hidayat, Sudarsono dan Fauzi Isman). Kedatangan tiga orang ini adalah untuk membuat senjata panah beracun dari jari-jari sepeda motor. Muhdi dan Isnan mempertanyakan untuk apa senjata–senjata ini? Apakah kita akan berperang? Siapa musuh yang akan kita serang? Namun semua perta-nyaan ini tak terjawab, dan menimbulkan kecurigaan mendalam atas semua intervensi-intervensi itu. Meskipun tak terungkapkan, rasa curiga ini demikian besar setelah melihat proses radikalisasi yang dilakukan oleh orang-orang dari Jakarta terhadap diri Warsidi yang tadinya tampak begitu kalem, santun dan lembut.

Sementara peristiwa di Sidorejo terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 pada saat Arifin Santoso, lurah Sidorejo dan Serma Sudargo memperluas extensi konflik di Cihideung dengan jama’ah pengajian masjid Al Barokah. Maka dikejarlah tiga orang jama’ah tersebut dan salah seorangnya mati ditembak. Maka kemudian Zamzuri sebagai imam di mushola tersebut bangkit dan menyerang kepala desa yang tengah berada di atas sepeda motornya, di tengah jalan dan langsung mengayunkan parang ke batang leher kepala desa itu. Pihak jama’ah yang lain kemudian mengejar Serma Sudargo dan membunuhnya serta mengambil senjata pistol. Peristiwa ini berlanjut dengan pembajakan angkutan desa Wasis L300 dan menewaskan seorang Pratu Budi Waluyo. Kemudian berlanjut hingga penyerangan terhadap kantor Korem 043/Garuda Hitam dan melem-parkan bom molotov.

Kedua peristiwa ini begitu sederhana. Namun untuk meneliti dan merekonstruksi peristiwa tersebut dan berusaha menganalisis pihak-pihak yang harus bertanggung jawab sangat sulit. Hal ini dikarenakan oleh keterangan yang kabur dari para pelaku saksi dan korban. Sehingga penulis dan tim peneliti merasa kesulitan dalam menuliskan peristiwa ini. Namun satu temuan yang sudah sangat meyakinkan adalah terlibat-nya para intelijen dan aktivis Islam dalam merekayasa sebuah kompres politik. Kompres politik ini dilakukan seperti sebuah konspirasi antara pelaku, pihak intelijen dan aparat pemerintahan sipil. Masing-masing pihak ada yang sadar dan tidak sadar dengan rekayasa pemanfaatan kompres politik ini. Yang menarik dari kasus Lampung ini adalah terlibat-nya warga sipil dalam peristiwa pembakaran di tengah-tengah berkeca-muknya perang.
Dari semua kasus-kasus yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa Lampung, kita melihat peran intelijen yang begitu besar dalam membuat eksperimentasi-eksperimentasi politik yang membahayakan jiwa rakyat dan merepotkan aparat polisi dan militer. Dibandingkan dengan peristiwa pembantaian umat Islam Tanjung Priok, Komando Jihad, Aceh, Kedung Ombo, Sampang dan Woyla, peristiwa Lampung bukanlah sebentuk pembantaian umat Islam. Peristiwa Lampung adalah sebuah setting sejarah perang yang sudah terbiasa dihadapi umat Islam semenjak berdirinya Negara Islam Indonesia tahun 1949. Dan umat Islam secara kesatria tidak pernah mempermasalahkan peristiwa-peristiwa pepera-ngan tersebut karena kedewasaan berfikir dan beraksi serta siap menerima segala resiko apapun, Yuqtal au yaghlib (membunuh atau terbunuh).

Namun semua peristiwa itu, ternyata tidak begitu saja terjadi, melainkan direkayasa oleh intelijen-intelijen Melayu yang berhati busuk. Semua yang dilakukan oleh jaringan intelijen Indonesia pada akhirnya menghasilkan suatu out-put berupa musibah-musibah politik serta kecelakan-kecelakaan politik yang sulit dihindari, bahkan oleh organ kekuasaan sekalipun. Lebih jauh lagi, organ kekuasaan seperti militer (TNI atau ABRI di masa lalu) tak terhindarkan —nyaris menyerupai historical inevitability— menjadi korban dari musibah-musibah politik yang telah di-invented oleh jaringan intelijen nasional. Dari kasus Lampung, kita dapat melihat wajah negara Orde Baru Soeharto sebagai negara intelijen. Dalam negara intelijen, aktor-aktor intelijen adalah penguasa sebenarnya. Selain Soeharto, Pangdam Jaya Try Sutrisno dan Pangab LB. Moerdany serta Kepala BAIS, adalah pihak-pihak yang harus bertanggung-jawab atas peristiwa tersebut. Sementara para aparat di tingkat bawah, setidaknya menurut penelitian ini, adalah korban dari rekayasa intelijen dan kompres politik.

Korban peristiwa Talangsari berkisar tak dapat dipastikan, ada yang menyebut antara 27 hingga 31 korban tewas. Sementara dari pihak pemerintah menyebutkan jumlah korban 9 orang. Namun dari pihak para mantan pelaku peristiwa tersebut menyatakan jumlahnya 280 jiwa. Sementara dari pihak LSM, panitia SMALAM berjumlah 246 jiwa. Menurut majalah Tempo, Editor, Suara Pembaruan, Pelita dan Kompas jumlah korban 31 jiwa. Sementara itu korban dari pihak militer tersebut angka 3 orang, sedangkan menurut Nur Hidayat, pelaku kasus Lampung yang tidak berada di lokasi kejadian, pihak militer tewas sebanyak 50 orang. Berapapun jumlahnya, peristiwa Talangsari telah memberikan sebuah corengan pada wajah umat Islam dan pemerintah. Dan apapun yang terjadi setelah peristiwa tersebut, para korban telah memperlihatkan tekadnya untuk membela kebenaran yang ia yakini. Semoga pengorba-nan mereka terhitung sebagai syahid dengan mendapatkan surga Allah, dan para mantan pelaku yang masih hidup agar tetap istiqamah, dengan tidak menukar kesyahidan mereka dengan harga yang sedikit yang bersifat duniawi, seperti menjadikan kasus ini sebagai komoditas politik.

Banyak pelajaran penting dari peristiwa Lampung berdarah ini. Sebuah perang yang dilewati dengan penuh kesatria di antara kedua belah pihak. “Peperangan” berikutnya yang kini sedang dijalani oleh para korban kedua belah pihak itulah yang pantas kita sesalkan. Upaya mengungkit kembali kasus Lampung dengan cara-cara teror mental dan pembunuhan karakter pribadi adalah sangat tidak berkesan. Kita berha-rap semua pihak berlapang dada dan saling tolong-menolong dalam “perang psikis” yang tidak perlu sekarang ini. Dalam konsep Islam untuk kasus kriminal pembunuhan saja ada mekanisme maaf-memaafkan selain pelaksanaan hukum qishas. Pihak tentara dan jama’ah Warsidi sama-sama telah menjadi korban, dan jangan menjadikan korban yang sudah syahid itu sebagai komoditas ekonomi dan politik.

Ada hal lain yang mesti dicermati, mengapa musibah Lampung Berdarah mengundang korban demikian banyak dari kalangan ummat Islam. Bahwa terjadinya peristiwa Talangsari adalah sebuah perluasan gerakan protes di Jawa. Tesis ini setidaknya didukung oleh beberapa kenyataan tentang kemiripan imitatif Lampung dan Jawa. Maka dari sini pula, sebuah kesimpulan penting harus ditarik, bahwa Lampung secara kultural adalah Jawa. Di mana-mana orang berbicara bahasa Jawa.1 Bukan hanya orang Jawa yang eks-transmigran atau transmigran yang menghuni pelosok-pelosok hutan belukar, tapi juga mereka yang berasal dari Jawa Barat, Bali, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, bahkan juga mereka yang dilahirkan di Lampung.

Oleh karena itu dengan mengandalkan bahasa Jawa, aman sudah ke luar masuk pelosok Lampung. Tapi, kata “aman sudah” di pertengahan Februari 1989 yang lalu, ternyata butuh catatan kaki. Menyapa atau bertanya, bahkan dengan bahasa Jawa kromo sekalipun mengundang prasangka. Kasus Way Jepara,2 dengan puncaknya tanggal 7 Februari 1989, rupanya masih membekas dalam. Kepada semua “orang asing” mereka taruh sak wasangka, apalagi terhadap orang Jawa yang baru saja datang. Sebab, seakan sudah menjadi pendapat umum di sana, pada pertengahan bulan Februari itu, “Yang berontak di Talangsari adalah orang Jawa bukan Lampung, bukan Bugis bukan Bali”. Secara sosial, peristiwa ini juga merupakan sebuah indikasi bahwa resistensi orang-orang Jawa sangat luar biasa, jauh dari apa yang selama ini dikonsepsikan bahwa Jawa lebih lunak dalam hal pemberontakan. Karena peristiwa ini, secara horizontal, situasi Lampung yang mayoritas didominasi orang-orang Jawa, menjadi sangat sepi.

Terungkap di sana, ceritera tentang Lampung sebagai wilayah ber-masa depan yang sudah sarat beban, tentang perambah hutan yang terombang-ambing antara jadi pergi (pindah) atau tidak, tentang pemilikan tanah oleh “orang-orang Jakarta”, tentang petani singkong yang menangis berkepanjangan, tentang penderitaan bekas transmigran yang kehilangan tanah. Tetapi, selain kisah sedih, kesan menonjol menjelajah pelosok Lampung adalah jalan-jalan aspal mulus membelah pedesaan ekstrans-migrasi. Sebaliknya jalan becek mendominasi tanah-tanah lokasi trans-migrasi baru.

Maka, bukan hanya diperbaiki sarana jalan di lokasi-lokasi eks-trans-migrasi, tetapi juga terlalu terlambat direncanakan membuat jalan tembus di bagian barat dan timur Lampung. Dua jalan tembus itu mungkin bisa sekaligus mengurangi beban jalur Lintas Sumatera yang sekarang ini menjadi jalan darat satu-satunya menuju Aceh, Sumut, Jambi, Sumsel, Sumbar, Bengkulu. Begitu beratnya beban, sampai-sampai berbagai ruas jalan memperlihatkan tak layak lagi sebagai jalan lintas Sumatera. Rupanya kemudahan prasarana juga mengundang spekulan tanah ikut masuk Lampung bahkan jauh sebelum jalah-jalan itu dibuat. Artinya yang merambah hutan bukan hanya mereka yang mencari lahan untuk berkebun, tapi juga mereka yang ingin memiliki lahan untuk investasi.5 Penduduk pun melihat inkonsistensi kebijakan pemerintah. Suatu saat tanah itu boleh ditempati, di saat lain harus dikosongkan. Hakikatnya tanah lokasi tak boleh diperjualbelikan, kenyataannya orang non transmigran bisa membeli.

Kasus pembakaran hutan kawasan Gunung Balak barangkali contoh menarik. Kawasan yang memanjang mulai dari Lampung Utara sampai Lampung Tengah ini, termasuk yang berdekatan dengan Talangsari (Way Jepara, Lampung Tengah) sejak tahun 1935 sudah dinyatakan sebagai hutan lindung. Luasnya 19.680 hektar. Ironisnya pernah sejumlah oknum Dinas Kehutanan justru “mengundang” penduduk untuk menggarap daerah yang subur itu sebagai lahan pertanian produktif dan permukim- an. Mereka jelas perambah liar. Oleh Pemda Lampung -yang mengadakan penertiban penduduk- dalam tahun 1976 mereka diberi status perwakilan kecamatan di Gunung Balak yang mencakup 13 desa definitif. Penduduk merasa kehadiran mereka disetujui.

Keengganan mereka pindah juga disebabkan inkonsistensi aparat pemerintah. Mereka melihat, yang pernah dipindahkan pada tahun 1980 kembali lagi tetapi tidak diapa-apakan. Lantas ada kesan, pengosongan kawasan dibatalkan. Sebaliknya pemerintah tak tinggal diam. Pengosong- an terus dilakukan, bukan hanya ditranslokkan ke Lampung Utara tapi juga ditransmigrasikan lewat program PIR-bun ke Riau. Sekarang masih terdapat sekitar 34 KK atau 170.000 jiwa menghuni kawasan hutan lindung, dan semua harus dikeluarkan dari sana paling lambat akhir Pelita V nanti.
Dari kasus hutan Gunung Balak kelihatan betapa semakin kompleksnya soal Lampung. Entah soal petani entah soal penguasaan tanah berlebihan oleh oknum-oknum tertentu. Peristiwa Warsidi Lampung adalah sekaligus peristiwa penting tentang politik agraria.7 “Kegiatan protes mereka sudah berjalan lama Kami sudah melaporkan ke pihak berwajib dua minggu sebelum kejadian,” kata Amir Puspamega yang kelihatannya tidak sabar lagi dengan kelambatan pihak aparat keamanan (tentara) dalam bertindak.8 Mereka tak mau bayar PBB, tak mau gotong royong, dan melarang penduduk ke luar malam. Bahkan di sebelah utara didirikan pondok-pondok baru untuk pengajian. Maunya memberi penyuluhan, tanggal 6 Februari 1989, malah aparat pemerintah dilawan dengan panah dan pedang, dengan kelanjutan operasi militer tanggal 7 Februari 1989.

Analisis para ahli sedikit banyaknya telah bisa memastikan latar belakang atau “bongkah es” yang ada di bawah permukaan. Soal tanah dan korelasinya dengan munculnya gerakan protes semacam itu pun belum pasti satu-satunya sebab. Tetapi setidaknya pandangan-pandangan itu memberi gambaran kemungkinan analogis yang bisa ditarik. Ditambah kenyataan pengalaman penduduk adanya inkonsistensi aparat pemerin-tah, sehingga barangkali faktor tanah dan rasa ketidakpuasan memang dominan.

Tetapi apabila dikaitkan dengan ceritera penduduk di sana tentang kegiatan kelompok Anwar Warsidi dan pengikutnya di Talangsari, maka faktor kecurigaan penyalahgunaan ajaran agama (Islam) memang ikut ambil bagian selain adanya “bongkah es” yang lebih besar, yakni rekayasa intelijen dari pemerintah.10 Bahkan dengan latihan-latihan bela diri seakan-akan sebagai bagian dari kegiatan pengajian, orang mengira adanya sebuah rencana besar. Lantas kalau benar keluar masuknya pen-datang di Talanggsari tak bisa dikontrol oleh aparat paling bawah (kelurahan).11 Yang menarik untuk dikaji adalah soal lemahnya pengawa-san di sana sehingga masuk akal kemudian, kesempatan untuk berakti-vitas politik semakin terbuka.

Bab 10-01 Latar Belakang Terjadinya Peristiwa GPK Warsidi
Dinamika masyarakat desa selalu menarik untuk diamati, paling tidak dengan sandaran asumsi bahwa dinamika kehidupan mereka tidak terlepas sama sekali dari dimensi konfliktual. Kecenderungan ini juga dialami oleh struktur masyarakat pedesaan yang mata pencahariannya adalah bertani. Gejolak protes petani yang oleh rakyat Jawa lazim disebut “geger”, kerusuhan atau huru-hara, adalah sangat endemis, dan sebagai gejolak sejarah mempunyai frekuensi yang cukup tinggi, maka tidak sulit untuk mengindentifikasi sifat serta hakikat gejolak protes tersebut.
Merupakan bagian karakteristik umum dari sebuah gerakan tradisio-nal bahwa gejolak yang melahirkan gerakan protes rakyat bercorak lokal, di samping itu keberlangsungannya sangat singkat, komunal serta radikal. Dalam peristiwa Talangsari itu pun bisa kita letakkan pada sebuah gerakan yang tradisional karakteristiknya,13 Peristiwa-peristiwa pemberontakan petani itu sesungguhnya merupakan momentum-momentum bentrokan antara kekuatan tradisional dan kekuatan inovatif yang menjadi pemba-waan penetrasi politik kolonial. Dampak komunikasi, birokrasi, edukasi, komersialisasi, kesemuanya menimbulkan perubahan ekonomis, sosial dan politik sehingga orde sosial berdasarkan tradisi terganggu. Maka, warga masyarakat pedesaan mengalami pergeseran situasi dan ekologis.

Persepsi rakyat di pedesaan sebagai benteng tradisi tidak lepas dari kerangka sosial tradisional. Semua perubahan yang datang dalam kehidu-pan mereka dipandang sebagai moral buruk, dan pembawanya, baik penguasa kolonial maupun kaki tangannya, dijadikan sasaran gerakan. Terkait dengan persoalan ini, gerakan keagamaan yang dibangun Warsidi mengarah ke sana, Warsidi dan kelompoknya telah menganggap bahwa program “pembangunan” yang dicanangkan pemerintahan Orde Baru, telah membuat mereka tersingkir dari kehidupan tradisionalis-agamis.

Melihat perkembangan kondisi ke-indonesiaan selama dipegang Orde Baru, khazanah keislaman terasa luntur oleh adanya derap laju pemba-ngunan. Tak heran bila beberapa kalangan umat Islam ingin mencipta-kan kondisi yang dianggap ideal bagi keberlangsungan mereka. Kekua-saan yang terpusat pada birokrasi dan militer telah membawa negeri ini menjadi sebuah negara otoriter. Apalagi melihat pandangan sempit sehingga kurangnya keseimbangan sosial yang dilakukan oleh para birokrat sipil dan militer, jama’ah Warsidi beranggapan bahwa kebanyakan pada diri penguasa telah terjangkit penyakit hubbu as-siyadah (cinta kekuasaan) yang melahirkan kejahatan-kejahatan penguasa rezim Orde baru. 15 Penguasa yang seharusnya melayani kepentingan rakyat, saat itu berubah menjadi serigala yang justru memangsa rakyatnya. Rakyat di mata para penguasa biasanya seperti budak pemuas nafsunya. Banyak kasus-kasus yang terjadi di Indonesia dapat membuktikan hal itu. Namun kasus Talangsari tidak dapat dijadikan cermin untuk melihat kekejaman penguasa, meskipun mereka secara stereo type menyebut kasus tersebut sebagai “GPK Warsidi”. Peristiwa Warsidi merupakan pelajaran mahal serta pengalaman pahit bagi para penggerak kelompok Warsidi serta para petugas aparat negara yang beragama Islam. Dan kejadian tersebut telah menjadi tinta hitam pula bagi umat Islam secara keseluruhan. Apa yang sesungguhnya terjadi di daerah Talangsari itu? Apakah benar pula bahwa aparat penguasa telah melakukan pembantaian terhadap mere-ka? Dalam bab ini kita harus terlebih dahulu melihat kronologis peristiwa tersebut secara obyektif dan menghadirkannya untuk diketahui oleh semua kalangan.

Bila dicermati secara seksama bahwa munculnya sebuah gerakan didasari oleh adanya satu keinginan kembalinya tatanan kehidupan mereka yang pernah hilang, baik itu di bidang sosial, ekonomi, politik dan agama. Dan untuk menggambarkan tatanan kehidupan yang hilang itu diartikulasikan melalui satu harapan datangnya Ratu Adil yang akan mengembalikan zaman kerta (sejahtera). Di sini kita menghadapi cakrawala harapan rakyat tradisional yang sebagai gejala universal juga dikenal sebagai mesianisme dan milenarisme.

Mengapa ideologi itu secara inheren bersifat radikal? Gerakan mesia-nistis dipimpin oleh seorang pemuka yang mengaku sebagai pengejawan-tahan Ratu Adil atau yang dianggap demikian oleh para pengikutnya, dan dalam proses perkembangannya mau tak mau mengarah ke konsumsi, yaitu perwujudan atau “pemenuhan” tujuan gerakan itu. Tuntutan mutlak ini membangkitkan true believers (kaum yang percaya penuh), loyalitas mutlak pula. Dalam hal ini hubungan guru-murid, atau patron-klien yang bersifat komunal lazimnya diperkuat oleh pelbagai kepercayaan akan kekebalan, jimat atau pusaka, sehingga para partisan, diperteguh partisipasinya dan gerakan menjadi total. Tentang kepercayaan akan kekebalan itu sebagian penduduk oleh sebagian orang bahwa pengikut-pengikut gerakan Anwar Warsidi memiliki ilmu kebal.

Dalam menghadapi perkembangan seperti ini, suatu konfrontasi sukar dielakkan. Ketika tahap konfrontatif berlanjut maka kekerasan dan konflik akan semakin tidak terkendali. Seperti peristiwa Mangkuwijaya di daerah Klaten (1865), Srikaton (Tawangmangu) dan Ahmad Suhada (Ponorogo) tahun 1888, Dermajaya (Nganjuk) tahun 1907, kesemuanya gerakan berakhir dengan pertumpahan darah.

Sikap-sikap yang mengarah kepada unsur radikalisme juga melekat pada gerakan-gerakan yang hendak memusnahkan pemerintah kolonial sebagai pemerintah kaum kafir, seperti peristiwa Cikandi Udik (1845), H. Wakhya (1850), Ciomas (1886), Cilegon (1888),17 dan Gedangan-Sida-haraja (1904), kesemuanya gerakan yang mendengungkan sabilillah se-waktu bergerak menghadapi Kumpeni. Dalam gerakan-gerakan itu mile-nium (zaman kerta atau keemasan) digambarkan akan tiba apabila negeri telah dibersihkan dari penguasa kafir.

Membicarakan peranan ideologi dalam gerakan protes dengan sendiri menyangkut masalah kepemimpinan di dalamnya. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa ideologi di tangan pemimpin mempunyai potensi besar memobilisasi pengikut karena dijadikan fokus gerakan yang memberi makna penuh serta sekaligus berfungsi sebagai lambang identitas kolektif sehingga dengan demikian solidaritas terbentuk dengan kukuhnya. Baik Sang Ratu Adil yang telah menerima wahyu atau pulung, maupun kiyai yang dipandang keramat, pemuka memiliki keramat, pemuka memiliki kharisma yang dengan sendiri membangkitkan otoritas serta wibawa di kalangan petani.

Tidak jarang pula terdapat pemimpin yang mempunyai cakrawala mental yang lebih luas dari rakyat kebanyakan sehingga mampu memberi inspirasi serta motivasi kuat kepada peserta gerakan, antara lain dengan keterampilannya memainkan ideologi untuk memperkokoh loyalitas di satu pihak, dan di pihak lain meningkatkan mobilisasi segala sumber daya di lingkungannya, baik material maupun spiritual. Tidak dapat diabaikan pula kenyataan bahwa sang pemimpin sebagai “elite” dapat memakai jaringan sosial yang lebih luas, acap kali melampaui batas-batas desa, bahkan ada kalanya batas daerahnya. Namun dalam kasus Talang-sari ini, pengaruhnya hanya beberapa daerah saja yang ikut terlibat dalam konflik tersebut. Itupun daerah-daerah yang penduduknya sempat dibina oleh Anwar Warsidi.

Mengingat sifat-sifat kepemimpinan dalam gerakan protes tersebut di atas maka pada umumnya dapat dibenarkan teori yang menyatakan bahwa gerakan petani dipimpin oleh unsur dari luar kalangan petani kebanyakan. Kedudukan mereka sebagai “elite” dengan sendirinya menimbulkan pandangan serta sikap untuk mempertahankan tradisi sosial maupun keagamaan mereka di satu pihak dan menolak perubahan dan pembaharuan, tidak lain karena hal ini mengancam kepentingannya sebagai establisment.

Dalam membicarakan peranan pemimpin sesungguhnya timbul kecenderungan untuk menganggapnya sebagai faktor penentu utama causa prima (sebab utama), namun sebaliknya perlu diingat bahwa untuk menerangkan timbulnya gerakan protes juga perlu diperhitungkan kondisi-kondisi sosial dari keresahan. Lebih tepat lagi dalam eksplanasi perlu dicantumkan kondisi yang disebut kecenderungan struktural.

Pendapat senada juga dipaparkan Taufik Abdullah,19 ia menggaris bawahi bahwa kepemimpinan adalah soal penilaian masyarakat terha-dap pribadi tertentu dalam kaitannya dengan sistem sosial yang berlaku. Interaksi yang dinamis antara kedua unsur pribadi dan sistem sosial ini adalah faktor utama yang memapankan kepemimpinan itu. Hal ini berarti bahwa selama pribadi yang disebut pemimpin itu dianggap atau dinilai telah memenuhi kebutuhan dari sistem sosial dan komunitasnya, maka selama itu pula ia dapat mempertahankan ikatan emosional dengan para pengikutnya. Dan selama itu pula kepemimpinannya berlanjut. Maka tidaklah salah bila pada akhirnya, penduduk di sekitar Talangsari telah menempatkan Anwar Warsidi sebagai pemimpin pergerakan mereka yang diharapkan mampu menjadi simbol perjuangan.

Dengan memakai uraian di atas sebagai kerangka referensi kiranya tidak sulit untuk mengidentifikasi beberapa faktor determinan peristiwa Talangsari, Way Jepara, Lampung. Perkembangan gerakan Mujahidin Fisabilillah menunjukkan pola umum ke arah radikalisme. Baik ideologi maupun kepemimpinan memiliki karakteristik mirip dengan gerakan di Cilegon dan Gedangan. Dari data media massa rupanya ada petunjuk bahwa terdapat jaringan yang jauh melampaui desa tersebut. Oleh karena itu, untuk kelengkapan eksplanasi sebenarnya perlu dikaji lebih lanjut kecenderungan struktural situasi setempat sehingga dapat diketengahkan sebab-sebab keresahan yang meliputi masyarakat kecil itu.

Bila melihat peristiwa Jenggawah, Jember (1978-1979),20 di mana kasus Jenggawah berkisar sekitar masalah pembagian kembali (heraveling) tanah garapan milik perkebunan tembakau. Dalam menganalisa kasus Jenggawah ini selanjutnya dikomparatifkan dengan peristiwa Talangsari mungkin ada signifikansinya yaitu tentang prsoalan tanah. Dalam kasus Jenggawah ataupun Talangsari dapat dipahami sepenuhnya mengapa soal tanah adalah soal penuh kepekaan, tidak lain karena tanah garapan merupakan sumber penghasilan utama dan acap kali tidak ada alternatif lainnya. Perubahan status tanah ataupun penggarapan lahan yang mengancam sumber penghidupan penduduk Talangsari akan membang-kitkan deprivasi pada petani, maka sangat mudah terpengaruh oleh ajaran gerakan yang tidak hanya memberi gambaran realitas alternatif tetapi juga membakar semangatnya mengarah ke radikalisme. Ditambah lagi mengenai persoalan kewibawaan lokal, di mana klaiman siapa yang lebih berpengaruh di desa tersebut telah menjadi akar persoalan lainnya. Warsidi dengan komunitas barunya di sekitar Cihideung ternyata bagi “kelompok kiayi tertentu” bisa menghambat bagi kewibawaan mereka. Dengan demikian, kasus Warsidi bisa ditempatkan karena adanya pere-butan pengaruh di tingkat lokal.

Dusun Talangsari III, desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Lampung Tengah tak ubahnya seperti dusun-dusun yang lain, sebelum dijamah peristiwa berdarah, awal bulan Februari 1989. Dusun dengan luas sekitar 60 hektar dari 200 Ha luas desa Rajabasa Lama, termasuk kawasan yang subur dan terkenal makmur. Hanya dihuni kurang lebih 90 kepala keluarga. Walaupun sebagian besar terdiri dari para pendatang, berasal dari Jawa Timur terutama Banyuwangi dan Jember.21 Menurut Sukidi22 , sebagian besar penduduk di wilayah itu adalah pendatang spontan. Bukan para transmigran. Mereka datangnya hanya ingin mengubah nasib hidupnya. Adapun tanah-tanah yang dikerjakan adalah tanah milik penduduk setempat. Seperti dirinya yang menggarap tanah milik Amir Puspa Mega.

Meskipun sebagian adalah para pendatang warga Talangsari pun cukup akrab dengan penduduk asli di desa Rajabasa Lama. Tidak ada rasa eklusifisme—sebelum kedatangan Warsidi ke Talangsari yang tumbuh dalam diri para pendatang tersebut. Antara pendatang dengan penduduk asli yang kurang lebih sekitar 20 persen dari jumlah penduduk di Rajabasa Lama, hubungan mereka satu sama lain nampak terjalin akrab.

Dalam perkembangan masyarakat seperti ini, maka ciri menonjol adalah tradisionalisme.24 Dusun yang terkenal subur itu, dengan pengairan yang cukup baik serta beberapa daerah tadah hujan, meng-hasilkan beberapa jenis hasil pertanian maupun perkebunan. Seperti palawija padi, coklat, kopi dan lain sebagainya. Sebagai bukti bahwa daerah itu makmur, ada penggilingan padi di dusun tersebut. Dan rata-rata para penghuninya sebagian besar telah mengolah tanah miliknya yang berhasil dia beli melalui jerih payah dari pemilik semula.

Letak dusun Talangsari III—yang dikukuhkan pada 1 Januari 1988—sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dicapai, dusun yang terdiri dari umbul (gerumbul) terletak di antara Kebon Duren dan Cihideung. Dari kantor desa Rajabasa Lama cuma berjarak kurang lebih 9 kilometer ke arah utara meskipun harus melalui jalan tanah, dan becek jika musin hujan. Sedangkan kantor desa Rajabasa Lama sendiri berada di Barat Laut perempatan jalan besar yang menghubungkan Sukadana Way Jepara dan Talangsari.

Dalam masyarakat desa yang tradisional dan bersifat pertanian, maka pranata-pranata yang menghubungkan antar personal di dalam masya-rakat di Talangsari adalah (1) bersifat pribadi, (2) tak lengkap, (3) bersaluran sedikit, (4) ditandai oleh lebih banyak komunikasi ke bawah ketimbang komunikasi ke atas, dan (5) jarang dimanfaatkan. Sementara pilihan-pilihan “kekuasaan” yang digunakan dalam masyarakat pedesaan di Talangsari lebih menekankan aspek kewibawaan tradisional dan kekerasan fisik.

Sebagai suatu wilayah yang masih tergolong “tradisional,” dalam pola-pola struktur sosial masyarakat daerah Talangsari dan di daerah-daerah lain di Lampung lebih menekankan pola hubungan pribadi atau patron client. Jika struktur dipahami sebagai tingkatan status sosial yang berbeda dalam masyarakat secara sosiologis, maka struktur sosial daerah Lampung ditempati oleh: (1) golongan struktur atas, adalah kelompok orang-orang kaya, kiyai, aparat desa dan kaum terdidik yang memiliki “jabatan” terpandang; (2) golongan menengah adalah para petani yang mampu mengelola tanahnya dengan baik, agak mandiri, atau kelompok petani agak cukupan: dan (3) golongan bawah, yaitu petani gurem, dan petani kekurangan, yang cenderung menjadi client, abdi dari patron atas.

Sebagaimana lazimnya masyarakat pedesaan, rasa sikap gotong-royong di Talangsari III memang cukup menonjol. Terbukti setelah rapat pemilihan RK usai, kemudian oleh pengurus dusun dibentuk berbagai tata-tertib maupun berbagai aturan desa. Sampai-sampai dalam menentu-kan aturan dan tata tertib, mereka mengundang para tokoh masyarakat maupun agama. Oleh karena itu, kehidupan warga desa Talangsari III nampak rukun dan penuh kedamaian. Tidak pernah terusik hal-hal yang menggelisahkan.

Rasa gotong-royong yang dimiliki dusun yang belum lama terbentuk itu ternyata banyak membawa hasil. Antaranya melakukan perbaikan jembatan atau jalan-jalan yang menuju di desa tersebut. Melakukan kegia-tan Siskamling dan berbagai kegiatan musyawarah desa untuk menjadi-kan dusun lebih baik dari sebelumnya. Khusus untuk keamanan desa para warga pun tak lupa bergotong-royong membangun pos-pos penjaga-an demi keamanan desa. Beberapa pos atau cakruk berhasil didirikan di setiap sudut-sudut desa yang dianggap rawan kejahatan.

Memang belum ada prestasi menonjol yang diraih desa Rajabasa Lama. Namun demikian menurut Drs. Zulkifli Maliki, (Camat Kepala Wilayah Way Jepara), bahwa Rajabasa Lama di banding 26 desa lainnya di wilayah kecamatan tersebut mempunyai satu kelebihan. Yakin mempu-nyai pasar desa yang besar, setelah Way Jepara.

Ditambahkannya, hal itu menunjukkan bahwa desa Rajabasa Lama mempunyai potensi lebih dibandingkan dengan desa-desa lainnya menge-nai hasil pertaniannya. Termasuk maju di bidang ekonomi. Dan mempu-nyai posisi yang lebih baik dibandingkan dengan desa-desa lainnya. Karena berdekatan dengan jalan transportasi tidak berada pada daerah yang terpencil.
Mengenai kehidupan beragama, di daerah penghasil kopi tersebut cukup marak. Hal itu bisa ditandai dengan berdirinya berbagai mushola dan pendidikan pesantren. Di daerah tersebut, telah berdiri tiga Pondok Pesatren. Yakni Al Islam di Labuhanratu, Darul Ulum di Plangkawati dan Darussalam di Brajadewa. Namun letaknya cukup jauh dari desa Rajabasa Lama. Khusus di daerah Talangsari III, mayoritas Warga Talang-sari sendiri, maupun Rajabasa Lama penduduknya memang pemeluk agama Islam yang taat. Maka tidak mengherankan bila di daerah tersebut berdiri Mushola-mushola atau Masjid. Di samping itu direncanakan akan berdiri pula tempat pendidikan semacam pondok pesantren oleh seseo-rang yang bernama Warsidi. Sayangnya, keberadaan pondok tersebut tidak dikoordinasikan baik dengan jajaran Pemda, aparat keamanan mau-pun kepala desa serta kepala dusun setempat. Padahal telah berduyun-duyun orang-orang yang tidak dikenal penduduk setempat datang dari pulau Jawa dan mulai bermukim di Dukuh Cihideung. Mereka memba-ngun barak-barak bambu beratap pelapah kelapa kering di sana. “Kesemuanya itu tidak pernah melapor ke saya,” kata Sukidi, Kepala dusun Talangsari III.

Kejadian seperti itu membuat heran Sukidi dan warga sekitarnya serta aparat lainnya. “Dari mana bekal logistik mereka yang konon ingin belajar di pondok pesantren Mujahidin itu. Sebab mereka tidak ada yang bekerja atau mengolah ladang, padahal jumlahnya cukup banyak. Dari mana uang atau penghasilan mereka untuk hidup selama di barak itu? Begitu kira-kira rasa keheranan mereka atas komunitas di Cihideung. Apalagi, sebelum peristiwa berdarah itu terjadi di sekitar barak tersebut dibuka dapur umum. Dan bagi warga setempat memang banyak yang serba tak masuk akal tentang berbagai kegiatan kelompok itu. Terutama menyangkut kebutuhan sehari-hari mereka. Karena juga tidak menghe-rankan jika sebagian dari jama’ah Warsidi ada yang keluar jalur dengan mencuri ubi kayu tanaman penduduk. Kondisi yang tidak saling kenal dalam kehidupan desa yang penuh paguyuban menjadi sangat rentan terhadap terjadinya konflik sosial, meskipun hanya oleh sebab sesuatu ketidaksesuaian kecil sekalipun. Apalagi tatkala penduduk melihat kegiatan mereka yang lebih sering berupa latihan memanah daripada belajar agama dan mengaji.

Dalam kenyataan selanjutnya, kenapa dalam kehidupan masyarakat yang sudah baik itu kemudian timbul gejolak? Apakah gerakan Talangsari ini berdiri sendiri atau mempunyai kaitan dengan persoalan tanah atau mempunyai kemungkinan dengan pernyataan pemerintah yang menga-nggap bahwa timbulnya gejolak sosial di Talangsari ini—dalam hal ini direpresentasikan lewat gerakan Warsidi—merupakan bangkitnya kembali golongan ekstrim yang berusaha memperjuangkan kembali ideo-loginya?26 Kesimpulan yang terakhir ini tidaklah dipastikan kebenarannya secara keseluruhan. Menurut Kapuspen ABRI Brigjen TNI Nurhadi,27 “selama ini kita benar-benar larut dengan proyek pembangunan nasional. Di mana sasaran proyek nasional ini sudah jelas menuju terciptanya kesejahteraan masyarakat (prosperity). Tetapi di pihak lain, agaknya segi-segi keamanan (security) kurang maksimal tertangani.” Jadi, menurutnya, untuk menangkal munculnya gejolak yang setiap saat muncul ke permukaan, perlunya pembinaan yang lebih matang tentang pembangu-nan politik atau kesadaran politik menuju tatanan demokrasi Pancasila. Dari pernyataan Kapuspen tersebut, kita mencoba menganalisa tentang demokrasi di pedesaan yang berlaku di negara kita, selanjutnya kita teliti adakah keterkaitannya dengan perisitwa tersebut. Yang akan kita permasalahkan di sini adalah sampai sejauh mana sebuah sistem demokrasi di Pedesaan itu diterapkan di negara kita.

Berdasarkan pengamatan Bonnie Setiawan,28 bahwa untuk mema-hami demokrasi di pedesaan perlu terlebih dahulu dipahami struktur sosial pedesaannya. Apakah struktur sosial yang ada saat itu dapat mendukung ke arah terlaksananya penyelenggaraan sistem yang demo-kratis. Struktur sosial yang timpang di desa, dengan sendirinya akan mengganggu pelaksanaan demokrasi, karena kekuatan-kekuatan di masyarakat desa yang diuntungkan akan tidak setuju dengan demokrasi tersebut. Demikian pula kekuatan supra desa, yang ada dalam struktur sosial makro, juga akan ikut mengendalikan berjalannya demokrasi. Dengan demikian terlihat jelas bahwa pelaksanaan demokrasi tidaklah sederhana. Suatu usaha penegakan demokrasi tanpa memperhatikan perubahan dalam struktur sosialnya akan mudah larut dan lenyap ke dalam situasi makro.

Struktur sosial biasanya tercermin dalam hubungan sosial masyarakat pedesaan. Termasuk tercermin dalam berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan. Secara khusus ia juga dicerminkan oleh perangkat sosial yang berlaku, seperti aturan-aturan hukum, program-program pemerintah, tata niaga pedesaan, kebudayaan massa dan lain-lain. Dengan demikian kita perlu mengenali persoalan-persoalan demo-krasi yang dicerminkan dalam kehidupan sosial yang ada, dengan mengajukan sikap kritis terhadapnya, dapatlah demokrasi dalam pengertian yang asasi dikenali. Dan dengan begitu akan memudahkan dalam menyusun agenda penerapan demokrasi yang lebih murni dan menyeluruh.

Pedesaan di Dunia Ketiga pada umumnya, dan tentunya juga di Indonesia, tidak dapat lepas dari persoalan transformasi agraria. Persoalan ini merupakan persoalan besar yang juga dihadapi oleh negara-negara Barat pada masa lalu, termasuk juga Jepang. Transformasi agraria ini merupakan peralihan yang bersifat kompleks dan seringkali banyak menimbulkan konflik dan pertentangan. Namun transformasi di Barat lebih berjalan mulus dalam artian peralihan struktur sosialnya melewati tahapan-tahapan yang tetap dan terselesaikan.30 Tidak demikian halnya dengan di negara-negara Dunia Ketiga yang struktur sosialnya diganggu oleh kehadiran kolonialisme Barat. Akibatnya, transformasi agraria yang berlangsung, untuk suatu waktu tertentu mengalami per-campuran dan intervensi dari berbagai bentuk hubungan sosial.

Peralihan yang kemudian terjadi merupakan peralihan yang terham-bat (blocked transition), sehingga di dalam struktur sosial agraria bisa kita temui berbagai macam hubungan produksi pertanian.31 Dengan demiki-an dalam kehidupan sosial di pedesaan terdapat bentuk penyelenggaraan produksi yang bersifat baik komunal, feodal ataupun kapitalis. Ini yang menyebabkan terjadinya berbagai kekisruhan di masa-masa awal setelah kemerdekaan formal diraih oleh negeri-negeri tersebut. Konfigurasi golongan-golongan sosial dan politik yang ada di dalamnya merefleksikan berbagai sistem sosial yang berlaku. Demikian pula sistem demokrasi yang coba diterapkan dalam sistem pemerintahannya, yang pertama-tama menggunakan model demokrasi liberal, tidak dapat lepas dari perbedaan penafsiran. Demokrasi menjadi sesuatu yang diidamkan, tetapi juga diartikan menurut kemauan pemerintahan yang berkuasa.
Peralihan agraria di Indonesia, sama seperti di Dunia Ketiga lainnya, menghadapi dua model pembangunan agraria yang lebih banyak saling bertentangan. Yang pertama adalah penyelesaian struktur agraria lewat program pembaruan agraria (landreform).32 Dan yang kedua lewat program modernisasi pertanian atau revolusi hijau (green revolution). Yang pertama mempersoalkan mengenai hak-hak kaum tani atas tanah beserta berbagai macam kebijakan yang dapat merombak tatanan agraria yang masih dirasa timpang dan merupakan peninggalan sejarah kolonial dan feodal. Sementara yang kedua menitikberatkan pada pembangunan sektor pertanian yang mendukung perkembangan industrialisasi melalui penggunaan dan pemanfaatan seluas-luasnya hasil teknologi pertanian, serta pembangunan infrastruktur pertanian yang modern tanpa merom-bak tatanan agraria yang lama. Keduanya merupakan model yang mencoba menyelesaikan persoalan agraria guna mempercepat peralihan ke arah struktur pertanian yang lebih maju.

Dibandingkan dengan yang kedua, program pembaruan agraria (landreform), lebih banyak ditolak, dihindari atau dikaburkan pengertian-nya oleh pemerintah yang bersangkutan. Padahal secara asasi program tersebut merupakan jawaban bagi ditiadakannya ketimpangan di pedesaan. Landreform secara umum diartikan sebagai kebijaksanaan pemerataan guna menghapus kemiskinan melalui pengikisan ketimpa-ngan bagi kemanfaatan rakyat desa yang paling miskin atau seluruh rakyat miskin. Dan pekerjaan yang paling mutlak bagi pembaruan agraria ini adalah lewat pembagian tanah. Dalam kenyataan di banyak negara, terbukti bahwa pembaruan yang bersifat sebagian-sebagian, seperti pada perbaikan kondisi bagi hasil, penyediaan tanah-tanah baru, penyediaan input pertanian modern ataupun pajak progresif bagi pemilik tanah, tidak akan dapat mengubah ketimpangan.
Dengan melihat pentingnya program Landreform itu, maka tidak bisa lain bahwa suatu pencanangan sistem demokrasi di pedesaan haruslah mempermasalahkan hal tersebut. Landreform tidak sekedar masalah pem-bagian tanah, akan tetapi suatu prasyarat mutlak bagi suatu pembaruan demokrasi. Lebih jauh dari itu, demokrasi tidak sekedar masalah partisipasi dan pelembagaan politik, melainkan juga pengembangan kekuasaan rakyat miskin desa.

Arah bagi suatu sistem demokrasi yang lebih menguntungkan rakyat pedesaan kiranya menjadi lebih jelas, bila kita mengaitkannya kepada tekanan untuk memperkuat kekuasaan rakyat desa pada umumnya. Landreform adalah semacam wadah yang memungkinkan rakyat tani mengedepankan kepentingan-kepentingannya. Dengan kata lain, kesepakatan mengenai diadakannya program pembaruan agraria ini, berarti akan memperkuat demokrasi di tingkat paling bawah dari masya-rakat pedesaan. Pelaksanaan ini akan merupakan dukungan bagi di bentuknya organisasi-organisasi petani dan pekerja desa lainnya, serta jaminan bagi partisipasi aktif mereka dalam membawakan perubahan yang diinginkan. Dengan mengedepankan pembangunan dari bawah inilah, dapat dipastikan bukan hanya terjadi suatu peralihan yang cepat ke arah masyarakat baru, akan tetapi juga memperkuat dijalankannya landreform tersebut.

Dengan demikian adalah penting untuk memeriksa kembali bagian yang mendasar dari kehidupan politik dan demokrasi kita di pedesaan. Sampai sekarang masih ada kesangsian yang besar mengenai tujuan dan hasil yang dapat dicapai dari landreform. Setidak-tidaknya, terdapat anggapan bahwa masyarakat desa yang sudah menikmati stabilitas dan ‘ketenangan’ politik, tidak perlu lagi ikut serta di dalam usaha tersebut. Akan tetapi kenyataan yang terjadi kini adalah sebaliknya dari apa yang diharapkan. Keresahan mengenai masalah tanah serta tidak adanya badan atau organisasi yang menyalurkan kepentingan mereka, mengaki-batkan kasus-kasus tanah beserta eksesnya muncul begitu saja seperti ledakan.

Hal ini nampak ramainya kasus-kasus tanah yang dimuat berbagai mass media. Peristiwa di Talangsari, bisa merupakan bagian dari tidak berjalannya peraturan-peraturan agraria tersebut, sehingga masyarakat di sekitarnya memprotes dengan cara mereka sendiri. Sementara itu kelihatan bahwa hukum ternyata tidak berpihak kepada penduduk yang kemudian menjadi sebuah tragedi kemanusiaan.34 Begitupun di tempat lain, kasus Kedung Ombo memperlihatkan penggusuran tanah oleh pemerintah tanpa memperhatikan kepentingan dan hak tanah rakyat desa, seperti pada ganti rungi tanah yang kecil.35 Masih banyak lagi kasus-kasus tanah lainnya yang berkisar pada soal yang sama, yaitu mengenai tidak adanya kekuatan petani dalam memiliki atau menguasai tanah mereka secara legal, serta macetnya mekanisme demokrasi yang menim-bulkan kesewenang-wenangan di pihak yang kuat, dalam hal para pejabat birokrasi sipil dan militer dan juga para konglomerat.
Mekanisme demokrasi yang berlaku di pedesaan saat ini sangat menekankan pada pertimbangan ketertiban dan keamanan. Ini berakibat hilangnya dinamika rakyat pedesaan dan digantikan dengan berbagai organisasi dan kelembagaan desa yang merupakan perpanjangan tangan dari birokrasi Negara. Terdapat berbagai ragam birokrasi kelembagaan di tingkat pedesaan, seperti: Organisasi Bidang Sosial dan Kesejahteraan semisal Lembaga Sosial Desa (LSD) yang kemudian berubah menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Organisasi Bidang usaha Ekonomi semisal KUD, Organisasi Bidang Produksi semisal Gera-kan Padat Karya, Organisasi Bidang Keamanan semisal Hansip, Organi-sasi Bidang Kependudukan semisal Gerakan Keluarga Berencana.

Dalam keputusan Mendagri No. 1/1981 tentang susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa dan perangkat desa, diletakkan pula fungsi LKMD37 (Lembaga Ketanahan Masyarakat Desa) yang ikut membantu tugas-tugas yang dilakukan kades, di mana kades bertindak pula sebagai ketuanya.
Penekanan terhadap segi ‘ketahanan, ketertiban dan keamanan’ (security approach) telah dilakukan sejak dari tingkat atas. Sebagaimana diketahui, di tingkat provinsi telah ada badan yang bernama Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah). Dalam Keppres No. 10/1986, pasal 1 ditegaskan bahwa Muspida adalah suatu forum konsultasi dan koordinasi antara Gubernur Kepala Daerah Tk. I dan Bupati/Walikota madya Kepala Daerah Tk. II dengan pejabat-pejabat ABRI/TNI di daerah serta aparatur-aparatur pemerintah lainnya, dalam rangka mewujudkan dan memelihara stabilitas nasional dan pembangunan nasional di daerah. Anggota dari Muspida ini adalah Bupati/Walikota, KODIM (Komando Distrik Militer), POLRES (Kepolisian Resort), dan Kejaksaan. Sedangkan di tingkat kecamatan adalah Camat, KORAMIL (Komando Rayon Militer), POLSEK (Kepolisian Sektor), dan Kejaksaan. Peranan TRIPIKA (Tiga Pembina Kecamatan), yaitu camat, koramil dan polsek di pedesaan ada-lah sangat besar, khususnya dalam memantau dan melaksanakan “keter-tiban dan keamanan” di desa-desa yang menjadi wilayahnya.

Keadaan di desa yang sangat menitik-beratkan pada Kamtibmas, di alam kemerdekaan dan situasi yang sangat stabil selama lebih dari dua dasawarsa ini, tentu ada baiknya ditinjau kembali. Keadaan yang terus demikian, pada gilirannya bisa menimbulkan kurangnya prakarsa dan inisiatif dari rakyat desa. Hal ini mungkin juga karena tidak jelasnya pengertian “ketahanan, ketertiban dan keamanan” tersebut, sehingga suatu kegiatan atau inisiatif dari warga desa dapat saja digolongkan ke dalam aspek ketertiban dan keamanan. Khususnya bila berkaitan dengan adanya konflik atau potensi konflik antara pihak penguasa desa dengan rakyat warga desa pada umumnya, dan inilah kiranya kasus yang selalu berulang dalam peristiwa-peristiwa sengketa tanah ataupun masalah-masalah lainnya, apakah itu masalah sosial, politik dan ekonomi. Semua ini tentulah tidak kita kehendaki bersama di dalam sistem demokrasi politik yang kita pakai.

Pada akhirnya persepsi tentang pembangunan dan format politik Orde Baru, yang cenderung menempuh konsep birokratik-otoriter, ter-nyata menimbulkan implikasi mendasar. Misalnya, mengedepannya pro-ses atau mekanisme pengambilan keputusan atau kebijaksanaan yang sebagian besar dimonopoli oleh elit-elit politik atas (militer) yang lebih dominan arah dan aplikasi kebijaksanaan pembangunan yang semata-mata dipusatkan pada model pertumbuhan ekonomi berupa trickle down effect, ternyata melahirkan disparitas baru. Selanjutnya Negara mengha-dapi tantangan, karena kebijakan pembangunan yang selama ini dijalan-kan oleh pemerintahan Orde Baru dianggap telah melahirkan proses marginalisasi masyarakat Talangsari, Way Jepara Lampung. Bila situasi seperti demikian maka akan menyebabkan terjadinya gejala dikotomi antara pusat dan pinggiran, dan pada titik tertentu mengharuskan mun-culnya ketegangan.

Apa ekses selanjutnya yang akan menimpa para penduduk Talang-sari? Pada akhirnya mereka menjadi “korban” politik elit. Implikasi-nya, penduduk Talangsari tidak lagi mempercayai sistem politik yang ada. Kemudian muncul apa yang disebut dengan sikap cuekisme atau berdiam diri, tetapi berbicara dalam tindakan politik. Tindakan politik yang muncul akibat faktor-faktor yang diangap memicu, berwujud perla-wanan ber-senjata.

Bab 10-02 Persiapan-persiapan di Jakarta.
Daerah Lampung, bagi sebagian orang yang pernah menikmatinya adalah seperti gula, bila semut mengetahuinya maka tak ayal sekawanan semut pasti akan menyerbu gula tersebut.39 Analogi ini bisa dipahami bahwa memang daerah Lampung adalah merupakan daerah yang terke-nal dengan kesuburan tanahnya. Selain itu, di daerah Lampung tersebut sangat cocok untuk sebuah pemukiman. Begitu pula yang dikehendaki oleh Warsidi dan kelompoknya, selain bercocok tanam mereka ingin di desanya dibangun sebuah pemukiman yang Islami.
Sejak terjalinnya kontak antara Warsidi dengan tiga orang pemuda Jakarta bernama: Nurhidayat, Fauzi Isman dan Sudarsono sebagian orang yang berhasil dipengaruhi dari Jawa Tengah40 dan Jakarta berkei-nginan untuk pindah tempat tinggal ke daerah Lampung. Dalam keyaki-nan agama kita terdapat sebuah adagium bahwa “seorang muslim yang baik harus tinggal di tempat yang baik”. Apalagi memang kenyataannya bahwa di negeri Indonesia begitu suburnya berbagai kedzaliman, seperti penindasan, kesewenang-wenangan, pembunuhan, pemerkosaan, perju-dian, perampokan dan kerusakan-kerusakan moral atau etika (akhlak) lainnya, membuat mereka merasa gerah juga. Jakarta, sebagai kota metropolis yang banyak menjanjikan kenikmatan hidup ternyata menghadir-kan sesuatu di luar batas pikirannya. Maka jalan yang ditempuh adalah bagaimana mereka ingin mempurifikasi diri. Bagi mereka jalan satu-satunya untuk menghindari diri dari pengaruh-pengaruh negatif tersebut dengan jalan hijrah. Hijrah dalam pengertian, mencari tempat yang kondusif dalam rangka memproteksi diri (meninggalkan) dari apa-apa yang dalam keyakinannya diharamkan Allah.

Untuk menjalankan program hijrah tersebut, diadakan pertemuan khusus tanggal 12 Desember 1988 di Cibinong, Jawa Barat. Dalam pertemuan itu dihasilkan satu kesepakatan untuk membuat perkam-pungan Muslim, sebagai daerah basis perang, di Cihideung, Dusun Talangsari III, Kecamatan Way Jepara. Namun anehnya tidak ada nama, struktur dan yang menerima konsep hijrah di sana. Adapun yang bertanggung jawab menerima di sana adalah Warsidi dan Usman, sedangkan yang bertanggungjawab untuk meng-hijrah-kan mereka ke sana adalah: Nurhidayat, Darsono dan Fauzi. Kemudian Nurhidayat ditunjuk sebagai Amir Musafir.

Pada tanggal 12 Februari 1988 sampai tanggal 6 Februari 1989, secara bertahap tanpa sosialisasi dan koordinasi dengan aparat dan penduduk sekitarnya yang akan didatangi kurang lebih 50 orang hijrah ke sana, diantaranya: keluarga Margono dan keluarga Sukardi. Selanjutnya, menghasilkan jamaah kurang lebih 300 orang baik dekat maupun jauh, termasuk dari kampus UNILA (Universitas Lampung), seorang mahasis-wa drop out Muhlis.

Sementara itu di Jakarta, melalui peranan tiga orang yaitu Nurhidayat, Fauzi dan Sudarsono ini diadakanlah berbagai kegiatan. Melalui dakwah untuk menarik peminat dengan iming-iming dalam kegiatannya menuju kepada terciptanya kehidupan Islami dengan pembentukan perkampu-ngan Islam (Islamic Village) terus diupayakan. Pemikiran yang sangat fundamentalis ini pada saatnya nanti dipersiapkan sebagai basis tegaknya syariat Islam dengan pola Darul Arqam di masa Rasulullah SAW di Mekkah. Dan dari usaha da’wah itu disusun beberapa shaf, di antaranya ialah: shaf Ali, shaf Umar, shaf Abu Bakar dan shaf Usman. Pusat kegiatannya berlokasi di Gg. Remaja I Prumpung, Jakarta.

Namun dalam perjalanannya, pembentukan shaf tersebut mengalami kendala internal. Menurut Sudarsono, salah satu penyebabnya adalah karena ketidaksingkronan arah dan tujuan perjuangan.44 Salah seorang dari Ketua shaf, Nur Hidayat, seorang pemuda energik, emosional dan berjiwa meledak-ledak, mengajak untuk langsung berjihad (berperang angkat senjata). Yang menjadi dasar pemikirannya adalah karena ditubuh ABRI sudah terkotak-kotak dan rezim Soeharto sebentar lagi akan hancur. Hal lain adalah bahwa Islam hadir untuk membebaskan manusia dari perbudakan manusia.45 Namun usaha tersebut ditentang oleh yang lainnya. Menurut Ridwan,46 bahwa langkah yang tengah diusahakan Nur Hidayat terlalu tergesa-gesa dan bahwa persoalan tersebut belum jelas arahnya. Ditambahkannya, bahwa dalam Islam kalau mau bergerak harus jelas motivasinya, yaitu untuk li ‘ila kalimatillah, di samping itu harus adanya komandan jihad yang mumpuni sebagai imam, karena bila tidak ada imam maka perjuangan yang ditempuh pun tidaklah sah.47 Hal senada juga dilontarkan oleh Ustadz Ilyas, ia berpendapat bahwa kaum muslimin tidak dibenarkan mengadakan agresi, dan itu bertentangan dengan sunah rasul.



Bab 10 Rekayasa Makar Pihak Intelijen "Tragedi Lampung Berdarah" (2)
Bab 10-03 Persiapan-persiapan di Lampung
Cihideung—satu lokasi yang dulunya dibuka orang-orang Sunda— merupakan Pedukuhan49 Talangsari III desa Rajabasa Lama Kecamatan Way Jepara Kabupaten Lampung Tengah yang berjarak 90 Km dari Bandar Lampung. Pedukuhan seluas 1,5 Ha itu dikelilingi oleh kali beringin mirip sebuah semenanjung pulau. Sebelah utara berbatasan dengan Pakuan Aji, sebelah selatan berbatasan dengan Kelahang dan sebelah barat berbatasan dengan pusat Desa Rajabasa Lama.

Di daerah Talangsari itu, sedang disusun sebuah komunitas muslim jama’ah Warsidi terdiri dari para pendatang dari pulau Jawa dan hanya beberapa orang yang berasal dari penduduk setempat. Pada awalnya, Jama’ah Warsidi sangat santun dan baik dan tidak ada sedikitpun dari praktek keagamaannya yang ekstrim atau menyimpang. Meski jama’ah ini baru saja memulai sebuah “pesantren” ala kadarnya, namun kegiatan penggarapan tanahnya berjalan intensif. Beberapa anggota jama’ah bekerja di perkebunan Warsidi dengan upah yang layak.

Sebagaimana lazimnya di tempat merantau, di samping menggarap tanah untuk mata pencaharian, penduduk yang kebanyakan perantau itu pagi hingga siang harinya mengadakan rutinitas bercocok tanam. Dalam menjalankan aktifitas bercocok tanam di lokasi pertanian itu, Warsidi mengadakan koordinasi dengan seorang guru ngaji bernama Abdullah dari Sidorejo.50 Radikalisme Warsidi mulai terbentuk dan secara tiba-tiba, dalam waktu yang relatif singkat, ia berubah menjadi tokoh radikal setelah bertemu dengan beberapa jama’ah yang datang dari Jakarta dengan semangat Islam yang membara.51 Mereka berusaha mengamalkan ilmunya dengan membuat perkampungan muslim (Islamic village) yang ada di pedukuhan Cihideung. Namun, anehnya apa yang diharapkan untuk menjadi “Perkampungan Muslim” ternyata, pengajian yang masih baru itu sudah langsung diarahkan belajar latihan memanah dan silat. Sebuah persiapan untuk perang, a prelude to “revolution” sedang terjadi di sana.

Keberadaan Warsidi sendiri di Cihideung bermula pada tahun 1987. Warsidi memperoleh hibah tanah seluas 1,5 Ha dari seorang penduduk bernama Jayus yang kemudian di atas tanah tersebut didirikan Mushalla berukuran 6 x 9 meter yang dinamakannya Mujahidin. Disekitar Mushalla didirikan beberapa rumah gubuk dan rencananya di lokasi itu pengajian-pengajian mulai dirintis. Warsidi yang dibantu oleh Imam Bakri dalam memberi materi pengajiannya baru sebatas penjelasan berupa doktrin untuk jama’ahnya saja.

Memasuki akhir tahun 1988, perkembangan pondok tersebut secara fisik dilakukan—di antaranya pembenahan pondok semi permanen (papan) dengan luas masing-masing 8x16 meter dengan jumlah 4 buah. Jama’ah Warsidi secara tiba-tiba pada bulan Januari 1989 bertambah dengan banyaknya pendatang yang dikirim dari Jawa. Jumlahnya mendekati 400 orang. Sehingga sampai awal tahun 1989 itu, jumlah jama’ah diperkirakan mencapai 550 orang yang terdiri dari laki-laki dewasa dengan keluarganya.

Pada hari Jum’at, 20 Januari 1989, ketika sepucuk surat dari Camat Way Jepara yang isinya mengundang Warsidi untuk datang ke kecama-tan. Anwar Warsidi, sebagai pemimpin jama’ah mengirimkan surat balasan kepada Camat Way Jepara yang isinya keberatan untuk meme-nuhi undangan camat. Alasan penolakan tersebut dikarenakan pihak Anwar Warsidi berpegangan pada hadist yang berbunyi: “Sebaik-baiknya Umaro adalah yang dekat dengan ulama dan sejelek-jeleknya ulama adalah yang dekat dengan umaro”.

Ketegangan terus menerus berlangsung sampai menjelang akhir Januari 1989, suasana ketegangan yang ada belum menunjukkan tanda-tanda reda. Sinyalemen kelompok pengajian Warsidi menyimpang dari ajaran agama terjadi di kalangan masyarakat dan diperkuat oleh tokoh-tokoh Agama yang ada saat itu. Di antara sinyalemen-sinyalemen terda-pat dugaan antara lain bahwa di desa Talangsari ada beberapa orang yang melakukan kegiatan mencurigakan dengan berkedok agama. Mereka (kelompok Anwar Warsidi) sering memberikan khotbah yang bernada ekstrim, menghasut masyarakat untuk menentang Pemerintah dan anti-Pancasila, mengumpulkan botol-botol kosong untuk dibuat bom molotov dan membuat panah-panah beracun, dan melakukan latihan kegiatan beladiri.52
Beberapa kali panggilan dari pemerintah setempat tidak dituruti Warsidi, padahal jama’ah dan akhirnya Nurhidayat sendiri minta Warsidi agar segera saja membuka komunikasi dengan lingkungan dan lapor kepada aparat setempat. Pada akhirnya tragedi yang sama-sama tidak diinginkan pun terjadi.

Pada bulan Desember 1988,54 terjadi peristiwa awal yakni kunjungan pertama seorang Camat beserta dua orang pamongpraja, Kepala Dusun, Kepala Desa Rajabasa Lama, Kepala Desa Labuhan Ratu. Disambut oleh Warsidi dengan ramah tamah dan disertai dengan diskusi serta perde-batan soal Islam. Sepulangnya rombongan itu disertai dengan sorakan dan sentilan warga yang memanas-manasi, dengan rasa tidak senang. Malamnya ada kegiatan ramai. Mereka mengumpulkan botol-botol, bambu hitam, golok, senjata tajam, dan mempersiapkan berbagai jenis senjata. Semakin lama semakin banyak jumlahnya.

Kemudian pada Kamis, 2 Februari 1989, Sukidi dan Dahlan yang meronda mendatangi mushala kecil di ujung Dusun Talangsari III perba-tasan tempat Jamaah Warsidi. Di tempat itu telah berkumpul beberapa orang yang oleh warga Dusun Talangsari III belum dikenal. Satu persatu orang itu ditanyai. Mereka berasal dari dusun Meranding, dusun Proyek Pancasila, Lampung Utara, dan Jakarta. Tetapi mereka berada di wilayah dusun Talangsari III, tak ada laporan, tak ada KTP. Saat itu Warsidi tidak muncul karena sedang sibuk. Setelah itu Sukidi dan Dahlan hendak pergi dari tempat itu, tetapi orang-orang itu agak berkeberatan. Ketika hendak mengambil motornya, Sukidi melihat motor de Lux 76 itu sudah tidak berada di tempatnya. Ternyata motor itu sudah pindah ke pinggir kali. Kemudian motor itu dikembalikan. Dahlan agak tersinggung dikentuti keras-keras, ketika Sukidi dan Dahlan hendak pergi dari tempat itu dengan motornya. Di tengah jalan itu mereka sempat dihadang oleh enam orang tetapi diterobos saja. Sempat mendengar komentar, “Jangan dua orang, tanggung!” Setelah itu menjauhi tempat 55 itu, Dahlan mengambil arah ke selatan dan Sukidi ke arah Timur.

Dalam perkembangan berikutnya, Jum’at, 3 Februari 1989 pagi harinya, Sukidi lapor ke Kepala Desa Rajabasa Lama Amir Puspamega tentang peristiwa yang dialaminya pada malam itu. Dan kemudian lapo-ran ini disampaikan ke kecamatan Way Jepara. Hingga Sukidi diminta datang memenuhi panggilan Camat Drs. Zulkifli. Oleh Camat, Sukidi diminta kembali mengecek jamaah Warsidi kembali. Malamnya Sukidi mengecek sendiri, tetapi ia ketahuan, ia menghindari hingga tercebur ke kali. Dan besoknya melaporkan kembali ke Camat. Sejak saat itu, Sukidi tak berani terang-terangan menampakkan dirinya. Ia selalu sembunyi-sembunyi untuk mencapai rumah.56
Berikutnya, Sukidi dipanggil oleh Danramil Kapt Inf. Sutiman. Sebelumnya Sukidi tidak pernah bertemu dengan Danramil. Di depan Danramil, Sukidi menceritakan apa adanya tentang keberadaan jamaah Warsidi itu. Bahwa sudah lima kali cek positif tentang jamaah Warsidi.
Selanjutnya, Danramil mengawal Pak Sukidi dan berserta dua orang ikut meronda dan seorang Babinsa, dan seorang Batu Ut (wakil Danramil). Sebelumnya Sukidi diperingatkan oleh warga supaya tidak datang, mengingat situasi yang genting, karena rumah Pak Sukidi didata-ngi oleh lima belas orang57 berpakaian hitam-hitam mencari Sukidi.

Tanggal 5 Feb.1989. Patroli memantau kegiatan Warsidi, ramai-ramai jalan kaki. Sesampainya di Cakruk (pos ronda) sudah ditunggui oleh banyak orang jamaah Warsidi yang memegang senjata. Sebelumnya cakruk itu milik warga Sukidi, tetapi kini sudah ditinggalkan sejak kedata-ngan orang-orangnya Warsidi. Di pos ronda itu pada jam 11:30 wib. Gelap gulita. Senter Babinsa sempat beradu tatapan dalam jarak teramat dekat. Orang-orang itu dilucuti senjatanya. Empat orang ditangkap, sedang satunya melarikan diri. Dikumpulkan senjat-senjata yang terdiri dari botol-botol bom molotov, parang, dan ketapel-ketapel dan anak-anak panah yang terbuat dari jari-jari kendaraan sepeda dan motor dalam karung goni. Agar tidak diketahui oleh jamaah Warsidi, mereka mengam-bil jalan menerabas belukar.

Dengan barang bukti ini melaporkan ke Kepala Desa Rajabasa Lama Amir Puspamega yang kemudian dikirim ke Way Jepara. Sukidi dan warga juga melaporkan adanya konflik lokal antara warga Talangsari dengan anggota jamaah Warsidi. Menurut Riyanto,58 mulai terjadi konflik ceritanya berawal. Sejak Sukidi (Kepala Dusun Talangsari III) memberikan laporan kepada Amir Puspamega (Kepala Desa) dan kemudian naik ke kecamatan bahwa ada banyak penduduk asing di tempat Warsidi yang tidak lapor dalam jumlah yang sangat banyak. Sukidi dan Amir Puspa-mega curiga. Waktu itu memang banyak pendatang baru berkumpul di tempat Warsidi yang luas tanahnya cuma 1 hektar persegi. tapi belum ada acara pengajian. Juga belum ada kurikulum. Cuma baris berbaris, latihan memanah. Jadi masyarakat bertanya-tanya.

Itu terjadi pada bulan Januari-Februari 1989. Jadi persiapan perang sudah dijalankan karena pengaruh dari para pendatang terhadap daerah pemukiman Warsidi. Dijanjikan pula kepada jamaah Warsidi di Lampung bahwa mereka nanti akan mendapat senjata sebanyak satu kapal melalui pelabuhan Bakauhuni. Dan pelabuhan Bakauhuni di Lampung akan ditutup nanti apabila Jakarta telah dikuasai. Menurut Riyanto yang men-dengar penuturan langsung dari Warsidi, bahwa orang Jakarta mengata-kan bahwa ia nanti akan mendapatkan senjata sebanyak satu kapal. Cerita ini dituturkan juga oleh Sugeng Julianto (sekarang berdomisili di Solo) di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Rajabasa Lama. Dikatakan juga untuk menghadapi Kodim cukup dilaksanakan oleh 5 (lima) orang jamaah saja, 5 (lima) Kodim cukup 25 (duapuluh lima) orang. Tentang itu semua termakan oleh orang Lampung. Pembawaan Warsidi yang sebelumnya tidak tegang, sejak kedatangan orang-orang Jakarta menjadi tegang, semangat dan emosi jihad

Tanah wakaf dari saudara Jayus warisan bapaknya dulu seluas sekitar satu hektar di seberang kali. Tetapi karena tidak ada perhitungan, logistik tidak ada, di sana orang-orang pendatang dari Jakarta kesulitan. Maka mereka mencari dalil, bahwa semua milik Allah untuk membenarkan melakukan tindakan mengatasi ancaman kelaparan. Jagung-jagung peta-ni dicabut karena milik Allah. Hingga mereka bentrok dengan para petani Talangsari dan menimbulkan ketegangan serta persoalan lokal..

Para jamaah Warsidi membayangkan daerah Cihideng sebagai suffah (markas pendidikan), dan menganggap Talangsari sebagai Madinah yang harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan.59
Sewaktu Camat sempat datang beserta rombongan menemui jemaah Warsidi untuk menyerahkan surat panggilan pertama. Warsidi menerima surat panggilan kedua dari Camat untuk datang menghadap. Tadinya Warsidi mau datang, mengingat keputusan musyawarah jamaah dengan suara terbanyak menyarankan Warsidi untuk tidak datang ke kantor camat. Warsidi menyatakan statement “sebaik-baiknya umara mendatangi ulama”, ketika menerima surat panggilan. Warsidi mempertahankan statement itu. Puncaknya adalah, didatanginya Sukidi kepala dusun dari Talangsari III oleh beberapa orang anak buah Warsidi termasuk yang diakui Riyanto sendiri di antaranya, dan diancam akan dibunuh. Jadi jelas, itu puncak kekesalan, kecemasan dan kebencian masyarakat meledak. Bagaimanapun Sukidi adalah kepala dusun yang dipilih rakyat, bukan aparat pemerintah seperti yang ditulis-tulis selama ini oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Jadi dia atas nama rakyat dan ini menurut dia sudah keterlaluan, dia yang sebagai pamong yang mengatur dusun, malah dia yang diancam. Kenapa diancam, karena dianggap menggang-gu terus dengan pertanyaan-pertanyaan. Apa yang diamaui sdr. Warsidi waktu itu adalah bahwa sejelek-jeleknya Ulama, Umara yang sebaik-baiknya menghadap Ulama.

Rupanya ini dituruti, camat yang waktu itu datang ke sana menghadap, tetapi kemudian disorak-sorakin dan tidak dijawab atas pertanyaannya, sehingga camat pulang kembali. Dan kembali lagi ke Warsidi untuk yang kedua kalinya sudah dengan bersama-sama staf Kodim.61 Dari sini, situasi krusial menuju konflik dan bentrokan nampaknya kian sukar dielakkan karena proses dialogis tak bisa dilakukan dengan baik

Tidak lama setelah adanya penangkapan kelima orang jamaah Warsidi oleh orang-orangnya kepala desa pada waktu malam, tiada yang tahu. Menurut Riyanto, seminggu sebelumnya Warsidi telah mempersiap siagakan jamaahnya untuk mengantisipasi kemungkinan buruk terhadap kedatangan pihak aparat. “Siaga satu” kata mereka. Ia telah memberikan beberapa komando khusus kepada beberapa kelompok jamaahnya, setelah mendapatkan kabar lima orang jamaahnya ditahan di Kodim. Dalam situasi yang tegang, mendapat bocoran bahwa suatu saat lokasi akan didatangi aparat. Mereka jaga malam, kalau masuk ke dalam lokasi tertentu menggunakan kata-kata sandi seperti ‘amit’ dan ‘syahid’, kalau nggak jawab ‘syahid’ langsung bunuh, siapapun dia berarti musuh. Ia dan kawan-kawan anggota Kelompok Warsidi telah mengangkat sumpah di markas.

Menurut Danrem Hendro Priyono waktu itu sepulangnya dari Palembang dari rapat AMD (ABRI Masuk Desa), ia mendapatkan kabar telephone dari Mayor Abdul Aziz malam sebelumnya bahwa Sutiman disandera. Hendro segera mengadakan pengecekan. Ditanyakan kepada Mayor Abdul Aziz tentang rombongan siapa saja sampai Sutiman ditangkap. 62 Hendro menyampaikan demikian:
‘’Saya pulang dari rapat AMD di Palembang, saya tiba di Bandar Lampung, saya dapat laporan dari staf saya, Mayor Abdul Aziz. Bahwa salah seorang anak buah saya, Komandan Koramil, Kapten Inf. Sutiman itu disandera, menurut laporan itu disandera oleh satu kelompok misterius yang kita tidak tahu kelompok apa. Tetapi, ketika bertemu masyarakat, kelompok itu pemimpinnya Anwar alias Warsidi. Saya bilang Anwar Warsidi siapa? Tak seorang pun bisa menjelaskan. Lalu saya bilang, di mana persisnya lokasi itu, katanya di Way Jepara berjarak 1,5 km ke lokasi itu. Karena saya sudah lama sekali meninggalkan Bandarlampung, selama 6 bulan di Seskoad. Selama saya bertugas sebagai Danrem di Lampung, saya belum sempat pergi mengunjungi ke daerah-daerah. Kabarnya 3 jam pergi ke Way Jepara. Lalu saya melaporkan kepada Panglima Kodam Sriwijaya, yaitu Mayor Jenderal TNI Sunardi, yaitu tentang apa yang saya dengar dari staf saya tersebut.’’

Hendro mendapat laporan dari pejabat Muspida/Muspika, kepala desa dan kepala dusun bahwa tanggal 6 Februari 1989. Menurut Sukidi, sebagaimana yang dilaporkan juga kepada Camat dan pejabat Muspida, pukul 11.00 WIB rombongan aparat lokal datang ke kediaman Warsidi. Rombongan terdiri dari:
1. Olan Sinaga (Kasdim).63
2. Kapten Sutiman (Danramil Way Jepara)
3. Dulbakar (Kapolsek Way Jepara)
4. Amir Puspamega (Kepala Desa Rajabasa Lama)
5. Sarnubi (Kepala Desa Pakuan Haji)
6. Sukidi (Kepala Dusun Talangsari III)
7. Dahlan (Kepala Tata Usaha Koramil), satu-satunya tentara.
8. Drs Zulkifli (Camat Way Jepara)
9. Polisi Pamong Praja

Berjumlah sembilan orang dengan menggunakan kendaraan 2 (dua) mobil Jeep Jimny dan satu sepeda motor yang dinaiki oleh Sutiman. Rupa-nya, begitu datang langsung disambut oleh serangan, dan Kapt Inf. Suti-man langsung meninggal. Tidak disandera sebetulnya. Kehadiran mereka ini untuk berdialog dengan Warsidi, bukan untuk menyerang sebagai-mana yang dituduhkan oleh beberapa pihak yang tidak mengetahui duduk perkara sebenarnya..

Setelah mendapat laporan lanjut, Hendro lalu mengadakan briefing untuk mendapatkan suatu masukan baru dari seluruh staf. Di tengah-tengah briefing menjelang usai, mendapatkan suatu masukan baru, laporan dari aparat keamanan Sidorejo bahwa Pratu Budi Waluyo dibunuh, dan seorang rakyat bernama Agus Santoso. Terjadi perampasan mobil Kop Angkutan umum. Pada hari itu juga, ada pelemparan bom molotov ke kantor harian Lampung Post. 64 Ini jelas bukan gerakan main-main. Sasaran aksi jemaah Warsidi tidak terbatas. Menurut teori politik, sasaran yang tidak terbatas dilakukan oleh suatu kelompok bisa dinamakan teror. Terorisme. Maka itu, Hendro sendiri diminta jajaran dan kepala desa untuk datang. Dan ia tidak memerintahkan bawahan lagi. Kedatangan ini, disertai 3 peleton tentara dan Brimob ke desa Talangsari III.

Di lokasi, ternyata sudah disiapkan parit-parit setinggi dada. Dipersiapkan sistem tentara oleh jemaah Warsidi. Sehingga ada kesan bahwa berarti ini bukan tempat pengajian, tetapi basis untuk perjuangan. Oleh karena itu, tidak terlalu mudah, dan mau tidak mau membuka peluang untuk bentrok. Ada sejumlah anggota aparat keamanan kena panah. Hendro Priyono menggunakan megaphone untuk meminta kaum jemaah GPK Warsidi agar menyerahkan diri dan menyelesaikan masalah tanpa kekerasan. Para aparat Muspika dan desa juga berbuat hal yang sama, memina mereka menyerahkan diri dan jangan melawan petugas.

Sebetulnya, sehari sebelum 7 Februari 1989 rombongan Muspida mendatangi dan mengikuti apa yang disampaikan oleh Sukidi (Kepala Dusun Talangsari III), “Sejelek-jeleknya Ulama, sebaik-baiknya Umara mesti menghadap Ulama”. Melihat komposisi ini, rombongan tersebut sudah mengalah dengan mendatangi kelompok Warsidi. Semua ini Muspika kecamatan yang datang. Komposisi tersebut jelas terlihat para pejabat itu beragama Islam, kecuali satu Olan Sinaga yang mengganti Nusbasyah yang tidak ada (Dandim yang orang Aceh, Islam juga). Jadi tidak ada cerita bahwa mereka rombongan yang membenci Islam seperti yang dilansir beberapa media massa. Mungkin kenyataannya akan bercerita lain, jika Warsidi dahulu memenuhi panggilan kecamatan, karena rapat yang diadakan oleh kelompok Warsidi yang melakukan voting memutuskan untuk tidak menghadap.

Mereka berkendaraan dua kendaraan Jeep Jimny dan sebuah sepeda motor yang dipakai oleh Kapten Sutiman. Olan Sinaga menembakan tembakan secara spontan yang membuat seseorang anggota jamaah Warsidi terkena peluru nyasar di bagian kakinya. Peristiwa penembakan itu yang menyebabkan jamaah menyerbu. Rombongan pejabat itu melarikan diri, tetapi Kapten Sutiman tertinggal di belakang dengan motornya yang dibacok oleh Marsudi abang kandung Warsidi dan sebuah senjatanya dirampas.

Sementara itu di tempat lain di Siderejo tanggal 6 Februari 1989, pukul 23.00 wib, dari penuturan yang disampaikan oleh Riyanto67 , misi ini dipimpin oleh Riyanto sendiri yang mendapat perintah dari Umar, mantunya pak Warsidi beberapa hari sebelumnya. Misi ini untuk mencari senjata dan membuat kekacauan di Tanjung Karang. Terjadi perampasan secara diam-diam kendaraan Angkutan Umum di Sidorejo. Dua orang terbunuh dua orang penumpang kendaraan tersebut, yaitu: (1) Pratu Budi Waluyo yang tidak menyangka masuk ke dalam kendaraan yang dikira mobil angkutan, tadinya Pratu Budi Waluyo diminta untuk turun, tetapi Budi tidak mau. Di tengah perjalanan ia disikat habis, (2) seorang kenek angkutan umum Wasis L-300 bernama Agus Santoso.

Kemudian Riyanto cs menyerbu kantor Lampung Post di kota Bandar Lampung, karena telah memuat berita yang menyudutkan jamaah Warsidi. Jendela kaca Kantor Lampung Post itu pecah dilempari sebuah bom Molotov, tetapi bom itu tidak sempat meledak. Sewaktu dikejar-kejar oleh polisi lalu lintas, mobil itu menabrak polisi lalu lintas yang terpental, mobil kemudian dibawa ke dalam hutan, tetapi sebelum masuk hutan mobil itu rusak masuk parit, lalu meninggalkan mobil rusak itu, Riyanto cs lari masuk ke dalam hutan dan bersembunyi selama beberapa hari dalam hutan.
Tanggal 7 Februari 1989, Hendro Prijono dan timnya berjumlah 3 peleton masuk ke Cihideung pukul 05.30 wib untuk mengejar Riyanto Cs. Pada tanggal yang sama, (1) Serma Polisi Sudargo yang telah tewas sewaktu mengejar Riyanto Cs. dan senjatanya diambil oleh jamaah Warsidi, (2) Sersan Sembiring juga dibacok, senjatanya diambil, (3) Santoso Arifin (Luruh Sidoredjo tewas dibacok). Kejadian ini mereka berhasil merampas dua pucuk senjata api. Dua senjata tersebut yang dirampas kemudian direbut kembali oleh Hendro Prijono setelah terjadi baku tembak di Gunung Balak, juga senjata lainnya.68 Dengan beberapa senjata yang telah terampas, artinya ini sudah terdesak, sebagai penanggung jawab keamanan, itu pun Amir Puspamega dan Sukidi mengatakan kepada Hendro Prijono dengan menilainya terlalu hati-hati dan penuh perhitu-ngan sehingga terkesan lamban, padahal kehati-hatian pihak aparat sangat diperlukan untuk tidak menambah jumlah korban.69
Hendro tidak dikasih tahu oleh para intelijen tentang latar belakang kejadian itu yang dikatakan bahwa kelompok Warsidi akan melawan pemerintah, yang ia tahu hanya dikabarkan bahwa Kapten Sutiman ditawan.

Setelah itu, ia juga mendapat berita bahwa kantor Kodim diserbu oleh kelompoknya Benny. Berawal dari Lima orang pemuda jamaah ditangkap oleh para penduduk dusun ketika mereka sedang ronda, lalu dibawa ke Kodim. Esoknya datang lima orang yang menyerbu Kantor Kodim yang berhasil menikam seorang penjaga pos Kodim dan merampas sebuah senjata M16 yang tidak bisa mereka gunakan karena tidak tahu, tak lama kemudian lima orang pemuda jemaah yang menyerbu itu tewas semua tertembak di bagian kepalanya, menurut keterangan orang-orang Kodim mereka berlima tidak mempan peluru di tubuhnya, tetapi mempan di bagian kepalanya.

Bab 10-04 Membentuk “Basis Perjuangan”
Pembentukan “basis perjuangan”71 Islam di Cihideung, Talangsari, Lampung terkait erat dengan persepsi mengenai bahwa kedudukan Islam dalam sejarah dunia adalah idealisasi dan romantisasi Nabi Muham-mad s.a.w. serta kaum muslimin yang awal. Nabi Muhammad SAW dengan risalah Islamnya dipandang telah berhasil secara sempurna dalam segala hal, termasuk di dalamnya membentuk komunitas muslim di Madinah. Sebuah komunitas yang tidak pernah lagi menyembah berhala (paganisme), akan tetapi hidup di bawah naungan Al Quran (way of life).

Perjalanan risalah suci ini tidak selesai pada diri Nabi Muhammad s.a.w. dan para sahabatnya saja, bahkan diperluas sampai seluruh periode empat khalifah (khulafa al- rasyidin),73 dan generasi berikutnya. Sampai pada akhirnya wilayah-wilayah di luar Madinah menjadi pendukung setia dalam menciptakan perdamaian. Mereka yang hadir pada masa-masa awal itu telah terdorong terutama sekali oleh spirit pengabdian totalitas kepada ajaran Islam serta semangat untuk menyebarkannya. Semangat itu didukung pula oleh suatu pemahaman bahwa dalam ajaran Islam terkandung rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Idealisasi tentang kehidupan orang-orang tertentu dari generasi Muslim yang awal secara khusus terdapat sekelompok orang yang dikenal sebagai ahl al-Shuffah,74 yang merupakan panutan dalam kefakiran dan kesalehan serta tidak memiliki tempat bernaung selain di shuffah atau di bagian serambi masjid Madinah yang tertutup.

Berangkat dari pemahaman sejarah menurut analisa Nur Hidayat75—dihubungkan dengan kondisi sosial umat Islam sekarang yang terpecah belah dan tertindas, maka adanya keinginan untuk membentuk Basis Perjuangan yang pada tahap awal berbentuk “Islamic Village”. Menurut kacamata Fauzi Isman,76 kondisi sekarang ini sedang tidak berpihak kepada Islam. Artinya, Islam sudah dipisahkan dari kehidupan bernegara. Kebebasan umat untuk menjalani Islam dibatasi. Sementara umat Islam sendiri terpecah belah karena kejumudan dan kesempitan pemahaman mereka terhadap Islam. Kekuatan Islam yang terpecah menjadi dua, yang satu sama lain tidak saling mendukung. Dari dua kekuatan tersebut masing-masing terpecah-pecah kembali menjadi beberapa golongan yang kecil dan begitu seterusnya. Hingga gambaran umat Islam sekarang ini ibarat anak ayam yang kehilangan induknya, saling cakar-cakaran. Kondisi umat Islam yang seperti ini yang melatarbelakangi terbentuknya Jama’ah Komando Mujahidin fie Sabilillah.

Bila diurut ke belakang lagi, sebenarnya pandangan tentang dunia yang bermusuhan dengan Islam berasal dari periode sebelum Hijrah. Kebanyakan bagian Al Quran yang diwahyukan dalam periode paling awal sangat kritis terhadap sikap dan praktek kaum pedagang Makkah, serta para pedagang ini secara wajar mengambil sikap bermusuhan terha-dap Muhammad dan para pengikutnya. Setelah hijrah dan setelah sera-ngan kaum muslimin terhadap kafilah-kafilah Makkah, permusuhan mulai diungkapkan secara militer. Jadi, selama sepuluh tahun terakhir kehidupan Muhammad dapat digolongkan sebagai suatu perjuangan militer melawan musuh-musuh, bukan untuk menyebarkan agama Islam tetapi untuk menjamin kelangsungan hidup kaum Muslimin.

Pandangan bermusuhan ini memperoleh dimensi baru sebagai akibat kajian yang dilakukan kaum Muslimin atas sejarah barat. Kebanyakan kaum muslimin kini memandang kolonialisme sebagai suatu kelanjutan serangan Kristen terhadap dunia Islam yang diawali dengan Perang Salib. Hal ini sama sekali bukan kenangan rakyat (folk memory) tetapi suatu persepsi baru yang didasarkan pada apa-apa yang telah dipelajari kaum Muslimin di barat, barangkali dimulai oleh Muhammad Abduh. Tidak diragukan bahwa terdapat pembenaran tertentu untuk pandangan mereka terhadap Perang Salib sebagai tahap awal perjuangan antara dunia Islam dan Kristen Eropa untuk merebut daerah pesisir selatan dan barat laut tengah.

Sikap untuk memanfaatkan kekuatan bersenjata dalam agama merupakan butiran penting yang membedakan antara kaum Muslimin dan umat Kristen. Kaum tradisionalis Muslim, demikian pula kebanyakan kaum muslimin lainnya, memandang bahwa hak seorang Muslim untuk menjalankan praktek agamanya mesti dipertahankan dengan angkatan perang jika perlu. Dalam suatu buku terbaru ditemukan ungkapan: “Ketika hak seorang muslim untuk mempraktekkan kepercayaannya tidak diakui oleh suatu kekuasaan, maka ia harus memberikan perlawa-nan untuk mempertahankan diri, dan menjadi seorang mujahid, atau jika ia tidak dapat menentang atau gagal dalam perlawanannya, maka ia mesti berhijrah dan menjadi seorang muhajir”.78 Hal ini tentunya merupakan upaya yang agak sederhana untuk menerapkan gagasan-gagasan di masa nabi kepada kondisi-kondisi modern. Kebanyak kaum Kristen dengan cara semacam itu, dan akibat sikap inilah setidak-tidaknya sebagian besar mereka secara diam-diam menyetujui langkah-langkah yang mengarah kepada pembentukan negara Israel. Namun terdapat juga kelompok penting pandangan Kristen yang menolak penyerahan tempat-tempat suci Kristen kepada Yahudi. Titik pusat dalam masalah ini barangkali adalah: sementara agama pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat spiritual, namun pengejawantahan lahiriyahnya juga penting dan bahkan merupakan bagian darinya; serta kaum Kristen mungkin sudah semestinya mencurahkan pemikiran yang lebih dalam terhadap masalah ini.

Kedudukan jihad atau “perang suci” dalam pemikiran Islam juga mesti disimak. Kata ini biasanya bermakna “berjuang” atau “berupaya”, tetapi terdapat beberapa contoh di dalam Al Quran tentang ungkapan-ungkapan “mereka yang telah berjuang di jalan Tuhan dengan harta dan nyawa,” dan hal ini dipandang bermakna turut serta dalam ekspedisi-ekspedisi di mana terdapat kemungkinan berperang. Juga terdapat ayat-ayat lainnya yang mengizinkan atau memerintahkan perang. Ayat paling awal barangkali adalah: “Diizinkan kepada mereka yang didzalimi untuk berperang (QS, 22: 39). Ayat lainnya dari masa awal: Perangilah mereka (orang-orang kafir Makkah ) hingga tidak ada fitnah dan agama semata-mata milik Tuhan (QS. 8: 39). Ayat yang barangkali merumuskan kebijakan yang membimbing penaklukan-penaklukan belakangan adalah: Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir di sekitarmu, dan biarkanlah mereka rasakan kekerasan darimu (QS. 9:123).

Jihad adalah bagian dari pertahanan menyeluruh Islam. Jihad berarti berjuang dengan seluruh kemampuan yang ada. Menurut Abul A’la Al-Maududi, seseorang yang berupaya sekuat tenaga baik secara fisik maupun mental atau mengeluarkan hartanya di jalan Allah sebenarnya tengah berjihad.79 Namun, apa yang direncanakan oleh Nur Hidayat di Lampung adalah membangun basis perjuangan untuk perang. Rencana tersebut dijabarkan oleh Anwar Warsidi dengan menyelenggarakan latihan memanah dan bela diri silat yang dilatih oleh Dullah untuk memerangi kaum kafir. Celakanya kaum kafir yang dimaksud mereka adalah semua orang yang bukan jama’ah Warsidi sendiri. Di dalam Qur’an sendiri dikisahkan tentang orang-orang struktur elite Fir’aun yang menyembunyikan keimanannya sehingga eksklusifisme dengan memandang orang lain di luar kelompoknya sebagai kafir adalah tindakan yang tidak perlu.

Bab 10-05 Respon Masyarakat Sekitarnya
Setelah seminggu lebih Peristiwa Lampung berlalu, penduduk di daerah peristiwa itu masih gelisah. Cerita tentang gerakan Mujahidin fi sabilillah yang dipimpin Anwar Warsidi itu masih beredar. Memang peristiwa berdarah tersebut membuat sebagian penduduk trauma. Desa yang dulunya ramai, dengan sekitar 100 KK, kini dalam keadaan tertutup dan dijaga oleh para aparat keamanan. Orang yang tidak berkepentingan dilarang keras memasuki wilayah tersebut, tanpa terkecualian. Dusun yang kini kosong dalam keadaan porak poranda serta rumah-rumah yang rubuh dan terbakar itu ditinggalkan para penghuninya.80 Kecurigaan selalu timbul bila melihat orang yang mereka baru kenal. “Awas ada mujahidin,” begitulah celetuk penduduk Kota Bandar Lampung.81 Yang mencolok adalah di pusat Desa Rajabasa Lama itu sendiri, sekitar 8 km dari lokasi kejadian. Setiap tamu yang baru datang ke sini langsung diminta oleh masyrakat setempat untuk berhubungan dengan petugas ataupun kepala desa.82 Sebagian besar penduduk desa Rajabasa Lama yang seluruhnya berjumlah 6.575 jiwa itu masih dicekam rasa takut, sehingga masih ada yang mengungsi ke luar dari perkampungan.83 Suasana yang masih agak tegang terlilhat di desa Sidorejo. Penjagaan tidak saja dilakukan oleh anggota ABRI, tetapi juga para pemuda setempat. Di desa itu masih banyak penduduk yang tidak memasang lampu penerangan. Mereka juga banyak yang tidak berani tidur dalam rumah. Ketakutan mereka tidak hanya terhadap kemungkinan serangan gerakan Mujahidin fi Sabilillah, tetapi juga dari kemungkinan pihak ketiga, yaitu para pencuri dan garong yang akan memanfaatkan situasi.

Peristiwa yang dikenal dengan “Komando Mujahidin fi sabilillah” masih menjadi pembicaraan ramai orang di Bandar Lampung. Mereka merasa heran dengan peristiwa itu, karena sebelumnya mereka tidak pernah mendengar adanya keluhan ataupun usaha untuk melawan petugas keamanan.85 Ada suasana terganggu secara psikologis bagi masyarakat dengan adanya kelompok-kelompok eksklusif agama yang membuat suatu “such a nuisance” yang mengganggu ketentraman mereka. Namun, konflik—sebagaimana disebut Thamrin Amal Tomagola86 —adalah hal yang inheren dalam masyarakat, sebagai suatu sunnatullah. Realitas haruslah diambil banyak pelajaran sehingga agama tidak menjadi sesuatu yang inferior.
Mengomentari tentang peristiwa yang terjadi di wilayahnya, Guber-nur Lampung, Poedjono Pranyoto mengatakan, para perusuh yang menamakan dirinya Mujahidin fi sabilillah tersebut terdiri dari para pendatang yang kemudian menghasut sebagian kecil penduduk setempat. “Mereka itu termasuk oknum-oknum yang berkedok agama tapi tindakannya menyalahi hukum agama dan berlaku sadis”.87

Bab 10-06 Kronologi Terjadinya Peristiwa Talangsari, Lampung, 1989
Seminggu sebelum kejadian merupakan puncak dari ketegangan yang ada. Zulkifli (camat Way Jepara) berdasarkan informasi yang diterimanya mengirimkan surat pada hari Jum’at, 20 Januari 1989 kepada Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) yang isinya memberitahukan bahwa di dukuh Cihideung ada yang melakukan kegiatan yang mencurigakan dengan berkedok pengajian. Tetapi, untuk bisa diterima undangan tersebut oleh Warsidi, camat Zulkifli memberi alasan dalam suratnya bahwa Warsidi diundang ke kantor kecamatan untuk melaporkan data pendatang baru di lokasi tempat kediamannya. Pada hari yang sama Warsidi mengirim sepucuk surat balasan kepada Camat Way Jepara. Isi dari surat itu mengatakan keberatan untuk memenuhi undangan Camat. Bahkan mengundang Camat untuk mengecek langsung ke Cihideung agar lebih jelas.

Atas dasar informasi tersebut, keesokan harinya Sabtu, 21 Januari 1989, Camat Zulkifli dan stafnya, Muspika dan aparat desa yang berjum-lah 8 orang datang ke Cihideung, untuk memenuhi undangan Warsidi.

Hari Minggu, 22 Januari 1989 pukul 23.00, beberapa orang petugas bersenjata api menteror perkampungan jama’ah dan mengepungnya. Dua orang dari mereka masuk ke Mushala Al Mujahidin dan mencoba memancing kemarahan jama’ah yang sedang berdiskusi. Keduanya mengumpat dan mencaci maki jama’ah, bahkan mengancam dengan mengacungkan senjata api. Para jama’ah berusaha menahan diri untuk tidak terpancing. Merasa tidak dilayani, keduanya meninggalkan Mushala tanpa insiden.
Hari Minggu, 29 Januari 1989, salah seorang jama’ah memperoleh informasi mengenai Keputusan Muspika untuk menyerbu perkampungan jama’ah Cihideung. Tak lama kemudian, jama’ah menyaksikan Kepala Desa Cihideung dan masyarakatnya yang berada di sekitar perkampu-ngan mengungsi. Karena tidak merasa melanggar peraturan, jama’ah tetap tinggal di Cihideung. Untuk menjaga kemungkinan yang tidak diinginkan jama’ah meningkatkan ronda malam.

Hari Kamis, 2 Februari 1989 sekitar pukul 20.00 WIB, dua orang tak dikenal yang diduga petugas memata-matai perkampungan jama’ah. Mereka disambut baik oleh jama’ah tanpa rasa curiga.
Hari Minggu, 5 Februari 1989 sekitar tengah malam, beberapa orang petugas bersenjata api di antaranya M-16 dibantu oleh beberapa aparat desa, menyergap salah satu pos ronda jama’ah Warsidi. Enam orang jama’ah yang berusia di bawah 16 tahun ditangkap. Mereka ditangkap kemudian dibawa ke Makodim Lampung Tengah. Pada saat penyerga-pan disita 61 pucuk anak panah dan ketepel kayu, parang dan golok.

Hari Senin, 6 Februari 1989 sekitar pukul 11.00 WIB, beberapa birokrasi sipil dan militer, di antaranya, Mayor E.O. Sinaga, (Kasdim 0411 Lampung Tengah) bersama-sama dengan Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara), Zulkifli (Camat Way Jepara), Letkol Hariman S (Kakansospol Lampung Tengah)89 beserta dua regu pasukannya menggunakan 2 buah jeep dan +8 buah sepeda motor pergi ke Cihideung untuk memenuhi undangan Warsidi. Namun tiba-tiba rombongan para pejabat itu diserang sebelum sampai di tempat tujuan dan akhirnya terjadilah bentrok fisik antara kedua pihak. Tanpa dikomando, jama’ah bangkit serentak menga-dakan perlawanan mengepung para penyerang. Dengan teriakan “Allahu Akbar” dan bersenjatakan panah, golok, clurit dan senjata tajam lainnya. Pertempuran berlangsung + ½ jam. Danramil Soetiman disan-dera dan 5 orang pasukannya tewas terkena panah beracun dan tubuh-nya hancur karena bacokan-bacokan parang dan golok. Sedang yang lainnya melarikan diri. Jama’ah berhasil menyita sebuah jeep, dua buah sepeda motor, sepucuk pistol dan uang tunai + Rp1.000.000,- Sementara itu pada hari yang sama, sekitar pukul 20.000 WIB, Riyanto dan kawan-kawan jama’ah Warsidi menyergap sebuah mobil colt di Sidorejo. Pembajakan mobil ini mengakibatkan tewasnya seorang bernama Pratu Budi Waluyo, melukai sopir dan kenek bernama Agus Santoso hingga luka parah.90 Disusul sekelompok jama’ah menyerang Kepala Pos Polisi Serma Sudargo hingga tewas dan dalam perkelahian ini dua polisi terluka. Kepala Desa Sidorejo, Santoso Arifin, masih dibunuh pula. Peristiwa tersebut membuat pihak aparat bereaksi keesokan harinya, Selasa, 7 Februari 1989 sekitar pukul 05.00 WIB, di bawah pimpinan Kolonel Hendro Priyono, (saat itu Danrem 043/Garuda Hitam) dengan kekuatan 3 (tiga) peleton tentara, 50 orang anggota satuan Brimob, aparat melaku-kan pengepungan ke lokasi Cihideung. Pasukan ABRI membentengi arah Barat. Praktis tidak ada jalan keluar bagi jama’ah. Sedang jama’ah bersen-jatakan panah beracun, golok dan parang dengan mata yang cukup tajam dan pistol rampasan dari alm. Soetiman. Sementara di Sidorejo pasukan jama’ah Warsidi dipimpin Fadillah bersenjata 2 pucuk pistol rampasan dari para polisi selain panah beracun dan senjata-senjata tajam. Pertempuran berlangsung seru dalam jarak 5-10 meter, hanya dibatasi jalan desa.

Penyerbuan diperkirakan berlangsung hingga pukul 15.00 WIB, dan selanjutnya diikuti dengan penangkapan terhadap orang-orang yang diperkirakan terlibat. Cukup banyak yang asal tangkap terhadap orang-orang tersebut. Seorang anak yang usianya kurang lebih 7 tahun dibawa oleh anggota aparat ke pelabuhan Bakauheni, di sana ia dipaksa untuk mengenali dan menunjukkan orang-orang yang akan naik atau baru turun dari kapal yang menurutnya pernah bergaul atau masuk dalam kelompok pengajian tersebut. Siapa pun orang yang ditunjuknya langsung ditangkap oleh aparat.91
Yang menarik dari peristiwa ini, sesungguhnya bukan lagi dilihat pada pihak kelompok Warsidi atau pihak tentara. Rakyat dusun Talang-sari II, desa Pakuan Aji dan desa Rajabasa Lama yang suasana hubu-ngannya bersitegang dengan “jama’ah” Warsidi dan berakhir dengan serangkaian pembunuhan terhadap 2 orang aparat keamanan dan se-orang kenek angkutan umum, secara massal menyerbu lokasi barak-barak perkampungan kelompok Warsidi di Cihideung dari berbagai jurusan. Perkelahian massal menyertai pengepungan terhadap pemuki-man eksklusif itu.

Bunyi tembakan aparat keamanan bergema merobohkan Warsidi dan beberapa orang pengawalnya setelah seorang prajurit yang bernama Kopda Yatin tersungkur dengan punggung tertancap panah beracun. Kejadian itu sungguh tak sedap dipandang, terlebih lagi ketika sekonyong-konyong dari arah Barat penampungan terlihat api berkobar. Gubuk-gubuk telah terbakar. Warga Talangsari yang menyaksikan serbuan warga wilayah lain itu bahkan ada yang melarikan diri tergopoh-gopoh.93 Namun, bagi mereka yang sedang emosional malah mendekati gubuk-gubuk jama’ah yang tersebar. Dan dalam waktu yang sekejap saja gubuk-gubuk itu dibakar massa dari dusun-dusun dan desa lainnya. Pastilah banyak jatuh korban di sana apalagi barak-barak itu adalah tempat bermukimnya anggota keluarga para jama’ah. Siapa yang membakar ke-empat gubuk itu dalam suasana hiruk pikuk bak perang suku itu sukar sekali diketahui pada saat itu.

Menurut penuturan ceritera-ceritera dari rakyat mengatakan bahwa gubuk-gubuk itu dibakar oleh “jama’ah” Warsidi sendiri yang bertugas menjaganya. Dalam hingar-bingarnya pertempuran massal terdengar pekik jama’ah agar tak seorang pun boleh menyerah dan teriakan-teriakan membakar semangat untuk “mati syahid” pun terus-menerus diserukan. Beberapa orang dari masyarakat Cihideung mengatakan mereka melihat seseorang perempuan remaja melompat keluar lewat jendela gubuk yang terbakar. Ia berusaha melompat keluar tetapi diikuti dengan ayunan parang terhadapnya oleh seseorang laki-laki dari dalam gubuk. Teriakan yang terdengar dari sang jagal adalah “Jangan keluar, mati kowe!”

Diketahui kemudian perempuan remaja itu bernama Thoyibah, anak Warsidi, yang dengan cepat ditolong para prajurit dan dilarikan ke Rumah Sakit Umum Dokter Abdul Muluk untuk menjalani perawatan intensif karena telinganya yang luka parah dan sisi kepala sebelah kanannya yang terluka akibat kena babat senjata tajam. Dari cerita orang pasca kejadian yang didengar oleh Suryadi—seorang mantan Warsidi yang kemudian bertolak belakang dengannya— gubuk-gubuk penampungan itu dibakar oleh Abbas dan salah seorang yang lainnya yang merupakan jama’ah Warsidi sendiri. Semua manusia di Cihideung yang sedang bertempur itu bagai kerasukan yang lepas kendali diri. Mereka saling berusaha membunuh lawannya dan sama-sama berteriak “Allahu Akbar”. Seolah-olah Allah SWT berada di pihak mereka yang berteriak itu. Dan dalam bentrokan yang mirip perang tawuran (jarak dekat) itu, menurut Sukidi, tewaslah 27 orang. Kesaksian yang sama pada peristiwa 7 Februari1989 itu disampaikan oleh para warga setempat yang tak mau disebut namanya dengan alasan takut.

Sukidi mengatakan bahwa api menjalar dari dalam gubuk Warsidi, dilakukan oleh anak buah Warsidi, bukan dari massa, aparat desa atau aparat keamanan:’’ Sebab tahu-tahu kami melihat api membara dari dalam gubuk Warsidi, dan ternyata dilakukan pembakaran oleh anak buah Warsidi. Penyerangan dilakukan oleh aparat desa, warga (massa dusun) dan aparat keamanan bersama-sama karena kegiatan anak buah Warsidi sudah dinilai membahayakan keselamatan warga masyarakat.’’
ABRI dan rakyat berada di satu pihak yang mendatangi tempat itu yang rupanya memang telah dipersiapkan untuk pertahanan. Warsidi dan pengikutnya berada di pihak lain yang bertahan di “Basis Perjuangannya” dengan berlindung di parit-parit perhanan yang diran-cang secara baik untuk kebutuhan taktik perang. Begitu ngerinya pertem-puran itu dan betapa besarnya pengorbanan mereka yang terjerembab oleh ambisi dan kecongkakan sang “Imam”. Anwar Warsidi sebagai Imam bagi jama’ahnya memang sangat menyedihkan. Peralatan modern dihadapi hanya dengan pertahanan sekedarnya. Namun yang lebih menyedihkan adalah para aktor intelektualnya yang berada di Jakarta yaitu tiga pemuda tanggung avonturir—Nurhidayat, Fauzi Isman dan Sudarsono—yang mungkin tidak menyadari betapa besar akibat dari perencanaannya yang begitu ceroboh. Perencanaan yang dibuat tanpa koordinasi, tanpa legalisasi, tanpa komunikasi dan tanpa sosialisasi sebelumnya dengan masyarakat Way Jepara yang akan didatangi. Nafsu besar Amir Musyafir Nur Hidayat Assegaf tidak sesuai dengan kemampu-annya dalam menyusun suatu rencana besar untuk menghijrahkan begitu banyak nyawa orang dari pulau Jawa ke Sumatra. Bahkan Rani,97 istri Nur Hidayat yang kini telah diceraikannya, dulu ditipunya dengan “angin surga” yaitu hidup sejahtera di Medan. Untunglah hati kecil Rani membatalkan niatnya mengikuti ajakan sang penipu sehingga ia terhindar dari malapetaka di Cihideung. Rani kini tinggal menjanda dengan 2 orang anak yang dibesarkannya sendiri tanpa ayahnya. Kekerasan yang menghasilkan sebuah episode kesedihan di hati rakyat Indonesia memang bukan produk dari pemilik kuasa (negara), tapi dari masyarakat sipil pun bisa menciptakan drama kemanusiaan yang menyedihkan.

Yang kita sayangkan dari efek kekerasan yang sulit kita cari pelakunya ini adalah “penularan” kekerasan ke berbagai daerah lain selain di Lampung sendiri. Penularan kekerasan itu terjadi dalam bentuk penang-kapan-penangkapan tokoh-tokoh yang dicurigai di Lampung, pada orang-orang yang tidak bersalah. Juga di Bima dan Padang. Bahkan penangkapan tidak dilakukan pada orang-orang yang diindikasikan sebagai anggota kelompok pengajian. Terhadap keluarganya pun dilaku-kan penangkapan, penyiksaan. Azwar, salah seorang saksi korban menuturkan kejadian yang menimpanya, “Saya waktu itu sedang berada di pasar dan anak saya yang masih berumur 11 tahun mengikuti pengajian akbar ke Talangsari. Tapi kemudian hari itu anak saya tidak pulang ke rumah. Dan belum lagi terjawab kegelisahan saya, esok harinya saya ditangkap dan ditahan di Polsek dan kemudian dibawa ke Makodim Lampung Tengah, selanjutnya ke Makorem 043/Gatam,” kata Bapak Azwar.98 Bahkan Istrinya, Ismini, yang pada waktu kejadian tersebut sedang pulang ke Padang, ditangkap di Painan dan mengalami siksaan yang sangat berat selama 6 hari. Di Padang ia juga disiksa selama 2 bulan 1 hari dengan perlakuan-perlakuan yang yang di luar kemanusiaan. Untung sajalah ibu mujahidah ini berani melawan perintah-perintah sang Koramil, Zulqarnain. Ia dipisahkan dengan tiga anaknya yang ikut bersamanya pulang ke Padang. Ia dituduh sebagai dokter mujahidin Lampung karena pekerjaannya sehari-hari adalah sebagai bidan.99 Hidup memang perlu keberanian untuk melawan. Tanpa ada keberanian untuk melawan, maka hidup tidak ada artinya sama sekali.

Pada hari yang sama, di desa Sidorejo, Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Tengah yang berjarak + 30 Km. dari lokasi peristiwa di Talangsari, telah terjadi peristiwa berdarah. Kejadian itu merupakan rembesan dari peristiwa sebelumnya di Talangsari. Penularan kekerasan memang biasa terjadi di kalangan aparat sipil yang suka membesar-besarkan persoalan.

Saat itu, sekitar pukul. 08.00 WIB. Atim (nama panggilan) seorang anggota Bantuan Polisi (Banpol) sektor Gunung Balak mencurigai sebuah rumah milik Zamsuri bin Muhammad Raji sebagai tempat persembunyian anggota pengajian Anwar Warsidi. Ketika itu, Atim menghampiri rumah tersebut dan bertemu dengan istri Zamsuri dan dipersilahkan masuk. Atim masuk ke dalam rumah dan tidak beberapa lama ia ke luar dikejar oleh seseorang yang ada di rumah dan tiba-tiba ia disangka maling. Maka ia lari sebisa mungkin, sebatas energi keperem-puanannya yang masih dimiliki.

Proses kejar-kejaran sampai berjarak 200 m, dan Atim pun masuk ke dalam rumah Mukaji, penduduk setempat, untuk bersembunyi. Pengejar tidak masuk ke dalam rumah tersebut dan berbalik arah kembali, tetapi ternyata di depan kantor Polisi Sektor Gunung Balak, ia dijegat oleh Dargo dan disuruh berhenti sambil ditembak di arah kakinya. Tetapi permintaan tersebut ditolak, selanjutnya terjadi bentrok antar mereka berdua yang diakhiri dengan meninggalnya anggota pengajian tersebut karena ditembak oleh Dargo sebanyak empat kali di arah bagian dada.
Mendengar salah seorang kawannya meninggal akibat ditembak, beberapa anggota kelompok pengajian tersebut ke luar dengan membawa persenjataan. Penduduk yang sebelumnya ada dilokasi kejadian berlarian bersembunyi di rumah-rumah penduduk sekitar lokasi. Bentrokan pun berlanjut di dua lokasi yang tidak berjauhan dan berakhir dengan jatuhnya tiga orang meninggal, yaitu: Dargo (Dansek Gunung Balak) dengan luka kena bacok, Santoso penduduk setempat dengan luka kena bacok dan Giono (nama panggilan-bekas Guru SMP Muhammadiyah) anggota pengajian dengan luka tembak serta beberapa orang luka-luka. Selebihnya dari anggota pengajian ada yang kembali masuk ke rumah sebelumnya dan ada yang tertangkap.

Setelah terjadi bentrokan tersebut suasana di Desa Sidorejo tegang, pasukan Brimob yang dipimpin oleh Fauzi Azri (Danres Lampung Tengah) datang dari Lampung Tengah. Sore harinya sekitar pukul.15.00 WIB pengepungan terhadap rumah Zamsuri bin Muhammad Raji dilaku-kan dikarenakan di dalam rumah tersebut masih ada anggota pengajian Anwar Warsidi termasuk Zamsuri sendiri. Banyak penduduk yang menyaksikan proses pengepungan tersebut, bahkan sebelumnya mereka sempat mengintip keadaan di dalam rumah, dan dari dalam sempat terdengar pernyataan “Tolong jangan ganggu kami, kasihanilah kami.” Ratapan seperti ini mengisyaratkan suatu permohonan dari orang-orang papa dan lemah yang menghadapi gangguan, ancaman dan tekanan, sebuah fakta yang barangkali luput dari perhatian aparat yang bertindak pada saat itu. Pertikaian dan bentrokan fisik tak bisa dielakkan sang waktu, awal sebuah tragedi kelabu.

Penularan kasus Lampung juga sampai ke Bima, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Hal ini dialami oleh Bapak Baharuddin100 dan Abdul Ghani Masykur. Lihatlah pengakuan Baharuddin berikut ini: “Peristiwa penangkapanku terjadi tatkala kami yang menerima tamu musafir dari Bima (katanya asal dari Jawa) bahkan di antaranya terajak untuk istirahat dan tidur di rumahku,tergolong ulama, pemuda-pemuda dan pemudi, wanita muslimah yang sedang hamil yang memerlukan bantuanku untuk memperoleh keterangan di mana tinggalnya seorang ulama besar di Mataram, Tuang Guru Haji Zainuddin MA lulusan Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir.

Semua tamu dimuliakan dengan sekedar suguhan yang sederhana, makan malam bersama keluarga, bercakap-cakap tentang perjalanan yang melelahkan. Sebahagian berangkat mencari alamat itu yang dipandu oleh Ir Sauqi H Abdul Ghani Masykur dan sebahagian lagi tidur di rumah. Sebelum tidur akulah yang meminta mereka memberikan sedikit nasihat-nasihat agama mengingat mereka dipahami olehku tatkala mereka berbicara dan bersantai ternyata dalam diriku memastikan mereka adalah ulama-ulama yang benar dan orang suci dan yang pantas untuk dikorek ilmu pengetahuannya. Tak ada yang lebih istimewa yang disam-paikan kecuali agar kita-kita ini hendaknya benar-benar paham ke-Esaan-NYA dan pemilikan akan kekuasaan-NYA baik dilangit dan dibumi sekali-pun. Semua mahluk wajib tunduk dan pasrah kepada kekuasaan-NYA.

Ayat-ayat yang berkenaan dengan itu dijelaskan untuk menopang penyampaian itu. Tidak ada pembicaraan tentang da’wah mereka diBima ataupun dimana saja bahkan tentang kata Lampung sama sekali tidak terdengar dari mulut mereka. Esok harinya mereka kembali ke Hotel yang mereka telah sewakan di bilangan Kota Cakranegara dan diantar olehku dengan mobil butut merk Datsun tahun 70-an. Itulah saja yang ku tahu sejak tamu-tamuku datang dan terperanjat aku ketika di bulan Ramadhan 89 diundang untuk hadir di CPM (Corps Polisi Militer) Mataram. Ditanya macam-macam sehubungan dengan kedatangan tamu itu, dan berawal dengan tidur di salah satu ruang kantor , berlanjut dengan dimasukkan di sel ukuran 1 meter x 2 meter di belakang kantor CPM itu. Sebelum dimasukkan di sel diadakan dulu interogasi dengan intensif dengan gaya mereka. Awalnya oleh CPM dan Polisi, dan akhirnya oleh Korem (saat itu mereka menyebutnya Organisasi Anti Pengacau).

Prosesnya, dan intinya ingin mereka tahu apakah aku ini pernah dibai’at atau tidak? Mereka sangat bersikeras agar aku mengaku telah dibai’at karena menurut Kasi Intel Korem101 biasanya apabila mereka itu telah memberikan ceramah Agama di mana-mana haruslah semua yang men-dengar ceramah mereka itu di bai’at. (Saat itu, aku kurang paham arti bai’at karena memang tidak pernah dibai’at oleh seseorang atau grup mana saja). Pemeriksaan dan interogasi sangat bervariasi, ada di waktu siang, dijemur di panas, di malam hari rata-rata pukul 02.00-03.00 dini hari. Aku dengan teman-teman sungguh memiliki perbendaharaan yang banyak dan cukuplah pengetahuan untuk dimaklumi cara dan tingkah masing-masing pemeriksa.

Antara lain di malam hari pukul seperti itu, dicemplung di bak air di belakang Kantor Korem, dan menurut teman-teman air itu penuh dengan balok es ataupun cukup dingin. Rasanya ketika dibangunkan, aku sedang sholat. Tidak puas dengan panorama seperti itu aku diperintah dengan gaya mereka dengan melepas bajuku melakukan push up entah berapa ratus kali. Dan ketika mereka belum juga memperoleh keterangan, bukti dariku tentang bai’at itu, lalu mereka merakit taktik lain, yaitu menyuruh seseorang (Ir. Sauqi) untuk menyatakan bahwa memang benar Pak Bahar di-bai’at dan Pak Bahar itu orang jahat dst. Dipertemukan denganku, lalu kutanyakan apa isi Bai’at itu? Ir Syauqi yang kekar sebelumnya, membuatku terperanjat tatkala kutapak wajahnya yang sangat pilu dan merah dan serta berkerut karena kesakitan yang sangat. Terpatah-patah dikatakannya bahwa isi Bai’at Pak Bahar waktu itu adalah seperti: “Wallahi Watollahi, bahwa aku ini orang Muslimin’. Mendengar bai’at seperti itu, aku kumandangkan bahwa semua orang Islam lafaz harian-nya seperti itu, dizikirkan dan didiskusikan. Dan kunyatakan kepada yang memeriksa waktu itu, sekitar 5 atau 6 orang bahwa siapa- siapa di antara mereka saat itu mengaku beragama Islam ,maka tentunya mereka akan menyebut itu dalam waktu 5 kali sehari. Dan akupun katakan bahwa itu adalah wirid harianku, dan mengapa tidak aku tanda tangani apabila Bai’at itu hanya seperti itu. Sebelumnya dijanjikan akan disuruh pulang apabila aku sudah menandatanganinya, dan ternyata setelah aku tanda tangani, justeru aku disel seperti dikatakan di atas. Aku ber-puasa saja di dalam sel karena dahulu orang tuaku tatkala dituduh juga DII-TII Kahar Muzakkar di sel juga dengan ukuran yang sama. Dan makanan nya pun di periksa dan diteliti. Trauma itulah yang sehingga aku lebih baik puasa dari pada aku makan pemberian mereka.

Dua bulan di sel itu dengan penuh teror dan ancaman pembunuhan dan ternyata Allah punya skenario, disakitkan aku lalu dibawa ke rumah sakit mereka (RSAD) dan di sana sebulan dengan pengobatan yang ketat dan seperti pula sel dengan gaya Rumah Sakit. Penjenguk dibatasi katanya, sehingga keluarga dekat saja yang dapat lolos. Pemeriksaan akhir, bukan bertanya tentang apa-apa, kecuali stressing dari Patikai tadi agar aku tidak perlu jadi Bupati. Soalnya dan pasalnya ketika itu sedang masanya usul calon Bupati Bima. Nasihat Pak Patikai,“Tidak usah da’wah lah tapi kalau da’wah cukup tentang shalat-shalat saja.” Disuruh pulang, dan kemudian diwajibkan laporan sekitar 4 bulan? yaah cukup lama dan harus hadir per minggu di Korem. Sementara itu saja dulu yang kuingat sampai saat sekarang, sahabatku, semoga sehari dua lagi mungkin bisa kutambahkan. Seperti penderitaan orang-orang tidak beriman tatkala kami semua berada di sel. Insya Allah di sel itulah justeru kami berbahagia yang sukar dibeli.”

Pengakuan korban di atas menunjukkan betapa kejinya para intelejen Orde Baru yang telah mengorbankan banyak pihak baik dari sipil maupun militer sendiri. Negara Orde Reformasi di bawah Gus Dur dan yang akan datang tidak boleh mengulangi lagi kekejian seperti ini, yang jelas bertentangan dengan implementasi HAM dan demokrasi

No comments: