04 September 2008

Bab 04 Tindakan Represif dan Sistem Peradilan

04-01 Undang Undang Anti Subversi
04-02 Hukum Acara Pidana dan Kasus Kasus Subversi
04-03 Penyidikan Sebelum Persidangan dan Kesaksian di Persidangan
04-04 Tim Pembela di Intimidasi
04-05 Kebebasan Pengadilan

Bab 04 TINDAKAN REPRESIF DAN SISTEM PERADILAN
Sebelum mengkaji kasus-kasus yang mun-cul sesudah tragedi Tanjung Priok, ada baik-nya kita melihat sejenak undang-undang yang dituduhkan kepada para tersangka, yaitu undang-undang anti subversi, PNPS 11/1963. Persidangan-persidangan kasus politik dilaksa-nakan di bawah tekanan penguasa yang tujuan utama-nya untuk melanggengkan kekuasaan atau melindungi rezim militer.

Perangkat utama untuk melakukan tindakan repre-sif adalah Kopkamtib. Lembaga ini dibuat oleh Soeharto pada tanggal 10 Oktober 1965, sebagai sebuah badan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan kekua-saan khusus yang ditugaskan Soekarno terhadap diri-nya, 2 Oktober 1965, guna memulihkan ketertiban dan keamanan. Sebagai seorang Pangkostrad, Soeharto me-minta kekuasaan semacam ini dan berhasil memperoleh-nya pada tanggal 2 Oktober itu. Kekuasaan ini diper-lukan dalam rangka melenyapkan gerakan kiri yang bercokol di tubuh PKI, yang telah melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap sejumlah jendral dengan menggunakan tangan-tangan perwira menengah, agar PKI dapat dituduh melakukan tindakan makar terha-dap pemerintahan Soekarno.

Kopkamtib didirikan untuk melibas kaum komunis dan golongan kiri. Pada awal didirikannya lembaga ini, katanya hanya untuk sementara waktu, tetapi setelah Soeharto berhasil menjatuhkan Soekarno dan mengang-kat dirinya sendiri sebagai presiden, dia mengeluarkan berbagai aturan dengan memperalat lembaga ini pada tahun 1969. Pada tahun 1973 lembaga ini diperkuat oleh ketetapan MPR dimana Tap-tapnya menjadi sumber hukum atas semua kebijakan pemerintah. Kopkamtib sejak itu semakin meluas kekuasaannya, menyumbat setiap bentuk aksi perlawanan seperti yang tersebut di dalam salah satu statmen resmi yang dikeluarkan tahun 1978. Statmen tersebut berisi: “meskipun pejabat Kop-kamtib selalu mengadakan perubahan sesuai tuntutan zaman, tetapi fungsi pokoknya tidak berubah, yaitu pemeliharaan keamanan dan kesta-bilan untuk menghadapi berbagai kemungkinan revolusi PKI atau golo-ngan-golongan ekstrim dari kelompok mana saja. Demikian pula dukungan pemerintah dan aparatnya, baik di pusat maupun daerah adalah untuk mengamankan pengamalan Pancasila dan UUD 1945.”

Demikianlah tujuan dari rezim militer, karena kekuasaan khusus yang diperoleh oleh militer untuk menghancurkan golongan kiri, ternyata meluas, mencakup penghancuran terhadap setiap bentuk gerakan oposisi politik.
Kopkamtib sebagai perangkat keamanan tertinggi negara, adalah suatu lembaga yang melakukan operasi pemulihan keamanan dan keter-tiban, pada hakekatnya merupakan kekuasaan militer. Di setiap daerah yang menjadi komandan Kopkamtib pastilah panglima setempat, yang juga menjabat sebagai panglima militer. Kekuasaannya mencakup pe-nangkapan, penahanan dan introgasi serta mempunyai kekuasaan otori-ter untuk menggiring orang ke meja hijau dengan tuduhan melakukan kegiatan melawan pemerintah. Pada awal masa pemerintahan Soeharto, dia sendirilah yang menjadi panglima Kopkamtib. Tetapi setelah dilaku-kan re-organisasi di tubuh ABRI tahun 1969, maka dipandang perlu jabatan ini dipegang oleh Panglima Angkatan Bersenjata. Maka sejak tahun 1983 Beny Murdani menjabat sebagai Pangab dan sekaligus ber-tanggung jawab mengenai masalah Kopkamtib.

Bab 04-01 Undang Undang Anti Subversi
Hukum pidana warisan kolonial Belanda masih berlaku dalam hukum Indonesia, yang berisikan beberapa materi hukum untuk menjatuhkan hukuman terhadap tindak pidana politik, seperti pemberontakan, meng-hasut orang untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah, atau setiap bentuk tindak permusuhan dan penghinaan terhadap pemerintah. Tidak sulit untuk menemukan bukti adanya undang-undang yang ber-laku di masa republik sekarang ini, juga berlaku di zaman kolonial Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jendral. Demikianlah posisi Presiden Republik, seperti halnya posisi seorang Gubernur Jendral. Sedangkan nama Republik Indonesia, tidak lebih dari sekedar nama lain dari peme-rintah Hindia Belanda di Hindia Timur.

Pada zaman demokrasi terpimpin, Soekarno dan militer menyadari perlunya suatu undang-undang lengkap mengenai anti subversi. Undang-undang yang bersifat elastis, sehingga dengan mudah negara bisa men-jaring musuh-musuhnya dengan tindak pidana politik, baik perbuatan itu sudah dilakukan ataupun belum. Begitu juga ditandatanganinya undang-undang yang berisi hukuman keras, hingga pada tingkat huku-man mati terhadap orang-orang yang dituduh melakukan tindak pidana politik. Salah satu keistimewaan Undang-undang baru ini adalah menca-kup hukum acara yang dapat membatalkan isi ketentuan hukum acara pidana lainnya.

Undang-undang anti subversi yang secara kejam diterapkan terhadap oposan muslim, diundangkan oleh Soekarno tahun 1963 melalui kepu-tusan Presiden No. 21. Undang-undang tersebut dibuat dengan cara demikian, karena RUU yang diajukan Soekarno kepada DPR ditolak oleh semua partai yang terwakili di parlemen. Sebab undang-undang ini sangat berbahaya. RUU ini diajukan lagi ke parlemen beberapa saat setelah diusulkannya hukum adat ke parlemen, Mei 1963. Negara dalam keadaan darurat (SOB) diberlakukan sebagai alat untuk melakukan tinda-kan represif terhadap semua penentang demokrasi terpimpin setelah militer mendominasi pemerintahan pada tahun 1965, maka semua undang-undang yang mendukung kekuatan kiri dan Soekarno dirubah. Untuk itu ratusan peradilan digelar guna mengadili tokoh-tokoh PKI dan orang-orang yang dianggap oleh pemerintah bertanggung jawab atas peristiwa awal Oktober 1965. Hukuman yang dijatuhkan sangat berat. Banyak orang yang dikenai hukuman mati. Pada bulan-bulan pertama orde baru, pimpinan militer menggelar kekuatan dengan menga-nggapnya sebagai inkonstitusional. Demikian pula cara-cara Soekarno mengeluarkan berbagai macam ketetapan dinilai inkonstitusional. Pada-hal sebenarnya undang-undang semacam ini sepenuhnya dibuat untuk mendukung militer.
Bahkan Soeharto dengan pasukannya menggunakan hukum tersebut untuk membunuh setiap orang yang dicurigai sebagai komunis. Hal itu terjadi setelah munculnya peristiwa pembantaian tahun 1965, dimana sebanyak satu juta orang terbunuh, padahal Soeharto mengumumkan bahwa sejak sekarang dan seterusnya, Indonesia akan dijadikan sebagai negara hukum.

Banyak orang berharap, setelah Soekarno jatuh dan PKI dihancurkan dapat dilakukan reformasi hukum secara total, mulai dari hukum-hukum warisan orde Soekarno, tapi tidak terwujud. Masih banyak undang-undang yang bersifat represif termasuk hukum-hukum yang dikeluarkan pada zaman Soekarno untuk membersihkan setiap penentangnya. Pada tahun 1969 undang-undang ini meningkat statusnya setelah disetujui oleh DPR. Dengan keras undang-undang ini dikritik oleh pengacara Adnan Buyung Nasution. Ujarnya,”Jika DPR dimasa orde lama menolak RUU ini, maka merupakan hal yang sama sekali tidak bisa difahami bahwa DPR di zaman orde baru menyetujui undang-undang tersebut”. Isi dan materi dapat memberikan kesan hukum yang keliru, padahal hanya namanya saja yang berbeda tetapi isi dan semangatnya tidak berbeda dari undang-undang Subversi (versi Soekarno).

Undang-undang anti subversi menganggap bahwa kegiatan apapun yang dapat menodai atau menyimpang dari idiologi Pancasila, atau menghancurkannya, atau melawan kekuasaan negara atau kekuasaan pemerintah yang sah atau alat negara atau menghasut atau menyebabkan perpecahan, atau kekacauan, atau keresahan masyarakat. Maka sesung-guhnya kata-kata yang dipergunakan dalam undang-undang itu mene-gaskan bahwa setiap kegiatan yang dicurigai, dapat dikategorikan sebagai perbuatan subversi. Seseorang bisa dituduh melakukan perbuatan subversi sekalipun dia sendiri tidak berniat untuk itu, atau dia orang yang belum bisa dimintai tanggung jawab secara hukum atas apa yang ia lakukan. Orang-orang Islam yang ditangkap sejak tahun 1985 adalah didasarkan pada kewenangan Kopkamtib untuk melakukan hal tersebut dan peradilannya dilakukan berdasarkan undang-undang anti subversi. Dalam banyak peradilan yang digelar, para pembela menyatakan bahwa penggunaan undang-undang tersebut tidak sah. Sebagian berpendapat bahwa undang-undang tahun 1973 telah membatalkan undang-undang produk Soekarno tahun 1963 itu. Undang-undang 1973 ini dinilai sebagai dasar hukum yang sah menurut asas legalitas. Segolongan lain berpen-dapat bahwa dalih yang digunakan Soekarno mengeluarkan undang-undang semacam itu, bersifat politis dan karena itu tidak berlaku lagi di zaman orde baru.

Tim pembela HM. Sanusi mengatakan, bahwa para hakim yang memimpin persidangan seharusnya memiliki hak untuk memeriksa sejauh mana kebenaran undang-undang yang dipergunakannya di dalam kasus yang dituduhkan. Mereka punya hak untuk menyatakan pendapat bahwa undang-undang ini tidak sah kemudian menolak melangsungkan persidangan. Sebagian tertuduh merasakan penderitaan karena mereka dijatuhi hukuman berdasarkan undang-undang produk rezim demokrasi terpimpin, padahal rezim ini seringkali mereka kecam. Tapi ternyata banyak hakim yang menolak kecaman semacam ini, padahal penolakan-nya itu tidak ke luar dari hati nuraninya sendiri. Sekalipun demikian pengadilan yang menyidangkan kasus Dharsono sepakat, bahwa unda-ng-undang anti subversi dianggap bahagian dari undang-undang 1945 yang telah diakui masyarakat. Tapi mereka menambahkan bahwa pem-bicaraan tentang undang-undang subversi ini sebaiknya disampaikan kepada DPR dan bukan kepada hakim.

Bab 04-02 Hukum Acara Pidana dan Kasus Kasus Subversi
Undang-undang subversi yang menjadi sandaran Kopkamtib sejak tahun 1965, merupakan peraturan illegal dan tidak adil diterapkan terhadap para tapol Indonesia dan dalam beberapa daerah pemerintah melakukan intervensi. Sebagai contoh, ternyata kejaksaan dan bukannya militer- merupakan pihak yang menyampaikan dakwaan terhadap seseorang yang dituduh melakukan tindakan subversi. Persidangan-persidangan kasus semacam ini dilakukan di pengadilan-pengadilan sipil dan bukan di pengadilan militer, tetapi lembaga yang melakukan penangkapan terhadap terdakwa adalah militer. Sejak yang bersangkutan ditahan, tapol menjadi garapan Kopkamtib melalui komandan militer, karena mereka merupakan petugas Kopkamtib. Sekalipun akhirnya, cepat atau lambat terdakwa diajukan ke kejaksaan, namun mereka tidak mampu membe-rikan jaminan yang seharusnya diperoleh oleh pihak terdakwa.
Jaminan-jaminan ini hanya tinggal tertulis di atas kertas. Para pembela tapol yang melakukan pembelaan di pengadilan, berusaha semaksimal kemampuan untuk meminta kepada pengadilan agar klien mereka dapat menikmati hak-haknya sesuai dengan jaminan yang tercantum di dalam hukum acara pidana yang dikeluarkan pada akhir 1981.

Undang-undang baru ini dinilai sebagai suatu perkembangan positif menggantikan undang-undang lama dan secara umum diterima baik oleh lembaga-lembaga hukum di Indonesia. Dalam hukum acara pidana baru ini secara rinci dijelaskan hak-hak orang yang ditahan, hak untuk berhubungan dengan keluarga dan menerima kunjungan mereka, hak untuk mendapatkan bantuan hukum sejak awal ditangkap dan hak untuk didampingi pembela ketika diintrogasi. Terdakwa juga punya hak untuk memperoleh pembelaan dalam setiap proses persidangan, berhu-bungan dengan pembela untuk menyiapkan pembelaan. Undang-undang acara yang baru ini secara tegas membatasi masa penahanan dan memberikan hak kepada yang bersangkutan untuk menolak pena-hanan dan hanya polisi saja yang berhak melakukan penangkapan dan penyidikan. Namun di dalam hukum acara ini tidak ada ketentuan mengenai sanksi-sanksi terhadap militer yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut, apalagi kekuasaan ini diserahkan kepada pendapat militer yang menangani masalahnya. Oleh karena itu jaminan atas hak-hak terdakwa hanya sekedar live service ( tertulis tapi tidak dilaksanakan).

Sekalipun para tapol diperlakukan dengan hukum acara pidana baru, tetapi KUHP baru ini mengandung kelemahan lain yang berat. Contoh-nya, pasal 284, yaitu menyangkut kasus-kasus yang tercakup dalam undang-undang tertentu, termasuk undang-undang anti subversi tidak mencakup kasus-kasus yang memperoleh masa penyesuaian penerapan undang-undang selama 2 tahun. Lima tahun kemudian para pengacara setelah mempelajari KUHP ini dari segi HAM menyatakan, bahwa keten-tuan khusus dalam undang-undang seperti tersebut dalam pasal 284 menjadi ketentuan yang berlaku untuk selamanya.

Para pengacara yang berusaha untuk membela tapol setiap kali dihadapkan pada berbagai macam rintangan, walaupun mereka telah memenuhi apa yang jadi tuntutan KUHP, namun kenyataanya penang-kapan dan penahanan, introgasi dan pengajuan ke pengadilan ditangani oleh Kopkamtib.

Para penyidik militer memperlakukan korban-korbannya dengan sadis dan penuh intimidasi. Mereka disel sendirian, tidak boleh dikunjungi oleh keluarga ataupun pembelanya. Pembela yang ditunjuk untuk mem-bela AM. Fatwa, misalnya pernah menyampaikan keterangan, bagaimana mereka berusaha selama berminggu-minggu mencari tempat penahanan Fatwa. Selanjutnya Fatwa sendiri menjelaskan apa yang menimpa dirinya selama minggu-minggu yang menakutkan itu. Dia ditangkap pada tanggal 19 September 1984 oleh Satgas intel. Pada saat penyidikan disalah satu kantor polisi, disitu dia menerima “pesan-pesan”. Ketika para pembe-lanya berusaha untuk bisa hadir pada saat penyidikan mereka dan memdampingi mereka memberikan pembelaannya secara gigih. Lalu Fatwa dipindahkan ke tahanan militer yang terkenal sadis, di Jl. Guntur Jakarta, di sana dia diintrogasi militer. Kemudian oleh militer dia dipopor dengan senjata. Ketika tentara melewati sel itu, Tony Ardi juga sedang dimasukkan ke dalam sel tersebut, sambil disiram dengan air dingin. Setengah jam kemudian Fatwa dipindahkan ke sel lain yang menebarkan bau pesing yang amat sangat. Pada sore hari, ketika sudah tidak mampu menahan kencingnya, terpaksa membuang air kecil di lantai. Dan pada waktu hendak menunaikan shalat, dia mencari tempat yang bersih, tapi tidak menemukannya. Pada malam harinya, dia dibangunkan dengan kasar dari tidurnya dan dipindahkan ke sel di ruang depan, disini dia dijambak oleh beberapa orang tentara lalu digunduli. Ketika hendak membaca Qur’an, agar supaya tidak tercekam rasa sakit dan rasa hina, algojo-algojo itu melarang dia membaca. Beberapa jam kemudian dia diseret kembali ke selnya dengan mata tertutup dan tangannya diikat ke belakang, lalu dinaikkan ke atas Jeep dan dibawa ke tahanan militer pusat di Cimanggis. Di tengah jalan dia diancam akan di tembak. Di Cimanggis dia dikumpulkan bersama 200 orang tahanan Tanjung Priok. Mayoritas dari para tahanan ini menderita luka-luka, baik luka saat pembantaian Tanjung Priok atau pun luka tatkala sedang diintrogasi.

Fatwa mengakui nasibnya agak beruntung, sebab dia dengan cepat dipindah dari tahanan militer di jalan Guntur. Tempat-tempat tahanan politik yang dianggap sangat mengerikan dibandingkan tempat-tempat tahanan lain, maka yang terdapat di jalan Guntur tingkat kesadisannya paling terkenal. Begitu tahanan sampai ditempat, langsung dipermak habis-habisan.

Pada tahap ini petugas intel yang melakukan penyidikan berusaha untuk mengajukan beberapa macam pertanyaan kepada tahanan, dan untuk meperoleh pengakuan yang menyangkut orang lain, mereka mem-pergunakan berbagai metode pemeriksaan, termasuk menggulung atau mempermak. Para penyidik militer menggunakan cara-cara yang amat kasar, seperti penyetruman listrik. Untuk menghina tahanan muslim, mereka gunakan cara-cara tertentu, seperti menggunduli kepala dan melarang sholat. Cara-cara penyiksaan yang biasa mereka gunakan terha-dap tahanan di waktu dalam proses penyidikan, misalnya meletakkan kaki meja di atas ibu jari kaki korban, kemudian diduduki beberapa orang militer, dan kadang-kadang diinjak-injak. Umumnya penyidik belum mendapatkan pengakuan lengkap, sekalipun korbannya sudah menga-lami siksaan luar biasa. Seorang muballigh, Profesor Utsmani al-Hamidi tidak merasa heran ketika dalam salah satu persidangan kasusnya, meli-hat seorang jaksa penuntut yang kesulitan menanyai salah seorang saksi, lalu sang jaksa berkata: “Saya menyarankan sebaiknya saksi ini dikirim kembali ke sel tahanan militer, supaya para penyidik militer di sana membekali yang bersangkutan sebelum ia memberikan kesaksiannya. “

Cara-cara yang digunakan oleh militer seperti yang telah disebutkan tadi, terungkap dengan jelas dalam kasus Husnul Arifin, terdakwa yang hukum dalam kasus pengebomam BCA, 4 Oktober 1984. Dalam penga-kuannya, ia menyatakan dirinya diberi pinjaman oleh HM. Sanusi. Menu-rut sangkaan mereka (rezim), Sanusi telah membiayai pengeboman. Masalah inilah yang merupakan hal pokok yang menjadikan Sanusi, salah seorang korban utama dalam peradilan orang-orang Islam. Ketika Husnul Arifin menjadi saksi yang dihadirkan oleh jaksa, ia mencabut semua pengakuannya di depan persidangan. Hal ini terjadi pada saat kasus persidangan Rahmat Basuki. Dia semula enggan membeberkan di depan persidangan, di mana dan dalam kondisi apa sehingga pengakuan-pengakuan itu harus dicabut. Akan tetapi tim pembela dengan gigih berusaha mengorek keterangan saksi, sehingga dia berani berterus terang di depan persidangan. Dia menceriterakan, bahwa dirinya ditangkap pada tanggal 7 Oktober 1984, oleh beberapa orang yang berpakaian preman, tanpa membawa surat perintah penangkapan. Setelah ditangkap matanya ditutup, lalu dia dibawa ke suatu tempat rahasia. Di tempat itu dia dipukuli dengan benda semacam tongkat yang keras. Mereka menginterogasi dan menyuruhnya memberikan keterangan yang diperlu-kan, kemudian menandatanganinya. Di kemudian hari ketika dia diinterogasi oleh polisi, dia tidak dapat lagi mengingat wajah orang-orang yang dahulu pernah menginterogasinya. Oleh karena itu, ketika menyampaikan keterangan kepada polisi, dia banyak membuat ketera-ngan yang direkayasa. Begitu pula halnya dengan orang-orang lain yang dituduh melakukan pengeboman, dan akan kami terangkan secara rinci di belakang. Kesehatan Husnul Arifin sangat memperihatinkan, hal itu dikemukakan oleh orang-orang yang bertemu dengan para tahanan di dalam penjara. Mereka sangat takut, sebab mereka dituduh sebagai orang-orang yang dibiayai oleh Sanusi.

Salah seorang terdakwa bernama Muhammad Jabir bin Abu Bakar, menemui ajalnya di sel tahanan akibat tidak tahan menerima siksaan; karena penyidik berusaha mendapatkan pengakuannya untuk melibat-kan HM. Sanusi. Pembunuhan yang mengerikan ini, terungkap di dalam pernyataan yang ditulis oleh keponakannya dan disampaikan kepada sidang peradilan yang kedua pada persidangan kasus Sanusi (baca lampiran ketiga).

Bab 04-03 Penyidikan Sebelum Persidangan dan Kesaksian di Persidangan
Bukti-bukti yang diajukan jaksa penuntut dalam persidangan-persidangan kasus subversi, sepenuhnya berdasarkan hasil penyidikan sebelum dilakukan persidangan, dalam situasi serta kondisi seperti yang kami ceriterakan di atas. Di hadapan persidangan, banyak saksi maupun terdakwa yang mencabut pengakuannya seperti yang kami jelaskan di atas. Dua puluh delapan orang terdakwa di dalam kasus subversif (baca Bab II) telah mencabut keterangannya sebelum diadakan pembuktian. Pencabutan pengakuan oleh terdakwa seringkali terjadi, seperti dalam persidangan kasus pengeboman dan kasus Usroh di Jawa Tengah (Baca Bab IV). Sekalipun demikian, tidak seorang hakim pun mau mempeduli-kan pencabutan pengakuan semacam ini, dan tidak pula melarang jaksa untuk melakukan kezaliman-kezaliman, sehingga tidak memberatkan tuduhan-tuduhannya kepada terdakwa. Peradilan terus saja berjalan, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Seorang saksi bernama Darussalam, menyampaikan kesaksiannya dalam salah satu persidangan kasus Usroh. Hakim yang mengadilinya mengatakan, bahwa dia dapat dituduh sebagai orang yang melecehkan sumpah. Saksi tetap mengatakan, bahwa apa yang terdapat dalam BAP adalah bohong dan dimanipulir atas namanya. Tetapi hakim ketua memperingatkan dengan keras, dan meminta kepada jaksa penuntut agar yang bersangkutan dikenai tuduhan melecehkan sumpah.

Pengacara dari LBH, Abdul Hakim Garuda Nusantara mengatakan: “Tidak mudah bagi kita untuk membuktikan perlakuan buruk (terhadap terdakwa) karena polisi selamanya menyangkal hal itu, sekalipun sudah banyak tuduhan diarahkan kepada mereka. Selain itu para hakim sama sekali tidak membantu pencarian fakta terhadap tuduhan-tuduhan yang dituduhkan tersebut. Hal ini berkaitan dengan tidak adanya kebebasan yang dimiliki oleh hakim.”

Jaksa penuntut sering kali menolak menghadirkan saksi-saksi tertentu, sehingga dengan demikian pembela tidak dapat menanyai mereka. Walaupun pembela memprotes hal ini, namun pengadilan tetap membe-narkan para jaksa menyampaikan kesaksian tertulis sebagai ganti dari menghadirkan saksi-saksi tersebut, seperti telah kami terangkan pada Bab III. Walaupun oknum-oknum militer dan polisi tidak mau hadir dalam persidangan-persidangan kasus Dharsono, karena takut dicecar perta-nyaan oleh tim pembela guna mengungkap kejadian sebenarnya tentang kasus Tanjung Priok, untuk memperoleh bukti-bukti tambahan dari kasus tersebut.

Hal yang sudah sangat biasa terjadi dalam persidangan-persidangan kasus umat Islam, bahwa para terdakwa bersama-sama dijatuhi huku-man secara serentak atas kasus yang dituduhkan kepadanya, dan terkadang salah seorang di antara mereka dijadikan saksi pada persida-ngan temannya. Hal semacam ini sangat menyakiti hati pihak terdakwa di persidangan, sebab terdakwa tidak diambil sumpahnya sebelum dia ditanyai, padahal dia mempunyai hak untuk tidak menjawab pertanyaan apapun yang diajukan kepadanya. Akan tetapi, kami melihat bahwa tertuduh yang bersangkutan tampil sebagai seorang saksi dalam persidangan-persidangan lain, lalu diambil sumpah dan diminta untuk menjawab setiap pertanyaan.

Sekalipun pembela tidak mempunyai hak memanggil para saksi dari kalangan terdakwa, namun kebanyakan saksi-saksi yang dipanggil oleh para pembela masih berada di dalam tahanan. Hal semacam ini menja-dikan penguasa sebagai pemegang kata kunci, untuk menyetujui atau tidak pemanggilan saksi oleh pembela. Hal semacam ini sangat mengu-rangi kesempatan pembela untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap para saksi yang akan didengar kesaksiannya berkenaan dengan kasus yang didakwakan. Dalam kasus peradilan Irfan Suryahardy (baca Bab V), misalnya, pembela bermaksud memanggil Ahmad Zonet Sumarlan sebagai saksi, tetapi yang bersangkutan pada saat itu menjadi tahanan kejaksaan. Jaksa penuntut menganjurkan agar yang bersang-kutan tidak mau menjadi saksi. Dan ketika hakim menunda perkaranya pada persidangan berikutnya, Irfan berkata, “Tidak ada alasan untuk menunda, karena kami tidak hendak menunggu sesuatu yang tidak akan dilaksanakan. Saya tidak yakin, pengadilan ini dapat menghadirkan yang bersangkutan sebagai saksi. Banyak alasan jaksa untuk tidak mau bergeser dari sikap seperti ini; sebagaimana halnya ketika Zonet Sumarlan mengi-nginkan saya untuk dihadirkan sebagai saksi dalam persidangannya.” Irfan berkata lagi, “Saya tidak membutuhkan kesaksian, tetapi fakta bahwa tak seorangpun yang meminta hal ini dari saya.”

Ketika pembela hendak mengajukan saksi-saksi, yang masih bebas (belum ditahan), penguasa mengancam dan mengintimidasi mereka. Sebagai contoh, seorang saksi bernama Shaleh, menjadi sangat ketakutan sedemikian rupa sehingga saksi-saksi lainnya menolak untuk menjadi saksi (baca Kasus Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaiman pada Bab II).

Majelis Hakim menggunakan kekuasaannya terhadap perkara-per-kara yang belum disidangkan, untuk menetapkan jumlah saksi yang boleh dihadirkan oleh pembela. Masalah ini menjadi diskusi panas, ketika berlangsung persidangan AM. Fatwa, karena Hakim menolak mentah-mentah untuk mendengarkan keterangan saksi bernama Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI yang menjadi teman lama terdakwa, sekalipun ia pernah menjadi saksi pada kasus Dharsono. Sebab kesaksian Ali Sadikin ketika itu, diberitakan secara luas oleh media massa sehingga menye-babkan rezim menekan hakim untuk tidak mengabulkan hadirnya Ali Sadikin menjadi saksi pada kesempatan lain. Pembela Fatwa mendapat perlakuan tidak adil di depan persidangan lantaran keputusan semacam ini. Karena itu, tiem pembela menekan pengadilan untuk mencabut keputusannya sebelum terlihat terjadinya kezaliman yang lebih parah.

Bab 04-04 Tim Pembela di Intimidasi
Sekalipun segala tata tertib sudah dicantumkan, tetapi pengadilan sering memberikan peluang terhadap orang-orang yang mendapatkan tekanan untuk mengungkapkan pandangan-pandangannya secara terbuka di dalam persidangan. Pembela-pembela yang mahir sering memperlihatkan sikap penentangannya terhadap tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan hukum, kepada hakim dan meminta jaminan keselamatan bagi anggota-anggotanya. Sekalipun persidangan selamanya dimenangkan oleh pihak penuntut, namun ternyata hal semacam ini tidak bisa menghi-langkan luka politik yang tidak disadari oleh pengadilan. Persidangan-persidangan terbuka, terkadang mengungkapkan fakta-fakta yang mun-cul di dalam dipersidangan seperti dapat dibaca orang di media massa. Dalam persidangan-persidangan yang penting seperti yang terjadi di Jakarta, khususnya persidangan kasus Dharsono, AM. Fatwa dan sejum-lah muballigh, media massa dilarang sama sekali untuk mempublikasikan-nya. Kritik terhadap hal ini ditimpakan kepada para hakim yang nota bene mereka itu berada di bawah cengkeramam militer.
Pada tahun 1982, ketika AM. Fatwa mengajukan gugatan terhadap tiga orang anggota militer dan Panglima Kopkamtib, Laksamana Soe-domo, para pengacara yang menangani kasus ini mendapat perlakuan kasar, sehingga mereka mencabut kembali gugatannya, karena menga-lami perlakuan demikian. Gugatan yang diajukan AM. Fatwa terhadap Soedomo dan lain-lainnya, ialah intimidasi yang dialaminya pada tahun 1980, ketika dia diculik oleh beberapa anggota militer dan dipermak habis-habisan. Sebagai akibatnya, dia diopname di RS selama beberapa minggu. Lebih dari itu, anggota tim pembelanya banyak menerima ancaman dan gangguan-gangguan terhadap harta milik mereka serta intimidasi terus menerus agar mengurungkan gugatannya. Tekanan dan intimidasi demi-kian hebatnya sehingga para pengacara AM. Fatwa mengundurkan diri sebagai pembela, kemudian Fatwa bersama-sama dengan anggota petisi 50 meneruskan gugatannya. Tetapi pengadilan menolaknya.

Tatkala persidangan terhadap kasus Islam dimulai pada tahun 1985, beberapa Lembaga Bantuan Hukum membentuk tim pembela menangani kasus tersebut. Hakim maupun Jaksa mengkritik para pembela, karena mereka menggunakan kata-kata politik di dalam setiap judul naskah pembelaannya. Sedangkan pihak terdakwa mendapat tekanan keras untuk mencari pembela lain. Misalnya, adalah Yunus bin Melta Halim, salah seorang terdakwa dalam kasus pengeboman BCA. Dia telah memin-ta dibela oleh suatu tim penasehat hukum, tapi kemudian ia berubah pikiran. Para pembela tidak mengetahui bahwa yang bersangkutan men-cabut pemberian kuasa hukum kepada mereka, sampai menjelang beberapa saat sebelum sidang pertama diadakan. Kepada para pembela ini dikatakan, bahwa mereka telah diganti. Sewaktu Yunus ditanya tentang sebab-sebabnya, ia menjawab,”Hal itu dia lakukan demi kesela-matan dirinya”.

Betapa banyaknya terdakwa yang menghadapi kesulitan untuk me-milih pembela yang akan melakukan pembelaan terhadap diri mereka, misalnya terdakwa bernama TB. Muhammad Jiddan (baca bab VII) dilarang untuk memilih pembela dari LBH di Jakarta. Karena pengadilan mengatakan:”Para pembela pada LBH tersebut tidak memenuhi syarat untuk menjadi penasehat hukum”. Akhirnya dia dibela oleh LBH yang ditunjuk pemerintah, termasuk di dalamnya LKBH UII.

Upaya-upaya untuk menghancurkan profesi pengacara, telah ber-langsung terhadap Buyung Nasution, pengacara yang membela kasus Dharsono. Persidangan ini menyelidiki kebenaran kejadian pembantaian Tanjung Priok. Ketika Hakim Ketua membacakan amar putusan pada akhir persidangan, Adnan Buyung bangkit dari duduknya, memprotes kata-kata yang digunakan oleh hakim, bahwa pengacara bertingkah laku tidak etis di dalam persidangan. Ia berulangkali mengajukan keluhannya, bahwa Kapolsek Tanjung Priok tidak muncul di persidangan sebagai saksi. Intrupsi Adnan Buyung ini, menimbulkan kekacauan dalam persida-ngan. Saat itulah seorang tentara masuk ke ruangan sidang untuk mene-nangkan suasana, tetapi Buyung Nasution berteriak menyuruhnya keluar seraya berkata,”Urusan persidangan adalah urusan hakim, bukan urusan tentara”. Padahal sementara orang beranggapan, tindakan tentara tadi untuk menjamin keamanan sidang. Setelah itu Buyung Nasution dituduh melakukan Countempt of Court. Tuduhan semacam itu tidak sulit dicarikan alasannya, sebab kata-kata yang dilontarkan Nasution, dirasakan oleh majelis hakim sangat menusuk. Para hakim dengan keras menyerang Buyung karena dia telah berkesimpulan, bahwa persidangan ini menye-babkan situasi memburuk, karena kasus Tanjung Priok sebenarnya telah direkayasa. Hakim berpendapat, kesimpulan demikian sama sekali tidak berdasarkan bukti-bukti yang cukup. Dan kesimpulan semacam ini sangat berbahaya. Sebab kesimpulan tersebut dapat menimbulkan opini umum, bahwa pemerintahan sudah bobrok, padahal penilaian seperti itu tidak benar dan tidak etis.

Kira-kira sebulan sebelum pengadilan Jakarta mengeluarkan putusan untuk menskors Adnan Buyung Nasution, karena dituduh menghina pengadilan atau melakukan Countempt of Court , muncul kemelut karena keputusan tersebut dianggap menyalahi prinsip praduga tak bersalah. Selain itu tidak jelas, lembaga mana yang berwenang untuk mengajukan tuduhan demikian, dan pejabat pemerintah mana yang mempunyai hak mencoret nama Buyung dari daftar pengacara manakala pemecatan itu nantinya mempunyai kekuatan hukum.

Nampak jelas bahwa pihak pengadilan berbeda faham dalam kasus ini, baik tentang dasar hukumnya atau seberapa jauh urgensinya menggebuk Adnan Buyung Nasution. Waktu itu Buyung berkata: ”Peme-catan saya yang bersifat sementara hanyalah masalah waktu saja. Sebe-narnya ini adalah persoalan politik, sebab rezim tidak menginginkan saya menjalani profesi pengacara”.

Perbedaan pendapat menjadi kian sengit sehingga Ali Said, SH campur tangan menyelesaikan kasus pelik yang dihadapi pengadilan. Ali Said berkata: ”Persoalan Buyung biarkanlah diselesaikan oleh organi-sasi himpunan pengacara. Karena organisasi inilah yang bisa menertibkan anggotanya dan dapat mengambil tindakan terhadap Buyung Nasution”. Ternyata organisasi himpunan pengacara (IKADIN) mengambil tindakan terhadap Buyung. Ia mendapat peringatan keras karena melakukan perbuatan Countempt of Court. Namun Buyung mengomentari keputusan tersebut dengan sengit ,” Para pemangku hukum di Indonesia jelas tidak senang dia berusaha untuk membela nama baiknya”.

Langkah melawan hak Buyung Nasution untuk menjalankan tugas profesinya merupakan bagian dari operasi panjang rezim menekan pihak pengadilan terhadap profesi kepengacaraan. Operasi ini mulai berjalan sejak 1982, ketika para ketua pengadilan Tinggi mengadakan rakernas (rapat kerja nasional) mengeluarkan ketetapan untuk melakukan penga-wasan terhadap para pengacara secara maksimal. Dan yang pertama kali menerapkan keputusan ini adalah Pengadilan Tinggi Jawa Timur dengan mengeluarkan peraturan pada tahun 1985, yang berisikan perin-tah kepada para pengacara untuk mencatatkan diri di pengadilan, supaya mereka dapat menjalankan profesinya dengan baik. Pengadilan juga memberikan wewenang penuh kepada dirinya sendiri untuk mencoret nama-nama pengacara yang menurut penilaian mereka tidak berprilaku baik di persidangan.

Dalam banyak kesempatan Ali Said, SH. ketua Mahkamah Agung sering menyinggung, bahwa hal tersebut hanyalah masalah waktu saja, memang Jawa Timurlah yang melaksanakan lebih dahulu sebelum hal tersebut diberlakukan secara nasional.

Bab 04-05 Kebebasan Pengadilan
Masalah prinsip bagi setiap orang yang dikenai tahanan dan diadili karena kasus-kasus politik, adalah tentang lembaga pengadilan yang menjadi kepanjangan tangan kekuasaan eksekutif. Dengan demikian, setiap tudu-han yang dilontarkan oleh pihak pengadilan terhadap terdakwa masalah politik, sebenarnya rekayasa ansich. Sebab pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan yudikatif telah hancur sejak zaman demokrasi terpimpin. Ayat 19 UU No. 19 yang terbit tahun 1964 memberikan hak kepada pre-siden untuk melakukan campur tangan dalam setiap proses persidangan bilamana hal tersebut dianggap sangat perlu guna melindungi keamanan nasional dan kelangsungan revolusi. Ketika tahun 1965 muncul suara-suara protes untuk menghapuskan UU ini, ternyata Soeharto menolak dan mengatakan:” Pihak eksekutif tidak akan campur tangan dalam sepak terjang pengadilan, karena kebebasan pengadilan tidak akan menimbulkan ancaman (terhadap eksekutif)”.

Pada tahun 1970, ditetapkanlah sebuah undang-undang mengenai pengadilan (UU No. 14 Th. 1970) Pada waktu itu dijelaskan, bahwa pengadilan telah memperoleh kembali kekuasaannya. Pada ayat 4, ditegaskan dalam penjelasannya sebagai berikut:”Tidak boleh ada tekanan dan tidak dibenarkan adanya upaya apapun dari pihak luar yang dapat mempengaruhi jalannya persidangan sehingga membuat hakim tidak bebas dalam membuat keputusan hukum”.

Walaupun demikian, tidak pernah ada peraturan apapun yang menjabarkan pernyataan yang bersifat umum tersebut ke dalam tindakan nyata. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, suasana pengadilan yang tidak bebas, semakin kuat karena adanya ta’awun (kolaborasi) antara pejabat pemerintah, bahkan berlanjut dengan jaksa, polisi dan militer.
Beberapa tahun belakangan ini muncul lembaga tidak resmi bernama MAHKEHJAHPOL (Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan dan polisi) yang terdiri dari: Ali Said sebagai ketua MA, Ismail Shaleh sebagai menkeh, Hari Suharto sebagai jaksa agung dan Kapolri. Banyak ahli-ahli hukum yang mengkritik lembaga ini, karena merupakan persekutuan yang kuat menghadapi setiap orang yang mendambakan keadilan di pengadilan-pengadilan Indonesia.
Para pembela yang menangani kasus HM. Sanusi dengan sengit menentang kegiatan lembaga yang merusak dan rahasia ini. Keputusan-keputusan lembaga ini dianggap sebagai contoh pengebirian keadilan di Indonesia.
Mahkehjapol ini merupakan lembaga nasional, sedangkan ditiap-tiap daerah dibentuk badan yang diberi nama “three in one” , yang terdiri dari ketua pengadilan negeri, kepala kejaksaan negeri dan kapolres. mereka berkumpul secara rutin dan biasanya mengikut sertakan kepala daerah dan komandan militer setempat dalam rapat-rapatnya. Rapat-rapatnya berjalan secara rahasia dan biasanya rapat semacam itu dilaku-kan apabila ada persidangan kasus-kasus politik penting.

Apapun keadaannya, para hakim biasanya mengadakan koordinasi dengan birokrasi sebaik-baiknya, karena mereka adalah merupakan pega-wai sipil. Mereka mengekor saja apa yang menjadi kemauan eksekutif. setiap hakim berada di bawah kekuasaan Ketua mahkamah agung yang biasanya seorang jendral militer. Anggota-anggota mahkamah Agung biasanya adalah oditur militer, sedangkan secara administratur hakim-hakim ini berada di bawah departmen kehakiman. Menterinya umumnya seorang jendral. Dialah yang menentukan kenaikan pangkat dan penem-patan tugas mereka. Sebagai pegawai negeri mereka menjadi anggota Korpri. Keanggotaannya bersifat paksaan. Ketua Korpri adalah Menteri dalam negeri, seorang jendral militer juga. Jumlah anggota korpri ini harus mendukung idiologi negara dan politik pemerintah. Para hakim yang merupakan pegawai negeri dan sebagai anggota korpri dia diminta untuk menerima saja apa yang harus dilakukan. Hal inilah yang seringkali membuat para pembela enggan menangani kasus-kasus subversi .

No comments: