04 September 2008

Bab 03 Tokoh Dibalik Peristiwa Pembantaian Tj Priok

03-01 Persidangan Kasus Letjen HR Dharsono
03-02 Serangan Tim Pembela
03-03 Penangkapan Syarifin Maloko
03-04 Persidangan Kelompok Penentang Pemerintah

Bab 03 Tokoh Dibalik Peristiwa Pembantaian Tanjung Priok
Para Pengamat Indonesia khususnya berpendapat, bahwa intel-intel militerlah yang menskenario dan merekayasa kasus pembantaian Tanjung Priok. Mereka mem-berikan isyarat adanya awal operasi yang dengan sengaja bertujuan untuk mengkategorikan kegi-atan-kegiatan ke-Islaman sebagai tindak kejahatan, dan para pelakunya dijadikan sasaran korban. Sebenarnya peristiwa ini sudah dipersiapkan sedemikian rupa untuk suatu ketika dapat diajukan ke pengadilan guna mela-wan berbagai kelompok yang mempunyai tujuan berbe-da, sebagaimana akan kami uraikan berikut ini.

Siapapun yang hendak mengamati kehidupan poli-tik di Indonesia sejak dasawarsa 60-an akan tahu bahwa operasi semacam ini dianggap sebagai contoh dari ope-rasi-operasi khusus yang dilakukan intelijen. Ciri dari-pada operasi ini adalah, sulitnya diketahui secara jelas keterlibatan intelijen militer di dalamnya. Selain itu tidak mungkin memperdebatkan secara terbuka hal semacam ini dalam suasana Indonesia yang represif.

Lima belas tahun pertama dari pemerintahan Soe-harto, orang yang mengendalikan operasi-operasi intel-jen adalah Jendral Ali Murtopo. Dia memiliki badan intel-jen khusus dan melakukan operasi politik khusus yang disebut dengan opsus. Opsus ini didirikan pada awal dasawarsa 60-an dimasa pemerintahan Soekarno, dan kemudian menjadi kaki tangan Soeharto sejak dia men-jadi panglima Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat). Operasi penting yang dilakukan opsus sebelum Soeharto naik ke tampuk kekuasaan ialah melakukan pembicaraan-pembicaraan rahasia dengan pemerintah Malaysia. Oleh karena itu telah muncul keraguan dalam front politik yang dijalankan oleh Soekarno dan pemerintahannya. Pada tahun 1969 mereka melakukan operasi rekayasa yang disebut dengan “Hak menentukan Nasib Sendiri”.

Operasi ini dianggap legal yang dilakukan Indonesia terhadap Irian Barat. Kemudian berlanjut dalam operasi pemilu tahun 1971 dan 1977 sehingga Golkar memperoleh kemenangan luar biasa. Kapten Beny Murdani pada waktu itu merupakan salah seorang pembantu inteljen Ali Murtopo (opsus). Beny Murdani berpangkat Kapten tahun 1963 kemudian menjadi jendral berbintang 4 dan Pangab Indonesia. Beny Murdani melakukan operasi inteljen di bawah bendera opsus menjalankan tugasnya pertama-kali bermarkas di Bangkok, agar dapat melakukan pembicaraan-pembicara-an rahasia dengan Malaysia secara baik yang terjadi pada th 1964.

KOMANDO JIHAD: Ketika tentara selamat dari ancaman Komu-nis secara gemilang, kemudian dari gerakan kiri pada akhir dasawarsa 60-an, maka badan inteljen militer ini menjadikan umat Islam sebagai sasaran utamanya. Operasi pentingnya pertama kali dilakukan menjelang pemilu 1977, ketika PPP masih merupakan kelompok oposan terhadap pemerintah dan memberikan kesan bahwa Islam merupakan kekuatan teroris karena adanya tuduhan bahwa sejumlah aktivis merupakan anggota-anggota Komando Jihad. Kami ingin menyatakan disini bahwa Komando Jihad ini adalah rekayasa Ali Murtopo untuk mengacaukan kaum muslimin.
Seorang wartawan Australia memperoleh informasi dari berbagai sumber yang menyatakan: ”Pimpinan Komando Jihad tidak lain adalah tokoh-tokoh gerakan Darul Islam pada dasawarsa 50-an yang tertangkap, kemudian mereka dibebaskan, lalu diajak bekerjasama oleh Ali Murtopo, setelah mereka ini dijebloskan ke dalam tahanan”. Salah seorang tokoh mereka ini adalah Haji Ismail Pranoto. Pada tahun 1978 dia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dengan tuduhan mendirikan Komando Jihad di berbagai tempat di wilayah Jawa Timur.

Para tertuduh di dalam kasus ini semua menyangkal. Mereka menya-takan, bahwa mereka melakukan operasi-operasi melawan komunis bekerjasama dengan militer. Mereka meminta kepada Jendral Ali Murtopo untuk memberikan kesaksian di pengadilan tapi ternyata pengadilan menolak permohonan ini. Abdurrahman Wahid, pimpinan NU mengakui bahwa Komando Jihad ini adalah rekayasa dari badan inteljen militer. Ketika dia ditanya,”Apakah organisasi ini masih ada di Indonesia?”. Jawabnya,”Sekarang sudah tidak ada. Adapun gerakan itu dimasa lalu, tanyakanlah hal itu kepada Kopkamtib, tetapi (Jihad itu sendiri) sejalan dengan ajaran Islam”. Komando Jihad adalah gerakan yang direkayasa oleh orang-orang yang menginginkan hancurnya gerakan Islam.

PEMBAJAKAN WOYLA: Operasi penting yang kedua melawan kaum muslimin terjadi pada awal tahun 1982, beberapa waktu sebelum dilaksanakannya Pemilu. Sekelompok orang-orang Islam dituduh mem-bajak pesawat garuda yang melakukan penerbangan dalam negeri. Gerakan ini dituduh menyerbu kantor polisi Cicendo, Jawa Barat.

Dalam persidangan, Imran Bin Muhammad Zein, pemimpin gerakan ini, bermaksud untuk memeriksa peranan Najamuddin komandan sayap tentaranya yang dicurigai sebagai anggota inteljen militer. Para anggota gerakan ini yakin bahwa Najamuddin lah yang memanas-manasi mereka untuk menyerbu kantor polisi dan melakukan pembajakan pesawat. Najamuddin ini kemudian dibunuh oleh anggota dari gerakan ini. Ketika mereka mengeluh tentang berbagai sepak terjangnya. Dalam persidangan, Jaksa penuntut selalu mementahkan segala bentuk usaha untuk mengorek identitas orang ini. Tidak ada orang yang dijatuhi hukuman berkenaan dengan kasus pembunuhan Najamuddin. Sebab persidangan semacam ini hanya akan menimbulkan kesulitan lebih besar pada pemerintah. Pengadilan yang menangani kasus Imran menolak untuk melakukan penyelidikan tentang terjadinya pembunuhan terhadap 6 orang pemba-jak pesawat dan tidak membenarkan para penumpang maupun awak pesawat untuk memberikan kesaksiannya. Abdurrahman Shaleh, SH pembela Imran dalam persidangan mengatakan,”Apakah benar tertuduh ini teroris?. Tidakkah orang semacam dia dipandang sebagai pemuda muslim yang terjerat di dalam rekayasa?”

Bab 03-01 Persidangan Kasus Letjen HR Dharsono
Berita-berita kasus Tanjung Priok dilakukan oleh sejumlah besar orang. Masyarakat bertanya-tanya, mengapa militer tidak menggunakan kekua-tan seminimal mungkin dalam menghadapi demonstrasi? Mengapa mereka tidak menggunakan saja gas air mata untuk membubarkan kum-pulan massa yang marah? Mengapa tentara tidak menyampaikan peringatan sebelum melepaskan tembakan? Ketika tentara melepaskan tembakan, mengapa langsung diarahkan pada para demonstran, bukan mengarahkan ke atas atau tembakan ke bawah? Jika benar pengakuan militer, bahwa sebagian demonstran membawa senjata pisau dan pentu-ngan (hal yang tak dapat dibuktikan di dalam persidangan) masih banyak cara-cara lain yang tepat untuk menghentikan para demonstran dan menguasai tempat-tempat gejolak.

Sebagaian masyarakat bertanya-tanya, mengapa petugas keamanan setempat tidak diterjunkan untuk melerai perselisihan yang dengan tiba-tiba berubah menjadi krisis membara? Seorang mantan Jendral, Suhar-diman mengatakan: ”Seharusnya jauh sebelumnya militer melakukan tindakan antisipasi untuk mencegah letupan. Karena membiarkan hal semacam itu berarti mentolerir aktivitas gerakan tersebut untuk terus berjalan, sehingga bisa membangkitkan kemarahan dan merusak keamanan nasional”.

Dalam persidangan kasus mantan jend. HR. Dharsono secara maksimal ia berusaha untuk mengetengah peran militer di dalam peris-tiwa yang mengakibatkan pembantaian pada malam Rabu, 12 September 1984. Ketika pertama kali terjadi peristiwa pada awal Oktober 65 dan kemudian menjadikan Soeharto berkuasa, Dharsono adalah pangli-ma militer di Jabar, devisi Siliwangi. Ia mendampingi Soeharto di dalam usaha menjatuhkan Pres. Soekarno. Pada bulan-bulan terakhir tahun 65 ia bersama beberapa jend. lain yang anti komunis, seperti Kamal Idris dan Sarwo Edi menghancurkan gerakan kiri di basis-basisnya yang kuat di seluruh penjuru pulau Jawa. Kemudian muncul perselisihan di kala-ngan pendukung orba dan Soeharto mengenai masalah pembangunan sistem politik pemerintahan. Dharsono menjadi sasaran kemarahan Soeharto karena dia berseberangan dengan politik Soeharto. Pada awal 69 Dharsono dipecat dari jabatan militernya kemudian diangkat sebagai duta besar di Bangkok dan Phnom Phen. Pada tahun 76 dia diangkat sebagai sekjen. ASEAN. Tetapi pada tahun 78, pada saat dewan maha-siswa menggugat politik Soeharto Dharsono menyatakan dukungannya secara terbuka. Hal ini menyebabkan dirinya di copot dari kedudukan sekjen ASEAN dan dengan cepat dia bergabung dengan mantan perwira yang bersikap kritis terhadap kebijakan rezim militer Soeharto. Terdapat sejumlah kecil perwira, termasuk Dharsono, dahulunya menyatakan sikap anti Demokrasi ketika mereka sedang menjabat. Tetapi sekarang para mantan perwira ini mengumandangkan demokrasi dan mengeritik kebijakan Soeharto yang zalim dalam menjalankan pemerintahan.
Meskipun Dharsono dahulunya tidak termasuk penandatangan Petisi 50, namun dia bergerak di lingkungan oposan. Ia biasa menghadiri pertemuan-pertemuan mereka secara teratur di rumah Ali Sadikin, mantan Panglima marinir dan Gubernur DKI. Dharsono turut menanda-tangani Lembaran Putih yang diterbitkan setelah terjadinya pembantaian Tanjung Priok. Ia juga menghadiri pertemuan yang diadakan pada tanggal 18 September di sebuah mushalla yang berdampingan dengan rumah AM. Fatwa, yang juga ikut menandatangani lembaran putih tersebut. Pertemuan ini sudah dirancang beberapa minggu sebelumnya. Tetapi karena muncul kasus Priok, maka akhirnya masalah ini menjadi pokok diskusi. Dharsono ditangkap pada tanggal 8 November 1984 dan diajukan persidangan pada tanggal 19 Agustus 1985. Dia diadili berdasarkan undang-undang suvbersi karena menandatangani lembaran putih. Dia dituduh menghasut peserta rapat yang diadakan 18 September untuk melakukan pengeboman yang kemudian terjadi beberapa minggu kemudian.

Bab 03-02 Serangan Tim Pembela
HR. Dharsono dan tim pembelanya bertekad untuk langsung melakukan serangan dan menggunakan ruangan pengadilan sebagai alat penekan guna mengungkap kejadian sebenarnya kasus Tanjung Priok; sejalan dengan tuntutan pokok yang telah dinyatakan di dalam lembaran putih agar dilakukan penyelidikan tentang kasus tersebut. Tim pembela hukum Dharsono ditangani oleh lima orang anggota LBH: Adnan Buyung Nasution, pengacara paling terkenal di Indonesia. 2. Mulya Lubis, ketua LBH. 3. Harjono Tjitrosubeno, ketua IKADIN. 4. Amartiwi Shaleh, 5. Luhut MP. Pangaribuan. Tim ini merupakan kumpulan pengacara top. Para pengacara menghadirkan dua orang korban pembantaian Tanjung Priok sebagai saksi kunci dalam pembelaannya. Mereka minta kepada dua orang saksi ini untuk bercerita di hadapan persidangan tentang apa yang terjadi. Kedua saksi ini masih dalam keadaan luka parah. Orang pertama bernama Yusron bin Zaenuri, ia telah divonis dengan hukuman 1 tahun. Sebab ia termasuk dalam 28 orang korban Tanjung Priok yang telah disidangkannya tahun yang lalu. Dia terkena tembakan tiga kali. Sekali dia ditembak oleh tentara ketika dia roboh dalam keadaan terte-lungkup dan lukanya terus mengeluar darah serta dibiarkan begitu saja oleh tentara menanti ajal tiba. Kemudian menceritakan perlakuan tentara kepadanya saat mereka melemparkannya ke atas truk militer yang sudah berisi tumpukan jasad korban (ada yang hidup dan ada yang nati) untuk dibawa ke RS militer (Lihat Lampiran I).

Saksi kedua bernama Edi Nurhadi, yang menyatakan bahwa saat itu ia sedang makan di warung pada waktu demonstrasi terjadi. Tiba-tiba pahanya tertembak karena itu dia terpaksa membalut lukanya (Baca Lampiran II). Kedua saksi ini secara detail menceritakan kebrutalan petugas keamanan. Keduanya dengan meyakinkan memberikan ketera-ngan di depan persidangan bahwa petugas keamanan memberondong sasarannya dengan darah dingin tanpa perasaan sedikitpun.

Jaksa Penuntut umum menjawab kesaksian ini dan memanggil Kapten Sriyanto, komandan operasi dan juga komandan koramil setem-pat, dialah komandan yang bertanggung jawab di lingkungan militer dan memberikan perintah kepada anak buahnya untuk melepaskan tembakan. Ia menjawab:” Ketika itu anak buahnya berada dalam anca-man para demonstran bersenjata, dia menolak untuk menghentikan demonstrasinya. Media massa menulis bahwa pembelaan jawaban saksi Sriyanto menimbulkan suasana tegang dalam persidangan, sehingga para pembela terdakwa menekan yang bersangkutan untuk menjelaskan alasannya mengapa dia tidak mengundang polisi saja, padahal kantor polisi sangat dekan dengan lokasi kejadian. Mengapa dia tidak menggu-nakan gas air mata atau menggunakan cara lain untuk membubarkan demonstrasi. Saksi menjawab “Tidak ada waktu untuk memikirkan sesuatu seperti itu. Tidak ada hal yang menarik dalam dalam keterangan saksi ini. Sebab, kata demi kata yang dia ucapkan semuanya persis dengan keterangan Beny Murdani, tetapi sesuatu yang berkesan dan sangat mena-rik tim pembela ialah penolakan Sriyanto untuk menjawab pertanyaan khusus sekitar kejadian-kejadian demonstrasi pada hari itu. Ujarnya,” Hal-hal semacam itu seyogyanya ditanyakan kepada kapten Mukiran, perwira intel. Tegasnya jaksa penuntut meminta kepadanya untuk memberikan kesaksian masalah demonstrasi saja. dia tidak dapat menjelaskan apa-apa tentang peristiwa yang terjadi sebelum jam 23.00 ketika dia menerima telpon dari Amir Biki agar 4 orang tahanan dibebaskan.

Tim pembela sekali lagi mendesak majelis hakim supaya mengha-dirkan perwira militer lainnya untuk memberikan kesaksian. Tim pembela ingin menanyakan pada Kapten Mukiran, perwira intel yang disebut oleh Sriyanto dan Kapolres Jakarta Utara Kol. Ismet. Majelis hakim setuju untuk mendengar kesaksian Kol. Ismet tapi majelis hakim memutuskan tidak memanggil Kapten Mukiran, namun ada perwira intel lain yang kemudian dipanggil untuk memberikan kesaksian, yaitu Kol. Butarbutar.

Munculnya Butarbutar di persidangan menimbulkan perdebatan panas antara pembela dan saksi. Dharsono dengan keras menyerang bahwa tentara itu dipersiapkan untuk berperang bukan untuk bertindak terhadap demonstran di jalan-jalan. Ketika Adnan Buyung Nasution bertanya:Mengapa dia tidak memanggil polisi?”. Jawabnya,”Tidak ada waktu untuk dapat menggunakan saranan-sarana yang dapat dipakai pada saat-saat seperti itu. Karena itu kami, tim pembela tidak merasa heran bilamana kesaksian Butarbutar tidak dapat mengungkap dengan jelas kejadian Tanjung Priok itu. Tidak munculnya Ismet, kapolres Jakut tidaklah banyak menimbulkan beda pendapat bahwa hal tersebut dimaksudkan untuk menghalang-halangi mengungkap rahasia langkah-langkah yang diambil oleh pihak keamanan dalam mengahadapi para demonstran. Kol. Ismet 3 kali tidak pernah mau mendatangi persidangan. Panggilan pertama, dia tidak datang karena minta izin. Pada persidangan kedua dia tidak datang, katanya sakit. Pada persidangan ke 3 , 4 November. Dia tidak datang karena bertugas ke Bandung. Oleh karena itulah tim pembela dengan segala upayanya untuk mengetahui alamatnya. beberapa temannya mengatakan, bahwa dia sedang mengikuti tugas belajar di Bandung. Ternyata kemudian diketahu bahwa nama Ismet ini tidak tercantum dalam peserta pendidikan. Karena itulah Buyung Nasution berkesimpu bahwa Ismet dengan sengaja melarikan diri dari memberikan kesaksian di depan persidangan. Adapun Dharsono berkata kepada majelis hakim,”Tidak hadirnya saksi ini dengan berbagaimacam alasannya secara logika membuktikan bahwa kasus-kasus Tanjung Priok akibat kekuatan luar yang melakukan provokasi.

Dalam jumpa pers dengan surat kabar Belanda Buyung Nasution mengungkapkan bahwa,”Tim pembela mempunyai alasan-alasan untuk berkeyakinan bahwa Ismet, Kapolres Jakarta Utara telah menyampaikan saran kepada militer di Tanjung Priok bahwa memang perlu mencegah terjadinya demonstrasi dalam bentuk apapun. Ia mengingatkan militer bahwa kondisi di daerah ini benar-benar panas. Buyung mengungkapkan bahwa sebelum diadakan sidang pengadilan 4 Desember, ketua penga-dilan bernama Sudiyono membisikkan kepadanya untuk tidak terus menerus menuntut dihadirkannya saksi Ismet. Sebab hal itu dapat menim-bulkan kesulitan tersendiri bagi persidangan ini. Buyung Nasution kemudian diberitahu oleh Sudiyono bahwa Ismet telah dipindahkan ke Sumatera Utara dan menyatakan tidak sanggup untuk menghadirkan yang bersangkutan di persidangan.

Bukan hanya ketidakhadiran Ismet saja yang menimbulkan keraguan bahkan Dharsono sudah mencium adanya kegagalan pihak aparat kea-manan untuk menangkap dua orang yang mengadakan pertemuan temuan Tanjung Priok tanggal 12 September. Baik Syarifin Maloko mau-pun Muhammad Nasir dan Amir Biki yang telah terbunuh adalah orang-orang yang membantu membangkitkan emosi pengunjung penga-jian. Aparat keamanan telah menangkap muballigh lain tetapi mengapa tidak menangkap Syarifin Maloko dan Nasir? Mengapa orang-orang ini tidak hadir walaupun hanya untuk kesaksiannya di persidangan? Dhar-sono juga mempertanyakan kasus yang menimpa Hamzah Hariyana yang hadir dalam perngajian 18 September padahal dia termasuk pence-ramah yang paling menonjol. Orang inilah yang meminta kepada Dhar-sono agar membantu kelompok mereka memperoleh bom guna melaku-kan aksi-aksi teroris.

Bab 03-03 Penangkapan Syarifin Maloko
Syarifin Maloko ditangkap 6 bulan setelah Dharsono mengajukan tanta-ngannya kepada pengadilan. Sebelumnya, semua persidangan kasus Priok tidak pernah berhasil mengungkapkan masalah ini, yaitu tim pembela tidak pernah berhasil untuk mengajukan pertanyaan-pertanya-an kepada orang ini. Ketika Syarifin Maloko dinyatakan akan diadili, dia meminta bantuan kepada LBH untuk membela dirinya, tetapi LBH menolak dengan alasan para pengacaranya sedang sibuk sehingga tidak dapat membantu memberikan pembelaan dalam kasus-kasus baru pada saat itu. tetapi Adnan Buyung Nasution lebih terus terang alasannya dalam menolak permintaan tersebut .
Adnan Buyung Nasution dikenal sebagai Direktur lembaga ini dan koordinator tim pembela dalam kasus-kasus subversi. Para pembela mera-gukan apakah Maloko benar-benar berjuang untuk idiologi. LBH menga-takan bahwa kami membela setiap orang tanpa memperdulikan idiologi politiknya, tidak perduli apakah orang itu pejuang politik Islam atau pengikut idiologi komunis. Kami selalu siap membela dengan penuh keberanian. Tapi kalau ada orang yang tak dikenal bagaimana prinsipnya dalam perjuangan, lebih baik bagi kami untuk tidak melakukan pembelaan sia-sia.

Sejumlah anggota tim menemui Maloko setelah dia ditahan, tetapi Buyung Nasution tidak puas dengan alasan-alasan yang dikemukakan oleh M aloko, seperti yang tertulis dalam surat yang dikirimkannya kepada surat-surat kabar. Ujarnya, ”Kami tidak ragu-ragu tentang masalah Sya-rifin Maloko, namun persidangan kasus Tanjung Priok sudah lewat. Begitu pula persidangan kasus Dharsono, Am. Fatwa dll. Pada waktu itu adakah Maloko bersedia mengajukan pembelaan karena prinsip-prinsip idiologinya untuk membela masyarakat Islam atau setidak-tidak-nya mau melakukan kontak dengan tim pembela, dimana Adnan Buyung Nasution termasuk di dalamnya, yang pada waktu itu sangat memerlu-kan kesaksian Maloko. Dia menyadari hal itu dengan baik, tapi mengapa dia tidak mau berbuat?
Sebuah oraganisasi muballigh juga bermaksud untuk menyanggah pengakuan Maloko bahwa dia termasuk salah seorang anggotanya. Wakil sekretaris dari organisasi ini berkirim surat pada media massa menolak dengan keras adanya anggapan bahwa Maloko adalah salah seorang dari anggotanya.

Tersiar issu bahwa Maloko bekerja untuk kepentingan intelijen militer. Issu-issu ini sangat kencang beredar sehingga hal ini menjadi masalah yang sangat dominan dalam persidangan. Maloko meminta dihadirkan-nya tiga orang saksi untuk menyampaikan kesaksian. Orang-orang ini semuanya dari korp muballigh. Ketiga orang ini telah dipenjarakan. AM. Fatwa dan Abdul Qadir Djaelani tengah menjalani masa hukumannya. Sedangkan orang ketiga bernama Hasan Kiat, yang tengah disidangkan kasusnya dengan tuduhan turut menyampaikan ceramah di Tanjung Priok pada tahun 1985. Majelis hakim ternyata tidak mengabulkan per-mintaan agar Fatwa dan Djaelani menyampaikan kesaksian, karena mereka ini hanya ahli agama, bukan ahli di dalam masalah subversi. tetapi majelis hakim mengijinkan Hasan Kiat menjadi saksi. Di dalam persidangan dia menyangkal adanya anggapan bahwa Maloko adalah mata-mata pemerintah. Padahal sebelumnya ia mengakui hal tersebut sebelum terjadinya kasus Tanjung Priok. Dia meragukan Hasan Kiat dan dua orang tersebut tadi mempunyai hubungan yang bertujaun untuk memata-matai para penceramah Tanjung Priok. Ketika Maloko berbicara dengan Kiat di dalam penjara, dia meyakinkan kepadanya bahwa dirinya sebagai intel itu hanyalah semata-mata issu.

Bab 03-04 Persidangan Kelompok Penentang Pemerintah
Jenderal Beny Murdani sangat marah ketika koran-koran nasional dan internasional mengungkapkan bahwa persidangan kasus Dharsono tidak boleh diberitakan. Sekalipun Murdani dengan segala macam upaya meng-halangi pengusutan fakta-fakta, namun muncul banyak sekali statmen-statmen yang meragukan atas ketidak terlibatannya di dalam kasus-kasus ini. Persidangan-persidangan ini merasakan adanya hal-hal yang emosio-nal di dalam kasus Tanjung Priok. Persidangan ini telah berubah menjadi demonstarsi melawan pemerintah. Para hakim yang menangani persida-ngan di waktu itu dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas munculnya keadaan tersebut. Oleh karena itu ada orang yang dijadikan sebagai kambing hitam, yaitu ketua pengadilan setempat bernama Sudiyono. Ia dipindahkan ke Sumatera Utara begitu selesai penanganan Maloko. selanjutnya yang dijadikan kambing hitam adalah Adnan Buyung Nasution yang dituduh sebagai orang yang melakukan penghi-naan terhadap pengadilan (Contempt of Court) sebab dia menolak membacakan pembelaannya di persidangan. (Baca bab 4)
Pihak lain yang dikambing hitamkan adalah mass media, yang oleh Beny Murdani dituduh sebagai tidak bertanggung jawab dan tidak dewasa di dalam menyaring berita-berita menyangkut hal-hal yang terjadi di persidangan. Beny mengancam dengan keras mass media, jika tidak mampu membenahi dirinya sendiri.
Berkat kegigihan tim pembela, akhirnya semua peristiwa yang muncul di ruang persidangan menghasilkan usaha dilakukannya penyelidikan menyeluruh terhadap kasus-kasus Tanjung Priok. Hal ini merupakan tuntutan yang dimuat di dalam lembaran putih, namun masih sangat banyak pertanyaan-pertanyaan tim pembela berkenaan dengan korban peristiwa ini yang belum pernah terjawab hingga sekarang.

No comments: