20 December 2008

KELANJUTAN NEGARA ISLAM INDONESIA DALAM ORDE BARU: DARI PEMANFAATAN KEPADA PENGHANCURAN

Bab Sepuluh

KELANJUTAN NEGARA ISLAM INDONESIA
DALAM ORDE BARU:
DARI PEMANFAATAN KEPADA PENGHANCURAN

Setelah syahidnya Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, banyak peristiwa-peristiwa penting sebagai kelanjutan resistensi politik Umat Islam dan juga perjuangan Negara Islam Indonesia pada generasi penerusnya. Setelah berakhirnya rezim kekuasaan Orde Lama, pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat dari awalnya telah menyadari betul mengenai adanya kemungkinan naiknya pamor politik umat Islam. Berawal ketika jatuhnya kekuatan PKI yang telah gagal dalam aksi kudetanya kemudian secara formal diperkuat dengan keputusan politis yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang pembubaran partai PKI, secara tidak langsung telah mengangkat citra politik Islam di pentas perjuangan nasional. Yang mana kekita itu dari setiap partai politik Islam banyak mengecam dan mengutuk terhadap perlakuan PKI dan mereka menuntut pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus PKI ini, sehingga dengan demikian di dalam struktur peta kekuatan politik Indonesia saat itu terjadilah ketidakseimbangan (imbalance). Gejala yang muncul dari adanya kekalahan PKI membuat Politik Umat Islam sedang mendapat angin, dan ditangkap gejala tersebut oleh pemerintah dengan satu prediksi bahwa politik umat Islam memiliki kecenderungan hendak memperkuat posisinya. Di mana kekuatan tersebut yang akan menghancurkan cita-cita nasionalis sekuler yang telah menjadikan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Dan hal itu disadari betul oleh Angkatan Darat, bahwa di dalam kalangan umat Islam masih terdapat bibit-bibit ekstrimisme yang amat potensial yang suatu saat bisa muncul kepermukaan.
Maka pada tanggal 21 Desember 1966 diumumkannya suatu pernyataan politik oleh perwira-perwira tentara Angkatan Darat bahwa mereka "akan mengambil tindakan tegas terhadap siapapun, dari pihak mana pun, dan golongan apa pun yang akan menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 seperti yang telah dilakukan oleh Pemberontakan Partai Komunis di Madiun, Gestapu, Darul Islam ...dan Masyumi-Partai Sosialis Indonesia...."
Untuk hal tersebut di atas banyak sekali rekayasa politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui operasi badan intelejennya terhadap umat Islam di segala segmen kehidupan. Selama masih bertumbuhnya kekuatan-kekuatan politik umat Islam, selama itu pula gerakan tersebut dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan Orde Baru yang sedang mencari jati dirinya, sehingga sangat diperlukan sekali peredaman bahkan pemusnahannya. Hal tersebut persis sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Allah dalam Al-Qur'an Surah 9: 33.
"Mereka berkehendak untuk memadamkan cahaya Allah (Al Islam) dengan sarana propaganda yang mereka miliki, namun Allah berkehendak lain untuk tetap menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang musyrik itu tidak menyukainya".
Dimana dan sampai kapan pun, selama Islam diyakini oleh ummatnya sebagai minhajul hayat , satu satunya jalan kehidupan yang harus ditegakkan, selama itu pula kekuatan-kekuatan kaum kafir dan musyrik akan menjalin kerjasama bahu membahu dalam menekan laju Islam . Dan kemungkinan yang terburuk yang akan didapat oleh umat Islam dari adanya kerjasama tersebut adalah bagaimana mereka membasmi para pejuang Islam dengan kekuatan senjata yang didukung oleh pasukan militer.
Konspirasi Yahudi dan Nasrani di dalam tubuh pemerintah Orde baru telah mewarnai corak kekuasaan rezim Suharto. Ditandai dengan pelarangan rehabilatasi nama partai Masyumi, pengangkatan elit politik dari golongan nasrani sampai kepada adanya penyederhanaan partai yang bertujuan depolitisasi massa, yang dari program tersebut cukup efektif memarjinalkan posisi politik Islam. Demikianlah mereka berdaya upaya agar jangan sampai Islam memainkan peran dalam panggung politik Indonesia. Allah telah berfirman:
"Dan amat sangat tidak suka kaum Yahudi dan Nasrani terhadap Umat Islam, sehingga Umat Islam mau tunduk, patuh dan setia mengikuti pola sistem yang telah mereka buat".( Al-Baqarah: 218).
Untuk mengantisipasi setiap kekuatan arus politik Islam ini, pemerintah Orde Baru dan kaum misionaris menjalankan beberapa pola aksi melalui badan intelejennya. Sasaran pertama yang mereka goyang dengan jalan rekayasa politik adalah partai Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), Pemerintah melakukan rekayasanya terhadap Parmusi karena melihat bahwa di dalam partai Masyumi masih banyak bercokol para politikus Islam yang mempunyai militansi Islam sehingga berpotensi untuk membangkitkan kembali misi Islam dalam ajang pemilu dengan menjadikan umat Islam sebagai basis pendukungnya. Oleh karena itu, Pemerintah Orde Baru mengambil satu kebijakan terhadap partai ini. Pada tanggal 5 Februari 1968, Jenderal Suharto memberitahukan bahwa Pemerintah menyetujui pembentukan Partai Parmusi, namun Pemerintah tidak mengizinkan seorang pun kepada pemimpin bekas partai Masyumi memegang peranan dalam kepengurusan partai tersebut, Dan kepada mereka dihimbau untuk menunggu sampai selesainya pemilihan umum. Begitu juga tentang RUU Perkawinan, pada tanggal 31 Juli 1973, ketika pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan kepada DPR. Kemudian RUU tersebut mendapat reaksi keras dari umat Islam. Puncaknya, lebih dari 300 mahasiswa muslim menyerbu ke DPR dan membuat kerusakan ketika Menteri Agama Mukti Ali sedang membacakan jawaban pemerintah dalam sidang pleno DPR.
Disamping itu pemerintah Orde Baru melakukan manuver politiknya terhadap Islam tradisional seperti organisasi NU—yang nota bene memiliki banyak pengikutnya, badan intelejen yang diwakili oleh Opsus melakukan intrik politiknya dengan menciptakan organisasi massa GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam),—dengan pimpinannya yang bernama Ramadi ,—dalam penggalangan rakyat. Mereka berharap dengan melalui organisasi yang dibentuk, kekuatan umat Islam dapat ditekan. Selanjutnya, setelah bergabungnya umat Islam dalam mesin giling GUPPI ini, dengan sistematis badan intelejen menggarap massa Islam tradisional tersebut untuk ditariknya sebagai penyokong dan pembela Golkar. Demikianlah pemerintah Orde Baru menerapkan strategi kebijakannya, yang intinya adalah bagaimana mengendalikan umat Islam.
Begitu juga badan intelejen dengan program Opsusnya melakukan hal yang sama terhadap mantan para pejuang Darul Islam, mereka membuat rekayasa-rekayasa yang canggih terhadap para pejuang Darul Islam dengan pola "Pancing dan Jaring", para pejuang itu dikumpulkan dalam satu wadah dan kemudian dikorbankan dengan melalui berbagai peristiwa berdarah. Seolah-olah bahwa para pejuang Islam selalu ingin mengadakan konfrontasi dengan pihak ABRI dan penguasa, dengan tindakan pengacauan, pemberontakan dan lain sebagainya. Dengan terciptanya suasana persinggungan itu maka apa yang menjadi keinginan para penguasa dzalim terkabul, ya'ni membuat umat Islam merasa alergi terhadap Negara Islam dan selalu menutup diri bila diceritakannya. Sungguh perbuatan yang sangat keji, seperti kekejian yang dilakukan oleh raja Fir'aun ketika pada masa Nabi Musa a.s..
Kejadian rekayasa ini merupakan gambaran yang terang dari pemerintah Orde Baru, bahwa mereka tidak ingin sama sekali resistensi politik Islam yang diperjuangkan oleh umat Islam pada umumnya dan para pejuang Darul Islam khususnya untuk mengembangkan ideologi Islam di percaturan politik. Yang mereka kehendaki adalah bahwa Islam hanya sebatas ritualitas belaka tanpa ikut campur dalam urusan negara. Demikianlah rencana makar yang sedang diperjuangkan oleh thagut, untuk memberdayakan umat Islam sebagai alat komoditas politik bagi manusia-manusia yang jahil (bodoh).
Yang paling giat dan menonjol dalam usahanya untuk melaksanakan devide et impera nya terhadap umat Islam` di dalam perjuangan suci Darul Islam adalah Ali Moertopo. Menurut hemat dia, siapa dan darimana orang tidak menjadi masalah, bila mau diajak bekerjasama maka akan dirangkulnya untuk bersama-sama melaksanakan program setan Opsus. Salah satu modus operasi Ali Moertopo adalah dengan mengumpulkan para advonturir yang rakus kekayaan untuk dilibatkan dalam setiap aksi Opsus. Dengan keahliannya dalam merangkul massa, dia banyak sekali memanfaatkan kekuatan-kekuatan Islam bukan hanya terhadap para pejuang Darul Islam tetapi juga terhadap kekuatan-kekuatan bekas Permesta, Masyumi. Berbagai cara pendekatan dia tempuh termasuk juga menginsentifkan material kemudian setelah mereka terbujuk lalu dimasukkannya ke dalam "kandang" yang telah mereka siapkan. Dengan teori 'penggalangan' —dimana dalam teori itu menggariskan bahwa tidak adanya kawan dan lawan,—Ali Murtopo menjalankan taktik dan strateginya dalam memupuk kekuatan-kekuatan tersebut demi kepentingan politiknya.
Sudah sejak awal tahun 1970-an, Ali Moertopo mengadakan jalinan kerjasama dengan sejumlah pejuang DI/TII.. Ketika itu Ali Moertopo giat pergi ke Jawa Barat untuk menarik mereka ke Jakarta,—yang sebelumnya para pejuang tersebut masih di bawah binaan Kodam Siliwangi Bandung—antara lain yaitu Dodo Kartosuwiryo, sebagian lagi adalah seperti Adah Jaelani, Danu Muhammad Hasan. Namun garis kebijakan yang telah dibuat oleh Ali Moertopo untuk mendekati para pejuang DI/TII itu menimbulkan permasalahan di dalam tubuh Bakin. Sesungguhnya, biar bagaimanapun yang namanya perjuangan Islam itu seharusnya tidak membutuhkan jalinan kerjasama dengan penguasa yang dzalim. Bahkan seharusnya ada yang tampil dari orang pemberani menyatakan kebenaran di depan penguasa tiran. Sebagaimana sabda Rasulullah. "Afdhalu Jihad Kulil haq 'inda sulthonin jair" (Seutama-utama Jihad adalah Katakanlah kebeneran itu kepada penguasa yang lalim). Dengan digelarnya Opsus oleh pemerintah, dikalangan petinggi militer sendiri banyak yang merasa heran dan kaget, kenapa berani-beraninya Ali Moertopo merangkul para pejuang Darul Islam tersebut . Menurut pengakuan Ketua Bakin Sutopo Juwono, ia sudah beberapa kali memperingatkan Ali agar jangan main-main dengan para pejuang Darul Islam. Sebab katanya, bisa jadi para pejuang Darul Islam nantinya suka macam-macam, karena merasa punya jasa ikut menghancurkan PKI segala macam, nanti mereka bisa menagih janji. Maka lebih baik jangan. Adanya peringatan tersebut pada dasarnya memberikan isyarat kepada Ali bahwa satu di antara dua kemungkinan pasti terjadi tentang para pejuang Darul Islam: satu kemungkinan bahwa para pejuang Darul Islam itu akan memperalat Opsus; atau sebaliknya, Opsus memperalat mereka.
Dengan adanya peristiwa perselisihan didalam tubuh militer Republik Indonesia kelihatannya bahwa kekuasaan Orde Baru bersatu, secara lahiriyah terlihat kompak dengan kerjasamanya untuk menekan resistensi politik Islam, tetapi sesungguhnya di dalam tubuh mereka sendiri terdapat permusuhan dan pertentangan intern yang sangat hebat. Hati mereka terpecah belah tidak dalam persatuan dan kesaatuan, jiwa para militer mereka kosong dari aqidah Islamiah, bahkan nyaris seperti yang digambarkan oleh Kartosoewirjo dahulu. Allah telah berfirman:
"Mereka tidak akan memerangimu secara serentak, kecuali hanya di desa-desa yang telah dibentengi, atau dari balik tembok perlindungan saja. Permusuhan dikalangan mereka telah memuncak. Kamu kira mereka kompak, namun sesungguhnya hati mereka terpecah belah. Perpecahan itu timbul, karena mereka tidak mengerti makna persatuan".(Q.S. 59: 14)
Sebagaimana yang dituturkan oleh Ramadi, bahwa banyak para pejuang Darul Islam yang hilir-mudik di rumahnya, di antaranya Danu, Dodo M. Darda Kartosoewirjo. Ada pula nama-nama dengan panggilan khas, seperti Ki Acun atau Ki Mansyur. Menurut penuturan dari salah seorang anak buah Ali Moertopo di Opsus, dukungan yang diperlihatkan para pejuang Darul Islam terhadap Opsus sangat kuat. Saking kuatnya mereka lalai akan tugas dan fungsi yang diamanahkan oleh pendahulu mereka. Lupa akan ma'na sebuah hadis yang menyatakan "Nahnu kaumun la nuharribu bima'unatil musyrikin". Arti lepasnya: "Kami para mujahid Allah tidak pernah berjuang tanpa adanya dukungan sedikitpun berupa fasilitas yang telah disediakan oleh orang Musyrik". Sebenarnya sudah menjadi kebiasaan orang kafir yang telah digambarkan oleh Allah.:
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka dalam upayanya untuk menghalang-halangi orang mu'min dari beribadah Kepada-Nya". (QS 8: 36.)
Kehadiran Opsus dengan segala programnya, rupanya telah dan selalu menjebak para pejuang Darul Islam, dengan iming-iming bahwa mereka akan siap membantu dalam pendirian kembali Negara Islam. Para pejuang Darul Islam percaya betul atas "ucapan" Ali Moertopo tersebut. Di mata mereka, apabila Ali Moertopo menang maka ia akan mendirikan negara Islam. Sungguh satu dusta telah dilakukan oleh orang kafir untuk menutup-nutupi tujuannya, biar siapapun orangnya kalau tetap menjalankan roda pemerintahan jahiliyah, maka hukum-hukum Islam tidak akan pernah diberlakukan. Tipu daya orang kafir telah masuk ke dalam jiwa para pejuang, sehingga mereka lebih mempercayakan orang kafir sebagai teman setianya untuk bersama-sama berkoalisi menegekkan kembali Negara Islam. Padahal Allah telah menegaskan terhadap orang mu'min dalam Al-qur'an.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita Muhammad)...." (QS. 60: 1)
Tidaklah orang-orang kafir itu berkawan, sesungguhnya hanya untuk menyusahkan urusan yang akan dilaksanakan oleh orang mu'min. Allah berfirman:
"Jika mereka berhasil menangkapmu, mereka akan menindakmu sebagai musuh. Mereka akan melepas tangan untuk membunuh, dan menjulurkan lidah untuk mencacimu, Selanjutnya yang mereka inginkan ialah kamu kafir kembali seperti mereka". (QS. 60: 2).
Pada sekitar tahun 1978, berdasarkan cerita seorang pejuang Darul Islam, bahwa Ali Moertopo sangat berambisi untuk menjadi wakil presiden. andai saja Ali Moertopo berhasil menjadi wapres maka yang menjadi sasaran berikutnya adalah Presiden Soeharto, ditambahkannya, Ali Moertopo selanjutnya akan menetralisasi keadaan dengan cara apa pun sehingga Ali Moertopo bisa duduk dikursi kepresidenan. Begitulah gambaran hidup orang kafir yang ambisius. Allah swt. Berfirman:
"Kehidupan dunia telah menipu mereka dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir". (QS. 6: 130)
Program Opsus yang diketuai oleh Ali Moertopo ini, pada permulaan Orde Baru memang sangat berfungsi dalam reformasi politik (political reform), guna memperkuat poros Pancasila dan UUD 45, juga menetralisasi kekuatan politik umat Islam melalui usaha rekayasa politiknya terhadap semua orsospol dan organisasi kemasyarakatan dan profesi.

Yang menjadi target politik dari Ali Moertopo dengan menciptakan gagasan tersebut adalah bagaimana menguasai badan intelijen Negara untuk menjalankan roda pemerintahan Orde Baru yang sedang dalam perkembangannya. Namun karena adanya kendala didalam tubuh Opsus yang disebabkan banyak berkumpul segala aliran disana, sehingga pada akhirnya Ali mempunyai kesimpulan bahwa Opsus tidaklah efektif. Memang disatu sisi bisa berkumpulnya segala aliran di Opsus menandakan akan kapasitas Ali Moertopo. Tetapi dari sisi organisasi, keberadaan Opsus sangat rentan terhadap timbulnya pertikaian yang dibawa oleh setiap aliran yang ada. Masing-masing interest itu kemudian saling berhadapan di dalam tubuh Opsus sendiri (intemal infighting).
Untuk memperlihatkan kelemahan dari strategi Ali Moertopo perlu dikutip sebuah peribahasa, Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga. Ia melakukan kekeliruan ketika tidak mendasarkan operasi intelijennya pada anggota organik, tapi acap kali justru lebih mempercayai anggota jaring seperti Aulia Rahman, Leo Tomasoa, Bambang Trisulo. Atau lebih percaya pada Liem Bian Khoen, maupun para pejuang Darul Islam.
Dalam dunia intelijen, membina jaringan merupakan salah satu hal yang penting, sehingga selain memiliki anggota organisasi yang resmi, intelijen juga mengembangkan anggota jaringan (yang tak resmi) di mana-mana. Tergantung pada sasaran apa yang hendak dicapai. Namun, rahasia-rahasia operasi Ali agaknya lebih banyak diketahui oleh anggota jaring daripada anggota organik. Akibatnya permainan Ali dibongkar oleh anggota-anggota jaringnya sendiri. Di dalam hal ini Ali Moertopo dikritik kurang mematuhi hukum-hukum manajemen intelijen yang menyebutkan: tidak boleh terlalu percaya pada anggota jaring! Mungkin ia mau berimprovisasi, atau bermaksud nyleneh.
Disamping itu Anggota jaring dikenal pula memiliki disiplin yang rendah sehingga biasanya mereka gampang buka kartu, membuka belang intelijen yang mestinya dirahasiakan. Jadi tidaklah mengherankan bila rahasia keterlibatan Ali dibongkar sendiri oleh bekas-bekas anak buah jaringnya di dalam tahanan. Ramadi cs, mungkin lantaran tidak tahan tekanan hidup di tahanan, maka mereka mengungkap semua permainan Ali Moertopo. Mereka ramai-ramai "bernyanyi". Sebaliknya, anggota organisasi umumnya lebih terdidik, lebih disiplin dan teguh dalam memegang rahasia. Anggota organik juga dapat berlindung di balik suatu peraturan yang tidak mengizinkan mereka membuka rahasia. Perbedaannya yang lain antara anggota organik dengan anggota jaring ialah anggota organik mengetahui tugasnya secara menyeluruh, sementara anggota jaring biasanya hanya tahu per sektor. Misalnya, seseorang anggota jaring ditugaskan membina ulama, maka ia tahunya hanya soal ulama. Lain itu tidak.
Menjelang akhir 1970-an banyak yang ditangkapi dari sejumlah pejuang DI/TII binaan Ali Moertopo seperti, Adah Djaelani Tirtapradja, Danu Mohammad Hassan, serta dua putra Kartosoewiryo Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki. Ketika pengadilan para mantan tokoh DI/TII itu digelar pada tahun 1980, maka terungkaplah apa yang sebenarnya target dari digelarnya aksi lapangan tersebut. Dan dengan adanya hal itu dicurigai sebagai upaya untuk memojokkan posisi umat Islam. Sebagai salah satu bukti adalah dalam kasus persidangan Danu Mohammad Hassan. Pada saat dia dalam persidangan dia mengaku sebagai orang Bakin. Mungkin inilah akibat yang harus dialami oleh para pejuang Darul Islam setelah mengadakan kerjasamanya dengan organisasi Opsus yang telah dibuat oleh Syaitan yang dzalim itu. Padahal Allah telah memperingatkan sebelumnya.
"Barang siapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya". (QS. 4: 38).
Dan ditegaskan lagi oleh Allah dalam firmannya.
"Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan itu kepada mereka melainkan tipuan belaka". (QS. 17: 64).
Peristiwa pahit yang dialami oleh para mujahid NII sejak tahun 1970-an, penyebab utamanya yaitu telah kehilangan rujukan, sehingga telah menyimpang dari hukum / perundang-undangan, sehingga pula mengangkat kepemimpinan diluar jalur Konstitusi NII. Sebab, jika pengangkatan Imam NII tidak berdasarkan undang-undangnya, maka bisa saja terkendalikan oleh intelijen kuffar, dan pasti didalamnya terjadi kekacauan. Dalam keadaan Darurat Perang dimana wilayah NII dikuasai oleh musuh, maka musuh pun bisa membuat rekayasa pemimpin NII palsu. Karena tanpa undang-undang itu secara hukum tidak ada perbedaan mengenai figur seseorang dengan yang lainnya, sehingga tidak ada perbedaan pula antara nilai yang tidak menyerah dengan yang sudah menyerah kepada musuh. Tanpa undang-undang itu orang tidak bisa membedakan mana pemimipin NII yang sebenarnya dan mana pemimpin NII sempalan.
Sesungguhnya perjuangan NII dari mulai diproklamasikan tahun 1949 hingga tahun 1962 tidak ada kelompok-kelompok dalam perjuangan menggalang Negara Karunia Allah ini. Tetapi apa yang kemudian lahir sesudahnya adalah terjadinya perselisihan pendapat dan faham tentang siapakah yang berhak dan pantas untuk melanjutkan tugas suci sebagai pemimpin. Munculnya bibit perselisihan sekitar tahun 1974 –1979, dimana ketika mujahidin NII pecah kedalam tiga kelompok. Hal demikian diakui oleh Adah Djaelani dalam kesaksiannya dalam sidang pengadilan.”Menurut saksi, organisasi NII di Indonesia ada tiga kelompok yaitu; Kelompok yang Imam-nya Daud Beureuh, wakilnya saksi, kelompok yang Imam-nya Djadja Sudjadi (Garut Timur) dan kelompok Imam-nya H.Sobari (Rajapolah , Tasik Malaya). Sebab-sebab terjadinya pengelompokkan karena masing-masing ingin memisahkan diri dengan alasan seperti dikatakan oleh saksi: “H. Sobari menganggap kami yang menyerah tahun 1962 sebagai pengkhianat sehingga ia membentuk NII sendiri, sedangkan kelompok Djadja Sudjadi menyayangkan kami mengangkat Imam orang Sumatera sehingga ia membentuk NII sendiri”. Kelompok Djadja Sujadi dikenal dalam wadah Fillah. Sedangkan yang lainnya dikenal dalam wadah Sabilillah.
Pada sekitar tahun 90-an, kembali muncul perselisihan faham dalam pergerakan Darul Islam, setelah Adah Jaelani melimpahkan kekuasaan kepada Abu Toto (Toto As-Salam) sebagai Warasatul Mafasid (pewaris orang-orang yang membuat kerusakan). Sebenarnya Toto As-Salam ini tidak pernah terdaftar sebagai anggota DI, namun menggunakan nama NII. Dengan segala kemampuan "intelektual jahili" yang dimilikinya, dia melanjutkan warisan kepemimpinan mengatasnamakan NII dan membawahi jama’ah sekitar 50.000 orang untuk menghambur-hamburkan harta umat demi kepentingan dirinya dan orang yang turut sepaham dengannya. dengan penuh semangat pengabdian jahiliyahnya menghambur-hamburkan harta umat demi kepentingan dirinya dan orang yang turut sepaham dengannya.
Maka apa yang dikenal dan diyakini oleh sementara orang hari ini tentang Negara Islam Indonesia yang diproduk oleh kaki tangan Pemerintah RI, hanyalah merupakan rekayasa sesat dan menyesatkan (dhoollun wa mudhillun) dari tingkah polah oknum-oknum fasikun yang tidak bertanggung jawab terhadap nilai-nilai suci yang terkandung dalam Al-Quran, Al Hadist dan Qanun Asasi Negara Islam Indonesia. Prosedur syari'ah dan manhaj harakah yang telah digariskan pun banyak yang dilanggar dan diacuhkan, sehingga timbullah tajassus (saling mencari kesalahan ) diantara kalangan penerus perjuangan Darul Islam untuk menganggap bahwa pihaknyalah yang paling benar menurut ukuran masing-masing pemimpinnya serta para pengikutnya, dan bukan berdasarkan Qur’an dan Sunnah Nabi s.a.w. bukan pula menurut Undang-Undang NII. Padahal perbuatan tersebut dilarang oleh Allah.
......" Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah bergunjing antara sesamamu. Adakah seseorang di antaramu mau memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah hal itu menjijikkan kepadamu. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat dan Penyayang". (Q.S. 49: 12).

Sebagai sunnatullah yang berlaku sepanjang sejarah kehidupan manusia di muka bumi, perburuan harta dan kekuasaan, hari ini mewarnai juga dalam perjuangan kaum fasikun dalam melanjutkan estafeta tugas suci yang telah Allah amanahkan untuk umat Islam Indonesia. Bahkan sudah terjadi rekayasa dengan 'kaum kuffar' untuk mengaburkan harakah Darul Islam yang nantinya dari usaha-usaha tersebut, akan mencemarkan nama baik perjuangan NII hingga umat Islam "kembali menjadi kafir" dengan mengikuti langkah-langkah yang telah dirancang oleh Setan. Sebagian pejuang Darul Islam sudah lari dari garis-garis dasar perjuangan yang telah ditetapkan oleh Imam Negara Islam Kartosoewirjo yaitu: " tegaknya li'ilai kalimatillah fil ardhi". Padahal Imam Assyahid Kartosoewirjo telah menasehati para pejuang Darul Islam melalui firman Allah yang berbunyi:
“Innallaaha yuhibbulladziina yuqaatiluuna fi sabiilillaahi shaffan ka annahum bunyaanun marshuush”. (Q.S. 61: 4 ),
dengan terjemahan bebas:
“Bahwasanya Allah berkenan menumpahkan (segenap) kasih-sayang-Nya (hanyalah) kepada (golongan, ummat dan bangsa) orang-orang yang jihad-berperang pada jalan-Nya dengan teratur (berorganisasi, bersaf-saf, tersusun rapih, sepanjang hajat dan keperluan Jama’tul-Mujahidin tsb.), (yang bentuk, sifat, dan fungsinya) laksana bina-bina daripada sebuah tembok (bantu-membantu, bela-membela, junjung-menjunjung dst.)”.
Kemudian ditambahkan tentang penjelasan maksud tersebut oleh Kartosoewirjo, dengan satu penjelasan yang sangat rinci yang antara lain berbunyi:
"Selain dari pada itoe, dari pada isi dan djiwa Firman Allah terloekis diatas, bolehlah kiranja ditarik dan dipetik peladjaran daripadanja, jang menoendjoekkan akan pentingnja kedoedoekan, peranan dan foengsi Pimpinan dimasa Perang, dimasa Revolusi. Tegasnja: Pimpinan jang djoedjoer dan ichlas, benar dan ‘adil serta tegas, tapi bidjaksana. Ialah Pemimpin jang sanggoep hidoep dan berdjoeang bersama-sama ra’iat, sehidoep semati, senasib-sepenanggoengan, dan timboel-tenggelam bersama-sama bawahan dan ra’iat, jang mendjadi tanggoeng-djawabnja, didoenia hingga diachirat".
Peristiwa pahit yang dialami oleh kaum Nabi Musa AS, yaitu dengan dipusingkan oleh Allah karena tidak maunya mereka masuk ke Baitul Maqdis, padahal Allah telah menjanjikan hal tersebut untuk kaum Nabi Musa, ternyata dialami juga oleh pejuang NII sekarang ini, Mungkin sebagai sunnatullah pula, bahwa hal tersebut diturunkan kepada mereka semua sebagai bahan tadabbur dan tafakkur untuk tetap istiqomah dan hanif melaksanakan tugas menegakkan kalimatullah. Tidak seperti mereka yang pada tahun 1962 menyerahkan diri kepada musuh. Jangan diulangi agar diri tidak dicatat dalam sejarah sebagai orang-orang yang menyerah kepada musuh.
Jalan keluar dari perpecahan adalah kembali kepada Konstitusi / perundang-undangan NII. Kaum Bani Israil terlepas dari kebingungan, yaitu setelah menemukan Tabut sebagai peninggalan keluarga Nabi Musa dan keluarga Harun (Q.S.2 : 248). Sunnatullah bagi Al-Hak, maka apapun yang sudah menimpa warga NII, persatuan pada akhirnya akan terwujud, jika sudah menemukan kembali alat pemersatunya, yakni merujuk kepada M.K.T. No.11 tahun 1959 mengenai estapeta Imam dalam Darurat Perang, yang merupakan peninggalan Dewan Imamah NII. Sebagai embriyonya, yaitu setelah Abdul Fattah Wirananggapati keluar dari penjara musuh tahun 1982, mengadakan penggalangan terhadap para mujahid untuk merujuk kepada perundang-undangan NII. Hasil dari penggalangan itu terjalinlah kepemimpinan NII dengan rujukan hukum yang jelas.
Solusi kembali kepada undang undang ini membuat kader kader mujahid bersikap demikian ketat dalam memelihara nilai hukum. Ketika Abdul Fattah Wirananggapati ditawan tahun 1991-1996, dan pada saat itu kepemimpinan atas perintah Abdul Fattah Wirananggapati beralih pada mujahid yang bebas di luar. Kepemimpinan ini atas kesepakatan Dewan Imamah dikembalikan padanya setelah Abdul Fattah bebas. Namun ketika belakangan terbukti bahwa dirinya yang telah diangkat sebagai Imam itu memberikan pernyataan pernyataan bernada negatif saat diwawancarai oleh wartawan dari Majalah Ummat . Dewan imamah menyidangkan kasus ini, kemudian memberhentikannya pada awal tahun 1997. Adanya badan usaha yang menopang perjuangan, maka penggalangan NII berkembang semakin pesat meliputi banyak propinsi. Kebingungan lenyap. Alhamdulillaah.

Syahidnya Seorang Ulama Besar/Negarawan Sejati dan Estafeta Kepemimpinan

Bab Sembilan

Syahidnya Seorang Ulama Besar/Negarawan Sejati dan Estafeta Kepemimpinan

Tentang kisah wafatnya S.M. Kartosoewirjo, ternyata Sukarno dan A.H. Nasution cukup menyadari bahwa S.M. Kartosoewirjo adalah tokoh besar yang bahkan jika wafat pun akan terus dirindukan umat, maka mereka dengan segala konspirasinya, didukung oleh Umar Wirahadikusuma, berusaha menyembunyikan rencana jahat mereka ketika mengeksekusi Imam Negara Islam ini. Ketika pihak keluarga Kartosoewirjo mengajukan permintaan kepada pemerintah untuk mengambil jenazah orangtuanya yang seterusnya akan dikebumikan di Tasikmalaya, sebagaimana wasiat yang ditulis sebelum meninggalnya. Namun lagi-lagi permintaan ini ditolak oleh A.H. Nasution yang disaat itu menjadi Menhankam setelah berkonsultasi dengan Soekarno. Kalau jenazahnya tidak dikembalikan ke keluarganya, maka pihak keluarganya juga meminta agar bisa melihat di mana kuburan atau pusaranya. Namun, anehnya, permintaan ini pun tidak diberikan oleh Soekarno. Kartosoewirjo benar-benar berpisah dengan keluarganya dan juga dengan umat Islam Indonesia. Pemisahan ini memang disengaja oleh Soekarno yang ketakutan terhadap kekuatan spiritual yang bisa dimunculkan oleh tokoh S.M. Kartosoewirjo ini di masa depan.
Sekalipun jasad beliau telah tiada dan tidak diketahui di mana pusaranya berada karena alasan-alasan tertentu dari pemerintahan Soekarno, tapi jiwa dan perjuangannya akan tetap hidup. Itulah makna dari firman Allah:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu mati); bahkan sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”. (QS. 2:154).
Terbukti ketika seminggu sebelum eksekusi dilaksanakan terhadap Imam Negara Islam Indonesia Kartosoewirjo, melalui dialog antara Kartosoewirjo dengan seorang Mujahid Darul Islam, yang waktu itu sama-sama menjadi tawanan Pemerintah RI antara lain sebagai berikut ini:
Z.H. : “Kalau saya mau tanya Imam, bagaimana ya, bisa atau tidak?”
K. : “Hayo tanya apa !
Z.H. : “Ini, seandainya Imam berhalangan, untuk selanjutnya itu bagaimana kira-kira?”
K. : “Itu bagus sekali kalau begitu. Ya, lanjutkan !
Z.H. : “ Ya, kalau lanjutkan itukan mesti saya konsolidasi dulu nanti”.
K. : “Tidak begitu ! Disini !
Z.H. : “Kalau di sini bagaimana ini ya?”
K. : “Begini, di sana sahabat kita ada beberapa orang?
Z.H. : “Ada banyak, ada Pak Kiayi Maksum, Haji Sobari”.
K. : “ Nah, sekarang begini, kalau memang ada Pak Kiayi Sobari, ya, tolonglah bantu dengar dengan Pak Kiayi Maksum supaya saya ini mengamanatkan kepada beliau sampaikanlah kepada Pak Kiayi Haji Sobari, lanjutkan dan bentuklah di sini secara sederhana bentuk organisasi sementara. Nah, kemudian pimpinlah sementara !”.
Z.H. : “ Ini, bagaimana Imam kalau Pak Kiayi haji Sobari itu bertahan tidak mau terima, sebab ini urusannya berat?”.
K. : “Sementara ini ! Ini harus terima, karena ini kan tidak permanen. Di situ ada struktur organisasi negara yang perlu menangani nanti kalau sudah ketemu dengan dia, serahkanlah pada dia. Dia yang harus mampu mengembalikan. Jadi, lanjutkan perjuangan ini. Ikutilah kondisi dan situasi !”.
Z.H. : “Bagaimana kalau nanti saya dapat keluar kemudian saya mau mengunjungi putra bapak Den Dodo atau yang lain-lainnya?’.
K. : “Nanti dulu, ya, sekalipun Dodo itu anak saya atau yang lain anak saya, itukan harus “wudhu” lagi !”.
Imam mengatakan harus wudhu lagi, karena beberapa hari sebelum dialog itu, telah datang seorang Letnan Kolonel yang pada dadanya dicabut namanya, membawa map. Pertama ia hormat kepada Imam. Ia hormat juga kepada pemeriksa. Ia menyodorkan isi daripada pernyataan dari yang 32 orang. Ia memperlihatkan juga kepada Imam . Imam tidak kelihatan panik. Bahkan beliau ditanya, “Bagaimana Pak Imam mengenai pernyataan ini?”. Imam dengan tenang, jawab beliau, “Keseluruhannya orang itu sudah mengundurkan diri dan sudah dianggap batal. Jadi, itu bukannya hanya menyerah, tapi menyeberang !”. Dari dialog tersebut diambil kesimpulan bahwa dalam keadaan sedarurat apapun perjuangan harus terus dilanjutkan. Pemimpin perjuangan harus tetap ada, seperti diwashiyatkannya di tahun 1959, bahwa prajurit petit pun dalam keadaan terputus hubungan dengan para perwira harus sanggup tampil mengemban tugas sebagaimana Imam. Apabila keadaan telah berangsur pulih dan hubungan dengan para panglima yang lain bisa dilakukan kembali, maka struktur kepemimpinan negara harus kembali kepada seperti apa yang dinyatakan dalam perundang undangan.
Keteguhan Kartosoewirjo seperti dinyatakan di atas menjadi bukti bahwa dia berjuang di atas keyakinannya yang utuh. Syahidnya Kartosoewirjo tidak menghancur kan nilai negara yang telah didirikannya. Ia tidak menyerah, lebih baik pergi menyongsong syahid, dari pada harus menyerah seperti bawahannya. Ia rela menyaksikan nyawanya lepas dari badan, daripada proklamasi Negara Islam Indonesia dicabut kembali.
Kartosoewirjo tetap konsisten seperti diwashiyatkannya pada tahun 1959, kalaupun warga negara Islam berjuang, baik angkatan perang maupun sipilnya, terputus hubungan dengan pimpinan, maka perjuangan harus terus dilanjutkan. Prajurit petit pun harus sanggup tampil sebagaimana Imam, dalam keadaan hilang syarat berjuang pun, selama kebathilan masih ada, selama itu pula perjuangan harus terus dilanjutkan –kalaupun hanya tinggal punya satu gigi, gunakan gigi yang satu itu untuk menggigit ! Permasalahnnya sekarang, siapakah yang melanjutkan perjuangan ini setelah Kartosoewirjo menemui syahidnya?
Banyak kalangan berpendapat bahwa dari tahun 1962 hingga tahun 1965 tampuk kepemimpinan NII dipegang oleh Kahar Muzakar. Dilanjutkan oleh Agus Abdullah hingga tahun 1970. Setelah Agus Abdullah wafat, kepemimpinan dipegang oleh Tengku Daud beureueh dari tahun 1973 hingga 1978. Dan dari tahun 1978 – 1981 dipegang oleh Adah Djaelani Tirtapradja. Dibalik kepemimpinan Adah Djaelani Tirtapradja itu ada juga yang dipimpin oleh Djadja Sudjadi dari Malangbong – Garut.
Adanya pandangan sedemikian di atas itu disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yaitu:
a) Tidak memakai peraturan estapeta kepemimpinan NII yang berdasarkan perundang-undangan NII sehingga mengangkat pemimpin hanya berdasarkan figuritas atau idolanya masing-masing.
b) Sebagian besar dari para mujahid belum memahami nilai hukum mengenai yang sudah desersi dari NII atau menyerahkan diri kepada musuh sehingga dianggap masih bisa diangkat sebagai pemimpin NII.

Padahal mengenai estapeta (kelanjutan) kepemimpinan NII Dalam Darurat Perang itu sudah ada undang-undangnya. Hal demikian tercantum dalam MKT (Maklumat komandemen Tertinggi) No.11 tahun 1959 . Dengan tegas bahwa dalam Negara Islam Indonesia yang berhak memegang estapeta Imam NII itu ialah yang terdiri dari A.K.T. atau yang jabatannya setaraf dengan A.K.T. seperti halnya K.S.U. dan K.U.K.T.(Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi).
Ditinjau dari sudut sejarah bahwa sebelum Imam S.M. Kartosoewirjo tertangkap musuh tanggal 4 Juni 1962, beberapa tokoh tersebut di atas memiliki catatan sendiri sendiri diantaranya :
Kahar Muzakar sudah membatalkan NII dengan memproklamirkan R.P.I.I tanggal 14 Mei 1962, artinya sejak itu Kahar Muzakar bukan lagi sebagai pejabat NII.
Agus Abdullah masih bertahan sewaktu Imam tertangkap 4 Juni 1962, namun dua puluh hari kemudian Agus Abdullah itu menyerah kepada pemerintah R.I. Dengan itu bukan lagi sebagai A.K.T.
Daud Beureuh, dirinya sudah kembali kepada Pemerintah RI tanggal 9 Mei 1962 sebelum Imam tertangkap tanggal 4 Juni 1962. Jadi, sebelumnya juga sudah bukan lagi sebagai A.K.T.
Adah Djaelani Tirtapradja menyerah kepada musuh tanggal 28 Mei 1962, dengan itu dirinya sudah bukan A.K.T. lagi.
Djadja Sudjadi memang dirinya sampai Imam tertangkap 4 Juni 1962, tidak menyerah yakni tidak datang melaporkan diri kepada musuh, namun akhirnya ikut juga menandatangani “Ikrar Bersama” 1Agustus 1962 sehingga lenyap pula jabatan yang diembannya dalam NII.
Dengan gugurnya jabatan mereka dalam NII, maka secara hukum pengangkatan mereka bertentangan dengan undang-undang NII.
Sungguh penting mengetahui sejarah. Firman Allah: “…Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir” (Q.S.7:176). Dari ayat di atas itu diambil arti, bagi yang tidak mau mengetahui sejarah sama artinya dengan yang tidak mau berpikir secara obyektif sehingga tidak bisa mengambil pelajaran dari sejarah. Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang mensitir mengenai orang-orang yang meninggalkan tugas (Q.S.5:54, 33:13-15) dari medan perang. Tentu, hal itu supaya menjadi peringatan bagi generasi penerusnya sehingga jangan terulang kembali. Allah memerintahkan kita menceritakan sejarah (Q.S.7:176), berarti sejarah itu cepat atau lambat akhirnya akan
terungkap pula, walau tidak sedap dibacanya. Seperti halnya lembaran “Ikrar Bersama” 1 Agustus 1959 di bawah ini :


Untuk lebih jelasnya, berikut salinan dari ikrar bersama tersebut :


IKRAR BERSAMA
Bismillahirrachmanirrachim.
Allah Jang Maha pengasih dan Penjajang telah membukakan mata-hati nurani kami, memberi kesadaran dan keinsjafan kepada kami tentang kesesatan kami dan kemelaratan jang diakibatkan oleh perbuatan2 kami, maka kami bekas pimpinan apa jang dinamakan DI/TII/NII dengan ini menjatakan:
1. Bahwa gerakan kami dulu (DI/TII/NII dan segala sesuatu jang berhubungan kepadanja) adalah sesat, salah dan menjalahi Hukum2 Islam, Hukum2 Kenegaraan, norma2 kemanusiaan dan bertentangan dengan djalan jang seharusnja ditempuh untuk memperdjoangkan idiologie Islam menurut petundjuk2 Allah s.w.t. dalam Al-Qur’an dan Sabda Nabi Muhammad s.a.w.
2. Bahwa kami telah berbuat dosa terhadap Masjarakat Djawa-Barat chususnja dan masjarakat Indonesia umumnja atas gerakan2 kami pada masa jang lalu, atas dosa2 mana kami mengharapkan ampunan masjarakat dan kami sanggup menebus dosa tersebut dengan djalan mewudjudkan perbuatan jang berfaedah, demi kepentingan masjarakat dan Negara R.I.
3. Bahwa kami telah melepaskan diri lachir dan bathin dari ikatan apa jang dinamakan DI/TII dan NII seraja bertaubat memohon ampunan Allah s.w.t. menjesal sebesar-besarnja atas perbuatan2 kami dulu dan berdjandji untuk tidak mengulanginja.
4. Bahwa djalan jang ditempuh oleh Pemerintah R.I. dengan segala dasar/haluan politik dan pembangunannja adalah djalan jang benar dan diridloi Allah s.w.t. dan oleh karenanja dalam pengabdian kepada Agama dan Negara, kami bersumpah:
Demi Allah:
 Setia kepada Pemerintah R.I. dan tunduk kepada Undang2 Dasar R.I. 1945.
 Setia kepada Manifesto Politik R.I., Usdek, Djarek jang telah mendjadi garis besar haluan Politik Negara R.I.
 Sanggup menjerahkan tenaga dan fikiran kami guna membantu Pemerintah R.I. cq. Alat2 Negara R.I.
 Selalu berusaha mendjadi Warga Negara R.I. jang ta’at, baik dan berguna dengan didjiwai Pantja sila.
5. Bahwa kami mempertjajakan serta akan menerima dan menta’ati seluruh tjara penjelesaian nasib kami, jang meliputi lapangan hukum, politik dan sosial, kepada kebidjaksanaan Pemerintah Republik Indonesia.
6. Kami jakin bahwa Mudjahidin lainnja akan mengikuti djedjak kami.
Semoga pernjataan kami ini diberkahi Allah s.w.t.
Amien Jaa Robbal A’lamien.-

Bandung, tgl. 1 Agustus 1962.-
Kami jang mengeluarkan Ikrar.-


Agus Abdullah Sukunsari.
Djadja Sudjadi Widjaja.
Adah Djaelani Tirtapradja.
Hadji Zaenal Abidin.
Ateng Djaelani Setiawan.
Danu Mohamad Hassan.
Mohamad Godjin.
Toha Machfud.
Dodo Mohamad Darda.
Tachmid.
Cholil.
Hassan Anwar.
Atjeng Abdullah Mudjahid.
Maskun Sudarmi.
Atjeng Hadjar.
Rahmat Slamet.
Ules Sudja’i.
Engkar Rusbandi.
Hadji Jusuf Kamal.
Usman.
Sjarif Muslim.
Hadji Zakaria.
Bakar Misbah.
Emod Hasan Saputra.
Achmad Mustofa Hidajat.
Sobir.
Mubaroq.
Zainudin Abd. Rahman.
Hadji Djunaedi.
Tohir.
Salam.
O.Z.Mansjur
Ada yang berdalih bahwa hal di atas itu karena dipaksa. Namun, bisanya dipaksa karena didahului dengan sebab datang lapor kepada musuh. Jadi, masalahnya itu ialah penyebabnya, dan bukan akibatnya .
Para mujahid NII, baik itu pada strata bawah maupun atas tidak semuanya memiliki nilai menyerah kepada musuh. Jadi, pada saat Imam S.M. Kartosoewirjo menjalani eksekusi di hadapan regu tembak, masih ada figur yang jabatannya setaraf dengan A.K.T. yaitu Abdul Fattah Wirananggapati sebagai K.U.K.T.(Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi). Beliau tidak menyerah kepada musuh, melainkan tertangkap di Jakarta tahun 1953 sekembalinya dari Aceh melaksanakan tugas dari Imam mengangkat Daud Beureuh sebagai Panglima Wilayah V TII (Tentara Islam Indonesia) Cik Di Tiro. Dan dikeluarkan dari penjara Nusakambangan tahun 1963. Kemudian setelah aktivitasnya tercium oleh Pemerintah RI maka tahun 1975 dipenjarakan lagi, dan keluar tahun 1982. Setelah beliau aktif memberikan penjelasan mengenai perundang- undangan NII serta mengkoordinasi para mujahid, maka pada tahun 1991 Abdul Fattah Wirananggapati itu tertangkap kembali, dan dibebaskan tanggal 2 Agustus 1996. Mengenai kelanjutan estapeta kepemimpinan NII sesudah Abdul Fattah Wirananggapati bukan pada tempatnya dikemukan dalam uraian ini.
Adanya kekeliruan pada masa yang telah lampau mengenai estapeta kepemimpinan NII adalah lumrah karena ketidakpahaman akibat proses memiliki keilmuan serta menerima pemahaman sedemikian adanya. Akan tetapi, jika sudah datang Bayyinah (penjelasan) mengenai perundang-undangan serta sejarah mengenai figur-figur yang jabatannya tertera dalam undang-undang itu, maka wajib mengikuti bayyinah sehingga tidak berselisih. Firman Allah:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang meendapat siksa yang berat.” (Q.S.3:105).
Kartosoewirjo memerintahkan dalam MKT No. 11 antara lain berbunyi:
"Ikutilah zaman, jang beredar setjepat kilat dan kedjarlah waktu, dan djanganlah biarkan waktoe mengejar-ngejar kita !. Goenakanlah tiap sa’at dan detik oentoek menoenaikan perang mentegakkan Kalimatillah, dalam bentoek dan sifat apa dan manapoen !. Ketahoeilah ! Sekali lampau, ia tidak beroelang kembali !. Songsonglah kedatangan kembali Imam Plm. T., dengan realisasi M.K.T. Nomor 11 ini !".
Kemudian ditambahkannya lagi:
"Toenjoekkanlah boekti patoeh-setiamoe kepada Allah ! kepada Rasoeloellah Çlm. ! Dan kepada Oelil-Amrimoe, Oelil Amir Islam, tegasnja: Imam-Plm. T. !. Itoelah jalan Jihad fi Sabilillah, satoe-satoenja Sirathal-Moestaqim !".
Begitu dalamnya ungkapan yang diucapkan oleh Kartosoewirjo, dan mengisyaratkan kepada kita bahwa totalitas kehidupan dalam mendarma baktikan diri kepada Allah sudah terpatri begitu kuat dalam jiwa Kartosoewirjo sehingga tidak ada kesempatan barang sedikitpun untuk dia bermain-main dengan kehidupan dunia."Hayatuna kulluha ibadatun" (Kehidupan kami seluruhnya hanya untuk satu pengabdian). Mungkin ungkapan ini, dapat menggambarkan tentang kepribadiannya secara menyeluruh.
Estafet kepemimpinan Negara Islam Indonesia tetap berlanjut dan eksis untuk beberapa waktu karena dipegang oleh orang-orang hanif dan konsekwen sebagai penerus perjuangannya, dan hal itu memang sudah digariskan oleh Kartosoewirjo dalam penjelasan lain di MKT No. 11 yang berisi:
"Pada ‘oemoemnja segala saloeran kenegaraan, dalam bidang-bidang Militer maoepoen dalam lapangan politik, joega selama masa perang ini, berjalan teroes melaloei systeem Komandemen, seperti jang tetap berlakoe hingga sa’at ini. Tetapi disa’at-sa’at genting-roencing, dimana Imam. Plm.T. mengeloearkan Komando ‘Oemoem, maka disa’at itoe kita hanja akan mengenai 2 (doea) tingkatan Pimpinan Perang, Pimpinan Negara dan Pimpinan Jama’ah Mujahidin, Pimpinan Oemmat berjoeang, Ja’ni:
Tingkatan Pimpinan Perang pertama selakoe pemberi Komando, ialah: 1. Imam-Plm.T., 2. Plm. Per. K.P.W.B., 3, Plm. Per. K.P.W., dan 4. Kmd. Pertempoeran Kompas;dan
Tingkatan Pimpinan Perang kedoea selakoe pelaksana Komando, terdiri daripada Kmd.2 Pertempoeran sejak Kmd. Pertempoeran Soeb-Sektor/Kmd. Lapangan/Kmd.2 Komandemen hingga sampai Kmd2. Baris, pelaksanaan mana akan melipoeti lapisan-lapisan ra’iat jelata seloeroehnja, tanpa kecoeali.
Sendi-dasar bagi tiap gerak-langkah kedepan, teroetama disa’at-sa’at jang menentoekan, seperti tergambarkan diatas, perloe diletakkan moelai sekarang oentoek menghindarkan tiap-tiap pengjimpangan, penjelewengan, persimpang-sioeran, atau pertentangan dalam saloeran, pimpinan dan pelaksanaan segala toegas-toegas moethlak, menoenaikan hoekoem-hoekoem Jihad, Hoekoem-hoekoem Perang sepanjang ajaran Islam.
Dengan cara, sifat dan bentoek, sepanjang isi dan jiwa M.K.T. Nomor 11 ini, maka Insja Allah terhindarlah Negara kita, Negara Islam Indonesia, istimewa dimasa Hoekoem Perang masih berkobar, daripada setiap jenis, sifat dan bentoek Doealisme, dalam bidang dan lapangan apa dan manapoen. Sehingga dilingkoengan Negara kita hanja dikenal satoe Pimpinan Negara, jang joega bertoegas memegang Pimpinan Perang dan Pimpinan Oemmat Berperang.
Dalam pada itoe, tiap-tiap Moejahid, teroetama Pemimpinannja, haroes percaja dan jakin dengan sepenoeh jiwanja, akan benarnja perintah-perintah Allah, perintah-perintah Nabi Çlm. Dan perintah-perintah Imam-Plm. T., jang terealisasi dalam Hoekoem-hoekoem Jihad dan Perintah-perintah Jihad beserta pelaksanaannja. Tegasnja tiap Moejahid, choesoes Pemimpin Moejahid, haroes percaja, dan jakin akan benarnja tiap-tiap tingkah-lakoenja, berwoejoedkan amal-amal pembinaan Negara Koernia Allah, Negara Islam Indonesia. Dikala Jama’atoel-Moedjahidin meroepakan satoe kesatoean Oemmat kompak, dlahir dan bathin, tidak tercerai berai dan tidak berpecah belah, maka baroelah setiap anggauta atau bagian Djama’ah tsb. berhak menerima dan menikmati kasih-sajang dan Koernia Allah.
Tapi apa yang terjadi sebaliknya dari hal di atas itu, pada tahun 1978 terjadi pembunuhan terhadap Djadja Sudjadi oleh Adah Djaelani cs . Saksi Toha Machfud dalam persidangan ‘membenarkan tahun 1978 ia mendapat perintah dari terdakwa untuk memimpin pelaksanaan pembunuhan. Namun ketika operasi berlangsung, saksi hanya menunjukkan rumah Djadja Sudjadi, sedangkan yang membunuhnya adalah Komandan Pasus, Syarif Hidayat .
Tanpa satu alasan yang syar'i dengan begitu mudahnya mereka menghilangkan nyawa seorang mu'min. Padahal membunuh manusia merupakan satu dosa besar setingkat dibawah dosa melakukan kemusyrikan. Allah berfirman:
"Dan barang siapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam." (Q.S. 4: 93).
Terjadinya pembunuhan terhadap Jaja ini awal mula dari kehancuran sendi-sendi moral para pejuang Darul Islam dan terpecah belahnya kesatuan jama'ah mujahidin. Selanjutnya, setelah terbunuhnya Jaja, Adah Jaelani dengan cara yang sangat kontroversial bekerja sama dengan Ali Moertopo, ketua CSIS (Center for Strategic and International Studies), L.B. Moerdany dan Soedjono Hoemardhani untuk menghidupkan kembali NII atau DI, yang rencananya pun telah disiapkan begitu matangnya, sampai orang yang mutaakhir tidak mengetahui tentang kejadian ini. Maka terhadap orang yang belum mengerti betul akan sejarah perjuangan Darul Islam yang sekarang, hendaklah mentabayyunkan dengan orang yang berpengetahuan jangan sampai tersesat dari jalan yang lurus. Karena Allah telah berfirman:
"Jika datang kepadamu orang-orang yang fasik dengan membawa berita, maka telitilah terlebih dahulu dengan seksama. Supaya kamu jangan sampai mencelakakan orang lain tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya, sehingga kamu nanti akan menyesal atas kecerobohanmu itu." (Q.S. 49: 6).
Begitupun program yang dilaksanakan Adah Jaelani hanyalah untuk memeras uang rakyat demi kekayaannya sendiri. Sungguh satu perbuatan yang tercela bila hal itu terjadi pada kehidupan seorang mu'min. Allah swt. Berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan yang bathil,......." (QS. 4: 29).
Ternyata, bagian dari kehidupan yang rendah telah menodai langkah perjuangan mereka, dibandingkan mengambil kehidupan yang hakiki di akhirat kelak. Dalam kondisi hidup perjuangan yang sedang mengalami pasang surut ini, Kartosoewirjo telah memberikan penjelasan yang sangat rinci tentang bagaimana cara mengorganisir Negara untuk bekal para pejuang Darul Islam. Di dalam sebuah penjelasan maklumatnya, ia menerangkan:
"Soedah agak lama kita beladjar hidoep berorganisasi, dan memang tiada manoesia, djiwa moedjahid, jang pandai berdiri sendiri, jang tidak tergantoeng, tidak terpengaroeh atau tidak memerloekan sesoeatoe diloear pribadinja. Moela pertama kita merasa hidoep seorang diri. Lambat-laoen perasaan itoe meningkat hingga mendjadi kesadaran dan keinsjafan selakoe anggauta sesoeatoe keloearga. Dan selandjoetnja meningkat lagi, hingga kita merasa dan menganggap diri kita, insjaf dan sadar sepenoehnja, sebagai warga masjarakat dan negara, warga oemmat dan bangsa. Dengan meningkatnja nilai perasaan dan anggapan, jang kemoedian terrealisir dalam kelakoean dan perboeatan, maka makin bertambah2 meningkat poela rasa tanggoeng djawab kita. Sebagai seorang diri, kita hanja bertanggoeng djawab atas diri kita. Sebagai warga sesoeatoe keloearga atau kelompok, tanggoeng djawab kita meningkat mendjadi tanggoeng djawab terhadap keloearga dan kelompok".
"Begitoelah selandjoetnja, sebagai warga sesoeatoe oemmmat, bangsa atau djama’ah, maka pertanggoeng djawab kita akan melipoeti seloeroeh oemmat, bangsa dan djama’ah itoe. Rasa tanggoeng-djawab jang makin meningkat itoe, tidak hanja akan menambah besarnja hak kita, melainkan djoega makin menambah besar dan beratnja kewadjiban antar-warga, antar-kelompok dan antar-oemmat."
"Sjahdan, dengan sandaran Ma’loemat K.T. jang mendjadi sendi-dasar hidoep dan perdjoeangan kita, hidoep dan berdjoeang hanja oentoek melaksanakan toegas Ilahy moethlak, merealisir dharma jang tertanam dalam djiwa setiap Moedjahid, maka seloeroeh Barisan Moedjahidin tanpa kecoeali, dimanapoen mereka berada dan bertoegas, terikat erat satoe sama lain demikian roepa, baik oleh Bai’at Negara, Bai’at Djabatan, Bai’at Setia maoepoen Bai’at selakoe Moedjahid, sehingga mereka itoe berwoedjoedkan satoe Djama’ah Besar, jang anggauta-anggautanja terdiri daripada tiap-tiap Moedjahid dan Moedjahidah, tegasnja: Djama’ah Besar Moedjahidin. Selakoe warga Djama’ah Besar Moedjahidin, maka tiap-tiap Moedjahid akan merasa makin bertambah-tambah besar dan mendalamnja rasa-setiakawannja, rasa-tanggoeng-djawabnja, rasa wadjibnja. dst. dst. dst., sampai-sampai achirnja melipoeti seloeroeh Oemmat dan Bangsa, Negara dan Agama. Hendaklah semangat, kesadaran dan keinsjafan seroepa itoe ditanam dalam-dalam dan dipoepoek baik-baik dalam djiwa setiap Moedjahid, dan kemoedian diperkembangkan dan diwoedjoedkan dalam bentoek amal dan djasa2, baik djasa terhadap Oemmat dan Bangsa maoepoen terhadap Negara dan Agama. Djika demikian halnja, maka cita-cita Baldatoen Thajibatoen wa Rabboe Ghafoer boekan impian atau khajalan belaka. Daja selamat-menjelamatkan, daja rahmat merahmati dst. dst. akan samboeng menjamboeng tidak koendjoeng-poetoes, sehingga melipoeti seloeroeh Oemmat dan bangsa, seloeroeh Negara dan Agama. Demikianlah “dharmaning ksatrija soeci” pentegak-Kalimatillah ! Harap direnoeng-resapkan sebaik-baik dan sedalam-dalamnja, hingga terwoedjoed dalam bentoek boekti-kenjataan jang sebenarnja."
Jika para pejuang belum insyaf terhadap kekeliruannya bahwa apa yang telah mereka lakukan sebelumnya hanyalah menguntungkan kaum kafir dan sangat melemahkan posisi keberadaan Negara Islam. Dan terlebih lagi mereka telah melupakan statemen Imam Negara Islam kartosoewirjo tentang hal tersebut di atas. Padahal kalau dibandingkan dengan Soekarno—yang menyandang gelar Paduka Yang Mulia—belumlah seberapa kemampuannya untuk menciptakan sebuah negara yang begitu kuat dan kokohnya, hanya karena dibelakang Kartosoewirjo para pejuang tidak siap untuk berjiwa militan maka mengalami kemunduran setelah meninggalnya Kartosoewirjo. Semoga dalam hal ini janji Allah untuk mendatangkan satu kaum yang lebih baik dan lebih siap melanjutkan misi-Nya segera hadir dengan segala kebenarannya sebagaimana yang tertera dalam Al-Quran, Surah Al Maidah, ayat 54.
"Siapa saja diantara kalanganmu yang murtad dari din-Nya , maka Allah akan mendatangkan satu kaum yang Allah cinta kepada mereka, begitupun mereka cinta kepada-Nya,..."
Padahal kalaulah mereka para pejuang mujahidin mau mengerti tentang situasi dan kondisi umat hari ini, yang mereka semua merindukan kehadiran " Juru Penyelamat" untuk melepaskan dan mengeluarkan mereka dari kondisi keterjajahannya dari penguasa dzalim di bumi Indonesia. Maka tentulah mereka semua umat Islam siap dibelakang para pejuang untuk membela jihad suci baik berupa harta bendanya atau jiwanya sekalipun.Tetapi sangat disayangkan, risalatul haq kepada mereka untuk saat ini belum sampai, mungkin juga disebabkan para pejuang mujahid Darul Islam belum memberikan kontribusi apa-apa demi kemajuan Islam pada umumnya. Belumlah tampil untuk waktu sekarang sosok pejuang sejati pengganti para mujahidin terdahulu sebelum mereka.
Imam Assyahid Kartosoewirjo telah meletakkan dasar-dasar manhaj harakah Darul Islam dari segi akhlakul karimah, bagaimana seharusnya Negara Islam Indonesia yang telah diproklamasikannya dibawa oleh para penerusnya.

1. Membina rasa cinta, tha'at, setia dan patuh.
Tha’at-patuh tanpa rasa-cinta setia, akan merasakan kaku-tegang dan kurus-kering-tandus, laksana suara irama. Bahkan kadang-kadang terasakan sebagai sesuatu yang keras dan kejam, kasar dan bengis. Demikian pula benar dan adil, tanpa qisthi dan palamarta. Maka untuk memperoleh hasil amal jang sempurna, jasa-jasa jang besar manfa’at dan maslahat untuk umum, untuk Ummat, Negara dan Agama, maka kuncinja terletak dalam jiwa, atau lebih tegasnja: jiwa Mujahid yang harmonis, selaras dengan tugasnja.
Mujahid yang memiliki keselarasan jiwa ini akan menunaikan segala tugas wajibnja dengan sepenuh-jiwanja, dengan tekun, dengan khusu’ dan khudlu tanpa menghiraukan atau terpengaruh oleh sesuatu diluarnya. Dan keselarasan jiwa itu hendaknya bersifat vertikal (1) mulai tingkatan pemimpin teratasi hingga bawahan yang terendah, dan sebaliknya, dan bersifat pula horizontal (2), merata-mendatar, hingga sampai meliputi Jama’atul-Mujahidin sebagai kesatuan dan keseluruhan.
Maka pokok-pangkal daripada keselarasan jiwa itu terletak pada rasa-cinta, ialah rasa-suci-murni. Yang bersemajam dalam lubuk kalbu setiap Mujahid sejati.
Bagi membina jiwa baru, atau menanam jiwa jihad, jiwa yang sanggup dan mampu menyelaraskan diri dengan hukum-hukum Jahad, jiwa yang berani bertindak menyalurkan tingkat-laku dan amal-perbuatannya dengan Hukum-hukum Jihad, maka landasan pembinaan jiwa kesatria suci semacam ini a.l.l. adalah sbb:
Rasa-cinta setia kepada Allah (Mahabbah) dalam ma’na dan wujudnya:
= sanggup dan mampu melaksanakan tiap-tiap perintah-Nya dan menjauhi tiap- tiap larangan-Nya, tanpa kecuali dan tanpa tawar-menawar;
= mendahulukan dan mengutamakan pelaksanaan perintah-perintah Allah, daripada sesuatu diluarnya; dan
= mendasarkan tiap-tiap laku lampah dan amalnya atas Wahdanijat Allah, tegasnya: atas Tauhid sejati, dan tidak atas alasan, pertimbangan dan dalil apapun, melainkan hanya berdasarkan Khulishan-mukhlisan semata, atau dengan kata-kata lain: “Allah-minded 100%.
Rasa-cinta-setia kepada Rasulullah Çlm., dalam ma’na dan wujud:
= sanggup dan mampu merealisir ajaran dan Sunnah Çlm., dengan kepercajaan dan kejakinan sepenuhnya, bahwa tiada contoh dan tauladan lebih utama daripada ajaran dan Sunnahnya: khusus dalam rangka jihad, tegasnya rangka usaha membina Negara Madinah Indonesia; dan
= pantang melakukan sesuatu diluar ajaran dan hukum Islam, sepanjang Sunnah, hingga mencapai taraf “Islam-minded 100%”.
Rasa-cinta setia kepada Ulil-Amri Islam, atau Imam N.I.I., atau Plm. T. A.P.N.I.I., yang didalamnya termasuk (1) rasa-cinta-setia kepada pemerintah Negara Islam Indonesia, dan tidak kepada sesuatu Pemerintah diluarnya; (2) rasa cinta-setia kepada Negara Islam Indonesia, dan tidak kepada sesuatu Negara diluarnya; (3) rasa-cinta-setia kepada Undang-Undang (Qanun-Asasy) N.I.I., dan tidak kepada Undang-undang negara manapun; dst. dst. dst., yang semuanya itu tercakup dalam istilah “Negara Islam Indonesia-minded 100%”.
Catatan.
Kita hanya mengenal satu Ulil Amri Islam, satu Imam-Plm. T. A.P.N.I.I., tidak lebih, dan tidak kurang.
Tiap-tiap kepercayaan, keyakinan, anggapan dan perlakuan, yang menyimpang atau bertentangan dengan dia, adalah sesat dan menyesatkan, salah, keliru dan durhaka.
Rasa-cinta-setia kepada tanah-air, ummat dan masyarakat, sampai-sampai kepada diri – pribadi, dengan catatan dan perhatian:
= bahwa kecintaan dan kesetiaan kita dalam hubungan ini tidak sekali-kali boleh melanggar atau menyimpang, melebihi atau mengurangi barang apa yang termaktub pada huruf-huruf A., B. dan C. diatas; melainkan semuanya tetap berlaku dalam batas-batas rangka jihad dan usaha jihad, dan tidak sesuatu diluarnya.
Dan rasa-cinta-setia kepada tugasnya, tugas dan wajibnya melaksanakan Jihad-berperang pada Jalan Allah, karena Allah, untuk mentegakkan Kalimatillah, langsung menuju Mardlatillah, lebih dan dilebihkan daripada setiap kecintaan diluarnya, dalam makna dan wujud:
= percaya dan yakin dengan sepenuh jiwanya, bahwa Jihad adalah satu-satunya dharma-bakti muthlak dan maha-suci ‘indallah wa ‘indannas, yang boleh membawa pelakunya naik meninggi sampai kepada harkat-derajat yang termulia, dibawah para Anbiya-Allah dan para Rasulullah;
= karena Jihad berhukumkan Fardlu’ain dan Fardlu kifayah (bersama-sama), maka pada tiap-tiap sa’at Allah berkenan mengidzinkannya, wajib jihad itu diletakkan atas pundak tiap-tiap Mujahid dan atas pundak seluruh Jama’ah Mujahidin, atau dengan kata-kata lain; atas seluruh ummat, tanpa kecuali.
= percaya dan yakin sepenuhnya, bahwa Jihad fi sabilillah adalah satu-satunya cara, laku, usaha dan ‘amal memperjuangkan Keluhuran Agama Islam, Kedaulatan Negara Islam Indonesia beserta Hukum-hukum Syari’at Islam yang menjadi sendi-dasarnya, dan Kebahagiaan Ummat dan Bangsa, yang berharap ingin mengucap-menikmati Kurnia Allah yang Maha-Besar, dalam Kerajaan Allah didunia dan diakhirat, atau sekurang-kurangnya dalam lingkungan Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur di Indonesia atau Negara Islam Indonesia, ialah ujung kesudahan cita-cita Ummatul-Mujahidin, Ummat pilihan dan kekasih-Allah di Indonesia; dan
= sanggup serta mampu menyalurkan tiap-tiap gerak-langkah dan tingkah-lakunya, dlahir maupun bathin, sepanjang Hukum-hukum Jihad; Hukum-hukum Islam dimasa Perang, sehingga menjadi Mujahid tulen dan Mujahid sejati genap-lengkap dlahir-bathin, tegasnya Mujahid yang “Jihad minded 100%, kejakinan mana akan mendorong Mujahid-pelakunya:
Untuk menumpahkan dan mengorbankan segenap tenaga dan hartanya hanya pada Jalan yang ditaburi rahmat dan ridla Ilahy;
- Untuk menggunakan tiap detik sepanyang umurnya hanya bagi jihad mentegakkan Kalimatillah;
Untuk mempertaruhkan jiwa, raga dan nyawanya hanya untuk persembahan dharma-bakti muthlak kepada Dzat ‘Azza wa Jalla semata; tegasnya hanya untuk mentegakkan Kalimatillah, mendhahirkan Kerajaan Allah didunia, khusus dipermukaan bumi Allah Indonesia. Dan tiada sesuatu diluarnya.

2. Menggalang Benteng Islam Nan Kuat Sentausa.
Jika Jama’atul-Mujahidin sungguh-sungguh sanggup, mampu dan kuasa mewujudkan ajaran-ajaran Kitabullah, Al-Qur-anul-‘adzim, dan mengikuti Sunnah Çlm., dengan tepat dan seksama, setingkat demi setingkat, selangkah demi selangkah, sepanjang rangka Jihad dan Hukum Jihad, Insja Allah dalam waktu yang singkat gelombang Jama’ah tsb. akan merupakan satu Benteng Islam raksasa yang maha-kuat dan maha-sen tausa, dlahir maupun bathin, yang sanggup dan mampu menghadapi serta mengatasi segala kemungkinan dan keadaan betapapun sifat dan bentuknya. Beberapa fakta utama, yang akan dapat dijadikan landasan-landasan dan pembinaan ini antara lain ialah:
Memupuk dan memperkembangkan rasa-tanggung-jawab dlahir-bathin yang makin bertambah-tambah besar, dalam ma’na:
= Bertanggung-jawab sepenuhnya akan berlakunya Hukum-hukum Allah, Hukum-hukum sepanjang ajaran Al-Qur-an, dan Sunnah Çlm., tegasnya: Hukum-hukum Sjari’at Islam, atau Undang-undang Islam, atau Undang-undang Negara Islam Indonesia; dan
= Bertanggung jawab sepenuhnya akan berlakunya dan dilaksanakannya dengan tepat Hukum-hukum Islam dimasa Perang.
Memupuk dan memperkembangkan rasa-setiakawan yang makin bertambah-tambah mendalam, terutama, dalam lingkungan Jama’atul-Mujahidin, sepanjang ajaran Islam, sebagaimana yang telah terlaksana dalam pergaulan antara kaum Anshar dan Muhajirin, ialah kaum Mujahidin dibawah pimpinan, bimbingan, tuntunan dan asuhan langsung Rasulullah Çlm. Pada zaman Madinah awal, di Negara Basis Islam Pertama di Jaziratul-Islamijah termaksud meliputi segala bidang dan segi, khusus dan umum, sakhsy dan ijtima’I, dalam sepanjang ajaran suci, terutama dalam menanam, membangkitkan dan mengobar-ngobarkan Semangat Jihad dalam membina dan memperkembangkan Jiwa Jihad, dan dalam melaksanakan Hukum-hukum Jihad.Dengan demikian, maka cita-cita hendak menggalang Persatuan Islam dan Persatuan Ummat, terutama Ummatul-Mujahidin yang kuat-kompak dlahir-bathin bukanlah satu impian khajal ! Jadikanlah Tali-tali Allah, perintah-perintah Allah beserta Sunnah Çlm. Selaku tafsirnya, sebagai daya-pengikat antar-jiwa dalam lingkungan Jama’atul-Mujahidin! Dan kemudian perkuat dan sempurnakanlah segala usahamu dalam jurusan itu, hingga seluruh tubuh Jama’ah akan merupakan satu Benteng Islam raksasa nan kuat-sentausa ! Dalam pada itu, hendaklah diingati pula, tanda setia-kawan itu hendaknya dibuktikan lebih dahulu dari atas kebawah, dan bukan dari bawah keatas, karena pihak atasan Komandan atau Pemimpin, harus lebih dahulu pandai menunjukkan kesungguh-sungguhnya melaksanakan wajibnya: memperlindungi, menuntun dan membimbing pihak bawahan atau anak buahnya, daripada hanya pandai menuntut kepatuhan, kesetiaan, kesetiakawanan, pembelaan dan pertanggung-jawab pihak bawahan terhadap pihak atasnya!
Itulah bukti yang nyata daripada apa yang disebut Mahabbah kepada Allah dan Mushahabah terhadap sesama Mujahidin, sesama Ummatul Muslimin !
Menanam dan memperkuat disiplin, umum dan terutama militer.
Disiplin (Dicipline), dalam ma’na Tha’at patuh dan setia, baik dalam bidang-bidang umum maupun dalam segi-segi kemiliteran, wajib ditanam, dipupuk, diperkembangkan dan diperkuat dalam dada, jiwa, tekad dan ‘amal setiap Mujahid. Karena tiap Mujahid selaku pelaksana hukum-hukum Jihad, Hukum-hukum Islam dimasa Perang, dengan automatis sesungguhnya adalah Prajurit-Tentara Allah. Tanpa disiplin, maka seorang Mujahid hanya merupakan pejuang liar, pejuang yang ingkar, menyimpang dan menyeleweng daripada Jama’ah Besar, Jama’atul-Mujahidin.
Dalam keadaan biasa, sikap liar itu hanya akan mengecewakan. Tapi dimasa berlaku Perang Semesta, Perang Totaliter, maka disiplin masuk salah satu kewajiban muthlak, yang harus berlaku tanpa sjarat, tanpa kajid dan tanpa tawar-menawar.Oleh sebab itu, hendaklah setiap Mujahid suka melatih diri demikian rupa, sehingga rasa-disiplin sungguh-sungguh meresap dan terbukti dalam segala hal, sampai-sampai kepada tingkah-laku dan perbuatannya sehari-hari.
Beberapa pokok, yang boleh dijadikan anak-tangga mencapai disiplin adalah sebagai berikut:
Disiplin kepada Allah, dalam arti kata: tha’at, patuh dan setia melaksanakan setiap perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, dengan hati nan jujur, ikhlas dan ridla, tanpa tawar-menawar, tanpa syarat dan tanpa kajid apa dan manapun.
Disiplin kepada Rasulullah Saw., dengan kenyataan mengikuti jejak Saw., sesempurna mungkin, terutama dalam Jihad membina Negara Basis Madinah.
Disiplin terhadap kepada Ulil-Amri Islam, tegasnya tha’at, patuh dan setia melaksanakan segala perintah Imam-Plm.T., dengan penuh keyakinan dan kepercayaan, dan lepas daripada sjak, nifaq, dan dhan.
Catatan.
Sikap dan perbuatan disipliner terhadap kepada Ulil-Amri, boleh dianggap sebagai tanda-bukti yang nyata akan benarnya apa yang termaktub pada huruf C, 1., dan E diatas.
Sepanyang qiyas dan dalam batas-batas tertentu, maka termasuk pula dalam golongan C 3. Ini: Disiplin terhadap kepada para Panglima (Perang), para Komandan (Lapangan-Pertempuran) dan para Pemimpin N.I.I. (atasan) lainnya.
Disiplin terhadap sesuatu lain diluarnya, termasuk didalamnya disiplin terhadap diri-pribadi. Mitsalnya:
= pandai mengawasi dan menguasai ‘amal dan tindakan sendiri;
= pandai mengekang dan mengatur segala nafsu getaran jiwa, niat, hajat, ‘adzam, rencana dan segala gerak-gerik panca-indranya sendiri;
= sehingga tetap berjalan dan tersalurkan pada jalan dan melalui Hukum-hukum yang ditaburi Rahmat dan Ridla Ilahy; tegasnya: tetap tertib, teliti dan hati-hati dalam melakukan Hukum-hukum Jihad. Hukum-hukum militer, ketentuan-ketentuan militer, tata-tertib Militer, siasat militer, dst. dst.; dalam pada itu segala hal yang membawa kepada daerah dan lalai, ceroboh, dan sembrono/lalainya harus dijauhkan dan dienyahkan, tegasnya sikap tawakkal ‘alallah secara muthlak harus dipersatu-padukan dengan perbuatan-perbuatan taqwa, sifat-sifat ittiqa sepanjang Sunnah; dan kedua unsur jiwa ini harus ditanam dan diperkembangkan dalam jiwa dan ‘amal setiap Mujahid !
Disinilah setiap Mujahid memperoleh kesempatan melakukan Jihadul-Akbar, disamping dan bersama-sama Jihadul-Asghar.
Alangkah tinggi nilai setiap Mujahid, yang tahu dan sadar sepenuhnya akan keluhuran fungsinya, dan yang pandai serta cakap-cukup menunaikan tugasnya nan maha-mulia dan maha-suci itu, walau acapkali terasa maha-berat sekalipun!

Beberapa Macam Kualitas Pejuang
Sekalipun S.M. Kartosoewirjo demikian telaten membina aparat dan tentaranya untuk berakhlaq Islam. Namun akibat dari situasi revolusi yang sungguh mendesak maka dalam situasi demikian, pada waktu itu Negara Islam Indonesia ditegakkan dengan beberapa keterbatasan, terutama mengenai kualitas para pejuangnya. Diantaranya kurang lebih ada lima tipe gerilyawan NII yang berjuang di tengah tengah berkecamuknya peperangan :
Pertama, yaitu kader yang khusus sudah dipersiapkan untuk menempati posisi dan fungsi fungsi vital dalam struktur Negara Islam Indonesia. Jauh sebelum revolusi proklamasi dikumandangkan Imam S.M. Kartosoewirjo telah menggembleng mereka dalam Institut Suffah di Malangbong. Mereka bukan hanya berani dan siap syahid untuk tugas suci ini, tetapi betul betul berangkat dari semurni murninya jiwa tauhid, setinggi tinggi ilmu dan sepandai pandai siasat. Siap memimpin perang, siap pula mengelola negara di saat kemenangan telah dicapai. Mampu memelihara diri dan menjadi contoh teladan bagi mujahidin lainnya -baik di masa damai maupun di masa perang. Dan merekalah yang selalu berada di pront terdepan memimpin perjuangan, membangun kesadaran rakyat dalam melawan kebathilan, pada perjalanan jihad NII kader pilihan ini banyak yang memperoleh syahidnya lebih dahulu. Akibat kekurangan kader yang mengerti persis langkah strategi perjuangan NII, akhirnya perjalanan jihad NII bisa bergeser ke arah yang lain tergantung siapa yang ikut bergabung kepadanya. Imam memang terus memimpin hingga tahun 1962, tetapi pengelolaan jumlah besar dengan sedikit orang kader negarawan, membuat jalannya negara tidak lagi seperti direncanakan semula.
Kedua, pejuang yang bergabung karena kesadarannya didorong oleh ilmu yang telah dimilikinya, walaupun tidak dikader secara khusus di Institut Suffah. Sehingga rasa setianya pada NII sebatas pandangan dirinya saja, belum tentu sejalan dengan misi dan visi NII sebagaimana dicanangkan sebelum proklamasi. Dengan kesadaran ilmu yang dimilikinya, ia bersegera mendukung dan membela Negara Islam, dengan kesadarannya ia tinggalkan “Darul Kufur” Republik Indonesia, namun karena kesadaran sebatas muncul dari dirinya, apalagi di saat berkecamuknya perang, proses penyamaan visi pemikiran mujahidin agak sulit dilakukan. Hal ini disebabkan tuntutan keadaan untuk mendahulukan pertahanan, berjuang menahan gempuran pasukan TNI yang terus menerus memberondong daerah daerah basis. Waktu untuk duduk bersama, merundingkan jalannya negara, pada tingkat komandemen wilayah ke bawah relatif agak sulit dilakukan. Akhirnya pasukan pasukan TII perlahan lahan bermetamorphosis mimiliki kekhasan masing masing tergantung latar belakang pemikiran para perjuang sebelum menggabungkan diri dengan NII. Jejak langkah pasukan yang dipimpin komandan yang berasal dari suffah, menjadi berbeda dengan karakter pasukan yang dipimpin oleh seorang kiayi dari sebuah pasantren yang menekankan nilai nilai kesufian misalnya. Namun karena kesadarannya yang tulus tadi, mereka menjadi mujahid mujahid yang tangguh membela Negara Islam. Di Jawa Tengah di antaranya ialah kiayi Ghafur Ismail. Beliau Syahid ketika mereka yang di Jawa Barat tahun 1962 sudah turun. Kiayi Ghafur tidak mau menyerah, meski bersama sanak keluarganya disergap oleh tentara Republik. Beliau kena tembak. Kemudian sesudah Syahid, maka istrinya mengambil senjata dari suaminya langsung menghantam musuh, tapi kehabisan peluru, lalu istrinya juga menjadi Syahidah. Kemudian seperti halnya juga di Jawa Barat,Kiayi Khoer Affandi dari Manonjaya dirinya bergabung dengan NII hanya karena keilmuan, dan setelah turun gunung Kiayi Khoir Affandi tidak merancang taktik gerilya selanjutnya untuk menggalang Negara Karunia Alloh NII, tetapi membuka pasantren. Walaupun memang ruh tauhid dan ruh jihadnya demikian kental, cintanya pun pada NII tidak diragukan, namun beliau bukanlah seorang negarawan yang terus membela eksistensi Negara Islam Berjuang sebagaimana layaknya sebuah negara dipertahankan.
Ketiga, gerilyawan dan rakyat berjuang yang bergabung ketika revolusi (perang fisik) dimulai. Dalam suasana seperti ini, disaat kebutuhan akan tenaga tempur begitu mendesak, demikian juga keperluan atas rakyat yang mendukung, maka proses rekruitment menjadi kurang memperhatikan unsur kualitas lagi. Saat itu siapa yang siap membantu gerilyawan, siapa yang mendukung mujahidin, maka dia bisa ikut berjuang bersama. Tidak lagi melihat sejauh mana kedalaman ilmunya, sedalam apa kesadarannya dan apakah mereka mengetahui tentang visi negara Islam atau tidak, karena keperluan akan tenaga demikian mendesak maka diterimalah mereka sebagai pasukan TII dan warga Berjuang NII. Masalah yang timbul kemudian adalah, kesulitan memelihara kebersihan citra perjuangan NII itu sendiri, sebab akhlak ketika bertempur, baik keshabaran dan ketabahannya, atau akhlak disaat mereka berinteraksi dengan masyarakat tidaklah sama. Berbeda dengan kader pertama yang benar benar terdidik dengan nilai nilai perjuangan Nabi. Gerilyawan yang bergabung di tengah jalan ini terkadang melangkah atas dasar kemauannya sendiri dan mengabaikan akhlak tentara Islam. Dalam hal ini NII terpaksa harus memikul tanggung jawab kelompok, walaupun itu dilakukan bukan oleh kadernya, maka semua tindakan tidak disiplin mereka berakibat buruk pada citra Negara Islam.
Kempat, yaitu gerilyawan dari yang membelot dari TNI kepada TII, Ketika pasukan tentara Republik kembali dari Yogyakarta menuju Jawa Barat, mereka dicegat oleh kawan kawannya yang tidak ikut mundur ke Yogya, kepada mereka dikatakan bahwa sekarang di Jawa Barat telah diproklamasikan Negara Islam, sebagai wadah bagi tegaknya hukum-hukum Allah secara sempurna. Mendengar itu, berbekal dorongan hati nuraninya yang tulus maka langsung bergabung dengan TII. Misalnya Kadar Solihat seorang perwira TNI yang kemudian bergabung dengan NII, dan menjadi perwira Tentara Islam Indonesia.
Kelima, yaitu pejuang yang lahir dan tumbuh dari daerah yang berhasil dikuasai TII, meskipun mereka bukan dari daerah santri atau kiayi.Mereka pun tidak pernah menjalani masa pengkaderan, bahkan surat Al Fatihah saja banyak yang sama sekali tidak tahu artinya. Namun, karena daerahnya bisa dikuasai TII dan kemudian menjadi basis , maka lama kelamaan mengetahui tujuan Darul Islam. Bahkan tertarik dengan akhlak TII yang demikian wara, membuat mereka pun tertempa menjadi kader mujahid pula, bahkan tidak bisa dianggap sepele. Sebab kenyataannya pada tahun 1962 bulan Juni saja dari salah satu daerah di Brebes, masih banyak baik laki-laki maupun perempuan ada yang masih berangkat ke hutan bergerilya padahal sebelumnya itu sudah banyak pamlet dari pihak musuh yang isinya bahwa Darul Islam di Jawa Barat sudah cease fire. Dari itu para mujahid NII tidak semuanya menyerah kepada musuh. Itu adalah Sunnattullah. Firman Allah:
“Di antara orang-orang mu’min ada yang menepati apa yang sudah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada (juga) yang menunggu-nunggu (apa yang Allah janjikan kepadanya) dan mereka sedikitpun tidak merobah (janjinya).” (Q.S.33:23).
Di samping ke lima unsur di atas ada pula mereka yang sengaja disusupkan musuh ke dalam tubuh TII, dengan memperalat orang orang yang telah luntur semangat jihadnya dan turun ke kota. Dari mereka yang telah turun ke kota inilah mereka memperoleh jalan masuk ke pusat pemerintahan NII, seperti yang dilakukan oleh Serma Ukon Sukandi. Yang lebih potensial lagi untuk menghancurkan dukungan rakyat muslim terhadap perjuangan Islam yang dilakukan para mujahid ini adalah; adanya pasukan liar yang sengaja menggunakan tanda tanda pengenal TII, kemudian melakukan aksi aksi brutalnya membunuhi setiap ulama yang mendukung perjuangan NII, merampok dan membakar rumah rumah penduduk yang dicurigai memihak pada Darul Islam dan merusak kehormatan wanita wanita mereka. Dengan didukung oleh mass media yang memang dikuasai pemerintah Republik Indonesia, maka bermunculanlah kabar kabar buruk mengenai Darul Islam. Di sebut gerombolan, perampok bahkan DI diidentikan dengan Duruk Imah (bahasa Sunda yang artinya Bakar Rumah).
Namun demikian, betapapun kejinya fitnah yang dilemparkan fihak fihak yang membenci mereka. NII sebagai wadah Al-H
Mnb ak di Indonesia maka jelas estafeta kepemimpinannya tetap berlanjut. Firman Allah:
“Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman, demikianlah menjadi kewajiban atas Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (Q.S.10:103).

Kartosoewirjo Tertangkap

Bab Delapan

Kartosoewirjo Tertangkap

Kekuatan perjuangan Darul Islam yang diproklamasikan oleh Kartosoewirjo sesungguhnya terletak dalam kemampuan untuk mengatur, menyusun dan menyelenggarakan susunan ketentaraan dan susunan organisasi kenegaraan NII. Pergerakan menuju berdirinya Negara Islam Indonesia sejak tahun 1939 telah dirumuskan dengan langkah langkah yang jelas, namun mengapa pada akhirnya mujahid besar ini ditangkap lawan dan ditinggalkan para pengawalnya sendiri, ini merupakan hal yang menarik untuk dicermati. Bila kita lakukan kilas balik, maka dalam sebuah konferensi di Cisayong, bersama para Ulama dalam Majlis Islam, telah disepakati bahwa langkah perjuangan haruslah melalui langkah langkah berikut :
1. Mendidik rakyat agar cocok menjadi warga negara Islam.
2. Memberikan penjelasan kepada rakyat bahwa Islam tidak bisa dimenangkan dengan Feblisit (referendum)
3. Membangun daerah daerah basis.
4. Memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia.
5. Membangun Negara Islam Indonesia sehingga kokoh ke luar dan ke dalam, dalam arti, di dalam negeri bisa melaksanakan syari’at Islam seluas luasnya dan sesempurna sempurnanya, sedang keluar, sanggup berdiri sejajar dengan negara negara lain.
6. Membantu perjuangan muslimin di negeri negeri lain sehingga cepat bisa melaksanakan wajib sucinya.
7. Bersama negara negara Islam membentuk Dewan Imamah Dunia untuk mengangkat Kholifah dunia.
Tahapan tahapan di atas demikian realistis, jauh dari kesan tergesa gesa, atau perlawanan sekedar karena tidak kebagian jatah kekuasaan, tetapi muncul dari kebeningan hati, keteguhan jiwa dan langkah langkah yang istiqomah dalam tahapan yang demikian sistematik.
Namun pada dataran praktis, kita lihat rencana tadi tidak berjalan dengan mulus, tragedi “Nabi Musa AS” dan kepedihan yang menimpa “Nabi Isa AS” dialami secara berbarengan. Jika Nabi Isa adalah sosok pembawa risalah, namun sayang didukung oleh Anshorulloh yang sangat sedikit. Dan bila Nabi Musa walaupun memiliki ummat banyak, namun kualitasnya demikian payah, sehingga banyaknya ummat bukannya membantu malah jadi beban dan membuat kinerja menjadi lambat. Maka demikian pula yang dialami Imam Kartosoewirjo dalam meneratas jalan jihadnya. Beliau berhasil mengkader sosok sosok pilihan dalam Institut Suffah, figur figur yang memiliki sebersih bersih tauhid, setinggi tinggi ilmu dan sepandai pandai siasat. Namun sayang jumlahnya tidak banyak, dan sebagai pejuang, para pemimpin mujahidin tampil di gelanggang terdepan perjuangan, sehingga satu demi satu bunga Negara Islam Indonesia ini gugur sebagai Syuhada. Dan pada giliran berikutnya, ketika perang Totaliter terus berlanjut, rakyat banyak yang bersimpati pada Negara Islam ini, bahkan berbondong bondong menjadi warga dan tentara Islam, namun pengkaderan berbobot semacam Institut Suffah tidak sempat lagi dilakukan. Pada akhirnya mereka yang berduyun duyun meninggalkan Republik Indonesia di saat perjuangan bersenjata NII tengah naik daun ini, mereka itu pula yang berbondong bondong kembali ke pangkuan ibu pertiwi mereka, di saat kekuatan NII terdesak.
Disamping itu Kartosoewirjo juga pandai menggunakan situasi kondisi politik dan militer dalam menyusun dan mengatur administrasi pemerintah NII yang dia selalu sesuaikan dengan keadaan yang berlaku atau dengan perubahan-perubahan keadaan di dalam maupun di luar negeri. Setiap perubahan dan perkembangan politik telah dijadikan dasar pertimbangannya dalam mengatur dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
Tentara Nasional Indonesia, sebagai tulang punggung Republik Indonesia mempersiapkan rencana operasi untuk menghancurkan Negara Islam Indonesia ini, peperangan antara RI dan NII benar benar total meliputi segala aspek kehidupan, mulai dari perang propaganda, perang intellijen sampai penghancuran satuan satuan militer TII. Keberhasilan TNI menghancurkan TII didahului dengan keberhasilan operasi intellijen.
Pada tahun 1951 Sersan Mayor Ukon Sukandi yang bertugas sebagai intel dengan nama samaran Sukarta, memperoleh informasi adanya bekas komandan/tokoh TII, dari Batalyon Kalipaksi yang berkedudukan di Garut, bernama Ali Murtado, telah melemah semangat tempurnya dan kembali ke kota. Ukon Sukandi mendatanginya dan berusaha merebut simpati bekas komandan ini dengan berbagai kebaikan. Ali Murtado tertarik dengan segala kebaikan Ukon Sukandi tadi bahkan Ali Murtado melaporkan pada pimpinan TII di atasnya –pamannya sendiri- Bapak Sujai bahwa Ukon Sukandi ini pantas untuk direkrut demi kepentingan TII dalam menjalankan aksi intellijen di kota.
Sebaliknya Sersan Mayor Ukon Sukandi pun melaporkan pada atasannya bahwa Ali Murtado berhasil didekati dan bisa diperalat, diserap informasinya bahkan bisa menjadi jalan bagi masuknya operasi intellijen TNI ke dalam tubuh TII. Lewat Ali Murtado inilah Ukon Sukandi berhasil menipu Bapak Sudjai, ia memberikan banyak bantuan kepada komandan TII tersebut, baik berupa uang, pakaian. Alat alat tulis, surat kabar, dan surat pribadinya yang menunjukan rasa simpati terhadap perjuangan Negara Islam. Bapak Sudjai terkecoh dengan kemurahan ini, kemudian ia mengirim surat balasan pada Ukon Sukandi bahkan dalam surat itu ia menjelaskan dirinya sudah mengusulkan kepada Panglima Wilayah Divisi I Sunan Rahmat TII, Agus Abdullah agar mengangkat Ali Murtado sebagai petugas khusus di Jakarta, yang setiap saat bisa dihubungi oleh Ukon Sukandi.
Dua hari kemudian datang surat penetapan dari Komandan Divisi I Sunan Rahmat TII, Agus Abdullah yang menetapkan dan mengangkat Ali Murtado sebagai Kepala Pos Hubungan Wilayah I dan berkedudukan di Jakarta. Penugasan ini terasa membawa dampak positif bagi lalu lintas surat menyurat untuk kepentingan perjuangan NII, dan Agus Abdullah melaporkan hal positif ini kepada Imam Kartosoewirjo, yang selanjutnya Imam memerintahkan Agus Abdullah untuk meningkatkan hubungan dan kegiatan di Jakarta, bahkan kalau memungkinkan dibentuk perwakilan pemerintah NII di Jakarta. Akhirnya Agus Abdullah memerintahkan kepada Ali Murtado untuk menyusun personalia guna mengisi jabatan dalam perwakilan Pemerintah NII di Jakarta. Kartosoewirjo mempercayai Ali Murtado, karena usulan ini datang dari orang kepercayaan Kartosoewirjo sendiri di Jawa Barat (Komandan Divisi).
Ali Murtado menyampaikan surat ini kepada Ukon Sukandi, segera saja ia membahasnya bersama Komandan Intellijen TNI, Letnan Muda Satiri dan Kepala seksi I KMKB – DR (Komando Militer Kota Besar Djakarta raya) , Lettu Suhadi. Dengan persetujuan Seksi I KMKB – DR, setelah berhasil menyusupkan anggota kepolisian dari seksi Djatinegara, segera Ukon Sukandi dan Ali Murtado menyusun personalia perwakilan Pemerintah NII sebagai berikut :

Komandan : Ali Murtado
Wakil Komandan : Sukarta (nama samaran Sersan Mayor TNI Ukon Sukandi)
Kepala Kepolisian : Among (Anggota POLRI sesksi Djatinegara)

Perwakilan pemerintahan ini menunjukkan keberhasilan kerja yang lumayan (maklum karena memang disponsori oleh agen intellijen RI), ketika Sukarta berhasil meluluskan transaksi jual beli senjata. Walaupun akhirnya senjata yang telah berhasil dibeli NII itu berhasil dirampas kembali dalam sebuah pemeriksaan truk di jalan Karawang – Purwakarta. Terbongkarnya truk yang membawa senjata ini bukanlah kebetulan, namun demikianlah rencana TNI untuk menjebak aparat NII yang telah berhasil disusupinya.
Meskipun senjata yang berhasil dibeli NII itu gagal tiba di tempat tujuan, namun kepercayaan pemerintah pusat terhadap perwakilan pemerintah NII di Jakarta tidak hilang, karena pihak intellijen RI berhasil membuat alibi, seakan akan kebocoran itu bukan disebabkan adanya unsur kontra intellijen RI di tubuh NII tetapi karena kecerobahan para prajurit TII sendiri di Karawang. Pada tahun itu juga Agus Abdullah memberitahukan Ali Murtado dan Sukarta bahwa Kolonel TII, wakil Komandan wilayah I Sunan Rahmat akan datang mengontrol pasukan ke Jakarta, sebab sebelumnya Sukarta berhasil menipu Ali Murtado dengan mengatakan bahwa dirinya berhasil menyusun satuan satuan rakyat terlatih yang mendukung perjuangan NII.
Ketika Kolonel TII Sohby datang ke Jakarta dan menyatakan keinginannya untuk menginspeksi pasukan, Sukarta menyampaikan alasan bahwa para prajurit yang dilatihnya tersebar di berbagai wilayah Jakarta, dan ia minta waktu dua hari saja untuk mengumpulkan mereka. Untuk memenuhi keinginan ini dan demi memperkuat rasa percaya pemerintah NII terhadap dirinya, maka “simunafiq” Ukon Sukandi ini mengontak pimpinan intel Jakarta untuk meminjam beberapa puluh karaben dari Detasemen Markas. Bersamaan dengan itu juga dikumpulkan 40 orang intel yang secara kilat dilatih tatacara upacara militer TII oleh Ali Murtadho. untuk hadir di sekitar Rawa Buaya daerah Tangerang, berpura pura sebagai pasukan TII yang siap menyambut kedatangan komandannya.
Kolonel TII Sohby menyatakan kepuasaannya melihat kesigapan ‘para prajurit’ itu, bahkan mengomentari, “sekalipun berada di daerah jantung musuh, namu semangat dan disiplinnya melibihi pasukan TII yang kini beroperasi di gunung gunung.” Selama seminggu di Jakarta Sohby menyuruh Ali Murtado untuk mengetik surat buat Imam Kartosoewirjo dan kepada Agus Abdullah dan ditembuskan kepada semua panglima wilayah TII, bahwa setelah mendapat restu dari Imam NII ia (Kolonel TII Sohby) akan melanjutkan tugasnya sebagai Duta Keliling di luar negeri .
Berita ini tentu saja amat bernilai di mata intellijen RI, Sersan Mayoor Ukon Sukandi segera saja melaporkan hal ini kepada Kepala Seksi I Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya. Si munafik Ukon Sukandi mengusulkan agar Sohby tidak ditangkap di Jakarta, sebab itu akan menimbulkan kecurigaan pemerintah pusat NII kepadanya. Akhirnya Sohby dijebak di Bogor, sekaligus Ukon Sukandi memfitnah, melaporkan pada pemerintah pusat, bahwa tertangkapnya Duta besar keliling NII ini disebabkan pengkhianatan A.M Firdaus. Dengan demikian pihak TNI berhasil menghancurkan dua orang sosok pilihan Negara Islam sekaligus. Sohby ditangkapnya, sedang tentara Islam yang asli A.M. Firdaus dihukum mati oleh kawannya sendiri.
Ukon Sukandi sendiri semakin dipercaya oleh Komandan Divisi I TII Sunan Rahmat, ketika ia menyatakan kesiapannya untuk membujuk dan menyogok perwira TNI untuk membebaskan Kolonel TII Sohby yang tertangkap itu. Agus Abdullah menyetujui rencana itu, bahkan sekalian meminta Ukon Sukandi untuk membeli beberapa peti peluru untuk pasukan TII yang dipimpin Letkol TII Ahmad Sungkawa. Ukon Sukandi berhasil membobol keuangan NII dengan cara menjual peluru jelek yang bisa membuat senjata rusak, disamping itu Sohby pun sengaja dilepaskan, dengan skenario melarikan diri loncat dari pickup di tikungan Jalan Setiabudi, tanjakan Lembang Bandung. Dan dalam upaya melarikan diri itulah Sohby ditembak dengan penembakan yang sudah dipersiapkan, sehingga terjangan peluru sulit dihindarkan. Licin sekali siasat ini, Ukon Sukandi sempurna melaksanakan tugasnya. Tanpa curiga karir si munafik ini terus menanjak, ia berhasil menguasai KBW I NII (Kantor Berita Wilayah) yang berdasarkan keputusan Kartosoewirjo semua surat keluar masuk pulau Jawa harus melalui Jakarta.
Demikian strategisnya posisi yang berhasil dicaplok Ukon Sukandi sehingga seluruh jaringan Koordinasi Pemerintah Pusat NII dengan wilayah lainnya berhasil d lacak lewat KBW I Jakarta ini. Tidak Heran bila pada tahun 1953 KUKT APNII Abdul Fatah Tanu Wirananggapati yang baru saja pulang menggalang wilayah Aceh menjadi bagian dari NII, tertangkap di Jakarta.
Penyusupan yang dilakukan lewat Ukon Sukandi dengan memperalat Ali Murtado ini, terus berkembang, sehingga pada tahun 1955, di Bandung saja, antara pejuang TII asli dengan pasukan Intellijen RI yang berhasil disusupkan sudah fifty-fifty . Akibatnya mudah diduga, apapun perintah Kartosoewirjo dalam mengatur strategi perang, dengan mudah digagalkan oleh TNI. Ini diakibatkan oleh kecerobohan aparat TII yang dengan mudahnya menerima kembali seorang yang telah berhenti berjuang dan kembali ke kota (Ali Murtado), yang kemudian hanya karena dianggap berhasil merekrut seorang kader potensial, langsung diangkat kembali untuk menjabat posisi penting, tanpa memproses pelanggarannya.
Kartosoewirjo semakin terdesak , secara militer digerogoti oleh agen agen kontra intellijen RI, dan secara politik dengan semakin menancapnya kuku kekuasaan Presiden Sukarno. Dekrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 di mana Presiden Soekarno mengemukakan dasar-dasar yang akan dijadikan GBHN, dan kemudian terkenal sebagai Manipol USDEK. Pada waktu itu bagi Kartosoewirjo sudah jelas, bahwa setelah Soekarno dapat memegang kembali kekuasaan di tangannya, bagi Negara Islam Indonesia akan timbul masa-masa yang sulit.
Dalang peperangan strategi pertempuran masing masing negara bisa berbah sesuai keperluan, pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada tahun 1958 merevisi doktrin militer yang selama itu dipraktekkan . Hasilnya adalah konsep Perang Wilayah dengan dasar pemikiran, bahwa tanpa adanya bantuan aktif dari masyarakat, perjuangan suci tidak akan dapat ditumpas. Untuk itu keadaan masyarakat harus distabilisasikan dan cara berpikir yang konstruktif serta integrasi nasional perlu didukung untuk mencapai partisipasi yang aktif dari rakyat dalam tugas-tugas pertahanan. Yang bertanggung jawab atas pelaksanaan doktrin Perang Wilayah adalah Pangdam Siliwangi, Ibrahim Adjie, yang pernah menjabat sebagai atase militer di Beograd. Rupanya Ibrahim Adjie berorientasi pada pengalaman perang gerilya Jugoslavia selama perang dunia kedua. Kemudian konsep Perang Wilayah disyahkan oleh Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960.
Namun sebelumnya, pada bulan Februari 1959 telah disusun “Petunjuk Pokok Pelaksanaan Pemulihan Keamanan (P4K) yang bersandar pada konsep Perang Wilayah dan yang merupakan suatu petunjuk untuk penggunaan seluruh sarana militer seefisien mungkin. Akhirnya lahirlah Rencana Pokok 2.1. (RP 2.1.) untuk membatasi kebebasan bergerak lawan sehingga lawan terdorong ke dalam daerah-daerah tertentu yang kemudian diselesaikan satu per satu. Untuk melaksanakan rencana tersebut, pada bulan Desember 1959 disusun Rencana Operasi 2.1.2. dan kemudian pada bulan Februari 1961 dikeluarkan RO 2.1.2.1. yang merupakan percepatan dari Rencana Operasi 2.1.2. Kalau dalam RO 2.1.2. pemulihan keamanan wilayah Jawa Barat direncanakan dalam waktu 5 tahun, yaitu sampai tahun 1965, dalam RO 2.1.2.1. waktu dipercepat sampai akhir tahun 1962.
Tak lama setelah Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit kembali ke Undang-Undang Dasar 45, di seluruh Jawa Barat serempak Operasi Wilayah GERAK, TANAH dan GODAM. Sesuai dengan Rencana Pokok 2.1.2. wilayah Jawa Barat dibagi menjadi tiga daerah operasi, Daerah Operasi A (DO-A), dimana telah tercapai normalisasi keadaan, Daerah Operasi B (DO-B) yang sudah dikontrol oleh TNI tetapi belum 100 % bersih dari pemberontak Darul Islam dan Daerah Operasi C (DO-C) yang masih sepenuhnya dikontrol oleh perjuangan suci Darul Islam. Pihak militer dengan demikian menjiplak sistem D.I/D.II/D.III yang dipraktekkan perjuangan suci Darul Islam. Penumpasan dan pengisolasian perjuangan suci Darul Islam dimulai pada pertengahan tahun 1960 di Kabupaten Lebak (DO-C 19) yang termasuk Korem Banten, untuk menutup kemungkinan adanya anggota pejuang mujahid Darul Islam dapat menyeberang ke Sumatra. Di daerah Banten ini juga untuk pertama kali penduduk setempat diikut sertakan dalam operasi militer yang mula-mula dinamakan sebagai “Perang Bedok” dan kemudian terkenal sebagai sistem “Pagar Betis”. Pada mulanya sistem ini kurang berhasil, namun setelah ada perbaikan maka sistem Pagar Betis merupakan salah satu syarat untuk berhasil dalam peningkatan dan pengisolasian Tentara Islam Indonesia, terutama di daerah Banten dan Priangan.
Situasi yang demikian menjepit, dimana rakyat yang semula berpartisifasi aktif dalam mempertahankan berdirinya negara Islam Indonesia, perlahan lahan menarik bantuannya. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, akibat adanya usaha usaha musuh NII yang membuat satuan satuan TII palsu yang melakukan tindakan tindakan kejam terhadap rakyat, dimana mereka membunuh, membakar dan merampok, sedang pada saat melakukan tindakan keji itu mereka menggunakan tanda tanda yang membuat mereka dikenal sebagai gerilyawan NII. Ke dua, akibat tekanan TNI, dimana seluruh rakyat harus terlibat dalam gerakan “Pagar Betis”, jika menolak, maka langsung dituduh sebagai pendukung NII. Pada saat saat genting itu Imam Kartosoewirjo mengeluarkan sebuah “washijat” sebagai berikut. :

WASHIJAT IMAM NEGARA ISLAM INDONESIA S.M. KARTOSOEWIRJO
Bismillaahirrohmaanirrohiem

Washijat Imam pada pertemuan dengan para Panglima/Pradjurit (Mudjahid) pada tahun 1959 diantaranja berbunyi begini : “saja (Imam) melihat tanda tanda bentjana angin jang akan menjapu bersih seluruh mudjahid ketjuali jang tertinggal hanya serah/bidji mudjahid yang benar2 memperdjuangkan/mempertahankan tetap tegaknja Negara islam Indonesia sebagaimana diproklamasikan tanggal 7 Agustus 1949. Disa’at terdjadinja bentjana angin tersebut ingatlah akan semua Washijat saja ini :
1. Kawan akan mendjadi lawan, dan lawan akan mendjadi kawan.
2. Panglima akan mendjadi Pradjurit, Pradjurit akan mendjadi Panglima.
3. Mudjahid djadi luar Mudjahid, luar Mudjahid djadi Mudjahid.
4. Djika mudjahid telah ingkar, ingatlah;”Itu lebih djahat dari iblis”, sebab dia mengetahui Strategi dan Rahasia perdjuangan kita, sedang musuh tidak mengetahui. Demi kelandjutan tetap berdirinja Negara Islam Indonesia, maka tembaklah dia.
5. Djika Imam berhalangan, dan kalian terputus hubungan dengan Panglima, dan jang tertinggal hanja Pradjurit petit sadja maka Pradjurit petit harus sanggup tampil djadi Imam.
6. Djika Imam menjerah tembaklah saja, sebab itu berarti iblis. Djika Imam memerintahkan terus berdjuang, ikutila saja sebagai hamba Alloh SWT.
7. Djika kalian kehilangan sjarat berdjuang, teruskanlah perdjuangan selama Pantja sila masih ada, walaupun gigi tinggal satu, dan gunakanlah gigi jang stu itu untuk mengigit.
8. Djika kalian masih dalam keadaan djihad, ingat rasa aman itu, sebagai ratjun.

Washijat di atas seharusnya dipegang oleh setiap Tentara Islam, sebagai amanat perpisahan, dimana sekalipun setelah ini mereka tidak lagi bertemu dengan Imam. Perjuangan tidak boleh terhenti apalagi menyerah, sebab selama kebathilan masih tegak, maka selama itu perlawanan harus dilanjutkan, sekalipun yang tersisa tinggal satu gigi, maka gunakanlah gigi yang tinggal satu itu untuk menggigit !
Di pihak lain TNI dalam merealisasikan Konsep Perang wilayah tersebut, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ini merencanakan Operasi Cepat I-XII dari tanggal 1 Januari 1961 sampai 31 Januari 1962, Operasi Brata Yudha I-IV dari bulan Maret sampai bulan Juni 1962 dan Operasi Pamungkas dari bulan Agustus 1962 sampai bulan Januari 1963, yang akan merupakan operasi militer terakhir.
Dalam keadaan terdesak pihak pejuang mujahid Darul Islam pada tanggal 11 Juni 1961 mengeluarkan “Perintah Perang Semesta” (PPS) yang tidak ditandatangani oleh Kartosoewirjo, melainkan oleh Taruna, seorang sekretaris pribadi Kartosoewirjo. Tapi tanpa melihat siapa yang mengeluarkan perintah tersebut, PPS tidak dapat lagi mencegah berakhirnya perjuangan suci Darul Islam. Sebab sementara itu kesatuan-kesatuan TII di daerah Banten, Pangrango-Gede, Burangrang dan Tangkuban Perahu telah dapat ditumpas atau mereka menyerah kepada pasukan pemerintah dalam rangka pemberian amnesti yang berlaku sampai bulan Oktober 1961. Juga peningkatan perjuangan suci Darul Islam yang dilakukan terus menerus oleh pasukan TNI menyulitkan komunikasi antara masing-masing kelompok kesatuan TII.
Sebagai akibat “Perintah Perang Semesta” yang merupakan reaksi terhadap penumpasan perjuangan suci Darul Islam di daerah Banten, kini TII melakukan tindakan balasan terhadap TNI dimana banyak jumlah korban dari pihak TNI ketika kesatuan-kesatuan TNI di pedalaman dihadang oleh pejuang mujahidin TII atau perkemahan mereka diserang pada malam hari. Pada bulan September 1961 Menteri Keamanan Nasional A.H. Nasution mengeluarkan suatu instruksi tentang pelaksanaan kebijaksanaan terhadap pejuang mujahidin TII yang menyerang dalam rangka amnesti yang dikeluarkan pemerintah. Mereka dibagi ke dalam lima golongan, yaitu golongan A yang terdiri dari pemikir, pejabat dan menteri; golongan B terdiri dari perwira; golongan C hanya terdiri dari para pengikut saja dan golongan D adalah mereka yang tidak tercantum dalam A-C golongan terakhir yaitu golongan X adalah warga asing. Untuk golongan A ditetapkan, bahwa mereka dipulangkan ke tempat asalnya dan diberi lapangan kerja. Juga mereka yang termasuk golongan B di bagikan lapangan kerja atau mereka dipekerjakan di perusahaan negara asal mereka memenuhi syarat. Sebaliknya mereka yang termasuk golongan C ditransmigrasikan. Bagi semua yang termasuk dalam kelima golongan tersebut di atas dikenakan “karantina politik” dan mereka tidak boleh turut lagi dalam kegiatan politik. Pada bulan November A.H. Nasution mengeluarkan suatu instruksi lagi “tentang petunjuk persoalan khusus dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan terhadap pejuangan mujahidin Darul Islam yang menyerah”. Berdasarkan instruksi tersebut masing-masing golongan A sampai D dibagi-bagi lagi kedalam golongan-golongan yang lebih kecil. Dengan demikian Kartosoewirjo sekarang termasuk golongan A1.
Tetapi Kartosoewirjo tidak menyerah, meskipun dia sadar bahwa akhir perjuangan sucinya telah dekat. Bahkan dengan semangat juang yang tinggi Kartosoewirjo masih berpidato di markasnya di daerah gunung Galunggung untuk meneguhkan moral para pejuang mujahidin, dan dia mengatakan antara lain bahwa “untuk memasuki gedung Darul Islam itu tidak tanpa melalui proses pengaliran darah secara besar-besaran”. Dalam sindiran terhadap tauhid, Kartosoewirjo mengatakan bahwa kalau di dalam suatu negeri terdapat dua kepala negara, maka salah satu dari mereka, Soekarno atau dia harus menyingkir.
Pada tanggal 2 Januari 1962 Panglima Siliwangi Ibrahim Adjie mengeluarkan perintah harian kepada pasukannya. Sementara itu kesatuan-kesatuan Darul Islam yang bermarkas di Cakrabuana dan Galunggung, dimana diperkirakan juga terdapat markas Kartosoewirjo, menghadapi pengepungan total. Pengepungan terhadap para pejuang mujahidin TII hanya dimungkinkan berdasarkan partisipasi rakyat dalam sistem Pagar Betis. Dengan demikian di Kecamatan Ciawi dikerahkan 5653 orang yang dibagi atas 1127 pos penjagaan. Sementara itu pemimpin-pemimpin Darul Islam, diantaranya Zainal Abidin dan Ateng Djaelani telah menyerah kepada pasukan pemerintah RI.
Pada tanggal 1 April 1962 mulai dilancarkan Operasi Brata Yudha I. Dalam operasi ini daerah operasi dibagi menjadi 4 Kuru Setra, suatu istilah yang diambil dari epos Brata Yudha. Yakni: Kuru Setra I (DO-C-5) yang meliputi seluruh kompleks Gunung Galunggung; Kuru Setra II (DO-C 8-9) meliputi kompleks Guntur dan Batara Guru; dalam Kuru Setra III (DO-C 6) termasuk Rangas dan Baroko dan Kuru Setra IV (DO-C 12) meliputi kompleks Cimareme. Pada tanggal 24 April 1962 terjadi pertempuran antara pasukan TII dengan pasukan TNI di daerah Bandung Selatan tepatnya di Gunung Pedang dekat desa Cipaku. Dalam pertempuran tersebut Kartosoewirjo tertembak di pantatnya. Perjuangan yang penuh dengan segala resiko tetap diperlihatkan Kartosoewirjo dengan para pejuang mujahidin TII untuk mempertahankan cita-cita bersama, agar tetap tegaknya negara yang sudah diproklamasikan.
Pada bulan Mei 1962 Toha Machfoed dan Danoe Moehammad Hasan —yang sementara itu telah meletakkan senjata— menyerukan kepada Kartosoewirjo, Agus Abdullah dan Adah Djaelani Tirtapradja agar mereka menghentikan perlawanannya setelah banyak pemimpin pejuang mujahidin Darul Islam bersama-sama dengan pasukannya menyerahkan diri kepada tentara RI. Satu-satu pejuang Islam turun dan menyerahkan diri, lebih memilih menjadi murtad, fasiq dan dzhalim ketimbang menghadapi kenyataan "terbunuh" atau "menang". Spirit untuk menang begitu terbatas sehingga satu-per-satu pejuang-pejuang itu berusaha untuk melepaskan diri dari tali Allah dan mulai meyakini tali RI yang dirajut oleh Soekarno dan tokoh-tokoh jahilayah lainnya. Pada akhir bulan Mei, Adah Djaelani Tirtapradja, seorang Komandan Wilayah dari pejuang Darul Islam, menyerahkan diri kepada Pos Pagar Betis di Gunung Cibitung. Maka dengan menyerahnya Adah Djaelani, tokoh-tokoh pejuang mujahid Darul Islam yang masih tinggal di hutan hanyalah Kartosoewirjo dan Agus Abdullah, “Panglima APNII untuk Jawa dan Madura”. Tidak ada istilah menyerah terhadap musuh, juga tidak ada istilah bunuh diri jika menghadapi musuh dengan kekuatan besar. Yang ada hanya maju terus untuk mati atau tertawan untuk masuk penjara dan tetap konsisten mempertahankan keyakinan hingga ajal merenggut. Itulah kemenangan terbesar bagi mujahidin yang berperang di jalan Allah. Inilah pilihan-pilihan yang sangat terbatas dalam etika perang Islam.
Setelah Negara Islam Indonesia kehilangan ideolog ideolog nya, ummat satu persatu luntur daya tahan juangnya. Warga Negara Islam Berjuang yang tadinya telah berjanji, “sungguh sungguh dan setia hati akan membela pimpinan dan komandan tentara Islam daripada bencana dan khianat dari mana dan apapun juga” satu demi satu melupakan janjinya, dan turun meninggalkan Imam. Mereka seakan akan Ummat Nabi Musa AS yang berkata kepada nabi mereka : “.. Pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” Apa yang dialami Cucu Rasululloh SAW terulang pada dirinya. Ribuan orang berbai’at pada saat perjuangan hendak dimulai, tapi ribuan orang pula melepas bai’atnya ketika ancaman kematian telah di depan mata. Namun sebagai pejuang yang istiqomah, yang ditempa oleh tekad yang bulat, bukan sekedar terombang ambing keadaan. Kita akan melihat nanti, dalam kesendiriannya pun Kartosoewirjo tetap kukuh dengan prinsip prinsipnya.
Pasukan tentara "Jalut" RI dengan segala kebenciannya yang menggumpal di dada berusaha dengan segala cara untuk memojokkan dan mempersempit ruang gerak kaum gerilyawan mujahidin Darul Islam. Menjelang hari-hari pertama bulan Juni, Kompi C Batalyon Kujang II Siliwangi mengejar satu kelompok pasukan Darul Islam yang sedang berjalan pulang ke markas mereka. Tidak hanya tentara mujahidin Darul Islam yang diserang, rakyat sipil kampung pun disikat habis oleh tentara RI sehingga para mujahin tidak ada lagi yang mensuplai makanan dan logistik lainnya. Sudah sejak akhir bulan April Letda Suhanda Komandan Kompi tersebut mengetahui bahwa markas Kartosoewirjo berada di daerah dimana sedang diadakan gerakan operasi. Keadaan pasukan Darul Islam yang lapar selama tiga bulan hanya makan dedaunan, menjadikan semua daunan di hutan sebagai lahapan segar para mujahid agung. Tentara RI semakin yakin bahwa pasukan-pasukan Darul Islam tinggal menunggu ajalnya dan terus-menerus digempur dengan segala kekuatan. Kejakinan tersebut diperolehnya dari benda-benda yang ditinggalkan anggota pejuang suci Darul Islam sewaktu mereka melarikan diri dan yang mengandung petunjuk tentang kehadiran Kartosoewirjo di daerah ini. Maka jelaslah pula bagi Komandan Kompi Suhanda, bahwa di depan mereka terdapat sebuah pasukan TII yang kuat. Karena telah kehilangan jejak-jejak pasukan TII tersebut, Suhanda membagi kesatuannya menjadi tiga Peleton yang masing-masing terdiri dari 45 anggota tentara, agar secara terpisah dapat melanjutkan pencarian. Pada tanggal 4 Juni anggota pengintai dari pasukan Suhanda menemukan pada waktu turun hujan deras yang disertai angin kencang, sebuah tempat persembunyian TII yang terdapat di sebuah lembah antara Gunung Sangkar dan Gunung Geber. Pos-pos penjagaan DI yang ditempatkan di bukit-bukit tidak dapat mendengar apa-apa karena hujan yang deras dan dengan demikian pasukan Suhanda dapat melangkah maju sampai sebuah pohon yang roboh. Dari tempat itu dalam kejauhan kurang-lebih 50 meter mereka dapat melihat sebuah gubuk yang dibangun secara darurat di bawah sebuah pohon rimba, yang cabang-cabangnya hampir menyentuh tanah. Ketika Suhanda memerintahkan pasukannya untuk melepaskan tembakan serbuan, kesatuannya juga ditembak dari arah bukit-bukit, namun anggota pasukannya yang lain dapat mematahkan perlawanan pasukan Darul Islam yang ditempatkan di situ. Setelah dari arah gubuk itu tidak ada lagi perlawanan karena memang sudah tidak adanya amunisi, Suhanda mendekati gubuk itu dan bertanya, "Siapa komandannya di situ?". Kepadanya ditunjukkan sebuah gubuk berikutnya yang terletak di belakang gubuk pertama. Di gubuk tersebut mereka menemukan Kartosoewirjo, putranya Darda dan Atjeng Kurnia; seluruhnya yang menyerah berjumlah 46 orang. Kartosoewirjo menanyakan nama Suhanda, dan Suhanda bertanya, apakah Kartosoewirjo masih dapat berjalan kaki, tetapi Kartosoewirjo menyatakan tidak. Dia dalam keadaan sakit payah terbaring di lantai gubuk itu dan mengenakan sebuah jaket militer dan sebuah sarung. Pada saat itu usia Kartosoewirjo sudah 57 tahun. Suhanda menyuruh anggota pasukannya untuk membuat sebuah tandu untuk Kartosoewirjo yang dibikin dari cabang-cabang pohon, rotan dan mantel. Sejam setelah dia memerintahkan kelompok pertama pasukannya untuk turun, Suhanda menyusul dengan Kartosoewirjo, dengan membawa sisa tawanan dan semua dokumen. Untuk melewati danau Petalengan, Kartosoewirjo minta istirahat. Suhanda mengabulkan permintaan Kartosoewirjo. Barulah menjelang malam hari pasukan ini sampai pada desa terdekat di mana ratusan penduduk desa dengan membawa obor yang menyala menyambut kedatangan Kartosoewirjo yang selanjutnya Kartosoewirjo, putranya Darda dan Atjeng Kurnia dari desa tersebut dibawa ke Cicalengka. Dari kota itu Kartosoewirjo dengan mobil ambulans dibawa ke markas Ibrahim Adjie dan seterusnya ke Garut. Dan pada tanggal 7 Agustus Kartosoewirjo dibawa dari Bandung ke Jakarta.
Setelah tertawan, Kartosoewirjo dipaksa untuk mencabut proklamasi, membatalkan jihad dan menyatakan menyerah. Namun ketiga hal ini ditolak oleh Kartosoewirjo. Akhirnya pihak TNI berhasil mengintimidasi anak Kartosoewirjo untuk menyusun sebuah perintah harian yang diatasnamakan ayahnya, sebagai berikut :
“Kepada seluruh anggota APNII dan Jama’atul Mujahidin di manapun mereka berada untuk menghentikan tembak menembak dan permusuhan antara APNII dan TNI/APRI dan melaporkan diri kepada pos-pos TNI yang terdekat dengan membawa segala alat perang dan dokumen-dokumen”. “Segala pertanggung jawab dlohir-bathin dan dunia achirat yang boleh tumbuh daripada perintah Harian ini menjadi pikulan kami selaku Imam-Plm T.- APNII sepenuhnja”.
Perintah harian yang dikeluarkan atas nama Imam NII ini disebarkan kemana mana, dan berhasil meruntuhkan daya perjuangan pasukan TII yang masih ada di dalam hutan, karena tertipu oleh bunyi perintah itu –yang seakan akan pertanggung jawaban itu resmi dari Imam.
Karena kondisi kesehatan Kartosoewirjo kurang baik sewaktu tertawan, maka dia mendapat perawatan dokter. Menurut diagnose dokter, ada beberapa penyakit yang dideritanya, diantaranya adalah, dia menderita penyakit gula (diabetes), pembengkakan hati, denyutan jantungnya kurang teratur dan juga menderita kekurangan gizi.
Setelah kesehatan Kartosoewirjo pulih kembali, mulailah diadakan penyelidikan-penyelidikan dan pemeriksaan untuk dapat mengadili perkara tersangka S.M. Kartosoewirjo. Tes analisa dilakukan ketika S.M. Kartosoewirjo berumur 57 tahun, di kamar tahanannya setelah tertangkap pada tanggal 4 Juni 1962. Hasil evaluasi didasarkan pada penilaian grafologis dari tulisan tangan berupa buku harian dari tahun 1960. Di samping itu, juga melalui observasi dan analisa pembicaraan sewaktu diadakan introgasi oleh AS-1 KASKODAM VI/Slw, 27 Juni 1962. Dan observasi sewaktu diadakan interview oleh PA ROKDAM V1/Siliwangi 18 Juli 1962.
Kecerdasan SM. Kartosoewirjo, berdasarkan hasil evaluasi psychologi adalah bertarap tinggi. Mutunya tidak bertitik berat pada kemampuan akademis semata-mata, melainkan juga pada penggunaan fungsi-fungsi intelektual yang ada padanya. Mengingat pada umurnya yang sudah agak lanjut, fungsi intelektual ini masih tampak baik. Bahkan daya ingat, yang pada tarap umur ini biasanya sudah mulai berkurang, hanya memperlihatkan kemunduran sedikit. Di dalam struktur kecerdasannya terdapat keseimbangan antara kemampuan yang bersifat teoritis dan yang praktis.
Faktor kedua yang menarik perhatian di dalam struktur intelegensinya ialah, bahwa kemampuan intuisi (intuitievermogen) juga besar. Terutama dibidang inter human relation. Jadi dalam menghadapi manusia lain sebagai individu maupun sebagai suatu kelompok yang ia secara intuitif dapat mengambil langkah-langkah yang paling sesuai dijalankan untuk dapat mencapai maksudnya. Faktor ini dapat memperkuat kedudukannya sebagai pimpinan. Intuisi yang kuat ini juga menyebabkan, interest terhadap mistik dan metaphysik ada. Akan tetapi di lain pihak, rationalitasnya demikian besar sehingga daya kritik yang obyektif tetap terpelihara.
Segi lain dari pada struktur intelegensianya yang pantas disebut adalah jalan fikirannya yang sangat kausal. Kausalitasnya bertitik tolak pada prinsip-prinsipnya, sehingga pembahasan segala persoalan dilakukannya menurut garis-garis tertentu yang tidak dapat dirobah lagi. Dengan demikian, suatu poblem tertentu, bagi dia, mempunyai suatu cara pemecahan yang tertentu pula. Tindakan-tindakannya yang konsekuen dapat dipandang dari sudut ini. Fantasinya adalah konkrit dan disesuaikan dengan keadaan realita. Itu sebabnya ia dapat menunjukkan akal dan siasat yang tepat untuk mengatasi problema-problema yang nyata. Ia adalah seorang intelektual yang sangat produktif.
Sebagaimana manusia umumnya, SM. Kartosoewirjo juga memiliki emosi. Tetapi karena kuatnya kontrol rasional terhadap pergolakan emosinya, menyebabkan ia tidak mudah terangsang oleh kejadian-kejadian sekitarnya. Secara fisik ia dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan di mana ia berada. Berkat intelegensianya yang penuh dengan perhitungan dan pertimbangan yang konkrit, maka ia mampu menghadapi dan menerima situasi aktual secara obyektif, tanpa mengalami perasaan-perasaan depressif.
Menurut hasil tes psikologis yang dilakukan oleh Kapten Drs. Suyono HW, melanjutkan analisisnya, bahwa struktur pribadi S.M. Kartosoewirjo menggambarkan adanya dorongan-dorongan jasmaniah yang benar, dorongan mana berada di bawah dominasi intelektual secara keras. Terdapat keseimbangan yang sangat luar biasa dalam kepribadiannya antara id dan superego. Oleh karena itu, bisalah kita pahami bagaimana higenisnya cara hidup dan cara mengatur lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial-budaya dan politik. Energi vital yang berakar kuat dari dalam jiwa seorang ulama besar yang penuh kesabaran di tengah penderitaan diri dan pengkhianatan yang dilakukan oleh beberapa orang pelanjutnya meperlihatkan suatu dorongan manusiawi yang menyebabkan dia tidak dapat tinggal diam, melainkan memerlukan penyaluran melalui kegiatan-kegiatan yang produktif. Arus dari penyaluran energi ini adalah keras dan terpusat. Hal ini dapat dilihat dari usaha-usaha yang dijalankan dengan intensif, agresif dan terfokus pada inti persoalan.
Pragnosa mengenai sikapnya dapat pula dievaluasi. Pada waktu itu SM. Kartosoewirjo telah dapat mengatasi proses penyesuaian dari secara rasional dengan situasinya yang baru sebagai tahanan. Berkat intuisi dan daya analisanya yang tajam, maka ia makin hari makin tambah kewaspadaan. Ia sudah dan akan dapat membuat estimate (perkiraan) yang tepat mengenai maksud dan tujuan sebenarnya dari orang-orang yang datang untuk mengadakan introgasi, interview, wawancara dan sebagainya. Sehingga akan dapat menyesuaikan sikapnya sedemikian rupa, yang praktis menguntungkan bagi dirinya.
Hasil evaluasi psychologi seperti yang sudah dikutip di atas terhadap pribadi S.M. Kartosoewirjo menunjukkan, bahwa motivasi dan kesadaran spiritual yang menjadi dasar perjuangan suci Darul Islam, berpengaruh nyata terhadap kehidupan individu muslim. Memang kesadaran demikian akan bereaksi dalam jiwa seseorang yang menghendaki agar setiap individu memiliki intuisi yang peka, yang dengan itu dapat membedakan “yang ini benar dan yang itu salah”. Serta dapat merasakan antara yang indah dan yang buruk. Bukankah Islam mengajarkan cara paling utama untuk menghubungkan hati seorang muslim dengan khaliqnya, yaitu dengan mujahadah, mendidik intuisi yang peka dan perasaan halus. Pemikiran Islam dapat meningkatkan dan mendorong kepada penemuan baru yang dapat mempengaruhi alam dan mengetahui rahasianya. Karena itu manusia muslim diwajibkan agar senantiasa menjaga ibadah dan mengikuti perintah Allah guna meningkatnya intuisi, mempelajari apa-apa yang dapat memperluas wawasan pengetahuan, agar pengamatannya semakin luas, tajam serta menjangkau ke depan.
Menurut pengadilan MAHADPER dalam sidang ke 3 pada tanggal 16 Agustus 1962 telah terbukti, bahwa segala daya usaha yang telah dilakukan selama kurang lebih 13 tahun oleh Kartosoewirjo dengan mendirikan dan memperjuangkan Negara Islam Indonesia (DI/TII) itu adalah rencana makar yang bertujuan akan menggulingkan pemerintahan RI yang syah. Dan pengadilan menyatakan, bahwa perjuangan suci Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah sebuah "pemberontakan". Disamping itu, bahwa dia telah memerintahkan kepada anak buahnya untuk mengadakan aksi pembunuhan terhadap diri Presiden Soekarno. Oleh karena itu ketua sidang mengumumkan keputusan Mahkamah, yaitu hukuman mati atas terdakwa Kartosoewirjo..
Tuduhan-tuduhan fitnah ini semua tidak diakui oleh Kartosoewirjo. Dengan segala ketegarannya, meskipun fisiknya dalam keadaan lemah dan kurus, ia tetap konsisten mempertahankan idealismenya, sebuah cita-cita mewujudkan Daulah Islamiyah di Indonesia adalah perintah Ilahy yang harus diadakan dan diperjuangkan oleh umat Islam. Selanjutnya Kartosoewirjo menyusun surat wasiat yang terdiri dari empat bagian. Dalam bagian pertama (wasiat A) Kartosoewirjo menerangkan kepada anggota-anggota keluarganya tentang jalannya persidangan dan dia meminta agar supaya seluruh anggauta keluarga untuk tetap bersabar dalam menerima Kadar Allah yang pahit itu. Kepada isterinya Siti Dewi Kalsum dia berpesan untuk selalu terus menerus membimbing anak-anaknya menjadi putra-putri Islam yang sejati. Dalam bagian kedua (Wasiat B) Kartosoewirjo mengucapkan selamat berpisah kepada eks-Mujahidin dan bawahannya. Mereka perlu mengetahui, demikian Kartosoewirjo, bahwa dia hingga saat-saat terakhir bertindak dan berbuat selaku Imam Panglima Tertinggi APNII. Dan dia tidak ragu-ragu, bahwa apa yang dia lakukan bersumberkan perintah-perintah Allah dan Sunnah Rasulullah s.a.w, dan siap menjadi saksi kelak di achirat. Dalam wasiat itu juga dituliskan, bahwa dia haqqul yaqin suatu waktu cita-cita Islam yang telah diperjuangkannya akan terlaksana di bumi Indonesia, walaupun lawannya tetap menentang. Dalam kedua bagian terakhir wasiatnya (Wasiat C) Kartosoewirjo mohon kepada instansi yang berwenang, supaya barang-barang milik pribadi diberikan kepada keluarganya. Dia juga menyatakan keinginannya, (Wasiat D) bahwa jika nanti dia mati, supaya dia dikuburkan di tanah miliknya sendiri, yaitu di Suffah yang terletak di desa Cisitu, kecamatan Malangbong. Kepada pemerintah RI dia mengajukan permintaan, supaya wasiat-wasiatnya disiarkan lewat pers dan radio. Namun tidak ada satupun dari wasiat yang ditujukan kepada pemerintah RI yang dilaksanakan. Pemerintah RI memang merupakan pemerintah yang sejak dari dulu tidak pernah amanah.
Kartosoewirjo adalah seorang ulama besar yang berjuang tidak hanya berdasarkan ilmu agama, melainkan juga praktek kehidupan nabawi yang sangat konsisten. Ia ketika ditawarkan untuk mendapatkan "pengampunan" (amnesti) kepada Presiden Soekarno, dengan tegas dan tenang ia mengatakan: "Saya tidak akan pernah meminta ma'af kepada manusia Soekarno. Secepatnya laksanakan hukuman yang sudah Bapak Hakim Terhormat putuskan." Maka segenap manusia yang berada dalam ruang sidang itu terkejut dan tidak sanggup menjangkau mengapa ia lebih mencari "mati" ketimbang "hidup dengan pengampunan Presiden". MAHADPER ini dibentuk dan dibubarkan hanya untuk memberikan hukuman bagi Kartosoewirjo, tidak lebih dari itu.
Menarik untuk disimak sebuah kejadian di akhir-akhir persidangan dimana MAHADPER memutuskan eksekusi mati terhadap diri Kartosoewirjo, adalah upaya dari pihak keluarga Kartosoewirjo dalam hal ini diwakili oleh anak-anaknya, meminta kepada pihak pengadilan untuk menyaksikan eksekusi. Namun dari pihak MAHADPER setelah berkonsultasi dengan Presiden Soekarno tidak mengabulkan permintaan tersebut. Panglima Kodam Jaya Umar Wirahadikusuma telah memerintahkan untuk melaksanakan keputusan MAHADPER dan menyusun regu tembak yang terdiri dari keempat angkatan.
Pada tanggal 4 September 1962 Kartosoewirjo minta diri dari keluarganya dan keesokan hari di pagi buta, Kartosoewirjo bersama-sama dengan regu penembak dibawa dengan sebuah kapal pendarat kepunyaan Angkatan Laut dari pelabuhan Tanjung Priok ke sebuah pulau di teluk Jakarta. Pada pukul 5.50 WIB, hukuman mati dilaksanakan dan beliau menemui syahidnya dihadapan regu tembak disaksikan 7 orang Jenderal RI. Seorang Ulama, Mujahid dan Intelektual yang konsisten telah menyirami bumi ini dengan tetesan darahnya. Dia syahid untuk menyongsong kehidupan abadi di surga Firdaus, dengan sebelumnya telah meninggalkan 12 mujahid dan mujahidah penerusnya yang dalam hal ini adalah anak-anaknya, seperti:
1. Tati lahir pada tahun 1934 (telah meninggal).
2. Sri Rahajoe lahir pada tahun 1935 (telah meninggal).
3. Moehammad Darda (Dodo) lahir tahun 1936 (masih hidup).
4. Rachmat lahir tahun 1939 (telah meninggal).
5. Saleh lahir tahun 1940-an (telah meninggal).
6. Moehammad Tachmid lahir tahun 1942 (masih hidup).
7. Abdoellah lahir tahun 1943/44 (telah meninggal).
8. Semaoen Sjuhada lahir tahun 1945 (telah meninggal).
9. Danti lahir tahun 1947 (masih hidup).
10. Kartika lahir tahun 1950 (masih hidup).
11. Koemala Sari lahir tahun 1952 (masih hidup).
12. Sardjana lahir tahun 1956/57 (masih hidup).
Tiga anak Kartosoewirjo yang terakhir lahir dan besar di hutan dan suatu kondisi perang gerilya yang serba payah. Keluarga ini, mengutip istilah Pramoedya Ananta Toer, adalah "keluarga gerilya", sebenar-benarnya gerilya bahkan hingga zaman sekarang.