TIGA MINGGU setelah tragedi Tanjung Priok, 4 Oktober 1984, meletus beberapa bom di Jakarta, di Bank BCA Cabang Gajah Mada, dan cabang Jenderal Sudirman. Bank ini dimiliki orang-orang Cina. Kemu-dian meletus pula beberapa bom di pusat perbelanjaan Metro Cileduk, yang merupakan pusat perdagangan Cina di Jakarta. Pada tanggal 24 Desember, meledak pula bom di Gereja Katholik dan lembaga pendidikan Protestan di Malang Jawa Timur. Tanggal 21 Januari 1985, meledak bom di Borobudur, sebuah candi yang sangat terkenal di dunia, yang didirikan pada abad ke-10 di Jawa Tengah. Tanggal 19 Maret, ada 9 orang korban peledakan bom yang meledak sebelum waktu-nya di dalam bus malam tujuan Bali.
Antara Oktober 1984-Juli 1985 sering terjadi pemba-karan dan pengeboman di berbagai daerah di Indonesia, yang paling parah terjadi di Jakarta. Pabrik Indomie terbakar pada 17 Oktober, dan beberapa hari berikutnya, 22 Oktober gedung Sarinah Jaya di bakar. Seminggu kemudian, 29 Oktober kebakaran terjadi di gudang penyimpanan milik angkatan laut di Cilandak, yang mengakibatkan hancurnya bangunan. Pada hari yang sama hancur pula rumah makan, gedung pertunjukan dan beberapa ruko di pasar Lantip, dan sasaran berikut-nya adalah Kartika Plaza yang diamuk api dengan hebatnya, 11 November, dua hari setelah terbakarnya gedung Sarinah Jaya yang terdiri dari beberapa tingkat. Pada tanggal 12 Februari 1985 gudang militer di Jakarta utara terbakar. Setelah beberapa bulan keadaan tenang, gedung Metro yang berlantai 9 terbakar. Hal ini terjadi pada tanggal 10 Juli 1985. Pada tanggal 21 Juli gedung RRI ludes terbakar.
Beberapa kota lain, menyaksikan pula peristiwa-peristiwa semacam itu. Di Yogyakarta pernah di pasang bom di stasiun Tugu, 23 Oktober 1984 tetapi tidak meledak. Pada awal November, salah satu tempat perbelanjaan modern di Jl. Malioboro di bakar dan pada hari yang sama, di dekat gedung bioskop Mataram dipasang bom ketika pertunjukan sedang berlangsung saat diputar film peristiwa berdarah tahun 1965 dan bagaimana Soeharto merebut kekuasaannya dari Soekarno. Di Surakarta salah satu daerah penting di Jawa Tengah, 31 Januari 1985 terjadi pembakaran keraton Kasunanan.
Pihak keamanan, bekerja keras melakukan penyelidikan atas kasus-kasus tersebut. Banyak orang yang dicurigai melakukan tindak pidana ini, diajukan ke pengadilan. Sekalipun pihak keamanan telah membawa terdakwa ke pengadilan, tetapi tempat-tempat yang terbakar itu sendiri tidak pernah menjadi obyek penyelidikan. Bahkan pemerintah mengang-gap remeh dan mengkambing hitamkan konsleting listrik.
Perasaan takut terhadap kelompok Islam bersenjata, merupakan issu yang tersebar luas dalam sejarah Indonesia modern. Sesudah pengadilan kasus Tanjung Priok, muncul serentetan persidangan yang mengungkit persoalan teroris Islam yang berusaha mendapatkan dukungan negara-negara Islam dalam revolusi Indonesia yang terjadi pada dasawarsa 1950-an sampai sekarang. Persidangan kasus peledakan bom, dilakukan dengan tujuan membuktikan adanya komplotan yang mengancam kea-manan negara yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam sempa-lan. Pengamatan terhadap jalannya persidangan ini membuktikan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut telah direkayasa, sebagai dalih untuk dapat menangkap orang-orang yang melakukan kritik terhadap negara. Keja-dian-kejadian ini tidaklah dapat ditafsirkan sebagai perbuatan kaum fundamentalis Islam, tapi justru membuktikan adanya operasi rahasia pihak intelijen dengan jalan memunculkan aksi-aksi beruntun, kelompok-kelompok yang melakukan makar dan menciptakan perasaan takut serta saling curiga diantara aktivis gerakan Islam.
Ditonjolkannya HM. Sanusi sebagai tertuduh utama dalam kasus peledakan bom dan kasus-kasus lain yang menyangkut dirinya dalam usaha makar terhadap presiden RI, Soeharto, mengisyaratkan bahwa pemerintah sengaja menjadikan Sanusi sebagai tumbal, karena dia dianggap sebagai koordinator antara kaum teroris, peledakan bom dan kelompok-kelompok makar lainnya. Begitu pula para anggota Petisi 50 yang terkenal, di mana Sanusi menjadi anggotanya. Upaya-upaya peme-rintah untuk menjatuhkan Sanusi begitu jelas dalam persidangan pertama kasusnya, dan ketika tertuduh lain serta saksi-saksi pihak jaksa penuntut mencabut pengakuan mereka dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Para saksi itu menyatakan, bahwa mereka dipaksa membuat pengakuan palsu ketika mereka dipermak habis-habisan dan disiksa di luar batas kemanusiaan.
Beberapa kasus peledakan bom mengungkap secara jelas ciri sebenar-nya dari rezim Soeharto. Empat orang tertuduh dalam persidangan per-tama di Malang, penguasa menyebut mereka sebagai orang-orang fanatik. Kemudian dikatakan bahwa keempat orang tertuduh yang terpelajar itu bergabung dalam gerakan Komando Jihad. Persidangan-persidangan ini berlangsung di seluruh Jawa, sehingga mengesankan adanya jaringan yang sudah dipersiapkan untuk menelan korban siapa saja.
Jaksa penuntut umum mendasarkan tuntutan-tuntutannya pada pengakuan bersalah tertuduh. Hanya karena seseorang sudah mengaku bersalah, tanpa mengakui kejahatan-kejahatannya, maka kesalahan-kesa-lahan itu sudah bisa melibatkan teman-temannya. Cara semacam itu menimbulkan matarantai antara peristiwa, pelaku-pelaku dan kelompok-nya. Misalnya, seorang tertuduh kasus peledakan bom yang mengaku bahwa dirinya bertindak demikian karena terpengaruh oleh ceramah seorang muballigh, maka muballigh yang bersangkutan sudah bisa dikenai tuduhan sebagai penghasut atau teroris. Selanjutnya jaksa secara implisit membuat kesimpulan adanya gerakan revolusi untuk mendirikan negara Islam, seperti yang telah berdiri pada dasawarsa 1950-an, dan sampai sekarang sangat mempengaruhi stabilitas nasional.
Menghubungkan antara peristiwa, nama yang berulang-kali disebut, introgasi-introgasi dan penyidangan beberapa terdakwa sampai dua kali, semuanya ini dimaksudkan untuk memberikan kesan adanya teroris, padahal hak-hak terdakwa telah dipasung dalam persidangan yang me-ngadili perkaranya. Peristiwa-peristiwa dan orang-orang yang dilibatkan, menimbulkan kebingungan sehingga penelitian yang dilakukan secara tenang terhadap perkara-perkara ini hanya menghasilkan kesimpulan nol-nol besar. Artinya, semua itu berdasarkan data-data yang ada, adalah rekayasa. Bahkan para pengacara sendiri bingung menghadapi problem ini. Salah seorang anggota LBH pernah menyimpulkan bahwa berulangkalinya kejadian seperti ini, maka mencari kebenaran disini, laksana mencari jejak burung terbang.
Di bawah ini akan kami paparkan kenyataan yang berlangsung dalam persidangan beberapa tokoh, dari berbagai organisasi sekitar kasus peledakan bom. Jika orang mau membaca laporan-laporan yang dimuat surat kabar tentang jalannya peristiwa demi peristiwa tersebut, maka dengan mudah dapat diketahui bahwa orang-orang tersebut mempunyai hubungan dengan badan-badan intelijen militer. Peranan intelijen militer terlihat jelas di dalam kasus persidangan serupa itu pada tahun 1982, ketika sekelompok aktivis muslim dijatuhi hukuman. Kelompok ini adalah gerakan yang dipimpin Imran bin Zain, yang mempunyai hubungan dalam peristiwa pembajakan pesawat Garuda seperti yang dapat kita baca dalam Bab III. Masalah ini dijadikan catatan dalam pembelaan persi-dangan kasus HR. Dharsono.
Bab 06-01 Peledakan Bom di BCA dan Persidangan HM Sanusi
Dua orang tertuduh utama dalam persidangan di Jakarta, berkisar masalah peledakan bom di dua cabang BCA yang dikuasai Cina. Kedua terdakwa itu adalah:
1. Nama : Ir. HM. Sanusi
Umur : 66 tahun
Keterangan : Seorang pekerja keras dan aktivis organisasi Muham-madiyah. Namanya populer di zaman orde lama. Pada tahun 1966, diangkat sebagai menteri perin-dustrian dalam kabinet Soeharto. Ia menjabat sampai tahun 1968, ketika Soeharto, mungkin tidak lagi mempercayainya, setelah peristiwa “kasus mobil”. Dia pernah duduk sebagai anggota DPR 1971-1977 mewakili Parmusi, partai Islam yang didirikan setelah tahun 1965. Partai ini bertujuan melaksanakan program Masyumi, sebuah partai Islam yang telah dilarang kegiatannya di masa demokrasi terpimpin.
Soeharto ternyata tetap melarang Masyumi hidup kembali, dan memaksakan berdirinya partai baru dengan maksud untuk menjauhkan tokoh-tokoh Masyumi dari kehidupan politik. Pada tahun 1970, Sanusi bergabung dengan Jhon Naro dan Agus Sudono, melakukan “kudeta” di dalam tubuh Parmusi guna mengarahkan partai ke garis yang dapat diterima oleh pemerintah. Namun orang-orang yang “mengkhianati” kudeta, berbalik menjadi orang-orang yang loyal pada orde baru. Jhon Naro menjadi ketua umum Parmusi, dan selanjutnya menjadi ketua umum PPP. Sedangkan Agus Sudono menjadi ketua KADIN.
HM. Sanusi kemudian mengambil sikap konfrontasi dengan peme-rintah orde baru. Tahun 1980, bersama-sama dengan tokoh-tokoh politik terkenal dan beberapa mantan perwira menandatangani Petisi 50 yang berkali-kali melakukan kritik terhadap Soeharto. Dia juga termasuk salah seorang penandatangan Lembaran Putih yang diterbitkan setelah terjadinya tragedi Tanjung Priok, yang akhirnya menyebabkan diadilinya sejumlah besar orang Islam.
Sanusi ditangkap 10 Oktober 1984, dan disidangkan pada awal Januari. Persidangannya berlangsung kira-kira 4 bulan, berakhir Mei 1985 dengan mendiskreditkannya, dan bahkan menghukumnya dengan kurungan penjara selama 19 tahun. Tuduhan yang sangat memberatkan dirinya ialah, dia menyerahkan uang Rp 500.000,- (US $ 600) pada para pelaku pengeboman Bank BCA, guna membeli bahan peledak.
Masih ada tuduhan lain yang ditimpakan kepada HM. Sanusi, yaitu memerintahkan pengeboman di berbagai tempat. Di hadapan majelis hakim, Sanusi menyangkal tuduhan tersebut, tetapi ketika hal itu dikait-kan dengan pemberian uang pada Husnul Arifin , yang juga tertuduh dalam kasus peledakan bom, dia tidak dapat menyangkalnya. Husnul Arifin disidangkan dalam kasus penyebaran lembaran putih yang belum dicetak, yang memaparkan tentang tragedi berdarah di Tanjung Priok.
Tertuduh tunggal di dalam peristiwa peledakan bom dan yang benar-benar mengetahui masalahnya adalah Rahmat Basuki. HM. Sanusi menyatakan, bahwa dirinya bertemu dengan kedua orang ini (Husnul Arifin dan Amir Wijaya) hanya sebentar, dalam kedudukannya sebagai anggota Petisi 50, dan ia menyangkal dengan keras segala bentuk hubungan berkaitan dengan kasus lembaran putih maupun peledakan bom di Jakarta. Selain itu kedua terdakwa dalam kasus peledakan bom tidak pernah diminta kesaksiannya untuk kasus yang lain.
Bab 06-02 Pelaku Pengeboman di Persidangan
Pada saat persidangan HM. Sanusi masih berlangsung, ada 6 orang lain yang dituduh turut terlibat langsung dalam peristiwa pengeboman di BCA. Mereka disidang dalam waktu bersamaan. Dan semua persidangan ini berkaitan dengan kasus Sanusi.
Sejauh yang dapat kami fahami dari berita-berita surat kabar tentang persidangan mereka, ternyata tidak ada maksud politis dari orang-orang tersebut, selain sekedar ingin menarik perhatian. Semuanya mengakui turut terlibat dengan cara tertentu atau lainnya dalam pengeboman cabang-cabang BCA, 4 Oktober 1984. Mereka mengakui bahwa atas kemauan sendiri dan bermaksud untuk menarik perhatian agar masya-rakat mau sadar, bahwa tokoh-tokoh Cina telah menguasai keuangan dan ekonomi negara, dan hal semacam ini sangat berbahaya.
BCA adalah bagian dari imperium usaha Liem Sioe Liong, sahabat karib Soeharto dan seorang nonpri yang paling kaya di Indonesia. Memiliki tujuan demikian memberi kesan, bahwa para pelaku pengeboman mem-punyai target politis yang seyogyanya dimengerti oleh WNI. Persidangan terhadap mereka ini, sesuai dengan undang-undang anti subversi, jaksa penuntut menyatakan bahwa “serangan terhadap sahabat Soeharto, sama dengan serangan terhadap kepala negara itu sendiri”.
Para Terdakwa itu adalah:
1. Nama : Jayadi
Umur : 30 tahun
Pekerjaan : Karyawan
Keterangan : Ditangkap 4 Oktober 1984. Sidang dimulai Februari Mei 1985. Vonis, penjara 15 tahun. Karena perannya dalam peledakan bom di BCA Cab. Sudirman, dia dijadikan saksi dalam persidangan-persidangan yang lain.
2. Nama : Milta Halim
Umur : 32 tahun
Pekerjaan : Karyawan
Keterangan : Ditangkap 1 Oktober 1984. Perkaranya disidang mulai Januari - Mei 1985, karena meledakkan bom di Metro Plaza. Ketika ditanya hakim yang mengadi-linya, dia menjawab “kasus ini adalah rekayasa dari sejumlah tokoh-tokoh pemerintah”. Namun pernya-taannya ini sedikitpun tidak dimuat mass media. Dia divonis kurungan penjara 18 tahun.
3. Nama : Khairul S. Nur Jalal
Umur : 21 tahun
Pekerjaan : Mahasiswa Akademi Teknik Industri
Keterangan : Ditangkap 7 Oktober 1984. Disidangkan perkaranya dari bulan April sampai Mei 85, karena meledakkan bom BCA Cab. Gajah Mada dan merobohkan monumen Pancasila. Hukuman, penjara 10 tahun.
4. Nama : Husnul Arifin
Umur : 47 tahun
Pekerjaan : Karyawan
Keterangan : Ditangkap 7 Oktober 1984. Disidangkan perkaranya dari Januari - Mei 85, karena meledakkan BCA Cab. Gajahmada, menyimpan bahan-bahan peledak dan menyetujui diterbitkannya buku berisi kasus pem-bantaian Tanjung Priok atas permintaan Sanusi. Dia juga menjadi saksi dalam kasus Sanusi dan Rahmat Basuki. Divonis penjara 15 tahun.
5. Nama : Rahmat Basuki
Umur : 42 tahun
Pekerjaan : Karyawan
Keterangan : Ditangkap 7 Oktober 1984. Disidangkan perkaranya dari Januari - Mei 1985, dia disebut sebagai dalang pengeboman. Diapun ditanya tentang adanya pertemuan tanggal 18 Oktober, ketika terjadinya pembantaian di Tanjung Priok. Ia menghadiri pertemuan, 18 September, bersama dengan anggota Petisi 50. Hal ini menberikan peluang kepada jaksa penuntut umum untuk mengkait-kaitkan antara kelompok Petisi 50 dengan kelompok sektarian yang terkenal dengan kelompok kasus Tanjung priok. Basuki telah lama mempunyai hubungan bisnis dengan Sanusi dan dia telah biasa menerima ban-tuan keuangan dari Sanusi dalam kegiatan bisnisnya. Dia juga punya hubungan dengan Tasrif Tuasikal dalam kasus pengeboman BCA. Persahabatannya berlangsung sejak 1978 setelah kedua orang ini menjalin persahabatannya setelah mereka dan Djaelani mengecam beberapa orang naggota MPR. Basuki juga menjadi saksi dalam persidangan HR. Dharsono dan AM. Fatwa. Dia divonis penjara 17 tahun.
6. Nama : Edy Ramli
Umur : 42 tahun
Pekerjaan : Karyawan PLN
Keterangan : Ditangkap tanggal 13 Desember 1984. Disidangkan perkaranya dari Januari sampai Mei 1985 karena meledakkan bom di BCA Cabang Gajah mada dan merusak monumen Pancasila. Divonis penjara 16 tahun.
Bab 06-03 Keributan dalam Persidangan HM Sanusi
Pada tanggal 25 Februari, Tasrif Tuasikal yang persidangan kasusnya belum pernah dimulai, memberikan kesaksian dalam kasus Sanusi. Dengan tiba-tiba dia mencabut keterangan penting dalam BAP, yaitu tuduhan bahwa dia telah diberi uang oleh Sanusi. Tasrif mengatakan di depan persidangan, bahwa keterangan dalam BAP diberikan karena jaksa menekannya. Dalam persidangan itu juga, Khairil Syah mencabut kesaksiannya yang lalu dan menyangkal bahwa dirinya mengetahui sumber-sumber dana untuk pembelian bahan peledak.
Pada hari berikutnya Rahmat Basuki memberikan kesaksian dalam kasus Sanusi. Ia menyangkal telah diberi uang oleh terdakwa. Di depan persidangan ia mengatakan, bahwa dirinya dipaksa untuk mendeskre-ditkan terdakwa. Dia tidak ingin berbuat seperti Husnul Arifin yang dikatakannya sebagai orang kerdil. Memperhatikan masalah, dengan segera dapat diketahui bahwa Husnul Arifin telah mengalami penyiksaan berat. Penderitaan akibat penyiksaan ini membuat tahanan-tahanan lain merasa diteror, sehingga mereka mau menandatangani BAP yang menguatkan tuduhan jaksa terhadap terdakwa. Begitu juga Milta Halim yang memberikan kesaksian di depan persidangan kasus Sanusi, telah menyangkal bahwa dia mengetahui Sanusi punya hubungan dengan peristiwa-peristiwa pengeboman. Ujarnya,”Rahmat Basuki telah mence-ritakan banyak hal yang sebenarnya dia tidak tahu kebenarannya. Semua ceritanya itu hanya bersumber dari keterangan-keterangan Edi Ramli”.
Dalam persidangan Rahmat Basuki, 9 Maret Tuasikal kembali mencabut kesaksianya. Ujarnya,”Amir Wijaya itulah yang memberikan bahan peledak kepada mereka. Untuk pertamakalinya dia menyebut nama Wijaya ketika memberikan kesaksian dalam persidangan kasus Jayadi. Tuasikal berkata,”Amir Biki adalah pimpinan massa demonstran dan termasuk orang yang terbunuh dalam peristiwa Tanjung Priok”. Amir Biki inilah yang menceritakan kepadanya bahwa Wijayalah yang bisa memberikan senjata-senjata kepada mereka. Dalam persidangan banyak terjadi pencabutan keterangan saksi. Seperti Husnul Arifin, mencabut keterangannya berkenaan dengan adanya pertemuan yang dikatakannya telah dilakukannya dengan Sanusi, Basuki, dan Tuasikal. Arifin menceritakan di depan persidangan bagaimana sejumlah orang yang tak dikenal identitasnya melakukan introgasi terhadap dirinya setelah ia ditangkap dan dipukuli dengan pentungan. Khairilsyah kembali menyangkal semua keterangannya. Ia pun menyangkal bahwa dirinya tahu tentang dana-dana untuk pembelian bahan peledak. Dari sinilah mulai muncul keributan dalam persidangan kasus Sanusi.
Sekiranya hal semacam itu dimaksudkan untuk menjaring ikan besar dengan memberi umpan sedikit, maka taktik semacam itu telah beran-takan. Oleh karena itu dalam persidangan Sanusi, 16 Maret jaksa penuntut umum mengajukan saksi baru bernama Amir Wijaya. Kehadiran orang ini menimbulkan keheranan, karena sebenarnya nama dia tidak tercantum di dalam daftar nama-nama saksi yang diajukan oleh jaksa penuntut sebelumnya.
Olah karena itulah tim pembela meragukan tanggal dan tempat penahanan Wijaya. Tim pembela terdakwa menyelidiki bukti-bukti atas keterangan jaksa penuntut umum, bahwasanya Amir Wijaya ditahan di Rutan Salemba. Namun ternyata mereka tidak menemukan nama tersebut di dalam daftar orang-orang tahanan di sana. Dan jaksa juga tidak memberikan keterangan apapun mengenai hasil introgasinya terhadap yang bersangkutan sebelum persidangan. Data-data semacam ini biasanya merupakan hal yang logis dilakukan terhadap setiap ter-dakwa dan saksi. Wijaya mengaku, bahwa Sanusi telah memberikan uang kepadanya untuk membeli bahan peledak. Dengan marah Sanusi menyangkal hal tersebut. Dia menyangkal juga semua keterangan saksi di persidangan. Ujarnya,”Dia sedikitpun tidak pernah mendengar keterli-batan Wijaya dalam peledakan bom. Walaupun peristiwa itu telah lewat tiga bulan, kedua orang ini pernah bertemu sebentar. Ia menyangkal pengakuan Wijaya yang mengatakan telah bertemu di rumahnya, 8 Oktober sore.
Tim pembela menunjukkan tiket pesawat terbang yang membuktikan, bahwa Sanusi baru tiba di tanah air pada hari itu menjelang Maghrib, karena dia selama 10 hari berada di Jepang. Sanusi mengatakan kepada sidang, bahwa Rahmat Basuki telah meminta maaf kepadanya melalui surat, karena dia telah mendeskreditkan terdakwa secara zalim.
Meskipun ada pencabutan semua keterangan saksi, dan ada keraguan terhadap kemunculan Wijaya sebagai bukti tunggal dalam kasus Sanusi, ternyata Sanusi tetap dipojokkan oleh majelis hakim, dan bahkan divonis dengan hukuman penjara yang lama, sehingga bagi orang yang seumur Sanusi berarti hukuman seumur hidup.
Para hakim mengabaikan semua pencabutan pengakuan, mereka tidak mau menyelidiki keluhan-keluhan para saksi bahwa mereka meng-hadapi tekanan ketika berlangsung penyidikan. Dalam persidangan kasus Sanusi ini terbuktilah bahwa pengakuan yang didapat oleh penyidik dengan cara kekerasan di ruang-ruang introgasi, jauh lebih berharga daripada keterangan yang diberikan oleh saksi secara jujur di depan persidangan sesudah mereka diangkat sumpah.
7. Nama : Tasrif Tuasikal
Umur : 50 tahun
Pekerjaan : Guru dan ketua GPII Jakarta
Keterangan : Dia ditahan, 30 November 1984. Perkaranya disi-dangkan dari bulan April - Agustus 1985 dengan tuduhan selaku koordinator operasi peledakan bom di Jakarta. Seperti terhadap Basuki, jaksa meng-kaitkan kasus pengeboman dengan peristiwa pem-bantaian Tanjung Priok. Tuasikal telah didiskredit-kan dengan adanya hal-hal sebelumnya, sebab dia telah mendiskreditkan dirinya sendiri tatkala memberikan kesaksian-kesaksian dalam persidangan-persidangan yang lain. Tuasikal menceritakan di depan persidangan, bahwa dirinya telah menda-patkan tekanan agar mendiskreditkan Sanusi, tapi ia tidak menjelaskan, atau mungkin surat kabar yang tidak memberitakannya, bahwa dia juga ditekan untuk mendiskreditkan Fatwa dalam peristiwa peledakan pengeboman. Fatwa mengatakan dalam persidangan kasus Tuasikal, yang bersangkutan telah minta maaf kepadanya karena keterangannya itu, sambil menunjukkan luka-luka di dadanya. Hal ini menguatkan anggapan orang, bahwa pihak militer berkeinginan untuk mengaitkan kasus peledakan bom dengan salah seorang penandata-ngan lembaran putih. Tuasikal divonis hukuman penjara seumur hidup, kemudian oleh pengadilan tinggi dirubah menjadi hukuman penjara 17 tahun.
8. Nama : Amir Wijaya
Umur : 32 tahun
Pekerjaan : Direktur perusahaan, dan mahasiswa sebuah Perguruan Tinggi, begitulah kata jaksa.
Keterangan : Ditahan pada tanggal 26 Desember 1984, persi-dangannya memakan waktu antara Mei-Agustus 1985, dengan tuduhan memberikan bahan-bahan peledak yang dipakai di dalam kasus-kasus penge-boman. Amir menaruh perhatian khusus tentang hubungannya dengan Abdul Qadir Djaelani, yang telah divonis penjara pada tahun yang sama dengan Sanusi. Peran Amir Wijaya sebagai seorang agen intelijen militer sangat kentara. Vonis pengadilan terhadap terdakwa dengan hukuman 14 tahun penjara, ditafsirkan orang sebagai usaha kamuflase pengadilan untuk menutupi perannya sebagai agen intelejen.
9. Nama : Robi Burmana Pantau
Umur : 38 tahun
Pekerjaan : Sopir pribadi Amir Wijaya
Keterangan : Ditangkap, 6 Februari 1985. Disidangkan perkara-nya dari September-Desember 1985, karena mem-bantu Wijaya untuk membuat bom. Orang ini tersangkut di dalam kasus ini semata-mata karena dia bekerja di tempat Amir Wijaya. Dalam introgasi dia mengaku memperoleh bom dari tiga orang di desa Parung Jawa Barat. Tiga orang itu adalah Mariadi alias Pidul, Insib, dan Ismet. Sekalipun Insib dan Ismet baru dikenal ketika kedua orang ini memberikan kesaksian dalam persidangan kasus Wijaya, mereka itulah yang menarik sumbu dinamit. Akan tetapi dua orang ini tidak dikenai tuduhan apapun. Hal semacam ini hanya bisa ditafsirkan, bahwa kasus ini benar-benar misterius. Demikian pula seluruh proses persidangannya.
10. Nama : Umar Katsiri
Umur : 29 tahun
Pekerjaan : Mahasiswa Electro
Keterangan : Tanggal penangkapannya tidak diketahui. Disidang-kan pada bulan November-Desember 1985, dengan tuduhan membantu Amir Wijaya membuat remote untuk meledakkan bom dari jarak jauh. Pengadilan kasusnya sulit difahami. Sebab semua keterangan yang diberikan di hadapan penyidik dicabutnya kembali, tetapi dia mengakui semua tuduhan yang dikenakan atasnya. Salah seorang saksi bernama Ikin Sadikin, mengakui bahwa Amir Wijaya memin-ta bantuannya. Dia merupakan orang terakhir yang dihadirkan di dalam persidangan. Tim pembela dengan keras memprotes bahwa segala perbuatan yang dituduhkan kepada Umar, sebenarnya tidak lebih ringan dengan yang dituduhkan kepada Ikin Sadikin. Ketiga orang ini adalah orang-orang yang disebut namanya dalam persidangan Pantaw, tapi ternyata Katsiri dan Pantaw dihukum, sedang yang lain-lain tidak.
Persidangan kasus pengeboman BCA, yang dibuktikan melalui keterangan-keterangan saksi dan 10 orang saksi yang terlibat, ternyata masing-masing saling memojokkan temannya sendiri. Rahmat Basuki dan Tuasikal tidak hanya memojokkan orang-orang yang telah mengaku, tetapi juga memojokkan yang lainnya, seperti Fatwa, Amir Biki yang sudah mati dan Abdul Qadir Djaelani. Orang yang menjadi sasaran paling utama dari persidangan-persidangan ini adalah Sanusi.
Tim pembela sangat menentang penerapan UU anti subversi terhadap para terdakwa. Jaksa penuntut dalam persidangan Husnul Arifin mengatakan: ”Subversi tidak hanya diperlukan dalam politik saja, tetapi tingkah laku politik pun dapat juga dikenai tuduhan subversi”. Pernya-taan ini sangat berbahaya, karena negara memberikan keleluasaan terhadap dirinya sendiri untuk menggunakan atau tidak menggunakan UU yang bengis ini.
Persidangan-persidangan kasus peledakan bom di Jakarta dipergu-nakan untuk membuktikan adanya hubungan antara demonstrasi Tanjung Priok dengan peledakan bom pada tanggal 4 Oktober. Namun para saksi yang dihadirkan oleh tim pembela ternyata tidak bisa menemukan bukti ini. Misalnya, saksi Husnul Arifin memiliki bahan peledak di rumahnya, 10 September, dua hari sebelum terjadinya demonstrasi Tanjung Priok. Amir wijaya dalam memberikan kesaksian pada persidangan Tuasikal bulan juli 1984, mengaku bahwa Abdul Qadir Djaelani meminta dirinya untuk mencarikan bahan peledak. Hal ini terjadi jauh sebelum pristiwa Tanjung Priok, dan bahkan pengakuannya tentang adanya pertemuan, 18 September yang dilakukan sebagai reaksi atas peristiwa Tanjung Priok, tidak dapat membungkam kritik. Di dalam persidangan terbukti bahwa undangan untuk rapat telah disebarkan jauh sebelumnya, untuk memperingati hari meninggalnya mantan wakil presiden Adam Malik. Issu-issu yang banyak berkembang di dalam persidangan lebih merupakan kebohongan ketimbang kebenaran. Misalnya, terdakwa yang mencabut keterangannya pada hari ini, besok-nya para saksi menguatkan keterangan yang dicabutnya itu, yang seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa. Ketika kami membaca hal ini dalam media massa Indonesia, pembaca dibuat terheran-heran, bagaimana para redaktur bisa menyembunyikan rasa keraguannya menghadapi hal semacam ini. Tetapi jika mereka tidak berbuat demikian, mereka akan menghadapi banyak kesulitan. Namun ada beberapa mas media yang memberanikan diri untuk membicarakan proses persidangan yang menggelikan ini. Dan secara implisit mengesankan, adanya orang ber-darah dingin menskenario persidangan ini.
Persidangan-persidangan kasus pengeboman membuktikan, bahwa peristiwa semacam ini muncul sebagai reaksi atas tragedi berdarah di Tanjung Priok. Namun rezim penguasa tidak mampu untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan darimana munculnya gagasan peledakan bom, sekalipun sebagian besar terdakwa tidak menutup-nutupi niat sebenarnya. Sejak Amir Wijaya berkolusi dengan jaksa untuk memainkan peran tertentu, walau sebenarnya dia adalah anggota intel militer yang turut melakukan pengeboman. Peran sedemikian ini tidak boleh diabaikan. Para terdakwa, kecuali HM. Sanusi, bukanlah orang-orang politik dan tidak pula mampu untuk memahami tujuan-tujuan rezim memperalat orang-orang yang dituduh sebagai teroris, karena kuatnya penindasan di seluruh negeri dan seluruh anggota masyarakat, khususnya masyarakat Islam; disebabkan adanya situasi yang kian memanas di Indonesia.
Bab 06-04 Persidangan Kasus Pesantren Kilat
Ketika persidangan kasus Amir Wijaya berlangsung di Jakarta, dimulai pula gelombang persidangan di Malang, Jawa Timur yang berlangsung sejak akhir juli-Oktober 1985. Berita-berita surat kabar sebelum persida-ngan dilakukan masih simpang siur. Tidak diketahui siapa yang akan disidangkan, dan apa tujuannya terhadap yang bersangkutan. Beberapa surat kabar menulis, bahwa tertuduh berjumlah lima orang, sebagian lagi mengatakan 7 orang. Tertuduh yang pertama kali akan diajukan, menurut omongan orang, adalah Mohammad Akhwan. Padahal menu-rut berita salah satu surat kabar yang terbit, 18 September, orang ini telah selesai disidang. Baru kemudian menjadi jelas, bahwa kasusnya baru disidangkan, April 1986 dengan empat orang terdakwa, yaitu:
1. Nama : Faesal Basri.
Umur : 21 tahun.
2. Nama : Marjoko.
Umur : 26 tahun.
Keterangan : Ditangkap 24 Desember 1984. Kedua orang ini dituduh mengebom gereja Katholik , Santo Budaya dan gereja Protestan St. Isabella di Malang. Kedua-nya juga dituduh menyebarkan bulletin gelap.
3. Nama : Andi Sukisno.
Umur : 21 tahun.
Keterangan : Ditangkap 29 Januari 1985.
4. Nama : Sugeng Budiono.
Umur : 20 tahun.
Keterangan : Ditangkap, 22 Januari 1985. Kedua orang ini dinya-takan bersalah karena keterlibatannya dalam penge-boman Candi Borobudur.
Ahmad Muladawilah, seorang yang kesaksiannya di depan penga-dilan sangat mendiskreditkan para terdakwa. Akan tetapi setelah dia sendiri disidangkan kasusnya, dia dikenakan dakwaan yang sama. Pada-hal tidak ada bukti-bukti materiel yang bisa dikenakan terhadap keempat orang tersebut sebagai pelaku pengeboman. Akan tetapi, ketika di dalam persidangan-persidangan yang digelar, mereka tampil berapi-api dalam menyampaikan pembelaannya, maka terbukalah jalan untuk mengenakan tuduhan-tuduhan baru terhadap orang-orang yang terlibat di dalam jaringan operasi Komando Jihad dengan cara-cara yang sangat sederhana. Gerakan ini mempunyai nama sandi: L.B.3K menggunakan alfabet Inggris. Jaksa penuntut umum tidak mengira, bahwa gerakan L.B.3K adalah gerakan illegal. Namun sebaliknya, jaksa mengatakan bahwa taktik gerakan ini adalah hendak mengkoordinasikan orang-orang L.B.3K dalam kegiatan komando strategi dan target-terget teror. Jaksa menuduh bahwa Lembaga ini menyiapkan anggota-anggotanya dengan latihan militer, terampil menggunakan senjata sebagai persiapan mendi-rikan negara Islam di Indonesia. Daftar tuduhan terhadap empat orang ini, berisikan catatan semua cabang Komando Jihad di Jawa, terutama Jawa Timur dan Jawa Barat. Jaksa menuduh, bahwa Marjoko adalah pemimpin lembaga ini. Tim pembela dari LBPHKAI yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendampingi keempat orang tersebut, sebenarnya berada di bawah pengaruh rezim. Masing-masing terdakwa divonis dengan hukuman penjara 8 tahun. Persidangan mereka dilakukan dalam waktu yang sama, tapi ruangannya terpisah. Jaksa penuntut tidak puas dengan hukuman terhadap terdakwa, dan mengajukan banding, sehing-ga Marjoko kemudian dijatuhi 9 tahun; sedangkan Andi Sukisno dijatuhi hukuman 10 tahun. Adapun dua terdakwa lainnya vonisnya tetap.
Persidangan-persidangan kasus ini berusaha untuk membuktikan adanya kaitan antara empat terdakwa dengan dua terdakwa lainnya, yang perkaranya disidangkan di pengadilan negeri Surabaya dengan tuduhan yang sama tentang kasus Komando Jihad. Dua orang itu adalah:
1. Nama : Sampoang Abdul Malik.
Umur : 54 tahun.
Pekerjaan : Muballigh dan ketua lembaga pendidikan Islam di Surabaya.
Keterangan : Dituduh melakukan tindak pidana subversi dan dihukum 20 tahun penjara.
2. Nama : Anderi Harto.
Umur : 25 tahun.
Pekerjaan : Mahasiswa Univ. Muhammadiyah dan mahasiswa LB.3K.
Keterangan : Didakwa mengedarkan bulletin gelap dan dijatuhi hukuman penjara 12 tahun.
Dua saksi utama yang menguntungkan jaksa penuntut umum, adalah Mohammad David Frans dan Mohammad Akhwan. Keterangan kedua orang ini sangat memojokkan posisi empat terdakwa di Malang. Keduanya menganggap ada hubungan antara LB.3K, dengan semakin meningkatnya kegiatan subversi dan peledakan bom di Jakarta. Keduanya mengingatkan adanya pertemuan yang telah berlangsung di Jakarta yang dihadiri oleh aktivis gerakan Pesantren Kilat dan HM. Sanusi. Pertemuan ini membicarakan taktik dan tipu daya Soeharto. Hal ini merupakan petunjuk awal adanya komplotan besar yang menjadikan semua ter-dakwa lain, tersangkut ke dalamnya. Dengan demikian, LB.3K berubah menjadi sangat populer karena disebut-sebut dalam setiap persidangan di Malang dan Surabaya. Berita-berita surat kabar tentang persidangan kasus Malang sangat sedikit. Ada beberapa surat kabar yang memuat kesaksian tertulis Mursalin Dahlan, sebagai pendiri pesantren kilat serta Syahirul Alim sebagai cendekiawan muslim serta dosen. Kedua orang ini berada dalam tahanan di Jakarta. Kesaksian tertulisnya ini disampaikan dalam persidangan kasus Marjoko. Jaksa penuntut umum menyatakan minta maaf dengan sangat, karena ketidak hadiran kedua saksi secara langsung. Ketika kesaksian kedua orang itu dibacakan, Marjoko menyang-kal dan mengatakan bahwa kasusnya tidak ada hubungannya dengan kedua orang itu, namun mengaku bahwa mereka teman baiknya dan juga teman baik Mohammad Akhwan. Hakim kemudian menjawab, “karena Akhwan dan Marjoko bersahabat baik berarti kesaksiannya itu bisa diterima”.
Masih ada orang kelima, yaitu Ir. Bahwal Wiyoto, dia seharusnya diadili di Malang tapi tidak pernah terlihat batang hidungnya. Namun dikemudian hari dia diketahui opname di RS karena mengalami retak tulang setelah dia ditangkap. Dia tidak mengatakan, penyebab terjadinya keretakan tulang.
Sebagaimana persidangan-persidangan di Jakarta, dimana para terdakwa mencabut pengakuannya, maka di Malang pun terjadi hal serupa. Di dalam persidangan, Marjoko mengatakan,”Penyidik mengan-cam, jika dia tidak mengikuti kemauan penyidik, ibunya akan disiksa”. Pencabutan keterangan di pengadilan sama sekali tidak berpe-ngaruh terhadap jalannya persidangan, dan mereka tetap menjalankan skenario yang sudah dibuat. Persidangan kasus Pesantren Kilat semata-mata untuk membuktikan bahwa pesantren-pesantren tersebut punya kaitan dengan peledakan bom.
Bab 06-05 Persidangan Kasus Bom Malang
Telah muncul ide untuk melakukan komplotan besar-besaran dan sangat banyak rincian yang dimasukkan. Oleh karena itu dimulailah dua kelompok persidangan pada bulan Januari dan April 1986 dengan mengajukan 7 orang sebagai terdakwa dalam kasus peledakan bom di Malang, serangan candi Borobudur dan meledaknya bom di bus malam jurusan Bali.
Lebih dari peristiwa-peristiwa yang lain, pengeboman candi Boro-budur mendapatkan pemberitaan besar di surat kabar. Candi Borobudur yang didirikan jauh sebelum kedatangan Islam sangat berpengaruh di tengah masyarakat. Candi ini berada di wilayah selatan, tepatnya Magelang Jawa Tengah. Pengeboman ini dipandang sebagai serangan langsung terhadap pusat kebudayaan (Jawa) Indonesia. Meskipun beberapa orang pakar menafsirkan hal ini sebagai tindakan balas dendam kaum fundamentalis muslim, setelah terjadinya tragedi Tanjung Priok, namun sebenarnya terdapat indikasi adanya tangan-tangan tersembunyi di balik peristiwa itu. Sebab ternyata ada beberapa bom yang tidak meledak, dan bom-bom ini diperoleh dari gudang perbekalan militer di Bandung.
Di Jawa Barat pada bulan Mei 1985, Theo Suandi Subroto, Pangdam Jawa Barat mengumumkan penangkapan tiga orang yang mempunyai hubungan dengan kasus peledakan bom. Ketiga orang ini adalah mantan anggota ABRI. Juga ada beberapa orang lain yang ditangkap, semuanya itu adalah orang-orang yang ahli persenjataan. Walaupun ketiga mantan ABRI itu dijatuhi hukuman yang berkisar antara 7-9 tahun, karena telah mencuri persenjataan ABRI, namun vonis ini sama sekali tidak menun-jukkan adanya kaitan dengan peristiwa pengeboman. Sedangkan yang lainnya dibebaskan.
Langkah penyelidikan yang dilakukan oleh Pangdam dihentikan demi kepentingan yang lebih besar, apalagi telah muncul anggapan bahwa ABRI berada di balik operasi ini sehingga masalahnya menjadi kisah menarik (Kisshatul gharibah). Kisah ini menyatakan bahwa ada kom-plotan syi’ah internasional (dimana kaum muslimin Indonesia adalah orang sunni), maka Pangdam mengumpulkan ulama di daerahnya dan mengingatkan mereka akan adanya ekstrimis syi’ah berusaha untuk menanamkan pengaruh di wilayah ini. Pada akhirnya, mereka meng-hubung-hubungkan nama Husein Ali Al-Habsyi dengan peristiwa-peristiwa peledakan bom di Malang. Akhirnya dimulailah gelombang pertama persidangan kasus ini, mulai bulan Januari - Maret 1986, dengan terdakwa:
1. Nama : Ahmad Muladawilah
Umur : 22 tahun
Pekerjaan : Pedagang Toko kelontong
Keterangan : Ditangkap, 19 April 1985 dengan tuduhan meledak-kan gereja Katholik di Malang, dan candi Borobu-dur. Dia divonis hukuman penjara 2 tahun.
2. Nama : Abdul Qadir Ali Al-Habsyi
Umur : 25 tahun
Pekerjaan : Pengangguran
Keterangan : Ditangkap, 16 Maret 1985, saat melarikan diri dari bus malam. Dituduh terlibat pengeboman candi Borobudur dan bus Pemudi Expres. Divonis hukuman penjara 20 tahun.
3. Nama : Abdul Qadir Baraja’
Umur : 41 tahun
Pekerjaan : Pedagang kain
Keterangan : Ditangkap, 5 Mei 1985. Dituduh menyediakan pera-latan bom. Divonis penjara 13 tahun. Tetapi setelah jaksa naik banding, hukumannya malah diperberat menjadi 15 tahun.
Persidangan Abdul Qadir Baraja’ memperoleh perhatian besar dari mass media saat itu. Dalam persidangan, keterangan-keterangan para saksi saling bertentangan, terutama menyangkut peran Abdul Qadir Baraja’ dalam menyediakan bom-bom dari Teluk Betung. Mohammad Akhwan mengaku bahwa dia diberi dana oleh Baraja’ untuk membeli bahan peledak. Ujarnya,”Uang itu telah saya bayarkan kepada orang bernama Basrin Sinan”. Tapi Basrin sendiri, di dalam persidangan, mengatakan bahwa ia menerima uang secara langsung dari Mohammad Akhwan. Keterangan yang diberikan di depan penyidik, yang sesuai dengan keterangan Akhwan, di dalam persidangan dicabut lagi. Baraja’ mengomentari,”Membeli bahan peledak dari Teluk Betung tidak ada masalah. Karena para nelayan di sana biasa menggunakan bahan peledak untuk menangkap ikan”. Walaupun Baraja’ memberikan alasan-alasan dan bantahan jaksa terhadap hal itu tidak kuat, tapi terdakwa tetap dinyatakan bersalah.
Mengenai jaringan syi’ah yang dituduhkan kepada para terdakwa, sebenarnya berpangkal pada dua orang muballigh. Namun tidak seorang-pun diantara keduanya yang muncul di persidangan. Ada yang menga-takan, mereka hanya tokoh fiktif. Orang pertama bernama Ibrahim al-Jawwad, diduga telah melarikan diri ke Iran, karena dia telah belajar di sana sejak 1982-1984. Sedangkan orang kedua bernama Husein Ali Al-Habsyi, kakak kandung Abdul Qadir Ali Al-Habsyi, yang buta sejak lahir. Dia berperan sebagai kurir antar terdakwa dalam kasus di Malang. Kesaksian Mohammad Akhwan mengesankan adanya hubungan antara tokoh Malang ini dengan para pengikutnya di pesantren Islam (YAPI) Bangil. Dia ikut menghadiri pertemuan yang, katanya diadakan di Probolinggo Jawa Timur, dengan dihadiri oleh orang-orang tersebut untuk membicarakan tragedi Tanjung Priok dan peledakan bom di Jakarta
Kesaksian ini sangat berpengaruh dalam mengkoordinir gerakan syi’ah yang dituduhkan ada jalinan dengan pesantren YAPI Bangil. Ketika kedua tokoh kunci gerakan syi’ah tidak hadir dalam persidangan, maka tidak seorangpun dapat menyanggah adanya anggapan, seperti yang dinyatakan oleh Abdul Qadir Baraja’, bahwa,” Husein yang dikatakan buta itu, sesungguhnya tidak benar-benar buta”.
Ada rangkaian persidangan pada bulan April-Mei 1986. Dalam persidangan ini, Mohammad Akhwan dan tiga orang lainnya dijatuhi hukuman. Persidangan Mohammad Akhwan sama sekali tidak diberita-kan dalam surat kabar, sedangkan yang lain diberitakan sedikit.
4. Nama : Basiran Sinan
Umur : 38 tahun
Pekerjaan : Nelayan
Keterangan : Tanggal penangkapannya tidak diketahui. Dituduh mengirimkan bahan-bahan peledak pada Akhwan dan Ibrahim, Desember 1984 dan Maret 1985. Di-jatuhi hukuman 8 tahun. Menjadi saksi dalam persi-dangan Abdul Qadir Baraja’.
5. Nama : Shadik Musawa
Umur : 28 tahun
Keterangan : Tanggal penangkapannya tidak diketahui. Dituduh mengirimkan delegasi untuk melakukan pengena-lan medan di Bali sebagai persiapan untuk melaku-kan peledakan bom yang akan dilaksanakan oleh orang-orang yang telah membawa bahan-bahan peledak dalam bus malam pemudi Expres ke Bali. Dia juga dituduh sebagai kurir di dalam kelompok Husein Al-Habsyi. Dia menjadi saksi dalam persida-ngan Baraja’ dan dituduh memperkenalkan Baraja’ kepada Husein Al-Habsyi. Divonis hukuman 8 tahun penjara.
6. Nama : Abdul Qadir Idris Al-Haddad
Umur : 25 tahun
Keterangan : Tanggal penangkapannya tidak diketahui. Dituduh sebagai anggota kurir dalam kelompok Husein Al-Habsyi. Dia juga dituduh menemani Musawa dalam perjalanan ke Bali untuk melakukan pengamatan lapangan. Anehnya nama Al-Haddad belum per-nah disebut-sebut dalam persidangan yang lalu. Bahkan setelah persidangan Musawa berjalan separuh, barulah dia ditampilkan sebagai saksi mengenai perjalanannya ke Bali. Dia menyebutkan bahwa Abdul Qadir Al-Habsyi teman dekatnya.
Persidangan-persidangan ini dengan jelas menunjukkan bahwa keterkaitan antara para tertuduh dengan gerakan syi’ah tidak jelas. Hanya kepandaian jaksa penuntut untuk memanipulasi data-data, akhirnya dikatakan ada hubungan satu dengan yang lain. Sedangkan mengenai pensuplai bahan-bahan peledak sebenarnya adalah tipu daya. Di sini terlihat, bahwa Abdul Qadir Baraja’ yang telah dijatuhi hukuman sebelumnya (yang telah divonis perkaranya) karena dianggap terlibat kasus teror Warman, tahun 1978 dan juga dianggap sebagai seorang teroris. Orang inilah, barangkali yang logis sebagai pensuplai bahan-bahan peledak dibandingkan dengan issu yang mengatakan pihak militer sebagai pensuplainya. Persidangan ini telah mengorbankan orang-orang kecil. Barangkali kita mempertanyakan apa sebabnya. Salah satu motivnya adalah ingin membuat masyarakat tidak percaya kepada pesantren YAPI, dan mengkaitkan orang-orang tertentu punya hubungan dengan syi’ah di Iran.
Bab 06-06 Persidangan Kasus Akhwan dan HM Sanusi
Persidangan kasus Muhammad Akhwan berlangsung paling akhir dari persidangan-persidangan kasus pengeboman di Malang. Padahal sebenarnya dialah orang pertama sebagai terdakwa yang harus diajukan dalam persidangan-persidangan kasus pengeboman Malang yang mulai berlangsung pertengahan tahun 85.
1. Nama : Muhammad Akhwan
Umur : 38 tahun
Keterangan : Ditangkap pada 30 Desember 1984. Disidangkan perkaranya pada bulan April dan Mei 1986. Didakwa berkomplot melakukan tindakan subversi dengan bergabung dalam operasi pengeboman di berbagai tempat dan ikut gerakan Komando Jihad. Persidangan kasusnya dijadualkan bersamaan dengan persidangan kasus Sanusi yang kedua, yang telah berlangsung seminggu sebelumnya di Jakarta.
Persidangan-persidangan di Malang, apakah dimaksudkan untuk menjaring Sanusi ataukah tidak, dugaan yang semacam ini sulit untuk membuktikannya. Tetapi kesaksian Akhwan dan David Frans serta jadual persidangan yang sama dengan persidangan Sanusi, mengindikasikan adanya strategi tertentu. Hal itu karena ada indikator-indikator pengajuan beberapa saksi yang sama dalam persidangan kedua orang itu. Persidangan-persidangan yang dilakukan di berbagai tempat di Jawa dan saksi-saksi yang diajukan dalam persidangan Akhwan melibatkan beberapa orang dari pesantren YAPI, seperti Lutfi Ali dari Probolinggo, Faishal Basri dari Malang. Orang terakhir ini telah divonis 8 tahun penjara, sedang persidangan terhadap Lutfi Ali berlangsung pada 14 Mei 1986. Sayangnya kami tidak memiliki keterangan tentang proses persidangan ini. Biasanya kesaksian-kesaksian tertulis dipergunakan dalam menyidang orang semacam ini untuk melindungi para saksi dari cecaran pertanyaan tim pembela.
Akhwan menyangkal keras bahwa Sanusi, dalam satu pertemuan di Yogyakarta, berbicara tentang rencana pembunuhan Presiden Soeharto, tetapi Sanusi dalam pertemuan itu berkata, bahwa Soeharto bukan muslim yang baik. Akhwan menerangkan bahwa Sanusi dan Mursalin Dahlan telah masuk dalam gerakan revolusi. Akhwan mempunyai hubungan dengan beberapa kelompok yang bermacam-macam. Syahirul Alim yang diangkat sebagai pimpinan sayap militer Islam dalam pertemuan di Tawangmangu, Jawa Tengah, mengemukakan sejumlah analisis. Dalam pertemuan itu hadir beberapa kelompok lain yang katanya siap mati demi menegakkan negara Islam. Dalam pertemuan ini dinyatakan ada-nya pertalian dengan Sanusi, karena salah seorang anggota Petisi 50 membantu Mursalin menunjuk Akhwan untuk menjabat sebagai pimpinan YAPI di Malang.
Pertanyaan yang sangat mengganjal dalam rekayasa Akhwan ini, ialah sejauh mana hal itu sejalan dengan langkah-langkah jaksa penuntut umum, terutama berkaitan dengan kesaksian Akhwan yang sangat merugikan dalam persidangan-persidangan kasus Surabaya yang lalu. Sosok lain yang masih misterius adalah seorang bernama David Frans, saksi pertama yang dihadirkan pada persidangan Akhwan. Tidak jelas, apakah Frans sekarang ini masih ada di dalam tahanan ataukah ia sudah dijatuhi hukuman. Di akhir persidangan kasus Akhwan, ia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Ir. HM. Sanusi. Ia sebenarnya telah divonis hukuman penjara 19 tahun. Tetapi sekarang dia dikenai dakwaan berkomplot dalam usaha mem-bunuh Soeharto. Komplotan ini dibicarakan dalam pertemuan Yogya-karta, tahun 1982 bertempat di kantor Bulletin Ar-Risalah yang terlarang, dimana pimpinan redaksinya, Irfan Suryahardi, telah dijatuhi hukuman penjara 13 tahun pada bulan Februari 1986 ( baca BAB V). Sanusi dituduh hadir di dalam pertemuan tersebut bersama dengan 29 orang. Tanpa mempermasalahkan adanya komplotan untuk membunuh presiden, sesungguhnya beberapa orang saksi dalam persidangan kasus Sanusi, antara lain seorang bakul sayur dari Jakarta bernama Nur Iman, mengaku diberi dana oleh Sanusi sebesar 14 juta rupiah untuk membeli bahan-bahan peledak guna meledakkan mobil presiden di salah satu jalan Jakarta pada tahun 1982. Tetapi dalam kenyataannya, apa yang disebut usaha pembunuhan itu sama sekali tidak ada. Kemudian Marwan Ahwari, tampil menjadi saksi. Dia berasal dari Solo mengaku, bahwa Sanusi merencanakan pembunuhan Soeharto ketika Soeharto mengadakan acara pembukaan candi Borobudur yang telah selesai direnovasi, pada bulan Februari 1983. Upaya inipun tidak terwujud. Ada yang mengatakan bahwa Sanusi telah menyiapkan dana 500 ribu rupiah untuk melakukan pembunuhan terhadap presiden, dan 500 ribu rupiah lagi sebagai biaya mencetak undangan pertemuan yang akan diselenggarakan di masjid Istiqlal Jakarta setelah Soeharto terbunuh. Kesaksian-kesaksian ini, oleh Sanusi dikatakan sebagai cerita fiktif.
Dalam persidangan kedua kasus Sanusi ini, untuk pertama kalinya muncul Syahirul Alim dan Mursalin Dahlan memberikan kesaksian langsung, padahal sebelumnya mereka hanya memberikan kesaksian tertulis saja. Kedua orang saksi ini telah dilepaskan dari penjara dan menjalani tahanan rumah. Hal ini terjadi sebelum memberikan kesaksian di persidangan. Mursalin Dahlan menegaskan bahwa sebenarnya Sanusi tidak menolak Pancasila, tetapi ia beranggapan Pancasila tidak akan menjadi baik selama belum dapat mewujudkan harapan-harapan kaum muslimin. Saksi ini juga menyangkal bahwa dirinya mengetahui ada komplotan untuk membunuh presiden.
Dari tanya jawab yang berlangsung di persidangan, muncullah bukti bahwa tidak terdapat korelasi yang jelas antara kasus yang satu dengan lainnya. Namun Syahirul Alim menegaskan bahwa Mursalin Dahlan mengetahui secara detil tentang adanya komplotan itu, bahkan ia tahu nama-nama yang bertugas memasang bom di jalan-jalan di Jakarta. Ia pun bercerita adanya perbedaan mengenai bagaimana operasi itu akan dilakukan dan di mana. Jaksa penuntut umum dalam persidangan ini menganggap perlu melindungi kedua saksi dari cecaran pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tim pembela. Syahirul Alim juga menyatakan di dalam persidangan bahwa ia turut serta merencanakan berdirinya negara Islam. Ia menyatakan Sanusi sama sekali tidak ada hubungan dengan masalah ini. Sedangkan Mursalin Dahlan menyatakan Sanusi adalah pendiri pesantren kilat, untuk melatih kelompok-kelompok Islam.
Dengan geram Sanusi menyangkal keterangan saksi tadi, dan menganggap keduanya sebagai “kutu busuk” di arena perpolitikan. Akan tetapi, sejauh mana kebenaran dari pernyataan-pernyataan yang dikemukakan kedua saksi di atas, hal itu tetap menjadi misteri.
Kemudian tampillah dua orang saksi yang meringankan Sanusi, yaitu:
1. Kris Siski Tumoa, seorang Katholik, salah seorang penandatangan Petisi 50. Ia menyangkal keras segala macam tuduhan keterlibatan Sanusi menggulingkan pemerintah atau mendirikan negara Islam. Ia bertanya, bagaimana mungkin orang yang mempunyai rencana semacam itu duduk bersama kami dalam kelompok petisi 50?
2. Tasrif Tuasikal, terdakwa yang perkaranya disidangkan di Jakarta. Ia sekali lagi menegaskan bahwa Sanusi tidak mempunyai peran sama sekali dalam operasi peledakan bom.
Tim pembela memohon agar Ali Sadikin ditampilkan sebagai saksi, karena ia merupakan tokoh yang menonjol di dalam kelompok Petisi 50. Pembela juga meminta dihadirkannya Mohammad Akhwan. Namun majelis hakim menolak dan menyatakan: “Ali Sadikin sangat riskan”. Dan mengapa Akhwan tidak dijadikan saksi, tidak disebutkan alasannya. Tetapi kami menduga, karena dalam persidangan ia pernah mengatakan, Sanusi tidak pernah berbicara sedikitpun mengenai komplotan untuk membunuh Soeharto. Tim pembela menunjukkan kelemahan-kelema-han dalil jaksa penuntut umum, yang mengaitkan peristiwa pembantaian Tanjung Priok dengan peristiwa lain di Jakarta dan Malang. Maka sekarang tinggallah dakwaan akan adanya kaitan antara Sanusi dengan peristiwa pengeboman dan pesantren kilat. Sebab dikaitkannya Sanusi dengan hal-hal tersebut hanya didasarkan keterangan Akhwan dan David Frans, padahal Frans ini menjadi anggota dari kelompok-kelompok politik yang saling berseberangan. Sanusi berkali-kali menegaskan : “ Kami tidak punya hubungan apapun dengan kelompok-kelompok sempalan, dan kami tidak berkomplot untuk menggulingkan pemerintah”.
Kesaksian tertulis dengan angkat sumpah, yang menjadi senjata pamungkas jaksa penuntut umum, diserahkan oleh Sanusi dalam persi-dangan bertalian dengan kasus kematian Mohammad Jabir di dalam tahanan; sesuai dengan kesaksian yang disodorkan oleh keponakannya. Jabir ditahan tanpa sebab yang jelas, kemudian disiksa habis-habisan karena menolak memberi kesaksian yang mendiskreditkan Sanusi. Keponakan Jabir bercerita, bahwa jasad Jabir penuh luka-luka dan lebam kebiru-biruan ketika mereka (ahli waris) menerima penyerahan jasad itu untuk dikebumikan.
Petugas mengancam mereka agar tidak membuka dan mengambil foto jasad korban. Keberanian memberikan kesaksian semacam ini, dari siapapun dianggap sebagai suatu tindakan heroik. Mohammad Jabir, korban pembunuhan sadis, adalah saksi yang di ajukan oleh jaksa penuntut umum. Pada hari yang telah di tetapkan untuk hadir di persidangan, majelis hakim mengumumkan bahwa Jabir tidak dapat dihadirkan kerena telah meninggal dunia pada bulan Januari lalu. Akan tetapi jaksa penuntut umum memiliki kesaksian tertulis dari almarhum yang menyatakan, bahwa Sanusi menyerahkan dana kepadanya sejum-lah Rp 400.000 melalui seorang karyawan bernama Solonis Z dan Marwan Ahwari untuk membeli bahan-bahan peledak dan meneliti situasi Borobudur.
Di dalam surat-surat kabar tidak ada berita mengenai penyangkalan saksi yang terjadi dalam persidangan kasus Sanusi, di mana saksi yang bersangkutan telah meninggal dalam tahanan karena perlakuan keji, padahal di dalam tahanan ada penjaga keamanan.
Sebagaimana diberitakan di dalam surat-surat kabar yang memuat berita ringkas tentang permohonan untuk membebas Sanusi dari segala macam tuduhan, tim pembela menegaskan bahwa tidak ada seorang saksipun yang mengatakan Sanusi telah berbicara mengenai rencana komplotan membunuh Soeharto. Ada kontroversi di dalam keterangan para saksi, karena ada yang mengaku telah mendengar Sanusi mengata-kan hal semacam itu, tetapi yang lain tidak. Di sisi lain tim pembela menilai bahwa dijatuhkannya hukuman seumur hidup kepada Sanusi semata-mata didasakan pada BAP yang dilakukan oleh penyidik, dan bukan didasarkan pada keterangan-keterangan di dalam persidangan. Karena itulah akhirnya, Sanusi divonis hukuman penjara 20 tahun sejalan dengan vonis 19 tahun yang sebelumnya dikenakan kepadanya. Surat-surat kabar mengomentari hal ini dengan menyatakan hanya ada selisih satu tahun saja.
Ketika banyak pertanyaan kita yang tidak terjawab, dan diliputi kabut kegelapan, ternyata ada satu hal yang sudah menjadi jelas, bahwa di Indonesia dewasa ini kata-kata teroris hampir sama artinya dengan kata-kata fundamentalis. Bilamana ada sejumlah aktivis yang ditangkap dan di jatuhi hukuman berat, tidak lain hanyalah sasaran antara dari rencana besar rezim yang berkuasa. Pembersihan terhadap orang-orang ini, sebenarnya ibarat memotong gunung es. Korban utamanya seperti Sanusi, politikus terkenal, divonis hukuman seumur hidup, bukan karena ia dapat dibuktikan secara hukum telah mendanai operasi pengeboman atau berkomplot membunuh presiden. Tetapi semata-mata karena ia berfikiran bebas dan mengungkapkan pandangan-pandangannya dalam menghadapi segala dakwaan. Sanusi telah terjebak dalam jaringan musuh. Karena dia telah memberi bantuan keuangan kepada Rahmat Basuki untuk menjaga kelestarian hubungan baik sejalan dengan kebia-saan masyarakat di Indonesia. Ikatan-ikatan yang semula tidak merugikan berubah menjadi komplotan yang menakutkan. Komplotan semacam ini terkadang melibatkan orang yang masing-masing mempunyai maksud sendiri, bukan lagi pada tujuan bersama. Bahkan terkadang mereka tidak mengetahui apa-apa dan turut serta melakukan perbuatan yang dituduhkan
ANGGOTA kelompok Usrah Jawa Tengah, yang pertama kali disidang adalah Tubagus Muhammad Jiddan, 22 tahun, seorang petani dari desa Banaran, Kabupaten Kulon Progo, Wilayah Barat Yogyakarta. Berbeda dengan persidangan-persidangan kasus gera-kan Islam sebelumnya, persidangan Jiddan ini tidak ada sangkutpautnya dengan kasus Tanjung Priok. Dia didakwa telah memberikan ceramah berapi-api dan mengikuti training Komando Jihad di Muntilan serta berusaha untuk melaksanakan kegiatan tersebut di kampungnya. Dia didakwa bertujuan mendirikan negara Islam dan melenyapkan Pancasila. Jiddan menyangkal dakwaan semacam itu. Dia menyatakan hanya sekedar mengikuti kegiatan keagamaan secara rutin. Pada bulan Februari 1986 dia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 6 tahun penjara.
Beberapa bulan berikutnya tidak lagi terdengar kabar tentang gerakan Usrah, sehingga masyarakat berangga-pan kasus Jiddan ini bersifat khusus. Tetapi pada bulan Juni, mulailah tahanan-tahanan gerakan Usrah muncul dalam berbagai persidangan pengadilan sehingga mengindikasikan bahwa persoalannya panjang, seperti halnya dengan kasus-kasus persidangan lainnya yang dilakukan tehadap orang Islam. Tiba-tiba saja penguasa Jawa Tengah mengumumkan penangkapan terhadap puluhan orang yang menjadi pendukung kelompok Usrah yang ternyata jaringannya tersebar di kalangan masyarakat Jawa Tengah.Dengan demikian sekarang muncul komplotan gerakan Islam sempalan.
No comments:
Post a Comment