04 September 2008

Aceh, Negeri Bayangan

Oleh T. Nasruddin Syah




Kata Pengantar dari Penulis

Perjalanan sejarah adalah kebalikan dari pribahasa Carlyle—berbahagialah mereka yang mengetahui sejarah—mendalami organisasi perlawanan dari aspek-aspek dukungan politik rakyat, kekuatan ekonomi organisasi, sejarah gerakan dan sepak terjang kepemimpinan revolusioner Aceh Merdeka. Studi ini sesungguhnya telah berlangsung selama lebih dari 5 tahun, dengan ratusan orang-orang yang terwawancarai terlibat dalam Aceh Merdeka sejak tahun 1998. Tentu saja saya mengandalkan pemikiran dan ingatan, sebisa mungkin lebih objektif. Studi ini memang tidak mudah dan terhitung sangat sulit dibutuhkan ‘kesabaran mondial’ untuk menulis kembali menata, menyusun, dan mengorganisir setiap ide untuk menjadi suatu rumah pemikiran berteduh sesaat dari hujan yang sedang turun. Dan kemudian menjadi suatu buku permulaan.
Terkadang saya mencoba untuk melupakan keegoisan diri dengan menjadikan studi tentang Aceh Merdeka, terutama kepemimpinan Dr. Hasan Muhammad di Tiro, sebagai sebuah studi yang tertutup. Itu tidaklah adil bagi dunia intelektual di manapun ia berada. Mungkin salah satu aspek militer dan politik, meningkatnya eskalasi konflik dan kekerasan di Aceh adalah minimnya informasi dan studi tentang kepemimpinanya. Jika hypothesis ini benar berarti belum terlambat mempelajari studi itu. Karena kebutuhan studi ini semata-mata pada kajian intelektual, analisis kritis dan menelaah kembali pemikiran-pemikiran Aceh pasca revolusi social (1946), kegagalan pemberontakan Darul Islam (1953-1963) serta kemunculan kembali gagasan-gagasan ‘Negara Aceh’ dalam bentuk Monarchy yang diperlihatkan dalam Aceh Merdeka sejak (1976). Dalam arti gerakan itu merupakan revivalisme ‘Neo-Uleebalang’ untuk mengembalikan status Monarchy Aceh yang ‘hilang’ atau ‘degradatif’ karena perang.
Sedia dan seharusnya studi ini diperuntukkan bagi Thesis Master saya di Fakultas Social Development and Human Rights di Mahidol University, Thailand. Di mana saya belajar memahami kembali tentang konflik, perdamaian dan Human Rights. Saya memutuskan untuk melemparkan thesis ini dihadapan public. Sebagai sebuah prakondisi menjelang finalitas. Terkadang dunia ini begitu misterius—bagi mereka yang mempercayainya—saya menyatakan itu kepada siapa yang mempercayainya bukan kepada yang ingin menyatakan hukumnya haram untuk mempercayainya. Bagi kami orang-orang Aceh, sejarah merupakan misteri Tuhan. Ini bukanlah konteks seorang fatalis berbicara tapi ini merupakan fakta sejarah politik orang-orang Aceh.
Betapa tidak sejarah keruntuhan Uleebalang di Aceh seiring dengan kehancuran Monarchy (Negara) Aceh di tahun 1946. Sejarah Aceh versi PUSA dan didukung oleh begitu banyak ahli sejarah politik di antaranya diwakili oleh Prof. Anthony Reid memakai term “revolusi social” untuk menyebut peristiwa di Aceh tahun 1946. Bahkan ada yang menyebut “perang saudara” (Civil War). Dan selanjutnya setelah Kaum Uleebalang tidak hanya secara personal ataupun institusi secara sistematik dibunuh dan dihancurkan oleh kaum ‘berkupiah’ PUSA, Aceh berintegrasi dengan Indonesia. Orang-orang yang sama pula yang dikemudian hari memberontak terhadap Republik Indonesia yang mereka cintai. Tidak jelas motive apa dan Negara Islam yang bagaimana yang diinginkan oleh Darul Islam Aceh tentang Republik ini. Antara “revolusi social” dan Pemberontakan DI/TII Aceh, terkecuali (Aceh Merdeka), jelas tidak memiliki korelasi, ideologi yang kabur, dan ‘praksis tanpa ide’.
Saya harus mengucapkan rasa terimakasih yang tinggi dan mendalam kepada sahabat Brotoseno, tanpa dia mungkin buku ini tidak pernah menjadi buku yang sesungguhnya. Menjadi kisah yang tak pernah tertulis. Serta menjadi ‘onani pemikiran’ dan seterusnya menjadi literature tanpa buku. Dan akan terus menjadi perdebatan di warung kopi ataupun di rumah makan dan akan senantiasa menjadi sarapan pagi yang buruk kepada saya. Menyedihkan memang seorang penulis tidak memiliki ‘alat untuk menulis’. Sama halnya dengan seorang penyair tanpa puisi. Atau seorang pelukis tanpa kanvas. Dalam posisi ini dunia mejadi tidak bersahabat.
Saya juga mengucapkan terimakasih yang teramat tinggi dari beberapa guru aktifis Thailand yang teramat popular seperti Chalida, dan Ajarn Dr. Sriprapra, Dr.Kees Woulter, Dr. Michael Hughes, Dr, Ilyas Baker, Peter Rosemblum, Helene dan Gery Van Klinkel, Henk Rumbewas, Suster Bernedetta serta kawan-kawan di “Human Rights Club in Mahidol”. Saya benar-benar menyesal terhadap mereka yang begitu baik memperhatikan saya. Lagi-lagi saya ingin mengatakan bahwa pemikiran dan tindakan terkadang dua hal yang selalu bertentangan. Untuk waktu yang lama saya akan mengenang kebaikan mereka.
Dan yang terakhir kepada mereka-mereka yang dengan segenap keyakinan dan kekuatan mempertahankan dari apa yang diyakininya, kepada siapa karya ini lebih mulia dan patut diberikan. Hanya kepada regime semesta tanggungjawab keyakinan lebih utama untuk diberikan. Ke sanalah pada akhirnya muara pemikiran dan tindakan. Akhirnya buku ini menjadi tanggungjawab sepenuhnya dari penulis.


T. N. S.







Bab I: Pengantar Ide dan Aksi


Konsolidasi Pemikiran Menuju Situs Pergerakan


Bermula dekade 1970-an awal sekelompok intelektual muda revolusioner Aceh yang dipimpin oleh Dr. Hasan Muhammad di Tiro (menunjukkan “identitas ” ketimbang nama kampung di Pidie). Bergelut dengan gagasan idealisme Hegel tentang masa depan negeri yang terkoyak-koyak oleh gelombang modernisme Barat yang menghembus daratan Asia yang tenang dan eksotik. Sekelompok intelektual muda itu merupakan elit revolusioner Aceh yang dikemudian hari memainkan peran fundamental dan massive di Gerakan Aceh Merdeka (GAM/ASNLF). Mereka berada dalam struktur ‘Kabinet Revolusioner’ I yang dipimpin oleh Tiro dengan formasi adalah sbb; 1). Dr. Muchtar Hasby (Menteri Dalam Negeri, merangkap Daputy Menteri Luar Negeri dan Gubernur Wilayah Samudra Pasai), 2). Dr. Zubair Machmud (merangkap Menteri Sosial, dan Gubernur Wilayah Peureulak), 3). Tgk. Ilyas Leube (merangkap Menteri Kehakiman dan Gubernur Wilayah Linge-Gayo), 4). Dr. Hussaini Hassan (Menteri Pendidikan dan Informasi, non aktif sejak tahun 1998), 5). Dr. Zaini Abdullah (merangkap Menteri Kesehatan dan Menteri Luar Negeri sejak tahun 2000), 6). Dr. Teuku Asnawi Ali (Menteri Pekerjaan Umum dan Industri), 7). Mr. Amir Rashid Machmud (Menteri Perdagangan) dan Mr. 8). Malik Machmud (Menteri Sekretaris Negara dan Merangkap Perdana Menteri sejak tahun 2000), 9). Tgk. Muhammad Lampoh Awe (Menteri Keuangan), 10). Mr. Amir Ishak (Menteri Komunikasi), dan 11). Muhammad Daud Husin (Panglima Tentara) . Mereka merupakan peletak dasar (founding fathers) Gerakan Aceh Merdeka atau Acheh Sumatera National Liberation Front (ASNLF). Sekaligus menjadi Dewan Kabinet Eksekutive I (ASNLF/GAM) yang dilantik pada 30 Oktober 1977, dan dipimpin oleh sang Wali Negara. Mereka disumpah sbb:
Untuk patuh dan tunduk pada seluruh perintah Allah dan Rasulnya Muhammad; untuk meneruskan perjuangan Sultan Iskandar Muda dan Teungku Tjhik di Tiro; untuk patuh pada pimpinan, Kepala Negara (Wali Negara) Aceh Sumatera; untuk melindungi dan menjaga Konstitusi Negara Aceh Sumatera. Tuhan, tolonglah kami.
Tiro menyebut mereka adalah kaum “nationalist Aceh.” Suatu kaum yang memiliki komitmen, pemikiran dan aksi untuk mewujudkan Nation-State bagi orang-orang Aceh. Kekuatan itulah yang pada akhirnya menjadi substansi fundamental mengembalikan kesadaran identitas (Identity Consciousness) dan watak patriotik (Patriot Character) orang-orang Aceh. Dari rasa rendah diri (Inferior Complex) yang dialami orang-orang Aceh selama kurun masa “pendudukan” atau “integrasi” ke Indonesia. Bibit-bibit Integrasi telah muncul dengan fenomena nyata Pertama, periode “revolusi sosial” (1946) di mana kaum penguasa tradisional (Uleebalang) atau Monarchy yang anti Republik telah dihancurkan oleh kekuatan pro integrasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang sepenuhnya berpihak pada Negara Republik Indonesia (NRI). Dan periode kedua adalah Pemberontakan Darul Islam (1953-1963), yang sesungguhnya bila ditilik secara lebih mendalam adalah usaha untuk menghancurkan kembali sisa-sisa kaum Uleebalang yang masih melakukan perlawanan di beberapa tempat.
Bila dilihat dari konteks itu berarti DI/TII Aceh itu melakukan dua pemberontakan (Bhugat) secara sekaligus, pertama terhadap Monarchy Aceh, dan yang kedua terhadap NRI (Negara Republik Indonesia). Sisi yang pertama adalah memberontak dan menghancurkan Uleebalang (Monarchy Aceh) yang selama ratusan tahun memiliki pengaruh yang teramat kuat di Aceh. Dan sisi yang kedua adalah memberontak terhadap Republik Indonesia yang kemudian ‘berdamai kembali’ itulah yang kita sebut masa ‘Integrasi penuh’ yang melahirkan pengukuhan dan penegasan kembali tentang status Aceh adalah bagian dari NRI lewat Ikrar Lamteh. Jadi dalam satu periode selama dua decade PUSA dan DI/TII telah melakukan dua kali pemberontakan (Bhugat) terhadap dua pemerintahan yang sah. Pertama, terhadap pemerintahan Monarchy Aceh di (1946). Dan yang kedua adalah kepada pemerintahan Indonesia (1953-1963).
Kecuali periode ketiga (‘masa pembebasan’) atau masa perjuangan pembebasan national Aceh (1976-sampai sekarang). Yang menolak secara tegas status Aceh bagian dari Negara Republik. Aceh dalam periode ini mengalami antithesis sejarah kemunculan revivalisme ‘Neo-Uleebalang’ sebagai suatu bentuk kesadaran dan aksi menuju Tanoh Indatu. Gagasan berdirinya Aceh sebagai Nation-State merupakan simbol perjuangan Kaum Uleebalang sejak keluarnya Belanda dari Aceh (1942). Itupula menjadi akar persoalan utama memburuknya hubungan antara Uleebalang dan ‘orang-orang berkupiah’ PUSA yang mengaku “Ulama Aceh”. Periode ini akan menjadi titik balik sejarah Aceh di panggung national, regional dan international. Dan pada akhirnya membawa perubahan-perubahan fundamental dan massive tentang revolusi sejarah Aceh. Terutama keinginan orang-orang Aceh untuk melakukan restorasi (pembaharuan), rehabilitasi (pemulihan), dan recognisi (pengakuan kembali) status kaum Uleebalang semenjak revolusi social dan peristiwa Darul Islam.
Bahwa kaum Uleebalang Aceh bukanlah klas penindas, bukan juga klas feodalistik yang menyerupai feodalisme Eropa di jaman Pertengahan, dan juga bukan golongan pengkhianat (Traitor) sebagaimana yang dituduhkan oleh PUSA. Ia benar-benar sebagai symbol klas penguasa (Aristocracy) Aceh yang anti Republik. Serta menghendaki Aceh berada dalam posisi restorasi kembali status quo Monarchy Aceh sebelum perang. Sebagai symbol penguasa ia menghendaki Monarchy Aceh di pulihkan keberadaannya. Status Quo Ante Bellum.
Tiga diantara nama pertama meninggal dalam konfrontasi bersenjata dengan TNI memasuki dekade pertama tahun 1980-an. Mereka disergap dalam suatu perburuan militer di rimba Aceh Sumatera yang serba hijau dan gelap sedangkan yang lainnya berada di pengasingan. Sementara Dr. Asnawi dan Tgk. Muhammad Lampoih Awe ditangkap serta ditahan dalam waktu yang lama. Selebihnya Tiro, Dr. Hussaini Hasan, Dr. Zaini Abdullah, Daud Husin dan Mr. Malik Machmud berada di pengasingan dan menjadi warnanegara Swedia sejak tahun 1980-an akhir. Mereka itulah yang kemudian hari memainkan peranan penting dan strategis menyangkut posisi perjuangan ASNLF/GAM di luar negeri. Dibawah koordinasi sang Wali Negara mereka bekerja dengan komitmen dan tanggungjawab penuh terhadap perjuangan yang sedang mereka lakukan hingga kini.
Walaupun di dalam perjalanannya terutama Dr. Hussaini Hasan di non aktifkan dari gerakan pembebasan Aceh untuk waktu yang tidak ditentukan karena alasan-alasan etis dan politis. Untuk waktu yang lama sejak ASNLF/GAM dideklarasikan kembali pada tanggal 4 Desember 1976 mereka telah memperlihatkan kerja-kerja politik yang sangat mengesankan. Meskipun mereka tidak terbiasa dengan ‘hukum besi politik pembebasan’ yang terkadang memberi kesulitan pemikiran. Para dokter-dokter muda (sekaligus anggota front pembebasan) tidak mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan ekosistim perjuangan. Justru mereka tertantang karenanya.
Latar belakang pendidikan mereka mayoritas murni medical scientis tapi tidak politik phobia berhadapan dengan masalah-masalah politik, sosial, kebudayaan dan agama. Apalagi menghadapi kerasnya mesin birokrasi perjuangan gerakan pembebasan Aceh yang senantiasa berkembang menghadapi persoalan-persoalan yang rumit dan kompleks. Itu menunjukkan generasi baru Aceh pasca revolusi social dan mengalami langsung peristiwa DI/TII , yang tidak ter-alienasi pikiran-pikiran Barat moderent serta tidak terkooptasi oleh pikiran-pikiran sektarianisme Islam. Walaupun mereka dilahirkan di alam Aceh yang serba ketat melaksanakan syariah Islam. Tapi mereka bukanlah tekstualis ortodok dalam menterjemahkan al-qur’an melainkan menerapkan konteks ‘modifikasi tafsir’ yang disesuaikan dengan keadaan orang-orang Aceh. Mereka juga tidak memelihara jenggot apalagi berpakaian ala Arab atau Persia atau ‘berkupiah ala PUSA’ yang lazimnya dipakai oleh kaum dokmatik dan fundamentalis . Serta-merta meraka bukanlah typikal ‘penikmat wanita’ (poligamy) yang dikutuk oleh kaum feminisme international serta dikecam sebagai “perbudakan seks” (Sex Slavery) oleh bangsa-bangsa beradab.
Mereka adalah orang-orang Aceh yang sederhana dan bersahaja serta mampu berinteraksi dengan dunia kosmopolit tanpa kehilangan identitas (Identity Crisis) ke-Aceh-an. Sebaliknya juga mereka adalah anak-anak yang dilahirkan dari rahim anarkhisme revolusi social dan kegagalan pemberontakan Darul Islam yang harus menerima kenyataan pahit berjuang kembali mendapatkan hak leluhur Tanoh Indatu. Sejarah pertumbuhan mereka pun tidak lepas dari tragedy politik dan bencana agama yang terjadi di sepanjang masa antara tahun 1945 sampai 1963. Di mana tahun-tahun itu tersebut memiliki arti yang khusus dan fundamental. Dikisahkan Dr. Muchtar Hasby sering mengeluarkan air mata ketika mengenang tahun-tahun yang penuh arti itu.
Tiro telah menempatkan mereka sebagai “manusia unggul” (Insan Kamil) atau (Ubermensch) Aceh yang diharapkannya dapat menggantikan posisi “kewalian” (Guardian) dirinya serta melanjutkan perjuangan dari ‘negera imaginer’ (Imagine State) Tiro menuju “negara manifest” (Nation State) sebagai satu-satunya base home bagi orang-orang Aceh. Tiro, mengasumsikan bahwa perjuangan untuk mendapatkan kembali Tanoh Indatu merupakan sesuatu yang mutlak (absolute), jelas (clearly) dan tegas (affirmative) sehingga tidak ada pengulangan, reduksi serta simplikasi terhadap pemikiran perjuangan untuk mencapai cita-cita yang sesungguhnya. Ia yakin dan percaya bahwa orang-orang Aceh sanggup melakukan apa yang telah dibangun oleh Indatu di masa lalu, yaitu Monarchy Aceh yang adil dan kuat. Ia selalu percaya akan kemampuan orang-orang Aceh membangun diri, masyarakat, dan negaranya berdasarkan prinsip-prinsip sejarah, peradaban dan kebudayaan. Ia tidak pernah lupa membangun prinsip-prinsip “Negara Aceh” berdasarkan pemikiran sejarah, peradaban dan kebudayaan Aceh dimasa lalu dan akhirnya menciptakan ‘dinding ratapan’ bagi orang-orang Aceh untuk mengingat sejarah masa lalunya yang jaya dan historic.
Martin Heidegger dalam “Introduction To Metaphysics”, menulis, hanya dengan menjadi makhluk sejarah yang selalu ingin tahu, manusia dapat memahami dirinya; hanya dengan begitu dia menjadi dirinya. Untuk menjadi dirinya dia harus mengubah keadaan di sekelilingnya menjadi sejarah dengan melibatkan dirinya. Tiro telah menetapkan basik sejarah resistensinya pada dimensi itu. Pada prinsipnya Ia telah menjadikan gerakan pembebasan Aceh itu sebagai gerakan bersejarah dengan nilai-nilai revolusioner. Hanya dengan nilai-nilai dan aksi revolusioner itu kehormatan dan kemuliaan Aceh dapat diraih dan dipulihkan kembali.
Tiro melihat dan merasakan tentang ‘dinding ratapan’ di mana kesedihan dan kesengsaraan di mata dan prilaku orang-orang Aceh ketika mereka mengenang kembali kejayaan dan kemegahan Monarchy Aceh di masa lalu. Ia menyaksikan langsung ketika ia berdialog di tempat-tempat yang jauh dari pusat perkampungan penduduk Aceh pada umumnya yaitu hutan dan gunung. Di sinilah ia menjadikan tempat pertemuan yang “aman” dan “terkendali” untuk mensosialisasi gagasan-gagasan kemerdekaan, yang ia terjemahkan dengan berdirinya Negara Aceh. Memang pada mulanya gagasan-gagasan tentang berdirinya “Negara Aceh” mengundang kontroversi politik tingkat tinggi dikalangan orang-orang Aceh yang memiliki hubungan dengan Regime Jakarta. Tapi ia tidak perduli dengan “batalyon DI/TII” Aceh yang “berdamai kembali” (Reconcile Politic) dengan Regime Soekarno dan ‘duduk manis’ dengan Regime Militer General Soeharto. Regime militer yang terakhir ini telah membawa malapetaka bagi orang-orang Aceh yang justru menjadi ‘sahabat karib’ dari tokoh-tokoh alumni DI/TII Aceh, khususnya kelompok Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Amir Husein Idi. Yang dikemudian hari juga mengangkat dirinya sebagai ‘quasi Walinegara’ Aceh yang menggantikan posisi ‘singa tua’ Major General Daud Beureueeh.
Tiro dikenal memiliki obsesivitas tinggi menyangkut cita-citanya di hari-hari mendatang. Ia tidak kenal menyerah terhadap obsesinya sendiri meskipun ada banyak tantangan besar menghadang di depan. Ia percaya terhadap “nalar” (Rasio) dan “iman” (Faith) dalam kehidupan politik pembebasan yang rumit dan komplex. Ia menggunakan nalar ketika berhadapan dengan masalah-masalah politik pembebasan disertai dengan iman yang tinggi. Karena ia percaya bahwa semua masalah-masalah kehidupan politik dan kehidupan manusia berdasarkan hukum-hukum Tuhan yang keras. Ia juga membayangkan kehidupan perjuangan ASNLF/GAM dilandasi prinsip-prinsip kebenaran dan pembebasan. Ia selalu memiliki prinsip bahwa “Negara Aceh” adalah suatu hak yang diberikan Tuhan kepada orang-orang Aceh sebagaimana terhadap masyarakat-masyarakat lainnya di dunia. Tinggal sekarang “bagaimana” (How) orang-orang Aceh merespon seluruh gagasan-gagasannya sampai “Negara Aceh” terwujud di peta dunia.
Ia sadar bahwa tidak mudah untuk mewujudkan berdirinya “Negara Aceh” yang di cita-citakan sepanjang hidupnya. Justru ia “memulai” meletakkan fondasi perjuangan sebagai tahapan permulaan dari suatu perjalanan yang panjang dan melelahkan. Tidak ada perjuangan politik yang lebih tinggi makna filosofi, seni kerja, dan kebijaksanaa pemikiran manusia, yaitu selain mencangkokkan pikiran-pikiran personal serta mengumpulkan pemikiran-pemikiran masyarakat, sampai menterjemahkan ke dalam Nation State. Lebih jauh lagi Tiro mendeskripsikan misinya sebagaimana dalam Diary nya: “Akhirnya saya memutuskan apa yang harus dipercaya di sepanjang takdir hidup; untuk memimpin masyarakat dan negeri menuju kemerdekaan. Saya akan merasa bersalah dan gagal jika tidak melakukannya. Mendapatkan kesejahteraan dan kekuasaan tidak pernah menjadi tujuan hidup sebab saya memperoleh keduanya di negeri saya. Tidak juga saya ingin mendapatkan itu sebab saya melihat sebagai pencapaian atau suatu karir: Saya memiliki suatu tugas, kewajiban yang diletakkan di atas pundak oleh para Indatu selama beberapa generasi ke depan, suatu tugas yang harus diterima dan hutang yang mesti dibayar sebab demi masa lalu dan masa depan negeri. Saya mendapatkan dari seluruh keluarga yang berpikir demikian, dan mendapatkan konfirmasi dan harapan dari rakyat. Saya lahir dari keluarga Tiro Aceh Sumatera, suatu keluarga yang memiliki peran penting di negeri dan menyediakan kepemimpinan dalam situasi perang maupun damai selama bergenerasi dan berabad-abad di sepanjang sejarah negeri saya.
Tiro dengan sendirinya telah membuka tugas dan kewajiban dirinya terhadap masa lalu dan masa depan. Ia merasa perlu untuk mentranformasikan dan mereformulasikan seluruh gagasan-gagasan politiknya kepada generasi tua , generasi menengah seperti dirinya dan angkatan muda Aceh yang terombang-ambing oleh situasi politik ketidak harmonisan hubungan Kutaradja -Jakarta. Ia menciptakan strategi kampanye untuk mensukseskan cita-cita dengan menempatkan generasi tua sebagai pilar utama mesin politiknya. Dengan alasannya sangat sederhana yaitu memiliki daya pikat yang teramat luar biasa di kalangan orang-orang Aceh pada umumnya.
Disini kejelian dan kecerdasan Tiro dibuktikan. Ia tidak pernah berhubungan langsung dengan kaum muda Aceh menyangkut gagasan-gagasan “pembebasan” negeri dari pendudukan asing. Malah ia mensosialisasikan seluruh gagasan-gagasan itu dengan menghubungkan ide-ide tersebut dengan beberapa generasi tua dan selanjutnya orang-orang itulah yang bertindak dengan cara mereka. Itulah strategi yang digunakannya selama beberapa tahun masa pendidikan politik yang ia tanamkan dalam pemikiran kaum muda Aceh, termasuk generasi Tgk.Abdullah Syafie. Di Aceh, Tiro menemui beberapa ulama tua dan muda, terutama mereka-mereka yang pernah melibatkan diri dalam gerakan Darul Islam pada masa silam. Di Sumatera Utara bahkan dia berhasil menyakinkan beberapa intelektual Aceh yang berdiam di Medan untuk mendukung usahanya; lima orang di antaranya mereka adalah dan seorang insinyur, yang kesemuannya adalah tamatan Universitas Sumatera Utara. Intelektual-intelektual muda inilah yang kemudian tampil sebagai pemimpin utama dari gerakan tersebut.
Tiro sering menciptakan musuh-musuhnya terjebak dengan manuver-manuver politiknya yang brilyan dan berskala massive. Di kalangan Pemerintahan Pendudukan ataupun pemerintahan Militer dan Sipil Aceh misalnya, sering mengalami kegamangan bersikap dan bertindak ketika mereka dihadapkan dengan masalah-masalah pemberontakan dan benturan-benturan vertikal lainnya. Nyaris penguasa sipil dan militer tidak memahami strategi dan taktik yang dilakukan oleh Tiro ketika ia dan segenap gerilyawannya yang kecil melakukan aksi politiknya di beberapa tempat menjelang tahun-tahun pasca Pernyataan Kembali (Re-declaration) maupun sesudahnya. Hasilnya Pemerintahan Jakarta selalu menjawab dengan aksi kebrutalan militer. Seperti yang kita saksikan pada tahun 1989-1998 dengan Daerah Operasi Militer (DOM) yang merenggut ribuan korban masyarakat sipil yang tak berdosa. Serta mengembangkan pola massive operasi militer an sich tanpa menghiraukan akibat-akibat politik di kemudian hari. Terutama respon publik nasional, pemerintahan regional, dan masyarakat international tentang pelanggaran serius kejahatan terhadap kemanusiaan di Aceh.
Bahkan nyaris, orang-orang yang berada disekelilingnya pun mengalami kesulitan pemahaman tentang strategi-strategi politik yang ia kembangkan tentang dialektika perjuangan. Umpamanya ‘aksi militer tanpa senjata’, yang di dalam kacamata orang-orang DI/TII Aceh adalah tidak mungkin untuk dijadikan taktik dan strategi perjuangan. Tapi Tiro mengembangkan apa yang ia sebutkan sendiri dengan istilah ‘logika perjuangan Aceh’. Ia tidak ingin melakukan kesalahan yang sama sebagaimana yang terjadi dalam kasus DI/TII Aceh, ketika mereka ‘menyerahkan senjata dengan senang hati’ kepada regime Soekarno. Ia memandang sikap menyerah itu sebagai tindakan yang teramat bodoh (Uneducated). Serta menganjurkan para gerilyawannya untuk ‘mengambil kembali’ senjata-senjata yang diserahkan itu.
Sebagaimana yang dikatakan oleh salah seorang pengamat, banyak kaum pemberontak Aceh, anggota Darul Islam Jawa Barat, dan pengikut Kahar Muzakkar juga meletakkan senjata. Tidak jelas apa yang mereka capai selama pemberontakan berlangsung. Usaha untuk mendirikan Darul Islam di seluruh wilayah ‘koloni Belanda’ tidak terkecuali Aceh mengalami kegagalan besar (Grand Failure). Harapan untuk mendirikan wilayah Islam beserta dengan hukum-hukumnya musnah ditelan kekalahan yang paling memalukan dalam sejarah perjuangan “atas nama” Islam. Pergumulan itu telah melahirkan begitu banyak frustasi, kekecewaan, dan vandalisme politik yang akhirnya memerlukan ‘muara’ untuk menetralisirnya. Di sini Tiro dengan jeli memahami situasi psiko politik orang-orang Aceh pasca kegagalan itu. Kedatangannya itu menabur kembali benih ‘nationalisme Aceh’ dalam payung Monarchy.
Tahun-tahun pertama kedatangannya di Aceh, menimbulkan silang pendapat dan kontroversi politik tingkat tinggi. Tiro melihat Aceh bagaikan bulan yang sedang redup dilanda duka lara. Ia juga melihat negeri bagaikan sekumpulan singa dan harimau yang sedang marah dan siap menerkam lawannya. Ia mendapatkan jaminan dan kepastian dari beberapa orang seperti Pawang Rasyid , Geucjhik Umar (kemudian menjadi pemimpin pasukan pengawal dirinya) dan Yusuf Ali dkk. Tentang potensi perlawanan yang berskala massive dan luas. Di samping itu ia mendapatkan apa yang dicarinya yaitu kekecawaan dan rasa frustasi tinggi yang melanda Aceh pada tahun-tahun awal pergerakan.
Akhirnya Tiro menyadari dengan regime militer “macam apa” yang ia sedang hadapi dan dengan “cara bagaimana” atau meminjam istilah Martin Heidegger, seorang filosof Jerman abad XX, dengan term “The Way of Being” menghadapi kekuatan militer Indonesia dibawah regime General Soeharto. Tiro harus menghadapi kekuatan militer Indonesia yang terhitung sangat terlatih dan paling terorganisir pasca invasi militer Indonesia di Timor Leste di tahun 1975. Ada banyak pemikiran yang terlintas dalam benaknya tentang perlawanan Aceh yang sedang disiapkannya.
Tiro mengatakannya lebih lanjut:” Banyak pemikiran yang terlintas dalam benak saya. Saya berpikir ketika Ceasar menyeberangi Rubicon dan memimpin Perang Sipil (Civil War) di Roma. Rubicon saya sangat luas dan penyeberangan itu tidak menimbulkan akibat Perang Sipil tetapi mencapai upaya persatuan nasional dan dalam perang pembebasan nasional untuk membebaskan negeri dari dominasi asing, dari banteng kolonialisme Jawa. Saya berpikir pendaratan Ceasar di Spanyol, di Larida, di mana dia menaklukan negeri itu dalam 40 hari. Tetapi Ceasar memiliki batalyon bersama dengan dirinya. Sedangkan saya tidak memilikinya. Saya datang seorang diri tanpa pasukan perang. Saya tidak memiliki alat kekuatan. Saya hanya membawa suatu pesan: tentang penyelamatan nasional dan survivalitas rakyat Aceh Sumatera sebagai suatu bangsa, dan reputasi seorang Tiro. Tidak ada yang mengetahui kedatangan saya atau akibat yang akan ditimbukannya. Saya membayangkan serdadu kolonialis Indonesia Jawa, dengan setengah juta orang yang kuat, dengan dilengkapi persenjataan moderen, memiliki pengalaman perang gerilya (Guerilla Warfare), dan membantai dua juta oposisi (PKI). Ya saya datang kemari. Tidak akan pernah kembali”.
Tiro juga mendeskripsikan apa yang dilakukannya di Aceh berbeda dengan apa yang lazimnya dilakukan oleh para pejuang pembebasan di negeri-negeri lain. Ia memperlihatkan bahwa keinginan yang kuat sesungguhnya memiliki kesamaan dengan sejumlah batalyon tempur. Ia akan membuktikan dirinya bahwa reputasi seorang Tiro juga tidak kalah dengan tokoh-tokoh perang kaliber dunia seperti Napoleon dan Fidel Castro. Ia mengatakan sbb:“Saya berpikir tentang pendaratan Napoleon dari Mesir dengan situasi yang berbeda. Dan pendaratannya di Teluk Juan dari kepulauan Elba. Yang terakhir membutuhkan keberanian spektakuler seorang tokoh sejarah. Saya berpikir tentang pendaratan Fidel Castro dengan dua ratus pasukan comrades-nya. Saya mencari kesamaan dan sebagai petunjuk. Tetapi saya tidak menemukannya. Sebab saya harus melihat fakta yang sebenarnya kedatangan seorang diri: tanpa kawan, tanpa angkatan perang-- dan tidak pula para pengawal bersama dengan saya-- dan tanpa dukungan asing: saya tidak datang untuk menggantikan kolonialisme satu dengan yang lainnya. Dan tugas saya untuk melindungi rakyat dari keterlupaan (Oblivion), untuk membebaskan negeri dari dominasi asing dengan perang pembebasan nasional; pendeknya menebus dosa (Redeem) di masa lalu dan menjustifikasi masa depan orang-orang Aceh sebagai bangsa. Jelaslah perbedaan sangat berlawanan untuk saya amat berlimpah. Tetapi itu tidak membuat saya berhenti. Saya harus mengerjakan apa yang mesti saya kerjakan.
Akhirnya Tiro mempersiapkan langkah-langkah perjuangan menyusun strategi dan taktik perlawanan di Aceh. Bersama-sama dengan orang-orang muda yang revolusioner dan didukung oleh generasi tua Aceh yang kecewa terhadap episode kegagalan DI/TII. Tiro membangun tafsirnya sendiri tentang Aceh dan teorema politiknya secara fundamental. Dalam asumsinya apa yang dicapai DI/TII (1953-1963) di Aceh sebagai ‘perang yang mengecewakan dengan hasil-hasil yang tidak memuaskan’ (Quasi on War). Orang-orang muda Aceh yang revolusioner dan orang-orang tua yang kecewa terhadap sejarah DI/TII itulah yang memainkan peran vital dan fundamental menggerakkan kembali roda pembebabasan nasional Aceh.
Dalam analisis militernya tentang kekalahan DI/TII Aceh, Tiro melihat begitu banyak peristiwa-peristiwa politik bersamaan dengan rapuhnya konsolidasi militer di antaranya; memiliki banyak rantai komando. Kemunculan faksi militer daerah. Permusuhan personal antar tokoh DI/TII Aceh. Sentimen lokal antar daerah. Konsep ideologi Islam yang kabur. Sampai garis logistik dan kepemimpinan yang tidak pernah jelas. Pada dasarnya apa yang disebut oleh beberapa pakar sejarah tentang pemberontakan (Bhugat) tidak hanya ditujukan pada NRI melainkan juga melanjutkan ‘revolusi sosial’ tahap kedua memburu, mengejar, membunuh bahkan menghancurkan sisa-sisa kaum Uleebalang yang terus hidup dengan ide-ide Monarchy Aceh yang independen.
Di sini Ia telah mengambil gagasan itu atas nama ‘keluarga di Tiro’. Suatu keluarga yang memiliki tempat yang teramat istimewa dihadapan Monarchy Aceh maupun di kalangan orang-orang Aceh. Keluarga itu juga tidak memiliki persaingan politik dengan kalangan kaum Uleebalang sampai dengan meletusnya peristiwa revolusi social di Aceh yang menimbulkan malapetaka besar.
Secara struktur DI/TII Aceh tidak memiliki arah profesionalitas gerilya. Pada dasarnya gerakan itu menyerupai ‘gerakan pemberontakan petani Aceh’ yang tidak terorganisir. Tidak memiliki methodologi perjuangan yang baku dan juga tidak memiliki tujuan yang jelas. Ia hanya merupakan gerakan yang bermula dari ‘aksi psikologis’ atau ’pengembaraan kekecewaan’ atau sentimentil beberapa tokoh PUSA yang kecewa karena jabatannya ditarik. Tentu saja ‘pemberontakan amatir’ ala DI/TII memunculkan akibat-akibat yang massive dan fundamental bagi orang-orang Aceh. Khususnya pada peristiwa Pulo Tjot Jeumpa yang menciptakan ‘kemarahan universal’ orang-orang Aceh terhadap Darul Islam dibawah pimpinan Major General Tituler Daud Beureueeh. Hingga orang-orang Aceh membiarkannya tinggal seorang diri di markas besarnya, Mardhatillah.
Karenanya gerakan itu terlalu manja dan merasa didukung oleh orang-orang Aceh. Sehingga mereka membiarkan peristiwa Pulo Tjot Jeumpa berlalu begitu saja. Gerakan itu pada dasarnya bukanlah merupakan gerakan revolusioner dengan konsekwensi revolusioner pula. Sehingga pemberonakan DI/TII Aceh lebih tepat di tempatkan sebagai ‘perang pura-pura’ (Quasi on War). Karena yang terlibat di dalamnya adalah orang-orang memiliki ‘mentalitas sawah’. Dan tidak dapat diharapkan tentang ‘dialektika perang’ yang sesungguhnya, yaitu perang revolusioner. Sebagaimana yang dikatakan oleh Frantz Fenon, para pemimpin pemberontakan mulai melihat bahwa setiap pemberontakan petani dalam skala besar perlu dikontrol dan diarahkan ke saluran-saluran tertentu. Para pemimpin ini diarahkan untuk meninggalkan gerakan karena gerakan itu dapat disebut sebagai pemberontakan petani, dan mengubahnya menjadi perang revolusioner. Mereka menemukan bahwa kesuksesan perjuangan mengisyaratkan tujuan yang jelas, methodologi yang pasti dan diatas segalanya memerlukan rakyat untuk menyadari bahwa upaya-upaya mereka yang tidak terorganisir hanya akan menjadi dinamika kontemporer.
Lagi pula antar elit DI/TII Aceh memiliki kepentingan dan tujuan yang berbeda. Misalnya antara Major General Tituler Daud Beureueeh dan Kapiten. Hasan Saleh, memiliki cara pandang yang berbeda tentang masa depan DI/TII di samping kepentingan personalnya. Begitu juga Amir Husein Idi dan Major General Tituler Daud Beureueeh sendiri, memiliki perbedaan-perbedaan yang mencolok tentang pemberontakan itu. Serta saling mengkudeta satu dengan yang lainnya. Mereka bagaikan anjing yang merebut tulang untuk mendapatkan status “Wali Negara Aceh” yang bergengsi itu.
Pendeknya, Tiro melihat pemberontakan itu hanya dilakukan sebagai “tindakan panik” (Panic Action) untuk menjaga gengsi dan prestise ketokohan Major General Tituler Daud Beureueeh dimata Republik yang diciptakannya. Suatu ‘pemberontakan personal’ (Personal Rebellion) tapi melibatkan sentimen kedaerahan, agama dan para pendukungnya. Aceh dalam pandangannya telah menjadi ajang perseteruan antar tokoh-tokoh yang melibatkan sentimen rakyat pada umumnya. Bahkan sentimen personal melibatkan pertaruhan yang sangat tinggi menyangkut eksistensi sebagaimana yang diperlihatkan oleh tokoh-tokoh DI/TII Aceh (PUSA) terhadap keturunan Uleebalang.
Bahkan sebagian di kalangan DI/TII Aceh pasca ‘menyerah’ berusaha untuk menciptakan “politik kambinghitam” (Scapegoating Politic) terhadap kekalahan itu dengan menyalahkan para keturunan Uleebalang yang tidak mendukung DI/TII Aceh. Tapi kenyataan itu menjadi suatu hal yang sangat tragis dan ironis menyangkut politik mengayuh dua karang yang dimainkan oleh para petinggi PUSA sampai akhirnya berkumpul kembali dalam satu wadah DI/TII Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureueh. Di satu sisi DI/TII Aceh merasa menjadi bagian Indonesia. Tetapi di sisi lain mengobarkan perang dan permusuhan lewat tradisi oral dan media elektronik mendiskriditkan Uleebalang secara berkelanjutan hingga generasi sesudahnya. Agaknya permusuhan antara PUSA (DI/TII Aceh) dan Kaum Uleebalang terus berlanjut hingga generasi sekarang dengan interval waktu yang berbeda. Permusuhan itu terus berlanjut hingga mengalami anti-klimaks menjelang tahun-tahun pergolakan memasuki tahun 1970-an awal.
Dalam pengamatan Boyd R. Compton, seorang penziarah Amerika yang berkunjung ke Aceh di tahun 1945 memberi kesan dari yang disaksikannya sbb: “Di antara semua peristiwa di Indonesia menjelang penyerahan kedaulatan Belanda 1949, ‘revolusi sosial‘ di Aceh inilah yang paling mendekati definisi lazimnya untuk kata “revolusi”: para pemimpin sebuah kelas digantikan oleh pemimpin-peminpin kelas lain. Selama tahun-tahun revolusi, Aceh benar-benar terisolasi. Daud Beureueeh memegang kekuasaan nyaris ditaktorial sebagai gubernur militer, dan hampir semua keputusan yang menyangkut persoalan internal dibuat oleh pejabat-pejabat yang berdarah Aceh, sebagian besar dari mereka adalah PUSA. PUSA menunjukkan minat besar untuk berkuasa selama revolusi sosial yang berdarah dan singkat, yang meletus di Aceh setelah Jepang menyerah. Selama masa penjajahan, Belanda memecah kekuasaan Sultan Aceh yang kalah dan membagi-bagikannya kepada sejumlah perwira militernya yang kurang menonjol (Uleebalang). Belanda memerintah secara efektif melalui tuan-tuan feodal kecil ini, tetapi sistim pemerintah tak langsung yang pelik dan terlalu berat ke atas ini menindas rakyat Aceh. Kekalahan Jepang memungkinkan pembebasan sejumlah besar pembangkang yang disekap.
Para pemimpin agama Aceh, sebagaian besar adalah anggota PUSA, tak menyia-yiakan kesempatan ini untuk menindas para bangsawan kecil yang telah mengabdi Belanda. Kisah penggilasan sebagian besar bangsawan Aceh ini belum ditulis, dan tak jelas seberapa jauh para pemimpin PUSA merestui keganasan pengikut-pengikut mereka. Yang jelas, pelenyapan kaum ningrat ini memungkinkan PUSA untuk meraih kekuasaan lebih besar di Aceh. Pada tahun 1947, Daud Beureueeh diakui sebagai sebagai Gubernur Militer Aceh untuk Republik Indonesia, dan dinas militer serta sipil dikuasai bulat oleh tokoh-tokoh dan sahabat-sahabat PUSA. Di tingkat ini arus konflik antara Uleebalang dan PUSA menjadi massive dan fatal. Dampak itu menjadi tragedy di sepanjang sejarah Aceh dalam hubungannya dengan Jakarta.
Dengan sendirinya Tiro berada di pusat konflik antara mengayuh dua karang yang sama sulitnya; “melawan Indonesia” (sisa-sisa PUSA atau anasir DI/TII Aceh) atau “berdamai” dengan Kaum Uleebalang. Berdamai dengan kaum Uleebalang maksudnya adalah berdamai dengan sejarah masa lalu dan mengutuk aktivitas huru-hara sosial beserta orang-orang yang terlibat di dalamnya. Itu penting dimaknai sebagai bagian dari pembelajaran sejarah kolonial di Aceh dan pemikiran-pemikiran kolonialisme yang mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang dianggap “revolusioner” yang terjadi dalam “revolusi sosial” atau dalam istilah Teuku Muhammad Isa disebut “kenduri besar”.
“Kenduri besar” “jilid pertama” telah usai dengan ratap tangis kaum Uleebalang beserta keluarganya. Tiada ampun dan kata maaf yang diberikan oleh ‘regime fasisme’ PUSA terhadap kaum Uleebalang yang tidak menyukai kehadiran kaum Republiken di Aceh. Mereka adalah ‘kaum berkupiah’, serta yang “berdarah panas”, meminjam istilah S.M Amien terhadap keluarga aristrokrat Aceh. Di kemudian hari mereka kecewa terhadap ‘Republik Baru’ dan karenanya memberontak kembali. Menurut sejarawan Taufik Abdullah, dasar inspirasi dan motivasi ideologis dari perjuangan ini dari harapan—seperti kemudian kelihatannya dengan jelas—adalah sumber kekecewaan dan berseminya perasaan Aceh “telah tertipu”.
Tidak pernah sebelumnya sejarah kepemimpinan Aceh (Uleebalang) dalam perang maupun damai mengalami “perasaan telah tertipu”. Dalam segala situasi perundingan ataupun negosiasi dengan lawan-lawannya. Sejarah kebodohan itu telah melahirkan inferioritas orang-orang Aceh dihadapan sejarah masa lalunya yang jaya dan cerdas. ‘Eksistensi sejarah keledai’ itu menjadi stereo type kebodohan dan kedunguan orang-orang Aceh di kemudian hari setelah “revolusi sosial” (1946) usai. Dan dilanjutkan dengan Pemberontakan Darul Islam Aceh (1953-1963) yang sesungguhnya adalah episode ‘revolusi sosial kedua’, yang juga melahirkan perspektif ‘esensialis sejarah keledai’ orang-orang berkupiah PUSA dihadapan orang-orang Aceh maupun persekawanannya dengan orang-orang Republiken.
Diskursus kebodohan dan kedunguan ala Aceh berkembang secara terus-menerus dengan tingkat intelektual dan moral yang mengganaskan, nyaris menciptakan ‘emosi pergolakan’ bagi orang-orang Aceh yang mendengarkannya. Kemunculan diskursus itu bermula dari kehadiran orang-orang berkupiah PUSA di panggung politik Aceh semenjak “revolusi sosial” dan peristiwa DI/TII Aceh. Di satu sisi melahirkan diskursus kebodohan, dan di sisi lain melahirkan kekejaman (Cruelty) yang sulit untuk dilupakan dalam sejarah.
Kisah kekejaman pembantaian terhadap Kuta Lammeulo (revolusi sosial tahap pertama) mengingatkan kita pada sejarah ‘sang eksekutor’ dalam Perang Aceh ketika Mayor General Van Daalen yang membantai ratusan orang laki-laki dan perempuan serta menyisakan seorang bayi di Benteng pertahanan Kuta Reh, Gayo-Alas di tahun 1904. Tindakan yang sama dilakukan oleh Sang Major General Tituler Daud Beureueeh terhadap Kuta Lammeulo di Pidie, tanpa meninggalkan seorangpun terkecuali seorang wanita yang teramat cantik, yang dikemudian hari menjadi “Ghanimah” sang General, yaitu istri Teuku Muhammad Daud Cumbok. Sang General Tituler telah melakukan tindakan yang paling biadab dalam sejarah politik di Aceh, dengan membunuh sang suami dan menjadikan sang “istri” sebagai ‘harta rampasan’ serta melawan kodrat tradisi pemikiran orang-orang Aceh. Tafsir tentang Ghanimah adalah sesuatu yang sangat sensitive dalam pandangan orang-orang Aceh. Ia tidak dapat ditafsirkan dengan selera kekuasaan sebagaimana yang ditunjukkan oleh PUSA lewat pemikiran Major General Tituler Daud Beureueeh. Melainkan harus berpijak pada hukum-hukum normative Islam dan tradisi orang-orang Aceh. Yang memperlakukan Ghanimah itu sebatas harta yang material sifatnya. Karenanya sebuah revolusi social, sebagaimana yang terjadi di Aceh juga menghendaki aturan-aturan revolusioner dan manusiawi.
Kisah 1001 duka telah menjadi tragedi paling berdarah terhadap Kuta Lammeulo khususnya dan terhadap sejarah Monarchy Aceh yang jaya dan kuat di masa lalu. Orang-orang Aceh dengan semangat “Republiken” Soekarno telah menjadikan Kuta Lammeulo berlumuran darah mengalir deras bagaikan aliran Sungai Tiro (Krueng Tiro) membasahi setiap jengkal tanah di Pidie bersambung ke seluruh sungai-sungai di Aceh. Tuduhan “Non Uleebalang (PUSA, pen)” terhadap Uleebalang tidak berhenti setelah mereka melakukan “kenduri besar” itu malah slogan-slogan yang berbau darah memancing rakyat untuk segera melakukan pembunuhan atas kontrol sang Major General Tituler Daud Beureueeh. Di antaranya slogan-slogan itu berbunyi “membasmi pengkhianat agama dan bangsa”, bahwa pihak Cumbok adalah kaki tangan yang berusaha menumbangkan Republik”, bahwa pihak Cumbok senantiasa berhubungan dengan Belanda di Sabang atau pun kapal-kapal selam yang bersimpang-siur di Aceh”, bahwa pihak Cumbok tidak ber-Tuhan, menginjak-injak al-quran serta melarang rakyat bersembahyang”. Suatu slogan yang hanya digunakan oleh regime Fasisme Mossolini dan Hitlerisme untuk mencapai tujuan politik.
Bukan main senangnya para tokoh-tokoh Republiken sekaliber Soekarno-Hatta, kaum Nasionalis seperti Ali Sostroamidjojo, kelompok Islam layaknya Natsir-Kartosowirjo, dan kaum Komunis seperti Tan Malaka-Shahrir, di Jakarta. Merekalah yang dikemudian hari memberi nama ‘revolusi sosial’ sesuatu yang sebenarnya lebih dibutuhkan di Jakarta daripada di Aceh. Mereka menyaksikan ‘revolusi sosial’ atau perang saudara dari tempat persembunyian abadi di bawah perlindungan Gubernur General Hindia Belanda di Batavia. Sembari berdiskusi dan bercengkrama lewat pikiran-pikiran ‘nationalis abstrak’ dan “sosialis idealisme” yang tak pernah menyentuh persoalan. Mereka berdansa dibawah matahari Ratu Wilhelmina serta menyerukan “Tuhan lindungi Ratu kami”dikala sedang mabuk. Serta menyaksikan ‘Maulid Akbar’ (Massacre) dengan hidangan kari kambing manusia. Dengan Meusekat darah. Bolu yang bercampur hiba. Beulekat yang bercampur jerit tangis anak-anak. Kupi yang memakai gula air mata. Para undangan yang berdatangan dengan membawa berbagai alat parang, tombak, pisau dan senjata buatan Jepang (ternyata orang-orang berkupiah PUSA adalah kolaborator ‘penyembah matahari’).
Dengan semangat ‘nabi baru’ Soekarno, yang justru membawa ajaran “Republiken” menggantikan agama lama (Islam), agama nenek moyang (Indatu) Aceh di masa lalu. Sampai pada keputusan bahwa di Aceh harus ada agama baru yaitu ‘agama Republiken’. Dengan demikian doa-doa dari kitab Republiken dibacakan sebelum acara santapan atau jamuan yang terakhir ‘Maulid Akbar’ dimulai. Setelah doa-doa dibacakan dari kitab Republiken. Para undangan membolehkan apa saja untuk diminum dan dimakan tanpa ada larangan selama Maulid Akbar berlangsung. Keganasan, kekejaman, dan kesadisan yang membangkitkan nostalgia di sepanjang masa yang dilakukan oleh PUSA terhadap Kuta Lammeulo, mengingatkan orang-orang Aceh tentang perlakuan yang sama dari pasukan Marsose Belanda di Aceh. Kini orang-orang Aceh menyadari dengan siapa dan penguasa bagaimana yang mereka dukung. Cap pengkhianat terhadap Uleebalang yang dituduhkan oleh PUSA sampai dengan hari ini belum terbukti.
Sang Major General Tituler Daud Beureueeh itu tersenyum puas ketika melihat darah dan air mata tumpah dari tubuh pemiliknya. Tapi sang General Tituler itu kagum terhadap semangat ke-Aceh-an orang-orang yang mempertahankan Kuta Lammeulo dari gempuran orang-orang berkupiah PUSA. Andaikata jumlah orang-orang Kuta Lammeulo itu sebanding dengan orang-orang ‘PUSA Republiken’ itu hasilnya tentu akan berbeda. Untung saja sang General Tituler sebelum ‘Maulid Akbar’ telah berpidato serta ‘menjual’ ayat-ayat Tuhan secara ‘murah meriah’. Karenanya para pengikut perlu berpikir dan bertindak menghalalkan semua yang diharamkan oleh Indatu di masa lalu. Pergumulan antara idealismenya Soekarno dan aksinya Major General Tituler Daud Beureueeh, telah mengubur Monarchy Aceh sekaligus membuang harapan-harapan para Teungku di Tiro, ketika mereka mempertahankan Aceh dari serangan kaum kulit putih di masa lalu.
Semangat agama Republiken telah mengalahkan agama kolot dan konservatif Islam. Pembantaian manusia di Kuta Lammeulo (baca: Kuta Reh) jika disusun menyerupai susunan kubah Mesjid Baiturrahman di Kutaradja. Dengan darah mereka sudah cukup untuk mewarnai mesjid itu secara abadi tanpa perlu direnovasi. Tindakan yang dilakukan oleh PUSA di Lammeulo dan Aceh pada masa revolusi menyerupai “pengorbanan darah kaum Indian” Amerika ketika Laksamana Cortez menaklukan benua itu. Dari darah para kaum Uleebalang itu pula. Aceh mengalami berbagai goncangan kehidupan kenegaraan, kemunduran peradaban, disertai hilangnya gairah kebudayaan.
Aceh selama dipimpin oleh orang-orang berkupiah PUSA (1946-1963) tidak memiliki pemahaman atau ‘miskin pemikiran’ serta ‘kaya dengan hapalan’ al-quran, karena itu bermaksud untuk menghancurkan, merampas dan membunuh lawan-lawan politiknya. Tetapi itu semua tidak cukup untuk mengatur roda pemerintahan Aceh. Aceh yang seharusnya memiliki ‘ketepatan waktu’ (Timing) dan ‘kesempatan’ (Opportunity) untuk mengatur dirinya dengan konsep Monarchy Aceh. Yang sama arti atau nilainya dengan ‘Negara Aceh’ hilang ditelan keganasan kaum barbarian PUSA. Kenyataan itu melahirkan ‘dinding ratapan’ bagi generasi Aceh sesudahnya, khususnya generasi Aceh Merdeka..
Terlepas dengan janji-janji suci yang datangnnya dari agama Republik. ‘Dengan nabi-nabinya membawa risalah baru yaitu otonomi penuh bagi Aceh’. Telah membuat sang General Tituler mabuk kepayang seakan ia telah mendirikan ‘Negara Islam dengan Sumpah Palapa dalam versi Aceh’. “Aku bersumpah untuk menyatukan seluruh Indonesia di bawah pemerintahan Soekarno”. Itupun dikemudian hari membawa ‘episode kedua’ pertumpah darahan di Aceh yang sebanding dengan revolusi sosial di tahun 1946. Jika para Uleebalang ditumpas habis oleh ‘orang-orang berkupiah’ PUSA, maka DI/TII Aceh pun ditumpas oleh orang-orang Republik. Nabi yang sejak awal mereka (PUSA) cintai dan menyakininya akan membawa kearah Novum, masa baru, keadaan baru dan situasi baru. Tapi kenyataannya ‘orang-orang berkupiah’ PUSA mengalami penghinaan yang sebanding dengan apa yang mereka lakukan di Lammeulo dan diseluruh Aceh.
Agaknya Tentara Indonesia, tidak membaca pikirannya sang General Tituler, bahwa maksud dideklarasikan DI/TII Aceh adalah untuk memusnahkan kaum Uleebalang Aceh. Itu dikemudian hari disesalkan oleh sang General Daud Beureueeh terhadap pimpinan-pimpinan politik dan militer Indonesia sampai akhir hayatnya. Tapi ia merasa puas setelah beberapa pimpinan TNI pada waktu itu menaikkan pangkat dari Major General Tituler menjadi General berbintang empat Tituler dan melakukan wisata haji dan tinggal di hotel dalam waktu yang lama.
“Konon, di Baitullah dia menyaksikan Teuku Muhammad Daud Cumbok sedang melakukan shalat dengan khusuknya di barisan paling depan (Shaff) bersama dengan para pemimpin-pemimpin Islam dan sahabat-sahabat rasul serta diimami langsung oleh Nabi Muhammad Saw. Tidak hilang herannya ketika Ia berada di sekitar tempat melempar batu ke tugu syaitan (Zumrah) dan serta-merta Teuku Muhammad Daud Cumbok melempar batu seraya berkata;”aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk”. Dan batu yang dilemparkan oleh Teuku Muhammad Daud Cumbok itu mengenai dirinya. Sang Major General Tituler berguman: “mengapa Tuhan begitu kurang ajar terhadap diri-ku”? “Aku ini adalah pemimpin DI/TII Aceh, tidakkah langit dan bumi mengenal diri-ku”? “Oh betapa bodohnya makhluk-makhluk di langit itu”! “Terkutuklah Engkau Ya Tuhan, karena memuliakan makhluk yang hina itu”. “Di mata rakyat Aceh, Akulah yang paling mulia sebagai pemimpin DI/TII. Lalu kenapa Engkau memuliakan Uleebalang itu dihadapan Mu?” Mulai hari ini Aku dan segenap Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dan DI/TII akan memberontak terhadap Mu, ya Tuhan!”.
Peristiwa ‘Lammeulo Kedua’ muncul di Pulo Tjot Jeumpa di tahun 1956, ketika masa Pemberontakan DI/TII Aceh sedang bergolak. Di mana ratusan perempuan dan anak-anak dibantai secara sadis. Maka sang General Tituler Daud Beureueeh teringat pada peristiwa Lammeulo di tahun 1946, di mana sang General juga melakukan pembantaian yang sama dalam peristiwa revolusi sosial itu sambil berujar, “ah kita juga melakukan hal yang sama terhadap musuh kita (Uleebalang)”! “Musuh-musuh kita melakukan apa yang kita lakukan terhadap Uleebalang”!.
Untuk waktu yang lama ‘orang-orang berkupiah’ PUSA secara berpura-pura melupakan berbagai peristiwa politik, sosial, ekonomi, agama dan kebudayaan di Aceh, pasca revolusi sosial. Mereka berusaha menutup kegagalan revolusi yang mereka ciptakan sendiri dengan tindakan-tindakan tidak populer ‘berontak dan berdamai kembali’ di mata orang-orang Aceh. Khususnya pada peristiwa DI/TII.
Semenjak revolusi sosial yang sukses dan berlumuran darah itu, kurun Aceh pasca Maulid Akbar di Lammeulo. Terjadi berbagai huru-hara dan konflik berskala tinggi berdatangan secara silih berganti. Peristiwa demi peristiwa dari “revolusi sosial” (1946) dan peristiwa DI/TII Aceh (1953-1963). Aceh yang selama beberapa tahun berselang seakan menjawab ketidakikhlasan tanah Indatu melihat struktur permanensi Uleebalang dihancurkan oleh kaum Repubiken tanah seberang. PUSA dengan sendirinya telah menjadi pihak yang paling bertanggungjawab terhadap huru hara sosial itu dan masa depan Aceh secara keseluruhan. ‘Konflik berskala tinggi’ tidak akan pernah berhenti manakala sejarah tentang Uleebalang dan pemusnahan yang secara sistematik dilakukan oleh orang-orang ‘berkupiah’ itu belum diluruskan atau direstorasi.
Kaum ‘berkupiah’ itu telah menjadi simbol sejarah angkara murka, kekejaman, kebiadaban, dan kejahiliyahan Aceh di abad ke XX. Orang-orang itu pula yang menyebabkan Aceh jatuh dalam lembah kenistaan di mana Meurah Silu (Sultan Malik as Saleh), Sultan Ali Mughayat Syah, Ala’ad-din Riayat Syah al-Kahar dan Sri Alam Iskandar Muda tidak pernah membayangkan sebelumnya. Inilah periode titik balik kemunduran Aceh secara filosofis, peradaban yang ambruk, dan kebudayaan yang kehilangan budi pekertinya serta kehilangan superioritas keislamannya di semenanjung Malaka. Semenjak itu Aceh telah menjadi daerah yang miskin dengan pemikiran-pemikiran filosofis, ambruknya perkembangan Islam di kawasan regional Asia Tenggara, terutama pintu gerbangnya di Selat Malaka dan runtuhnya moral kenegaraan yang menjadi tiang penyangga Monarchy Aceh selama ratusan tahun yang lampau.
PUSA beserta orang-orang ‘berkupiah’ itu telah gagal membangun pemerintahan sendiri di atas Monarchy “Uleebalang” Aceh pasca ‘Maulid Akbar’. Pemerintahan PUSA pasca “kenduri besar” itu hanya mampu memikirkan dan berbuat sebatas membangun pemerintahan “Provinsional” Indonesia di seberang lautan. Orang-orang ‘berkupiah’ itu tidak mampu mengelola dan memelihara apa yang selama berabad-abad oleh kaum Uleebalang secara turun-temurun mewarisi tradisi pemikiran negara Aceh. Dari sisi ini Uleebalang menduduki tempat yang paling terhormat dan paling mulia di mata orang-orang Aceh maupun di mata bangsa-bangsa Eropa.
Tradisi pemikiran negara telah menjadi entitas penting bagi Uleebalang dalam menggerakkan roda pemerintahan Monarchy Aceh yang rumit dan kompleks. Memang tidak mudah mengatur, mengelola, mengembangkan dan memajukan sampai dengan menyatukan pikiran orang-orang Aceh yang sangat pluralistic. Bahkan terkadang sangat hegemonistik dalam perspektif kenegaraan, di Monarchy Aceh. Lagi-lagi Uleebalang menjadi pusat perhatian baik di kalangan akademisi untuk mengetahui sejarah pemerintahan Aceh di masa lalu. Sampai dengan gerakan pembebasan Aceh, di mana Tiro menjadi pemimpinnya harus merujuk pada entitas “Uleebalang” sebagai bentuk pemerintahan terbaik di Aceh. Hanya orang-orang yang bermental negarawan yang sanggup memimpin Aceh. Tidak disangsikan lagi Uleebalang menduduki tempat yang terhormat itu.
Tidak disangsikan lagi sejarah kelahiran Uleebalang identik dengan sejarah kelahiran Monarchy Aceh. Memutuskan rantai itu sama artinya dengan menghilangkan sejarah Aceh. Terutama Negara Aceh yang pernah dibangun di atas landasan Monarchy. Yang tersisa sekarang ini adalah pertanyaan kepada kita bagaimana memahami perdamaian dengan masa lalu yang penuh duka? Dapatkah seseorang berdamai dengan masa lalunya yang berdarah? Apakah Aceh pasca “kemerdekaan” segera setelah berpisah dengan Indonesia dapat berdamai dengan masa lalunya? Haruskah kita “memanggil” kembali Major General Tituler Daud Beureueeh di Taman ‘Kalibata Beureuneun’ dan Amir Husin Idi dari alam kubur untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka?
Seribu satu masalah yang direprodusir oleh kaum berkupiah PUSA semenjak “revolusi sosial” serta akibat-akibat yang ditimbulkan selama peristiwa itu berlangsung. Belum lagi tindakan-tindakan yang tidak populer ‘berontak dan berdamai kembali’ (DI/TII Aceh). Dengan hasil-hasil dan perhitungan-perhitungan yang tidak cermat hanya karena didasari oleh pemikiran ‘Mazhab Normal Islam’ (MNI). Adalah suatu kenyataan yang tak dapat ditawar lagi bahwa ‘Mazhab Normal Islam’ telah gagal dalam mewakili ‘logika ke-Aceh-an’ dan ‘nalar sejarah’ yang terkreasi dari sejarah perlawanan Aceh terhadap kolonial. Dan sesungguhnya apa yang dicapai dari Mazhab Normal Islam telah menggiring periode pendidikan menuju ‘kebutaan sejarah’ yang sampai sekarang ini dirasakan oleh orang-orang Aceh.
Ternyata orang-orang yang ‘membaca kitab’ (Uleebalang) dengan orang-orang ‘membawa kitab’ (PUSA) terdapat perbedaan yang sangat fundamental dan massive di tingkat nalar dan budipekerti. Di tingkat yang terakhir menunjukkan status keledai, binatang yang arogan karena ‘membawa kitab’ di atas punggung. Karenanya ia merasa bahwa seluruh kitab-kitab yang berada di atasnya telah terbaca dengan sendirinya. Keledai itu melompat dan berlari dengan gembira, sehingga seluruh kitab-kitab terbuang di dalam perjalanan menuju tanah yang dijanjikan.
Pergolakan Aceh akan terus memasuki babak baru konflik Uleebalang-Ulama dengan spirit lama yang tak terpecahkan. Dalam rentang waktu yang relative singkat selama satu decade antara tahun 1942-1946, perbenturan kekuasaan yang nyaris tak dapat dipercaya. Di mana orang-orang Aceh selama ratusan tahun telah menjadikan symbol Uleebalang-Ulama sebagai ‘institusi perlawanan’ selama berlangsungnya perang Belanda di Aceh. Pada kenyataannya konflik Uleebalang-Ulama memuncak dan menemukan ruangnya yang paling tragis sepanjang sejarah Aceh, di revolusi sosial. Sebagian orang-orang Aceh percaya bahwa Uleebalang merupakan symbol kemandiriaan Monarchy Aceh. Sebagian lagi mempercayainya bahwa Ulama merupakan komponen penting menjaga ‘gerbang moral’ masyarakat Aceh dari derasnya perubahan dunia.
Keterlibatan Ulama dalam politik, mencerminkan ‘jaman asing’ dan tidak pernah dikenal bagi Aceh sebagaimana yang ditunjukkan pasca revolusi social. Dan pemberontakan Darul Islam yang gagal beradaptasi dengan perubahan-perubahan itu sendiri. Di sini bahkan di waktu-waktu mendatang keterlibatan Ulama dalam politik kontemporer maupun secara universal di Aceh. Haruslah menjadi perhatian orang-orang Aceh. Kegagalan dua periode sejarah seperti yang ditunjukkan dalam revolusi social dan pemberontakan Darul Islam. Di mana institusi Ulama secara sengaja ‘terseret’ oleh PUSA telah membawa dampak politik yang tidak kecil bagi eksistensi kemunduran Aceh dan Islam khususnya.
Sesungguhnya tanggungjawab politik Ulama Aceh bukanlah dalam ‘paradigma kenegaraan’ melainkan dalam ‘dimensi kemasyarakatan’. Apa yang dilakukan oleh PUSA di tahun 1946 dan pemberontakan DI/TII Aceh, merupakan suatu kesalahan besar. PUSA telah gagal dalam misinya terhadap cita-cita politik pembebasan Aceh di kurun antara tahun 1946 (revolusi social) dan tahun 1963 (akhir pemberontakanDI/TII Aceh). Ternyata PUSA merupakan organ politik yang misinya menyerupai misi kaum ‘fasisme Islam’. Dalam prakteknya mirip dengan gagasan anarkhisme. Karenanya Ia tidak dapat ditempat dalam gerakan revolusioner. Tapi sebagai bandit yang berbaju ulama.
Masa PUSA dan DI/TII ironisnya telah berakhir mereka telah menjadi sejarah Aceh yang kelam penuh duka. “Revolusi sosial” yang awal menghancurkan bahkan melumatkannya kaum Uleebalang ke tahapan paling fundamental sehingga Aceh mengalami “perubahan” sekaligus “kemunduran” terhadap dunianya. Tapi kenyataan pasca pemberontakan DI/TII Aceh kembali dilanda ‘anarkhisme Islam’ yang maknanya menyerupai “revolusi sosial” di tahun 1946 di mana darah dan air mata bergenang kembali. Tidak jelas apa yang dicapai DI/TII Aceh dalam perjuangannya. Begitu juga dengan apa yang dilakukan oleh PUSA dalam revolusi sosial di Aceh.
Secara politik geo-strategis pasca kekalahan Jepang dan Belanda, yang sesungguhnya memenangkan ‘perang besar’ (The Great War) di Aceh adalah Republik Indonesia. Dengan penuh kemenangan (Gold) dan kejayaan (Glory) bergabung kembali bersama Indonesia Raya. Dalam kata-kata komponis ulung berdarah Jawa-Belanda W. R Supratman menulis syair yang sangat indah dan memukau:”Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku, Indonesia kebangsaan ku….dst. Agaknya lagu itu yang paling disenangi oleh sang General Tituler Daud Beureueeh hingga akhir hayatnya. Dari sesayupan ia mendengar lirik yang sangat ia hapal ketika masih kecil, “Tuhan lindungi Ratu kami, Wilhelmina”! Dan juga teringat dengan pepatah Jawa kuno dari leluhurnya “sirna hilang kartaning bumi”, hilang lenyaplah kejayaan dunia…..












Bab II

Masalah Krusial dan Massive:


A. Icon Tragedi “Achehmoorden”



Signifikansi Pemikiran Tiro mengkritisi tiga thema besar sejarah konflik di Aceh yang diasumsikannya memiliki aspek fundamental dan krusial menyangkut eksistensi perlawan orang-orang Aceh di kemudian hari. Terutama gagasan-gagasan perjuangan dan mesin organisasi perlawanan yang dibinanya. Tiro ingin mengkritisi, mengklarifikasi dan menjustifikasi paradigma sejarah Aceh secara moderen. Ia menempatkan tafsirnya terhadap periode sejarah perlawanan Aceh-Belanda, revolusi sosial, dan pemberontakan DI/TII Aceh sebagai suatu studi penting dalam gerakan perjuangan pembebasan Aceh. Cepat atau lambat itu akan menjadi agenda penting dalam rangka mencari ‘jawaban-jawaban’ krusial dan massive, terutama “revolusi sosial” dan peristiwa “Pemberontakan DI/TII Aceh” . Ia memandang secara khusus dua persoalan penting yang terakhir itu sebagai “sejarah kaum keledai” yang terjadi di Aceh.

Pertama, Perang kolonialisme yang keras dan tidak beradab (1873-1942) menyisakan kultur resistensi yang oleh para ahli psikolog Belanda disebut Acehmoorden. Fenomena Acehmoorden itu baru terlihatkan menjelang tahun-tahun (1920-1930) ketika situasi perlawanan meningkat drastis. Kebingungan dan keterkejutan melanda pemerintahan pendudukan di Aceh. Perang telah menyebabkan posisi pendudukan Belanda di Aceh menjadi dilematis secara moral maupun secara politik. Secara Moral perang telah menyentuh hakikat yang paling terdalam dalam struktur psikologis manusia yang diderita oleh orang-orang Aceh. Di sisi lain telah menciptakan ketidakstabilan politik (Politic Instability), hancurnya legitimasi hukum (Delegitimacy) dan rusaknya struktur birokrasi pemerintahan pendudukan Belanda di Aceh. Fenomena itu yang memberi pertanyaan yang sangat substansial bagi pemerintahan pendudukan bahwa Aceh bukanlah sebagaimana yang mereka duga dalam kisah-kisah antropologi etnologis ataupun kisah pengembaraan yang ditulis menurut selera Barat. Perang antara Aceh-Belanda telah mendekati ambang bawah sadar manusia. Itulah pengalaman yang paling menakjubkan yang dialami pemerintahan kolonial Belanda di Aceh. Termasuk laporan-laporan situasi sosial kehidupan orang-orang Aceh yang ditulis oleh Van Sluys dan Dr. R.A. Kern dengan penuh kebencian selaku birokrat pemerintahan Belanda dan dendam secara intelektual terhadap “objek” yang tidak dapat direkayasa.
Menurut Laporan Guburnur Van Sluys: “penyakit jiwa dan pembunuhan-pembunuhan Aceh (Acehmoorden) mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Ia menafsir jumlah orang yang benar-benar sakit jiwa lebih dari seribu orang (jumlah penduduk Aceh ditafsirkan sebanyak 700.000) ditambah lagi dengan jumlah yang lebih banyak tetapi kurang berat penyakitnya. Perang yang telah mempengaruhi penghidupan orang-orang Aceh selama tiga generasi. Kemunduran dalam bentuk kebendaan, kejiwaan dan phisik. Kesenian rakyat yang pada masa dahulu pernah menghasilkan karya-karya indah dalam bentuk tempaan logam-logam mulia dan ukiran-ukiran kayu telah hilang sama sekali. Kekuatan jiwa secara kemasyarakatan dan perorangan telah sangat mundur akibat pendudukan Belanda. Penyakit jiwa adalah akibat tekanan jiwa yang terus-menerus, penghidupan yang diburu-buru selama berpuluh-puluh tahun, pada hal mereka sebenarnya adalah petani tetap. Selain itu kekuatan rakyat telah rusak akibat perkawinan anak-anak, perkawinan dalam satu lingkungan keluarga dan juga oleh empat gangguan yaitu: penyakit malaria, kusta, raja singa dan puru. Serta menganjurkan didirikannya rumah sakit jiwa.
laporan Van Sluys tentang “Acehmoorden” itu membuat seluruh ahli psikologi dunia “tertawa” memahami istilah psikologis yang membingungkan itu. Karena tidak mencerminkan gejala neurotik ataupun penyakit kejiwaan lainnya yang dialami oleh orang-orang Aceh ketika mereka bertempur. ‘Perang Aceh’ (De Aceh Oorlog) itu harus diakui telah menciptakan keadaan kesengsaraan kehidupan manusia yang paling fundamental bagi orang-orang Aceh. Rusaknya sarana ekonomi rakyat. Hancurnya tradisi keseniaan, serta rusaknya tatanan politik dan munculnya interpretasi-interpretasi revolusioner terhadap perang itu sendiri. Menambah dinamikan perlawanan yang semakin keras dan menganggap kehinaan bila menyerah pada musuh. Itu tidak sepenuhnya dimengerti oleh kekuatan pendudukan dan penjajahan di Aceh. Laporan Van Sluys tidak jauh berbeda dengan seorang ahli psikologi Dr. R.A. Kern yang menyebut dalam laporannya tentang:” Pembunuhan-pembunuhan Aceh (Acehmoorden) tampaknya berasal dari gangguan kejiwaan. Di Aceh terdapat banyak kejadian ‘bunuh diri’.dan ‘pembunuhan-pembunuhan Aceh’ sekaligus ‘pembunuhan’ dan ‘bunuh diri’.-- Untuk para ahli penyakit jiwa hal itu bukanlah di luar dugaan—Bahwa terdapat persamaan antara ‘bunuh diri’ dan ‘pembunuhan’ karena ‘bosan hidup’. Dalam hal ini terdapat kesejajaran dengan gejala-gejala ‘pengamukan’ yang terkenal di Jawa (atau di tempat-tempat lain di Asia). Hanya saja antara ‘pengamukan’ dan ‘pembunuhan Aceh terdapat perbedaan yang sangat besar, karena ‘pembunuhan Aceh’ terlebih dulu memilih korbannya. Artinya umumnya pribadi korban tidak menjadi soal bagi pelakunya; yang menjadi soal baginya hanyalah bangsa (Belanda, Cina dan Maluku) dan agama. Agamapun tidak menjadi hal yang pokok, akan tetapi pikiran untuk mati sebagai seorang syahid atau pahlawan agama, merupakan wujud gambaran yang dipakukan ke dalam benaknya. Bosan hidup dan perasaan membalas dendam karena diberi malu adalah sebab-sebab utama. Yang disebut pertama dapat saja berasal akibat suatu penyakit, terutama kusta yang banyak terdapat di Aceh dan secara umum karena tekanan kejiwaan berhubungan dengan ‘kekalahan’ yang diderita dalam perang.
Laporan dari kedua pejabat Belanda tentang “pembunuhan ala Aceh” (Acehmoorden) sepenuhnya berlandaskan pada studi yang tidak komprehensip, berpihak dan sangat dipengaruhi oleh permusuhan. Laporan-laporan itu hanya mengedepankan situasi anarkhis dan kegagalan pemerintahan Belanda di Aceh untuk mengendalikan situasi karena “politik resistensi” (Resistance Politic) Aceh yang secara bergelombang menghantam posisi pendudukan. Dan boleh jadi bahwa kegagalan dari politik pasifikasi ala Belanda di Aceh menyebabkan terjadi komplikasi pertentangan politik secara terus-menerus baik di Parlemen di Den Haag maupun Gubernur General Hindia Belanda di Batavia. Laporan-laporan itu sebenarnya bermaksut memberikan sudut pandang secara psikologis bahwa posisi orang-orang Aceh mengalami ketegangan jiwa yang pada akhirnya menyebabkan ‘rasa frustasi tinggi’ untuk mengambil sikap melakukan pembunuhan terhadap musuhnya.
Yang menjadi inti persoalan dari laporan Van Sluys dan Dr. Kern adalah asumsi-asumsi negatif, rasistik dan diskriminatif menunjukkan cara pandang pejabat, kontroler, serdadu, dokter dan sekaligus pemerintah pendudukan Belanda di Aceh. Pandangan yang negatif, rasistik dan diskriminasi merupakan politik kolonial yang pada akhirnya dimaksudkan meruntuhkan moral resistensi dan mengurangi aksi penyerbuan, penyergapan terhadap konvoy-konvoy militer, dan serangan kilat yang dibangun secara efektif. Perlawanan yang terus berlangsung tanpa henti ditafsirkan oleh laporan-laporan itu sebagai sebuah kegilaan (Madness), fanatik (Fanatic), dan sakit jiwa (Neurotic) dan akhirnya mengambil sikap bunuh diri (Suicide) . Laporan-laporan itu juga mendiskriditkan pola resistensi Aceh yang tidak ingin menyerah dalam perang. Sebagaimana yang diinginkan oleh pemerintahan kolonial Belanda di Aceh. Ada asumsi yang dibangun oleh pemerintahan kolonial melalui politik pasifikasi di Aceh terutama prinsip-prinsip Dr. Snouck; ‘jika secara militer Aceh tidak mungkin ditaklukan maka secara pengetahuan etnology Aceh mudah dikalahkan’. Tapi pandangan itupun terbantahkan dikemudian hari .
Tetapi dilain sisi kuatnya politik resistensi Aceh menyebabkan interpretasi-interpretasi tentang perlawanan semakin berkembang di luar kebiasaan manusia normal. Orang-orang Aceh telah mengalami bentuk dari politik resistensi yang paling ekstrem sepanjang sejarah perlawanan mereka. Orang-orang Aceh telah mengembangkan apa yang disebut sebagai “Perang Sabil” (Holy War) dengan cara pandang ke-Aceh-an. Artinya orang-orang Aceh telah memasukan tafsir “Perang Suci” ke dalam dirinya dengan caranya sendiri . Fase ini telah berakibat pada kuatnya pengaruh perlawanan dari pada pasifikasi keadaan sebagaimana yang dimaksudkan oleh pemerintah pendudukan. Cara pandang ke-Aceh-an ini menjadi suatu barometer dari politik resistensi orang-orang Aceh menghadapi perang yang tidak berkesudahan. Mereka bermaksud menjadikan keadaan pendudukan Belanda di Aceh sebagai “neraka dunia” (Darul Harb) dan secara terus-menerus tanpa henti melakukan perlawanan hingga akhir kehidupan. Dalam pandangan orang-orang Aceh ketika “keadaan damai” (Darussalam) telah dirampas oleh pendudukan Belanda maka filsafat kehidupan mereka dengan sendirinya ikut berubah. Karena dunia dan segala isinya menjadi absurd untuk dijalani. Maka genderang perlawanan pun di tabur di seluruh pelosok Aceh. Hidup menjadi tiada arti (Absurd) mereka lebih suka memilih dengan “pilihan bebas” (Freedom to Choose) untuk mengakhiri kehidupan dengan cara kesatria sebagaimana tradisi Indatu. Dunia menjadi suatu hal yang sangat menjijikkan (Nasty) terutama tentang penjajahan itu sendiri.
Dalam ‘Perang Suci’ (1873-1945) yang berlarut-larut itu untuk pertama kalinya telah menyebabkan orang-orang Aceh berada dalam tahap “krisis ber-negara ” (State Crisis) semenjak Monarchy Aceh Darussalam didirikan oleh Ali Mughayat Syah di abad ke-15 awal Masehi . ‘Perang Suci’ itu telah menyebabkan orang-orang Aceh telah meninggalkan kehidupan dunianya . Dalam kurun itu tidak ada hal yang paling disenangi oleh orang-orang Aceh selain ikut mempertahankan kesucian tanah airnya dari agresi Belanda. Para Uleebalang-Ulama terus menggalang kekuatan melakukan perlawanan tanpa henti hingga tiada hari tanpa penyerangan dan tiada musim tanpa perlawanan. Para Uleebalang tidak lagi mengurus kehidupan masyarakatnya di gampong-gampong, di mukim-mukim, ataupun di federasi-federasi Uleebalang. Pusat-pusat pemerintahan itu tidak lagi berada di tempat-tempat yang biasanya digunakan di Meuligou , kini berada di hutan-hutan belantara Aceh yang hijau dan gelap. Para Ulama tidak tinggal diam terus melakukan perlawanan dengan menjadikan mesjid-mesjid sebagai pusat perlawanan ataupun menjadikan hutan-hutan belantara Aceh sebagai mesjid bagi para syuhada. Dampak itulah yang menyebabkan Kerajaan Aceh berada dalam situasi yang rawan dan krusial. Barangkali itulah yang kita sebut dengan ‘krisis ber-negara’. Uleebalang--Ulama–Rakyat telah melupakan struktur Nanggrou dan berkonsentrasi pada perlawanan. Dampak itu pula meliputi hancurnya struktur otoritas pusat (Kutaradja-Lokal), dan (Kesultanan-Uleebalang) merenggang dalam waktu yang cukup lama. Di sisi lain menciptakan efektivitas penyatuan antara Ulama-Uleebalang dalam perang kolonial Belanda di Aceh. Tidak disanksikan lagi perang kolonial yang lama tanpa bersudahan telah membentuk ikatan yang kuat yang saya sebut dengan ‘struktur perlawanan besi’ (Iron Resistance Structure) antara Uleebalang-Ulama dalam jangka waktu yang lama. Ikatan ini yang dikemudian hari (revolusi sosial) tidak diterjemahkan ke dalam prinsip-prinsip kebersamaan, sehingga akhirnya membentuk malapetaka yang terbesar di sepanjang abad di Aceh. Sehingga kita mengenal diktum ‘tanpa Uleebalang Aceh tidak akan mungkin menjadi negara, sebaliknya tanpa ulama Aceh tak mungkin menjadi Islam’. Diktum ini adalah obor peradaban (Uleebalang) dan kebudayaan (Ulama) Aceh di sepanjang jaman.
Disini dalam pemahamannya Tiro telah memasukan pandangan politiknya, tentang perang Aceh-Belanda (1873-1942) merupakan perang antara negara dalam hubungan politik international antar bangsa. Lebih lanjut ia mengatakan; “Dengan memakai alasan yang dibikin-bikin itu pada tanggal 26 Maret 1873 M. Belandapun lalu mengumumkan perang kepada Kerajaan Aceh, katanya untuk membasmi zeeroof, strandroof, menschenroof, plundering van handlesschepen, enz.”…Tetapi sebenarnya Belanda tidak dapat mengelabui mata dunia international semudah mengelabui sebagian mata orang-orang kita di Ambon, di Menado dan di Jawa (mudah-mudahan tidak akan terulang lagi dalam jaman nasional ini) sehingga sebagian mereka dapat dipergunakan olehnya untuk menjadi serdadu dalam penyerangan terhadap Aceh. Dunia yang sadar memandang tidak mempunyai untuk membenarkan perbuatan Belanda yang terang-terangan memperkosa kemerdekaan Aceh itu. Kaum progressif di seluruh dunia terutama di Malaya, India, Arabia, Eropa dan Amerika mencela habis-habisan terhadap tindakan Belanda yang licik itu.
Tiro terus mengeloborasi pemikirannya tentang Perang Aceh dengan mengasumsikannya sebagai satu perang total dengan arti yang sesungguh yang pernah dikenal dalam sejarah. Orang tua, pemuda, anak-anak, wanita, semua turut mengambil bagian dalam perjuangan mati-matian ini. Ia dikenal memiliki apresiasi tersendiri mengenai Perang Aceh dan selalu menempatkan pemikiran itu berbeda dengan kawan-kawan seperjuangan bahkan ada yang lebih tua usianya. Perang Aceh dalam pemikiran kawan-kawannya seperti: Tgk Daud Beureueh, Tgk. Hasballah Inderapuri, Tgk. Abdullah Lam U, Tgk. Abdul Wahab, Tgk. Nur el Ibrahimy, Tgk. Umar di Tiro, Amir Hussein, Tgk. Hassan Kruengkale, adalah perang dalam arti lokal . Sedangkan Tiro sendiri menempatkan Perang Aceh itu dalam klaim international. Sebagaimana dalam analisisnya;“Untuk mengelabui mata dunia international terutama untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan intervensi yang sewaktu-waktu mungkin terjadi mengingat kedudukan international dari Kerajaan Aceh waktu itu, dan juga untuk meninggikan semangat diri sendiri yang sudah merosot, Jenderal Van Swieten dengan tergesa-gesa pada tanggal 31 Januari 1874 M. mengeluarkan suatu proklamasi yang menyatakan Kerajaan Aceh semenjak itu sudah menjadi jajahan Belanda…..padahal Van Swieten dan serdadu-serdadu kolonialnya hanya baru menduduki 25 km, persegi tanah Aceh, tidak lebih!!
Bahkan dalam tulisannya yang sama Tiro secara ironis melukiskan perkembangan international tentang perdamaian; “Pada waktu itu sejarah sudah menunjukkan tahun 1900 M. di mana seluruh dunia orang sedang berusaha menjalankan usaha-usaha mengekalkan perdamaian dunia dan menjauhi segala jalan-jalan yang menyebabkan peperangan dan penyembelihan antara sesama manusia, bahkan di Den Haag pula telah dilangsungkan “Kongres Perdamaian” sedunia yang dihadiri oleh seratus negara yang telah melahirkan “International Court of Arbitration”, yaitu tahun 1899, tahun di mana Belanda terus-menerus melakukan penyembelihan terhadap rakyat Aceh sebab mereka tidak mau dijajah; tahun dimana Belanda telah menembak mati pahlawan kita Teuku Umar. Memang! Dihadapan mata dunia international Belanda seakan-akan menjelma dirinya sebagai satu wanita cantik jelita yang selalu hanya merindukan aman sentosa, tetapi pada hakekatnya Belanda adalah setan yang telah mencelakakan nasib 70 milliun umat manusia di Asia Tenggara.
Diakhir tulisannya yang singkat itu Tiro menganalisis peristiwa international yaitu peristiwa pecahnya Perang Pasifik sebagai indikator utama berakhirnya perang Belanda di Aceh. Ia mengatakan lebih lanjut;” Peristiwa pecahnya perang Pasifik merupakan saat yang dinantikan oleh rakyat Aceh untuk mengusir Belanda kembali. Sebelum Jepang menduduki Indonesia seluruh Aceh sudah terjadi pemberontakan hebat, rakyat Aceh bertempur merebut kemerdekaannya kembali sehingga serdadu Belanda terpaksa lari ke gunung-gunung untuk melindungi dirinya dan dengan demikian tammatlah sudah riwayat penjajahan Belanda di Aceh.
Tahapan ini merupakan masa krusial dan fundamental menyangkut perdebatan status “Negara Imaginer” dalam pandangan orang-orang Aceh hari ini, terutama klaim Gerakan Acheh Merdeka (GAM) yang ia cetuskan itu. Dalam pandangan Tiro, kondisi Aceh di tahun 1942 telah mencapai cita-citanya kembali. Aceh telah bebas dan untuk menyusun langkah-langkah berikutnya menuju pemulihan pemerintahannya yang hilang sejak tahun 1873.


B. Kuda Troja dan Aksi Quisling


Kedua Konflik sosial yang kabur yang sebelumnya ‘tidak ada’ fenomena revolusioner antara Ulama-Uleebalang (1945-1947). Yang oleh Anthony Reid menyebut adanya “revolusi sosial” yang melanda Sumatera, khususnya Aceh. Reid mengatakan sbb:” Walaupun peristiwa berdarah itu hanya terbatas pada daerah Pidie, akibatnya terasa di seluruh Aceh. Dalam sebulan dimulainya suatu gerakan yang sistematis guna menangkap semua Uleebalang di Aceh. Mereka di penjara di Takengon dan kedudukan-kedudukan mereka di pemerintahan Republik digantikan yang berperan dalam PUSA pra-perang. Hanya setengah lusin bangsawan Aceh dengan pendidikan terbaik dipertahankan dalam jabatan-jabatan penting pemerintahan, seperti residen baru T. Daudsjah. Namun “revolusi sosial” Aceh yang begitu sempurna jalannya, yang berakhir pada bulan Maret, menghasilakan suatu keserasian yang mengagumkan antara antara para Ulama yang dipimpin oleh Daud Beureueeh dan para teknokrat serta para pemuda yang berpendidikan yang diberikan tanggungjawab besar. Meskipun pertempuran dalam bulan January sangat sengit, Aceh selama sisa masa perjuangan kemerdekaan merupakan teladan bagi kestabilan dan dukungan rakyat terhadap pemimpin setempat. Ia merupakan satu-satunya keresidenan di mana tidak ada upaya pada pihak Belanda untuk memasukinya”.

Tapi Tiro, menolak gagasan Reid karena situasi pasca Perang Acheh (De Acheh Orloog) tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya. Konflik Uleebalang-Ulama, dalam pointview-nya Tiro mencerminkan situasi konsolidatif dalam rangka restorasi Monarchy Aceh pasca perang kolonial Belanda di Aceh. Tiro secara eksplisit menyebutkan adanya provokasi pihak asing terutama “intervensi politik” kaum Nationalis Jawa terhadap persoalan internal Aceh. Ia menolak pemaknaan Reid karena lebih mewakili pihak asing terutama Republik-nya Soekarno atau pro-integrasi ketimbang pro-Monarchy Aceh yang berusia hampir seribu tahun.
Di sini ia menempatkan paradigmanya bertolak belakang dari apa yang diyakini oleh Anthony Reid sebagai “revolusi sosial”. Karena signifikansi “revolusi sosial” itu lebih dekat pemaknaannya kearah ideologi Sosialisme radikal. Sedangkan Aceh dalam kurun itu tidak mengalami pertentangan ideologis antara Kapitalisme-Sosialisme. Artinya Aceh tidak menjadi “daerah satelit” perang ideologis antara pihak pemenang Perang Dunia Kedua khususnya AS-US. Aceh berada di kutub lain, yaitu Restorasi Monarchy Aceh. Poros itu berputar dengan derasnya membongkar serta menghancurkan “Orde Negara” yang dimiliki orang-orang Aceh dan menggantikannya dengan “Orde Provinsional” orang-orang Indonesia Raya. Itulah yang menjadi poros perdebatan yang krusial dan fundamental di kalangan orang-orang Aceh hingga kini.
Dalam suatu memoar politiknya Mr. Teuku Moehammad Hasan, pernah memprediksikan berakhirnya masa Monarchy atau Uleebalang Aceh. Ia memprediksikan itu berdasarkan pengalaman yang diraihnya keliling Eropa. Ia percaya bahwa berakhirnya masa Monarchy di Eropa cepat atau lambat akan terjadi di Aceh. Lebih lanjut ia mengatakan: “Saya melukiskan keadaan Eropa pada saat itu ketika raja-raja masih berkuasa, tetapi lambat-laun rakyat meminta haknya pada raja mereka masing-masing. Mula-mula raja memberi hak kepada rakyat yang berada di kota boleh bebas bertindak. Tetapi, akhirnya seluruh rakyat menuntut kebebasan bersama. Wakil-wakil mereka di parlemen mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan kemakmuran rakyat. Keadaan di Aceh masih seperti di abad pertengahan di Eropa. Rakyat masih dibawah kekuasaan raja, Uleebalang masing-masing. Suasana di Aceh akan berubah seperti halnya di Eropa. Hak rakyat jelata lambat-laun harus diakui oleh Uleebalang yang berkuasa. Dewasa ini rakyat masih mematuhi perintah Uleebalang, karena semua kekuasaan masih berada di tangan Uleebalang selaku pemerintahan negeri, akan tetapi lambat laun mereka akan menuntut haknya. Prediksi itu menjadi suatu kenyataan pahit yang harus diterima khususnya oleh kalangan keluarga Uleebalang dan umumnya oleh orang-orang Aceh.
Diakhir tulisannya yang fundamental dan menantang itu, sejarawan Paul Van T Veer mendeskripsikan tentang situasi Aceh pasca pendudukan Belanda dengan kalimat;“ Sejak tahun 1873 untuk pertama kalinya lagi-lagi Aceh diserahkan kepada nasibnya sendiri. Satu-satunya kekuatan yang tepat ialah Tentara Rakyat yang perannya dimainkan oleh gerakan PUSA. Ternyata, bahwa ia merupakan alat Tgk. Muhammad Daud Beureueeh. Teungku tidak ragu-ragu untuk menggunakannya. Dari bulan Desember 1945 sampai dengan bulan Februari 1946 di Aceh telah meletus suatu perang saudara (Civil War) yang bukan tidak tepat dinamakan ‘revolusi sosial’. Dalam suatu pembunuhan besar-besaran kaum Uleebalang sampai dengan laki-laki yang terakhir, istri dan anak-anak dibasmi. Teuku Nyak Arief yang menjadi ‘residen’, ditangkap dan meninggal dunia dalam penjara. Muhammad Daud menjadi kepala daerah, residen. Aceh memperoleh status otonom. Kemenangan kaum ulama begitu sehingga sampai hari ini praktis tidak seorangpun keturunan dari keluarga Uleebalang memainkan peranan yang berari di Aceh. Sesudah tahun 1945 pemerinah Belanda tidak kembali lagi ke Aceh. Pada aksi-aksi militer tahun 1946-1947, ketika bagian-bagian besar Sumatera diduduki, tidak diupayakan untuk menembus sampai ke Aceh. Di bagian satu-satunya dari Indonesia inilah antara tahun 1945 dan 1950 merdeka sudah menjadi kenyataan. Aceh adalah daerah terakhir yang dimasukkan ke dalam pemerintahan Belanda. Dia yang pertama keluar dari pemerintahan Belanda. Pengunduran diri tahun 1942 merupakan akhir dari padanya. Hampir tiada hentinya selama 69 tahun Belanda bertempur di Aceh, dan cukuplah sudah!
Dalam Risalah Perang Atjeh , Tiro menyebutkan tentang berkecamuknya ‘revolusi sosial’ dalam kalimat yang sangat sederhana dan bersahaja:”Pada penghabisan tahun 1945 dan permulaan tahun 1946 M. di Aceh telah terjadi suatu ‘revolusi sosial’ (bukan revolusi sosialis!) yang berhasil dengan baik dan semenjak itu dapatlah didirikan suatu pemerintahan Republik Indonesia yang demokratis dan kuat untuk daerah Aceh.
Memang tidak dapat dinafikkan ketika Tiro mencoba menafsirkan realitas politik pasca pendudukan Belanda dan Jepang di tahun 1945, merupakan tahun eforia bagi Aceh. Kemunculan para politisi PUSA dibawah pimpinan Daud Beureueh menjadi kekuatan besar dalam percaturan kekuasaan di Aceh. Dari fenomena eforia pembebasan bergerak ke anarkhisme massa. Seolah-olah orang-orang Aceh tidak mengenal lagi keadaan dirinya. Mereka telah larut dalam pidato-pidato politik para damegogue sehingga ‘ketiadaan musuh’ dipahami sebagai upaya jalan lain ‘menciptakan musuh’. Maka sentimen politik personal sampai ke taraf ideologis berbaur di dalam pemikiran orang-orang Aceh yang lugu dan sederhana. Tuduhan kepada Uleebalang sebagai ‘antek’ Belanda bergema dari gampong-gampong menuju ke kota sebaliknya dari kota menuju ke gampong-gampong dengan sangat cepat membakar Aceh ke dalam situasi anarkhis. Adakah orang-orang Aceh mengingat kembali tentang kisah-kisah kepahlawan para Uleebalang seperti Keluarga Panglima Polem, Teuku Umar, Teuku Ibrahim Lam Nga, Teuku Chik di Tunong bersama istrinya Cut Meuthia bersama anaknya Teuku Raja Sabii yang mengarungi rimba raya Aceh bergerilya dengan sang ibu? Tapi siapakah yang tidak mengenal Family di Tiro yang selama tiga generasi bertempur tanpa mengenal rasa takut? Siapakah yang tidak mengenal Tengku Chik Paya Bakong dan Teuku Lueng Bata serta Teungku-Teungku di Batee Illiek?
Tapi siapakah Major General Tituler Daud Beureueh itu? Siapakah Amir Hussein Idi yang begitu rupa memimpin pemuda PUSA? Adakah mereka berkompetensi terhadap perjuangan Aceh? Adakah dimensi yang begitu mengental tentang ‘nasionalisme Indonesia’ yang kuat mengakar dalam pemikiran mereka daripada ‘nasionalisme Aceh’? Siapakah ‘antek Belanda’ dan ‘kolaborator Jepang’ itu? Bukankah antara tahun 1945 dan tahun 1950 kemerdekaan dalam arti Restorasi Monarchy Aceh (atau dalam bentuk Republik atau Federasi) dalam arti yang sesungguhnya ‘berdiri negara Aceh’ telah menjadi kenyataan? Lantas apa perlunya ‘revolusi sosial’ bagi Aceh pasca perang kolonial? Pertanyaan-pertanyaan itu telah menciptakan diskursus politik yang secara terus-menerus menghantui para “pelaku” (dalam refleksi, jika ada) dan “korban” serta generasi Aceh sesudahnya. Tidak terkecuali Tiro khususnya. Karena ia telah memainkan pengalaman kepemudaannya di Pidie .
Gelombang kekerasan di daerah itu (Aceh) pada akhir tahun 1945 dan awal tahun 1946 yang mengakibatkan tergulingnya kaum Uleebalang, menjadi terkenal dengan revolusi sosial, sekalipun cap itu baru digunakan setelah peristiwa itu, untuk menyamakannya dengan pergolakan rakyat yang terjadi di tempat-tempat lain di Sumatera dan Jawa. Bahwa revolusi sosial itu mulai dan mencapai puncak intensitasnya yang sengit di Pidie, bukanlah suatu kebetulan. Sebab terjadinya konflik itu yang paling mungkin adalah ‘kekosongan kekuasaan’, tidak adanya orang yang mengaku mewakili pemerintah Republik yang diterima oleh para kepala maupun para aktivis PUSA. Pada masa penjajahan Belanda, Pidie merupakan basis kuat kekuasaan Uleebalang. Setelah runtuhnya kekuasaan Jepang maka tantangan mula-mula bagi kepala-kepala suku wilayah Pidie, dan sampai tingkat bermacam-macam untuk mereka yang ada di daerah-daerah lain, ialah “bagaimana” memulihkan tritunggal yang tepat yaitu, dukungan dari luar, kekuasaan pengadilan dan ekonomi yang banyak jasanya kepada mereka pada masa penjajahan Belanda. Bagi Morris, memandang makna ‘revolusi sosial’ yang terjadi di Aceh, mengandung dua makna pokok Pertama, gagasan persamaan dalam Islam. Dan kedua, gagasan mengatasi sifat mementingkan urusan diri sendiri melalui perjuangan bersama.Prinsip dasar Islam adalah persamaan kedudukan para pemeluk di hadapan Tuhan dan firman-firmanNya yang disampaikan melalui Rasul
Analisis Morris terhadap ‘revolusi sosial’ di Aceh, sangat labil, reduktif dan simplikasi. Morris memang tidak memiliki pengetahuan tentang subjek studi Aceh yang mendalam terutama tentang “Islam Aceh”. Analisis dipengaruhi oleh pemikiran antropologis James Siegel yang dikenal memiliki hubungan yang sangat baik dengan Major General Tituler Daud Beureueeh. Bahkan di lain sisi ia telah terperangkap dalam lubang sejarah Aceh dalam versi keindonesiaan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Reid dalam studinya tentang revolusi di Sumatera. Di sisi lain ketidakpahaman Major General Tituler Daud Beureueeh terhadap apa yang diinginkan dalam ‘revolusi sosial’ itu menjadikan sebagai ‘jembatan politik’ bagi kalangan nasionalis Jawa untuk memainkan peranan politiknya di Aceh. Ini telah menciptakan kekecewaan politik yang sangat mendalam terhadap Tiro di kemudian hari. Sikap Tgk. Beureueeh, dalam pandangannya telah melampaui bahkan menyalahi etika moral dan Islam dikalangan orang-orang Aceh menyangkut hubungan prinsip-prinsip kekuasaan. Bahkan dalam pemikirannya “sang guru” telah lalai dalam mengendalikan anarkhisme massa merampas harta-harta yang dimiliki kaum bangsawan Aceh. Menurut seorang ahli sejarah, Peristiwa Cumbok masih tetap membekas. Urusan peninggalan harta Uleebalang masih belum seluruhnya diselesaikan. Peristiwa revolusi di Aceh adalah sejarah empiris, yang sekaligus berfungsi sebagai “mitos peneguh” yang memberikan dasar legitimasi dan bahkan rasionalisasi bagi berbagai prilaku politik.
Tidak syak lagi bahwa apa yang diyakini oleh Van Veer, Reid, Morris dan tentang “revolusi sosial” telah menghancurkan infrastruktur dan suprastruktur Monarchy Aceh dalam dimensi yang sangat krusial dan fundamental. Disorientasi pemaknaan ‘Aceh sebagai negara’ telah kehilangan dimensinya secara mendasar di dalam pemikiran orang-orang Aceh. Tragedi itu tidaklah sekedar sebagai sebuah permainan politik (Political Games) yang sederhana di dalam batas-batas pemikiran seorang Major General Tituler Daud Beureueeh dan Amir Husin Idi serta tokoh-tokoh PUSA lainnya. Tapi itu merupakan suatu jalan ‘panjang’ dan ‘gelap’ tentang hari-hari depan orang-orang Aceh di kemudian hari.
Akibat-akibat yang ditimbulkan oleh ‘revolusi sosial’ di Aceh berdampak sangat serius terhadap apresiasi politik, sosial, sejarah, budaya dan bagi agama orang-orang Aceh. Dalam arti secara keseluruhan telah terjadi ‘pengecilan makna’ yang sangat mendasar terhadap ‘selera’ pandangan dunia (World view) dan filosofis praksis terhadap realitas. Kemunduran pemikiran dan ‘praksis tanpa ide’ telah menjadi ruang baru bagi orang-orang Aceh pasca revolusi itu, khusus ‘orang-orang berkupiah’. Politik telah kehilangan “moralnya” (Morality). Tindakan sosial telah kehilangan makna “kebersamaannya” (Collective). Sejarah telah kehilangan “semangatnya” (Spirit). Budaya telah kehilangan “nalarnya” (Rasio). Agama telah kehilangan “kesuciannya” (Purify) dan yang paling tragis Aceh telah kehilangan ‘Imagined State’ dan menjadi sebuah provinsi seberang lautan dengan status ‘Daerah Islam yang hina’. Tidak saja di mata orang-orang Melayu, Jawa, Sunda, Sulawesi dan dalam kacamata orang-orang Indonesia umumnya. Bahkan di mata orang-orang Aceh pun ia telah kehilanga maknanya. Itulah tragedi yang terbesar sepanjang sejarah Aceh.
Akibat dari ‘revolusi sosial’ lebih jauh lagi berada dalam tapal batas kemunduran peradaban (Degenerative Civilization), ‘vandalisme kebudayaan’ (Cultural Vandalism), disintergrasi sosial (Social Disintegration), dan hancurnya sistim tatanegara (Order) Monarchy Aceh hingga ke taraf yang paling sederhana dan memalukan yaitu “Provinsionalisme” . ‘Revolusi sosial’, secara sadar telah menjadikan Monarchy Aceh secara organisasional menjadi suatu ‘provinsi seberang lautan’ (Province Overseas) dari kepulauan Hindia Belanda.
Artinya Aceh mengalami kemunduran jauh sebelum Deklarasi Perang Belanda di tahun 1873. Dan bergerak mundur sebelum Iskandar muda (1606-1635) dengan Mahkota kejayaannya di Malaka. Jauh sebelum Ali Mughayat Syah melakukan integrasi kerajaan-kerajaan Peureulak, Samudra Pasai, Pedir, Linge, dan Indrapuri yang terpisah menjadi Kerajaan Aceh Darussalam di abad ke15 M. Dan bergerak ke belakang jauh sebelum Meurah Silu (Malik-As-Saleh) mendirikan Kerajaan Islam Samudra Pasai di abad ke 9 M. Hingga memberi rasa hormat yang yang setinggi-tinggi kepada Islam di Dunia Melayu karena jasa-jasanya.
Aceh pada waktu (revolusi sosial) itu telah memasuki abad kegelapan (The Dark Age). Gerombolan bajak laut (Pirate) itu telah menghancurkan kerajaan-kerajaan pantai, di mana mereka sendiri tidak mempu menciptakannya. Orang-orang ‘berkupiah’ PUSA itu mengira Aceh seperti Sekolah Normal Islam di Bireun, dan Mesjid Mujahiddin di Beureuneun Pidie. Yang pembangunannya hanya memerlukan “batu-bata” dan “kapur tulis”. Keledai-keledai itu menganggap setiap lubang adalah kesalahan yang sama. Orang-orang berkupiah itu mengira Monarchy Aceh dapat dibangun dengan logika kitab Masaila atau kitab Kuning yang mengajarkan cara pandang Muallaf ke dalam sistim pemerintahan Aceh.
Barangkali untuk menghancurkan Monarchy Aceh yang telah diakui oleh bangsa-bangsa beradab di dunia. Para bajak laut (Pirates) ‘orang-orang berkupiah’ itu hanya memerlukan ‘kesenangan untuk menghancurkan’ atau ‘praksis tanpa ide’. Maka dengan sendirinya hancurlah peradaban dan kebudayaan yang telah dirintis, dibangun dan dipertahankan selama hampir seribu tahun, Kerajaan Aceh. Tapi untuk membangun kembali Kerajaan Aceh yang telah dihancurkan oleh orang-orang berkupiah PUSA. Sama halnya dengan membangun dan mempertahankan Baghdad dari serbuan kaum barbar Mongol.
Seterusnya Aceh dalam ‘revolusi sosial’ berada dalam jaman ‘kegelapan’ dimana seseorang yang membantah perkataan ulama (Cleric) akan dipotong lidahnya bahkan dibakar hidup-hidup. Aceh pada masa itu merupakan jaman sebelum datangnya Islam ke Serambi Mekah. Di mana orang-orang hidup tanpa hukum; merampas harta yang bukan menjadi haknya dan juga merampas istri orang; bahkan membunuh orang tuanya serta mengawinkan anaknya tanpa persetujuannya. Jaman di mana para budak (Lamit) berkuasa dan menginterpretasikan sekaligus mengintegrasikan hukum-hukum Islam menurut selera dan tafsirnya. Jaman yang hanya cocok didiami oleh orang-orang yang memakan bangkai saudaranya. Atas nama ‘revolusi sosial’ mereka melakukan hal-hal yang tercela dan dikutuk oleh tradisi Islam Aceh yang telah terbina selama ratusan tahun yang lampau.


Darul Islam dan Pengkhianatan terhadap Monarchy Islam Aceh


Menjelang pemilihan umum 1955 persaingan antar partai-partai semakin tinggi. Akhirnya PNI, Masyumi, NU dan PKI keluar sebagai pemenang Empat Besar dalam pemilu tsb. Kabinet Ali, koalisi PNI—Masyumi—NU, yang berusaha menanggulangi keruwetan politik tidak membawa hasil yang seperti diharapkan. Kekeruhan kehidupan politik itu bertambah lagi dengan timbulnya berbagai pemberontakan di daerah-daerah yang meletus antara tahun 1950-1958, seperti pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), Darul Islam di Jawa Barat, Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, Dewan Banteng dan Dewan Garuda di Sumatera Tengah dan Selatan, Daud Beureueeh di Aceh, PRRI di Sumatera Barat dan Permesta di Sulawesi Utara. Dalam pada itu timbulnya DI/TII di Aceh pada tahun 1953, karena Daud Beureueeh membangkitkan kembali kontroverse Uleebalang-Ulama. Ia ingin mempertahankan kedudukannya menjadi Gubernur Militer Aceh sebagaimana yang dipangkunya pada masa perang kemerdekaan.
Praksis Pemberontakan Darul Islam (DI/TII) Aceh (1953-1963) yang dipimpin oleh Major General Tituler Daud Beureueeh (menunjukkan nama kampung di Pidie), menyisakan tanda tanya besar makna gerakan perlawanan Islam itu untuk apa? dan untuk siapa?. Dalam pandangan Tiro, pemberontakan DI/TII mewakili pergerakan Islam Jawa dan tidak memiliki signifikansi dan relevansi dengan Islam Aceh apalagi membangkitkan harapan gerakan restorasi Monarchy Aceh. Pemberontakan DI/TII mewakili konflik internal antar kubu Republik Nationalist Soekarno dan Nationalist Islam Kartosuwirjo di Jawa. Keterlibatan Major General Tituler Daud Beureueeh dalam DI/TII merupakan suatu kesalahan yang tidak dapat dimaafkan. Itu mencerminkan suatu “pengkhianatan “ terhadap sejarah politik Islam Aceh terutama ketidakpahamannya terhadap sejarah Monarchy Aceh. Secara substansial Tiro berasumsi Major General Tituler Daud Beureueeh bukanlah typical pemimpin bangsa apalagi memimpin Islam Aceh. Tapi Dia adalah seorang orator massa (damegogue) yang tidak memiliki konsep masa depan Aceh. Dia tidak lebih baik dari Soekarno!
Dalam kacamata seorang pengamat yang serius memperhatikan gejolak Aceh pada waktu itu bertutur:“Saya tidaklah pesimistis tentang situasi Aceh, walaupun kenyataan yang ada agaknya mendorong bersikap demikian. Perbincangan saya dengan Daud Beureueeh dan tokoh-tokoh PUSA memberi kesan kepada saya orang-orang ini merasa dirinya orang Indonesia. Mereka juga menganggap dirinya sebagai orang Aceh dan orang Islam. Saya yakin, dengan kombinasi sikap-sikap ini sebuah formula untuk mengatasi Aceh akhirnya dapat ditemukan. Persoalannya sekarang apakah pemerintah bersedia mengupayakan formula itu. Jika perdamaian Aceh dipulihkan oleh kekerasan senjata semata-mata, perdamaian itu agaknya tidak akan stabil dan permanen. Tidak diragukan lagi bahwa pengamat itu benar tentang apa yang terjadi dalam masa pemberontakan DI/TII Aceh, semata-mata pemberontakan yang emosional terintegrasi dengan konsep tritunggal; keindonesiaan, Aceh dan Islam. Agaknya konsep itu telah terpaku sedemikian kuatnya dalam pemikiran Major General Tituler Daud Beureueeh sehingga tidak ada lagi konsep yang membuatnya merasa puas. Sebenarnya Major General Tituler Daud Beureueeh lebih pantas ditempatkan sebagai salah seorang pendiri Republik Indonesia (Founding Father), di samping Soekarno-Hatta. Tapi sayang posisi itu telah diduduki oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan.
Dalam pandangan Tiro, pemberontakan DI/TII di Aceh menjadi “absurd” dan “kabur”, seakan tidak memberi ruang reflektif pasca revolusi sosial. Tiro telah meningkatkan oposisi politiknya terhadap regime Soekarno dan Perdana Menteri Ali Sostroamidjojo dalam berbagai momentum. Tiro memang tidak pernah terlibat secara langsung dengan pemberontakan itu namun ia menjadi wakil resmi DI/TII di luar negeri. ia yang menjadi juru bicara (Spokeman) dan penentu kebijakan-kebijakan luar negeri DI/TII. Posisinya itu sangat vital dan strategis. Tapi kemudian hari ia dipecat dari posisinya di Departement Luar Negeri Indonesia ketika ia mengkritisi kebijakan Soekarno dalam konsep “Unitarian” dan mengkritisi kebijakan “brutalisme” Kabinet Ali Sostroamidjojo dalam menangani masalah pemberontakan DI/TII Aceh, khususnya peristiwa Pulo Tjot Jeumpa di tahun 1956 .
Dalam paruh kedua tahun 1954, Tiro menimbulkan hal-hal yang mengabaikan Pemerintah Republik. Dengan menamakan dirinya “Menteri Berkuasa Penuh” dan “Dutabesar di PBB dan Amerika Serikat” di Republik Islam Indonesia. Ia mengirim ultimatum kepada PM Ali Sostroamidjojo pada awal September tahun itu. Dalam ultimatum ini ia menuduh pemerintah “fasis komunis” membawa bangsa Indonesia menuju kehancuran ekonomi dan politik, kemiskinan, percekcokan, dan perang saudara, serta melakukan agresi terhadap rakyat Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, serta Kalimantan, dan selanjutnya menjalankan politik divide et impera dan kolonialisme dan mengadu domba berbagai suku bangsa dan agama satu sama lain.
Langkah-langkah lain yang dipertimbangkan Tiro antara lain, mengadukan Pemerintahan Republik Indonesia di depan PBB atas tuduhan melakukan pembunuhan massal untuk memberitahu Dunia Islam atas kekejaman yang dilakukan terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat dan Jawa Tengah, Kalimantan dan Sulawesi dan memperjuangakan pengakuan internasional akan dukungan moril dan materil untuk Republik Islam Indonesia. Di samping itu ia mengumumkan, bila pemerintah Republik tidak memenuhi tuntutan-tuntutannya, ia akan mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi secara internasional terhadap Republik Indonesia juga penghentian bantuan yang diberikan lewat Rencana Kolombo (Colombo Plan) oleh PBB dan Amerika Serikat.
Ia terus memprovokasi “pemerintahan muda” itu dengan berbagai argumentasi-argumentasi internasionalnya serta mempertanyakan eksistensi Republik Indonesia di forum PBB. Ia melihat suatu ruang mozaik Indonesia yang tidak mungkin untuk disatukan atas nama perbedaan (Diversity). Secara substansial keterlibatannya di dalam DI/TII masih diragukan meski ia memiliki posisi yang sangat strategis menyangkut hubungan internasional mencari pengakuan bangsa-bangsa muslim. Secara internal ia tidak terlibat dalam perumusan konsep “Negara Islam” yang diyakini memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat fundamental antara elit-elit di dalam gerakan DI/TII. Tentu saja faktor geopolitik (Geopolitic) dan meta sejarah (Metahistory) menjadi alasan yang sangat krusial di antara sesama Darul Islam terutama, Aceh-Jawa, Sunda-Jawa, Sulawesi-Kalimantan. Bahkan ketidakjelasan konsep “Negara Islam” yang diproklamirkan oleh Kartosowirjo pada tanggal 7 Agustus 1945, diyakininya juga memiliki aspek “hegemoni Jawa”.
Ia juga memandang keraguan di antara sesama elit Darul Islam di antara sang Major General Tituler Daud Beureueeh-Kartosowirjo, Kahar Muzakkar-Ibnu Sabil, dan Ibnu Fatah-Kartosowirjo masih terjadi keretakan yang serius meski mereka disamakan adanya musuh bersama (Common Enemy) Soekarno dan PKI. Tapi itu menjadi ancaman yang serius bagi kelangsungan Darul Islam dikemudian hari. Tiro melihat ada gejala serius yang melanda elit Islam waktu itu dengan sikap anti-Soekarno. Tetapi tidak mengkritisi konsep Republik. Ia berkesimpulan orang-orang itu hanya ingin mengunakan Islam sebagai “keledai” dengan menciptakan pemberontakan “asal jadi” (Un-organized).
Dan akibatnya pemberontakan itu tidak menghasilkan perubahan yang substansial dan menyeluruh bagi kehidupan politik rakyat. Sudah menjadi tradisi di seluruh kawasan Hindia Belanda. Bila elit politik merasa dikecewakan akhirnya akan menggunakan pengaruhnya dikalangan masyarakat ataupun kembali ke daerahnya menyusun aksi tandingan. Tidak terkecuali di kalangan elit-elit Darul Islam Aceh. Menarik untuk ditelusuri pemikiran Ryaas Rasyid tentang kegagalan Kahar Muzakkar dalam aksi pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan:” Salah satu sebab kegagalan DI/TII merebut simpati adalah karena gerakan ini juga menyatakan perang terhadap aristokrasi. Kahar dengan semangat religiusnya yang mengebu-gebu meminta agar semua gelar bangsawan dihapuskan. Bersamaan dengan itu, kepemimpinan DI/TII secara langsung ingin menggeser kepemimpinan tradisional dan menggantikannya dengan kepemimpinan berdasarkan semangat Islam. Akibatnya Kahar menghadapi tantangan yang berat dari kaum bangsawan beserta para pengikut mereka yang sangat luas. Para Aristokrat di daerah ini memang memiliki hubungan yang tradisional yang akrab dengan rakyat. Itu pulalah yang merupakan salah satu alasan mengapa daerah ini tidak terjadi revolusi sosial seperti di Aceh dan Sumatera Timur pada masa awal kemerdekaan.
Dalam analisis Tiro, ia melihat konsep “Negara Islam” PUSA masih berada dalam posisi yang kontradiksi dengan Monarchy Islam Aceh. Di satu sisi dan di sisi lain berbeda dengan “Negara Islam” buatan Kartosowirjo di Jawa atau “Negara Islam” Kahar Muzakkar. Ada kerumitan-kerumitan yang fundamental antara diskursus Islam Aceh dan Islam Jawa yang dalam pandangan Tiro akan menjadi bibit pertentangan yang tidak berkesudahan. Ia melihat politik yang sama dalam nalar Republik Soekarno dan di dalam konsep Negara Islam Kartosowirjo yaitu, ‘hegemoni Jawa’.
Itu memberikannya ruang untuk melakukan restorasi konsep Islam berdasarkan etno-nasionalism pasca kegagalan DI/TII Aceh. Itu dilakukannya semata-mata mengambil tanggungjawabnya terhadap kegagalan yang secara simultan menderu Aceh tanpa diskursus yang jelas dan tegas. Tiro telah mengambil langkah krusial untuk kembali ke Tanoh Indatu. Artinya ia mengambil sikap yang jelas dan pasti dengan membuang seluruh konsep masa lalunya! Ia mempersiapkan langkah-langkah yang lebih pasti dan berani mendobrak serta membuang tradisi PUSA dan DI/TII serta mempersiapkan perang pembebasan nasional secara massive dan fundamental. Termasuk membuang seluruh teori Islam dan aksi Islam yang pernah dicetuskan oleh sang General Daud Beureueeh. Ia percaya secara ideologis apapun resistensi yang berkembang di Aceh tetap memiliki warna Islam. Hanya saja di tingkat taktik dan strategi gerakan Islam tidak efektif. Sering mengalami kendala diskursus di tingkat ide, sarta mengalami kemubaziran tinggi di aksi.
Di kalangan orang-orang DI/TII Aceh termasuk Sang General Daud Beureueeh, jelas logika gerakan yang dibangun Tiro ditolak mentah-mentah. Itu ada hubungannya dengan ‘kekalahan moral dan ideologi yang mereka alami’ semenjak kegagalan Darul Islam. Menurut Nazaruddin Sjamsuddin, agaknya perbedaan pendapat ini telah menyebabkan Daud Beureueeh menolak menyerukan para pengikutnya yang fanatic untuk menggabungkan diri dengan Gerakan Aceh Merdeka.
Sesudah itu Aceh tetap tenang selama kira-kira lima belas tahun. Pada awal 1977, ketika diberitakan lagi tentang kegiatan-kegiatan Darul Islam juga di Jawa dan bagian-bagian lain di Sumatera, Tiro memproklamasikan Aceh sebagai negara merdeka. Dengan menamakan dirinya Ketua Front Pembebasan Nasional dan Kepala Negara, ia kembali ke Aceh untuk secara pribadi memimpin perjuangan Gerakan Aceh Merdeka, tetapi gerakan ini tidak banyak memperoleh momentum.
Tiro dengan usahanya yang keras dan tidak mengenal lelah akan menciptakan momentum untuk organisasi perlawanan Aceh itu di waktu-waktu mendatang. Ia telah mempersiapkan ‘konsep mondial’ tentang “perang pembebasan nasional” Aceh dalam sekala fundamental dan massive. Serta menyiapkan perang gerilya yang lama dan panjang. Ia bermaksud melakukan pukulan yang terakhir dan mematikan (Coup de Grass). Dalam kata-kata seorang tokoh revolusioner:”dan perang terus berlangsung; kita terpaksa terus terbelenggu selama bertahun-tahun dalam penderitaan dan luka-luka yang tak terperikan yang ditimpakan secara gencar oleh penjajah kita. Imperialisme yang kini berperang melawan pembebasan umat manusia yang sedang bangkit, dalam kelemahan meninggalkan banyak kehancuran di mana-mana dan kita harus mencari dan membuang kehancuran itu keluar dari tanah air dan jiwa kita.
Pasca revolusi social dan pemberontakan DI/TII. Aceh memasuki babak baru dengan perhitungan-perhitungan baru serta mencoba mendaki kembali terhadap masa depannya. Di langit Aceh yang kelam dan mendung terdapat goresan sejarah Aceh yang kelam, mendung dan penuh duka. Ada banyak pemikiran dan gagasan yang terbuang percuma, romantisme revolusi social dan pemberontakan DI/TII menyiratkan begitu banyak sentiment, kecurigaan dan permusuhan di kalangan orang-orang Aceh. Tidak mudah menjawab problematikan sejarah seperti yang ditunjukkan dalam berbagai moment, terutama terhadap dua persoalan krusial dan massive itu.
Sejak itu posisi sejarah struktural Aceh terbelah dalam politik status quo berhadapan secara diameteral, vis-à-vis, dan kontradiksi panjang antara PUSA dan Uleebalang. Konflik itu tidaklah sesederhana yang dibayangkan oleh para kontestan peneliti asing termasuk beberapa peneliti local yang mencoba menempatkan konflik pada tataran ‘pembersihan kaum feodalis’ Aceh. Tetapi sesungguhnya konflik itu bersifat ideologis, massive, krusial dan fundamental menyangkut status apa yang oleh Tiro disebut dengan Negara Sambungan atau Successor State. Atau saya menyebutnya dengan Imagined State atau negara yang dibayangkan oleh orang-orang Aceh.
Saya melihat ada begitu banyak usaha untuk menggeser isu populis ke isu elit tentang Monarchy Aceh. Khususnya dikalangan PUSA yang sesungguhnya menjadi orientasi gerakan itu untuk ‘meleburkan’ Aceh ke dalam lingkungan Republik Indonesia. Dengan konsekwensi menghancurkan lapisan Uleebalang yang menjadi ‘avant-garde’ atau ‘benteng Meginot’ atau pertahanan akhir Monarchy Aceh setelah Perang Dunia Kedua. Usaha tersebut disebut dengan “revolusi social” untuk memberi legalitas Aceh dalam lingkungan Indonesia.
Terdapat dua pendulum yang dilalui oleh kaum berkupiah PUSA. Di satu sisi golongan PUSA yang sangat anti Uleebalang serta berusaha menghancurkannya agar jalan kearah menuju pembentukan Republik baru dengan mudah terlaksana. Dengan demikian seluruh gagasan ‘mengembalikan Aceh pada poros sejarahnya’ akan lenyap ditelan gelombang revolusi. Dan di lain sisi masa depan Aceh dalam lingkungan Republik baru, merupakan sebuah alternative yang coba ditawarkan kepada orang-orang Aceh. Tapi alternative itupun pada akhir menemui ‘kekaburan’, kesimpang-siuran, ketidakjelasan, dan kegamangan yang hebat. Bahkan tidak terkontrol.
Akhirnya dipilihlah jalan yang ‘kabur’ itu dengan melakukan gerakan pemberontakan DI/TII Aceh, terhadap konsepsi Republik baru itu. Suka atau tidak orang-orang berkupiah PUSA memilih sikap untuk berjalan di atas ‘kekaburan’ itu serta mempertahankan obscurantisme sebagai satu-satu keyakinan. Meskipun mereka sadar bahwa keyakinan itu salah dan menyesatkan. Tetapi sebagai gerakan ‘obscurantisme Islam’ (mempertahankan pemikiran yang menyesatkan) PUSA dan DI/TII Aceh terus berjalan dengan kesesatan, kekaburan, ketidakpastian dan kegamangan hebat. Di sini para pengikutnya berusaha membangun berbagai macam pembenaran-pembenaran bersifat superficial (dipermukaan) bahwa gerakan ‘orang-orang berkupiah’ telah berhasil meleburkan Aceh ke dalam Republik baru. Mereka berada dalam kesemuan sejarah.
Masa setelah itu orang-orang Aceh berjalan di atas kesesatan, kekaburan, ketidakjelasan, dan kesemuan. Terkadang terperosok ke dalam ‘lubang penyesalan yang tersembunyi’. Atau ‘penyesalan yang bisu’ terhadap peristiwa revolusi social dan pemberontakan DI/TII. Sulit mendapatkan pengakuan jujur dari kalangan pemimpin-pemimpin gerakan revolusi social dan DI/TII. Khusunya Major General Tituler Daud Beureueeh terhadap apa yang mereka lakukan pada masa-masa itu.
Dapatlah kita mengatakan bahwa sejarah orang-orang berkupiah PUSA sesungguhnya adalah ‘sejarah bisu’. Dalam rangka membungkam atau menyembelih kegagalan yang pernah mereka lakukan. Selain itu juga gerakan yang mereka bangun berdasarkan ‘praksis tanpa ide’. Suatu kutukan sejarah yang pantas ditimpakan kepada mereka yang terlahir sebagai pengkhianat. Karenanya di sana pula sangat sulit mendapatkan kejujuran. Orang-orang itu telah kehilangan ‘nalar primordial’. Antara ucapan Islam di bibir dan prinsip Aceh dalam pemikiran, menjadi absurd karenanya.
‘Orang-orang berkupiah’ PUSA atau DI/TII jika ditanya soal dua peristiwa itu, revolusi social dan pemberontakan Darul Islam. Mereka mencemberut, berpaling, dan terkadang berpura-pura mengutip ayat-ayat al-quran dengan kesedihan yang tinggi atau berpura-pura beragama (Pseudoreligious). Kebalikan dari dictum Carlyle, “berbahagialah mereka yang mengetahui tentang sejarah”!



Bab III

Restorasi ide ke Aksi Revolusioner



Unsur revolusioner apakah yang terselip di dalam taktik muslihat dan tipu daya ketika ide-ide ini dipraktekkan di Yunani, Romawi (Frontinus), Cina (Sun Tzu), dan orang-orang Ibrani klasik (Judas Maacabeus)? Kejutan dan tipu daya dalam perang merupakan suatu subdisiplin dari strategi yang sudah cukup mapan. Bagaimana strategi perang dalam teks Al-qur’an yang dipahami oleh para pemimpin-pemimpin Aceh masa lalu yang diwariskan kepada Tiro dan generasinya? Spirit Al-qur’an adalah semangat perang yang nyata.
Memasuki tahun 1976 awal, agaknya gagasan-gagasan Tiro tidak lagi berada dalam sesaknya ruang sempit menara gading pemikiran. Yang dikonsumsi oleh kaum idealis yang di sepanjang sejarah selalu gagal memahami ide. Tiro, memulai mentransformasikan dan mere-formulasi gagasan-gagasan revolusioner ke tahapan yang paling krusial dan fundamental ke dalam ide massa. Yaitu mewujudkan ‘negara imaginer’ (Imagined State) dalam pandangan orang-orang Aceh. Tidak sekedar pandangan ‘negara imaginer’ bahkan lebih jauh lagi Tiro, mendeskripsikan dalam pemikirannya tentang realitas sejarah “Negara Acheh” dalam bentuk Monarchy Aceh hingga tahun 1903. Ketika Sultan Muhammad Daud Syah ditawan (hostage) Belanda serta memberi legalitas kepada Family di Tiro untuk meneruskan perjuangan pembebasan melawan kaphe.
Disini Ia menjustifikasi family di Tiro sebagai “pemegang kedaulatan” (al-Malik) pasca Sultan ditawan pihak Belanda. Dan secara terus-menerus mengorganisir perlawanan tanpa henti hingga generasi yang terakhir Muaz di Tiro (orang-orang Aceh menyebut Maat) cucu terakhir dari Al-Malik Tjhik di Tiro Muhammad Saman. Serta anak dari Tgk.Tjhik Di Tiro Muhammad Amien, syahid di Alue Bhot di tanggal 3 December 1911. Tanggal itu yang memberi inspirasi baginya untuk menyatakan kepada dunia bahwa Aceh telah bebas dari penguasaan tanah seberang (Colonial Overseas). Dalam pemikirannya ia menempatkan syahidnya cucu Al-Malik Tjhik Di Tiro Muhammad Saman itu memiliki kesamaan sejarah dengan apa yang dilakukan Hussein di Karbala. Lebih jauh lagi ia menanamkan semangat pengorbanan “ala Maat” dalam doktrin GAM, khususnya dikalangan gerilyawan Aceh. Udeep Beeusaree Matee Beusajan, Siekrak Gaphan Saboh Keurenda .

Setelah melakukan konsolidasi pemikiran Tiro, memutuskan untuk segera melakukan rencana akhir sebelum memulai tahap “perang pembebasan” (Liberation War) mengusir pendudukan asing di “Tanoh Indatu”. Maka pada tanggal 4 Desember 1976, ia Menyatakan kembali (Re-Declaration) kepada dunia di sekitar Bukit Tjokkan kawasan Gunung Halimon Pidie yang bersejarah itu. Dalam Pernyataannya itu Tiro mengaku adalah “pewaris sah Family di Tiro serta menyampaikan salam dan mengajak bangsa-bangsa yang beradab di seluruh penjuru mata angin untuk mendukung perjuangan bangsa Acheh membebaskan diri dari pendudukan Indonesia”. Dengan Pernyataan itu Tiro telah membangun suatu monumen yang paling berbahaya sekaligus mengirim sebuah sinyal kepada regime General Soeharto atau regime Indonesia pasca Soeharto bahwa Aceh sedang menuntut haknya sebagai “bangsa yang berdiri sendiri”. Ia memulai dengan mengorganisir tentara pembebasan Aceh yang ia pimpin langsung. Ia menciptakan pola perang gerilya (Guerilla War) sebagai sebuah batu lonjatan lazimnya yang dipakai oleh bangsa-bangsa tertindas dan berada dalam situasi kolonial. Ia berasumsi bahwa: hutan, gunung, rawa-rawa, perbukitan, sawah dan laut merupakan geopolitik Aceh, sehingga sangat memungkinkan seluruh strategi perang gerilya dapat diterapkan secara total. Ia terus mengorganisir dan mengatur taktik serta strategi militer berdasarkan doktrin-doktrin yang ia sebut ‘perang gerilya total’. Sebagai Menteri Partahanan dan pemegang komando tertinggi, Tiro telah merumuskan strategi dan langkah-langkah yang harus diperbuat oleh angkatan perangnya. Strategi itu sebagai berikut:
--Kita sedang berada dalam situasi politik dan sedang mempersiapkan seluruh angkatan perang serta menginginkan tahap itu sebagai suatu keniscayaan. Itu berarti seluruh gerakan militer kita dan aksi haruslah menjadi bagian subordinat dari strategi itu.
--Seluruh aksi harus dilakukan dengan disiplin keras sebagai bagian defensif perang gerilya:
a. Seluruh pasukan perang Aceh harus senantiasa berada di atas perbukitan. Yang fungsinya untuk menggagalkan superioritas musuh terhadap peralatan tempur, angkatan laut maupun angkatan udara.
b. Pasukan perang Aceh harus selalu tinggal di lingkungan musuh, serang dia, jaga dan ganggu dia dari setiap markas tetap, agar menjadi angan-angan atau bayangan kekuatan menggelembung di atas horizon, untuk mereduksi ‘glamor’ tentara pendudukan Jawa.
c. Waktu dan kejutan adalah dua elemen vital: mengerti tentang semua jalur serangan dan garis kejutan. Tidak ada serangan tanpa kejutan!
d. Terlibat dalam pertempuran harus dilakukan dengan pilihan waktu yang tepat, walaupun ada provokasi musuh.
e. Ketika musuh mengejar kita mundur dan serang dia ketika dia mundur.
f. Pertempuran dengan musuh harus dengan keyakinan untuk menang, dan itu memperlihatkan kekuatan sekaligus kemenangan dalam pertempuran.
g. Keadaan objektif kita adalah memutuskan hubungan komunikasi musuh dan menghancurkan ekonomi asing yang mendukung mereka.
h. Keamanan kita bersandar di dalam kerahasiaan gerakan kita di setiap waktu dan mobilitas gerak pasukan. Musuh tidak pernah mengetahui di mana pasukan kita sedang bergerak.
i. Strategi kita adalah bertahan: taktik kita adalah menyerang musuh di segala kesempatan yang ada.
‘Perang gerilya total’ itulah yang membuat superioritas angkatan perangnya masih terus hidup dan survival di tengah-tengah aksi militer Indonesia di Aceh. Dengan orang-orang yang pernah terlibat dalam pengalaman perang di masa DI/TII Aceh, seperti Pawang Rasyid, Geujhik Umar, Yusuf Ali, dan Daud Husin (Paneuk) dll. Tiro mampu memimpin pasukan gerilyawannya yang kecil tetapi memiliki konsep perang gerilya yang baku dan teruji.
Ia sadar secara militer, tidak mungkin menyerahkan tongkat komando gerilyanya kepada orang-orang muda selevel Abdullah Syafie yang pada waktu itu masih terlalu muda memimpin pasukan bersenjata Aceh. Dan juga menaruh harapan pada Muzakkir Manaf yang kala itu masih terlalu belia. Tiro mengembangkan ‘nalar perang’ berdasarkan semangat Indatu nya melawan Belanda. Sampai pada akhirnya ia secara teoritis menciptakan ‘logika perlawanan’ tanpa henti melawan penjajahan kulit putih maupun kulit sawo matang. Perang pembebasan merupakan pilihan akhir dalam benaknya untuk menebus kebuntuan ‘dekolonisasi’ bagi masa depan Aceh.
Pada kenyataannya Ernesto “Che” Guevara (1928-1967), pemimpin revolusioner melawan Fidel Castro di Cuba dan belakangan terbunuh dalam pertempuran di Bolivia. Prinsip Guevara mengintegrasikan perang gerilya dalam konteks politik yang lebih luas melalui tiga prinsip yang membentuk basis doktrinnya: 1). Pasukan rakyat dan pasukan liar bukan saja bisa mengalahkan pasukan regular tetapi juga mengalahkan kebijakan atau program-program pemerintah. 2). Suatu kelompok inti revolusioner yang disiplin bisa menciptakan suatu perang internal di samping bisa menunggunya untuk meletus melalui interaksi kekuatan-kekuatan social. 3). Amerikan Latin menawarkan kesempatan yang paling bisa memberi harapan bagi perang gerilya karena gerilya jauh lebih efektif dilakukan di daerah pedesaan yang sistim komunikasinya masih terbelakang.
Sebaliknya Regis Debray mengungkapkan berdasarkan pengalam revolusi di Cina bahwa ada lima macam prasyarat bagi keberhasilan operasi gerilya militer, yaitu 1). Wilayah ekstensif untuk melakukan maneuver, 2). Prosentase dan densitas penduduk desa yang relative tinggi, 3). Suatu limit umum dengan suatu negara yang bersimpati yang mungkin memberikan perlindungan bila perlu, 4). Ketidakmampuan kekuatan musuh untuk melancarkan serangan balasan melalui udara, 5). Jumlah pasukan lawan yang tidak cukup besar untuk melindungi jalur-jalur komunikasi yang vital.
Pengaruh perang gerilya di negara-negara Dunia Ketiga seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia di Indo China juga mempengaruhi pemikiran-pemikiran Tiro untuk memilih konsep perang yang sama di Aceh Sumatera. Teori Mao Tze Tung (1893-1976) misalnya tentang yang berlarut larut membentuk pertautan antara perang dan politik yang telah pecah dengan munculnya senjata-senjata nuklir dan bakteriologi. Pemikiran Mao ini merupakan perpaduan pemikiran mengenai ketegangan Timur-Barat.Pemikiran itu di sejajarkan dengan pemikiran Sun Tzu (400-320 S.M.) dan Von Clausewitz. Bagi Sun Tzu—penulis buku Cina klasik yang berjudul “Ping-fa” (seni perang)—moral national, iklim, daerah, struktur kepemimpinan dan doktrin militer adalah lima element dasar dalam peperangan.
Mao mengemukakan “lima macam” criteria bagi keberhasilan perang gerilya yaitu: simpati rakyat, organisasi partai yang disiplin, kekuatan militer yang terpercaya, daerah yang cocok, dan dukungan logistic yang cukup banyak. Sebagai tambahan untuk persamaan yang nyata dari kedua kelompok criteria tersebut antara Mao dan Sun Szu menekankan pada dimensi psikologis perang. Artinya kedua orang tersebut memandang objek perang yang utama adalah untuk mengumpulkan dukungan rakyat untuk meruntuhkan keinginan musuh untuk melawan tuntutan-tuntutan politik yang khusus.
Pada kenyataannya menurut salah seorang tokoh dokter revolusioner India, pembebasan nasional, kebangkitan national, pemulihan kebangsaan kepada rakyat, persemakmuran: apapun namanya yang digunakan atau formula baru yang diperkenalkan, dekolonisasi selalu merupakan fenomena kekerasan. Potensi kekerasan dan fenomena perlawanan menjadi symbol eksistensi Aceh di mata pemerintahan di Jakarta. Aceh akan selalu menjadi batu uji pemerintahan di Jakarta.
Tiro juga yang menciptakan “Blueprient” tentara pembebasan Aceh dengan struktur “wilayah” yang ketat berdasarkan Reusam masing-masing tempat tanpa intervensi dari wilayah lain. Ia juga yang menentukan “apa yang seharusnya” (What’s to be should), dan “apa yang mesti dilakukan” (What’s to be done) bagi tentara pembebasan Aceh. Sebaliknya ia juga yang menentukan mana yang tidak dibolehkan, dan mana yang diwajibkan. Pendeknya, ia bagi tentara pembebasan Aceh Merdeka adalah seorang General Besar di mana setiap tutur, titah dan perintahnya wajib dilaksanakan. Ia adalah Napoleon yang akan memenangkan perang di ‘Waterloo Aceh’.
Sekaligus telah membentuk sistim dan karakter perang gerilya ala Aceh yang telah disempurnakan lewat pengalaman-pengalaman di masa lalu. Sebagaimana yang dilukiskan dengan sangat baik oleh Fenon sbb:”Kenyataannya adalah bahwa dalam perang gerilya perjuangan tidak lagi mengenal tempat di mana anda berada, namun tempat ke mana anda akan pergi. Setiap pejuang membawa negara yang diperjuangkannya di antara jari-jari kakinya yang telanjang. Tentara pembebasan national bukanlah tentara yang terlibat perseteruan untuk selamanya dengan musuh; melainkan tentara yang pergi dari desa ke desa, mundur ke hutan-hutan dan menari bergembira ketika di lembah di bawah sana tampak gumpalan debu putih yang diterjang pasukan musuh”.
Sejak tahun 1945 kebanyakan peperangan telah melibatkan perlawanan rakyat terhadap dominasi negara asing, dan perang gerilya merupakan cara perlawanan yang utama dan terbanyak dalam konflik-konflik tersebut. Dan seluruh karekter perjuangan pembebasan selalu dimulai dari aksi perang gerilya. Fenomena itu juga mempengaruhi pemikiran Tiro dalam membangun angkatan perangnya, khususnya terhadap front kekuatan gerilyanya.
Tiro sepenuhnya mengadopsi seluruh pemikiran General Vo Nguyen Giap, arsitek Perang Vietnam, yang menyatakan, “Tidak ada batasan yang jelas tentang front dalam peperangan ini. Batasannya adalah di mana musuh berada. Front ada di mana-mana. Front ada di setiap tempat”. Perlu menghimpun ribuan kemenangan kecil untuk diubah menjadi suatu keberhasilan besar. Secara bertahap hal ini mengubah keseimbangan kekuatan yang mempercepat transformasi kelemahan kami menjadi keunggulan. Ia terus mengembangkan logika perang pembebasan sedemikian kuatnya menembus kekuatan musuh. Tiro dan segenap pasukannya di tahun-tahun pertama usia gerakan pembebasannya hanya memiliki beberapa pucuk senapan tua warisan Jepang dan DI/TII Aceh yang telah “menyerah”. Itupun didapat dari beberapa orang tokoh yang benar-benar serius dalam perjuangannya.
Sementara tentara Indonesia di kala itu memiliki persenjataan paling moderen dibantu oleh Amerika dan negara-negara Eropa. Tapi Tiro dan segenap tentara gerilyanya yang kecil mampu bertahan dan melakukan konsolidasi ulang dalam setiap waktu. Ia benar-benar telah mencangkokkan pengalaman Perang gerilya Vietnam ke Aceh Sumatera. Sebagaimana yang dikatakan oleh ahli strategi perang klasik Italia:…”Setiap republik dan kerajaan harus mengambil barisan prajuritnya dari negara mereka sendiri…..di setiap negara, pendidikan dapat menghasilkan para prajurit yang baik, karena di mana alam gagal, kealpaan tersebut dapat ditutupi dengan ketajaman otak, yang dalam hal ini lebih penting dari alam.
Di sini Tiro mengetahui secara persis kemampuan para gerilyawannya menghadapi perang yang lama dengan serdadu moderen Indonesia. Mereka dilatih dalam perang yang sesungguhnya dan menguasai medan perang secara baik dengan tingkat kedisiplinan tinggi. Penghayatan terhadap alam Aceh yang dipenuhi dengan hutan dan gunung menjadi ‘cagar gerilya’ serta liku-liku sejarah perlawanan di masa lalu menjadi tonggak penting pembentukan semangat pertempuran. Menurut pendiri Tentara Merah, Trotsky, kekuatan bersenjata dari revolusi harus terdiri dari pasukan-pasukan kecil dan berdiri sendiri, yang terdiri dari bermacam-macam senjata yang tidak terikat kepada suatu pangkalan tertentu dan di dalam operasi hanya tergantung dari simpati rakyat. Dengan singkat taktik perang kecil atau gerilya kendali dijadikan taktik satu-satunya dalam revolusi. Secara militer perang gerilya ini termasuk dalam tujuan seperti yang disusun oleh General Giap, namun dampak politik dari serangan tersebut memang tak dapat disangkal. Akibat yang diderita dalam perang inilah yang membuat Presiden Johnson mengumunkan bahwa dia tidak akan mencalonkan diri untuk dipilih kembali menjadi presiden dan komandan senior tentara Amerika di Vietnam diganti.
Banyak isu yang berkembang di seputar perjuangan Tiro pada tahap awal konsolidasi politik menuju “perang pembebasan nasional”. Orang-orang Aceh, khususnya eks DI/TII Aceh yang masih setia pada ideologinya mempertanyakan bagaimana caranya menghadapi kekuatan militer Indonesia yang massive dan didukung oleh kekuatan militer Amerika? Bahkan lebih ekstrim lagi mereka bertanya kepada Tiro, “di mana senjata”? (Pakriban Dengon Beudee?) Tanpa senjata kita tidak akan berbicara soal kemerdekaan! Perdebatan tentang “senjata” menjadi isu yang paling menarik semenjak Tiro untuk pertama kalinya menginjakkan kakinya di bulan Oktober 1976 di Kuala Tari, Pasi Lhok, Pidie. Perdebatan itu telah memancing ‘bau aroma’ sejarah masa lalu, terutama ketika pemberontakan Darul Islam dan sebab-sebab kekalahannya. Mereka secara ironic menyalahkan Tiro atas isu-isu yang berkembang soal bantuan persenjataan yang hingga akhir hayatnya tidak kunjung tiba.
Tapi Ia menolak bahwa kekalahan DI/TII Aceh bukanlah disebabkan karena senjata, tetapi karena ketiadaan ideology perjuangan, minimnya methode perlawanan, dan kepemimpinan yang tidak jelas. Ia mendeskripsikan pemberontakan Darul Islam, menyerupai pemberontakan petani Banten ataupun penberontakan petani-petani Jawa di abad ke 19. Mereka memberontak karena isu-isu regional seperti: tanah, upah dan jam kerja. Sehingga untuk mencapai tahap penyelesaiannya tidak dibutuhkan angkatan perang ataupun organisasi yang solid. Cukup dengan perundingan untuk mencapai kata kesepakatan. Celakanya para pemimpin petani Aceh (Daud Beureueeh) tidak memahami perundingan sehingga ketika perundingan dimulai mereka gagal memenangkan maksud dan tujuan yang ingin dicapai. Sehingga mereka bermaksud untuk memberontak kembali.
Tiro memberi keyakinan kepada orang-orangnya bahwa senjata merupakan persoalan yang penting. Namun ada banyak faktor-faktor non senjata yang sama pentingnya dengan senjata. Ia tidak ingin mengulangi seluruh episode angkatan bersenjata Aceh di tahun 1947 pasca revolusi sosial (pampasan senjata Jepang) terhitung paling siap secara militer dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Tapi pada kenyataan politik, angkatan perang Aceh bukan melindungi daerah dan wilayahnya dari serbuan asing. Melainkan menjadi serdadu yang tidak memiliki visi dan misi pembebasan national. Mereka menjadi serdadu bayaran (Mercenaries) bagi bangsanya.
Seperti yang diperlihatkan dikemudian hari oleh ‘milisi petani’ DI/TII di Aceh. Bagi milisi petani itu. Tidak soal siapa yang harus diperangi dan siapa yang mesti membayar mereka. Jika tiba waktunya untuk berhenti berperang maka menyerahlah mereka, tanpa beban moral ataupun tanpa tanggungjawab politik terhadap masyarakat yang selama itu mendukungnya. Mereka menyerah bagaikan tentara yang kalah perang dan anehnya lagi mereka disantuni oleh pihak penguasa yang mereka lawan sebelumnya. Jika kemudian rakyat yang memprotes tindakan itu, mereka justru membunuh rakyat yang dulunya secara kuat mendukung gerakan yang mereka bangun. Tanpa disadari mereka bersama-sama dengan serdadu pemerintah memerangi rakyat yang mendukungnya. Itu merupakan sisi gelap gerakan Darul Islam di Aceh.
Secara militer DI/TII Aceh terhitung memiliki senjata dan sumber kekuatan manusia untuk berperang. Tetapi yang menjadi persoalan adalah politik ideologis ketika sejumlah “batalyon” Dewan Revolusi menyerah terhadap militer Indonesia. Penyerahan itu tidak saja melibatkan sumber kekuatan manusia dan senjata tetapi juga melibatkan “semangat” yang menyerah pula. Dari pengalaman ‘sawah’ itu pula Ia berketetapan hati untuk tidak berbicara tentang “senjata” dan tidak mempercayainya sebagai suatu tema penting perjuangan pembebasan Aceh. Itulah sebabnya Ia ingin menciptakan strategi ‘perang Non Combatant’ yang memiliki arti perjuangan tanpa kekuatan militer. Artinya ia harus mensiasati dengan logika ‘tanpa pertempuran’ (Non Battle) dan “tanpa kekerasan” (Non Violent) sebagai strategi awal perjuangan ASNLF/GAM di Aceh. Tiro berkonsentrasi pada isu-isu yang fundamental dan massive seperti: membangun kesadaran politik, krisis identitas yang dialami oleh orang-orang Aceh, dan pendidikan politik sebagai fondasi perjuangan pembebasan Aceh.
Kosentrasi gerakan Aceh Merdeka yang bertumpu pada kesadaran politik, identitas dan pendidikan politik di sambut dingin beberapa intelektual yang berafiliasi politik ke PUSA dan DI/TII Aceh seperti Nazaruddin Sjamsuddin. Ia mengatakan bahwa, kekurangan waktu dan persiapan membawa dampak yang sangat fatal bagi Tiro dan kawan-kawannya. Salah satu dampak tersebut adalah tidak tersedianya senjata yang cukup jumlahnya untuk menunjang pemberontakan yang dilancarkan itu. Kalau sekiranya Aceh Merdeka memiliki senjata, akan mampukah para pengikut Tiro mempergunakan senjata-senjata itu?
Beberapa pemimpin pemberontak Darul Islam, berusaha menghubunginya dan ingin kembali berontak dan kemudian hari ingin berdamai kembali? Sebagaimana yang disebutkan oleh salah seorang peneliti bahwa perkembangan ini tentu saja membuat Daud Beureueeh merasa frustasi. Tetapi yang lebih melukainya ialah perkembangan dalam bidang keagama. Umpamanya pada tahun 1962, sebagai konsesi untuk kesediaanya mengakhiri perlawanannya terhadap Jakarta, penguasa militer setempat mengumumkan berlakunya syariat Islam di Aceh. Beberapa tahun kemudian, yakni 1968, Jakarta melarang pemerintah daerah untuk menerapkan kebijaksanaan yang telah disetujui oleh DPRD itu. Daud Beureueeh benar-benar kecewa terhadap perkembangan ini sehingga ia pernah menyatakan menyesal telah menghentikan pemberontakannya.
Pola perjuangan Darul Islam di Aceh tidaklah sebagaimana yang disangka sebagian besar para pengamat di tinjau dari kekuatan militer, dukungan politik rakyat, dan ideologi Islam yang kuat. Tapi faktanya kekuatan Darul Islam di Aceh adalah ‘kekuatan militer semu’. Dengan dukungan politik rakyat ‘yang tak nyata’ (Bubble Power). Dan ideologi Islam yang nyaris tidak memiliki konsepsi. Atau ketiadaan blueprint atau cetak biru yang tidak jelas serta penuh dengan ketidakpastian. Gerakan ini memang benar-benar gerakan yang dibangun dari hasil pemikiran ‘sawah’ dengan ‘tradisi petani’ yang sedang mempertahankan kehidupannya (Subsistence) dari kemarau panjang. Karenanya ia bukanlah representasi perlawanan ala Aceh dalam menghadapi Belanda sebagaimana yang diperlihatkan oleh Uleebalang-Ulama dalam ‘struktur perlawanan besi’ (Iron Resistance Structure) di masa lalu.
Rupanya Tiro tidak ingin terjadi peristiwa masa DI/TII Aceh (1953-1963) terulang kembali terhadap ASNLF/GAM. Ia menjadi sangat sensitive berbicara tentang senjata. Ia ingin para pengikutnya memahami tentang aspek-aspek ‘meta senjata’ atau Meta wheapon yang akan mempengaruhi jalan revolusi pembebasan Aceh. Ia mengatakan lebih lanjut:”Saya secara sabar menjelaskan kepada mereka: jaminan, bahwa senjata-senjata itu sangat penting, dan kita tidak dapat berbuat karenanya. Kita akan membangun perjuangan berdasarkan kemampuan nasional dalam waktu yang tepat. Senjata merupakan salah satu hal masalah yang harus kita jawab. Tetapi ada banyak persoalan yang penting dan urgen sebelum kita menjawab masalah itu—sebelum masalah senjata seperti: masalah kesadaran politik orang-orang Aceh, masalah krisis identitas nasional, masalah terhadap pembelajaran sejarah Aceh, masalah status Aceh dibawah hukum international, masalah penentuan nasib (Self-Determination) dan hubungan international. Kita sebagai rakyat harus keluar dari isolasi yang sekian lama mengurung kita dari situasi international. Dan menjawab semua masalah kita dengan kembali pada situasi international sekarang ini, keluar dari isolasi itu.
Walaupun perang gerilya berskala kecil lebih efektif daripada di medan terbuka dalam jangka pendek, penerimaan yang ekslusif menyita di setiap kesempatan bagi kemenangan akhir pemberontak. Secara historis perang gerilya itu sendiri belum cukup untuk membawa kelompok-kelompok pemberontak pada kekuasaan. Ia hanya berhasil sebagai salah satu aspek strategi yang lebih besar daripada perlawanan. Kemenangan akhir hanya dicapai oleh kelompok-kelompok pemberontak yang juga mengembangkan kekuatan militer konvensional efektif atau orang-orang menghadapi ketidakmampuan regime yang berkuasa atau ketidakinginan untuk menggunakan semua sumber yang tersedia secara penuh untuk menekan kelompok-kelompok yang tidak setuju.
Meskipun perang gerilya dalam berbagai perlawanan untuk menentang feudalisme dan pengaruh negara asing pun efektif, namun Mao mengutarakan bahwa angkatan bersenjata regular pada akhirnya akan diperlukan sekali jika ingin mengalahkan musuh. Oleh sebab itu, operasi-operasi gerilya yang aktif hanya sebagai awal atau pendahuluan menuju posisi perang—yaitu suatu kebuntuan strategi temporer yang berkembang menuju serangan besar-besaran untuk melawan kekuatan sentral pemerintah. Ia pun sadar bahwa perang gerilya itu memang tidak ditujukan semata-mata sebagai tujuan politik pembebasan. Tapi sebagai sebuah strategi besar (Grand Strategy) bagi politik pembebasan national Aceh. Tetapi Ia optimis bahwa perang gerilya itu pula yang akan menjadikan strateginya sukses secara militer dan politik.
Dengan mengikuti prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Von Clausewitz, para pengikut atau pendukung gerakan gerilya menekankan pada hubungan yang tak terpisahkan antara perang dan politik luar negeri. Ada perbedaan besar antara para pemimpin gerilya dan komitmen ideologi yang esensinya konservatif dan nationalis, dengan para pemimpin persuasi dari aliran Marxist-Leninist. Kaum nationalis konservatif cenderung memandang operasi-operasi gerilya sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan politik yang bersifat terbatas. Sebaliknya, kaum Marxist-Leninist sangat bersandar pada kombinasi perang gerilya di kota dan di desa untuk mempengaruhi perubahan social, ekonomi dan politik. Tiro telah melakukan berbagai kombinasi, modifikasi dan recovery terhadap struktur gerilya berdasarkan ruang, waktu dan tempat. Ia memahami tidak ada sistim gerilya yang sama dan bersamaan dengan sistim gerilya di tempat lain. Teorema itulah yang dikemudian hari gagal dimanfaatkan oleh para petinggi politik dan ahli strategi militer di Jakarta. Operasi Militer telah menjadi tujuan pemerintahan Jakarta, sehingga logika politik semata-mata berada di ujung laras senapan. Suatu doktrin perang yang secara keliru dipakai oleh para ahli strategi militer Jakarta di Aceh. Diktum perang yang oleh mahaguru Prussia Carl Von Clausewitz, dalam bukunya “Vom Kriege” mengatakan, perang adalah suatu tindakan kekerasan untuk memaksa musuh tunduk pada keinginan kita dan perang adalah kelanjutan dari politik dengan alat-alat dan cara-cara lain”. Perang itu tidak saja merupakan suatu tindakan politik, instrument politik: suatu kelanjutan dari hubungan politik; suatu perwujudan yang sama dengan alat-alat lain.
Ada dua segi yang cukup menonjol. Pertama, ia secara sistematik menyelidiki dimensi psikilogis perang. Secara tepat ia mengidentifikasikan moral national sebagai salah satu determinan utama yang mengakibatkan terjadinya perang. Baginya tujuan utama perang adalah untuk menghancurkan semua keinginan musuh untuk melawan keinginan politik seseorang. Kedua, konsekwensi logis daripada preposisi ini sampai di mana tingkat perlawanan musuh akan menurun atau runtuh tergantung pada sejauh mana tuntutan politik yang ditetapkan atas dia: makin sedikit tujuan yang dituntut seseorang dalam perang, maka akan semakin mudah mencapai penyelesaian melalui negosiasi. Karena itu slogan-slogan seperti “menyerah tanpa syarat” dan “kemenangan total” tidak memperoleh tempat dalam pemikiran Von Clausewitz. Perang adalah sesuatu yang berkaitan dengan politik.
Tafsir itu selalu dipakai sebagai azas dan prinsip militer di seluruh dunia bahwa: perang merupakan “kelanjutan politik dengan cara lain”. Tapi oleh para ahli strategi militer di Jakarta ditafsirkan bahwa; ‘kekalahan politik diplomasi sebagai alat untuk berperang’! Itulah respon yang terjadi ketika kegagalan “Tokyo Meeting” antara ASNLF/GAM dan Pemerintahan Indonesia. Pemerintah Indonesia mengumumkan pembekuan “Peace Agreement” dan melancarakan Operasi Militer (Darurat Militer) berskala besar di Aceh Aceh di bulan May 2003. Operasi militer adalah pilihan akhir dari pemerintah Jakarta. Setelah itu apa? (What’s Next?). Ini adalah pertanyaan penting kepada para ahli strategi militer di Jakarta. Bagaimana sekiranya ‘perang yang mubazir’ atau Operasi Militer dalam sekala besar itu menemui kegagalan? Atau bagaimana sekira serdadu Indonesia kalah di Aceh?
Sebaliknya Tiro menganalisis proses kehilangan dan kesempatan kemerdekaan di tahun 1945 dan kekalahan DI/TII Aceh tidak disebabkan oleh ketiadaan atau kurangnya persenjataan yang dimiliki oleh orang-orang Aceh. Ia mengatakan ini lebih lanjut sbb:”Sebelum kedatangan saya kemari. Dengan kondisi pemikiran yang lemah atau dibawah kondisi mental dan spiritual paralisis, kita tidak dapat mengatur diri kita dengan apapun khususnya tidak dalam kondisi siap perang. Tugas pertama kita, harus memperbaiki (memperbaharui) kesadaran national, mengembalikan memori nasional, kemudian mengatur dan memobilisir diri kita. Sekarang, itu bukan semua aktivitas semata-mata adalah militer tetapi politik, kebudayaan dan pendidikan. Itu semua merupakan kebutuhan absolut untuk mempersiapkan kita memulai perjuangan bersenjata. Senjata bukanlah yang pertama dan juga bukan yang terakhir. Kita kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kemerdekaan di tahun 1945 bukan karena kekurangan senjata—kamu tahu di Aceh pada waktu itu banyak memiliki senjata—tetapi yang pasti disebabkan karena kekurangan kesadaran politik national dan pada politik nasional yang benar pada waktu itu”.
Para pengikut mulai menyadari arti perjuangan ‘meta senjata’ (Non Violent) yang dipikirkan oleh Tiro. Proses radikalisme konsep perjuangan dan perubahan aksi serta pola lama dari (DI/TII Aceh) ke tahapan baru (ASNLF/GAM) berjalan secara periodik. Tanpa diskursus yang berarti karena Tiro dapat meyakinkan mereka tentang arti pentingnya “senjata pemikiran” di samping senjata militer. Ia memanfaatkan masa kepulangannya itu untuk memulai tahapan konsolidasi pemikiran menuju aksi pembebasan nasional dengan cara yang lebih moderen dan terdidik dari pada masa sebelumnya.
Itulah sebabnya “logika senjata” merupakan stereo type para alumni DI/TII Aceh ketika mereka berbicara tentang kemerdekaan Aceh. Baginya para pemimpin-pemimpin revolusi sosial, yang kemudian mencetuskan DI/TII Aceh bukanlah type seorang pemimpin gerilyawan. Tapi adalah seorang tukang pidato (Demagogue) dan guru mengaji (Gure’e Beet) di dayah, mustahil dapat memimpin pertempuran. Apalagi memimpin perang gerilya yang membutuhkan analisis-analisis politik, ekonomi, sosial dan budaya di dalam konteks pertempuran moderen. Daripada sekedar ‘gema peluru’ yang ditembakkan dari mulut senjata.
Menurut Charles Fairbanks, para pejuang ini bukanlah prajurit yang sebenarnya dalam pengertian profesional. Biasanya, mereka bekerja dalam unit-unit lepas di luar loyalitas personal, atau bekerja untuk merampok atau untuk membalas dendam terhadap individu tertentu. Mereka adalah formasi bersenjata tanpa tentara, tanpa kedisiplinan yang merupakan tulang punggung tentara profesional. Sesungguhnya formasi DI/TII Aceh merupakan gerakan petani yang berkupiah dan bersorban melakukan pemberontakan untuk mendapatkan hak-hak sawah dari pergumulannya semenjak dalam revolusi social hingga peristiwa Darul Islam di Aceh. ‘Mental sawah’ itulah yang membedakan apa yang dilakukan Major General Tituler Daud Beureueeh dan Tiro.
Tiro memang tidak ingin disamakan dengan Major General Tituler Daud Beureueeh dan Amir Husin Idi. Kedua orang itu dalam asumsinya memiliki kesamaan ambisi dan ‘berselera rendah’ (Inferiority) terhadap perjuangan. Mereka adalah kaum ‘berkupiah’ yang kerjanya sehari-hari adalah berbicara di tengah-tengah pengikut mereka. Kesenangan mereka adalah dipuja-puji dan didewa-dewi sebagai “Pemimpin Besar Aceh” dan “Pemimpin Besar Islam”. Mereka datang dari satu pesta (Kenduri) ke pesta lain dengan hidangan dalam satu meja (Taba’) penuh makanan. Serta tertawa terbahak-bahak dengan kupiah sedikit miring ke samping menikmati secara emosional, berapi-api dan penuh nafsu. Setelah kenduri usai lalu supaya tidak dituduh “pseudoreligious” (pura-pura beragama), “ateis” atau “bid’ah” atau “khurafat” mereka berdoa amien, amien, amien. Seraya berpikir dan kemudian diterjemahkan dalam doa kepada Tuhan sbb: “ Ya, Tuhan yang selalu milik orang-orang DI/TII Aceh, agar seluruh kekuasaan hanya boleh berputar di sekeliling orang-orang seperti Daud Bureueeh, Amir Husein Idi, Abdul Hamid Samalanga, Abdul Ghani, Hasan Saleh, Hasan Ali, Ali Hasymy, Abu ini, Abu itu, Ayah Polan serta anak-anak kami dan cucu kami dan seterusnya.” Ya Tuhan, kami ingin berkenalan kepada Mu bahwa kami ini adalah pendiri DI/TII Aceh, jika Engkau tidak mengabulkan seluruh doa-doa kami, pasti kami akan memberontak kepada Engkau Ya Tuhan. Ya Tuhan Engkau tahu siapa kami yang telah mengabdi kepada Mu dengan membunuh seluruh kaum Uleebalang dan anak-anaknya serta kami merampas istri-istri mereka, harta-harta mereka untuk membangun Mesjid Mujahiddin dan Sekolah Normal Islam di Bireun. Ya Tuhan, sekali lagi kami ingatkan kepada Mu jika doa-doa kami tidak terkabulkan dari Mu maka kami akan mengajak seluruh rakyat Aceh untuk memberontak kepada Mu Ya Tuhan.Ya Tuhan Engkau tahu bahwa kami adalah orang-orang DI/TII yang paling berkuasa di Aceh, kami berterus terang bahwa Engkau belum tentu bisa mengalahkan kami dihadapan rakyat Aceh. Jadi berikan hak kami di dunia dengan surga-surganya. Dan ambillah hak akhirat Mu, Ya Tuhan, karena di sanalah Engkau berkuasa.” “Bagi kami orang-orang DI/TII Aceh keyakinan itu adalah agama untuk berkuasa di dunia, jadi tolong berikan hak kami di dunia. Dan bagi keyakinan Mu adalah berkuasa di akhirat”.
Mereka secara terus-menerus mengintimidasi dan mengancam Tuhan dalam doa-doa dengan harapan diberi kekayaan yang berlimpah-limpah, kesenangan dunia, kekayaan, dan semakin banyak wanita di samping mereka semakin senanglah hati dan jiwa dengan tidak perlu lagi berpikir soal dosa. Inilah surga “Biduadari” sebagaimana yang dikisahkan dalam Syair Prang Sabil. Serta mereka tidak membutuhkan lagi “surga” apalagi dengan “akhirat” yang didalamnya terdapat neraka yang dikhususkan bagi orang-orang DI/TII Aceh. Karenanya mereka telah mendapatkannya di dunia. Sebab di dunia tidak ada neraka bagi orang-orang DI/TII Aceh. Yang ada adalah surga duniawi. Oh, betapa indahnya dunia ini”! Tuhan telah menanti mereka dengan hukuman-hukuman yang sebanding dengan syaitan-syaitan karena sesungguhnya mereka adalah golongan syaitan yang terkutuk.
Lalu mereka bercerita di tengah-tengah orang-orang gampong tentang perjuangan DI/TII Aceh yang sukses seraya memaki-maki dengan kalimat haram jadah, terkutuklah, matilah si Polan yang berkhianat, si Amat Anu, si Polem mati syahid, si Hasan masih hidup juga! Tapi si Hasan kurang ajar karena dia enak-enak di luar negeri, sementara kita di sini kita menahan lapar dan kehabisan peluru. Setelah memaki-maki dengan rasa puas sambil menerima sumbangan orang-orang miskin (amplop). Mereka menuju ke rumah masing-masing serta berjanji bertemu kembali dalam kenduri yang berbeda dengan semangat yang sama. Dan bila waktunya tiba mereka akan kawin lagi memiliki istri muda atau ber-poligami ria. Sambil mengira-gira Ghanimah yang telah dirampas dari Uleebalang di masa lalu dan subsidi pemerintah atas pengkhianat mereka terhadap Aceh. Lalu mereka pulang ke rumah serta acuh tak acuh ketika mereka melihat istrinya sedang shalat serta tanpa berpikir berkata: (Kee nyoe lebeh awai tameeng syuruga darepada kahnyang hai haram jadah! Sabab kee nyoe awak DI/TII Aceh). Kira-kira memiliki arti: “aku akan masuk surga lebih dulu dari pada kamu hai binatang!, karena aku orang DI/TII Aceh”. Lalu tidur dan bermimpi masuk sorga dengan di antar oleh Malaikat Zabaniyah dan bertemu dengan Malaikan Ridwan dan mengatakan: “orang-orang ini adalah alumni DI/TII Aceh”. Malaikat Ridwan memanggil Sjech Muhammad Saman di Tiro dan menanyakan kepadanya tentang “alumni DI/TII Aceh”. Tapi Sjech tidak pernah mengenal mereka, rupanya Sjech hanya menerima informasi dari Teuku Muhammad Daud Cumbok bahwa di Aceh telah muncul kaum ‘pengkhianat’. “Alumni DI/TII Aceh” melihat bahwa Sjech mencium Teuku Muhammad Daud Cumbok”. Malaikat Ridwan menolak mereka masuk surga. Serta mempersilahkan Malaikat Zabaniyah untuk menggiring mereka masuk neraka. Mereka protes dan ingin memberontak kembali”. Karenanya Tuhan telah menempatkan mereka di neraka paling akhir dan tidak akan pernah lagi meninjau keputusannya. Malaikat Zabaniyah menyambut keputusan itu dengan seruan panjang, “Allahu Akbar”! Berarti keputusan itu telah final dan tidak mungkin ditinjau kembali. Baginya inilah “kasus” yang secara aklamasi disambut dengan seruan “Subhanallah”! oleh para malaikat. Dengan begitu para malaikat bersuka cita dengan keadilan Tuhan; tanpa perdebatan, tanpa banding, dan tanpa pengampunan. Mereka di tempat di neraka yang paling jahanam di mana mereka bertemu kembali dengan batalyon-batalyon DI/TII Aceh”. “Di neraka Jahanam sekalipun mereka masih berdebat dengan soal pembagian Ghanimah para Uleebalang”.
Itu pula yang menyebabkan pemikirannya untuk membentuk front pembebasan Aceh. Di mana Tiro tidak melibatkan ‘tukang pidato’ dan ‘guru mengaji’ itu. Karena tidak ada gunanya untuk melibatkan mereka kembali dalam perlawanan Aceh terhadap militer Indonesia. Kali ini ia akan terjun secara langsung dan memimpin serta mengatur seluruh ritme perjuangan sampai pada tahap kemerdekaan Aceh. “Ide” perjuangan Aceh kali ini haruslah berada dalam pengawasannya. Itulah sebabnya gagasan kemerdekaan Aceh akan menghadapi perlawanan yang sangat kuat di mana ‘Kaum Integrasi’ kubunya Daud Beureueeh atau ‘Batalyon Dewan Revolusi’ yang bergabung dikubu Amir Husein Idi dan Hasan Saleh bersama dengan pemerintahan Jakarta secara mati-matian menentang pemikiran itu. Kelompok itu secara brutal dan keji menentang ide berdirinya kembali “Monarchy Aceh” moderent yang dimanifestasikan lewat family di Tiro. Ia bagaikan berjalan dengan sekumpulan kafilah, sementara banyak anjing yang bergonggong siang dan malam, di sekitar jalan raya Aceh. Tiro merasakan ada banyak kematian di antara elit Aceh tentang ide “menghidupkan kembali Monarchy Aceh”. Gagasan itu bagaikan Hantu Sosialisme bagi masyarakat Kapitalis!. Bagaikan hantu Hitler di kalangan masyarakat Yahudi. Bagaikan Gulag di masa Stalin bagi para penentang-penentangnya.
Pada mulanya klaim “idea” Tiro mengundang kontroversi diantara kelompok yang memiliki peran tersendiri dalam pertarungan kekuasaan di Aceh. Kelompok-kelompok itu dapat kita bagi atas 1). Kelompok NKRI (Integrationist), 2). Kelompok Uleebalang (Konservative), 3). Kelompok agama atau Dayah (Puritan), 4). Dan kelompok terpelajar atau Intelektual (Liberal) di semua lapisan klas politik orang-orang Aceh. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa landasan pembagian itu berdasarkan “peran kekuasaan” (Power Participation) yang pernah dilakukan selama masa Monarchy Aceh sebelum Perang Belanda sampai runtuhnya Gubernur Hindia Belanda pada tahun 1942 di Aceh.
Terkecuali kelompok “integrasi” yang tidak memiliki “akar sejarah” terhadap Monarchy Aceh di masa lalu. Kelompok ini juga yang menciptakan konstalasi politik Aceh berada dalam situasi “anarkhis” atau (revolusi sosial) di (1946) di mana mereka melakukan aksi pembunuhan terhadap ulama tradisional yang tidak sepaham dengan PUSA, pembantaian yang terencana dan penjarahan harta Uleebalang, serta menjadi quesling Indonesia di Aceh. Mereka juga yang melakukan kolaborasi dengan Balatentara Jepang di tahun 1942 sebelum masuk ke Aceh. Dan juga melakukan “politisasi” sekaligus “mobilisasi” terhadap kelompok Dayah (Puritan) ketika melaksanakan Kongres I Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pada tahun 1939 di Matang Gelumpang Dua. Kelompok PUSA inilah yang terinspirasi ke dalam cita-cita Republik Hindia Belanda dan memaksakan percepatan Konferensi Meja Bundar (Roundtable Conference) agar transformasi kekuasaan segara dilakukan oleh Ratu Juliana di Den Haag ke regime boneka Jakarta. Tidak ada yang meragukan peran Major General Tituler Daud Beureueeh dalam mendukung cita-cita Republik Boneka Hindia Belanda. Sehingga ia sanggup menyingkirkan lawan-lawan politiknya secara kejam hanya karena berbeda pandangan dalam soal “Republik Boneka”.
Secepatnya anggota-anggota PUSA mendapat kabar mengenai majunya tentara Jepang pada tanggal 8 Desember, mereka mulai mengadakan pidato-pidato propaganda untuk mengobarkan pemberontakan nasional. Di pertengahan Desember, pemimpin-pemimpin PUSA berkumpul untuk bersumpah setia pada negara Islam dan bekerjasama (Kolaborator) dengan Jepang dalam perjuangan melawan Belanda. Mereka merencanakan serentetan huru-hara yang dimotori PUSA. Siaran-siaran prpropaganda Jepang dari Malaya dan kedatangan kelompok Abu Bakar meningkatkan semangat perlawanan mereka. Semakin menindasnya taktik-taktik yang dipakai Belanda, semakin besar pula ketegangan di antara orang-orang Aceh”. Di Sumatera, Jepang dengan sadar menggunakan taktik-taktik devide et impera. Di akhir 1942 dibuatlah rencana untuk menentukan dan melatih satuan Keibitai (satuan polisi) yang terdiri atas satuan-satuan pemuda Aceh untuk dipakai menjaga keamanan dan ketertiban di antara orang-orang Cina baik di Sumatera maupun di Malaya. Jepang menyadari jiwa dan tradisi perjuangan yang dimilikinya terhadap orang lain dan bukan tehadap mereka sendiri. Jepang menganggap bahwa orang-orang Aceh dan Minangkabau berkemampuan lebih tinggi daripada orang-orang Sumatera lainnya. Jepang dengan sendirinya telah meninggalkan “bom waktu” menjelang kekalahannya terhadap sekutu di Asia Timur Raya, khususnya Aceh. Konflik berskala besar telah menanti Aceh di penghujung tahun 1945, yaitu huru-hara sosial atau revolusi sosial.
Pasca peristiwa huru-hara sosial (1945-1947) serta pasca DI/TII (1953-1963) kelompok NKRI (Integrationist) tumbuh menjadi kekuatan politik dan ekonomi yang sangat dominan di Aceh. Mereka memanfaatkan beberapa status istimewa yang diberikan oleh regime Soekarno maupun harta rampasan dari keluarga-keluarga Uleebalang. Seperti Kol. Hasan Saleh yang mendapatkan 1000 Ha kebun teh di Bogor, Amir Hussein mengelola sumber minyak di Telaga Said (cikal-bakal Pertamina), dan beberapa anggota “Dewan Revolusi” mendapakan fasilitas yang sama bahkan diantaranya melebihi Hasan Saleh dan Amir Husein Idi. Sementara sang pencetus DI/TII Aceh Daud Beureueeh , juga mendapat fasilitas perumahan dan gaji yang memuaskan. Sebagai demagogue yang post power syndrome ia mencoba bangkit kembali melakukan perlawanan terhadap regime Jakarta yang mulanya didukung penuh, tapi orang-orang Aceh melihat sebagai ‘lelucon gajah tua’ yang harus mengasingkan diri karena usia alamiah. Ironisnya, “orang-orang Aceh mendukungnya dalam membuat irigasi sepanjang 28 km di Pidie”. Yang lazimnya dapat dilakukan oleh seorang Geujhik di Buloh Blang Ara, Aceh Utara. Agaknya inilah cita-cita yang paling sempurna dari seluruh pekerjaannya di Aceh (selain pertumpah darahan) dari mulai tahun 1920 an semenjak ia mulai tumbuh dewasa sampai akhir hayatnya. Tapi anehnya, Nur El Ibrahimy menganggap “irigasi” itu sama halnya dengan sejarah berdirinya Tembok Raksasa (Great Wall) di Cina dan Taman Tergantung Babylonia di Iraq. Ia dengan logika “apapun” dan dengan “cara bagaimanapun” (semuanya halal) akan tetap membela Major General Tituler Daud Beureueeh, supaya ia juga tidak dituduh pengkhianat oleh mertuannya. Ia kerapkali memakai methode ‘pembesaran’ (Boombastis) atau ‘logika dramatik’ yang kerap ia lakukan di tulisan-tulisannya mengenai sejarah Aceh dalam kaitannya dengan NKRI. Ibrahimy salah seorang pendukung kuat “Orde Provinsional” Aceh ke NRI (Negara Republik Indonesia) yang kemudian berubah menjadi NKRI.
Tak ada basa-basi politik “kelompok integrasi” langsung menolak gagasan Tiro dengan asumsi itu tidak realistik sebab mempertahankan Aceh berada dalam bingkai Indonesia itu sudah final. Bagi ‘kaum integrasi’ mendukung cita-cita “Indonesia Raya” merupakan akhir dari suatu perdebatan. Serta mereka memiliki dictum yang sebanding dengan “Kitab Kuning NU” atau “Komando Merah DI” bahwa “Aceh adalah Indonesia atau Indonesia adalah Aceh”. Seluruh keimanan politik hanya ditujukan kepada semesta Pancasila . Kelompok ini dikenal pula sangat pancasilais, karena pasca pemberontakan DI/TII Aceh, ideologi politik mereka telah berubah secara drastik dan fundamental. Kali ini mereka lebih prakmatis dan realistis menunjukkan suatu ideologi baru yang berkembang di seputar kelompok integrasi.
Dengan diperkuat oleh Seruan Ulama yang diwakili oleh Major General Tituler Daud. Beureueeh cs, pada tanggal 15 Oktober 1945 yang mewajibkan semua orang Aceh wajib berjihad mempertahankan RI. Tapi Seruan Ulama itu pun menjadi absurd dan premature ketika kaum pemberontak DI/TII 1953 meletus dan menuduh regime Jakarta tidak Islami. Padahal sebelumnya “kelompok integrasi” inilah yang paling kuat mendukung Regime Jakarta serta mengakui dirinya adalah “orang Indonesia Raya”. Mereka adalah pendukung kuat Major General Tituler Daud Beureueeh; seperti Nur el Ibrahimy, Amir Hussein (tidak diketahui siapa yang memberikannya gelar “al mujahid”) , Hasan Saleh dan Sanusi Junaid.
Seruan itu akhirnya tidak memiliki keabsahan moral dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara politik. Tidak ada keraguan bahwa eksistensi Seruan Ulama dan semangat pemberontakan DI/TII Aceh lebih banyak dilatar belakangi oleh keinginan yang picik dan sempit. Dalam banyak hal Seruan Ulama lebih mewakili suara kaum nationalist Jawa yang mengalami kebuntuan pemikiran ketika mereka dihadapkan pada aksi militer Belanda di Jawa di penghujung tahun 1949. Sebagaimana yang diamati oleh sejarawan Minangkabau:”Dari sudut inilah sebagaimana informan tak alpa mengingatkan uluran tangan Daud Beureueeh untuk bekerjasama dengan Kartosuwirjo bisa dimengerti. Ia dan kawan-kawannya tak bisa melihat perjuangan terlepas dari konteks keindonesiaan. Aceh baginya memang istimewa, tetapi adalah tetap bagian dari kesatuan yang lebih besar, Indonesia”.
Sebaliknya kelompok Uleebalang (Konservative), secara “diam-diam” masih tetap mengakui posisi Monarchy Aceh walaupun posisi Kesultanan telah “vakum”. Karena Sultan Aceh yang terakhir ditawan (Hostage) oleh Belanda di awal abad ke 20. Meskipun kevakuman kekuasaan di Kutaradja (ibukota Monarchy Aceh) terjadi tetapi masih menyisakan kekuasaan di struktur lokal, disini pada akhirnya Monarchy Aceh masih terus dipertahankan sebelum huru-hara sosial di tahun 1945-1946 yang menghancurkan “eksistensi” Negara Aceh yang berbentuk kerajaan itu. Disini gagasan Tiro cs, masih terus diperdebatkan dikalangan para keturunan Uleebalang meskipun belum ada komunike resmi menolak “Successor State”atau Imagined State nya Tiro. Tetapi posisi “diam” itu harus dimaknai secara bijaksana karena mereka dan anak keturunannyalah yang sampai hari ini mengalami trauma politik dari perseteruan kekuasaan di Aceh. Dan yang paling menyakitkan bagi mereka ketika Monarchy Islam Aceh yang berusia hampir seribu tahun telah hilang dari peta bumi dunia. Dan menjadi sebuah provinsi Indonesia di mana wilayah Hindia Belanda bertahta. Kebalikan dari sejarah Belanda yang menjadi sebuah provinsi Kerajaan Spanyol di abad ke-16 dan membebaskan dirinya dari penjajahan serta mendirikan Kerajaan Nederland di akhir abad ke-16.
Sebaliknya Tiro, tidak menempatkan kelompok agama (Dayah) dalam perseteruan politik di Aceh. Seterusnya posisi mereka lebih pada posisi “moral” kemasyarakatan. Agaknya inilah posisi yang ideal dalam sejarah Aceh. Kelompok ini tidak serta-merta menolak gagasan Tiro cs, dalam soal mendirikan “Negara Aceh” dan juga tidak menolak klaim keluarga (Family) di Tiro dalam perjuangan melawan penjajahan. Sebaliknya juga kelompok Dayah ini sering mengalami “politisasi” oleh “kelompok integrasi” disebabkan kedekatan hubungan dengan Jakarta. Politisasi itu telah mereka lakukan semenjak Kongres I Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) 1939 di Matanggelumpang Dua, Kabupaten Bireun. Dan mereka melakukan politisasi yang sama ketika mereka membuat Seruan Ulama Aceh di tahun 1945 yang mengatasnamakan “Ulama Aceh”. Tidak disangsikan lagi bahwa ketegangan terus berlangsung antara kelompok Dayah dengan kelompok “integrasi” sepanjang sejarah terbentuknya Aceh sebagai provinsi Indonesia.
Ketegangan yang terus berlangsung antara “ulama Dayah” tradisional yang diwakili Sjech Muda Wali dengan kelompok PUSA mengatasnamakan “ulama Aceh” yang dipimpin Daud Beureueh terus berlangsung dengan hebatnya. Adalah Sjech Wali yang menolak diktum ‘revolusi sosial’ yang dilakukan oleh kelompok PUSA. Ia juga yang menolak pertumpahan darah, saling membunuh, merampas harta yang bukan haknya di antara sesama saudara. Sjech juga melihat ambisi-ambisi politik kekuasaan di antara beberapa tokoh PUSA. Secara khusus ia melihat sosok Major General Tituler Daud. Beureueh dan Amir Husin sebagai dua tokoh yang paling bertanggungjawab terhadap proses pertumpah-darahan yang terjadi di Aceh kurun itu. Sjech secara khusus menolak menandatangani Maklumat atau Seruan Ulama pada 15 Oktober 1945 sebagai sebuah sikap dirinya menjauhi kehidupan politik. Karena dalam pandangannya “Ulama Aceh” tidak pantas terlibat dalam politik praktis apalagi memperebutkan kekuasaan. Hampir dapat dipastikan bahwa Sjech Muda Wali merupakan ulama tradisional yang mampu menandingi bahkan berlawanan dengan Tgk. Beureueh dalam soal kehidupan agama dan politik. Itulah sebabnya Sjech menolak terlibat dalam pemberontakan DI/TII Aceh (1953-1963) karena tidak relevan dengan Islam Aceh. Dalam pandangannya tokoh-tokoh DI/TII Aceh adalah “ulama yang cinta tehadap dunia” daripada kehidupan akhirat. Akan lebih baik andaikata mereka mengajar di Sekolah Normal Islam di Bireun dan menjadi Imum di Mesjid Mujahiddin di Beureuneun, Pidie.
Sebaliknya kedekatan hubungan kaum Dayah dan kaum Monarchy Aceh di sepanjang sejarah sangat harmonis dan equal. Disebabkan fungsi Monarchys Aceh telah membagi sistim kerja yang dianut masyarakat moderen sehingga terhindar dari konflik” Adat Bak Peutomeurohom, Hukom Bak Syah Kuala. Dictum inilah yang dipakai oleh Tiro, yang secara structural menolak thesisnya Reid mengenai konflik Ulama-Uleebalang. Bahkan dalam tradisi kehidupan agama di Aceh memiliki spesifikasi tersendiri membahas hubungan antar Uleebalang-Ulama. Dictum itu telah menjadi sistim kerja secara struktural dalam kehidupan tatanegara Kerajaan Aceh sebelum kedatangan Belanda dan masih terus dipertahankan hingga akhir perang kolonial sebelum ‘revolusi sosial’ meletus.Tidak ada yang meragukan hubungan baik yang terbina antara Uleebalang-Ulama dalam konsep perang maupun waktu damai. Itu dapatlah dibuktikan ketika Sjech Muhammad Saman di Tiro dan Teuku Panglima Polem segi XXII mengepung posisi Belanda di Kutaraja. Begitu juga dengan hubungan baik antara Sjech Muhammad Amin di Tiro dan Teuku Umar di Aneuk Galong yang secara terus-menerus menyerang kepentingan Belanda. Tidak diragukan lagi hubungan yang sangat baik antara Teuku Chik di Tunong dengan Teungku Chik Paya Bakong di Samudra Pasai, memasuki episode perang kolonial menjelang awal abad ke 20.
Sedangkan kelompok yang terakhir adalah “kaum intelektual muda” (Liberal) Aceh. Di mana Tiro, mengkhususkan diri untuk terus membina hubungan yang intensif dan berkelanjutan dengan kelompok itu. Kelompok ini sejak semula terpecah-pecah ke dalam bentuk politik aliran yang bermuara pada eksistensi berpikir ala “Indonesia Raya”. Tapi menjelang pasca pencabutan status daerah operasi militer (DOM) di Aceh pada bulan Agustus 1997, kelompok ini membentuk “gerakan intelektual” yang bermula mengkritisi kebijakan politik regime Jakarta dalam menyelesaikan “kasus Aceh”. Protes-protes politik dan HAM terus mengalir deras sehingga membentuk platform bersama tentang perlunya suatu manifesto politik yang lebih keras dan tegas. Konsolidasi gerakan intelektual itu menghasilkan Kongres I Mahasiswa Dan Pemuda Aceh Serantau pada bulan February 1998 di Banda Aceh. Kongres itu melahirkan suatu manifesto politik tentang penentuan nasib (Self-Determination) orang-orang Aceh pasca Daerah Operasi Militer (DOM). Gagasan itu lahir tidak dengan sendirinya, tapi ia lahir berkat situasi nasional kejatuhan regime General Soeharto dan krisis ekonomi Indonesia di tahun 1998. Serta situasi international yang menyelimuti keinginan pemisahan diri secara damai (Secessionists) di Quebec, propinsi Canada yang berbahasa dan berbudaya Prancis (Francophone) dengan Canada berbahasa dan berbudaya Inggris (Anglophone). Serta Timor Leste yang berbudaya Portuguese di Indonesia.
Pada mulanya gagasan “kemerdekaan Aceh” dimaknai oleh mahasiswa sebagai “kemerdekaan berpikir” lazimnya yang dimiliki dunia kampus. Tapi eskalasi politik dan pembunuhan yang terus-menerus pasca DOM membuat konteks pemikiran berubah menjadi ‘aksi kemerdekaan’. Bahwa pertemuan-pertemuan mahasiswa Aceh di seluruh Jawa menjelang tahun 1998 menghasilkan suatu deklarasi tentang pentingnya konsolidasi bersama. Rentetan pertemuan Jakarta-Bandung-Yogyakarta yang dibuat oleh Komite Mahasiswa dan Pemuda Aceh Nusantara (KM-PAN) menghasilkan momarandun bersama tentang “pentingnya meninjau kembali status hubungan Aceh-Jakarta”. Maka Komite ini yang merekomendasikan Kongres Mahasiswa dan Pemuda untuk memperdebatkan kembali status itu ke dalam diskursus politik. Kerjasama antara KM-PAN dan KARMA (Komite Aksi Reformasi Mahasiswa Aceh) memasuki bulan February awal 1998, terselenggara untuk pertama kalinya Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) di Kutaraja yang diikuti hampir seluruh organisasi formal-nonformal baik yang berbasis di Aceh ataupun non Aceh. Maka lahirlah dua keputusan politik: 1). Menyelesaikan kasus Aceh dengan penentuan nasib sendiri (Self-Determination). 2). Melahirkan suatu organisasi yang mensosialisasikan Referendum ke seluruh pelosok Aceh maupun di luar Aceh, yang diberi nama SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh).
Untuk menepis isu-isu yang semakin kuat berkembang dikalangan sayap militer GAM bahwa arah keputusan-keputusan kongres tidak berpihak pada rakyat Aceh. Maka atas inisiatif informal beberapa mahasiswa Yogyakarta, untuk pertama kalinya delegasi mahasiswa membuka jaringan informasi ke pusat Gerakan Aceh Merdeka di Swedia. Yang signifikansinya bermuara memastikan “pembicaraan tentang masa depan Aceh”. Delegasi itu langsung diterima oleh Tiro dan seluruh staff politiknya. Agaknya itulah suatu pertemuan formal anggota kongres mahasiswa dengan ketua Front Pembebasan Aceh beserta jajaran kabinet dan panglima-panglima militernya. Untuk pertama kalinya Mahasiswa Aceh memberanikan diri terlibat ke dalam wilayah yang tabu dimasuki yaitu ke arena politik gerakan pembebasan nasional Aceh. Pembicaraan itu berlangsung dengan ketatnya. Delegasi memberi draf kongres tentang “solusi Aceh” yang komprehensip dan menyeluruh melibatkan partisipasi rakyat, yaitu Referendum. Semenjak itu kesimpang-siuran, polemik, isu dan hubungan mahasiswa dan gerakan pembebasan terbina dengan baik. Komunikasi dengan pihak ‘pemerintahan bayangan’ (Governing in Exile) di Swedia telah memberi angin segar hubungan moral sebelum berlanjut dengan hubungan politik ideologis.
Tiro dalam pertemuan itu, memahami sepenuhnya tentang fenomena internasional termasuk yang disaksikannya di Canada dan Timor Leste. Ia menerima Referendum sebagai sebuah kecenderungan internasional yang tak terbantahkan. Tapi ia menerima Referendum untuk penyelesaian Aceh dengan catatan-catatan yang kritis. 1). Bahwa isu Referendum merupakan suatu kecenderungan kontemporer yang melanda dunia internasional pasca Perang Dingin berdasarkan dua kasus; Canada dan Timor Leste dan tidak tertutup kemungkinan menjadi instrumen moderen penyelesaian konflik (Conflict Resolution) antara Aceh-Indonesia. 2). Sebelum Referendum menjadi suatu kenyataan international atau menjadi kesepakatan antar pihak yang bertikai harus ada pendidikan politik (Politic Education) di kalangan orang-orang Aceh secara fundamental dan keseluruhan. 3). Adanya politik partisipasi gerakan mahasiswa Aceh ke dalam politik Gerakan Pembebasan Aceh. 4). Gerakan Aceh Merdeka akan mendukung sepenuhnya isu Referendum. 5). Pemerintah Indonesia harus juga mengakui penyelesaian solusi Aceh lewat mekanisme international, yaitu Referendum. Dan 6). Adanya tim monitoring international yang bertindak sebagai mediator (PBB atau State Actor) .
Kesepakatan terhadap 6 points itu tentu melahirkan ‘Gentle Agreement’ yang mengikat antara anggota Kongres Mahasiswa dan Front Pembebasan Aceh. konsekwensi-konsekwensi baru yang tidak kecil bagi gerakan mahasiswa Aceh. Di satu pihak pemerintah Indonesia secara sedikit demi sedikit mulai mencurigai terutama pihak keamanan TNI dan kepolisian atas keterlibatan mahasiswa di daerah konflik Aceh. Kedekatan Mahasiswa dengan Front Pembebasan Aceh ditafsirkan sebagai “instrumen” politik yang pada akhirnya mendorong aparat Indonesia untuk menangkapi beberapa mahasiswa di Banda Aceh maupun di beberapa kabupaten Pidie, Aceh Timur, Aceh Utara dll. Itu menyebabkan eskalasi politik mulai meningkat di Aceh. Di pihak lain posisi gerakan mahasiswa mulai establish di tengah-tengah konflik. Kerja-kerja kemanusiaan yang dilakukan oleh para aktifis mahasiswa diterima dikalangan para pengungsi yang membuat tempat-tempat penampungan sementara. Akhirnya gerakan mahasiswa terlibat dalam perseteruan antara pihak front pembebasan Aceh dengan Pemerintah Indonesia.
Tiro memiliki kesan tersendiri terhadap sejarah masa lalunya, terutama ketika ia menghabiskan antara tahun (1948-1949) menjadi mahasiswa di Yogya. Dalam pandangannya kota itu telah menjadi “kantong oposisi” yang keras terhadap pemerintahan regime Soekarno maupun General Soeharto. Ia menempatkan diri secara terus-menerus mengamati gerakan mahasiswa dan dinamika yang ditimbulkannya terhadap regime. Ia menyebut Yogya sebagai “kota Multatuli” (Multatuligraat). Kota di mana regime militer tidak sepenuh bisa dicangkokkan. Kota di mana pikiran-pikiran Karl Marx, Lenin, Trosky hidup subur tetapi “tidak memiliki” pengikut. Kota di mana Muhammadiyah bermegah diri tetapi para pengikutnya “menolak mengikuti” ajaran-ajaran Kiyai Dahlan. Kota di mana Kasultanan Islam paling lama bertahan di Jawa, tetapi bukan Kerajaan Islam dalam arti yang sesungguhnya. Kota yang paling digemari oleh para Misionaris Katholik dan Zending Protestan karena dapat membangun “apologi-apologi perdamaian” dalam kitab suci. Kota yang paling dibenci oleh Gesang karena tidak mampu melahirkan inspirasi lagu. Kota di mana Prof. T. Jakob (ahli Purbakala) memiliki anggapan sebagai tanah kelahirannya. Kota di mana kebenaran pemikiran sedikit lebih maju daripada aksi brutalisme.
Agaknya Tiro tidak pernah melupakan sejarah hidup yang pernah dialaminya. Ia tergolong revolusioner romantisme. Di kalangan segenerasinya ia tergolong manusia brilyan dengan pikiran-pikiran yang progresiv. Bahkan seorang ahli purbakala Aceh kenamaan mengakui kecerdasan dan bakat alami yang dimilikinya. Tiro, tetaplah kontroversial di kalangan pemerintahan Jakarta, di kalangan orang-orang Aceh, bahkan di kalangan gerakan pembebasan itu sendiri. Ia dihormati karena kecerdasan alaminya dan dihormati oleh pasukannya karena ia seorang ahli strategi atau ‘Napoleon Aceh’ . Di atas segalanya ia disegani karena nama besar dari family di Tiro. Di mana seluruh jagad politik Kutaradja dan Den Haag secara sungguh-sungguh hormat setinggi-tingginya terhadap family di Tiro, karena perlawanannya yang tak kenal menyerah dan menjunjung tinggi kehormatan perang. Baginya perang adalah alat untuk mempertahankan diri dan bukan sebagai alat kolonial dan penindasan manusia.
Di samping itu, Tiro juga bukanlah seorang yang menyerah pada takdir politik. Ia tidak juga seorang fatalis dalam arti menyerah pada keadaan yang rumit dan kompleks. Situasi objektif dalam pemikirannya adalah berpikir dan bekerja dengan nalar dan seleranya. Ia tidak pernah menciptakan ketergantungan diri yang tinggi terhadap bantuan asing. Sesuatu yang kadang-kadang paling dibenci oleh negara-negara donor yang mencoba memberi ‘deposit’ bantuan moral dan politik. Bagi Tiro bantuan tersebut harus memiliki kaitan langsung dengan gerakan Pembebasan Aceh dan sifatnya ‘bebas tafsir’. Artinya tidak memiliki ketergantungan dan juga tidak memiliki asumsi bahwa sang donatur dapat mengintervensi setiap kebijakan-kebijakan Front. Ia menginterupsi dengan keras bila ada perwakilan negara-negara donor yang mencoba menciptakan kebijakan atau mengatur urusan internal gerakan. Baginya Front Pembebasan Aceh Sumatera adalah “Negara Aceh” yang tidak boleh diintervensi dalam persoalan apapun dan dimanapun. Bagi Tiro negara adalah suatu keimanan baru. Ia tidak ubahnya sebagai suatu bentuk kesucian yang tidak boleh dikotori oleh kekuatan asing. Ia hanya sedikit ekstrim terhadap pemikiran itu. Tapi dengan maksud bahwa ia mencintai cita-cita yang sedang ia perjuangkan.
Tiro hidup dengan imaginasi yang tinggi serta daya tahan yang terus bergerak terhadap obsesitasnya. Bagi orang-orang Aceh pasca DI/TII, Tiro telah menjadi ‘monumen pemberontakan’ (Rebellion Monument) terhadap Aceh dalam waktu kini maupun yang akan datang. Orang-orang Aceh begitu familiar dengan namanya, seakan pembicaraan terhadap politik kontemporer Aceh, dengan tidak melibatkan namanya menjadi absurd dan illegal. Namanya telah bergema sedemikian kuatnya dalam telingan penguasa regime militer General Soeharto selama dua dekade yang lalu. Tidak disangsikan lagi beberapa jenderal-jenderal yang terlibat dalam Operasi Militer di Aceh begitu familiar dengan nama pemberontak yang legendaris itu. Begitu juga dengan namanya di kalangan serdadu Indonesia di Aceh, yang membuat mereka ‘berjaga’ siang dan malam bahkan membuat mereka ‘bersalah’ seumur hidup.
Nama Tiro juga telah membuat regime transisi Habibie mengalami ‘transisi sikap’ dalam menentukan kebijakan di Serambi Mekkah. Begitu juga dengan Pemerintahan Sipil Wahid, yang biasanya selalu tertawa ketika “dibisikan” sesuatu tapi tidak dengan nama Tiro yang seketika membuat dirinya marah dan emosional. Begitu juga dengan pengganti Wahid, Megawati Soekarnoputri yang selalu “menghindari” pertemuan meskipun itu merupakan “pertemuan imaginer” dengan Tiro. Dalam kacamatnya yang baru Presiden telah menganggap bahwa Tiro merupakan musuh yang abadi. Sesuatu pemikiran yang menolak diktum politik universal, “tiada musuh yang abadi, yang ada adalah kepentingan”. Bagi Megawati mempertahankan NKRI adalah final sesuai dengan doktrin TNI yang selalu menjaga integritas politiknya di hadapan rakyat. Sebaliknya bagi Tiro perjuangan menuju pembebasan Aceh adalah final. Tinggal bagaimana menyelesaikan ‘persoalan Aceh’ secara spesifik dan menyelesaikan ‘persoalan Indonesia’ secara umum dalam tafsir finalitas. Dua persoalan yang ‘serangkai’ akan terus menjadi agenda besar pemerintahan Megawati maupun pemerintahan yang akan datang. Proporsi masalah akan tetap berkisar pada pendulum militer yang terus bergerak mengisi dan memperebutkan kantong-kantong gerilyawan membentuk lini konsentrasi panjang yang membutuhkan waktu yang lama. Di samping itu pendulum politik yang hanya digunakan sebagai ‘alat militer’ untuk memenangkan perang di Aceh. Pada prinsipnya perang gerilya hanya dapat ditaklukan secara sempurna oleh seni politik tingkat tinggi, yang justru tidak dimiliki oleh para ahli strategi militer di Jakarta.
Tidak ada seorangpun yang mengetahui apa dan bagaimana seorang Tiro (The Tiro Man). Hanya sejarah Aceh yang mengetahui persis siapa dirinya. Apa yang telah dirintisnya merupakan suatu babak baru yang mesti dicermati secara terus-menerus. Boleh jadi Tiro merupakan musuh abadi bagi Pemerintahan Jakarta atau siapapun yang akan menjadi Presiden Indonesia. Ia menjadi musuh dari sebagian besar masyarakat Indonesia dan menjadi teman sebagiannya lagi. Musuh bagi sebagian kecil rakyat Aceh. Dan juga teman bagi sebagian besar dari orang-orang Aceh. Ia bergerak dengan logika yang berlawanan dengan sejarah PUSA, DI/TII Aceh, bahkan melawan dengan kerasnya logika NKRI. Ia tidak pernah menulis sejarah Aceh di atas air, karena akan hilang dengan seketika.
Sebaliknya Ia telah berdiri tegak di atas idenya dan menulis sejarah Aceh di atas pikiran orang-orang Aceh. Suatu pemikiran yang secara terus-menerus berdialektika di sepanjang sejarah perlawanan Aceh selama beberapa abad. Kini ‘Dialektika Aceh’, diskusi, aksi, konsolidasi, dan refleksi, itu telah dipaksa keluar dari ‘endapan sejarah’ dengan cara ke-Aceh-an, yaitu dengan cara menghantam akal mereka dengan tantangan (Challenges). Suatu tugas yang tidak mudah dengan tingkat kesulitan tinggi untuk dikerjakan bagi siapapun orang-orang Aceh.
Tantangan itu tidak datang dari lapisan rakyat Aceh seperti tukang jahit, guru mengaji, nelayan, petani tetapi datang dari tradisi kepemimpinan masa lalu (Uleebalang) Aceh. Kepemimpinan inilah yang telah memberikan begitu banyak inspirasi politik, sosial, ekonomi, agama dan kebudayaan, serta filsafat kenegaraan Aceh. Yang tidak pernah padam dan hilang meskipun dihantam oleh “revolusi sosial” ‘orang-orang berkupiah’ PUSA—di mana orang-orang sosialis menyakini adanya perubahan mendasar—dan munculnya regime kaum ‘Fasisme Islam’ yang bermetamorphose dari PUSA ke DI/TII Aceh yang ‘menyerah’ dan ‘gagal’ mengalahkan regime Jakarta. Adalah tradisi kepemimpinan masa lalu (Uleebalang) memiliki survivalitas tinggi, sesuatu yang tidak dimiliki oleh ‘orang-orang berkupiah’ itu dengan loncatan pemikiran ke depan. Menjadikan Aceh terus hidup dengan tradisi kenegaraan ketimbang ‘tradisi provinsionalisme’ yang di gagas oleh Major General Tituler Daud Beureueeh.
Pemikiran kenegaraan Aceh (Uleebalang) akan terus hidup dalam pikiran orang-orang Aceh di waktu lalu, di masa kini maupun di masa yang akan datang. Bagaimanapun tradisi kepemimpinan masa lalu adalah inspirasi Aceh menjelang pergantian sistim yang lebih mendasar dari tradisi provinsionalisme menuju tradisi Negara Aceh. Dari Kuta Lemmeulo, sejarah Aceh kembali dirintis tahap demi tahap, puing demi puing, dan hebatnya lagi orang-orang Aceh mengakui kedigjayaan konsep kepemimpinan tradisional (Uleebalang) Aceh, tidak hancur oleh kuatnya amukan badai (Strom) revolusi sosial di Aceh. Yang justru mereka yang terlibat dalam revolusi sosial di Aceh hidup dari ‘kasih sayang keilmuan’ Uleebalang. Tidak ada Uleebalang yang menyerah! Yang ada adalah kepalsuan.












Bab: IV

Strategi Menghadapi Aksi Militer Indonesia



Tidak disangsikan lagi pengaruh situasi international kontemporer memberi andil besar didalam pengerasan gerakan intelektual Aceh untuk ambil bagian dalam konflik yang berusia setengah abad antara Aceh-Indonesia. Kesadaran indentitas dan inferior complex berbaur dalam sebuah mozaik ala Aceh, yang akhirnya menjadi sebuah kesadaran universal. Tidak ada yang meragukan keterlibatan gerakan intelektual dalam konflik, apalagi ia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari konflik itu sendiri. Di sini Tiro, telah memainkan jurus-jurus mautnya dengan menguggah kesadaran intelektual terutama tulisan-tulisannya yang provokativ dan imaginativ. Serta-merta memberi pengaruh yang tidak kecil bagi gerakan intelektual Aceh untuk mendukung ‘Imagined State’ atau ‘Negara Imaginer”-nya.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Edward Shils, tingginya derajat keterlibatan politik kaum cendekiawan di dunia yang terbelakang merupakan suatu gejala yang kompleks. Ia memiliki tiga akar. Sumber utamanya adalah mendalamnya hubungan dengan penguasa. Meskipun ia berusaha dan seolah-olah tampak terpisah dari penguasa dengan kekuasaan yang dibesarkannya, dibandingkan dengan rekan sejawatnya di negara yang lebih maju ia lebih memerlukan kelekatan dengan entitas penguasa. Sumber kedua dari keterlibatan politik adalah langkanya kesempatan untuk mendapatkan peningkatan dalam pekerjaannya. Akhirnya, kurangnya tradisi kenegaraan di negara terbelakang yang mempengaruhi kaum cendekiawan seperti halnya ia mempengaruhi kaum yang non-cendekiawan. Dengan sendirinya, Tiro telah membuka ‘kotak pendora’ bagi masa depan Aceh di mata masyarakatnya. Dalam kacamata dihadapan bangsa-bangsa Melayu serta dihadapan bangsa-bangsa di dunia yang beraneka. Kini Ia tidak sendiri lagi dalam membangun pemikirannya.
Sebagai bagian dari orang-orang Aceh, Tiro memiliki pengetahuan yang sempurna lazimnya dimiliki oleh para tokoh negarawan. Ia mengetahui dengan benar “apa” (What) dan “bagaimana” (How) tentang Worldviews-nya orang-orang Aceh. Ia menciptakan suatu Departement Agitasi dan Propaganda (Agitrop) yang dikemudian hari menjadi “mesin politik tanpa suara dan ada di mana-mana”. Sebagaimana yang didefinisikan secara sangat tepat oleh Terrence Qualter, usaha yang disengaja oleh beberapa individu atau kelompok melalui pemakaian instrument komunikasi dengan maksud bahwa pada situasi tertentu reaksi dari mereka yang dipengaruhi adalah seperti apa yang diinginkan oleh sang propagandis. Tujuan propagandis adalah mempengaruhi pendapat dan mendorong munculnya suatu aksi di antara para sasarannya. Ia tak tertarik untuk mendidik manusia yang menjadi sasaran propaganda, untuk meningkatkan atau memperbaiki sikap tentang mengembangkan pendapat diantara mereka yang meskipun berlangsung singkat bisa cukup untuk mendukung tindakan yang diinginkan pada saat kritis.
Mesin propaganda itulah yang memporak-porandakan ‘bangunan ide’ Republik yang ditanamkan sejak revolusi social dan pemberontakan Darul Islam dalam pemikiran orang-orang Aceh. Keberhasilan mesin propaganda itu dengan sendirinya telah mencabut akar yang ditanamkan sedemikian dalam di kepala dan jiwa orang-orang Aceh. Mesin propaganda itu telah menempatkan logika Aceh sebagai alternative terakhir dan final terhadap kenyataan posisi Jakarta di Aceh. Sebaliknya juga akan semakin mengkristalnya opini dan keinginan untuk ‘berjarak’ dengan Jakarta. Itu artinya ruang konflik akan semakin terbuka, keras, brutal, dan kejam. Sungguh suatu fenomena yang tak dapat dipercaya mengenai hubungan Kutaradja-Jakarta. Yang dalam pemikiran orang-orang berkupiah PUSA maupun DI/TII Aceh, hubungan itu bagaikan ‘tali kasih’ antara kakak (Major General Tituler Daud Beureueeh) dan Adik (Soekarno). Tapi pada kenyataannya, Tiro telah menghancurkannya hubungan tali kasih itu ke dalam hubungan yang paling ekstrim dan kejam antar dua simbol Kutaradja-Jakarta. Saling tidak mengakui, saling baku bunuh dan pada akhirnya saling menghancurkan eksistensi masing-masing pihak. Kebencian itu telah masuk dalam ‘aliran darah’ dan sekaligus membentuk ‘cara pikir’ masing-masing pihak untuk mempertahankan keberadaannya.
Jauh hari ia memiliki jaringan (Networking) yang sangat kuat terbina bertahun-tahun lamanya dengan generasi Aceh tempo dulu, sebut saja Umar di Tiro (generasi keempat dari Family di Tiro meninggal di tahun 1980-an awal), dan keluarga Tgk. Hasby Geudong . Belum lagi dengan jaringan-jaringan yang tersembunyi dan rahasia. Memberi efektivitas mesin propagandanya menembus lapisan terbawah sampai ke tingkat atas lapisan orang-orang Aceh. Tiro telah menciptakan filsafat komunikasi di luar batas-batas ideal manusia. Artinya ia menempatkan mesin propagandanya di samping bantal tidur orang-orang Aceh. Ia mengetahui saat yang paling tepat untuk mewariskan pemikirannya itu di saat menjelang tidur di malam hari. Di sinilah perputaran pemikiran orang-orang Aceh bergelut antara idealisme masa lalu yang selalu menarik hati. Dan realisme masa kini yang terkadang sangat menjijikkan (Nasty) serta harapan-harapan indah di masa yang akan datang bergelut dalam akal orang-orang Aceh. Nyaris aroma panggilan itu bersahut-sahutan di malam yang gelap dan tak bertepi.
Nyaris seluruh keluarga-keluarga yang dimiliki oleh orang-orang Aceh, terutama yang langsung memiliki hubungan dengan sejarah perjuangan Aceh di masa lalu mengetahui tentang gerakan pembebasan Aceh yang digagas oleh Tiro. Keluarga Tiro (Family di Tiro) dan keluarga Tgk. Hasby Geudong adalah salah satu contoh dari sekian banyak keluarga-keluarga para pahlawan Aceh yang terlibat dalam gerakan itu. Jaringan itulah yang telah membangun hubungan persekawanan dan persaudaraan yang kukuh dan kuat di sekitar perjalanan organisasi perlawanan Aceh itu. Belum lagi dengan sel-sel jaringan yang terselubung rapat hingga tidak diketahui oleh orang-orang awam pada umumnya.
Di daerah Tamiang, Tiro membangun sel jaringan komunikasi dengan keluarga Tgk. Syamaun (Gubernur Tamiang I) yang memiliki reputasi tinggi di kalangan masyarakatnya, tewas dalam suatu perkelahian dengan tentara Indonesia di sekitar tahun 1976 akhir. Di Peureulak juga Tiro, membangun sel jaringan komunikasi dengan keluarga Tgk. Zubair Machmud (merangkap Menteri Sosial dan Gubernur Peureulak I) yang juga tidak diragukan integritas dan kridebilitas dihadapan masyarakatnya. Ia tewas dalam baku tembak dengan tentara Indonesia di tahun yang sama. Dalam konteks yang sama di Pasai Tiro menjalin hubungan yang sangat dekat dengan keluarga Hasby Geudong. Di Batee Illiek, Tiro juga tidak tinggal diam dalam membangun sel jaringan komunikasi dengan para keluarga yang terlibat dalam Pertempuran Batee Illiek yang heroik dalam masa perlawanan Monarchy Aceh dengan Belanda antara tahun 1880-1905, dimana General Heijden tertembak matanya. Adalah keluarga Tgk. Idris Ahmad (Gubernur Batee Illiek) yang memainkan peran penting membangun kekuatan perlawanan. Di Pidie, selain membangun sel jaringan dengan keluarganya Tiro juga membangun sel jaringan dengan keluarga Tgk. Daud Paneuk, keluarga Geujhik Umar , dan keluarga Tgk. Usman Lampoh Awe, dll.
Selain itu juga, di Aceh Besar Tiro membangun kontak dengan keluarga Tuanku Ibrahim anak dari Sultan Aceh terakhir. Begitu juga ia terus menjalin komunikasi yang intensif dengan keluarga-keluarga pahlawan di pantai Barat, Aceh Selatan, dan terus ke Tanah Alas. Dan juga tidak pernah memutuskan sel jaringan komunikasi dengan keluarga Linge, terutama Tgk. Ilyas Leube di Gayo. Ia menyadari pentingnya hubungan persaudaraan itu hingga mencapai tahap politik ideologis.
Tidak ada yang meragukan peranan keluarga-keluarga para pahlawan Aceh terlibat secara aktif dalam membangun legalitas perjuangan ASNLF/GAM terutama Tiro di mata orang-orang Aceh. Mereka juga melakukan ikatan-ikatan perkawinan untuk mengikat tali persaudaraan yang abadi yang lazimnya dimiliki oleh orang-orang Aceh. Persekutuan antar keluarga dalam membangun sel jaringan perjuangan telah lama belangsung di Aceh. Gerakan itu berlangsung efektif untuk mendukung organisasi perjuangan Tiro sampai ketahap yang krusial. Dengan sendirinya ide-ide Tiro telah menjadi polemik kuat. Diperbincangkan dalam waktu makan siang, dan didiskusikan secara lebih serius setelah makan malam selesai. Dalam sistim pemikiran orang-orang Aceh, mereka memilih waktu untuk mendiskusikan suatu persoalan yang maha penting. Kebiasaan waktu yang dipilih orang-orang Aceh terhadap persoalan-persoalan krusial dan fundamental adalah pada waktu selesai magrib dan shalat Isya. Serta dilanjutkan dengan makan malam setelah itu baru mereka mendiskusikan persoalan maha penting itu. Serta mengakhirinya menjelang fajar tiba.
Tidak diragukan lagi orang-orang Aceh telah melakukan perbincangan yang kuat dan dialektis tentang gagasan-gagasan Tiro, untuk mendirikan “Negara Aceh”. Melihat populeritas gerakan pembebasan itu di Aceh. Mustahil dapat terbina dengan kuat dan solit dalam jangka waktu singkat. Tentu saja ada kekuatan yang “tak terlihat” (Clandestine) yang secara terus-menerus melakukan ‘diskusi, konsolidasi, aksi dan refleksi’. Tiro menyebutnya dengan ‘lingkaran dialektika Aceh’. Dialektika itu yang terus bekerja sepanjang waktu tanpa henti-hentinya. Membangunkan mereka yang sedang tidur. Menghentikan kerja petani sejenak untuk mendengar ide Tiro. Memaksa para nelayan untuk berpikir. Serta mengasah otak kaum terpelajar tentang daya tarik “negara baru”(yang sebetulnya ide klasik) dan juga memaksa para politisi menghitung rugi posisi politiknya, memilih antara dua hal yang sama ekstremnya RI atau GAM. Serta menggoda kembali kaum Uleebalang untuk terlibat dalam gerakan pembebasan Aceh setelah sekian lama vakum karena (peristiwa revolusi sosial dan pemberontakan DI/TII Aceh). Terutama mengenang kembali tentang sejarah Monarchy Aceh yang jaya dan kuat. Serta memaksa kaum Dayah untuk mencari ayat-ayat baru untuk melegitimasi gerakan pembebasan kearah penyatuan visi yang kuat dan kokoh menuju ‘struktur perlawanan besi” (Iron Resistance Structure) Uleebalang-Ulama sebagaimana yang telah diperlihatkan dalam sejarah Perang Aceh-Belanda selama tujuh dekade (1873-1942). Struktur itu begitu kokoh dan kuat sehingga membentuk ‘sel-sel besi’ perjuangan ke tahap paling fundamental. Tetapi menjelang masuknya balatentara Jepang ‘struktur perlawanan besi’ dan ‘sel-sel besi’ menjadi hancur. Karena kehadiran ‘kaum berkupiah’ (PUSA) telah merusak ‘relasi suci’ (Holy Relation) itu ke arah pemusnahan.
Serta-merta membuat ‘kaum Integrasi’ menderita amnesia, diabetes, hypertensi dan histeria mendengar ide Tiro. Sebagian tokoh-tokoh PUSA atau DI/TII Aceh seperti; Hasan Saleh, Ali Hasjmy, Nur El Ibrahimy, Sanusi Junaid, dll, mengalami ‘shock’ ketika Tiro memulai aksi politiknya. Seluruh tokoh-tokoh yang terlibat dalam Penyelesaian Aceh di tahun 1963, merasa dikhianati oleh Tiro dengan gerakan yang ia bangun sendiri. Mereka merasa iri kenapa kami tidak dilibatkan? (Peken kamoe hana diperoh?) Tanya mereka. Mereka merasa telah dilangkahi oleh ‘mahasiswa’ dari Amerika yang tidak mengerti tentang militer dan hanya mengetahui sedikit tentang diplomasi. Tetapi Tiro memang tidak mengundang mereka. Ia hanya datang dan berbicara dengan orang-orang Aceh. Ia memasuki ‘kawasan sakral’ pemikiran orang-orang yang selama ini tidak tersentuh oleh tokoh-tokoh PUSA dan DI/TII Aceh. Tidak ada sesuatu yang paling diminati di Aceh selain “tantangan” (Challenges). Tiro telah berhasil menggoyang kesadaran orang-orang Aceh untuk menerima tantangannya yang sesungguhnya itu menjadi ‘batu hitam’ filsafat politik orang-orang Aceh.
Memasuki tahun 1989-1990 an awal, agaknya regime General Soeharto mulai gerah memahami dinamika politik yang terjadi di Aceh, khususnya GAM dibawah pimpinan Tiro. Regime bersiap-siap melakukan Operasi Militer yang terbesar di kurun tersebut dengan melibatkan pasukan terlatih dan teorganisir. Di pertengahan tahun 1990 (TNI) menjawab dengan pengiriman operasi militer yang disebut “Operasi Jaring Merah” (Red Net Operation) dengan objek mengakhiri pemberontakan selama 6 bulan. Di bulan Juli 1990 sekitar 5,000 sampai 6,000 disebarkan ke Aceh, terkenal dengan kesadisannya (Notorious) Kopassus (Komando Pasukan Khusus), dan adanya kepastian jumlah total di provinsi itu menjadi 12,000 serdadu. Sangat brutal, menciptakan terror dan membentuk pasukan milisia, menjadi karakter utama operasi militer. Pihak serdadu keamanan mengadopsi suatu strategi “Shock Therapy”—dengan penangkapan liar, penyiksaan, pemerkosaan, penghilangan serta membuang mayat di pinggir jalan. Sebagai justifikasi pendekatan keamanan, pemerintah menetapkan untuk melakukan perlawanan terhadap gerakan yang dinamakan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK).
Tanggung jawab mereka terhadap keamanan national menyebabkan mereka membesar-besarkan, kekuatan musuh, bertindak terhadap suatu kemungkinan ancaman seolah-olah ia merupakan ancaman yang sebenarnya dan mengandaikan apa yang mungkin terjadi sebagai sesuatu yang pasti akan terjadi kecuali diambil langkah-langkah pencegahannya. Peningkatan control yang efektif terhadap militer dan sistim intelligent menuntut suatu usaha dari masyarakat sipil dan masyarakat politik untuk menggalang kekuatan diri mereka guna meningkatkan kemampuan mereka sendiri dalam melakukan control. Di dalam negara, suatu percampuran paradoksal dari sedikitnya pengangkatan militer yang bersifat politis dan penggabungan lembaga militer yang lebih sistematis dan professional ke dalam dewan keamanan national serta akademi pertahanan national yang dipimpin oleh kalangan sipil, dapat mengurangi perasaan terisolasi pada militer serta menciptakan pertukaran informasi dan tuntutan bersama yang lebih efektif, yang dengan demikian akan meningkatkan kemampuan control yang demokratis. Pemerintah Jakarta telah menafsirkan sendiri kenyataan politik yang terjadi di Aceh. Agaknya perang telah menjadi agenda militer di luar arena politik. Suatu dentuman meriam telah disiapkan!
Puluhan ribu penduduk desa dikerahkan untuk memburu anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Menurut Ibrahim Hasan, Gubernur Aceh, sekitar 60,000 orang dimobilisir untuk membantu operasi keamanan dan inteligen. Hal yang membentuk strategi ini adalah dengan melibatkan rekruitmen penduduk lokal, dan dalam beberapa kasus mereka dilibatkan sebagai mata-mata dan informan. Methode ini jelas dibuat untuk mempertinggi tensi konflik sesama Aceh. Sementara beberapa methode jelas memperlihatkan perkembangan di antara sesama Aceh tertuju pada militer, angkatan bersenjata Indonesia mencoba menetralisir ancaman militer oleh Aceh Merdeka. Di tahun 1992 banyak di antara mereka terbunuh, ditangkap atau menyeberang ke Malaysia bersama dengan ratusan pengungsi. Lebih dari itu, perang pembebasan dapat diharapkan untuk menyerang keyakinan para pemimpin. Musuh mengubah taktiknya. Pada moment yang tepat dia menggabungkan kebijakan represif brutal dengan isyarat persahabatan yang spektakuler, manuver-manuver yang dihitung untuk menebarkan perpecahan, dan ‘aksi psikologis’.
Tapi Tiro, menafsirkan operasi militer “ala indonesia” itu dengan langkah diplomasi sederhana dan bersahaja. Artinya ia memberi ijin kepada para pendukung maupun simpatisannya untuk sementara waktu “bermuara” ke negara Malaysia. Ia telah menyiapkan langkah “diplomasi exsodus” ala ‘Chiang Khai Shek’, menghadapi repressivitas tentara pendudukan Indonesia di Aceh. Ia memahami langkah diplomasi itu akan berhasil meraih simpati international, setidak-tidaknya opini international membesar karena melibatkan politik dunia Melayu. Ia memahami sentimen Melayu terkadang memberi bantuan yang tak ternilai bagi perjuangan pembebasan. Tetapi di sisi lain bahwa kenyataan regime sipil UMNO begitu kuat menjalinan komunikasi politik dengan orang kuat Indonesia. Dilemma itu memang terjadi dalam diri Tiro. Tapi ia tidak pernah ragu untuk menjalankan misinya dengan resiko yang tidak kalah beratnya. Gelombang pengungsi berdatangan secara terus-menerus di pantai-pantai negeri Malaka, Penang, Kedah, Johor, Negeri Sembilan, Pahang dan Kuala Lumpur. Menurut salah seorang pengamat:” Sementara konsentrasi angkatan bersenjata GAM setelah mereka menerima training di Libya, organisasi itu memiliki “pemerintahan bayangan” yang berbasis di Swedia dan komando operasional tetap terpelihara melewati Selat Malaka dari Aceh ke Malaysia. Secara historis, Aceh memiliki hubungan yang sangat dekat dengan selat itu, dan komunitas orang-orang Aceh di Malaysia berjumlah 10,000, “kaya dan berpengaruh”, dan menjadi sumber dana bagi GAM”.
Untuk langkah pertama diplomasi itu, ia menyiapkan pola sederhana meraih “dukungan pribumi” dikalangan orang-orang Melayu. Di Malaysia, kehidupan orang-orang Aceh itu lebih dikenal dari pada ethnik lainnya. Saya melihat dengan jelas bahwa orang-orang Aceh ini memiliki kehidupan yang setara dengan Melayu, Cina, dan India. Artinya orang-orang Aceh memiliki legitimasi sejarah yang sebanding dengan ethnik Cina dan India dalam beberapa hal ia lebih mirip dengan kehidupan orang-orang Melayu. Warisan sejarah ini yang membuat langkah diplomasi Tiro menjadi lebih matang dan terorganisir.
Dengan begitu ia semakin mudah memainkan skenario dengan menguji kestabilan politik-ekonomi Malaysia dibawah kendali PM Dr. Mahathir Muhammad, lewat kehadiran orang-orang Aceh di sana. Langkah diplomasi itu memberi makna tersendiri dengan kegiatan ekonomi orang-orang Aceh di perantauan. Di sini bakat alami orang-orang Aceh mulai tampak dengan meramaikan kompetisi ekonomi dan kontribusi para pemain pasar untuk kegiatan perjuangan. Hasilnya GAM dapat survive untuk kurun waktu yang lama. Itu adalah langkah kemenangan diplomasi Tiro menyambut Operasi Militer. Bagaimana tidak, Operasi Militer telah membongkar ‘blokade’ Aceh ke luar menuju politik pintu terbuka di arena hubungan international. Respon international pun berkembang sedemikian rupa dalam selera bangsa-bangsa beradab. Antropolog Inggris, Anthony Storr, mengatakan bahwa manusia memiliki suatu sistim fisio-kimia yang dapat memberi tanggapan terhadap ancaman-ancaman atau kegagalan melalui pembentukan perilaku kekerasan. Ada dasar fisiologis untuk kekerasan, yaitu serangkaian reaksi yang telah siap sedia dalam tubuh untuk digunakan dalam bertempur. Politik survivalitas itu akhirnya membawa kemenangan diplomasi Aceh Merdeka satu langkah ke depan.
GAM juga diyakini memiliki cukup dana, bukan saja dibiayai oleh simpatisannya di Aceh, tetapi pengusaha Aceh di Thailand dan Malaysia. Ini membuat gerilyawan di Aceh jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan pemberontakan di Irian Jaya dan Timor-Timur. Dicabutnya status DOM di Aceh dan diberikannya opsi pada Timor-Timur telah membuka ruang gerak lebih besar pada GAM sekaligus memacu semangat juangnnya. Kelak bila hasil jejak pendapat di Timtim dimenangi oleh kelompok prokemerdekaan, penanganan masalah Aceh tentu akan kian rumit. Sebagaimana yang dikatakan Bennedict Anderson, kontras dengan masa lalu, ketidakpuasan regional di waktu kini sangat kuat secara sentrifugal, dengan usaha pemisahan diri. Di tahun 1950-an, hanya Republik Maluku Selatan (RMS) yang ingin meninggalkan Indonesia. Tetapi sekarang ini disertai dengan kekuatan, pemberontakan di Timor-Timur, Irian Jaya (West Papua) dan Aceh untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan usaha-usaha untuk membebaskan diri dari cengkraman Jakarta. Mereka bergerak secara operasional di lingkungan international dengan legitimasi tinggi untuk memisahkan diri di waktu kapan saja semenjak Perang Dunia II. Dan juga mereka mendapatkan dukungan yang kuat dari “bawah” dalam sistim piramida sosial yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Bahwa kenyataan politik memberi penilaian terdapat perbedaan-perbedaan sistim perjuangan di tingkat nasional, regional dan international antara organisasi pembebasan itu sendiri. Ada perbedaan mendasar antara ASNLF/GAM-Fretelin (Timor Leste), OPM (Papua Barat)-RMS, MNLF (Moro)-PULO (Pattani) dalam isu perjuangan, sistim gerilya, sel lokal, hubungan regional dan hubungan international dengan melibatkan negara sponsor seperti Fretelin dengan Portugal, dst. Spirit atas kemenangan kelompok prokemerdekaan di Timor Leste memberikan ruang yang lebih besar setidak-tidaknya memberi angin segar kepada organisasi-organisasi pembebasan di tingkat regional untuk tetap survival di tingkat nasional maupun international.
Sementara pada tahun-tahun itu Operasi Militer dalam skala massive dilakukan oleh pemerintahan Jakarta, situasi Aceh kembali mencekam. Orang-orang Aceh yang memiliki hubungan darah dengan Gerakan Pembebasan Aceh mengalami tindak kekerasan dan penyiksaan oleh TNI. Karena disinyalir memiliki hubungan politik dengan gerakan separatisme. Banyak perkampungan orang-orang Aceh di pedalaman mengalami trauma politik berkaitan dengan semakin meluasnya kampanye gerakan pembebasan, terutama di daerah-daerah Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie, Gayo dan di beberapa tempat lainnya di Aceh. Tidak dapat dipungkiri populeritas gerakan pembebasan Aceh mengalami ‘pembesaran makna’ seiring dengan Operasi Militer yang berskala massive itu. Perburuan dan pengejaran anggota GPK Aceh terus dilakukan dengan memobilisir orang-orang kampung menuju perambahan hutan-hutan di mana posisi gerakan pembebasan Aceh berada. Tapi itu juga tidak membawa hasil-hasil politis bahwa Aceh bebas dari gangguan separatisme. Menurut Geoffrey Blainey, apabila ancaman—baik yang terbuka maupun yang terselubung—gagal membuahkan hasil, maka negara atau pemerintah akan dihadapkan pada pilihan yang sulit, apakah harus melepaskan tujuannya atau mengambil langkah spekulatif dengan meneruskannya ke dalam konflik bersenjata. Dalam hal ini setiap negara menginginkan perdamaian—tetapi hanya menurut syarat-syarat tertentu.
Sebaliknya menggiring posisi orang-orang Aceh mendukung front pembebasan Aceh. Di sini Tiro secara terus-menerus menghancurkan image militer Indonesia dengan strategi ‘meloncat-loncat’ dari satu tempat ke tempat lain. Bahkan ia juga menguras energi politik Jakarta di Aceh secara terus-menerus. Ia seakan tidak merelakan para pemimpin politik di Jakarta untuk ‘duduk manis’ dan segalanya dapat diatur di atas meja Presiden. Dalam sebuah laporan menyatakan kekuatan gerilyawan yang dibina oleh Tiro berjumlah 500 orang prajurit yang terlatih dan terorganisir secara baik. Tapi jumlah itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan personil militer Indonesia di Aceh menjelang tahun 2001 meningkat secara drastik dari 12.000 ke 32.000 serdadu. Tapi jumlah yang kecil itu telah menciptakan kepanikan militer dan seterusnya menciptakan ruang konsentrasi politik regime Jakarta di Aceh. Sebagaimana seorang pengamat masalah Aceh mengatakan seluruh element masyarakat sipil dari berbagai strata sosial seperti pegawai negeri, politisi anggota partai, pengusaha, pedagang kecil, mahasiswa dan pelajar, dosen di universitas, dalam tiga kasus yang terpisah supir, nelayan, dan petani kesemuannya dianggap terlibat dalam gerakan. Bahkan ia berkesimpulan:”Di tahun 1990 awal, Pemerintahan Orde Baru kembali berusaha mengontrol Aceh atas seluruh kekayaannya, tetapi bukan menjadi suatu alasan yang dapat dipercaya bahwa wajah pemberontakan tidak terlihat di propinsi di kemudian hari. Perlakuan tentara di Aceh memberi alasan daerah ini teralienasi dari Jakarta, dan pengiriman militer menitikberatkan pada sentralitas tinggi dan karakter ekslusivitas regime. Penemuan gas alam di Aceh Utara memberi sudut pandang eksploitasi ekonomi semenjak tahun 1970. Sebab-sebab akar pemberontakan tidak dapat dibendung, itu memperlihatkan di kemudian bahwa Aceh tidak memiliki pilihan lain selain mencari tempat keluhan regional mereka kepada kekuatan bersenjata”.
Sebagai catatan TNI telah kehilangan hampir satu batalyon dalam Operasi Militer dalam satu atau dua tahun terakhir ini. Tidak terhitung yang luka-luka serta cacat (di samping anggota Polri yang juga cukup banyak menjadi korban). Meskipun pada kenyataannya angka-angka itu terhitung absurd dan tidak dapat dipercaya, karena strategi militer Indonesia di Aceh mengandung resiko-resiko politik yang tidak kecil. Strategi menutup informasi dengan “kain khafan” menjadi kenyataan bahwa perang di Aceh selain mubazir juga mengandung ke sia-siaan secara militer dan politik. Perang di Aceh hanya menghasilkan laporan-laporan kwantitas yang tidak bermutu dan diragukan keabsahannya. Secara militer itu bukanlah fakta yang sebenarnya. Perang di Aceh atau Operasi Militer berskala besar dipenuhi oleh berbagai prasangka politik, militer dan ideologis.
Prasangka militer merupakan asumsi militer yang berkembang di seputar masalah Aceh dan kaitannnya dengan gerakan pembebasan atau separatisme. Banyak asumsi yang berkembang di sekitar itu terutama, tentang skala makin berkembangnya kekuatan gerilyawan Aceh yang semakin kuat dan terorganisir secara baik. Secara politik pula, kekuatan dan dukungan rakyat makin kuat dan solid mendukung gerakan itu. Dan secara ideologis bahwa kekuatan pemberontak sanggup menggantikan ideologi NKRI. Itu sama artinya dengan proses desintegrasi bangsa. Pada kenyataannya bahwa Aceh Merdeka memiliki dukungan kuat dari rakyat dan itu benar-benar termanifestasikan ke dalam dukungan riil politik. Itu pula yang menjadi kekuatan utama Tiro untuk bersandar pada kenyataan yang sesungguhnya.
Tidak ada sesuatu yang lebih menyenangkan bagi Tiro, selain mengajak lawan bermain dalam pikirannya (Mindsetting). Ia termasuk generasi Aceh yang paling terdidik pasca “huru-hara sosial” yang melanda Aceh di tahun-tahun (1945-1947). Tiro menimba pengetahuan dengan dialektika filsafat tradisional Aceh yang rumit dan kompleks. Dalam beberapa hal pikiran filosofisnya menganut paham Wahhdatul Wujud-nya Hamzah Fansury, sang Mufti terbesar Monarchy Aceh di sepanjang jaman. Tiro juga sangat mengagumi syair ”Perahu”nya Fansury dan menikmatinya dalam waktu yang lama. Selain itu ia juga sangat menyukai Jalaluddin Rumi, mistikus dari Persia. Ia selalu mencari inspirasi politik dari syair-syair klasik ketika ia mencoba keluar dari kemelut politik perjuangan. Selain itu ia juga seorang tokoh yang tidak mengenal kompromi politik ketika ia mulai memutuskan suatu keputusan. Ia lebih mewakili typikal tokoh Aceh tempo dulu yang sangat dikagumi oleh generasi kontemporer. Ia berhasil mencangkokan pemikiran revolusioner-romantisme kedalam rangkang-rangkang yang ditempati oleh kaum muda Aceh di pedesaan. Tiro pada suatu waktu akan melebarkan sayap kekuatannya tidak hanya di pedesaan namun di basis perkotaan yang merupakan akhir dari seluruh tujuannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh teoritikus gerilya, namun para pemimpin pemberontakan menyadari bahwa satu hari pemberontakan harus masuk ke kota-kota. Kesadaran ini bukan suatu kebetulan; ini adalah titik puncak dialektika yang mewarnai perkembangan perjuangan bersenjata bagi pembebasan national”.
Di tengah-tengah kondisi Aceh yang serba mengalami krisis multidimensional ia muncul dengan character “kepemimpinan” masa lalu. Tiro mengeleborasi style kepemimpinan masa lalu dengan pemikiran-pemikiran moderent. Ia juga ingin menunjukkan dirinya dihadapan Bangsanya (Acheh) untuk tetap mengikuti garis pemikiran, meskipun ditentang elit politik Aceh. Tetapi ia tidak pernah mengeluh terhadap complaints elit politik Aceh yang ia gambarkan sebagai “questling Jakarta”. Ia menolak berhubungan dengan mereka, meskipun lewat kebiasaannya menulis korespondensi (berhubungan tanpa melihat wajah) agaknya ia telah “benci roman” terhadap musuh-musuhnya. Ia secara tegas menolak berdiskusi dengan mereka dalam batas minimal sekalipun. Ia telah menciptakan batas-batas keniscayaan yang ketat antara kawan seperjuangan, pengikut, dan simpatisan di satu sisi dan musuh, pengikut musuh dan simpatisan musuh di sisi lain tanpa mengalami hambatan moral sekalipun. Tiro hidup di tengah-tengah “loyalitas tinggi” mesin birokrasinya di pengasingan tanpa mengalami kendala untuk menyingkirkan ‘kritisisme yang tidak santun’ meskipun itu merupakan oposisi loyal. Hal itu ia buktikan ketika memecat Dr. Husaini Hasan , termasuk seorang dewan kabinet ASNLF, yang dianggapnya telah melanggar etika politik GAM.
Kesenangan mengajak lawan bermain dalam pikirannya terus ia lakukan meskipun regime Jakarta berubah dalam kurun setengah abad yang lalu (1950-2004). Tiro telah memulai mengkritisi sekaligus resistensi terhadap regime Soekarno (1949-1965). Ia menulis suatu buku yang sangat fundamental mengkritisi pikiran-pikiran ketatanegara Soekarno yang ia anggap sebagai orang yang memahami politik sebatas “pengantar Ilmu politik” tanpa mendalami teori politik secara fundamental dan substansial. Dalam pandangannya itu Soekarno ditempatkan sebagai “anak seorang Belanda yang dilahirkan di Jawa”. Dia tidak ubahnya seorang regime boneka yang diciptakan oleh Den Haag dan menempati status Gubernur General Hindia Belanda di Batavia. Lebih jauh lagi, Tiro menempatkan Republik Soekarno sebagai pemerintahan ala Pariah, yang sesungguhnya hanya dapat dilakukan dalam sistim perbudakan Gubernur General Deandels di Jawa. Ia juga menempatkan sejarah regime General Soeharto sebanding dengan regime Pretorian di Afrika Selatan.
Tidak ubahnya dengan kemunculan General Soeharto (1968-1998) ke tempuk kekuasaan melalui kudeta militer yang dipimpinya sendiri. Dalam pandangan Tiro, regime militer Soeharto telah melakukan proses pembunuhan sistematik (sistematic killing) terhadap jutaan orang-orang Jawa di tahun 1965. Ia berasumsi pembunuhan sistematik itu memiliki korelasi ideologis yang sangat kuat antara kubu Nationalist Kiri Soekarno dan Fasisme Kanan Soeharto. Ia memahami bahwa siklis sejarah indonesia akan terus berputar kearah yang ia sebut “fasisme kultural” yang akhirnya akan bermuara pada demokrasi totaliter (Totalitarian Democracy). Tidak mungkin pemerintahan yang membentang dari daratan Moscow dan Lissabon diatur dengan cara-cara demokratis. Tapi sebaliknya Indonesia harus diatur dengan cara-cara Fasisme. Itulah obat mujarab yang diwariskan oleh pemerintahan kolonial Belanda selama masa penjajahan.
Dalam pidato politik di International Islamic Conference di London pada tahun 1985, Tiro mengatakan; “Sebagai satu sebutan nama arah di peta dunia, nama ”indonesia” menunjukkan kepada satu wilayah permukaan bumi yang panjangnya sama antara Moskow dan Lissabon, dan lebarnya sama antara Roma dan Oslo, dengan penduduk yang lebih 160 juta jiwa yang terdiri dari berbagai bangsa, bahasa dan budaya yang sama banyaknya seperti yang terdapat di benua Eropa, yang luasnya hampir sama dengan dengan wilayah arah umum di peta dunia, yang disebut “indonesia” itu. Maka bodoh sekali untuk berbicara tentang adanya satu “nasionalisme Eropa” pada hari ini, demikian juga adalah sangat bodoh untuk berbicara tentang adanya satu “nasionalisme indonesia”, walaupun hal ini sudah dipropagandakan oleh surat-surat kabar Barat dan oleh mereka yang menganggap dirinya “pandai”, padahal mereka sama sekali tidak memahami sejarah, budaya dan geopolitik dari Dunia Melayu” . Philipina, Indonesia dan Birma memperoleh kedaulatan mereka sendiri, namun tidak demikian dengan orang-orang miskin di Mindanao dan Jolo, suku bangsa Aceh di Sumatera, atau suku bangsa Kachin, Shan, atau orang-orang yang tinggal di tanah yang mereka miliki, jauh sebelum ada “Birma”. Ia memandang bahwa ada banyak ketidakadilan yang dialami oleh bangsa-bangsa tradisional yang relative lebih tua daripada bangsa-bangsa moderen yang terjadi pasca Perang Dunia Kedua. Ia menterjemahkan “Indonesia” dengan spesifikasi yang sangat serius menyangkut perbedaan filosofi dan kultural yang sangat tajam di antara bangsa-bangsa yang berada di bawah pemerintahan Jakarta. Mustahil Indonesia akan demokratis!
Tiro lebih lanjut mengatakan:”Pembunuhan itu terjadi atas dua juta orang—nyaris tidak pernah absen—di Indonesia oleh orang Indonesia semenjak tahun 1965 seorang diri. Pembunuhan berskala besar (Genocide) terus terjadi di Timor Leste, Papua Barat, dan Aceh Sumatera. Kesemuanya dibolehkan atas nama “Indonesia”. Dan demokrasi Barat memastikan melanjutkan eksistensi regime “Indonesia” bantuan senjata dan uang. Sejauh ini rakyat saya perduli, dan beberapa gerakan nasional non-Jawa di wilayah itu juga memiliki kepedulian yang sama. “Indonesia” dalam pengamatan seorang Kurt Jurgens, adalah tempat perbudakan dalam kebebasan yang dilakukan oleh kekuasaan Barat”.
Itulah sebabnya ia selalu menolak tawaran untuk menghentikan perlawanan meskipun menghadapi konsekwensi yang serius. Tiro mengetahui secara persis dengan siapa ia berhadapan, Ia tahu bahwa regime General Soeharto itu lebih kejam dan buas serta ter-obsesive dengan kemenangan historik David vs Goliat atau (Daud vs Jalut) yang dikisahkan buku suci Yahudi dan Islam . Justru ia memulai suatu gagasan penting yaitu menciptakan tahapan perang modernt dengan langkah-langkah berikut: 1). Memulai “perang ekonomi”. 2). Dilanjutkan dengan “Perang Pembebasan National”. 3). Langkah berikutnya dengan “Perang Diplomasi” dalam rangka mencari dukungan international. 4). Pengakuan secara De facto dan De jure oleh negara-negara anggota PBB. Untuk menuju langkah-langkah grand strategy itu, Tiro memulai lewat “diplomasi perahu” alias “politik pengungsi”. Ia mendefinisikan “diplomasi perahu” atau “politik pengungsi” sebagai sebuah langkah mengundang intervensi asing, terutama masyarakat international (international community) untuk ambil bagian dalam konflik antara Aceh-Indonesia. Ia menafsirkan cepat atau lambat intervensi PBB atau bangsa-bangsa di dunia akan menjadi kenyataan. Itu sama artinya dengan Timor Leste ke dua di Sumatera.
Justru tahapan masa regime militer General Soeharto (1968-1998) itulah dalam pandangan Tiro sangat menentukan proses perjuangan GAM di tingkat regional dan international. Di tingkat regional, Tiro mengembangkan strategi “diplomasi perahu” (Boat Diplomacy) ala orang-orang Aceh yang terus dilakukan tanpa henti. Dorongan Operasi Militer Indonesia (1989-1998) di Aceh memaksa para pendukung dan simpatisan GAM untuk segera melakukan seluruh rencana yang disiapkan oleh pemimpin mereka. Gelombang manusia perahu Aceh memasuki daerah-daerah pesisir negeri jiran itu dengan tenang serta memulai kembali babak baru kehidupan mereka. Ada optimisme yang sangat tinggi bahwa negeri Melayu itu akan memberi bantuan yang layak bagi perjuangan orang-orang Aceh, minimal mereka dapat hidup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Langkah untuk menerobos teritorial Malaysia memang tidak mudah, tapi resiko untuk itu harus diambil meskipun dengan pertaruhan nyawa, tertangkap atau deportasi ke Indonesia yang justru lebih mengerikan.
Tidak ada yang lebih menakutkan bagi para pengungsi (refugee) Aceh yang berada di Malaysia selain, deportasi. Karena “deportasi” memiliki makna “dikembalikan atau dipulangkan”. Ini adalah “kiamat kecil” bagi para pengungsi Aceh. Itu sama artinya dengan Gulag di jaman Stalin atau camp penyiksaan Yahudi di Austria atau di Polandia masa Hitler. Justru ketakutan itulah yang menyebabkan para pengungsi Aceh dapat survive di Dunia Melayu itu tanpa mengalami kekhawatiran yang berlebihan.
Operasi militer yang brutal menjadi tanda dimulainya masa yang paling gelap dalam sejarah Aceh semenjak kemerdekaan Indonesia. TNI sebagai institusi yang paling berkuasa di provinsi itu setelah tahun 1990, Aceh mengalami kelanjutan “Daerah Operasi Militer” (DOM). Militer tidak menjawab dominasi selama periode ekstraordinery untuk kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Orde Baru. Ketika Orde Baru runtuh, perubahan politik dramatik terjadi di tingkat nasional, dan dampak politik di Aceh, merupakan gambaran baru gelombang ketiga pemberontakan gerakan Aceh Merdeka (GAM). Opini publik segera berkembang, GAM menyediakan kenderaan bagi masyarakat yang kecewa. Secara sungguh-sungguh setelah 1998 GAM mengatur untuk mempertimbangkan dukungan dari rakyat, oleh karena penyebaran opini masyarakat melawan Jakarta. Meskipun itu merupakan tantangan paling serius yang dihadapi oleh Jakarta. Sebagai tambahan catatan oleh salah seorang pengamat, gerakan pemberontakan yang terakhir ini menjadi suatu “barometer tentang apa yang akan dihadapi Indonesia di dekade mendatang”.
Perang di Aceh (1976- sampai sekarang), sesungguhnya saya diyakini sebagai ‘perang yang mubazir’ karena secara secara politik penyelesaian konflik dapat dilakukan lewat cara-cara damai dan santun. Arogansi militer pasca invasi militer Indonesia di Timor Leste di tahun 1975 telah mengundang spirit para Jenderal-Jenderal di Jakarta untuk memainkan scenario politik militer di atas kertas. ‘Perang yang mubazir’ serta yang paling merusak dalam sejarah militer Indonesia di Aceh telah memberi warna tersendiri di mana para pemimpin front pembebasan mengambil keuntungan yang terbesar. Tidak banyak para ahli strategi militer Indonesia di Jakarta yang mencoba untuk menganalisis kembali tentang perang di Aceh (Operasi Militer) ke dalam analisis yang lebih rasional. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam satu kasus sejarah, ketika Pangeran Bernhard Von Bulow bertanya kepada Kanselir Jerman mengapa semua langkah diplomatic yang diambil untuk mencegah perang telah gagal. “Akhirnya saya (Bulow) berkata kepadanya: ‘Baiklah, paling sedikit ceritakan kepada saya bagaimana semua itu terjadi’. Dia mengangkat lengannya yang panjang dan kurus itu seraya menjawab dengan suara yang berlahan dan lemah:’Oh, seandainya saya tahu’.“
Camp-camp tawanan penyiksaan telah muncul dengan kisah yang mengerikan dan sulit untuk dipercaya tentang kesadisannya. Konsekwensi perang itu telah melahirkan ratusan camp-camp tawanan penyiksaan yang membangkitkan bulu kuduk bagi siapapun yang menyaksikannya termasuk tentara professional sekalipun.
Dalam situasi tahun (1989-1998) Aceh telah berada dalam situasi seperti yang terjadi di Kamboja, di mana regime Polpot telah membantai orang-orang Khmer atas nama ‘revolusi kultural’. Khmer Rouge telah membuat tempat-tempat penyiksaan, pemerkosaan, pembunuhan secara sistematis dan tak kenal ampun di seluruh negeri. Hal yang sama terjadi di Aceh dalam pengamatan tim LIPI: “Aceh benar-benar telah menjadi wilayah berstatus sebagai ladang pembantaian atau Killing Field oleh militer Indonesia. Berbagai fakta kekerasan yang berkembang selama berlakunya DOM dan pasca DOM diberlakukan, menunjukkan adanya beberapa penyebaran pos-pos sattis (satuan taktis) yang kejam. Di kabupaten Pidie misalnya, ada beberapa pos yang terkenal sadis dan kejam, yaitu (1) Pos Sattis Billie Aron di Glumpang Tiga yang terkenal Rumoh Geudong; (2). Pos Sattis Jiem-Jiem di Ulee Glee Bandar Dua. Selain untuk dua pos settis tersebut, masih tersebar pos sattis lainnya yaitu pos sattis di Pidie, Padang Tiji, Kota Bhakti dan Pintu Tiro. Masing-masing pos sattis membawahi beberapa kecamatan.
Sedangkan di Aceh Utara, pos sattis yang paling dikenal kejam adalah pos sattis Rancung. Lokasi kekerasan lainnya berada di Gunung Salak, Cot Panglima, Bukit Salam, Bukit Seuntang-Lhoksukon, Gunung Damanik, Cot Girek, langkahan, SP-4, Lokasi PT Satya Agung, dan kantor PU pengairan Lhoksukon. Di Aceh Timur juga terdapat beberapa tempat yang dijadikan sebagai pusat-pusat pembantaian seperti Bukit Supoyono di Bukit Garot Desa Leubok Peng-Peng kecamatan Peureulak, Sungai Arakundoe, Bukit Gueruetee Kecamatan Jaya Lamno, Kabupaten Aceh Barat, Desa Lhok Nibong, Bukit Makmur dan sebagainya”.
Menurut suatu laporan Dari tahun (1989-1993) korban masyarakat sipil Aceh telah mendekati hitungan angka ribuan. Menurut William Branigin: “Pelanggaran Hak Asasi Manusia di kawasan ini sudah tentu mendapat perhatian dari NGO international seperti Amnesty International yang aktif memantau semua jenis pelanggaran HAM di sebagian besar belahan bumi. Bahkan Amnesty International menyebut tindakan represif aparat militer Indonesia di Aceh sebagai “Systematic Human Rights Violations”. Mereka menyebut bahwa operasi militer yang dilakukan oleh tentara telah menyebabkan jatuhnya korban meninggal dalam jumlah tidak kurang 2000 orang sipil.
Karakter pasukan yang tidak jelas dan tidak disiplin tersebut dapat membuat negara yang seharusnya mereka jaga malah menjadi terlibat dalam konflik dengan kelompok dari rakyat mereka sendiri, dan karena itu memperluas pembangkangan dan separatisme. Dalam konflik dengan orang lain, penjarahan, vandalisme, kekerasan seksual, pembersihan etnis, dan berbagai pelanggaran HAM dapat mengubah konflik ini menjadi perang untuk mempertahankan hidup yang akibatnya lebih menyedihkan lagi. Dengan cara yang sama, pasukan-pasukan tersebut sering kali kurang mampu untuk menyelesaikan persoalan yang mereka awali sendiri: mereka terlalu lemah untuk menciptakan ketertiban internal atau untuk memenangkan perang eksternal. Fenomena itulah yang sedang terjadi di Aceh di waktu kini. ‘Perang yang mubazir’ (Operasi Militer) yang dilakukan oleh serdadu Indonesia di Aceh, nyaris telah menciptakan perang antara hidup dan mati dengan rakyat sipil di satu sisi dan semakin memperkuat dukungan terhadap gerakan pembebasan Aceh. Para serdadu tersebut dibekali dengan ‘kapasitas otak 2 cc’ diperintahkan untuk menghancurkan kekuatan pemberontak hingga ke akar-akarnya yang justru menjadi boomerang hidup dengan semakin luas persoalan. Perang di Aceh (1976-sekarang) belum menemukan titik terang, meskipun telah dimulai usaha-usaha diplomasi international oleh Presiden Wahid.
Tetapi dikalangan para ahli strategi militer di Jakarta usaha-usaha untuk menggagalkan diplomasi itu dengan maneuver militer terus dilakukan secara sadar oleh para Jenderal di markas besarnya. Kontak senjata terus terjadi secara simultan di tengah-tengah perbincangan damai antara ASNLF/GAM dengan Pemerintahan Jakarta, baik di Banda Aceh maupun di Swiss. Bagi TNI, Aceh merupakan harga mati yang tak dapat dinegosiasikan dengan alat diplomasi politik. Justru Tentara Indonesia juga mempersiapkan perang dalam jangka waktu panjang sampai ada keputusan final antara hidup dan mati. Tidak demikian halnya dengan Aceh Merdeka, mereka hanya menjadikan konsolidasi militer berskala massive hanya untuk mempertahankan diri dari serbuan itu. Tidak ada pilihan lain bagi gerilyawan selain mereka juga harus mempertahankan antara kehidupan dan kematian. Jadi bagi gerilyawan Aceh Merdeka pilihannya juga mengandung resiko yang tidak kecil. Jika secara militer rasio perbandingan kekuatan secara kwantitas, para gerilyawan hanya memiliki beberap ratus pucuk senjata moderen. Sedangkan TNI memiliki ribuan senjata moderen dengan para serdadu yang telah terlatih.
Tiro, menyadari ada begitu banyak tempat-tempat penyiksaan dan teror yang secara terus-menerus dan sistematik terjadi di Aceh. Ia telah menggariskan kebijakan international untuk menyeret para Jenderal-Jenderal eksekutor dan prajurit-prajurit di level menengah dan bawah untuk diajukan ke Mahkamah International bila waktunya telah tiba. Ia telah berjanji kepada dirinya untuk menciptakan “Pengadilan International” terhadap kekejaman, pembantaian, dan penganiayaan terhadap manusia, khususnya kepada mereka yang terlibat dalam kasus Aceh. Salah satu hal yang sangat penting pada masa Reformasi 98 ada ruang kebebasan untuk memberi kesaksian bagi para korban kejahatan kemanusiaan dari era kudeta militer 1965 sampai era DOM atau “Special Combat Zone” di Aceh. Hal ini mengakibatkan keheroikan nasionalisme serdadu—yang menjadi sumber legitimasi politik untuk berkuasa dan hak absolut untuk mendefinisikan situasi—terjungkir menjadi penjahat kemanusiaan. Asumsi bahwa seluruh kejahatan itu dilakukan oleh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) atau Gerakan Pengacau Keamanan (GPK)—seperti yang dulu ditulis oleh media massa, pikiran pengamat, dan sejarah bangsa, ternyata tidak berdasar. Hampir seluruh kesaksian para korban justru menuding serdadu Indonesia sebagai pihak yang bertanggungjawab atas berbagai kejahatan kemanusiaan di masa itu.
Pemerintah yang menanggapi oposisi atau resistensi domestic dengan menganiaya, memenjarakan, atau membunuh orang-orang yang mereka anggap tidak loyal atau berbahaya, kerapkali mencoba membenarkan pelanggaran-pelanggaran mereka terhadap HAM dengan berkilah bahwa musuh-musuh mereka tidak memberikan pilihan lain—bahwa tindakan-tindakan keji ini diperlukan untuk menjaga kelangsungan dan keamanan negara selama masa ketegangan yang dahsyat.
Masa-masa darurat national, seperti masa perang, bencana alam, dan pemberontakan adalah problematic bagi teori hak asasi manusia lantaran hal tersebut melahirkan alasan-alasan bagi pelanggaran hak asasi manusia maupun bagi kondisi-kondisi yang memudahkan upaya untuk membesar-besarkan bahaya yang ada serta untuk membuat penilaian yang keliru. Lantaran hak merupakan pertimbangan-pertimbangan yang kuat, bahasa hak menarik bagi orang yang terlibat dalam perdebatan politik. Banyak kalangan cemas pemakaian konsep hak dalam retorika politik yang berlebihan bakal segera menghancurkan kegunaan konsep tersebut. Namun kerentanan terhadap pernyataan berlebihan dan distorsi sudah merupakan kelemahan yang ditemui dalam semua konsep normative, dan bukan hanya dalam konsep tentang hak asasi manusia. Itulah sebabnya berbagai pernyataan-pernyataan politik tentang HAM berkembang sedemikian rupa dikalangan militeris dan mubazir sifatnya. Bahkan yang paling tragis, sebagai apology dilontarkan untuk menutupi perbuatan-perbuatan yang tidak bermoral dan anti terhadap HAM di lokasi-lokasi daerah konflik yang tidak pernah terjangkau oleh media. Di sini terjadi begitu banyak pembenaran-pembenaran terhadap pembunuhan massal yang bersifat sistematik dan terencana. Salah satunya dengan ‘strategi kain khafan’.
Tidak jelas apa yang diungkapkan oleh Zacky Anwar, “bahwa tawanan-tawanan Gerakan Aceh Merdeka, di tempatkan pada barak-barak penampungan yang mendapatkan control dari petugas Palang Merah Indonesia. Di lapangan para prajurit pun dibekali kain kafan untuk menguburkan secara layak anggota-anggota GAM yang tewas dalam kontak tembak”. Suatu deskripsi yang mendekati ‘pernyataan’ daripada ‘kenyataan’. Yang justru menjadi gambaran umum tentang politik superficial (dipermukaan) yang dijalankan TNI di Aceh daripada tindakan brutal yang sesungguhnya merupakan ‘kerja substansial’ yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM universal. Seperti yang dilaporkan oleh Human Rights Wacth (HRW) menuding TNI dan Polisi telah menyiksa para tersangka anggota Aceh Merdeka selama dalam tahanan. Dari 35 tahanan yang mereka wawancarai, 24 tahanan mengakui mengalami penyiksaan. Siksaan antara lain dilakukan dengan menyudut tahanan dengan rokok, memukul, ancaman dan intimidasi. Penyiksaan tersebut hanya terjadi untuk mendapatkan pengakuan dari anggota Aceh Merdeka.
Menurut laporan Aceh Working Group (AWG) mengungkapkan para tawanan Aceh Merdeka mengalami tindak kekerasan dari Polisi dan TNI. Menurut laporan itu kondisi konflik selama dari Mei 2003 sampai Oktober 2004, tindak kekerasan terjadi saat penangkapan, penyidikan, pengadilan dan penahanan. Menurut data yang dikumpulkan sumber kekerasan banyak dilakukan oleh Polisi, TNI dan satuan gabungan intelegent. Dari tiga lokasi rumah tahanan Aceh dan Jawa terdapat 70 kasus pemukulan dan penyiksaan, tidak terkecuali perempuan. Tetapi laporan yang dibuat oleh pihak pemerintah tidak mencantumkan kondisi dan situasi HAM para tahanan. Dan itu dapatlah kita lihat dari laporan yang bersifat klise dan superficial seperti yang terjadi pada kasus ‘Laporan 5 Oktober’ melaporkan keadaan umum di Aceh.
Menurut laporan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan ad interim Hari Sabarno, selama Darurat Militer (DM) hingga Darurat Sipil (DS), total anggota Aceh Merdeka yang ditawan atau tewas sekitar 6, 915 orang, dan senjata yang disita 658 pucuk. Khususnya darurat sipil, yang sudah berjalan hamper 5 bulan TNI-Polri berhasil menawan (Hostage) 1,422 orang Aceh Merdeka dan menyita 489 pucuk senjata.
Kriteria antara masyarakat sipil dan anggota ideologis Aceh Merdeka menjadi begitu tipis dan kerap kali kabur. Laporan itu masih benar-benar diragukan keabsahannya ditinjau dari sudut moral, politik dan militer. Apalagi laporan itu dibuat disaat perayaan HUT TNI pada 5 Oktober 2004 sungguh sesuatu yang ganjil dan bersifat demoralis. Ada banyak pertanyaan di sekitar ‘Laporan 5 Oktober’, bersifat strategis dan hasil-hasil yang dicapai. Dari sudut moral apakah pembunuhan itu dapat dibenarkan? Apakah dari sudut politik ‘kematian’ dapat menghilangkan keyakinan ideologi seseorang? Apakah secara militer “pembunuhan” itu dapat menciptakan strategi perang untuk mengakhiri perlawanan Aceh Merdeka?
Pertanyaan-pertanyaan yang bersifat moral, politik dan ideologi membayangi setiap orang akan hakekat perang di Aceh akan memberi “tafsir baru” menghancurkan kaum pemberontak atau membangkitkan perlawanan baru Aceh Merdeka. Barangkali inilah yang menjadi renungan akhir peringatan ‘5 Oktober 2004’ bahwa perlawanan selama tiga decade (1976-2004) belum menemukan titik penyelesaian. Dan TNI dapat membayangkan apa yang akan terjadi di masa-masa yang akan datang.
Tapi keseluruhan yang orang-orang tewas itu masih controversial antara masyarakat sipil atau anggota ideologis Aceh Merdeka. Tidak ada parameter yang jelas bagi TNI dan Polisi dalam melakukan operasi militer di Aceh. Sehingga kritik tajam para pemerhati HAM di masyarakat international terus mengupayakan agar PBB segera mengirimkan misi khusus (Special Envoy) ke Aceh untuk memonitoring perkembangan HAM. Untuk menutupi prilaku yang biadab misalnya terhadap mayat yang telah menemui ajalnya (Mutilation). Terkadang tentara membawa kain khafan untuk menutupi kekejamannya. Itu bukanlah sesuatu yang jarang terjadi pasca kontak senjata antara TNI dan gerilyawan Aceh Merdeka, rakyat sipil menjadi korban di luar areal pertempuran. Tidak tertutup kemungkinan korban sipil menjadi meningkat dalam skala yang mengerikan. Untuk itulah TNI membawa kain khafan untuk menutupi kekejamannya terhadap korban sipil yang tewas dan segera dikebumikan. ‘Strategi kain khafan’ itu menjadi alat pembenar pembunuhan berskala besar yang dirancang secara sistematik dan terorganisir oleh para eksekutor yang telah berpengalaman dalam operasi militer di Timor Leste sejak tahun 1975. Merekalah pada umumnya yang menjadi target ‘Pengadilan International’ di Den Haag untuk waktu yang tidak terlalu lama lagi. Kali ini mereka akan dikubur di tempat di mana mereka melakukan pembunuhan sistematik terhadap manusia.
Sejarawan dan Novelis Inggris H.G. Wells (1866-1946) menitikberatkan kepada prilaku ideosyncratic para kepala negara dalam interpretasinya mengenai asal mula kedua perang dunia kedua. Bagi Well, pelembagaan doktrin power politics sebagai hasil perkembangan diplomasi yang professional pada kantor-kantor urusan luar negeri negera-negara besar merupakan syarat yang penting sekali bagi sistim balance of power Eropa dan diikuti dengan imperialisme Eropa di Afrika da Asia. Jika seseorang menambah factor fantasi militer para pemimpin politik yang pandai menghasut ke dalam rencana-rencana para diplomat, maka perang memang diharapkan. Wells menyimpulkan bahwa perang bukan merupakan kebutuhan historis dan perang dapat dicegah dengan membatasi atau mengurangi ambisi orang-orang berkuasa. Pengadilan terhadap para penjahan perang di Nuremberg dan Tokyo (1945-1948) memberikan sanksi hukuman bagi sudut pandang ini, dengan tuduhan berbuat kejahatan dan menentang perdamaian.
Untuk membuktikan keseriusan itu, Tiro melakukan manuver politik international dengan menganjurkan atau mewajibkan bahkan boleh dikatakan mengambil inisiatif mengundang Mahkamah International yang berkedudukan di Den Haag. Untuk memulai penyelidikan terhadap pelanggaran serius kejahatan kemanusiaan (Human Crimes) yang terjadi di Aceh. Ia tidak menolak andaikata ada anggota Front yang terlibat dalam pembunuhan yang berskala massive untuk diadili di Mahkamah International. Langkah-langkah itu tentu mendapat respon international bahkan terhitung sangat populis di kalangan masyarakat international. Sayangnya langkah itu langsung ditepis bahkan ada perlawanan dari pihak Pemerintah Indonesia untuk membatalkan manuver politik hukum international itu.
Tapi bagi Tiro, langkah yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia itu dinilainya sebagai langkah semu. Cepat atau lambat gagasan untuk menaikkan pelanggaran serius terhadap kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Aceh akan menemui momentumnya. Ia yakin bahwa politik hukum international yang sedang ia lakukan akan mendapat respon positif dari masyarakat international. Karena ia merasa berada di tengah-tengah masyarakat yang beradab.
Lagi-lagi manuver Tiro memberi kesan terhadap masyarakat international bahwa ASNLF/GAM sangat serius memperhatikan konteks HAM yang sedang menjadi isu international dari politik antar bangsa-bangsa. Ia terus memainkan manuver-manuvernya yang membuat masyarakat international kagum karena dapat mengikuti konstalasi politik dunia yang terus berkembang dan berubah. Ia yakin pada saatnya nanti regime militer Indonesia akan dihadapkan pada masalah kemanusiaan yang paling serius dalam sejarah pembunuhan manusia. Itulah sebabnya ia melarang pembunuhan terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Khususnya masyarakat Jawa yang mengalami penderitaan akibat politik transmigrasi di masa regime General Soeharto. Pada prinsipnya apa yang dilakukan oleh Gerakan pembebasan Aceh semata-mata mengembalikan posisi transmigran pada politik status quo. Artinya para transmigran harus kembali ke asalnya di mana ia berada. Status quo ante bellum.
Sebagaimana yang dikatakan Kevin Evans mengatakan: “Hal itu akan membawa implikasi debat nasional tentang bagaimana harus membagi/memanfaatkan bersama sumber-sumber nasional yang sebagian besar terdapat di luar Jawa. Masih terdapat perbedaan tingkat pertumbuhan yang besar antara Jawa dan non Jawa, akan menjadi pendorong terjadinya migrasi spontan ke daerah-daerah itu. Itu akan memperluas dimensi isu yang berkaitan dengan alokasi sumber daya dan pelayanan manusia. Sementara jelas tidak mungkin untuk mengendalikan negeri yang sangat luas dan penuh perbedaan dengan cara Napoleon yang mengurus negerinya. Kegelisahan melawan Jakarta oleh rakyat Aceh diakibatkan oleh tiga kesalahan mendasar yang dilakukan oleh Orde Baru. Adalah peminggiran secara ekonomi, di mana eksploitasi sumber daya alam tidak menguntungkan penduduk setempat. Dominasi sosial politik, di mana Jakarta nyaris tidak pernah mengikutsertakan ekspresi identitas lokal dalam arti politik. Dan represi, di mana militer secara rutin melakukan pelanggaran HAM—untuk memastikan dominasi Jakarta terhadap politik dan sumber-sumber ekonomi.
HAM dengan sendirinya telah menjadi media yang terbaik bagi gerakan pembebasan nasional Aceh. Tiro juga tidak tinggal diam dalam merespon isu tersebut. Justru keterlibatannya dalam isu HAM menjadi krusial dan massive yang secara terus-menerus mensosialisasi apa yang sedang terjadi di Aceh dibawah pendudukan Indonesia. Instrument international itu menjadi begitu penting untuk dilewatkan. Dia mengutus kelompok-kelompok lobbying HAM Aceh di Swiss yang secara terorganisir terus melakukan kerja-kerja kemanusiaan dan pelaporan. Nyaris dalam setiap musim pertemuan HAM international para aktifis Aceh yang bermukim di negara-negara Scandinavia ikut terlibat. Situasi international yang memberi kesempatan kepada orang-orang Aceh untuk menuntut haknya dihadapan masyarakat International, bahwa perlakukan kejam dan biadab itu harus dituntut dengan hukum kemanusiaan yang tinggi dan beradab. Dalam kata-kata seorang jurnalis: Kita tidak sadar telah menginternasionalisasikan konflik Aceh. Lebih tidak sadar lagi, dalam perspektif masyarakat internasional, kekejaman dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan di Aceh justru lebih pantas diadukan ke Mahkamah Internasional.
Di sini Tiro telah memantapkan organisasi perjuangannya di mata international dengan komitmen yang tidak diragukan lagi tentang HAM. Ia telah mengeluarkan Dekrit atau Sarakata untuk melarang setiap orang di pasukan gerilyawanya untuk menyakiti dan membunuh masyarakat sipil yang tak berdosa. Ia juga tidak mengijinkan anak-anak untuk tidak terlibat dalam aksi gerilyanya serta melarang mereka berada di tempat-tempat markas gerilyawan. Ia mewajibkan kepada seluruh komando lapangan untuk tetap komit pada HAM dan hukum-hukum Humaniter Perang. Ia yakin, bahwa klausal-klausal HAM dan hukum Humaniter Perang akan menjadi katalisator penting dan fundamental merebut opini atau diskursus international. Itu berarti akan semakin mendekatkan dirinya pada Imagined State yang sedang diperjuangkan.















Bab V :

Strategi Hubungan International



Tiro memprediksi bahwa pemerintahan Malaysia dibawah administrasi Dr. Mahathir Muhammad (1980-2003), akan menjalankan politik Soehartoisme terhadap para pengungsi Aceh serta akan mendeportasi mereka ke Indonesia. Ia tidak pernah ragu dengan keyakinan politiknya segera saja, Tiro menginstruksi bahwa orang-orang Aceh harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Ada banyak camp pengungsi Aceh yang bertebaran di Malaysia diantaranya adalah Camp Semenyeh yang menghebohkan itu. Untuk kurun waktu yang lama orang-orang Aceh akan selalu mengenang tragedi itu. Tidak hanya karena suatu tindakan yang biadab dan barbar tapi memperlihatkan watak sebenarnya tentang suatu regime Melayu yang tidak pernah memiliki simpati kemanusiaan. Lebih jauh lagi memperlihatkan kepada orang-orang Melayu tentang pemerintahan Administrasi Dr. Mahathir bukanlah pemerintahan demokratis tapi “otoritarian sipil” yang akan “memenjara” kebebasan dan kemanusiaan atas nama stabilitas ekonomi pertumbuhan (economic growth).
Dalam pandangan Tiro, seorang “tiran Melayu” (Malays Tyran) dapat bertindak selayaknya sebagai seorang Kaisar Nero dalam sejarah Roma hanya karena terganggu “seni politik” melihat kehadiran orang-orang Aceh yang begitu menjijikkan di negerinya. Ia membakar, menghancurkan dan menangkap orang-orang Aceh (“Yahudi” dalam pandangan Nero) di camp-camp pengungsi di Malaysia, sambil berpantun Melayu dalam apresiasi seorang Keling. Hanya karena menyenangkan seorang sang General Besar di Jakarta. Dalam pandangan Dr. Mahathir orang-orang Aceh adalah sampah sebagaimana hal yang sama dalam pandangan Hitler terhadap kaum Yahudi di pengasingan. Tiro, belum mendapatkan eksplanasi tentang kebencian dan kejijikan rasistik seorang Perdana Menteri. Dalam pandangannya, Dr.Mahathir Muhammad memiliki pandangan bahwa bangsa Melayu-Keling merupakan etnik yang terbaik di dunia Melayu yang membentang di seluruh kawasan Asia Tenggara. Dia (Mahathir) adalah seorang Megalomania dan Xenophobia.
Untuk waktu yang lama pula tragedi pengungsi Aceh di Malaysia, memberi penyadaran “baru” bagi orang-orang Melayu tentang pentingnya melakukan perubahan internal di tubuh pemerintahannya. Tiro telah memberi “pelajaran” yang berharga kepada orang-orang Melayu bahwa kehidupan “berkecukupan” secara ekonomi akan memberi resiko rendahnya itihad politik serta kebebasan yang dikandungnya berada dalam tahapan emergency . Tentu saja pelajaran politik itu akan terlihat ketika orang-orang Melayu memulai ketidakpuasannya dengan demonstrasi-demonstrasi menuntut pemerintahan Administrasi di Putra Jaya harus melakukan Reformasi di tahun 1998. Selama kurun waktu yang lama strategi “diplomasi perahu” atau “politik pengungsi” telah memberi kontribusi demokrasi yang tak ternilai. Terutama kebebasan dan kemerdekaan yang mesti diraih dengan “keberanian” yang justru selama ini diragukan menjadi watak orang-orang Melayu. Itu adalah keberhasilan Tiro dalam mencangkokkan “keberanian ala Aceh” ke dalam pandangan dan sikap orang-orang Melayu. Strategi itu pula yang menjadikan tanah Melayu itu sebagai tempat kedua setelah Tanoh Indatu .
Lagi-lagi Tiro mendapatkan tantangan (challenges) pasca keberhasilan “diplomasi perahu” di mana reaksi international menguap secara signifikan. Orang-orang Aceh mendapatkan apa yang selama ini dicari yaitu status pengungsi (Refugees Status) ke negara-negara Amerika, Eropa, Australia dan New Zaeland. Akses ke dunia bebas memberi suatu modal yang terbesar bagi perjuangan GAM terus berkembang tanpa henti. Waktunya orang-orang Aceh memulai apa yang disebut Tiro sebagai “masa konsolidasi international”. Ia memberi definisi secara pasti dan terencana bahwa orang-orang Aceh harus bekerja keras membangun kepastian (affirmative), terutama menciptakan “pemerintahan bayangan (Government in Exile ) Aceh di pengasingan. Ia mewajibkan kepada seluruh pendukung dan simpatisan GAM di seluruh dunia untuk memulai tahapan penting itu untuk mendapatkan pengakuan international (International Recognition) terhadap perjuangan pembebasan National Aceh.
Kewajiban itu dianggapnya sebagai “tugas national” atau secara spesifik ia menyebutnya dengan term “tugas patriotik” bagi perwakilan Aceh di negara-negara yang menerima status pengungsi bagi orang-orang Aceh. Seperti di Amerika, Eropa Continental khususnya Belanda dan Belgia. Eropa Scandinavia; Swedia, Noorwegia, Denmark, dan Finlandia. Eropa Bavaria khususnya Jerman, Eropa Anglo-Saxon khususnya Inggris, Australia dan Selandia Baru, Vanuatu dan Timor Leste di kepulauan Pasifik Terkecuali di Asia Tenggara terutama Malaysia dan Muangthai dimana hubungan sejarah politik telah terbina di sepanjang garis pantai Selat Malaka (Malacca Strait) semenjak abad Sutra (Silkworm Century).

Tiro menempatkan pentingnya “tugas patriotik” itu sebagai langkah strategis membangun integritas kepercayaan diri orang-orang Aceh di mata international, yaitu diplomasi. Waktunya menyulap cara “berpikir kesufian” orang-orang Aceh ke dalam apa yang dinamakanya ‘memasuki pandemonium politik antar bangsa’. Tugas ini dalam pandangannya bukanlah kegiatan ringan yang bersifat ritual ala kesufian “duduk berzhikir dan berfikir disertai secangkir kopi plus rokok traditional Aceh ” (Tiro’s Joke). Tapi interaksi itu membutuhkan pengetahuan yang spesifik ala keduniaan yang profan. Tidak mudah melahirkan diplomat Aceh di panggung politik antar bangsa di dunia, karena membutuhkan waktu yang relatif panjang di samping penguasaan seni bertutur tingkat tinggi yang melampaui cara-cara Melayu yang tidak konsistent.
Tiro, memang tidak pernah menyerah (Never Surrender) akan kesulitan melahirkan diplomat Aceh, ia terus bekerja memperlihatkan “contoh-contoh” yang ia yakini dapat diserap serta dijadikan pengetahuan diplomasi bagi para pembantunya. Ia memang tidak pernah kecewa terhadap Menteri Luar Negerinya (State Secretary) Dr. Zaini Abdullah dan Perdana Menteri (Prime Minister) Malik Machmud dalam setiap negosiasi maupun perundingan international yang menjadi tanggung jawab mereka. Walaupun ia sendiri tetap menjadi narasumber. Ia menatap “keberhasilan” diplomasi ASNLF sekaligus sukses bagi diplomatnya ketika “Tokyo Meeting” di langsungkan di ibukota Jepang di bulan April 2003 antara pihak Aceh-Indonesia. Para diplomatnya “bertahan” dengan sikap yang kukuh tanpa bergeser satu incipun. Tiro memaknainya sebagai sebuah “kemenangan besar” yang patut dicatat dalam sejarah perlawanan Aceh. “Perang adalah bagian dari diplomasi”.
Ia berasumsi kegagalan “Tokyo Meeting” lebih disebabkan ketidakseriusan pemerintah Jepang di bawah Administrasi PM Koizhumi dan pemerintah AS dibawah Administrasi Partai Republik pimpinan George W. Bush untuk menekan regime Indonesia. Baginya tanggungjawab international Jepang dan politik keamanan AS mutlak diperlukan di Aceh. Mengingat pertimbangan ekonomi dan keamanan yang semakin mengkhawatirkan di Selat Malaka, sebagai pintu gerbang ekonomi di Asia. Ia juga menempatkan suatu Grandstrategy memancing armada laut AS sekaligus memainkan roda “counter terorrism” sebagai isu utama bagi GAM melawan isu terrorism made in Indonesia di Selat Malaka. Kehadiran politik keamanan national America (America National Security) di Selat Malaka dalam prediksinya akan menciptakan perpecahan (Friction) koalisi yang dibangun dalam struktur Asean. Ia memang tidak pernah memandang ragu terhadap sekutu traditional AS-Singapore di satu sisi, serta Indonesia-Malaysia di sisi lain. Dan menempatkan Phillipines-Thailand secara neutral dalam partisipasi Amerika di Selat tsb. Pada gilirannya akan merombak seluruh struktur baku kekuatan regional menghadapi kekuatan unilateral AS di selat itu.
Menurut The Washington Post, kebijakan AS di bawah Administrasi pemerintahan Bush itu telah melahirkan ‘era baru’ dalam hubungan antar bangsa. Di mana pemerintahan AS mengagendakan rangkaian kebijakan yang lebih bersifat preventif, seperti serangan pre-emptive maupun ambisi untuk membawa perubahan-perubahan radikal di dunia untuk melawan terrorisme. Misalnya format yang diciptakannya di Timur Tengah seperti perang di Iraq. Menyusul keterlibatan Iran dalam isu nuklir, dan Suriah terhadap dukungan kepada kelompok-kelompok teroris di Timur tengah. Menyusul konflik di Semenanjung Korea. Serta keterlibatan AS di Afghanistan dalam menanamkan pengaruhnya di pemerintah itu. Tidak tertutup kemungkinan ‘strategi pre-emptive’ telah berkembang sedemikian rupa terhadap kawasan Asia Tenggara. Di mana AS memandang negara-negara Asean seperti Indonesia, Malaysia, Singapore, dan Thailand kurang serius memahami politik global yang sedang dimainkan dari Gedung Putih (White House). Di sini kejelian strategi Tiro dibuktikan dengan memanfaatkan ‘emosi militer’ Amerika untuk memainkan peran tersendiri di kawasan itu.
Ada banyak keuntungan politik jangka panjang bagi GAM, terutama bagi Tiro lewat Grandstrategy dalam kaitannya kehadiran armada laut AS di Malaka di antaranya; 1). Membongkar isolasi pertahanan laut Indonesia di Selat Malaka serta merubah konstelasi “politik regional” ala Melayu di mana Indonesia-Malaysia menjadi bagian. Serta merubah haluan “politik regional” menjadi “politik international” sesuai dengan status selat itu. Itu juga akan menciptakan konfigurasi yang rumit dan kompleks, yang tentu saja mengusik para amnesia yang berada di Putra Jaya dan Jakarta. 2). Memonitoring situasi konflik yang berkembang di Indonesia terutama di daerah-daerah konflik yang berdekatan dengan kepulauan Sumatera khususnya Aceh dan Riau. Serta “intervensi semi permanensi” terhadap kebijakan-kebijakan regime Jakarta terhadap status daerah konflik. 3). Menjaga status “masa transisi” Indonesia secara berkelanjutan (sustainable), dalam arti Indonesia akan menjadi sebuah “arena politik” kebijakan luar negeri AS di Asia Tenggara. Tiro memiliki keyakinan dan berasumsi, bahwa Amerika tidak memiliki kepentingan terhadap masa depan demokrasi Indonesia serta menolak seluruh asumsi-asumsi yang menyebutkan “Amerika memiliki interested terhadap demokrasi di Indonesia. Paman Sam (Uncle Sam) hanya menjaga kepentingan modalnya dan melindungi investasi ekonominya. Dalam asumsinya ketika modal Amerika terganggu para investornya akan mengalihkan usahanya di negara lain. Dengan sendirinya Amerika akan mencabut dukungannya terhadap Indonesia.
4). Mengkritisi sekaligus mencela regime Jakarta terhadap situasi HAM di Aceh, Papua, dan Maluku secara keras. Karena ada usaha-usaha yang serius dari pemerintahan sipil Jakarta menjadikan daerah-daerah konflik itu sebagai ‘daerah yang tak bertuan’ (Grey Area) dengan sistim “darurat perang” (Martial Law). Artinya pemerintahan Jakarta akan memperlakukan situasi dan kondisi menurut selera serdadu yang bertugas di lapangan. Itu sama halnya dengan semakin buruknya kondisi HAM di Aceh maupun daerah-daerah konflik lainnya. Dalam pandangan Amerika pemerintahan Jakarta semakin lemah secara politik dan menaiknya eskalasi militerisme. 5). Meninjau kembali hubungan politik-militer antara AS-Indonesia disebabkan status pelanggaran HAM di daerah-daerah konflik. 6). Memonitoring status “wilayah perang” Martial Law di Aceh, yang dalam pandangan Tiro menyebabkan situasi terrorisme meningkat secara pesat, Ia menuduh komando Tentara National Indonesia berada di balik meningkatnya situasi terror di Selat itu. 7). Tiro menyetujui kehadiran Armada Amerika di Selat Malaka .
Barangkali masih banyak orang yang berpendapat kerusuhan yang mendadak muncul, seperti bentrokan antar agama di Aceh, Maluku dan Irian Jaya, dan terakhir keributan yang berlangsung di sekitar Timor-Timur, terjadi karena adanya gerakan-gerakan destabilisasi yang spontan di republik Indonesia ini. Saya menganalisa berita-berita yang meresahkan dari Jakarta ini dalam konteks di mana Amerika Serikat selama bertahun-tahun di Asia, Afrika, Amerika Latin atau di USSR yang sekarang terbukti melakukannya: destabilisasi yang terarah dan bila kepresidenan Megawati yang lemah dan tidak bergerak ini akan menjatuhkan Indonesia dengan lebih cepat, maka Washington akan menjatuhkan Mega.
Hingga masa Pertengahan Operasi Militer di Aceh (1993-1995) atau yang lebih dikenal “Operasi Jaring Merah” yang disebut oleh Tiro sebagai suatu tindakan barbar dan biadab menyerupai masa kekuasaan regime Khmer Rouge (1970-1978) di Kamboja. Pembunuhan yang sistematik (Systematic Killing) dan pembersihan etnik (Ethnic Cleansing “ala Serbia” terjadi di Aceh selama operasi militer terjadi secara simultan terhadap orang-orang Aceh. Ia mengutuk pembunuhan dan pembersihan etnik sebagai cara pengecut regime Jakarta dalam meredam situasi konflik di Aceh. Lebih jauh lagi Tiro menuduh regime militer General Soeharto telah menciptakan “perang kotor” (Dirty War) yang memalukan. Selama tahun-tahun itu, Tiro telah meningkatkan upaya pembentukan opini international serta lobbying politik yang gencar di berbagai penjuru dunia. Ia mentargetkan kawasan-kawasan Amerika dan Uni Eropa sebagai lahan subur lobbying internationalnya. Karena kawasan-kawasan itu memiliki komitmen yang tinggi terhadap HAM dan dinilai sebagai kawasan yang bebas dari kepentingan regime Indonesia. Tiro bertemu dengan banyak tokoh politik negara (mayoritas oposisi), HAM, NGO international dan professor-professor di perguruan tinggi di Amerika dan Eropa. Pertemuan-pertemuan berkala itulah yang membuat perhatian international begitu tinggi merespon isu Aceh sampai menjelaskan visinya terhadap masa depan negeri Sumatera.
Berkali-kali regime militer Indonesia mengalami shock dan amnesia ketika memahami survivalitas GAM dibawah pimpinan Tiro, masih eksis dan kuat menghadapi tekanan militer yang buas yang dilancarkan dari Jakarta. Tiro memang mengetahui secara benar tentang Operasi Militer itu serta merta akibat yang ditimbulkan dari operasi itu. Ia mendefinisikan Operasi Militer itu sebagai sebuah “perang terselubung” (Silent War) untuk mematikan langkah-langkah perjuangannya. Untuk pertama kalinya pasca tahun-tahun pembebasan (1976-1989). Tiro kembali dihadapkan dengan berbagai peristiwa di mana para gerilyawannya maupun simpatisannya mengalami tekananan yang begitu kuat sehingga harus melakukan perlawanan. Ia kembali menyusun strategi militernya setelah keberhasilan “diplomasi perahu” untuk melakukan strategi aksi gerilya “ala Aceh” yang dipandangnya sangat ampuh untuk menghancurkan “moralitas” tentara pendudukan. Ia mewajibkan para pendukungnya untuk melawan bila diserang. Ia mengembangkan strategi perang gerilya secara “defensive”, sebagai suatu tindakan permulaan menuju strategi perang gerilya yang sesungguhnya dalam arti “ofensive”. Perang telah menjadi sebuah kata dengan makna yang sangat luas. Ia juga yang menentukan ada atau tidaknya, berhasil atau tidak, gagal atau sukses suatu cita-cita. Dalam kaitan itu perang dapat ditafsirkan sebagai suatu perlawanan universal dengan akibat-akibat yang mendunia.
Tiro mengetahui secara baik tentang kemampuan para gerilyawannya, sehingga ia mengatur dari jarak yang mereka sendiri tidak mengetahuinya. Ia memberi perintah-perintah yang pasti dan keras menyangkut strategi perang gerilya. Ia membedakan secara tegas upaya-upaya sabotase militer dengan tindakan-tindakan terrorisme. Karena dalam situasi perang pembebasan disertai dengan strategi gerilya, para gerilyawan bebas melakukan penyerangan-penyerangan terhadap kanton-kantong konsentrasi musuh yang bertebaran di seluruh pelosok Aceh. “Lini konsentrasi” dan bivak-bivak militer menjadi strategi tentara pendudukan Indonesia di Aceh, tidak terkecuali di pasar, kota, desa dan perkampungan penduduk, bahkan di sekitar pemukiman terdapat benteng-benteng serdadu yang tertutup oleh kawat berduri. Hal itu menyerupai posisi para serdadu Belanda seratus tahun yang lalu ketika mereka melakukan perang panjang yang ‘tak berkesudahan’ dengan para gerilyawan Aceh.
Pengalaman yang sama kini terulang kembali dalam strategi perang antara serdadu Indonesia dengan para gerilyawan Aceh Merdeka. Dari tahun 1976-2004, eskalasi militer dari terus meningkat secara drastik dan fundamental tidak hanya dari segi persenjataan moderen bahkan dari ‘metasenjata’ (Metawheapon) pun ikut terlibat secara pasti. Artinya perlawanan Aceh tidak hanya berhenti pada sisi persenjataan militer. Tetapi juga dalam ‘emosi kebangsaan’ dan ‘pemikiran kenegaraan’ yang selama lebih dari tiga dasawarsa semenjak revolusi sosial dan Pemberontakan Darul Islam Aceh, telah hilang dalam pandangan orang-orang Aceh. Kini ‘emosi kebangsaan’ dan ‘pemikiran kenegaraan’ mulai berdenyut kembali seiring dengan pulihnya luka-luka lama yang tetap menyisakan ‘borok psikologis’ di kalangan kaum Uleebalang dan keturunannya. Aceh selama lebih dari tiga generasi melakukan perlawanan tanpa henti.
Tetapi rumitnya strategi militer Tiro dijawab oleh regime Jakarta dengan menciptakan kantong-kantong konsentrasi di tengah masyarakat atau diperkampungan penduduk. Strategi “pagar betis rakyat” yang dipakai oleh tentara Indonesia di Aceh dalam pandangnya mencerminkan “rendahnya moral pertempuran” dan “ketidaksiapan” militer Indonesia untuk berperang berdasarkan prinsip-prinsip hukum international yang dianggapnya sebagai kaidah-kaidah universal yang mutlak dipatuhi para pihak yang terlibat konflik. Tentara pendudukan telah menjawab strategi perang gerilya (Guerilla War) dengan menduduki pusat-pusat perkampungan penduduk serta menjaga logistik kota untuk tidak jatuh ke tangan kaum pemberontak Aceh Merdeka. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh seorang pengamat militer, bahwa perang gerilya di Aceh sesungguhnya telah menyatu dalam konsep perjuangan orang-orang Aceh. Dengan kode-kode yang tidak dimengerti oleh tentara Indonesia, mereka berhasil melakukan perlawanan sistemik bahkan mereka dapat bertahan sekaligus mempersiapkan secara terus-menerus perang dalam jangka waktu yang lama dan panjang.
Selama kurun terakhir Operasi Militer Indonesia (1995-1997) di Aceh, Tiro berhasil membentuk opini international menyangkut “status Aceh” di panggung politik antar bangsa. Tiro memang tidak pernah mencangkokkan apa yang disebutnya gagasan “Timor Portugal” terhadap ‘Aceh Nederland’ sebagai suatu prinsip perjuangan. Ia selalu keluar dari logika ‘Aceh bagian dari Kerajaan Nederland’ dan juga menolak secara tegas keberadaan Aceh dimasukkan ke dalam wilayah Hindia Belanda yang menjadi ukuran legal territorial Indonesia sekarang ini. Kampanye international Tiro, di Eropa telah berhasil menciptakan “jalan peta konflik” (Road to Conflict) ke masyarakat international, setidak-tidaknya merebut wacana international (International Discourse) dalam versi GAM atau ASNLF. Itu merupakan keberhasilan diplomasinya selama di pengasingannya.
Usaha diplomasi itu terus dilakukan tanpa henti mengingat substansi (Cored) kampanye international terletak pada “bagaimana” menyakinkan masyarakat international tentang perjuangan orang-orang Aceh. Tiro dalam membentuk opini international sering memakai terminology filosofi politik pembebasan sampai dengan filosofi fundamental dari cara berpikir “pencerahan barat” (Western Renaissance) akan kebebasan manusia khususnya keberadaan orang-orang Aceh. Ia selalu bertanya kepada publik international dengan “apa artinya kebebasan itu? (What the Meaning to be Free), salahkah jika orang-orang Aceh menginginkan tempat tinggalnya sendiri sebagaimana bangsa-bangsa lain di dunia? (What to be wrong when the Achehnese want to base home for him/her self?) dan “dukunglah kami untuk mencapai kebebasan itu ! (Support Us will be Freedom!). Itu merupakan logika yang sangat sederhana dalam pandangan orang-orang yang bermental tiranik. Tapi merupakan logika sejarah yang paling mendasar menyangkut peradaban moderen Barat dan dihargai di sepanjang jaman modernisasi.
Memasuki Akhir tahun (1997-1998) merupakan masa “kemenangan politik” bagi Tiro walaupun dengan harga yang sangat mahal. Para pendukung maupun simpatisan GAM sebagian besar berada di negeri Jiran bersiap untuk kembali untuk memulai aksi baru. Tahun-tahun ini ditandai oleh bebagai peristiwa politik dan ekonomi di tingkat nasional dan regional. Krisis ekonomi, disertai krisis politik dengan tumbangnya regime militer General Besar Soeharto. Reformasi politik di tubuh tentara Indonesia, dan demonstrasi-demonstrasi mahasiswa diseluruh Indonesia yang menghendaki perbaikan nasib rakyat. Dan yang lebih signifikan di mata Tiro dengan dicabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM) di bulan Agustus 1997. Dan pada tahun yang sama penarikan seluruh pasukan non-organik tentara pendudukan di Aceh. Itu artinya kemenangan politik sekaligus kemenangan strategi militernya. Panglima TNI General Wiranto di bulan Agustus di tahun yang sama “mengucapkan rasa penyesalannya yang sangat tinggi serta meminta maaf kepada rakyat Aceh terutama perlakuan TNI terhadap rakyat sipil. Berselang dalam beberapa hari kemudian “President transisi” B.J. Habibie di depan Mesjid Raya Banda Aceh juga mengucapkan hal yang sama.
Tindakan pelanggaran HAM di Aceh akibat diterapkannya DOM (daerah operasi militer) telah mendorong terjadinya hujatan-hujatan terhadap militer. Dalam pidato kenegaraan 15 Agustus 1998, Presiden Habibie mohon maaf atas semua kesalahan yang telah dilakukan oleh pemerintahan yang lampau, khususnya oleh militer. Ia berjanji bahwa pelanggaran serupa itu tidak akan terjadi lagi. Sebagai bagian dari proses Reformasi, unit-unit angkatan Darat yang bukan merupakan bagian dari komando teritorial setempat segera ditarik dari Aceh dan timor-Timur. DOM di Aceh juga dicabut. Di bulan Agustus 1998, Wiranto mengambil langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya, meminta maaf bagi pelanggaran HAM oleh ABRI di Aceh, suatu sikap yang mengganggu perasaan para perwira senior dan menengah. Wiranto harus menerapkan garis tipis antara mengakui kekeliruan masa lalu dan menyakinkan ABRI agar tetap mempertahankan keterpaduan dan semangat yang diperlukan untuk mengatasi masalah yang berat dihadapi di masa depan. Pokok pembicaraan tertuju pada Aceh, di mana angkatan bersenjata sejak tahun 1984 melakukan perang gerilya melawan Gerakan Aceh Merdeka, suatu organisasi yang menuntut kemerdekaan bagi daerah yang terkenal dengan ketaatannya terhadap Islam. Laporan-laporan itu ditindaklanjuti pada anggota Komnas HAM ke Aceh. Dengan ditemukannya tulang-belulang dari kuburan massal oleh Komisi tsb, kesan ABRI di mata masyarakat pun jatuh paling buruk sepanjang sejarah.
Sebaliknya dalam pemikiran Tiro, waktunya untuk segera melakukan apa yang disebutnya “konsolidasi militer dalam skala massive”. Ia menginstruksikan kembali para pendukungnya di Malaysia untuk bersiap-siap kembali ke Aceh. Dana perjuangan terkumpul dari orang-orang Aceh menjadi jembatan penghubung membiayai kepulangan para pandukungnya. Tiro, menciptakan strategi militer berskala besar untuk memulai tahapan lanjutan yang “tersisa” yang ia beri nama Tentara National Aceh (TNA), yang pada awalnya diterjemahkan dengan Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Ia kembali merumuskan “pola lama” dengan strategi baru. Ia memberi kepercayaan kepada Tgk. Abdullah Syafie sebagai panglima sekaligus wakilnya untuk memimpin perang pembebasan hingga kemerdekaan Aceh.
Tiro memang tidak pernah keliru memilih orang-orang kepercayaannya untuk memimpin aksi dalam skala kolosal. Ia memiliki kepercayaan penuh bahwa orang-orang disekelilingnya tidak pernah mengkhianatinya seperti hanya dengan sang Panglima Abdullah Syafie (1952-2000) yang syahid dalam pertempuran di Jiem-Jiem bersama dengan istrinya yang sedang mengandung. Dalam pandangan Tiro, bahwa itulah suatu tindakan yang paling heroik dari seorang Panglima Perang Aceh bertempur hingga darah yang terakhir (The Last Blood). Begitu juga yang telah diperlihatkan kembali oleh Panglima Aceh Merdeka wilayah Peureulak, Aceh Timur Ishak Daud meninggal dalam baku tembak bersama dengan sang istri yang tercinta.
Akan berbeda halnya dengan para Jenderal di Indonesia, yang lebih suka mengatur strategi perang diatas meja. Selanjutnya menyerahkan operasi militer bersama ribuan serdadu terlibat di medan perang Aceh. Agaknya ada psikologis politik yang diderita oleh para Jenderal, bahwa logika sejarah militer di Aceh selalu memiliki keunikan yang tak terduga, disamping sejarah pengalaman masa kolonial Belanda di Aceh menyimpan misteri ketakutan dan horor yang membuat mental Jenderal menjadi surut karenannya. Adalah Major General J.H.R. Kohler adalah korban ekspedisi yang keliru ini. Ketika berdiri dalam kubu itu tanggal 14 April 1873 sebutir peluru menembus dadanya dan menewaskannya. Saat itu seluruh ekspedisi militer Belanda kehilangan semangat.
Kejadian yang berusia lebih dari seratus tahun yang lalu telah menjadi pelajaran yang mahapenting bagi siapapun yang terlibat perang di Aceh di waktu kini mapun masa yang akan datang. Itu bukanlah sebuah romantisme picisan dengan kualitas rendah, merupakan pelajaran militer yang teramat mahal harganya. Sementara sebuah helicopter TNI Angkatan Darat yang terbang rendah dari Takengon-Bireun jatuh. Akibatnya delapan anggota TNI tewas, lima di antaranya adalah perwira. Belum diketahui secara pasti penyebab kecelakaan yang membuat badan helicopter itu hancur berkeping-keping. Ada dugaan kuat bahwa gerilyawan Aceh Merdeka berhasil menembak helicopter yang terbang rendah dari Takengon-Bireun. Dengan melewati wilayah udara di mana gerilyawan sedang menguasai daerah pegunungan dan hutan di sekitarnya. Sementara di Jakarta transisi kekuasaan sedang berlangsung antara pemerintahan Megawati Soekarnoputri-Hamzah Haz ke pemerintahan baru Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Kalla. Transisi kekuasaan ini berarti, perang di Aceh sedang memasuki tahap baru seiring dengan pergantian posisi kepemimpinan pemerintahan di Jakarta. Perang di Aceh telah memperlihatkan hasil-hasil yang nyata. Aceh, bukanlah sebagaimana yang diasumsikan oleh sebagian para petinggi TNI sebagai “tempat latihan militer” (Military Training Field). Tapi ia merupakan tempat perang yang sesungguhnya.
Segera saja para panglima wilayah melakukan Re-gruoping di seluruh wilayah Aceh tanpa kecuali termasuk Batak dan Tanah Karo. Secara militer, geopolitik Aceh ditentukan oleh sub-ethnik yang membentang dari dataran rendah sampai ke dataran tinggi Gayo, dan Alas sampai pesisir yang didiami mayoritas orang-orang Aceh. Secara struktur militer wilayah Aceh terbagi ke dalam beberapa komando yang membawahi daerah masing-masing. Di mana para gubernur dan panglima wilayah membagi kekuasaan (Power Sharing) secara merata dan bijaksana serta ditentukan oleh “keadaan bahaya” (Emergency Status) dimana komando wilayah memiliki hak prerogative. 1). Wilayah Tamiang , 2).Peureulak , 3). Samudra Pase , 4). Batee Iliek, 5). Pidie , 6). Negeri Alas-Gayo , 7). Aceh Rayeek, 8). Aceh Selatan 9). Meurehom-Daya, dll. Secara administrative seluruh wilayah tunduk pada kekuasaan gubernur dan secara militer tunduk pada panglima wilayah. Tiro, memang tidak pernah menolak dengan status sub ethnik dalam komando militernya, sebaliknya ia melegalkan kekuatan militer TNA dengan konsep “sub ethnik” (Sub Ethnic) dan “historik” (Historic) sebagai character Aceh. Sub ethnik yang dimaksutkan oleh Tiro, sebagai keberagaman (Diversity) yang dimiliki oleh Aceh sebagai sebuah Nation-State. Jadi Aceh dalam pandangannya tidak terlepas dari sub ethnik yang mendiami Tanoh Indatu di sepanjang jaman. Ia tidak menutup kemungkinan bahwa sub ethnik lain akan bergabung sepanjang kehadiran mereka tidak menciptakan perkampungan (Ghetto).
Historik, dalam pandangan Tiro memiliki asumsi bahwa komando militernya memiliki hubungan dengan sejarah perjuangan Aceh di masa lalu. Kondisi perlawanan Aceh di masa lalu misalnya tidak lepas dari “resistensi sub ethnik” di masa perang kolonial Belanda di Aceh (1873-1942). Itu memperlihatkan bahwa Tiro, sangat serius dalam memahami keberagaman dan pluralitas Aceh dalam segala hal. Itu pula yang membuktikan bahwa “model negara imaginer” yang dimaksudkannya itu tentu saja akan berpijak pada “model pluralitas sejarah sub ethnik” (Sub Ethnics Plurality Model) Aceh di masa lalu. “Model negara imaginer Tiro” berkembang sesuai dengan ‘nalar’ sejarah Aceh masa lalu. Ia hanya mencoba untuk melakukan beberapa modifikasi tatanegara (Adat) Monarchy Aceh ke dalam bentuk pemerintahan yang stabil. Misalnya soal fenomena ‘penguatan’ penguasa-penguasa wilayah (Uleebalang) yang mesti mengalami perubahan dan pembaruan dalam sistim kerja dan fungsinya. Hubungan antara wilayah dan wilayah mengambil sistim federal yang ketat berdasarkan geo-politiknya.
Tiro, memang tidak ingin terjebak dengan sistim Uleebalang masa lalu yang melampau kerja pemerintahan pusat (Sultan) dalam pembagian tugas kenegaraan. Tetapi itupun harus dipertimbangkan secara serius bahwa di Monarchy Aceh mengenal apa yang disebut sebagai diktum politik: “jika Kesultanan (pusat) lemah maka kontrol kekuasaan akan semakin lemah, sebaliknya jika Kesultanan kuat maka sistim federasi akan berkembang secara sehat”. Sebagaimana yang dikatakan Ricklefs:”Maka berhasilnya penyelenggaraan kekuasaan militer di Aceh tergantung pada seorang penguasa pusat yang kuat, yang dapat mempertahankan tetap berlangsungnya konsensus di kalangan kaum elit; apabila penguasa seperti itu tidak ada, maka akan timbul banyak konflik di dalam negeri.
Justru sistem ‘federasi Aceh’ dalam “Seccessor State” atau ‘Imagined State’ nya Tiro, akan dimulai dari tahap yang paling sederhana menuju tahapan yang paling kompleks lazimnya sebuah negara moderen. Ia memulai semua itu dengan pembentukan organisasi perjuangannya, terutama unit militernya. Organisasi pertahanan itulah merupakan cikal-bakal perkembangan organisasi kenegaraan Aceh di kemudian hari. Dari semangat pembagian wilayah berdasarkan Reusam dari masing-masing daerah itu selain sejarah pluralitas Aceh, konsep ‘federasi Aceh’ menjadi salah satu unsur paling penting mengenai entitas Aceh dalam masa pembebasan diri. Justru karenanya keberhasilan membentuk jaringan kerja diberbagai wilayah di Aceh tetap memakai jaringan Reusam yang telah teruji keberadaannya di sepanjang sejarah perlawanan di Aceh. Masing-masing daerah memiliki ‘hak federal’ sebagai bagian dari konsekwensi Reusam di masing-masing tempat. Maka dari semangat itu pula tercipta pola ‘administrasi federal’ dalam tubuh gerilyawan Aceh Merdeka, dalam soal logistik dan amunisi diatur dari konsep itu. Maka tercipta pula konsep ‘gerilya federal’ ala Aceh dengan ‘koordinasi komando Tiro’ sebagai pusat sentrifugal yang mendistribusikan sistim strategi perjuangan yang berubah dari waktu ke waktu.
Karena konsekwensi Reusam masing-masing tempat maka, munculnya para Panglima gerilya secara ‘federal’ pula yang berkordinasi secara reguler dengan Panglima Tinggi di markas Tiro. Dari sana pula munculnya sistim Panglima Tinggi ala Kepala Staff Gabungan, di mana Panglima-Panglima wilayah ‘federal’ merupakan penguasa-penguasa wilayah yang diakui eksistensinya di mata Menteri Pertahanan, yang dijabat oleh Tiro sendiri. Dalam wilayah gerilya militer ‘sistim federal’ telah berlaku mutlak disertai dengan tingkat koordinasi yang tinggi pula. Itu pula yang akan memberikan gambaran di kemudian hari tentang bentuk dan sistim pemerintahan Aceh.
Sampai pada tahun-tahun transisi politik Indonesia (1998-2000), apa yang dimaksudkannya sebagai “konsolidasi militer berskala massive” terus dilakukan oleh para panglimanya di wilayah masing-masing. Rekruitmen pemuda di perkampungan-perkampungan di seluruh Aceh, guna mendapatkan latihan militer (Military Training) menjadi tema sentral pergerakan GAM. Ribuan tenaga militer gerilya terkumpul dalam waktu yang sangat singkat dan padat. Gejala massive itu dalam pandangan Tiro, merupakan iklim yang fundamental dan memberi harapan baru bahwa perlawanan Aceh akan meningkat pesat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Tentu saja, gejala massive itu akan memberi shock dan histeris- nya para pemimpin politik Indonesia yang bertahta di Jakarta. Tidak ada para pengamat militer yang menduga (kecuali inteligent itupun kalau ada) apalagi para pengamat Aceh yang merasa “tahu” (Understanding) tentang “gerakan gerilya” (tidak terkecuali NGO yang selama ini menjadi karidor informan) merasa “kecolongan” dengan manuver itu. Di seluruh wilayah komando Aceh terbentuk unit-unit lapangan (Unit Field) yang berfungsi sebagai tempat pelatihan khusus. Tenaga-tenaga muda diseleksi dari tingkat yang paling sederhana dari Gampong ke (Sagou), terus ke tingkat Daerah (Distric) sampai ke tingkat wilayah (Territory) sebagaimana lazimnya militer profesional.
Tiro bermaksud menjadikan “militer gerilya” ke “militer professional” sebagaimana konsep negara demokrasi moderent. Ia memiliki asumsi yang jelas dan tegas bahwa Tentara National Acheh (TNA) merupakan fundamental Nation-State Acheh. Ia menciptakan doktrin TNA sebagaimana filosofi “rumah tradisional Aceh” (Rumoh Atjeh) bahwa Tentra Nanggrou Acheh adalah fundamental (Tameeh) yang menyangga seluruh bentuk atau model sekaligus beban isi rumah Aceh tersebut. Dalam filosofi Tiro, Rumoh Atjeh menyerupai model Nation State versi ke-Aceh-an di mana ruang-ruang demokrasi menjadi bagian yang inherensi dan permanensi. Ia begitu ter-obsessive dengan “demokrasi model ke-Aceh-an” (Native Democracy) yang coba ia kembangkan di tahun-tahun masa di pengasingan (In Exile), terutama di Amerika dan Swedia. Kedua negara itu telah memberikannya inspirasi yang terbesar untuk memproyeksikan Nation-State Acheh berdasarkan nilai-nilai asli (Native) dalam ruang lingkup yang luas serta tidak terkooptasi oleh nationalism ethnis (Ethnic Nationalism) yang bergaya “Serbia” ataupun bermodel “negara kesukuan” (Tribal State) Tutsi-Hutu di Rwanda.
Tiro memproyeksikan Tentara National Acheh (TNA), memiliki tugas pertahanan negara (Bila Bansa), profesional, dan tidak terlibat dalam politik praktis. Ia terus mendesaint pola tentaranya menurut standard bangsa-bangsa beradab di dunia yang sedang berubah. Ia melarang keras tentaranya terlibat dalam partai politik atau melakukan hubungan dengan elit politik sekalipun. Keberpihakan TNA khusus ditujukan pada penghormatan terhadap Negara dan Rakyat, serta bukan pada elit politik atau partai politik atau terlibat secara penuh dalam gerakan penggulingan kekuasaan (Coup d’etat). Ia ingin tentaranya berada di tengah-tengah orang-orang Aceh serta menjadi alat pertahanan yang tangguh dan kuat. Ia melihat masa depan TNA akan menjadi tentara yang benar-benar a-politik, profesional, dan memiliki komitmen yang kuat terhadap Monarchy Aceh. Tiro mengatakan:”Angkatan perang dan kepolisian adalah alat-alat negara yang diamanahkan memegang monopoli kekuasaan dari seluruh masyarakat dan bertugas untuk melindungi masyarakat itu dari bahaya-bahaya luar, dan untuk menjaga jangan sampai dipakainya alat-alat kekerasan itu oleh suatu golongan untuk menindas golongan lain di dalam negeri. Oleh karena itu, falsafah demokrasi menghendaki tunduknya kekuasaan tentara pada kekuasaan politik dan terpisahnya ketentaraan dan kepolisian dari lapangan politik.
Semenjak tahun-tahun awal perkembangan ASNLF/GAM, ia melihat partisipasi perjuangan yang dibebankan kepada angkatan perangnya terlampau berat dan rumit. Artinya ia juga memproyeksikan kekuatan-kekuatan sipil yang progressiv yang dapat bekerja sama dengan angkatan perangnya. Ia berusaha menciptakan pola yang ketat terhadap keterlibatan tentara atau angkatan perang terhadap masalah-masalah sosial dan politik. Ia justru menerapkan sistim hukum yang tegas dan pasti terhadap keterlibatan militer dalam politik. Tiro mengatakan:”Dalam suatu negara demokrasi ketentaraan dan kepolisian di letakkan dalam suatu ikatan hukum yang tegas, mengendalikan dan memberi ketentuan dalam segala gerakannya. Ke dalam negeri, tiap gerakan mereka, walaupun untuk menangkap seorang manusia, harus mendapat persetujuan dari mahkamah kehakiman; ke luar negeri, tiap gerakan mereka haruslah dengan perintah dari kekuasaan politik yang tertinggi. Dalam kedua lapangan itu, mereka tidak memiliki kehendak, keinginan atau politiknya sendiri.
Tiro menyadari bahwa perkembangan pasca Perang Dingin (Cold War) membawa dampak perubahan dunia dalam skala massive tak terkecuali dalam sisi perjuangan politik pengakuan international terhadap yang diharapkannya. Ada pergeseran-pergeseran yang sangat massive, krusial, dan fundamental pasca “Perang Ideologi” dan ledakan ethnik (Ethnic Explosive) yang menghendaki perubahan-perubahan strategi perjuangan ASNLF di dunia international. Ia harus menyakinkan Administrasi-Administrasi pemerintahan di dunia sebagai suatu keniscayaan dalam politik antar bangsa untuk meraih kekuatan (Power) dan perjuangan untuk meraih dukungan negara (State Actor). Ia tidak menafikan apa yang terjadi dalam era pasca Perang Dingin itu, tetapi timbul persoalan dalam dirinya antara konsep (Blueprient) ASNLF yang telah baku di satu sisi dengan perubahan dunia dalam scala massive di sisi lain. Itupun dengan pilihan-pilihan yang tidak sederhana dan mengandung resiko-resiko yang tidak kecil.
Pertama, mengikuti perubahan-perubahan international dalam scala massive di mana Administrasi negara-negara besar menuntut perubahan strategi perjuangan dari gerakan bersenjata (Arms Struggle) menuju “garis dialog” (Dialog Line) yang dimediasi oleh negara penengah (State Mediator) ataupun masyarakat international (Non State Mediator). Kedua , menghendaki garis kompromi (Compromise Line) antara pihak-pihak yang bertikai untuk segera melakukan reconsiliasi politik (Politic Reconcile) antar pihak yang bertikai. Ketiga , ada upaya negara-negara besar sedang melakukan perang terhadap terrorism (War Terrorism) pasca 11/9/2001 di Amerika segera menjadi model kebijakan bangsa-bangsa terhadap terrorisme. Keempat, adanya tekanan yang sangat kuat dari Administrasi negara-negara besar yang disponsori oleh pemerintah AS dibawah Administrasi George W. Bush untuk “memasukan” semua Organisasi Pembebasan ke dalam daftar terrorisme international.
Tiro memang tidak khawatir dengan tuntutan Administrasi negara-negara besar itu. Justru ia memaknainya dengan merebut opini international dan memberi keyakinan politik kepada AS dan Uni Eropa, bahwa Organisasi Pembebasan Acheh (ASNLF) siap berunding dengan Pemerintah Jakarta. Itu dilakukannya semata-mata untuk menghindari “image terrorisme’ (Terrorism Image) yang begitu deras melanda dunia, khususnya AS dan Uni Eropa. Meskipun ia menyadari bahwa AS memiliki bias politik (Double Standard) di kawasan Asia Tenggara, khususnya terhadap Indonesia. Pertama, AS ikut terlibat dalam masalah-masalah ekonomi politik terutama “kristalisasi konflik” lewat investasi di daerah-daerah konflik seperti di Aceh (Exxon Mobil) , Riau (Caltex), dan Papua Barat (Freeport Macmorant) dalam skala massive dan berkewajiban melindungi investasinya dari pengaruh konflik. Kedua, AS juga telibat dalam proses negosiasi perundingan antara ASNLF/GAM-Pemerintah Indonesia dengan menjadikan dirinya sebagai pengamat (Observer). Di mana HDC (Henry Dunant Center) sebagai fasilitator. Sebagai “pengamat” posisi Amerika sangat menguntungkan di kedua belah pihak yang berkonflik. Artinya siapapun yang akan memenangkan peperangan atau keberhasilan meraih dukungan international posisi Amerika tetap tak tergoyahkan.
Manuver itu berhasil dilakukan Tiro, pemerintah AS dibawah George Bush menjadi “familiar” dengan GAM, jauh sebelum pemerintahan Jakarta di bawah Administrasi Megawati Soekarnoputri menempatkan posisi ASNLF sebagai Organisasi Terroris”. Lantas ketika aksi kelompok terroris international yang riil muncul, sikap masyarakat tidak berubah. Celakanya lagi, untuk mendiskreditkan kelompok perlawanan bersenjata di Aceh. Aparat keamanan “gemar” menyebut GAM pelakunya. Termasuk peristiwa serangan bom di sejumlah kota secara serentak pada malam Natal 2000. Lebih jauh lagi Tiro, memahami politik luar negeri Amerika semenjak pergeseran nilai sejarah hubungan antar bangsa pasca Perang Dunia II berakhir. Tapi Tiro mengetahui secara persis hubungan tradisional Monarchy Aceh-USA selama beberapa dekade yang lalu sebelum invasi Belanda ke Aceh 26 Maret 1873.
Ia mencoba membangun kembali hubungan tradisional itu ke tahap ‘mencari’ pengakuan resmi pemerintahan Amerika terhadap perjuangan pembebasan Aceh yang ia pimpin. Hubungan tradisional antara Monarchy Aceh-USA terus berkembang meskipun dengan interval waktu yang berbeda. Dalam pandangan J.C. Bancrotf Davies, Asisten Menteri Luar Negeri USA mengatakan:”Ketika Belanda mengancam akan menghentikan kegiatan perompakan dan mengakhiri kemerdekaan Aceh melalui suatu blokade dari pantai, Sultan Aceh mencari sekutu-sekutu asing. Walaupun Turki dan Italia menolak pendekatannya, konsul AS di Singapura, A.G Studer, setuju untuk meneruskan ke Washington suatu usul yang disampaikan seorang utusan Aceh kepadanya. Aceh menawarkan Amerika Serikat jurisdiksi ekstra teritorial dan sebuah pulau yang terletak di rute-rute maritim perdagangan yang penting, sebagai ganti perlindungan angkatan laut Amerika Serikat. Departement Luar Negeri AS menegur Studer, dengan mengemukakan bahwa ia semestinya “menolak secara sopan namun tegas bahwa untuk menerima surat-surat itu guna diteruskan, mengingat secara tradisional kita tidak setuju dengan persekutuan-persekutuan, dan mengingat persahabatan kita dengan Belanda”. Namun ditambahkanya, “Kalau pertikaian itu berakhir dengan berlanjutnya dan dikukuhkannya kemerdekaan (Aceh), kita akan mempertimbangkannya secara terbuka setiap pendekatan dari Aceh bagi suatu perjanjian Perdangangan. Aceh kehilangan kemerdekaannya dalam salah satu perang yang paling lama dan paling banyak memakan korban dalam sejarah kolonial. Amerika Serikat kehilangan akses kepada lada Aceh dan kepada rakyatnya”.
Tiro mengetahui hubungan klasik diplomasi antara Monarchy Aceh-AS dalam perang kolonial yang paling lama dalam sejarah perlawan di Dunia Melayu. Justru hubungan diplomasi itu berkembang secara interval, naik-turun, dan berkelanjutan, terutama hubungan dagang yang terbina sejak masa-masa sebelum perang Belanda di Aceh. Adalah Tiro yang selalu membina hubungan historis itu ke dalam interpretasinya serta mencoba memberi pemahaman tentang pentingnya keterlibatan Amerika dalam konflik antara Aceh-Indonesia. Ia secara terus-menerus membina hubungan dengan pihak Washington tanpa merasa lelah, karena ia yakin bahwa ada pusat gravitasi politik di Aceh di mana AS memiliki kepentingan besar. Dalam kaitan dengan proses “Peace Agreement” antara ASNLF/GAM-Pemerintah Indonesia, utusan khusus Asia Pasifik James Kelly dan General (Mar) Anthony Zinny telah beberapa kali berhubungan dengan Tiro di Swedia. Itu memperlihatkan posisi tawar ASNLF/GAM mulai mendapat perhatian dari pemerintah AS.
Dengan tidak dimasukan ASNLF/GAM ke dalam “daftar terroris” itu merupakan suatu kemenangan politik di tingkat hubungan international antar bangsa. Tiro berasumsi tidak ada lagi bangsa-bangsa dalam majelis PBB yang mengatakan bahwa ASNLF/GAM adalah organisasi terroris, kecuali Jakarta. Ia memaknainya dengan kemenangan besar dalam diplomasi luar negeri. Tinggal sekarang “bagaimana” menyakinkan Administrasi negara-negara besar dan berpengaruh untuk selanjutnya menjadi mediator konflik antara ASNLF-Jakarta. Tiro memang tidak pernah ragu terhadap strategi politik internationalnya dalam percaturan politik dunia. Banyak sinisme politik yang berkembang ketika ia menerima HDC sebagai mediator konflik. Termasuk kalangan “oposan kiri” Dr. Husaini Hassan dan Don Zulfahri yang disebut-sebut memimpin organisasi tandingan (Rival) juga menolak keras peran HDC sebagai fasilitator perundingan antara ASNLF-Jakarta. Mereka sepenuhnya tidak mengerti terhadap langkah-langkah catur international sang “Wali Negara”.
Pada prinsipnya Tiro, memulai langkah-langkah strategi politik international berdasarkan scala dari “bawah menuju ke atas“ (Button Up) setelah sukses dengan “diplomasi perahu” (Boat Diplomacy). Dalam posisi normal studi hubungan international memiliki variasi dan komplesitas yang sangat rumit untuk diprediksi. Tiro memulai tahapan itu sebagai suatu gerakan politik international yang dapat diprediksikan (Predictable). Ia menolak langkah politik international President Moro (MNLF) yang dianggapnya tidak dapatt diprediksi (Unpredictable) dan tidak konsisten yang didesain oleh Prof. Nur Misuary. Dengan strategi melibatkan negara-negara Islam Serumpun Melayu ataupu melibatkan OKI untuk menjadi mediator konflik antara Moro-Manila. Tiro berasumsi atas strategi itu sebagai apa yang disebutnya langkah “bunuh diri gerakan” (Killing Ground). Ia sepenuhnya menolak langkah diplomasi Prof. Nur Misuary dengan menempatkan negara-negara regional seperti Indonesia dan Malaysia sebagai mediator konflik antara Bangsa Moro dan Pemerintah Manila. Semenjak semula Ia telah memberi peringatan terhadap langkah-langkah diplomasi itu akan memberi dampak yang negatif terhadap perlawanan Moro di kemudian hari. Sebagaimana yang diungkapkan oleh ketua MILF, Murad Ebrahim, bahwa pihak pemberontak tidak akan mau sebuah perjanjian yang sepotong-potong, seperti yang dilakukan oleh pemimpin pemberontak sebelumnya (Nur Misuary), yakni Front Pembebasan National Moro (MNLF) pada tahun 1996, yang kemudian berakhir dengan kegagalan. Yang diinginkannya adalah perdamaian yang abadi yang dapat mengembalikan kehormatan yang hilang ketika penjajahan Spanyol, Amerika, dan ini dibawah kekuasaan pemerintahan Philipina sejak tahun 1946.
Menjelang tahun 1998 di saat Indonesia dan Malaysia sedang dililit oleh krisis ekonomi Asia, prediksi Tiro menjadi kenyataan yang tak terbantah. Menjelang tahun 2000, Misuary menyelamatkan diri ke Malaysia di mana, sejak semula dipercaya olehnya menjadi mediator, berbalik menjadi “predator” dengan mendeportasi dirinya kembali ke Manila. Dan sekarang Nur Misuary duduk manis dan merenung sejenak di Penjara Manila terhadap apa yang dilakukannya selama babak perundingan itu. Bangsa Serumpun Melayu adalah bangsa yang sulit untuk dipercaya, lebih-lebih dalam menjaga status quo di kawasan Asia Tenggara. Tiro tetap respek terhadap pemerintahan kulit putih dari pada berdiskusi dengan pemerintahan berkulit ‘sawo ’ di Asia Tenggara.
Pemerintahan Manila--Putra Jaya--Jakarta, telah melakukan upaya pressure terhadap MNLF dibawah pimpinan Nur Misuary untuk mematuhi status otonomi penuh yang diberikan oleh Manila. Konspirasi itu telah melahirkan fenomena politik regional dan international menyangkut stabilitas kawasan Asia Tenggara untuk meredam kegiatan-kegiatan pemisahan diri. Tidak dapat dipungkiri adanya kerjasama regional antar negara status quo untuk mengikat kerjasama keamanan regional untuk membendung upaya-upaya yang sistematik untuk gerakan pembebasan. Bahwa ada usaha yang serius dari pihak Manila—Putra Jaya—Jakarta untuk meredam kepentingan kaum pemberontak mengembangkan eksistensi secara lebih luas pasca kekuatan pro kemerdekaan Timor berhasil memangkan jejak pendapat di Timor Leste. Artinya aliansi negara-negara status quo di Asia Tenggara, mulai merasa khawatir terhadap perkembangan ide pemisahan diri yang sedikit demi sedikit mendapat dukungan populer dari rakyat setempat. Fakta menyebutkan dukungan yang teramat solid yang didapat secara politik bagi gerakan-gerakan pembebasan nasional untuk membebaskan diri dari negara induk. Bahkan dukungan ekonomi dari rakyat tidaklah diragukan.
Tiro melihat “konspirasi Melayu” itu akan berujung pada peredaman konflik Aceh-Jakarta layaknya Moro-Manila, Pattani-Bangkok-Malaysia dalam ruang lingkup lokal dan regional yang melibatkan bangsa-bangsa status quo di kawasan Asia Tenggara. Ia telah memahami fenomena itu ketika berlangsungnya proses perdamaian Moro-Manila dibawah pressure regime militer General Soeharto sejak tahun 1993. Tapi ketika regime Soeharto runtuh (1998) disebabkan oleh krisis multidimensi yang melanda Indonesia MNLF telah kehilangan dukungan dari regime Jakarta sekaligus (dukungan rakyatnya). Sebagai mediator konflik yang sesungguhnya dapat menjadi “kawan” sekaligus “musuh”yang nyata. Pasca runtuhnya regime General Soeharto Moro tidak lagi bertindak sebagai organisasi pembebasan yang lazimnya telah diperjuangkan selama tiga dekade sejak masa berdirinya (1970). Gerakan MNLF telah status quo menjadi sebuah propinsi Manila dengan hak-hak istimewa lainnya. Gerakan itu telah kehilangan dukungan internationalnya ketika elit Moro tidak memahami sepenuhnya jalan pemikiran bangsanya.
Itulah sebabnya jauh hari sebelum Dr. Husaini Hassan diberhentikan karena alasan yang sama dengan Nur Misuary. Tiro telah menolak “strategi politik regional” (Regional Politic Strategy) dengan melibatkan negara-negara Melayu ataupun negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk menjadi mediator konflik. Ia memahami dengan benar spirit Melayu dan Solidaritas antar sesama Islam, itu hanya diatas permukaan (Superficial). Tiro hanya ingin menempatkan “strategi politik regional”nya di Asia Tenggara, khususnya Malaysia hanya sebatas “logistik gerakan” tidak lebih dari itu. Orang-orang Melayu dalam pandangannya, lebih kompromise dan pragmatis. Selayaknya orang-orang Aceh di Malaya dalam pandangan politiknya, harus meminta “Apa yang dapat mereka berika kepada kita” (What are they can give for Us) sebaliknya bukan “apa yang kita harapkan dari mereka” (What We will hope from they are) .
Sebaliknya terhadap negara-negara Islam (OKI), Tiro menggarisbawahi untuk tidak mengharap sekecil apapun terhadap solidaritas Islam (Islamic Solidarity). Disebabkan negara-negara OKI bukanlah berjalan di atas prinsip-prinsip universal kemanusiaan dan keadilan melainkan di atas prinsip kesukuan (Tribalism). Serta-merta posisi negara-negara Islam Melayu (Indonesia-Malaysia) memiliki hubungan yang sangat baik dengan negara-negara OKI. Itulah sebabnya jauh hari ia tidak memiliki hubungan yang istimewa dengan negara-negara OKI, kecuali dengan Libya dibawah Kol. Muammar Khadafy. Sejak tahun 1987, sedikit banyaknya 250 group inti menerima latihan militer dan ideologi di Libya, di mana suatu negeri yang memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ASNLF/GAM. Sebagai tambahan menjaga hubungan gerakan yang terpelihara dalam bentuk “Hubungan Bilateral” (Bilateral Links) dengan Libya.
Tiro juga memegang instruktur ideologi pelatihan gerilya dan semenjak tahun 1980-an sebagai Ketua Komitte Politik pada “Mathaba Against Imperialism, Racism, Zionism, and Fasism,” suatu organisasi yang dibangun sejak tahun 1985 untuk mendukung secara moral serta mensupport gerakan pembebasan, yang didukung oleh Libya ke seluruh penjuru dunia, di mana dipimpin oleh Kolonel Khadafy sendiri.” Dalam kapasitas itu, Tiro memiliki “hubungan personal” dengan pemimpin pembebasan itu, dan memiliki hubungan dengan group bersenjata di Pasifik Selatan dan di Indonesia sendiri. Menurut Tiro, bagaimanapun, oleh karena sebab “Aceh adalah negeri yang kaya”, GAM tidak memperoleh bantuan finansial dari Mathaba, organisasi yang berkedudukan di Tripoli tidak melibatkan bantuan persenjataan. Pada bulan April 1987 di Libya telah menyelenggarakan suatu konferensi “gerakan-gerakan pembebasan” yang dihadiri pula oleh utusan-utusan Aceh Merdeka, OPM, dan Fretilin.
Tiro melihat betapa absurdnya negara-negara OKI itu sebagai suatu negara yang mengatasnamakan “Islam”. Di situ pula regime-regime Islam berkembang dengan sedemikian suburnya hingga ke titik yang paling ekstrem. Adalah Tiro, yang menempatkan posisi “politik international” ASNLF/GAM untuk tidak melakukan hubungan diplomasi politik hingga ke titik yang paling rendah. Ia juga melihat negara-negara OKI berada di persimpangan sejarah Islam yang kabur serta tidak memiliki harapan sebagai suatu negeri yang bebas dari “hegemonik” dan “emosi Arab” yang tidak terkendali. Regime-regime OKI, dalam pandangannya merupakan “negara karton” (Cartoon State) yang dikontrol dari Gedung Putih (White House) AS.
Memasuki masa transisi politik Indonesia pasca General Soeharto (1998-2000), situasi Jakarta mengalami ketegangan politik yang sangat serius. Tahun itu juga memiliki makna tersendiri bagi elit politik Indonesia untuk membuka peluang secara massive menggantikan dirinya merebut posisi sebagai “President”. Ada begitu banyak gejala politik ekonomi eksternal yang membuat situasi Indonesia berada di jalan sejarah yang tidak menentu. Itu ditunjukkan oleh faktor-faktor global seperti; 1). Krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia Tenggara (Indonesia-Malaysia-Thailand), 2). Campur tangan international terhadap masalah Timor Leste pasca New York Agreement yang mempersiapkan masa penentuan nasib sendiri (Self-Determination) bagi Timor Portugal. Di level politik domestik. Pertama, ditunjukkan oleh huru-hara dan kekerasan (Riot and Violent) serta isu diskriminasi minoritas (Minority Discrimination) Cina di Jawa terjadi secara simultan dan sistematik: penjarahan, perampasan, pemerkosaan dan pembunuhan. Dan yang kedua, masa persiapan Pemilihan Umum Indonesia (1998-2004). Ketiga, munculnya pusat-pusat konflik di daerah seperti Aceh, Papua, dan Maluku dll.
Bagi Tiro, ketidakstabilan politik-ekonomi yang melanda Indonesia di tahun-tahun itu merupakan suatu anugerah yang tak terhitung nilainya. Ia memanfaatkan momentum ketidakstabilan itu dengan mendorong Organisasi Pembebasannya untuk menekan (Pressure) terhadap pemerintahan Jakarta. Aksi-aksi gerilya yang dilakukan oleh tentaranya di Aceh, cukup memberi pukulan yang telak terhadap “moralitas tempur” (Battle Morality) TNI pasca pencabutan Daerah Operasi militer (DOM). Di tengah hancurnya “moralitas tempur” dan politik kambing hitam (Scapegoating Politic) yang dialami TNI di Aceh, membuat pemerintahan terpilih dibawah Administrasi Abdurrahman Wahid dan Wakil Megawati Soekarnoputri (1998-2004) menerobos kebuntuan “masalah Aceh” dengan jalan perundingan. Lobbying intensif selama beberapa bulan pasca penarikan pasukan TNI serta kemenangan signifikan bagi rakyat Timor Leste (Timorese) pasca referendum (1999) menentukan masa depan politiknya di dunia international. Membuat Administrasi Wahid mengalami kegoncangan yang begitu kuat disamping politik anti militer yang menjadi visi pemerintahannya. Wahid, tidak memiliki pilihan ia sadar kondisi pemerintahannya yang lemah secara internal karena regime General Soeharto di masa lalu yang mewariskan masalah-masalah ketatanegaraan yang rumit dan kompleks.
Kecuali untuk memutuskan menarik diri dari DPR/MPR sesudah tahun 2004, namun dalam banyak hal, sesungguhnya TNI masih berada di atas angin dibandingkan dengan politisi sipil. Sebagai misalnya, hingga saat ini otoritas penyelesaian kasus Aceh, Ambon dan kasus-kasus konflik berdarah lainnya masih berada dibawah kepemimpinan militer. Walaupun secara formal TNI berusaha menunjukkan loyalitas mereka terhadap Presiden sipil, akan tetapi dalam praktek pemerintahan sipil tidak mampu mengendalikan gerak dan perubahan militer. Bahkan untuk mengendalikan militer dibawah kepemimpinan sipil yang dicoba mantan Presiden Abdurrahman Wahid harus dibayar mahal dengan terjungkalnya Wahid dari kursi presiden. Itu menjadi preseden buruk bagi kepemimpinan sipil yang akan datang terutama pasca Wahid. Masa transisi politik yang terjadi di Indonesia, dalam kacamata militer merupakan buah kesalahan pemerintahan sipil Wahid di satu sisi. Dan di sisi lain masa pendahulunya yaitu era Habibie telah memberi ‘ruang’ bagi gerakan demokrasi untuk melakukan perubahan politik internal di Jakarta.
Dan di lain sisi tekanan politik international untuk melakukan perubahan-perubahan fundamental bagaikan gelombang pasang laut yang siap menyapu daratan Indonesia dari peta dunia. Tiro telah melakukan usaha-usaha yang serius untuk itu! Dari gurun pasir Tripoli yang tandus dan kering Tiro telah mempersiapkan segala sesuatunya. Ia melatih nalar tentaranya dengan pikiran-pikirannya yang revolusioner dan progresiv. Ia berada di tengah-tengah tentaranya dan melatih mereka berdasarkan seleranya terhadap dunia. Tidak disanksikan lagi Ia memiliki hubungan yang teramat ‘kramat’ dihadapan para gerilyawannya. Ia bagaikan orang tua yang sedang marah dihadapan anak-anaknya. Serta membesarkan mereka dengan cara ‘kegelisahan orang tua Aceh’ dalam mendidik anak-anaknya dengan ‘keras’ dan ‘santun’ yang kesemuannya itu menuju pada satu tujuan merebut kembali Tanoh Indatu.
Libya telah menjadi markas keduanya setelah markas pertamanya di belantara hutan Aceh yang gelap dan hijau. Di sini Ia benar-benar menjadi ibu yang santun, bapak yang berkepala batu, dan kakek yang berjalan di atas keyakinan dan pemikirannya yang lurus serta tak terbantahkan. Ia telah membangun harapan-harapan dalam setiap kepala orang-orang Aceh tentang cita-citanya yang menjulang tinggi di langit Aceh nan merah. Akhirnya Ia telah membangun suatu ‘mimpi Aceh’ (Acheh Dream) dalam suatu fantasi nyaris mendekati alam bawah sadar manusia.




Bab: VI

Strategi Diplomasi


Kami berkesimpulan bahwa perdamaian international melalui transformasi negara-negara berdaulat dewasa ini menjadi negara dunia tidak dapat dicapai berdasarkan kondisi-kondisi moral, social dan politik yang berlaku di dunia dewasa ini. Kami menyarankan pelonggaran dan memperkecil konflik-konflik politik…..yang menyebabkan timbulnya momok perang yang mengakibatkan perubahan dahsyat. Cara untuk membentuk prasyarat-prasyarat perdamaian tetap ini kita sebut perdamaian melalui akomodasi. Alatnya adalah diplomasi.
Oleh karenanya, pencegahan konflik harus dilakukan dengan cara mengakui kehendak hakekat politik, sehingga perpecahan dan konflik dapat dikendurkan dalam waktu singkat. Kesadaran akan hakekat alami ini akan menghasilkan penyelesaian yang terbatas, tetapi penting dalam rangka menghindari terjadinya keganasan yang meluas. Menurut General Von Luedendorff, damai adalah kelanjutan dari perang dengan cara lain. Lagi pula, cukup lazim, para dutabesar terlibat dalam berbagai duel untuk mempertahankan kehormatan dan kewibawaan mereka apabila hal itu dipermasalahkan oleh duta yang lain. Dalam keadaan demikian, keterusterangan dan hubungan pribadi yang ramah penting untuk berhasilnya diplomasi tidak selalu mudah untuk diperlihatkan.
Misi Pemerintahan Wahid untuk pertama kalinya tiba di Aceh pada 16 Maret 2000, dibawah kendali Secretaris Negara (Sekneg) Bondan Gunawan menemui Panglima Tinggi TNA (Tentara National Acheh) Tgk. Abdullah Syafie di Pidie. Pertemuan itu hanya prakondisi untuk melapangkan “Peta Perdamaian” (Road to Map) antara ASNLF-Jakarta. Maka pada tanggal 12 May 2000 di selenggarakan pertemuan resmi antara ASNLF/GAM dan Pemerintah Indonesia di Davos Swiss dibawah pimpinan Hassan Wirayuda (sekarang Menteri Luar Negeri). Dan ASNLF dibawah pimpinan Dr. Zaini Abdullah (Menteri Luar Negeri ASNLF) dan rombongan yang berkekuatan penuh dengan fasilitator HDC (Henry Dunant Center). Untuk pertama kalinya “politik domestik” yang diterapkan regime Jakarta mengenai Aceh telah terbuka lebar menuju “internasionalisasi” dalam skala mondial. Dunia merasakan suatu perubahan dalam skala kebijakan politik luar negeri Indonesia terhadap Aceh yang dimotori oleh pemerintahan baru hasil pemilu Indonesia di tahun 1999.
Segera peristiwa dialog dilanjutkan di tengah-tengah memburuknya situasi keamanan, keduabelah pihak mendapatkan akibat-akibat yang konkrit. Pembicaraan di babak ke dua pada 24 Maret 2000. Substansi persetujuan itu akan ditentukan pada pertemuan ketiga pada 14-17 April, dan akan diumumkan secara resmi oleh pemerintah Indonesia pada 4 May 2000. Tanggal 12 May 2000, dokumen dengan judul “Joint Understanding of Humanitarian Pause for Acheh, ditandatangani oleh keduabelah pihak di Davos, Switzerland. Suatu persetujuan penghentian tembak-menembak (Cease-fire Agreement). Suatu langkah yang objektif untuk menghentikan (Pause) kekerasan, dan menyerukan kepada pihak-pihak yang bertikai untuk memulai membicarakan kearah mencari penyelesaian politik damai terhadap konflik. Keduabelah pihak setuju bahwa perjanjian akan berakhir dari 2 Juni sampai 2 September 2000. Dan seterusnya akan menfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan kepada orang-orang Aceh yang dilanda konflik serta membangun kepercayaan kearah penyelesaain konflik. Kelemahannya akan mengundang serangan dan dapat menyebabkan perang yang tak dapat dihindari. Suatu Negara yang keliru menilai suatu politik status quo sebagai politik imperialis akan menyebabkan timbulnya bahaya perang, yang sedapat mungkin berusaha dihindarinya, karena reaksinya yang tidak sepadan.
Untuk pertama kalinya mata dunia terpusat di Aceh yang selama puluhan tahun tertutup oleh rapatnya blokade politik regime militer Jakarta yang selalu meyakinkan bangsa-bangsa di dunia bahwa Indonesia menjadi contoh keberhasilan “politik harmoni” (Harmonized Politic). Pertemuan itu memberi “tanda” (Sign) bagi administrasi pemerintahan-pemerintahan dunia yang memiliki interest dengan Jakarta. Untuk mengambil sikap terhadap regime militer yang sedang mencoba ke arah transisi pemerintahan demokratis sebagaimana yang ditunjukan oleh Administrasi Wahid yang hanya bertahan selama dua tahun (1998-2000). Tapi sayang pemerintahan Wahid jatuh karena transisi itu pula. Ada bola panas yang dari tahun ke tahun kian membesar. Aceh dengan sendirinya akan menjadi problem nasional yang fundamental. Di samping politik regional Jakarta yang secara terus-menerus mengarah pada klarifikasi dengan biaya tinggi (High Cost) tentang Aceh. Dan justifikasi hubungan internasional yang senantiasa mempertanyakan problema HAM di Aceh yang secara sistemik merusak reputasi diplomasi Indonesia di luar negeri. Menurut Hans J. Morgenthau, adalah tugas akhir diplomasi yang cerdik bermaksud memelihara perdamaian, untuk memilih cara-cara yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuannya. Tidak ada diplomasi yang hanya mengandalkan ancaman senjata dapat dikatakan cerdik dan dengan cara-cara damai. Diplomasi yang mempertaruhkan segalanya pada persuasi dan kompromi tidak pada tempatnya disebut cerdik. Jarang, jika sekiranya politik luar negeri negara besar, dibenarkan memakai satu cara saja dan mengabaikan cara-cara lainnya.
Seiring dengan tumbangnya regime Soeharto, dinamika politik kekuasaan internal di pusat kekuasaan, dengan provinsi-provinsi sangat tajam oleh karena tuntutan perubahan fundamental untuk merubah struktur pemerintah. Itu berkaitan dengan kemunduran ekonomi dan pertentangan politik di pusat kekuasaan berkembang menjadi konflik sektarian dan munculnya tantangan-tantangan sentrifugal. Sebagai tambahan, tuntutan supremasi sipil terhadap militer berkembang dengan pesat. Mereka terpecah dan lemah dipusat dan Presiden menjadi lemah karenanya. Konflik sektarian berlanjut. Berkembang menjadi pemisahan diri di Aceh dan Papua, memperlihatkan penegasan militer untuk mengambil bagian, (mungkin merdeka), dan menjaga aturan keamanan, walaupun perhatian terhadap supremasi sipil dan Presiden Wahid menegaskan:”Ancaman militer terhadap rakyat Aceh dan Papua bukan sebagai musuh tetapi sebagai teman. Di samping menghadapi tekanan internal yang dihadapi oleh Wahid, tekanan international pun tak dapat dihindari oleh regime sipil itu. Wahid mencoba keluar dari arus international yang berat pasca Timor Leste lepas dari Indonesia.
Beban national yang secara terus-menerus menghantui Administrasi Wahid seperti Aceh, Papua, Maluku, dan Riau, cukup untuk menggoyang pemerintahannya. Di samping masalah krisis ekonomi yang secara sistemik terus bergulat dengan dinamikan politik internal. Tarik-menarik isu antara sipil-militer, telah menghasilkan suatu pertarungan politik yang pada akhirnya menumbangkan posisi Presiden Wahid dari kursi tertinggi di republik ini. Tekanan international untuk menuju kearah transisi politik dari regime militer Orde Baru menuju pemerintahan sipil terus bergema sepanjang waktu. Pemerintahan Wahid bak “kapal yang sedang karam dihantam gelompang badai di lautan lepas”. Secara national Administrasi Wahid dianggap gagal, kecuali dikalangan sipil dan prodemokrasi. Sebaliknya secara international Wahid memiliki reputasi tinggi karena ia dianggap sangat sensitif dengan perkembangan isu international. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gabriel Almond,” perubahan sosial dan international boleh jadi berlangsung terus selama kurun waktu yang panjang dan baru memicu perubahan dalam sistim politik ketika suatu ketidakwajaran dalam jangka pendek atau serangkaian ketidakwajaran politik terjadi.
Dalam menghadapi tekanan international pemerintah Indonesia berjibaku dan kerapkali melakukan harakiri politik. Ada kepanikan kebijakan politik hubungan luar negeri yang diderita oleh pemerintahan Indonesia di mata bangsa-bangsa. Amnesia politik international berskala tinggi terjadi secara simultan menghadapi diplomasi Tiro di luar negeri. Malaria Tropicana menjadi image kepanikan disertai rasa flu dan filek serta panas dan dingin ketika isu Aceh berlahan-lahan naik di atas permukaan forum bangsa-bangsa. Tidak dapat disangkal lagi kerja-kerja di departemen luar negeri Indonesia, akan meningkat secara drastik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Itu memberi justifikasi bahwa selama tahun-tahun sebelumnya (Referendum di Timor) kerja-kerja diplomatik dilakukan oleh para Duta Besar (Ambassador) Indonesia, hanyalah dalam bentuk ‘klarifikator’ dan ‘justifikator’ serta menuai ‘pernyataan-pernyataan ketimbang merubah situasi’. Akibatnya hanya dapat menjadi perasaan frustasi yang abadi di Jakarta yang dipikul oleh kepemimpinan militer yang memanfaatkan nasehat teknokratik dalam kebijaksaan luar negeri. Kebijaksaan itu telah didasarkan, dalam praktek, pada pengakuan kelemahan national dan pada pemahaman realistic bahwa kelemaham seperti itu merupakan hambatan utama untuk mengejar arah bebas dan aktif. Tema kebijaksanaaan luar negeri Indonesia yang sama dan konsisten adalah perlunya mengatasi kerapuhan yang bersifat bawaan. Akan tetapi paradoksnya, berlanjutnya perasaan kerapuhan itu dikombinasikan dengan berlanjutnya rasa memiliki kawasan secara seimbang berdasarkan kebanggaan atas prestasi revolusinya, jumlah penduduk, dimensi-dimensi terhadap tanah dan maritime, sumber alam dan lokasi strategic. Perasaan memiliki kawasan itu diperlihatkan secara kurang konsisten dalam bentuk terbuka; akan tetapi perasaan itu tetap ada. Komentar Presiden Soeharto pada tahun 1969 yang dikutip sebelumnya bahwa “kita hanya dapat memainkan peranan yang efektif jika kita sendiri memiliki kekuatan national yang besar” mungkin akan tetap sahih untuk seluruh sisa abad dua puluh ini. Aktifitas yang sama terjadi menghadapi ‘dialektika Aceh’ dalam politik hubungan antar bangsa. Mereka bukanlah diplomat ulung yang dapat disejajarkan dengan tokoh paling senior dan juga sang pemberontak Aceh, Hasan Muhammad di Tiro!
Tiro memang memiliki target yang sangat signifikan terhadap proses perundingan antara ASNLF/GAM dan Pemerintah Indonesia di Swiss. Ia melihat perundingan itu untuk mencapai target politik international untuk meraih dukungan bangsa-bangsa di arena politik dunia. Itupun dengan alasan-alasan realistik serta diramu dengan keinginan-keinginan idealistik di panggung politik antar bangsa. Untuk mencapai target-target itu Tiro bersedia melakukan proses perundingan di negara yang menganut garis politik paling Neutral (Neutrality Politic) didunia yaitu Swiss. Ia telah mensakralkan perundingan antara ASNLF/GAM dan Pemerintahan Indonesia dengan ‘logika mondial’ hubungan antar bangsa. Swiss merupakan arena yang paling tepat untuk memulai adanya pengakuan international terhadap perjuangan orang-orang Aceh. Image bagi masyarakat international menyambut perundingan itu bagaikan Kesepakatan New York (New York Agreement) menyangkut hari depan Timor Leste yang ditandatangani oleh Portugal-Indonesia dan PBB. Ia mengerti bahwa masyarakat international tidak akan tinggal diam merespon isu Aceh di panggung dunia. Itulah sebabnya ia secara terus-menerus melakukan kontak person dengan berbagai kedutaan-kedutaan yang memiliki kaitan langsung dengan konflik antara Aceh-Indonesia. Dan jaminan-jaminan politik dan militer bahwa Front Pembebasan Aceh tidak akan merusak kepentingan investasi mereka di Aceh, terkecuali terlibat dalam konflik. Ia telah memulai dengan gerakan ‘bilateral links’ dengan negara-negara yang menjadi pengamat dalam perundingan itu.
Pertama, Ia mentergetkan kemenangan strategi politik internationalnya di negara Swiss, tempat di mana seluruh aktivitas-aktivitas kemanusiaan, kebudayaan dan perdamaian dunia di pusatkan. Dengan begitu “pilihan tempat” (Place Choosing) menjadi terobosan kemenangan pertama sebelum perundingan resmi dimulai. Dengan sendirinya opini international dengan mudah dibentuk dan diraihnya. Akhirnya menciptakan kemenangan diplomasi sebelum perundingan di mulai. Sebagaimana yang dikatakan oleh mahaguru hubungan international Hans J. Morgenthau, ketika banyak tuntutan yang bertentangan saling bersaing dan tidak didamaikan melalui kompromi, tempat pertemuan sering dipilih di negara yang tidak terlibat persaingan untuk prestise. Karena alasan ini maka Den Haag di negeri Belanda dan Jenewa di Swiss menjadi tempat-tempat yang digemari untuk konferensi international. Seringkali pergeseran dari tempat pertemuan yang digemari di tempat lain, melambangkan pergeseran dalam kekuatan yang lebih besar. Target Kedua, ia menstimulus Organisasi Pembebasan Acheh (ASNLF/GAM) bukanlah organisasi terroris dan memberi keyakinan terhadap bangsa-bangsa didunia bahwa organisasi yang dipimpinnya tidak akan mungkin berafiliasi dengan jaringan terrorisme international (International Networking Terrorism) seperti di Kabul, Sudan ataupun di Iraq dan Chechnya di Russia. Karena secara prinsipil Tiro, memandang gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam juga dengan sendirinya akan menciptakan image dan opini yang menyesatkan dikalangan masyarakat international tentang orang-orang Aceh. Target Ketiga, Ia menempatkan proses perundingan itu sebagai suatu “loncatan jauh ke depan” (The Great Path) terhadap masa depan Organisasi Pembebasan Acheh yang sama nilai kekuatannya dengan “pemerintah di pengasingan” (Government in Exile). Efektifitas gerakan pembebasan nasional Aceh harus memiliki korelasi yang kuat dengan struktur dan pola masyarakat dunia yang sedang berubah. Ia tidak ingin organisasi pembebasan yang ia bentuk memiliki image yang buruk di mata international, terutama kebijakan AS terhadap masalah terrorisme. Sedapat mungkin baginya ASNLF/GAM harus menyakinkan pemerintahan “Hawkish ” bahwa organisasinya bebas dari terrorisme dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah terror. “Kelompok Elang” itu, juga di masa perang dingin terlibat dalam petualang politik di Indo China. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Morgenthau, Amerika Serikat tetap mempertahankan keputusannya untuk “tetap menurut arah” dan selanjutnya memenangkan perang di Asia Tenggara. Akan tetapi di samping kemustahilan untuk melihat sebelumnya semua kemungkinan akibat dari kekalahan Perang Vietnam, untuk mencegah semua kemungkinan akibat kekalahan dengan memenangkannya apapun pengorbanannya, hal demikian itu berarti telah melanggar prinsip yang mendasar politik luar negeri dan militer; resiko dan kerugian yang diderita dalam tindakan tertentu harus seimbang dengan peluang keberhasilan tindakan tersebut.
Target Keempat, melakukan re-strukturisasi Organisasi Pembebesan Acheh dengan menyingkirkan “kekuatan oportunis” di tubuh gerakan. Itu dilakukannya untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan “degradasi” gerakan, terutama mengeliminir konflik internal dan munculnya faksi-faksi gerakan yang mempersulit konsolidasi. Munculnya konflik internal disertai faksi-faksi politik di tubuh RMS di Belanda misalnya memberi cukup pelajaran bagi Tiro untuk tidak melakukan hal yang sama. Begitu juga halnya dengan perpecahan di OPM yang melibatkan antar faksinya Jacob Pray dan Roem Korem. Hal yang sama terjadi ditubuh MNLF (Nur Misuary) dan MILF (Hasan Salamat atau Murad Ebrahim), serta group Abu Sayyaf dll. Langkah-langkah restrukturisasi organisasi terus disempurnakan lewat berbagai pertemuan internal berskala internasional yang melibatkan pertemuan orang-orang Aceh di seluruh dunia seperti di Thailand, Malaysia, Belanda dan di Stavanger, Norwegia. Hal itu dilakukannya untuk menepis polemik yang berkepanjangan tentang masa depan perjuangan sekaligus menarik perhatian masyarakat international yang bersimpati terhadap perjuangan ASNLF/GAM.
Target Kelima, menjadikan perundingan itu sebagai batu loncatan (Step Stone) menuju pengakuan internasional bangsa-bangsa oleh anggota PBB, bahwa Organisasi Pembebasan Acheh (ASNLF/GAM) secara De facto dan De Jure telah memenuhi syarat-syarat international untuk mendirikan Nation-State Acheh. Pengakuan international itu sangat penting bagi organisasi perjuangan Aceh yang dipimpinnya. Ia terus memanfaatkan setiap moment perundingan international yang menguntungkan Aceh ataupun menghembuskan isu Aceh di forum dunia. Tiro telah memanfaatkan secara maksimal setiap jengkal opini dan setiap inci isu yang menyangkut eksistensi Aceh di lembaga-lembaga international. Itulah satu-satunya cara yang dipandangnya efektif bagi internasionalisasi konflik antara Aceh-Indonesia. Dengan maksud mendorong penyelesaian yang tidak merugikan perjuangannya. Di samping itu mempercepat dukungan international bagi kemerdekaan Aceh. Keenam, Mengikat interaksi hubungan international antar bangsa-bangsa dengan Organisasi Pembebaan Acheh (ASNLF/GAM) secara lebih erat dan profesional. Itu hanya dimungkinkan oleh event-event international seperti halnya dengan proses perundingan yang digelar di Swiss. Kontak personal antar pemimpin perjuangan, seperti halnya dengan dirinya dengan pemimpin-pemimpin partai oposisi bahkan pemimpin di pemerintahan pun terus ia lakukan, tanpa diketahui oleh pihak luar. Ketujuh, menggiring pemerintah Indonesia untuk mengakui eksistensi ASNLF/GAM sebagai organ tandingan resmi terhadap Pemerintah Jakarta. Itu sama artinya dengan pengakuan De facto, bahwa organisasi itu telah memiliki daerah kekuasaan territorial di Aceh. Tinggal menyakinkan bangsa-bangsa secara De Jure bahwa Aceh telah menjadi negara yang bereksistensi penuh dan memiliki legitimasi kuat dihadapan bangsa-bangsa. Dan setelah itu menyulap ASNLF/GAM untuk segera menanggalkan baju perjuangannya yang selama ini dipakai Front Pembebasan National. Dan menggantikannya dengan Negara Aceh serta bersiap-siap untuk menjadi anggota penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Lewat Perundingan Damai (Peace Agreement) di Swiss pada tanggal 9 Desember 2002, Tiro secara sistematik telah menciptakan kepercayaan domestik yang tinggi untuk menyakinkan publik Aceh. Bahwa harapan-harapan untuk mencapai keberhasilan perjuangan “tidak seberapa lama lagi”. Tapi kepercayaan itu sekaligus menggoncangkan kepercayaan publik Jakarta terhadap pemerintahan dibawah Administrasi Wahid. Beberapa analisis dan pengamat politik hubungan international berkesimpulan Peace Agreement telah melegalkan gerakan pembebasan Aceh di mata nasional, regional dan international. Meskipun pada pertemuan yang terakhir antara ASNLF/GAM dan Pemerintahan Indonesia di Jepang yang dikenal dengan “Tokyo Meeting” keduabelah pihak belum menemukan jalan keluar. Sementara transisi kekuasaan politik dari Wahid ke Megawati memicu eskalasi konflik ke puncak titik didih. Di mana garis politik penyelesaian di antara kedua pemerintahan itu berbeda dalam konsepsinya. Administrasi Megawati yang didukung oleh garis keras militer mengambil sikap pengerahan kekuatan militer secara besar-besaran ke Aceh. Maka dengan dukungan dari kekuatan militer pemerintah di bawah Administrasi Megawati secara resmi menerapkan status Darurat Militer (DM) di Aceh, pada 18 Mei 2003. Perang telah menjadi babak akhir penyelesaian konflik Aceh.
Bagi Tiro Perundingan Damai itu lebih besar maknanya daripada membangun suatu angkatan bersenjata. Baginya membangun angkatan bersenjata itu terlalu mudah dan tidak serumit membangun legitimasi international sebagaimana dengan Peace Agreement itu. Dari pengalaman masa lalunya antara tahun 1976-1979 Ia telah membangun angkatan bersenjatannya secara sederhana tetapi memiliki makna yang sangat signifikan bagi organisasi perjuangannya. Antara tahun 1980-1990 Ia telah memiliki ratusan tentara gerilyawannya yang beroperasi di beberapa lokasi seperti di Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie, Gayo Lues, Aceh Barat dan Aceh Selatan. Dan antara tahun 1991-2000 Tiro telah memiliki pasukan gerilyawannya di seluruh Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Baginya pengembangan kekuatan angkatan bersenjatannya merupakan konsekwensi dari perjuangan pembebasan national Aceh. Dengan sendirinya Ia telah menjalani sisi apa yang seharusnya Ia lakukan. Kerja membangun angkatan perangnya telah dilakukannya selama lebih dari satu dasawarsa yang berfungsi untuk membangun jaringan kekuatan (Power Networking) di seluruh Aceh. Karenanya tanpa itu semua front pembebasan national akan menjadi organisasi ‘tanpa bentuk’ dan tidak disegani oleh kawan dan lawan sekaligus. Sebagaimana yang dilukiskan secara sangat baik oleh Frantz Fenon bahwa:”Kenyataannya adalah dalam perang gerilya perjuangan tidak lagi mengenal tempat di mana ada berada, namun di mana tempat anda akan pergi. Setiap pejuang membawa negara yang diperjuangkannya di antara jari-jari kakinya yang telanjang. Tentara pembebasan national bukanlah tentara yang terlibat perseteruan selamanya dengan musuh; melainkan tentara yang pergi dari desa ke desa, mundur ke hutan-hutan dan menari bergembira ketika di lembah di bawah sana tampak gumpalan debu putih yang diterjang pasukan musuh”.
Bagi Tiro untuk menuju pada proses Peace Agreement antara ASNLF/GAM dan Pemerintah Indonesia membutuhkan waktu yang lama dan panjang. Semenjak Ia men-Redeklarasi-kan Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976 Ia telah menunggu kesempatan itu selama selama lebih dari dua dasawarsa. Suatu penantian yang tidak sederhana dan sangat kompleks dengan melibatkan emosi dan pemikiran yang tak terbayangkan. Usaha demi usaha yang dilakukannya termasuk perjalanannya ke seluruh penjuru dunia terus dilakukannya. Hingga pada suatu ketika Ia diundang secara khusus oleh Kolonel Muammar Khadafy untuk bersama dengan dirinya mendirikan Mathaba Organization. Suatu organisasi yang mendanai dan mendukung gerakan kemerdekaan di seluruh dunia, yang berkedudukan di Tripoli. Itulah sebabnya Tiro tidak menyia-yiakan kesempatan yang telah datang dan mempersiapkan segalanya dengan seluruh kemampuannya, nyaris sempurna bagi dirinya. Tiro dan organisasi yang dipimpinnyalah merenggut keuntungan yang paling terbesar dan fundamental menyambut Peace Agreement antara ASNLF/GAM dan Pemerintah Indonesia. Ia menyambut perjanjian itu bagaikan menghirup segumpal bau daun-daunan di Camp Kareem serta mencium aroma Tanoh Indatu dari kejauhan. ‘Ingatan primordial’ itulah yang senantiasa memberikannya ‘hormon kehidupan’ untuk tetap bergairah dan memiliki obsesivitas tinggi kembali ke kampung halamannya yang indah. Nyaris tidak ada lagi kekuatan di dunia ini yang sanggup mengalahkan keinginan untuk kembali ke tanah kelahiran. Terkadang sang tokoh memiliki dua nyawa dalam satu kehidupan. Semantara para musuh-musuhnya pun dengan senang hati berbicara tentang kematiannya sambil berpikir tentang ‘kedamaian di Aceh’ dalam konteks di luar pemikirannya. Hanya mereka yang memiliki kesempurnaan kekuatan sanggup mengendalikan kematian. Manusia seperti apakah orang-orang Aceh itu? Bagaimanakah orang-orang Aceh itu mengendalikan kehidupan mereka? Dalam keadaan damai orang-orang Aceh mencintai kehidupan. Sebaliknya dalam keadaan huru hara, konflik dan perang (Darul Harb) orang-orang Aceh lebih mencintai kematian. Kematian merupakan pintu atau serambi (Verandah) yang paling terdekat menuju keyakinan terhadap regime semesta.
Ia selalu memiliki komitmen bahwa “perang diplomasi” itu sangat penting bagi keberhasilan perjuangan ASNLF/GAM menuju status quo “Negara Acheh” yang diimpikan sepanjang hidupnya. Karena tanpa diplomasi suatu perjuangan pembebasan national tidak akan ada artinya. Pengalaman di berbagai negara termasuk pengalaman Timor Leste mencerminkan keberhasilan diplomasi ketimbang kekuatan militer atau gerilya. Pada tingkatan itu Tiro berusaha untuk menciptakan sinergisasi antara kekuatan gerilyawannya di Aceh dengan diplomasinya di Swedia. Di sini Ia telah mengkordinasikan seluruh kekuatan bersenjatannya menjadi kemenangan-kemenangan besar dalam diplomasinya. Dengan sendirinya Ia telah menciptakan atau mengkreasikannya perintah-perintah damai atau perang dalam satu komando yang terpusat dalam dirinya. Dengan bahasa-bahasa sandi rahasia Aceh yang tidak pernah diketahui oleh musuh. Ia membaca pesan-pesan singkat yang dikirim oleh para Panglimanya dengan rasa bahagia, sedih dan duka yang mendalam. Nyaris seluruh aktivitas-aktivitas gerilya Aceh Merdeka diketahui oleh Tiro di bilik perkampungan penduduk di pinggiran kota Swedia. Di sini Ia terus merenung tentang harapan-harapan dari hasil-hasil yang telah dicapainya selama lebih dari dua dasawarsa perjuangannya.
Ia terus bergelut dengan gagasan-gagasan ideal tentang “Imagined State” yang coba diramunya ke dalam konsep universal Nation-State. Artinya meletakkan semangat ke-Aceh-an dalam filosofi berpikir (World View) dan menerapkan efisiensi Barat (Western Effisiency) dalam menjalankan aktivitas pemerintahan Aceh di masa depan. Ia menyadari ada perbedaan mendasar dari dua kutub kebudayaan itu. Yang pertama mewakili philosofi Islam serta nilai-nilai nasional Aceh terkombinasi secara harmonis dan serasi. Dan yang terakhir mewakili philosofi sekuler Barat serta tradisi pragmatisme pemikiran. Tiro telah menggariskan dalam persoalan tatacara penyelenggaraan negara (Protokuler) orang-orang Aceh harus belajar dari Barat meskipun dalam sejarah Islam di dunia Melayu posisi orang-orang Aceh dikenal banyak melahirkan negarawan-negarawan moderen.

Orang-orang Aceh dalam pandangannya, haruslah belajar dari sejarah pemikiran Eropa terutama pengalaman mendirikan negara moderen. Ia membuang jauh-jauh pemikiran orang-orang Arab dan Persia tentang negara. Dengan maksud menghindari pertentangan pemikiran negara (Khilafiyyat). Ia melihat tradisi pertentangan itu di kalangan Arab dan Persia telah “mendarah daging” akhirnya merembes dalam pemikiran orang-orang Aceh. Orang-orang Aceh dengan tidak sengaja menduga bahwa pertentangan pemikiran negara adalah tradisi Islam. Padahal itu merupakan tradisi Arab dan Persia yang diwariskan lewat aktivitas Islam. Ia percaya bahwa Islam dapat mengakomodir seluruh pemikiran-pemikiran manusia, tidak terkecuali negara dalam pandangan orang-orang Aceh.
Tiro menstimulus ‘endapan’ masa lalu terhadap aktivitas-aktivitas Negara Aceh yang jaya dan kuat, di samping banyak melahirkan negarawan-negarawan yang konsisten, diplomat ulung, administrator tangguh, dan panglima perang yang setia terhadap negeri. Mereka dilahirkan dan dibesarkan di alam Aceh yang sejuk dan menantang. Serta diramu oleh spirit Islam yang menyerupai ‘semangat mencari kehidupan’ ala duniawi. Ada banyak unsur-unsur sekuler dalam pandangan Islam orang-orang Aceh. Tapi itu semua merupakan suatu aktivitas dan pencarian terhadap ‘semangat kehidupan’. Fundamentalisme atau apapun semangat yang berlebihan tidak akan mendatangkan keuntungan material dan spiritual. Ia hanya mengobarkan nafsu pertentangan, konflik, dan perang. Mereka terjebak dengan dalam logika kebenaran dan ketidakmampuan mewujudkan kebenaran itu sendiri dengan cara-cara damai dan manusiawi. Seperti yang ditunjukkan oleh ‘kaum berkupiah’ PUSA dan Pemberontakan ala ‘pariah’ DI/TII Aceh (1953-1963) yang telah mengalami ‘kegagalan besar’ (The Grand Failure). Tidak hanya dalam pandangan hidup (World View) visi, perilaku dan aksi tetapi yang lebih parah lagi mereka tidak dapat hidup dalam dunia yang berbeda. Kontras dengan sejarah Aceh pada masa sebelum kehadiran mereka, yang selama hampir limaratus tahun (1500-1946) berinteraksi dengan bangsa-bangsa di dunia dan dapat survival karenanya.
Tiro sepenuhnya menghormati dan menjadikan apa yang disebutnya “cara berpikir ke-Aceh-an” (Achehnese’s World View) dalam hidupnya. Tiada hari yang dilaluinya tanpa kebiasaan yang diwariskan dari nenek moyangnya meskipun ia menghabiskan separuh usianya di pengasingan. Ia mendefinisikan “cara berpikir ke-Aceh-an” sebagai sebuah pola kebudayaan yang rasional dan dipengaruhi oleh anasir mistik Islam mengikat secara imanensi serta berkembang secara transedensi ke dalam diri orang-orang Aceh”. Itulah sebabnya “pola mistik Islam” memiliki akar sejarah yang kuat di Aceh, jauh sebelum “politik invasi Islam” ke seluruh penjuru dunia. Tiro, percaya bahwa Islam yang berkembang di Aceh memiliki hubungan yang erat dengan pola mistisisme kesufian yang melarang keras keterlibatan Islam dalam politik.
Menurut sejarawan Ricklefs Ada banyak penulis-penulis Aceh “mistisisme kesufian” seperti Hamzah Fansury (Meninggal 1590), Syamsuddin (meninggal 1630), dan Abdurrauf Singkil (1617-1690). Serta seorang India yang paling produktif di antara tiga pengarang itu, yaitu Nuruddin ar-Raniri dari Gujarat (meninggal tahun 1658). Karya-karya mereka itu yang mempengaruhi cara pandang orang-orang Aceh terhadap Islam. Karya-karya Hamzah berjudul Sharab al-‘ashiqin (‘Minuman Para Kekasih’) dan Asrar Al-Arifin (‘Rahasia Para Gnostik’) serta karya Syamsuddin yang berjudul Nur ad-daqa’iq (‘Cahaya Pada Kehalusan-Kehalusan’) di antar karya-karya yang terpenting dalam tradisi Islam Melayu yang bersifat ‘mistik’. Pada masa pemerintahan Iskandar Muda (1607-1636) para pengarang ini mendapat dukungan raja Aceh tersebut. Selama masa kekuasaan Ratu Taj ul-Alam (1641-1675), Abdurrauf merupakan pengarang yang terpenting di istana Aceh. Dia menulis karya-karya ilmu hukum Syafi’I dan juga ilmu tasawuf. Setelah itu Aceh mulai mengalami kemunduran politis, negara itu tampaknya juga telah kehilangan peranannya sebagai suatu pusat agama dan sastra dalam kebudayaan Melayu. Karya-karya itulah yang telah membentuk cara pandang ke-Aceh-an sampai terbentuknya ‘dialektika Aceh’ yang tidak pernah mengenal ‘ketertundukan’ serta ‘kepasrahan’ terhadap penindasan, penjajahan, dan dominasi asing di Tanoh Indatu.
Meskipun dalam perkembangan Islam Aceh dikemudian hari “politisasi Islam” (Islamic Politiking) menjadi suatu keniscayaan. Tapi itu merupakan suatu kecenderungan universal yang dialami oleh dinasty-dinasty Islam semenjak Madinah untuk pertama kalinya menjadi ibukota pemerintahan Islam. Fenomena “Madinah” menjadi “Blueprint” atau cetak biru ketika transformasi kekuasaan ke Kufah (Hasyimiyyiah), Damascus (Umayyah), Baghdad (Abbasiyah) di Timur Tengah, Mesir (Afrika Utara), Andulusia (Umayyah) di Eropa, Turki Ottoman di Asia/Eropa dan Kutaradja (Dinasty Meurah Silu) di Samudra Pasai (Aceh) dan di Dunia Melayu.
Tiro memandang lebih jauh bahwa keterlibatan “Islam politik” tidak memiliki makna yang harfiah dalam konteks ketatanegaraan (Khilafiyyat) maupun ritual. Ia menolak keterlibatan Islam dalam politik ketatanegaraan yang justru dalam pandanganya menjadi sebab akibat bencana kehancuran pengaruh universalitas Islam di seluruh dunia. Ia melihat bahwa Islam sebagai sebuah agama haruslah ditempatkan ke dalam ruang lingkup keberimanan dan ketaqwaan personal non politis. Bahwa batas-batas antara antara personal individu-collective kemasyarakatan, antara Islam sebagai ritual kepercayaan atau aturan ketatanegaan haruslah memiliki batas yang jelas dan pasti (Consenssus). Sehingga tidak tidak terjadi kesimpang-siuran yang pada akhirnya menciptakan kebingungan umat. Ia melihat keterlibatan Islam dalam politik telah mencapai batas tertinggi (Paramount) ketika runtuhnya Dinasty Ottoman (Usmaniyyah) di Turki di akhir abad ke 19. Era itu bersamaan dengan invasi Belanda ke Kerajaan Aceh (Kingdom of Acheh) pada tanggal 26 Maret 1873. Dan sejak itu pula keruntuhan Islam di dunia Melayu menjadi akhir dari perjalanan “Islam politik” di seluruh penjuru dunia.
Karenanya Kerajaan Islam Aceh menjadi satu-satunya “kawasan” yang terus melakukan resistensi terhadap politik invasi kolonial Eropa di Asia Tenggara (Dunia Melayu) hingga tahun 1942. Tahun itu juga adalah tahun akhir bagi keterlibatan Islam dalam politik. Sesuai dengan perhitungan grafik dari Grover Clark dalam peta yang dibuatnya pada tahun 1936, A Place in The Sun, bangsa Eropa memerintah 9 persen dari dunia ini dalam tahun 1492, telah menguasai sepertiga bagian dari dunia ini menjelang tahun 1801, sepertiga bagian lagi menjelang tahun 1880, dan hamper seperlima bagian lagi menjelang tahun 1913, yaitu pada ambang pintu Perang Dunia Pertama dan 85 persen menjelang tahun 1935 pada ambang pintu Perang Dunia Kedua. Pada waktu itu, sekitar 70 persen dari penduduk dunia dunia berada di bawah kekuasaan bangsa Barat.
Konteks “cara pikir ke-Aceh-an” dalam paradigma Tiro, memang tidak lepas dari Islam sebagai suatu agama ritual (Ad-din) dalam “Negara Imaginer” (Imagine State) nya. Ia tidak pernah menolak filosofi Islam dalam konteks “cara pikir ke-Aceh-an” yang justru merupakan fundamental struktur “Negara Acheh” yang berada dalam “kotak pendora” pemikirannya. Ia menyingkirkan jauh-jauh keterlibatan “Islam politik” dalam filosofi ketatanegaraan (Khilafiyah) maupun dalam kepemimpinan politik (Imammah). Karena itu “Islam politik” tidak akan memberi jalan keluar (Problem Solving) bagi Ummah (Nation/ People?) dan tata dunia (World Order) secara keseluruhan. Sebaliknya “Islam politik” (Fundamentalism) dalam pandangannya akan menciptakan kekacauan dunia (World Disorder) secara universal. Itulah sebabnya jauh hari ia menolak berhubungan dengan Thaliban dan Jaringan Al-Qaida di Afganistan maupun dengan Gerakan Nasional Moro (Philippines), JI (Jamiaah Islamiyyah) di Jakarta serta Jaringan Islam di Malaysia ataupun Pattani Liberation Organization (PULO) di Thailand. Yang terkahir itu telah memulai usahanya untuk melakukan perang pembebasan di Thailand Selatan, terutama di Propinsi Yala, Narathiwat dan Pattani. Ada indikasi bahwa seluruh gerakan Islam yang berada di wilayah Asia Tenggara memiliki jaringan yang kuat dengan organisasi Islam di Jakarta. Sentimen agama terutama Islam telah menjadi sasaran “politik pembebasan” untuk meningkatkan solidaritas islam di kawasan Asia Tenggara, kecuali Aceh. Tiro telah menempatkan posisinya berseberangan dengan solidaritas Islam dan hubungan dengan perjuangan pembebesan national Aceh.
Tiro berkesimpulan bahwa seluruh jaringan itu memiliki kaitan dengan regime Jakarta. Ia menolak berhubungan dengan organisasi-organisasi “sektarian” yang mengatasnamakan “pembebasan nasional” tetapi tidak memiliki pandangan dan sikap politik yang jelas dan tegas. Beberapa organ itu memiliki kaitan dengan fundamentalisme agama dan bagian lain memiliki tradisi “pemberontakan” (Revolt) tetapi tidak memiliki misi pembebasan nasional (National Liberation) sebagaimana halnya dengan ASNLF/GAM. Jaringan pemberontakan sektarian dan fundamentalisme agama telah berbaur secara imanensi serta sangat sulit untuk membedakan di antara keduannya. Di satu sisi pemberontakan sektarianisme dengan ‘balutan Islam’ mengorganisir suatu perlawanan dengan isu-isu agama minoritas (di Thailand), telah membawa dampak serius terhadap politik regional. Di sisi lain fundamentalisme agama (Islam) telah mengorganisir dirinya untuk terlibat dalam sentimen-sentimen lokal dan nasional tanpa pandang bulu. Akibatnya muncul preseden buruk yang terkadang memberikan pukulan yang mematikan bagi gerakan pembebasan national. Dan itu nyaris dirasakan oleh Tiro dan organisasinya di pengasingan terhadap revivalisme Thaliban dan Al-Qaida ataupun sel-sel Islam di kawasan Asia Tenggara. Yang secara langsung maupun tidak langsung berupaya untuk merusak misi dan visi ASNLF/GAM di mata International. Tapi itu semua telah dilalui secara pasti lewat Peace Agreement antara ASNLF/GAM dan Pemerintahan Indonesia, di Swiss di tahun yang lalu. Dengan begitu survivalitas front itu untuk kesekian kalinya melewati rintangan yang tidak kalah galaknya dibandingkan dengan isu perang dingin.
Dengan demikian intervensi politik dari pihak “asing” terutama negara pendukung (State Sponsor) akan mudah “merubah” haluan gerakan bahkan nyaris memprovokasi gerakan keagamaan menjadi dinamika international kontemporer. ‘Mereka dipakai ketika dibutuhkan, dan dikejar ketika waktunya tiba’. Intervensi negara superpower terhadap fenomena radikalisme keagamaan tidak dapat dipandang sebelah mata. Mereka telah memberi kontribusi besar bagi kebangkitan perang suci versi negara sponsor. Itulah sebabnya Tiro selalu menempatkan independensi gerakan Pembebasan Nasional Acheh di atas segalanya. Artinya ia menempatkan posisi “negara sponsor” di bagian luar gerakan dan tidak dibenarkan mengambil kebijakan politik apapun yang berkenaan dengan organ pembebasan national itu pada porsinya. Apa yang dialami oleh MNLF Moro di Philippina Selatan adalah sebuah track record “negara pendukung” seperti halnya dengan Indonesia-Malaysia untuk menjaga status quo kawasan Asia Tenggara dari ‘bencana regional’ terutama munculnya negara baru yang dapat menciptakan ketidakseimbangan kawasan. Artinya untuk memenangkan strategi perlawanan di Dunia Melayu menjadi suatu keniscayaan untuk tidak melibatkan mereka dalam strategi jangkan panjang gerakan. Serta membebankan mereka pada tanggungjawab kemanusiaan berdasarkan universalitas ras Melayu.
Tiro membedakan secara tegas antara “gerakan pembebasan nasional” dan “gerakan keagamaan” yang akhir-akhir sulit untuk dibedakan karena kepentingan negara status quo dan perang terhadap terrorisme itu sendiri. Ia mencoba menjauhkan isu-isu yang berkenaan dengan Islam dalam setiap aksi organisasinya di Aceh. Ia membuang jauh-jauh terminologi Arab yang berkenaan dengan sikap dan perilaku keseharian organisasinya. Seperti pemakaian “Abu” dibelakang nama setiap pemimpin gerilyawan Aceh. Yang identifikasi lebih dekat maknanya dengan pemimpin-pemimpin terroris global maupun regional seperti Abu Sayyaf dan beberapa nama pemimpin PLO di mata Amerika dan Israel. Ia juga tidak ingin terlibat dalam gerakan Islam fundamentalisme yang memiliki ambisi untuk merubah dunia. Ia menegaskan apa yang dilakukan oleh gerakan fundamentalisme Islam itu tidak ada kaitannya dengan Gerakan Aceh Merdeka. Ia justru menghindari politik agama berperan serta dalam aktifitas politik lokal dan diplomasi international ASNLF/GAM di luar negeri. Ia menuduh adanya provokasi Jakarta ketika menerapkan kebijakan menerapkan status Syariah Islam (Islamic Policy) bagi Aceh, oleh pemerintahan Wahid akhir tahun 2000. ia memaknai sebagai tindakan yang memancing kepentingan international untuk menjadikan Aceh sebagai ‘Darul Islam’. Dengan sendirinya memasukkan Aceh dalam daftar yang berpotensi menjadi kawasan subur atau surga terroris . Dengan begitu visi dan aksi organisasi perjuangan untuk pembebasan menjadi kabur; antara perjuangan nilai-nilai pembebasan national dan ‘kemarahan’ karena Islam terpinggirkan secara politik international.
Tiro tidak ingin perjuangan untuk meraih keyakinan membentuk “Negara Aceh” menjadi kabur dan bias. Di satu sisi orang-orang Aceh pasca PUSA dan DI/TII terlalu mudah untuk terprovokasi terhadap Islam. Mereka dalam pandangan Tiro, tidak memiliki ideologi yang jelas dan tegas, di samping ketiadaan visi dan kelemahan dalam aksi. Di sisi lain ia terus menjaga perjuangannya untuk selalu berada dalam visi ASNLF/GAM untuk mendirikan “Imagined State” dalam alur yang jelas dan pasti. Serta tidak mudah tergoyahkan dengan isu-isu yang berbau Islam, yang pada akhirnya membelokkan tujuan perjuangan. Itulah sebabnya ia tidak ingin ‘terpancing’ untuk berbicara soal masa depan Islam atau apapun namanya atas dasar agama. Manuver Presiden Wahid telah memberi suatu makna yang sangat provokatif di satu sisi. Serta di sisi lain memberikan image international yang tidak menguntungkan bagi Aceh. Bagaimanapun posisi Aceh yang tampil secara superficial ataupun substansial kedudukan Islam menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah dan pandangan hidup orang-orang Aceh di waktu kini maupun yang akan datang.
Agaknya apa yang dilakukan oleh Pemerintahan Wahid di Aceh, teramati secara serius oleh Tiro di pengasingannya. Ia tidaklah sebagaimana yang dibayangkan oleh media dengan sedikit gambar dan opini dari apa yang sedang perjuangkannya. Ia bukanlah tipikal sebagaimana dengan tokoh-tokoh pembebasan nasional lainnya yang memiliki selera dan duduk di depan kamera dan beropini ria. Ia benar-benar menunjukan dirinya berbeda dengan pemimpin bangsa Moro Nur Misuary, Rumkorem (OPM), Alm. Manusama (RMS) ataupun pemimpin-pemimpin organisasi pembebasan Asia lainnya. Tetapi pemimpin-pemimpin organisasi pembebasan di Maluku, Papua dan Moro itu tahu bahwa Tiro dengan organnya ASNLF/GAM menduduki tempat yang sangat istimewa dalam pandangan maupun geo-strategis mereka. Dalam pandangan mereka boleh dikatakan bahwa Tiro telah berhasil melalui berbagai tahapan gelombang dan tantangan. Secara internal Ia telah dianggap berhasil menghindari dari perpecahan organisatoris gerakan. Ia merupakan symbol perjuangan yang senantiasa memberi inspirasi dan semangat perlawanan yang tak kunjung reda. Secara eksternal rongrongan yang dilakukan oleh regime militer Indonesia terhadap citra dirinya maupun pembunuhan karakter (Character Assasinassion) telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari operasi intelligent maupun operasi militer. Tapi Ia bergerak secara leluasa tanpa beban bergerak di luar wilayah itu. Kegagalan operasi intelligent serta diikuti dengan operasi militer. Di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri kembali merumuskan misinya untuk menangkap Tiro dengan tuduhan-tuduhan terrorisme di Jakarta. Tapi pemerintahan Swedia menolak tuduhan itu terhadap warga negaranya.
Ia bergerak dengan diplomasi membentuk jaringan kerjasama politik dalam bentuk “Security Agreement” antara ASNLF/GAM—OPM—RMS—Fretelin. Itu berupaya untuk membentuk kerja politik bersama di tingkat strategi dan aksi dalam usaha untuk mementahkan pengepungan (Under Siege) terhadap strategi Pemerintahan militer Indonesia di kawasan konflik. Tiro berasumsi, kerjasama antar organisasi pembebasan yang berada dalam satu kawasan dengan territorial yang sama secara geopolitik akan menguntungkan bagi aktivitas pemisahan diri. Di samping terus melakukan re-organisasi dan kerja-kerja diplomasi di tingkat hubungan antar bangsa. Itulah sebabnya ia sangat mengharapkan kerja-kerja ‘profesional gerakan’ harus memiliki ketepatan waktu dan perencanaan yang matang. Efisiensi gerakan pembebasan itu identik dengan “kemenangan”.
Tiro mengagumi “efisiensi Barat” (Western Efficiency) yang dipandangnya sangat efisien dalam membangun “mesin birokrasi” negara. Tiro telah menghabiskan separuh usia berkelana dan hidup dalam alam Demokrasi Liberal ala Amerika dan sistim Demokrasi Sosialis ala Scandinavia. Ia melihat ada begitu banyak kesamaan geo-politik antara daerah-daerah yang berada di kawasan Aceh dengan Eropa yang pluralis. Yang terdiri atas keberagaman yang tidak dimiliki satu dengan yang lainnya. Alam Aceh, selalu memberi fenomena diri kepada Tiro. Ia dikenal memiliki obsesivitas tinggi tentang apa yang disebutnya “Eropa Neutral” ke dalam prinsip-prinsip ketatanegaraan Negara Aceh moderen. Untuk mencapai ketahapan itu dibutuhkan kerja-kerja ekstra dan efisiensi moderen yang setara dengan “Efisiensi Barat”. Tanpa itu semua sulit rasanya mencapai cita-cita berdirinya “Negara Aceh” dengan standar Eropa atau Amerika. Hanya dengan contoh-contoh kerja yang telah teruji setiap sistim manegerial dapat dengan mudah untuk diterapkan di satu tempat. Tinggal bagaimana melakukan beberapa perubahan semangat kerja model itu.
Ia membayangkan “Imagined State” nya berada di antara bangsa-bangsa Melayu seperti: Malaysia, Singapore dan Muangthai yang telah mengecap kemerdekaan setengah abad yang lalu. Tidak terkira dibandingkan dengan “bangsa baru” (Acheh) harus berkompetisi dalam segala situasi menghadapi negara-negara status quo di kawasan Asia Tenggara. Jika tidak dengan prinsip menerapkan standard “efisiensi Barat” sulit rasanya mengejar ketertinggalan pembangunan yang sepenuhnya diorientasikan pada bidang sumber daya manusia (Human Resources) Aceh. Di sini integrasi hubungan ekonomi politik menjadi suatu keniscayaan bagi bangsa baru untuk memulai tahapan pembangunan. Tentu saja ada etika politik international yang harus dipatuhi oleh “negara baru” terhadap negara-negara status quo, yaitu “harus menyesuaikan diri terhadap tata dunia lama” (World Order).
Aceh dengan sendirinya berada dalam suatu kawasan baru di mana ia dituntut untuk mengikuti tren regional dan international. Dalam tahapan itu perubahan-perubahan fundamental dan massive harus dilakukan secara drastik dan mendasar. Seperti perubahan arah perjuangan pasca kemerdekaan dari politik pembebasan nasional ke politik pemberdayaan rakyat. Dari politik konfrontasi ke politik pragmatik. Dari politik ekonomi tertutup ke politik ekonomi terbuka. Dari sistim sosial homogen menuju sistim sosial heterogen. Dari konteks unitarian kebangsaan menuju pluralistik kebangsaan. Dari sistim sentralisme perjuangan menuju politik federal. Itulah sebabnya ia mendesaint “Imagined State” menurut standar peradaban Eropa dari pada Amerika. Ia beranggapan bahwa sejarah empirik Eropa jauh lebih tua usiannya dari pada negara Paman Sam itu. Dengan sendirinya Eropa lebih berpengalaman.
Tiro mengagumi sepenuhnya filosofi politik negara Swiss yang menganut kebijakan neutralitas (Neutrality Policy) dalam politik hubungan antar bangsa serta pola internal pemerintahannya. Tiro telah menciptakan drafbiru untuk “Aceh Sumatera” dengan memakai konsep ala Swiss dengan “Konfederasi Longgar Negara” (Confedaration State) di mana di dalamnya terdapat beberapa etnik group yang memiliki persamaan status dengan Aceh dan boleh memiliki bentuk pemerintahan sendiri. Ia ingin menghapus image sejarah (Historical Image) yang berkembang dalam sejarah literatur Melayu tentang politik ekspansionisme (Ekspantionism Politic) orang-orang Aceh di Dunia Melayu, khususnya di Malaka. Ia memandang “politik neutralitas” itu sangat bermanfaat bagi suatu bangsa yang baru keluar dari pendudukan asing (Alien Accupation). Politik neutralitas ini sangat berkaitan dengan pola hubungan antar bangsa dalam arena politik international, khususnya politik luar negeri Aceh dimasa yang akan datang.
Tiro memandang politik neutralitas sangat realistik (Realistic) bagi Negara Aceh dan dapat diterima (Acceptable) oleh orang-orang Aceh. Tiro tidak ingin mengembangkan politik permusuhan (Confrontation Politic) sebagaimana negara-negara yang baru keluar dari pendudukan asing. Sebaliknya ia ingin menciptakan hubungan saling menguntungkan (Mutual Understanding) antar negara dan meninggalkan politik konfrontasi ala revolusioner yang selalu menjadi ciri-ciri negara yang baru merdeka. Politik neutralitas itu penting bagi Negara Aceh, disebabkan tuntutan international bangsa-bangsa untuk segera berintegrasi dengan visi negara-negara anggota PBB yang menganut garis politik perdamaian (Peace Politic). Tiro memiliki prinsip terhadap perdamaian itu sebagai pola dasar terbentuknya tata dunia yang lebih harmoni serta menghindari dunia dari kekacauan yang disebabkan oleh kolonialisme dan pendudukan asing yang menindas bangsa pribumi (Native Nation).
Di samping itu ia terus membina hubungan sejarah klasik diplomatik Monarchy Aceh dengan monarchy-monarchy di Eropa, dan negara-negara lainnya di dunia untuk mendukung perjuangan pembebasan Aceh. Seperti Kerajaan Belanda , Portugis , Inggris , Perancis , Italia , Turki , AS , Cina , Thailand , Malaysia , dan Arab Saudi. Dengan korespondensi yang teratur serta mengajak negara-negara itu untuk terlibat kembali dalam hubungan international dengan “Monarchy Aceh” yang representasinya ada di organisasinya (ASNLF/GAM). Bagi Tiro, hubungan klasik diplomatik Monarchy Aceh memiliki sejarah yang panjang dan sejarah diplomatik itu pula yang menjadi modal besar untuk meraih dukungan international. Monarchy Aceh dalam pandangannya, memiliki kesamaan dengan monarchy-monarchy besar lainnya yang berada di Eropa dan Asia. Sesungguhnya negara-negara Eropa yang beradab dan memiliki kemakmuran serta kesejahteraan yang tinggi bagi rakyatnya merupakan monarchy-monarchy Eropa yang memiliki hubungan diplomatik yang kuat dengan Monarchy Aceh di masa lalu. Terkecuali dengan Eropa Scandinavia, di mana ia membangun diplomasinya lewat “politik perahu”. Tapi tidak menutup kemungkinan bagi Tiro untuk membinanya lebih lanjut. Ia sadar bahwa Eropa Scandinavia adalah salah satu tempat yang paling strategis untuk meraih dukungan international. Di samping itu orang-orang Aceh akan lebih banyak mempelajari demokrasi dan HAM di negera-negara itu. Orang-orang itu yang nanti diharapkannya untuk mentransfer pemikiran tentang perdamaian, demokrasi dan HAM ke Aceh.
Ia percaya di samping “politik neutralitas” orang-orang Aceh pasca perang dengan (“Indonesia”) akan memiliki sikap terhadap perdamaian di kawasan Selat Malaka dan kawasan Asia Tenggara pada umumnya. Tiro memandang sesungguhnya masyarakat Aceh pada waktu itu sedang mengalami kejenuhan konflik karena perang yang berlarut-larut serta akibat kebodohan-kebodohan pemimpinnya di masa lalu. Orang-orang Aceh pasca revolusi sosial dalam pandangannya, lebih banyak berbekal otot dari pada memiliki otak. ‘Praksis tanpa ide’ seperti yang diperlihatkan oleh pemimpin-pemimpin PUSA yang secara emosional menempatkan kedudukan Uleebalang setara dengan Belanda. Ia dengan sendirinya mengakui kegigihan pemimpin Uleebalang Combok, Teuku Muhammad Daud yang menentang kaum Republiken di Pidie. Adalah Teuku Muhammad Daud Cumbok yang menentang secara brutal gagasan Major General Tituler Daud Beureueeh tentang “Republik Indonesia Raya”. Justru ia dan anggota keluarga dibunuh setelah dua minggu bertempur dengan gagah berani di tahun 1946.
Maka dalam sekejab mata, dinasti Uleebalang yang perkasa berabad-abad jatuh lunglai di ujung tombak ulama-PUSA dalam tempo 3 minggu….didahului dengan upacara penistaan yang tak terperikan, Teuku Muhammad menjalani eksekusi. Lehernya dipenggal dihadapan putranya Teuku Hasan yang ipar dari Teuku Muhammad Ali Panglima Polem, dan adiknya Teuku Machmud. Upacara yang sama berlaku pula untuk Teuku Hasan dan Teuku Machmud itu. Mereka bertiga dibenam di dalam lubang kubur yang sama. Di antara Uleebalang yang mendapat giliran dihukum pancung adalah Teuku Raja Sabii (Uleebalang Keureutou, Aceh Utara), putra pahlawan Aceh Teuku Chik di Tunong dan Cut Meutia. Konotasi pengkhianat bangsa, tak jelas. Apakah terhadap “bangsa Indonesia” ataukah terhadap “bangsa Aceh”. Hanya ulama PUSA yang boleh tahu maknanya.
Sejarah mencatat kematian sang Uleebalang itu, bukan hanya sejarah perlawanan terhadap PUSA, Jepang, atau Belanda lebih dari segalanya adalah ia menentang tanpa kompromi apa yang diyakini oleh Daud Beureueeh terhadap konsep “Republik Indonesia Raya”. Tak ada yang ditinggalkan oleh Teuku Muhammad Daud Cumbok, selain penderitaan yang ditanggung seumur hidupnya bahkan ‘kematian yang ternistakan’ yang tak pernah hilang dari musuh-musuhnya. Bahkan nama buruk yang ia dapatkan setelah kematiannya yang tragis di hadapan bangsanya sekaligus orang-orang Aceh. Di atas segalanya Ia telah mempertahankan ‘kehormatan’ dan ‘kemuliaan’ Uleebalang dihadapan seterunya ‘orang-orang berkupiah’ PUSA tanpa gentar menghadapi kematian yang spektakuler.
Ia mewakili generasi Uleebalang Aceh yang telah mempertahankan kehormatan Monarchy Aceh selama berabad-abad, tidak hanya mempertahankan kehormatan, kewibawaan dan kemuliaan dihadapan musuh abadinya “Belanda”, Balatentara Jepang yang tidak kalah sadis dan kejam, serta melawan ‘fasisme orang-orang berkupiah PUSA’. Ia hanya ingin memperlihatkan kepada musuh-musuhnya bahwa Uleebalang Aceh bukanlah orang-orang yang lemah dan papa. Melainkan salah satu sayap dari ‘struktur perlawanan besi’ yang telah teruji keberadaan di sepanjang sejarah Aceh.
Dengan kematiannya itu Ia telah mewariskan secara sempurna sifat menjaga martabat dan kehormatan di hadapan keyakinan politiknya, musuh-musuhnya dan orang-orang Aceh di panggung sejarah universal. Lebih dari itu dihadapan ‘orang-orang berkupiah’ PUSA sekaligus yang mengeksekusinya berdetak kagum pada sifat keberaniannya menghadapi maut. Menjemput maut sesungguhnya merupakan fusi yang terlahir dalam satu badan yaitu ‘Uleebalang-Ulama’. Itu merupakan moment terakhir yang diperagakan oleh family di Tiro ketika menghadapi maut. Dalam kaitannya dengan soal kematian orang-orang Aceh menjadi suatu yang inheren dan imanen dalam diri mereka. Dalam pemikiran dan keyakinan orang-orang Aceh kematian adalah persoalan waktu, tinggal bagaimana (How) mereka menjalani itu semua. Sebagai Uleebalang yang berpengaruh di Pidie, Teuku Muhammad Daud Cumbok telah memilih jalan yang telah dilalui oleh family di Tiro, untuk selalu melawan tanpa henti terhadap musuh-musuhnya. Tidak terkecuali menghadapi para pengikut PUSA yang mengaku “mengikuti jalan ulama-ulama di Tiro”. Tapi pada kenyataanya mereka adalah para pengikut Soekarno. Kemudian mengikuti jalanya yang ditempuh oleh Kartosowirjo dengan Darul Islamnya.
Itu membuktikan bahwa tidak mudah memimpin Aceh yang senantiasa di sepanjang jaman terus diperebutkan oleh kekuatan-kekuatan international karena letaknya yang strategis. Karena pemahaman Islamnya yang sederhana dan memikat banyak orang untuk menjadi bagiannya. Karena Monarchynya yang besar dan jaya yang selalu menjadi batu penghalang bagi kekuatan-kekuatan koloni yang ingin meng-aneksasi wilayahnya. Dan karena kepemimpinannya (Uleebalang) yang selalu menjadi rujukan sekaligus kemampuannya mengelola, menjaga, bahkan memelihara warisan yang paling fundamental dari Tanoh Indatu. Yaitu menjaga kemulian bangsa dihadapan orang-orang asing. Teuku Muhammad Daud Cumbok adalah merupakan salah satu dari sekian banyak Uleebalang yang mencoba mempertahankan ‘Aceh dalam putaran sejarahnya’, tidak semata-mata karena status quo ke-Uleebalang-annya melainkan hormat dan kepatuhan yang sangat tinggi pada warisan Tanoh Indatu.
Apa yang sedang dirintis oleh Tiro di tahun-tahun belakangan ini tentang “Perjanjian Damai” (Peace Agreement) antara Aceh-Belanda, sebagai upaya untuk menyelesaikan Perang Aceh (1873-1942). Sesungguhnya telah dilakukan oleh Teuku Muhammad Daud Cumbok setengah abad yang lalu. Sayang usahanya itu mendapat tantangan yang teramat fanatik dari ‘orang-orang berkupiah’ PUSA. Malah ia dituduh sebagai Uleebalang pro Belanda di jaman Jepang dan juga dituduh kaum feodal Aceh di jaman “revolusi sosial”. Ia syahid dalam mempertahankan keyakinannya terhadap Monarchy Aceh dari orang-orang Republiken.







Bab VII

Perang Dan Damai


Falsafah revolusi nyaris mirip dengan falsafah sebuah patroli. Melakukan patroli, di dalam sejarah, merupakan tujuan utama tentara Mesir……Sekarang kita harus melakukan pertempuran yang sangat penting dan maha besar di atas semua perang yang pernah kita jalani yaitu pembebasan tanah air dari semua belenggu.
Bahkan lebih jauh lagi Tiro melihat perang (War) disebabkan oleh aksi penjajahan dan pendudukan itu sendiri. Bagi Tiro, “perang” merupakan suatu bencana kemanusiaan (Human Calamity) bila tidak dilandasi oleh semangat pembebasan nasional. Ia melegalkan “perang” semata-mata berpijak pada semangat pembebasan nasional yang di dalam pemikirannya menjadi suatu “perang suci” (Holy War). Ia mendefinisikan “perang suci” bukan pada konteks “perang agama” sebagaimana yang terjadi di belahan dunia lainnya seperti: Perang Balkan antara minoritas Muslim Bosnia-Serbia Kristen dan Perang Chechnya di Rusia, serta Perang Thaliban-AS di Afghanistan dan Perlawanan Islam melawan pendudukan AS di Iraq.
Sebaliknya ia memandang perang yang terjadi antara Aceh-Indonesia sebagai perang suci melawan “perbudakan” (Abolition) dan “kebodohan” (Jahilliyyah) regime Jakarta di Aceh. Tiro menjustifikasi penjajahan (Colonized) dan “pendudukan” (Accupation) sama halnya dengan “perbudakan” dan “kebodohan”. Sebagaimana dengan pandangan Carlyle –“Berbahagialah orang-orang yang sejarahnya tidak ditulis dalam buku sejarah”—karena orang-orang kulit hitam Amerika jelas tidak akan senang sebelum lembaran-lembaran sejarah mereka ditulis dengan cara yang lebih memuaskan bagi mereka dan mereka telah mengubah pandangan umum dari bangsa tempat mereka merupakan bagian di dalamnya.
Ia memandang apa yang disebutnya “politik barbarianisme” (Barbarianism Politic) regime Jakarta di Aceh itu melawan kodrat hukum bangsa-bangsa beradab serta peradaban dunia. Ia menyerukan untuk melawan regime Jakarta itu sampai regime itu hilang dari peta dunia. Adalah kewajiban masyarakat international untuk membantu proses pembebasan national Aceh dari politik perbudakan serta menuju kebebasan universal yang menjadi cita-cita umat manusia (Mankind).
Tiro juga sangat terkesan dengan independensi politik ala negara-negara Scandinavia dalam hubungan international yang tidak terikat pada kekuatan super power. Tetapi memiliki pertahanan diri (Self Defend) bila diserang oleh pihak luar. Ia melihat pada kasus Finlandia-Uni Soviet di dalam Perang Dunia II sampai dengan Perang Dingin berakhir. Finlandia telah berhasil mengembangkan pertahanan militernya untuk membendung pengaruh negara Beruang Merah hingga Uni Soviet ambruk bersamaan dengan Perang Dingin usai. Finlandia tetap menjadi negara merdeka meskipun Bangsa Fin mengalami ancaman yang luar biasa dari negara superpower dunia. Tiro berprinsip bahwa “negara yang mencintai perdamaian tidak berarti negara itu lemah, justru negara itu memiliki kekuatan”. Dialog selalu menjadi kekuatan yang signifikan. Itulah sebabnya ia selalu mengandalkan perundingan menggeser ‘perang yang berbiaya tinggi’ (High Cost War) menuju ‘perang yang berbiaya murah’ (Cheap Cost War) ke atas meja perundingan.
Tiro ter-obsessive menjadikan “perang militer” ke “perang diplomasi” sebagai bentuk tertinggi seni politik perdamaian. Ia selalu menjunjung perdamaian sebagai permulaan dan akhir suatu peperangan. Ia tidak memandang pentingnya “perang” dibandingkan dengan “perdamaian” dalam hubungan international antar bangsa-bangsa. Karena perdamaian memiliki arti yang sangat substansial menjaga tata dunia tanpa eskploitasi negara superpower terhadap negara kecil. Hidup berdampingan secara damai (Co-existence) menjadi ruang hidup dialog antar bangsa dalam menyelesaikan konflik nasional, regional dan international. Ia mengakui bahwa politik perdamaian (Peace Politic) bagi negara yang akan diproyeksikannya menjadi mutlak dan fundamental. Menjadi suatu keniscayaan politik nasional, regional dan international di mana “Negara Acheh” menjadi bagiannya.
Tiro memiliki pandangan yang fundamental terhadap konsep ideologi “Negara Acheh” (Imagined State) nya yang sedang dipraksiskan di pengasingannya di Swedia. Ia bekerja keras untuk me-manifesto-kan ke dalam blueprient atau “cetak biru” sebagai suatu warisan intelektual (Intellectual Heredity) bagi orang-orang Aceh. Artinya ia menganggap bahwa suatu ideologi negara pada prinsipnya “belum sempurna dan tidak pernah menjadi sempurna, hanya manusialah yang “menyakini” kesempurnaan ideologi sebagai suatu sikap politik”. Secara substansial, Tiro tidak menempatkan “ideologi negara” sebagai suatu hal yang penting disebabkan pemikiran ideologi telah mengalami distorsi, simplikasi dan membentuk varianisme yang pada akhirnya saling memurtadkan satu dengan yang lainnya.
Berbeda halnya dengan ideologi Perjuangan Pembebasan Aceh yang ia rintis secara terus-menerus lewat doktrin “Udeep Saree Matee Beusajan, Sikraak Gaphan Saboh Keurenda,”. Jelas disini ia menafsirkan “ideologi perlawanan” berbeda halnya dengan “ideologi negara”. Karena antar keduanya terdapat perbedaan yang menjolok dan massive di tingkat pemikiran dan realitas. Yang pertama lebih menekankan logika perlawanan di tingkat idealisme di satu sisi dan di sisi lain disertai aksi perlawanan dalam bentuk manifes, yaitu perang gerilya dan aksi damai (Non Violent Movement). Bahwa terdapat persamaan nasib dan penderitaan melawan posisi kekuatan pendudukan ataupun penjajahan. “Ideologi perlawanan” akan senantiasa bermuara pada permusuhan dengan kaum penindas atau tentara pendudukan di Aceh. Sedangkan yang terakhir lebih pada isu-isu ekonomi dan politik pasca kemerdekaan. Artinya ideologi negara lebih berpretensi kearah hubungan kesenjangan ekonomi dan partisipasi politik. Pada akhirnya Ia akan menjustifikasi ideologi negara Aceh menurut selera orang-orang Aceh.
Semua ini dengan jelas memperlihatkan lemahnya ideologi-ideologi politik yang telah diterima dengan luas. Oleh karenanya, haruskah kita menerima, sebagaimana yang dikatakan oleh beberapa postmodernist, bahwa Enlightenment telah melemahkan dirinya sendiri dan bahwa kita harus mengambil dunia sebagaimana adanya, dengan seluruh kekejaman dan keterbatasannya. Tentu saja tidak, satu-satunya yang kita butuhkan sekarang ini adalah suatu jenis medievalisme baru, suatu pengakuan terhadap pentingnya kekuatan-kekuatan yang lebih besar daripada kekuatan diri kita sendiri. Kita hidup dalam dunia yang telah rusak secara radikal, yang karenanya diperlukan obat-obat yang radikal. Indikator tradisionalisme yang kedua sering berwajah rangkap, adalah pengawetan kesetiaan terhadap keyakinan agama, yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari dalam pengertian yang seluas-luasnya. Tradisi agama itu sendiri tidak terkait dengan keterbelakangan; factor kuncinya adalah keyakinan teguh terhadap pandangan-pandangan duniawi yang kira-kira dapat disebut sebagai ideologi massa. Menurut Karl Mannheim, ketidak percayaan dan kecurigaan yang ada di mana-mana dibuktikan orang terhadap musuh-musuhnya, pada seluruh tahap perkembangan historisnya, dapat dipandang sebagai pencetus langsung gagasan tentang ideologi. Akan tetapi kita dapat berbicara suatu noda ideologis dalam ucapan-ucapan orang lain secara layak hanya bila ketakpercayaan manusia terhadap manusia yang kurang lebih terbukti pada tiap tahap sejarah manusia menjadi eksplisit dan diketahui secara methodologis.
Konsep ideologi (dan utopia) ini menegaskan melebihi sumber-sumber kesesatan yang pada umumnya diketahui, kita juga harus menghadapi efek-efek suatu struktur mental yang terdistorsi. Hal itu dapat diketahui dari kenyataan bahwa “kenyataan” yang tak dapat kita pahami dapat menjadi suatu kenyataan yang dinamis; dan dalam kurun sejarah yang sama dan dalam masyarakat yang sama, pastilah ada macam-macam struktur mental itu belum berkembang sampai sekarang, dan beberapa yang lainnya karena sudah melampaui saat kini. Akan tetapi dalam kedua hal itu, kenyataan yang harus dipahami terdistorsi dan tersembunyi, karena konsep ideologi dan utopia ini berurusan dengan dengan suatu kenyataan yang membuka dirinya hanya dalam tindakan-tindakan actual. Kalau memang terdapat suatu hubungan yang longgar antara ciri-ciri generasi yang digambarkan di atas, akan berbahaya untuk mengembalikan fundamentalisme baru tersebut ke asal-usul yang sama seperti itu. Apa yang sekarang kita saksikan bukan hanya suatu tantangan terhadap modernisasi melainkan serangan terhadap kompleksitas, pendapat dan rumus-rumus ilmiah. Semangat beragama berupa kebangkitan dan fanatisme, bahkan kalaupun tetap merupakan minoritas, adalah suatu cara yang relative mudah untuk memperoleh pengetahuan. Sebagai ganti dari banyak buku adalah “Buku Yang Baik”; sebagai ganti dari relativisme adalah kepastian moral; sebagai ganti dari serangkaian pertanyaan yang menghasilkan lebih banyak pertanyaan adalah serangkaian jawaban yang didorong oleh retorika kepastian.
Kita belum pernah menguji secara serius dan utuh yang mengarah pada surutnya ideologi; yakni mitologi. Etika ilmiah—dengan tekanan pada pengalaman dan analisa, informasi yang dikenakan pengujian dan didasarkan pada methode, data yang dihidangkan dalam bentuk matematis—tidak dapat tidak membawa kepada elitisme baru, yang didasarkan atas profesionalisme. Terdapat pertumbuhan subur berbagai pranata yang didasarkan di atas evaluasi, pengukuran, penyusunan garis kebijaksanaan—akhirnya membuat rakyat semakin jauh dari sendi-sendi yang diwarisi. Agama kerajaan seribu tahun dan kultus baru itu memberi berbagai jawaban dalam suatu dunia yang penuh ragu-ragu, jelas di dalam dunia yang tidak pasti, dan kepercayaan suatu dunia fakta yang saling bersaing. Kekuatan mobilisasi sangat krusial dalam iklim pasca perang mulai dari Gandhi dan Khomeini. Kekuatan demikian mencegah batas kekuatan militer untuk beroperasi berhadapan dengan gerakan massa dari bawah. “Moralisme baru” ini tidak segan-segan ikut ambil bagian dalam politik. Melainkan, ia menyangkal politik adalah suatu permainan yang kompleks yang hanya diperankan oleh penguasa saja. Oleh karena itu fundamentalisme baru itu memandang dirinya sebagai mendukung pemulihan nilai-nilai tradisional termasuk nilai-nilai yang mengatakan bahwa setiap orang terlibat dalam tata susunan massive yang baru ini.
Sebagaimana yang dikatakan oleh David E Apter, kita tidak boleh mengabaikan sisi negative. Bentuk-bentuk kepercayaan dan praktek social lama yang lekat dengan kesucian sering kali digantikan dengan kekejaman dan kecerobohan orang-orang yang memegang kekuasaan. Konfrontasi yang menggembirakan di masa depan mungkin dengan mudah digantikan oleh kecemasan mendalam. Bagi banyak orang modernisasi seperti terbanting ke suatu lorong dengan kecepatan yang menakutkan tanpa mengetahui apa yang menunggunya di ujung lorong. Ketakutan menciptakan masalah-masalah politik yang serius. Dari sini, tidak mengagetkan bahwa di dalam masyarakat yang sedang memodernisasikan diri mengalami suasana yang berfluktuasi antara perasaan yang menyenangkan dari adanya kebebasan baru serta harapan di masa depan dengan pandangan ketakutan, sinis atau oportunistik. Adalah Camus yang membuat kehampaan itu dengan kisah seorang tokoh Sisyphus. “Sisyphus, yang mendorong-dorong batunya ke atas bukit. Mungkin kelihatannya adalah absurd. Meskipun demikian, dalam setiap kejadian ia senang. Alangkah ganjil kelihatannya”!
“Absurditas”, pemikiran ideologi negara dalam pandangan Tiro, diasumsikan sebagai sikap memahami pemikiran intelektual (Intellectual Exercise) yang menjamin kebebasan berpikir dan kebebasan ber-ekspresi orang-orang Aceh. Ia memahami bahwa orang-orang Aceh mengenal apa yang disebutnya sebagai “pengembaraan pemikiran” (Adventurism Thought) dalam dunia pemikiran maupun perkelanaan dalam arti yang sesungguhnya. Pada prinsipnya Tiro, menganut garis pemikiran ‘liberal konservativ’, percampuran antara nilai-nilai tradisi Ulama Tiro yang ‘konservatif’ dengan nilai-nilai kenegaraan (Uleebalang) Aceh yang ‘liberal’. Percampuran ini merupakan ‘ikatan suci’ (Holy Relation) antara Ulama-Uleebalang dalam roda Pemerintahan Aceh di masa lalu.Yang bermuara pada ‘struktur perlawanan besi’ (Iron Resistance Structure) yang diperlihatkan dalam menggalang strategi perang di masa Perang Aceh-Belanda (1873-1942). Nilai-nilai Ulama Tiro yang ‘konservatif’ (bukan Fundamentalisme) termanifestasi dalam pemikiran dan aksi dari seluruh keturunan family di Tiro dalam menggagas perlawanan “Perang Suci” yang tak kunjung berhenti hingga generasi yang terakhir, Maat di Tiro.
Sebaliknya nilai-nilai Uleebalang yang liberal, terlihat dari interaksi dan pergaulan international di dalam mengembangkan Perang Aceh menuju internationalisasi. Artinya Perang Aceh tidak dapat ditafsirkan semata-mata “perang agama” antara Islam (Aceh)-Kristen (Belanda). Tapi Perang Aceh melibatkan persekutuan dagang international, di mana kantor-kantor perdagangan Aceh di seluruh dunia serta perwakilan Aceh di luar negeri menjadi penghubung perang dalam skala international. Perang Aceh menjadi perang berskala international disebabkan pusat-pusat pasar liberal dunia terkait di dalam. Di mana posisi Uleebalang menjadi bagiannya. ‘Fusi’ antara Uleebalang-Ulama Itulah yang kita sebut dengan ‘struktur perlawanan besi’ (Iron Resistance Structure), di mana Perang Aceh (1873-1942) tidak hanya ditafsirkan semata-mata “perang suci” atau “Perang Sabil” (Holy War). Tapi dapat juga ditafsirkan sebagai ‘perang national’ yang melibatkan kepentingan dagang international. Menurut Henri Baron de Jomini (1779-1869), seorang komanda tentara Napoleon yang berpengalaman menulis tentang sebuah studi klasik mengenai strategi militer. Di dalamnya Ia mengidentifikasi tiga macam perang besar yaitu: perang suatu bangsa melawan penindasan asing (Colonial War), perang saudara (Civil War), dan perang opini (Psychological Warfare). Menurut de Jomini perang Aceh-Belanda, tergolong pada yang pertama.
Inilah yang disebut ‘struktur perlawanan besi’ (Iron Rasistance Structure), yang dalam bahasa pemikiran ahli sejarah Ricklefs, didefinisikannya dengan sangat baik: “Kemajuan pihak penjajah kini telah menghadapi lawan yang paling kaya, paling tegas, paling terorganisir, paling baik persenjataannya, dan paling kuat rasa kemerdekaannya. Pada bulan-bulan akhir kemerdekaan formalnya, Sultan Mahmud Syah (1870-1874) meminta bantuan pada Turki (yang bagaimanapun tidak berdaya memberi bantuan), penolakan mentah-mentah oleh pihak Inggris, dorongan dari konsul Amerika namun penolakan oleh Washington, dan sama sekali tidak ada tanggapan dari Prancis. Rakyat Aceh harus berjuang sendirian”. ‘Struktur perlawanan besi’ Uleebalang-Ulama menghadapi Perang Belanda di Aceh telah memberi warna yang fundamental tentang struktur yang paling berkepentingan terhadap ketatanegaraan Aceh di masa tersebut.
Tentu saja sistim ketatanegaraan Aceh (Khilafiyyah) akan memakai ‘difusi’ berdasarkan ‘struktur perlawanan besi’ Uleebalang-Ulama. Karena itu merupakan ideologi klasik Aceh yang secara tradisional diakui oleh orang-orang Aceh dan secara international telah diakui keberadaannya. Lagi pula penafsiran “Islam” sebagai pandangan hidup (World View) orang-orang Aceh berdasarkan ‘hubungan suci’ Ulama-Uleebalang. Dalam arti “Islam” terpisah dari kehidupan politik praktis. Adat Bak Teupomeureuhom, Hukum Bak Syiah Kuala. Itu ditafsirkan dengan urusan-urusan yang berkaitan dengan masalah kenegaraan; politik, diplomasi, mata uang, dan kebijakan-kebijakan politik pemerintahan dll, sepenuhnya diatur oleh Sultan di Kutaradja serta Uleebalang di daerah-daerah. Sedangkan yang terakhir bertindak sebagai ‘penjaga moral masyarakat’ serta menjadi penasehat agama (Mufti) Sultan di Kutaradja dan menjadi penasehat kemasyarakatan bagi Uleebalang di daerah federal.
Tiro, memang tidak memiliki apology untuk mengatakan bahwa “Negera Islam telah berakhir” (Islamic State is Over) bersamaan dengan Monarchy Islam Aceh sampai dengan tahun 1945. Itulah sebabnya ia bermaksud untuk menjadikan kembali Monarchy Islam Aceh, sebagai sebuah modal dasar dari gerakan perjuangannya. Ketika Islam itu telah terlibat dalam politik praktis maka dengan sendirinya akan tercipta ‘anarkhisme kenegaraan’. Dan pengalaman yang sama telah dilihatnya dalam ‘revolusi sosial’ (1946) di Aceh dan Pemberontakan DI/TII Aceh (1953), Islam telah gagal ditafsirkan oleh ‘orang-orang berkupiah’ PUSA, yang akhirnya “menyerahkan” Aceh ke dalam lingkungan Republik Indonesia. Eksperimen politik yang ‘bernalar rendah’ dalam dua kasus yang terakhir itu telah menciptakan Aceh kehilangan ‘nalar’, ‘akal’ dan ‘budi pekerti’ yang selama ratusan tahun menjadi simbol penghormatan bangsa-bangsa Islam, Dunia Melayu dan bangsa-bangsa Eropa.
Baginya Monarchy Aceh adalah warisan masa lalu yang harus senantiasa dijaga, dirawat, disiram agar kesuburan tetap terjaga di sepanjang waktu dan masa. Adalah kewajiban setiap orang Aceh yang memiliki hubungan darah, keturunan ataupun yang merasa memiliki Aceh tapi tidak lahir di Aceh memiliki kewajiban yang sama untuk mendapatkan kembali kemerdekaan yang telah hilang itu. Aceh, Sebagai sebuah warisan dari Indatu, cucu dari sang kakek, anak dari sang ayah yang dilahirkan dari nenek, dan ibu tidak akan pernah memiliki warisan yang sesungguhnya apabila tidak mewarisi seluruh ajaran-ajarannya tentang dunia. Itulah yang didefinisikannya sebagai pandangan dunia (Wastanchuung) yang identifikasinya lebih condong kearah terbentuknya rasa kepemilikan terhadap dunia. Tiro menterjemahkan seluruh ajaran-ajaran nenek moyangnnya itu sebagai pola penghormatan terhadap dunia. Ia percaya bahwa ajaran-ajaran Indatu adalah ajaran untuk mengatur hidup, prilaku, budi pekerti, sistim sosial, filsafat politik yang pada akhirnya bermuara kepada “Negara Aceh”. Ia berketetapan bahwa Monarchy Aceh akan terus hidup bersama dengan usia peradaban manusia.
Ia memahami bahwa sejarah Aceh adalah bagian dari sejarah terbentuknya bangsa-bangsa di dunia ini. Ia memandang dengan sendirinya Monarchy Aceh telah menjalin hubungan dengan negera-negara di dunia tidak terkecuali dengan AS dan Eropa, telah terjalin hubungan diplomatik yang sangat kuat. Ia menebarkan salam perdamaian lewat sejarah hubungan diplomasi Aceh masa lalu dengan bangsa-bangsa di dunia. Ia telah menjadikan sejarah hubungan diplomatik Aceh di masa lalu sebagai tanda bahwa Aceh masih terus hidup sebagai suatu bangsa. Baginya tidak mungkin hubungan diplomatik yang terjadi di masa lalu hilang begitu saja. Itulah sebabnya ia ingin hubungan itu harus diperbaharui dengan pola yang berbeda, karena Tiro hanya memiliki Organisasi Pembebasan Nasional Aceh (ASNLF/GAM) yang dalam pandangan negara-negara status quo masihlah belum cukup. Tapi ia telah memulai memperbaharui hubungan diplomatik Aceh dengan negara-negara status quo seperti Belanda, Inggris, Turki, Portugal, Prancis, Amerika dan Jepang, Thailand, Malaysia, Vanuatu, Timor Leste, Australia, Selandia Baru, Swedia, Finlandia, Norwegia, Denmark, Libya, dll. Tak seorangpun yang dapat menghentikan misinya itu.
Tiro memahami Islam sebagai suatu sistim (Nizam) atau hirarkhi politik yang dapat berubah waktu demi waktu. Dalam pandangannya suatu sistim harus memperbaruhi konsep dan cara pandang (Wastanchuung) terhadap dirinya. Ia melihat “konsep pencarian” (Ijtihajd) sangat penting bagi Islam. Di sinilah Tiro memandang, “absurditas” (Absurdity) sistim Islam (Nizam) yang diterapkan secara baku dan tekstual tanpa mengalami perubahan-perubahan tafsir yang ia yakini hanyalah tafsir “kaum pinggiran” (Marginal Group) terhadap kitab suci (Holy Book). Demi melegalkan ambisi-ambisi politik kekuasaan dengan tafsir hegemonik (Hegemony Interpretation). Sebagaimana yang terjadi dalam sejarah pasca pendudukan Jepang di Aceh. Timbulnya ‘kaum berkupiah’ PUSA dan tafsir DI/TII Aceh telah membawa malapetakan yang paling serius terhadap kehidupan Islam di Serambi Mekkah. Karena orang-orang ‘berkupiah’ itu telah muncul pendangkalan makna terhadap kehidupan Islam di Aceh, sehingga tafsir terhadap dunianya menjadi hilang karenanya. Itulah sebabnya Tiro memiliki pandangan, ‘tiada monster yang lebih berbahaya selain munculnya kaum berkupiah dan bersorban ke panggung politik. Tidak ada kriminalitas yang paling berbahaya selain melindungi perbuatan mereka atas nama kitab suci’. Dan itu telah terjadi di Aceh setengah abad lalu.
Tiro menganut pandangan “liberal” terhadap negara imaginernya. Ia memandang ekslusivisme politik dalam arti “pembaruan” (Restoration) ala Meiji dan “pengurungan diri” (Isolasism Politic) ala Monroe tidak signifikan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Morgenthau, “Manifestasi politik status quo yang memiliki arti penting untuk Amerika Serikat, dan merupakan landasan politik luar negerinya ialah Doktrin Monroe. Di satu pihak, doktrin tersebut menetapkan agar Amerika Serikat agar menghormati pembagian kekuasaan yang sudah ada di dunia di belahan Barat. Di pihak lain, doktrin tersebut menyatakan perlawanan AS terhadap perubahan apapun atas pembagian kekuasaan yang ada oleh sesuatu negara non Amerika”. “Politik isolasisme” menurut Holsti, dinyatakan oleh tingkat keterlibatan yang rendah dalam bidang sistim, jumlah transaksi diplomatic dan komersial yang rendah dengan unit politik atau masyarakat lain, dan upaya untuk menutup rapat negeri terhadap berbagai bentuk penetrasi eksternal. Menurut logika ini, suatu orientasi isolasionis akan diterapkan, atau dapat berhasil, paling sedikit hanya dalam suatu sistim dengan struktur kekuasaan yang tersebar secara layak, di mana ancaman militer, ekonomi atau ideologi tidak mungkin ada atau di Negara-negara lain secara regular menggeser persekutuan. Unit politik yang menerapkan orientasi isolasi biasanya dapat dapat memenuhi kebutuhannya sendiri secara ekonomis dan social. Untuk dapat mempertahankan “cara hidup” (Way of Life), termasuk nilai social, struktur politik dan pola ekonomi, suatu unit politik tidak wajib mengubah lingkungan luarnya untuk kepentingannya. Namun kebanyakan unit politik menerapkan strategi isolasi sebagai suatu cara menanggulangi ancaman actual atau potensial—tidak dengan cara untuk menghadapinya dalam suatu pertempuran, tetapi dengan bersembunyi di belakang front dan membangun pertahanan yang akan membuat negara tidak dapat ditembus oleh serangan militer atau infiltrasi kebudayaan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Louis Irving Horowitz, isolasionisme yang lama pada dasarnya adalah suatu maneuver politik, suatu kecenderungan legislative dan presidential yang mencerminkan rasa takut bangsa Amerika akan dikaitkan dengan embroglio Eropa: petualangan di luar negeri yang sekali lagi akan menumpahkan darah orang-orang Amerika untuk “menjamin” varietas nasionalisme Eropa. Apakah scenario ini akurat atau tidak kurang penting dibangdingkan dengan kenyataan bahwa ia dipercayai di kalangan luas. Isolasionisme yang lama sejak awal adalah suatu taktik politik yang mencerminkan penyendirian cultural. Isolasionisme masa lampau telah dibangun di atas serangkaian pertimbangan strategis pertumbuhan ekonomi; isolasionisme sekarang ini dibangun di atas sandaran yang kurang kokoh: bagaimana membatasi pertumbuhan tanpa mengundang kehancuran segera; atau dengan cara lebih sastrawi, bagaimana menyelamatkan sistim perekonomian tanpa mengandalkan secara mutlak struktur politik. Isolasionisme sekarang ini melibatkan pertimbangan ekonomi: dinding penghalang tariff yang tinggi terhadap impor, perlindungan terhadap barang-barang buatan dalam negeri, hubungan ekspor-import yang seimbang. Akan tetapi sasaran ini mencerminkan suatu pertumbuhan kesadaran bahwa kekuasaan ekonomi berada dalam tangan perusahaan multinational yang tidak bergerak dengan langkah lebih serasi dengan keinginan bangsa Amerika ketimbang perusahaan multinational Belanda yang menerima perintahnya dari The Haque.
Sebaliknya, ia memandang “politik keterbukaan” (Open Door Politic) sebagai salah satu syarat international yang harus dipenuhi oleh negara baru merdeka. Di sini ia menafsirkan suatu periode panjang dari politik Pembebasan Aceh yang revolusioner menuju politik pragmatisme dalam interaksi antar bangsa-bangsa. Transformasi politik revolusioner ke arah pragmatisme politik itu memiliki kaitan dengan situasi internasional. Dalam arti negara yang baru merdeka akan dihadapkan dengan persoalan-persoalan baru yang menyangkut menghormati tatanan international (International Order) yang dikuasai oleh negera-negara status quo.
Itu menjadi tuntutan international untuk membuka pintu pasar (Free Market) di satu sisi dan di lain sisi menyiapkan sistim produksi (Production System) dan sumber kekuatan manusia (Human Resources) yang independent. “Intervensi pasar” (Market Intervention) dari negera-negara maju akan dapat dihambat oleh kekuatan sistem produksi domestik disertai oleh kesiapan sumber kekuatan manusia dalam arti ekonomi. Di sini negera baru akan mengalami persaingan ekonomi (Economic Competition) yang dipaksakan oleh negera-negara status quo. Bagi Tiro, Aceh harus ber-integrasi secara ekonomi menyangkut persaingan pasar dan produksi serta kekuatan manusia untuk melindungi aset-aset nasionalnya dari kaum penyerbu (Horde) dalam tata ekonomi global. Maka politik isolasi ala Meiji Jepang ataupun ala Moonroe AS akan kontraproduktive bila diterapkan di negara baru, khususnya “Imagine State” nya Tiro.
Tiro, memandang kekayaan sumber daya alam Aceh, cukup memenuhi anggaran belanja negara (National Budget) selama dua ratus tahun kemudian (sampai abad ke 23), jika dikelola dengan baik dan rasional. Ia memandang pemborosan ekonomi yang dilakukan oleh regime Jakarta di Aceh sebagai eksploitasi yang mengerikan. Seperti penjarahan sumber daya alam gas bumi di Lhok Seumawe, dan penghancuran hutan di pedalaman Aceh yang dikenal sebagai proyek Galadiaska (penghancuran terhadap hutan dunia) serta malapetaka demokrasi dan Hak Asasi Manusia terjadi secara terencana dan terorganisir secara sistematik dibawah politik mesiu regime Jakarta. Ia mengecam apa yang disebutnya “ekonomi tanpa moral” menginginkan “tanah Aceh” dengan membiarkan orang-orang Aceh menjadi “penonton” di tanah airnya sendiri. Regime Jakarta telah bertindak secara brutal terhadap sumber-sumber daya alam di Aceh tanpa menghiraukan akibat-akibat politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan keseimbangan ekosistim alami. Akibatnya Aceh menjadi tempat penjarahan secara nasional, regional dan international di mana perusahaan-perusahaan multi nasional melakukan eksplorasi gas alam cair dengan cara-cara yang paling biadab di sepanjang sejarah eksplorasi bumi.
Regime Jakarta, dalam pandangan Tiro telah melakukan “kontrak dagang” seperti “politik dagang sapi” tanpa menghiraukan aturan-aturan international dalam hubungan ekonomi dunia. Regime Jakarta, telah memberi andil “kontrak dagang” menjadi “kontrak politik”. Dalam arti regime Jakarta akan melakukan tindakan apa saja untuk menyelesaikan kasus ekonomi dengan “tindakan politik” (kirim tentara jika ada persoalan) jika ada reaksi di daerah. Maka daerah-daerah yang kaya akan sumber mineral bumi, seperti halnya Aceh di sanalah terjadi pelanggaran HAM yang sangat serius serta penghancuran nilai-nilai Demokrasi serta disanalah terjadi resistensi tinggi melawan penindasan regime Jakarta. Saran saya adalah sebagaian besar dari transisi yang sedang terjadi dapat digambarkan sebagai demokrasi yang terbatas, lemah dan tidak solid, dan diterpa oleh masalah social dan ekonomi yang akut. Dalam pengertian sebagai model, transisi yang terjadi masih berada dalam tahapan awal perubahan; negara-negara tersebut melihat kerusakan rezim nondemokratis dan pembangunan awal tertib demokrasinya. Pada beberapa kasus pertanyaan mengenai persatuan national bahkan masih belum terjawab.
Tiro melihat bahwa Regime Jakarta telah memindahkan persoalan-persoalan ekonomi menjadi isu politik yang bermuara mencari dukungan international yang pada akhir menjadi konpensasi politik antar bangsa. Regime itu pula telah berlaku naif (Naïve) dengan menjual seluruh aset-aset koloninya di seberang lautan (Colonial Overseas) dengan “harga murah” (Cheap Price) hanya karena mempertahankan Indonesia tetap berada dalam peta dunia. Untuk meraih dukungan international maka Regime Jakarta melakukan lobbying internationalnya melalui perusahaan-perusahaan Multi Nasional yang memiliki akses politik ke Gedung Putih di Washington, Downing Street di London, dan Istana Elysee di Prancis. Regime itu juga telah menggiring perusahaan-perusahaan Multi Nasional untuk bekerja dan melakukan eksplorasi perminyakan, pertambangan dan manufactured di Indonesia. Tapi dalam pandangan Tiro, strategi ekonomi “jual murah” (Dumping Economy) akan berdampak pada ketergantungan (Dependency) terhadap perusahaan-perusahaan Multi Nasional yang hasilnya dapat disaksikan dan dirasakan langsung oleh Regime Jakarta sendiri ketika krisis ekonomi melanda Indonesia di tahun 1997. Secara lebih jauh lagi Tiro memandang, sebenarnya Regime Jakarta tidak memiliki “konsep ekonomi” serta yang dimilikinya adalah apa yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan Multi Nasional.
Tiro bermaksud untuk menjadikan “Imagine State” nya, sebagai negara yang memiliki prinsip HAM sebagai politik nasional, regional dan internasional dalam hubungan antar bangsa. Ia melakukan ini sebagai itikat baiknya (Good Will) sekaligus sebagai sebuah prinsip perjuangan di arena politik internasional. Dengan menjadikan HAM sebagai strategi kampanye (Campaign Strategy) sekaligus sebagai prinsip nasional (National Principle) ia telah melangkah ke dunia nyata (Real World) hubungan antar bangsa. Karena dalam pandangannya, apa yang terjadi di abad ke 21 memiliki kaitan erat dengan kejenuhan bangsa-bangsa tentang “politik tanpa moral” di abad ke 20 sebagai prinsip era Perang Dingin yang mengedepankan ambisi-ambisi kekuasaan hubungan internasional. Sebagaimana yang dikatakan Georg Sorensen, transisi menuju demokrasi itu sendiri dapat menimbulkan instabilitas dan pergantian kekuasaan yang melibatkan pelanggaran HAM. Janji-janji demokrasi bukanlah peningkatan secara otomatis di berbagai bidang kehidupan yang tidak terkait dengan kebebasan politik; janji-janji tersebut adalah penciptaan jendela peluang, kerangka politik di mana kelompok-kelompok berjuang untuk pembangunan dan HAM mempunyai peluang yang lebih baik dari sebelumnya dalam mengorganisasikan dan menyuarakan tuntutannya. Demokrasi menawarkan peluang; bukan menawarkan jaminan keberhasilan.
Tiro telah memberi jaminan internasional (International Guarantee) kepada bangsa-bangsa di dunia bahwa ia dan seluruh staff Organisasi Pembebasan Nasional Acheh akan bersedia diadili secara hukum internasional, jika ia dan seluruh anggotanya terlibat dalam pelangaran HAM maupun konvensi-konvensi tentang pelanggaran perang; seperti pembunuhan (Killing), penyiksaan (Torture), penganiayaan (Mutilation), pembunuhan ethnik (Genocide), dan pembersihan ethnik (Ethnic Cleansing) dll. Itu dilakukannya sebagai rasa hormat dan salam perdamaian ke seluruh penjuru dunia Dan perjuangan adalah menegakkan hak-hak bangsa yang tertindas. Apa yang dimaksudkannya dalam logika perlawanan dan korelasi dengan hukum-hukum Dekolonisasi, sebenarnya memiliki kaitan yang sangat erat. Dari dasar-dasar filosofi itu Ia memulai suatu aksi perlawanan yang tak kunjung henti. Dari ini pula Tiro menyampaikan pesan-pesannya lewat ‘aksi pembebasan national’ tanpa memulai dengan suatu diskursus politik. Dari aksi perlawanan itu Ia memulai dan mengakhirinya juga dengan aksi yang sama. ‘Praksis dengan ide’ membuat sejarah berubah dengan cepat dan pasti. Sejarah mungkin ada lewat diskursus. Tapi itu akan menjadi ‘bacaan yang kering’ dan ‘tanpa makna’. Itupun tidak dapat memberi pesan-pesan ‘pembebasan nasional’ yang mudah dimengerti oleh orang-orang Aceh maupun terhadap perlawanan yang dicetuskannya di satu sisi. Serta di sisi lain terhadap tentara pendudukan di Aceh, bahwa perjuangan Aceh Merdeka tidak akan pernah berhenti dan berakhir. Serta diskursus publik international tentang keinginan orang-orang Aceh untuk mendapatkan kembali ‘hak Indatu’.
Dalam esainya yang diterbitkan pada tahun 1795, berjudul “Perpetual Peace” Imanuel Kant mengatakan sbb:” Apabila persetujuan masyarakat dibutuhkan untuk memutuskan pernyataan perang….tidak ada yang lebih alamiah daripada kenyataan bahwa masyarakat akan menjadi sangat berhati-hati untuk memulai permainan yang menyedihkan itu, memutuskan bagi dirinya sendiri suatu malapetaka perang. Malapetakan tersebut meliputi: keharusan bertempur, membayar pengorbanan perang dengan sumber daya yang dimiliki, memperbaiki kehancuran akibat peninggalan perang, dan melakukan tindakan-tindakan iblis, membebani dirinya dengan beban utang national yang dapat menciderai perdamaian itu sendiri dan tidak akan pernah terhapuskan karena perang akan selalu tejadi di masa yang akan datang. Pandangan ini membantu dan menjelaskan kewaspadaan demokrasi liberal terhadap area-area non-demokrasi, terutama “beban kulit putih” dalam membawa pemerintahan yang beradab dan tata tertib ke Negara-negara koloni. Jelaslah, pandangan ini sangat etnosentris: Peradaban Baratdilihat lebih superior dibandingkan dengan gaya “barbar” dari penduduk asli di negara-negara koloni; jadi, sangatlah masuk akal apabila negara-negara koloni tersebut tunduk pada kepemimpinan Barat, jika perlu dengan kekerasan. Kemudian, gerakan pembebasan negara-negara koloni membalik argument terhadap majikannya (Barat): pemerintah yang mandiri, sebagaimana mereka katakana, adalah hak legitimasi menurut prinsip-prinsip demokrasi. Argumen tersebut menyebabkan sejumlah Negara colonial kehilangan keyakinan akan haknya untuk memerintah dan memberikan dorongan penting bagi proses dekolonisasi. Mungkin juga, PBB dapat dihentikan secara gradual dari sistim negara dan mulai bekerja untuk tujuan kemanusiaan secara keseluruhan, tidak secara naïf, tetapi lebih untuk memenuhi mandate dari sebuah dunia yang letih dengan perang untuk melindungi planet bumi dari pengaruh balik kehendak national berdaulat yang antagonistic dan secara gradual menetaskan pertumbuhan dan memperkuat struktur dan sentiment masyarakat dunia.
Tiro menyampaikan visi politiknya tentang “Indonesia” dalam 3 sebab yang paling fundamental menyangkut eksistensi “Negara Aceh”:
Pertama, Aceh-Indonesia akan hidup secara berdampingan (Co-exsistance) dengan saling memberi pengakuan dan saling menjaga territorial keamanan masing-masing tanpa adanya aneksasi, intervensi maupun invasi. Saling memberi pengakuan antara Aceh-Indonesia serta diikat oleh kerjasama regional akan menciptaka kawasan ‘bebas’ dan damai’ di kawasan Selat Malaka, serta membagi teritorial pengawasan selat itu secara proporsional menurut geopolitik dan geostrategi. Analisis komparatif yang dilakukan oleh International Crisis Group (ICG) sangat penting untuk dipertimbangkan oleh oleh Pemerintahan pasca Soeharto maupun masyarakat sipil Indonesia. ICG telah mempertimbangkan suatu kesimpulan yang spesifik dan komprehensif mengenai konflik yang sudah berlangsung lama antara Aceh-Indonesia. Mereka berkesimpulan bahwa “hilangnya Aceh belum tentu merupakan hal yang fatal bagi Indonesia”.
Kedua, Antara Aceh-Indonesia akan terus berperang tanpa henti, itu akan berakibatkan dukungan simpati international akan terus mengalir pada Aceh. Itu akan sama halnya dengan upaya De Jure masyarakat international pasca Dekrit Presiden 18 Mei 2003 tentang Martial Law (Keadaan Darurat Militer) terhadap Aceh. Dan akan terjadinya pengurasan ekonomi berbiaya tinggi (Economic Over Heated) dan disamping investasi ekonomi juga mengalami kemerosotan yang luar biasa karena konflik yang berskala nasional, regional dan international. Pengerahan jumlah personil militer Indonesia yang berlebihan di Aceh akan menyebabkan keresahan investasi ekonomi politik mengingat perang adalah sesuatu yang paling dibenci oleh masyarakat yang beradab. Artinya keduabelah pihak akan berperang secara habis-habisan dan bertempur secara mati-matian. Dengan pengerahan seluruh kapabilitas militer yang dimiliki oleh keduabelah pihak. Serta keinginan kuat untuk mengalahkan salah satu pihak untuk mempertahankan kehidupan satu pihak lainnya yang sedang bertikai. Pasca perang Vietnam berakhir nyaris, tidak ada lagi penyelesaian perang dilakukan dengan cara militer. Kesemuannya dilakukan dengan cara dialog dan negosiasi di meja perundingan.
Ketiga, Aceh akan menjadi Negara Merdeka lepas dari Indonesia. Tetapi konsekwensinya NKRI akan hancur bersama dengan lepasnya Aceh dalam bingkai tersebut. Itu akan menyebabkan politik regional memanas dalam waktu yang tidak bisa ditentukan. Konflik itu akan berkembang secara regional dan berdampak international dengan konsekwensi yang tidak dapat diprediksikan. Artinya Jakarta akan mengalami kepanikan politik, instabilitas ekonomi, huru-hara sosial dan pertentangan agama yang semakin tajam. Dibutuhkan kearifan universal bagi pemerintahan Jakarta untuk mempertimbangkan kembali dialog yang pernah dirintis oleh Pemerintahan Wahid. Perang adalah bagian dari politik.
Pilihan-pilihan yang ditawarkan Tiro itu memang begitu sulit dalam pandangan kaum politisi di Parlement sekaligus Jenderal-Jenderal militer di markas besarnya. Kenyataan politik yang terjadi pasca jejak pendapat (Referendum) di Timor Leste dan efek domino politik tidak terjadi secara simultan. Artinya Pemerintahan Jakarta masih survival menghadapi situasi yang rumit dan kompleks itu. Yang tersisa dan terus terjadi secara berkesinambungan adalah krisis ekonomi yang melanda Indonesia pasca 1997 sampai sekarang ini. Apa yang diprediksikan oleh para ahli politik dan militer tentang “efek domino” pasca jejak pendapat di Timor, ternyata tidak terjadi dibagian lain Indonesia. Tetapi persoalan Aceh menjadi suatu prioritas tinggi pemerintah Indonesia dibawah Administrasi Megawati Soekarnoputri atau setelahnya. Eskalasi militer akan terjadi secara simultan melibatkan kepentingan politik nasional yang berdampak secara international. Apa yang diwariskan oleh Pemerintahan Wahid terhadap “Peace Agreement” antara Aceh-Indonesia, merupakan langkah maju dan progressive. Hanya saja langkah-langkah Pemerintahan Wahid tidak didukung oleh kekuatan tentara Indonesia yang berafiliasi dengan kelompok Nasionalis. Wahid hanya menghadirkan suatu ‘peta baru’ (New Map) tentang penyelesaian konflik yang berlarut dan mengakar dalam kehidupan politik antara pemerintah Indonesia dan ASNLF/GAM.
Ternyata Tiro menjadi lawan tangguh bagi pemerintahan Soeharto (1968-1998), Habibie (1998), Wahid (1999-2001), dan Megawati (2001-2004). Ia berdiri kukuh laksana negarawan yang sedang merancang dan membangun cita-cita politiknya di dataran rendah hingga dataran tinggi Aceh yang membentang di sekitar Selat Malaka. Survivalitas gerakannya patut dipuji oleh lawan-lawannya, dan ia disegani oleh rekan-rekannya dari berbagai organisasi pembebasan lainnya. Ia juga laksana pemberontak yang brilyan dengan tujuan dan cita-cita yang jelas dan pasti. Selain itu ia dihormati sebagai pemimpin Islam di Asia juga dihormati karena perjuangannya mendirikan Negara Aceh. Ia telah melampau tradisi pemberontakan (Revolt) DI/TII Aceh yang kehilangan ‘darah’ dan ‘akal’ dalam memperjuangkan cita-cita politiknya. Dengan kecerdasannya ia juga melihat masa depan negeri Indonesia sepenuhnya dalam keredupan dan kesengsaraan tanpa arah yang jelas dan pasti. Ia memiliki keyakinan siapapun yang akan menjadi pemimpin Indonesia, Aceh akan tetap menjadi agenda nasional, regional dan international.
Ia terus memperkuat solidaritas international yang sekarang ini sangat dibutuhkan oleh orang-orang Aceh. Apa yang terjadi pasca Dekrit President tentang Darurat Militer sejak 18 Mei 2003, di Aceh memperlihatkan situasi yang sangat represif dan anarkhis. Dalam arti serdadu militer Indonesia di Aceh telah melakukan pelanggaran-pelanggaran serius terhadap wilayah sipil yang tak bersenjata. Dan kebanyakan menjadi korban karena kebrutalan tentara pendudukan di Aceh. Lewat berbagai manuver Tiro mencoba menciptakan eskalasi politik tingkat tinggi pasca “Perang Terorrisme” Amerika di berbagai wilayah dunia. Ia mengkalkulasi situasi berdasarkan fakta dan realitas Amerika terhadap masalah terorrisme. Bahwa Amerika akan melakukan tindakan Preemtive (pencegahan) sebelum berkembang biak. Tapi Aceh bukanlah ‘wilayah terorris’ atau Terrorists Home sebagaimana yang dituduhkan pemerintahan Jakarta. Aceh memiliki spesifikasi kasus yang tidak dapat disetarakan dengan kasus terorrisme. Aceh dalam kampanye International Tiro selalu diletakkan dalam gerakan pembebasan national (National Liberation Movement).
Dalam analisisnya ada banyak momentum international yang memberi pukulan telak meskipun tidak mematikan survivalitas ASNLF/GAM di permukaan national, regional maupun international. Tetapi sekaligus menunjukkan kekuatan dan kemenangan yang secara terus-menerus diraih dalam hubungan international. Kontradiksi hubungan international dapat diamati dalam pertumbuhan Aceh sejak tahun-tahun yang ‘menggelisahkan’ itu.
Pertama, Pemerintahan Jakarta lewat Administrasi regime General Soeharto menerapkan status Daerah Operasi Militer di tahun 1990an awal di Aceh di saat Invasi Iraq ke Kuwait. Menurut majalah The Economist: ”Kembali pusat perhatian international terarah pada situasi Kuwait. Amerika telah menjadi penyelamat bagi Kuwait dengan membentuk pasukan Multinational untuk mengusir Iraq dari Kuwait”. Di tahun tersebut isu Aceh masih berada dalam kotak pendora international. Artinya Aceh masih berada dalam ‘blokade national’. Bahwa Pemerintahan Jakarta masih menutupi situasi rawan yang berkembang di Aceh. Apa yang terjadi di Aceh pada waktu itu adalah bagian dari “perang terselubung” (Looming War) menghadapi Gerakan Pengacau Keamanan (GPK).
Kedua, isu Aceh mengalami pasang surut ketika pasca pendudukan Iraq di Kuwait selesai. Eropa mengalami “Shock” hebat ketika isu Genocide menerpa Bosnia dan Kosovo di tahun 1995. Posisi Aceh masih dalam ‘ketertutupan’ regional, sehingga kasus Daerah Operasi Militer (DOM) tidak diketahui oleh publik international. Dan ketika itu ‘politik perahu’ masih menjadi suatu perbincangan international dan menjadi tanda tanya regional bahwa di wilayah Aceh telah berkembang isu pelanggaran serius HAM oleh tentara Indonesia.
Ketiga, di tahun 1998 di saat krisis ekonomi yang melanda Indonesia, kembali Aceh berada dalam ‘putaran pinggiran’ isu international di mana solidaritas dunia memberikan tekanan kuat kepada pemerintah Indonesia untuk segera melaksanakan “New York Agreement” berupa Referendum bagi rakyat Timor Leste. Tetapi posisi Aceh telah jauh berkembang dibandingkan dengan tahun 1990 ketika Daerah Operasi Militer (DOM) diterapkan di wilayah tersebut. Kembali isu Aceh telah ‘memecahkan’ keheningan regional dan menarik perhatian publik international bahwa di daerah itu telah terjadi pergolakan dan pelanggran serius terhadap kemanusiaan.
Keempat, Memasuki tahun 2000 antara ASNLF/GAM dan Pemerintah Indonesia telah sepakat untuk melakukan proses perdamaian di Davos Switzerland. Untuk sementara publik International mengarah pada konflik di Aceh. Tapi segera invasi Amerika di Iraq serta keterlibatan pasukan Multinational menjatuhkan Regime Thaliban. Isu Aceh berada di wilayah pinggiran international yang tidak sebanding dengan apa yang terjadi di Iraq dan Afghanistan. Tetapi itu telah menunnjukkan kemajuan dan populeritas Aceh di forum bangsa-bangsa. Perang terhadap terrorisme secara lebih signifikan akan memberi ruang gerakan pemisahan diri (Succesionism) kembali ‘terpinggirkan’ dalam waktu sesaat. Itu merupakan suatu kecenderungan international yang sedang berubah. Pada tahap itu tarikan isu perang terrorisme (War on Terrorism) akan senantiasa berdampingan dengan isu pemisahan diri. Itu akan menjadi tantangan serius bagi perkembangan politik nasional, regional dan international.
Tiro akan memproyeksikan Imajined State sebagaimana yang dibayangkan oleh orang-orang Aceh. Sebagaimana yang dikatakan oleh Fustel de Coulanges, suatu perbandingan kepercayaan dan hukum menunjukkan suatu agama primitive mengenai keluarga Yunani dan Romawi, yang membangun perkawinan menurut garis ayah, membakukan tatanan hubungan, dan mentahbiskan hak pemilikan, serta hak pewarisan. Agama yang sama, setelah membesarkan dan mengembangkan keluarga, membentuk asosiasi yang lebih besar, kota, dan memerintahnya seperti halnya ia memerintah keluarga. Daripadanya datang semua pranata, juga hukum pribadi, yang kuno. Dari sinilah kota mendapatkan seluruh prinsipnya, aturannya, penggunaannya dan pengadilannya.
Adalah absurd untuk menyatakan saat seperti ini benar-benar sudah dekat. Namun saya berharap bahwa saat seperti ini setidak-tidaknya sudah dapat dibayangkan. Bagaimanapun, kenyataannya bahwa para sejarawan setidak-tidaknya telah mulai membuat sejumlah kemajuan dalam studi dan analisis mengenai bangsa dan nationalisme, bahwa menunjukkan fenomena yang sedang menurun. Burung hantu Minerva yang membawa kebijaksanaan, kata Hegel, terbang keluar di senja hari. Ini merupakan pertanda baik karena ia sekarang mengitari bangsa dan nationalisme. Menurut sejarawan Inggris E.J. Hobsbawn , dalam prakteknya hanya ada 3 kriteria yang memungkinkan suatu rakyat secara tegas diklasifikasikan sebagai bangsa, asalkan ia senantiasa cukup besar jumlahnya untuk melalui ambang. Yang pertama, adalah asosiasi historiknya dengan negara yang ada atau negara yang belum lama lenyapnya serta memiliki masa lalu yang panjang. Karena mengingat bangsa identik dengan negara, adalah wajar bagi orang-orang asing untuk berasumsi bahwa rakyat yang berada dalam suatu negeri adalah rakyat negera tersebut. Yang kedua, adalah keberadaan suatu elit kebudayaan yang telah lama mapan, yang memiliki karya kesusastraan national tertulis dan bahasa administrative. Dan yang ketiga, sayangnya harus dikatakan! Adalah kemampuan untuk menaklukan. Hanya dengan menjadi anggota bangsa penakluk maka populasi bisa dibuat sadar mereka memiliki eksistensi kolektif.
Di sini Ia melihat Aceh bagaikan tradisi masyarakat lampau yang jauh dari modernisme. Sekaligus berada di dalam arusnya, khususnya tentang sejarah berdirinya “Negara Aceh” yang tidak dapat dilepaskan dari tradisi itu. Tradisionalisme merupakan usaha yang dilakukannya untuk mengembalikan posisi pemikiran orang-orang Aceh, yang sesungguhnya adalah bagian dari dirinya. Seluruh pemikiran-pemikiran politiknya tentang Aceh dan Imagined State berada di ambang batas antara tahun 1873 dan sebelumnya. Karena di sanalah terdapat kepastian dan kebenaran sejarah orang-orang Aceh. Status Quo Ante Bellum.
Tiro akan membuktikan seluruh keyakinan-keyakinan politiknya sejak ia memulai gerakan pembebasannya. Akan menemui hasil-hasinnya dalam jangka waktu yang ia prediksikan “tidak terlalu lama” (It Very Soon). Karena ia terus hidup dengan cita-citanya yang sangat tinggi menjulang di angkasa langit Aceh yang berwarna merah, kelam dan penuh duka. Ia akan kembali ke Aceh setelah kepergiannya di bulan Maret 1979. Tapi kali ini ia akan terus tinggal lama di atas tanah moyangnya Tgk. Tjhik di Tiro.


“Ie udjeuen njang ka rhot
Ka bitjah keunong aneuk bate
Teutapi aleh pakriban nasib awan
Njang mantong teungoh angen bade ba”.






































BAB VIII: KESIMPULAN



Perang Belanda di Aceh yang dimulai sejak 26 Maret 1873 sampai dengan di penghujung tahun 1942, ketika ia benar-benar tidak memperlihatkan dirinya sejak itu. Merupakan suatu hikayat kecerdikan dan keberanian orang-orang Aceh di panggung sejarah peradaban manusia. Orang-orang Aceh ini telah memberi suatu kesimpulan penting tentang sejarah resistensinya di mata bangsa-bangsa. Bahwa dirinya pantas untuk disejajarkan dengan bangsa-bangsa yang berkebudayaan dan berperadaban tinggi. Dan itu dapatlah diamati dari cara dan strategi resistensinya selama hampir tujuh decade perang Aceh-Belanda (1873-1942), dan tergolong salah satu perang colonial yang terlama di Asia.
Secara institusi sejarah Monarchy Aceh memiliki dua kutub paradigma seperti “zat dan sifat” (lagee zeet ngon sifeet) yaitu, “ketatanegaraan” (Adat) dan agama (Islam). Yang pertama diwakili oleh Uleebalang yang merupakan penguasa tradisional Aceh yang relative independent dari Kutaradja. Ia merupakan raja-raja federal yang menyusun sisitim pemerintahan secara federatif. Sebaliknya yang terakhir diwakili oleh Ulama. Di mana ia merupakan symbol moral atau ‘ruh pemerintahan’ Aceh di waktu lampau. Dua kutub paradigma itu bergerak secara harmonis dan dinamik sejak Sultan Iskandar muda (1607-1636) membubuhkan Sarakata sekaligus mendistribusikan kekuasaannya kepada lembaga-lembaga yang berpengaruh. Dua institusi itu Uleebalang-Ulama yang secara terus-menerus membentuk kebudayaan dan peradaban Aceh. Hingga ia memiliki kehormatan dan kemuliaan, tidak hanya dalam pandangan orang-orang Aceh melainkan juga dalam pandangan bangsa-bangsa sampai di penghujung abad colonial.
Dalam era perang colonial Belanda di Aceh, dua kutub paradigma sekaligus dua kutub kelembagaan Uleebalang-Ulama itu membentuk ‘institusi perlawanan’ (Resistance Institution). Perang yang buas dan tak kenal ampun memberi definisi yang tegas dan keras tentang hakekat perang colonial di Aceh. Institusi perlawanan tersebut berkembang sedemikian rupa membentuk ikatan yang teramat kokoh antara Uleebalang-Ulama dalam satu totalitas perang yang mengagumkan. Ikatan yang teramat kokoh itu kita sebut dengan ‘struktur perlawanan besi’ Aceh.
Maka kita dapat menafsirkan “Perang Aceh” (jika permissive untuk disebutkan) dalam dua dimensi atau dua kutub paradigmatic, sesuai dengan cara pandang masing-masing institusi itu. Yang pertama adalah ‘paradigma Uleebalang’ yang memiliki cara pandang (World View) terhadap perang colonial itu sebagai ‘perang national’ (National War) yang melibatkan perang antar negara Aceh-Belanda. Perang itu sama halnya dengan perang national antar bangsa seperti Inggris-Prancis (1815), Russia-Jepang (1905), Jerman-Polandia (1939) dst. Sementara yang kedua, ‘dimensi Ulama’ dalam memandang perang Aceh sebagai ‘perang sabil’ atau perang suci (Holy War). Perpaduan konsepsi perang national atau perang sabil, menghasilkan perpaduan unik, massive dan manifest di tingkat aksi dan perlawanan yang begitu kokoh, dinamik dan massive.
Sebagai perpaduan itu lahirlah ‘konsepsi perang’ dalam pandangan orang-orang Aceh. Perang itu dapatlah digolongkan ke dalam beberapa bagian yang saling berhubungan secara immanent, inherensi dan transindental. Bahwa perang tidak saja berhubungan dengan konteks manusia dan keyakinan-keyakinan politik yang diperjuangkannya ‘mati demi negara’. Melainkan juga memiliki pertautan dengan ‘ritual agama’ bahwa mempertahankan hak kemerdekaan, warisan kedaulatan, dan kebenaran merupakan symbol keberadaan Tuhan di muka bumi. “Antara mati demi negara” dan “mati syahid demi agama” merupakan pola yang dibentuk dari ‘hubungan suci’ antara Uleebalang-Ulama yang melahirkan ‘struktur perlawanan besi’ Aceh.
Gelombang pertama konsepsi perang Aceh (1873-1880) menghasilkan ‘perang frontal’ yang melibatkan perlawanan terbuka antara tentara Aceh-Belanda. Pola itu memperlihatkan manifestasi bangsa dengan bangsa yang saling menyerang dan mempertahankan. Sedangkan gelombang kedua memasuki tahun (1880-1905), perang frontal itu memiliki keterbatasan terutama pola yang static dan tidak dinamik serta berjangka pendek. Karena situasi dan kondisi berubah menghendaki perang yang dinamik dan berjangka panjang maka ‘perang gerilya’ menjadi alternative perlawanan di Aceh. Di mana para pemimpin perang baik dari kalangan Uleebalang-Ulama telah berpindah meninggalkan kota menuju perkampungan dan hutan belantara. Sedangkan gelombang yang ketiga memasuki tahun (1910-1930) menghasilkan ‘perang individu’ yang oleh para ahli Belanda disebut “Acheh moorden”. Bagi orang-orang Aceh ‘perang individu’ secara definif berarti bahwa perang telah menjadi darah, daging dan senantiasa menjadi ritme pikirannya. Ia berperang karena darahnya, dagingnya, dan ritme pemikirannya.
Memasuki tahun 1933, konsolidasi politik antar Uleebalang-Ulama terus dilakukan menghadapi situasi dunia yang semakin panas dan suram menuju Perang Dunia II. Masuknya Jepang disertai keluarnya Belanda dari Aceh, menghasilkan episode yang teramat krusial. Banyak Uleebalang-Ulama dari generasi terdahulu syahid dalam perang kolonial. Yang tersisa adalah ‘generasi yang tidak memiliki hubungan sejarah atau tidak memiliki ikatan moral dan politik dengan Perang Aceh (1873)’. Merekalah yang dikemudian hari menamakan dirinya dengan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Organisasi ini yang dikemudian hari memberi ‘jalan masuk’ (Entry Way) bagi organisasi-organisasi Nationalis, Islam, dan Komunis Jawa ke Aceh. Yang pada akhirnya merubah seluruh paradigma Aceh terhadap duniannya; terutama independensinya terhadap masa depan kedaulatannya sebagai bangsa.
Orang-orang berkupiah PUSA di tahun 1946 telah melakukan perampasan, penyerangan dan pembunuhan terhadap para Uleebalang. Apa yang gagal dilakukan oleh Belanda selama perang colonial di Aceh hampir tujuh dekade lamanya untuk menghancurkan struktur Uleebalang. Dalam waktu yang singkat dapat dilumatkan dan dikubur hidup-hidup oleh PUSA. Sebagian para tokoh politik dan intelektual menyebut peristiwa itu dengan “revolusi social”. Bahkan ada yang menyebutnya dengan “perang saudara”. Ketokohan Daud Beureueeh muncul dari darah yang menggenang dan tulang-belulang yang berserakan di sepanjang pantai Utara Aceh.
Adalah satu kenyataan politik bahwa secara institusi Uleebalang tidak menyukai kehadiran ide “Republik Indonesia” yang ditanamkan di Aceh oleh orang-orang berkupiah PUSA. Barangkali inilah merupakan factor yang paling penting, massive dan fundamental permusuhan antara Uleebalang dan PUSA. Sebaliknya PUSA bukanlah organisasi yang mewakili Ulama Aceh. Tapi ia merupakan perpanjangan tangan (Quisling) orang-orang pro Republiken, dalam rangka penyatuan wilayah administrative Hindia-Belanda dari Sabang hingga Papua. Saya menempatkan PUSA sebagai kaum ‘Nationalis Jawa’ karena ide Republiken yang ditanamkan di Aceh.
Tidak jelas apa yang diinginkan PUSA terhadap wilayah yang sangat luas itu dan bagaimana konsepsi tentang masa depan Hindia Belanda. “Indonesia” terbentuk bersama dengan Aceh yang menjadi bagian utamanya. Orang-orang berkupiah itu menyebut ‘Aceh adalah daerah modal’. Di mana banyak para pengkaji sejarah Aceh dalam bingkai keindonesiaan yang secara keliru menempatkan istilah tersebut term Soekarno. Adalah Daud Beureueeh yang menciptakan istilah tersebut dan diadopsi oleh Soekarno dan tokoh-tokoh Republiken lainnya.
“Aceh adalah daerah modal” bagi kaum Republiken untuk mendirikan Negara Indonesia pasca Konferensi Meja Bunder pada Desember 1949. Menjelang tahun berikutnya 1953 Aceh mengalami suasana ‘demam pemberontakan’. Konsolidasi politik local menggiring pemberontakan terhadap Republik yang mereka cintai. ‘Pemberontakan DI/TII Aceh yang penuh keraguan’ dan ‘praksis tanpa ide’ menghiasi lembaran baru hubungan Banda Aceh (sejak era itu, nama Kutaradja telah digantikan dengan nama “Banda Aceh”) dan Jakarta. Gerakan pemberontakan Darul Islam ini pun tidak massive dan tidak fundamental, terbukti kemudian ia menyerah bagaikan tentara yang kehilangan nafsu perang. Orang-orang berkupiah PUSA (DI/TII Aceh) melakukan tindakan yang tidak popular di mata orang-orang Aceh pada umumnya, yaitu ‘berontak dan berdamai kembali’.
Memasuki tahun 1976 episode Aceh memasuki tahap baru yang semakin krusial. Tiro telah memainkan peran utama mengambil kendali arus perlawanan di Aceh. Ia mendeklarasikan kembali Aceh sebagai “bangsa yang bebas dari penguasaan asing” pada tanggal 4 Desember 1976. Isu-isu yang berkembang sejak itu bersifat massiv dan krusial seperti, kemandirian ekonomi, segregasi social, entitas politik, identitas budaya dan akar sejarah orang-orang Aceh. Isu-isu itu lebih kompleks dibandingkan dengan isu-isu yang dilontarkan oleh Darul Islam yang bersifat local, tuntutan pemerintahan Islam dan personalistik sifatnya.
Bersamaan dengan deklarasi itu ia membangun organisasi perjuangan yang diberi nama Aceh Merdeka (AM) atau Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF). Organ itulah yang pada akhirnya menjadi mesin politik yang ada di daerah-daerah yang justru paling resisten memerangi kedudukan Belanda di Kutaradja di era perang kolonial. Daerah-daerah itu meliputi, Pidie (Pedir), Samudra Pasai (Aceh Utara), Peureulak (Aceh Timur). Kawasan ini merupakan ‘kawasan pusat’. Selebihnya Aceh tengah, Aceh Barat, Aceh Selatan, dan Aceh Tenggera, merupakan ‘kawasan satelit’ atau pendukung kekuatan gerakan Aceh Merdeka. Periode yang sama dalam era colonial wilayah-wilayah Pidie, Pasai, dan Peureulak (‘Tiga P’) menjadi wilayah-wilayah ‘pusat perlawanan’ paling keras dan menentukan panjang dan lamanya interval perang. Faktanya sampai sekarang perlawanan Aceh Merdeka di wilayah ‘Tiga P’ mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Tiro telah membangun angkatan perang (gerilyawan) nya berdasarkan konteks sejarah dan pola perlawanan yang sama dengan masa lalu. ‘Struktur perlawanan besi’ Aceh di mana Uleebalang-Ulama menjadi komponen paling vital begitu kentara terlihat dalam struktur angkatan perangnya. Struktur itu kembali digunakan oleh Tiro untuk melakukan perlawanannya menghadapi kekuatan militer Jakarta. Dalam struktur perlawanan besi Aceh, terakumulasi antara sifat ‘cerdik’ (Uleebalang) dan ‘berani’ (Ulama) sehingga menciptakan perang yang lama dan berdaya tahan tinggi.
Selama tiga decade (1976-2004), Tiro telah membangun infrastruktur perlawanan tanpa henti. Ia pula yang telah mengirimkan tenaga-tenaga instruktur militer yang trampil made in Libya untuk selanjutnya melatih para gerilyawan-gerilyawan local untuk memulai perang pembebasan national. Perang gerilya di Aceh telah menciptakan kepanikan politik di Jakarta. Di kala pemerintahan Indonesia sedang mengalami multi krisis dan multi konflik di daerah-daerah lain. Itu menunjukkan bahwa Gerakan pembebasan Aceh atau Aceh Merdeka, tidaklah dapat disejajarkan dengan apa organisasi-organisasi pemberontakan lainnya seperti DI/TII Aceh atau PRRI dll. Gerakan pembebasan itu memiliki jangkauan panjang, persiapan yang matang, dukungan rakyat yang memadai, serta hubungan international yang berkembang dari waktu ke waktu.
Selama tiga decade pula Tiro telah mengalami berbagai macam warna atau sistim pemerintahan di antaranya, di bawah regime militer General Soeharto (1969-1998), ‘regime teknokratik’ Habibie (1999), regime sipil Wahid (2001), regime sipil yang ‘tidak berbentuk’ Megawati Soekarnoputri (2001-2004), serta ‘regime sipil ‘berwajah militer’ Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009). Berkali-kali regime-regime ini telah melakukan berbagai usaha yang kesemuannya cara dan bentuk penyelesaian melalui operasi militer. Terkecuali pemerintahan Wahid yang mencoba menyelesaikan persoalan Aceh melalui dialog politik. Yang menghasilkan Peace Agreement di bulan December 2002. Faktor itu pula yang membuat pemerintahan Wahid jatuh dan digantikan oleh wakilnya Soekarnoputri. Wahid hanya membongkar ‘tradisi militer’ terhadap daerah-daerah konflik. Ia hanya menghadirkan ‘peta baru’ (New Map) setelah sekian lama terbelenggu dengan ‘solusi militer’.
Selama tiga decade itu pula Tiro telah berhasil mengantarkan populeritas gerakan Aceh Merdeka di panggung politik international. Ia pula telah melakukan usaha-usaha tanpa henti membentuk ‘bilateral links’ terhadap negara-negara yang memiliki kepentingan dengan konflik antara Aceh-Indonesia. Ataupun negera-negara non-interest tetapi memiliki komitmen kuat terhadap isu HAM seperti Norwegia. Sebaliknya negara-negara Eropa dan Amerika telah memainkan peran penting mereka terhadap isu perdamaian, Demokrasi dan HAM di Aceh. Ini pula yang membuat pemerintahan Jakarta harus mengkaji ulang strategi politik Indonesia dalam hubunga antara bangsa-bangsa.
Isu Aceh dari waktu ke waktu akan menggelinding membentuk bola salju (Snow Ball) yang kian hari kian membesar di dalam kutub HAM, Demokrasi, dan perang terhadap terrorisme (War on Terrorism). Khusus isu yang terakhir ini, Tiro harus secara cerdik memainkan isu itu untuk selanjutnya dimanfaatkan bagi menarik simpati kaum neo-konservatif (Neo-Con) yang sedang berkuasa di pusat-pusat pemerintahan dunia. Khususnya di pemerintahan Hawkish Bush yang kini menguasai gedung putih. Menguatnya tarikan kepentingan antara “dunia lama” (Old World) Eropa dan “dunia baru” Amerika. Di sini Tiro harus memainkan jurus-jurus mautnya “memancing harimau untuk turun hutan dan menangkap buaya di daratan”.
Sejak awal perang antara Aceh-Belanda (1873-1942) tidak dapat diprediksi kapan berakhirnya. Begitu pula dengan kenyataan konflik selama tiga decade (1976-2004) antara Aceh Merdeka-Pemerintah Indonesia, nyaris di luar perkiraan semua orang. Konflik itu diperkirakan akan semakin lama dan panjang, dengan konsekwensi pengorbanan manusia yang tidak sedikit. Yang justru menempatkan moral pertempuran semakin eskalatif dari waktu ke waktu. Pengorbanan justru menciptakan ketegangan yang semakin meningkat hingga mencapai klimaks. Proses anti klimaks justru terjadi di saat-saat kedua belah pihak meredakan ketegangan.
Keyakinan terhadap ‘ide pemberontakan’ tidak akan mati bersamaan dengan berakhirnya usia manusia atau seseorang mati karena disiksa atau ditembak. Justru dalam kematiannya ia menggenggam keyakinan dalam kepalanya. Karena kematian manusia itu memang aneh! Ia mati tapi meninggalkan ketakutan terhadap regime yang berkuasa, bahwa gagasannya tidak ikut serta terkubur. Melainkan menjadi ‘rasa berdosa’ bagi orang lainnya untuk tidak mengikutinya. Di atas segalanya Tiro telah meninggalkan ‘keyakinan’ yang ‘terdalam’ serta membutuhkan ‘jawaban yang terdalam’ pula. Berdosa untuk tidak mengikutinya. Apabila kita gagal untuk memberi “pertanyaan” dan “jawaban” yang terdalam pula, sebagaimana yang ia pikirkan.
Maka bagi orang-orang Aceh, sejarah merupakan misteri Tuhan dan kebodohan manusia dalam melihat masa depannya.
































KEPUSTAKAAN

1). Abdurrahman, Moeslim.,”Islam Transformatif”, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1995).
2).Abdullah, Taufik.,”Islam dan Kemasyarakatan: Pantulan terhadap Sejarah Indonesia”, (Jakarta: LP3ES, 1987).
3). Adas, Michael.,”Ratu Adil: Tokoh dan gerakan Millenarian Menetang Kolonialisme Eropa”, (terj.) M. Tohir Effendi, (Jakarta: Rajawali Pers, 1988).
4). Amien, S.M., “Kenang-Kenangan Dari Masa Lampau”, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978).
5). Apter, David E., “Politik Modernisasi”, (terj.) Hermawan Sulistyo dan Wardah Hafidz, (Jakarta: Gramedia, 1987).
6). \Benda, Julian., “Pengkhianatan Kaum Cendekiawan”, (terj.) Winarsih P. Arifin, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997).
7). Blainey, Geoffrey.,”The Cause of The War”, (New York: Free Press, 1973).
8). Bulow, Von Benhard.,”Memoirs of Prince Von Bulow”, (Boston: Litte, Brown, 1932), Vol. 3.
9). Berger, Peter.,”The Secred Canopy: Element of Sociological Theory of Religion,” (New York Garden City: New York, Doubleday & Co, 1967).
10). Bouthin, Kenneth D.J. and T.H. Andrew (ed),”Non-Traditional Security Issues in Southeast Asia,” (Singapore: Select Pub, Institute of Defence and Strategic Studies, 1995).
11). Camus, Albert., “The Myth of Sisyphus”, (New York: Random House, Vintage Books, 1955).
12). Campbell, Arthur.,”Guerillas”, (New York, 1968).
13). Compton, Boyd R., “Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-Surat Rahasia,” (terj.) Hamid Basyaib, (Jakarta: LP3ES, 1992).
14). Coulanges, N.D. Fustel de., “The Ancient City”, (New York: Doubleday Anchor Books, tanpa tahun).
15). De Jomini, Baron Henri, “The Art of War”, (terj) G.H. Mendell dan W.P. Craighill, (Westport, Conn: Greenwood Press, 1971).
16). Debray, Regis.,”Revolution in Revolution? Armed Struggle and political Struggle in Latin America”, Montly Review, 19 July-August, 1967.
17). Dijk, C. Van., “Darul Islam: Sebuah Pemberontakan”, (terj.), (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995).
18). Di Tiro, Hasan Muhammad.,”Risalah Perang Atjeh 1873-1927”, (Yogyakarta: Pustaka Tiro Yogyakarta, 1948).
19). Di Tiro, Hasan Muhammad,.”The Price of freedom: Unfinished Diary”, (Published by ASNLF, 1984).
20). Di Tiro, Hasan Muhammad,”Demokrasi Untuk Indonesia”, (Seulawah Aceh, 1958).
21). Di Tiro, Hasan Muhammad, “Acheh in The World History”, (Published by ASNLF, 1978).
22). Di Tiro, Hasan Muhammad, “One Hundred Year Anniversery of The Battle of Bandar Acheh”, (Publised by ASNLF, 1979).
23). Di Tiro, Hasan Muhammad,”The Sruggle for Free Acheh”, (Published by ASNLF, 1976).
24). Di Tiro, Hasan Muhammad, “Indonesian Nationalism: A Western Invention to Subvert Islam and to Prevent Decolonization of the Dutch East Indies”, (London, July 31, 1985).
25). Djopari, John R.G.,”Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka”, (Jakarta: Grasindo, 1993).
26). Falk, Richard.,”Human Rights and State Sovereignty”, (New York: Holmes and Meier, 1981).
27). Forrester, Geoff (ed)., “Indonesia Pasca Soeharto”, (terj.)Abusamah Hamid dan Ilmi Silvia, (Yogyakarta: Tajidu Press, 2000).
28). Fenon, Frantz., “Bumi Berantakan”, (terj.)Ahmad Asnawi, (Jakarta: Teplok Press, 2000).
29). Gardner, Paul F., “50 Tahun Hubungan Amerika Serikat-Indonesia: Bersama Dalam Harapan Sendiri Dalam Kecemasan”, (terj.) Pericles Katoppo, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999).
30). Ghani, Yusra Abdul., “Mengapa Sumatera Menggugat”, (Biro Penerangan ASNLF, 2000).
31). Giddens, Anthony, “Beyond Left and Right: The Future Radical Politic”, (Cambrigde: Polity Press Cambrigde, 1994).
32). Giap, General Vo Nguyen,”People’s War, People Army: The Vietcong Insurecction Manual for Underdeveloved Countries”, (New York: Praeger, 1962).
33). Guevara, Che.,”Guerilla Warfare”, (ed), Harries-Clichy Peterson, (New York: Praeger, 1961).
34). Heidegger, Martin., “Being and Time”, (New York: Harper and Row, 1962).
35). Holsti, K.J., “Politik International: Kerang Untuk Analisis”, (terj) M. Thahir Azhary, (Jakarta: Erlangga, 1988).
36). Huntington, Samuel. P.,”Gelombang Demokrasi Ketiga”, (terj.) Asril Marjohan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995).
37). Horowitz, Louis Irving., “Revolusi, Militarisasi dan Konsolidasi Pembangunan”, (terj) Sahat Simamora, (Jakarta: Bina Aksara, 1985).
38). Iqbal, Muhammad., “The Reconstruction of Religion Thought in Islam”, (Pakistan: Munib Iqbal andWahid Iqbal, 1975).
39). Ibrahimy, M. Nur El.,”Peranan Tgk. M. Daud Beureueeh dalam pergolakan Aceh”, (Jakarta: Media Dakwah, 2001).
40). Ibrahimy, M. Nur El., “Mata Rantai Yang Hilang: Dari Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Aceh”, (Jakarta: Grasindo, 1996).
41). Ibrahimy, M. Nur El., “Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh”, (Jakarta: Grasindo, 1993).
42). Isa, Teuku Muhammad.,”Mr. Teuku Muhammad Hasan: Dari Aceh ke Pemersatu Bangsa”, (Jakarta:Papas Sinar Sinanti, 1999).
43). Isa, Teuku Muhammad.,”Teuku Muhammad Ali Panglima Polem: Sumbangan Aceh bagi Republik”, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1996).
44). Isaacs, Harold. R.,”Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis: Identitas Kelompok dan Perubahan Politik”, (terj.) Canisyus Maran, (Jakarta: YOI, 1993).
45). Kahin, Audrey R., “Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan”, (terj.) Pustaka Utama Grafiti, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990).
46). Kautsky, John H.,”Political Change in Underdeveloped Areas”, (New York: John & Sons, 1962).
47). Kell, Tim.,”The Roots of Acehnese Rebellion 1989-1992”, (Ithaca: Cornell Moderent Indonesia Project, 1995).
48). Kellner, Hansfried (et.al),”The Home Less Mind: Modernization and Consciousness”, (New York: Rondom House, 1973).
49). Lawrence, Bruce B.,“Shattering The Myth: Islam Beyond Violence”, (Princeton University Press: Princeton, 2000).
50). Lebra, Joy C.,”Tentara Gemblengan Jepang”, (terj.) Pamudji, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988).
51). Leifer, Michael.,”Politik Luar negeri Indonesia”, (terj.) Ramlan Surbakti, (Jakarta: Gramedia, 1989).
52). Legge, J. Bourcher (ed.), “Democracy in Indonesia: 1950’s and 1990’s”, (Australia: Center for Southeast Asia Studies, Monash University, 1994).
53). LIPI (et.al), “Bara Dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi Atas Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua dan Riau”, (Bandung: Pustaka Mizan, 2001).
54). Lombard, Danys., “Kerajaan Aceh: Jaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)”, (terj.) Winarsih Arifin, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991).
55). Mainnheim, Karl.,”Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik”, (terj.) F. Budi Hardiman, (Yogyakarta: Kanisius, 1991).
56). Mei, Ko-Wang, and Singh, Baljit.,”Theory and Practice of Moderen Guerilla Warfare”, (Bombay: Asia Publishing House, 1971).
57). Morgentau, Hans J., “Politik Antar Bangsa”, (terj.) Cecep Sudrajat, (Jakarta: YOI, 1991).
58). Mouna, Bour.,”Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dalam Menghadapi Perkembangan di Pasifik Barat Daya”, (Badan Penelitian dan Pengembangan Departement Luar Negeri R.I, 1978).
59). Notosusanto, Nugroho (ed),”Pejuang dan Prajurit”, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984).
60). Nordlinger, Eric A.,”Militer Dalam Politik”, (terj.) Sahat Simamora, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991).
61). Nickel, James. W., “Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofi Atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia”, (terj.)Titis Eddy Arini, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996).
62). O’ Neil, J., “General Giap: Politician and Strategist”, (New York: Praeger, 1969).
63). Oltmans, Willem.,”Indonesia Diobok-Obok”, (terj.) Wahjoeti Marjono, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001).
64). Palmer, Richard E.,”Hermeneutic, Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey, 65). Heidegger, and Gadener”, (Evenston: Northwestern University Press, 1969).
66). Hobsbawn, E.J., “Nasionalisme Menjelang Abad ke XXI”, (terj.), (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992).
67). Perlmutter, Amos., “Militer dan Politik”, (terj.) Sahat Simamora, (Jakarta: Rajawali Pers, 1984).
68). Plattner, March F and Diamond, Larry (ed), “Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi”, (terj.) Tri Bowo Budi Santoso, (Jakarta: Rajawali Pers, 2000).
69). Reiss, Hans (ed).,”Kant’s Political Writings”, (Cambrigde: Cambrigde University Press, 1970).
70). Reid, Anthony., The Blood of the People: Revolustion and the End of Traditional Rule in the Northern in Sumatera”, (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1979).
71). Reid, Anthony.,”Revolusi National Indonesia”, (terj.) Pericles G. Katoppo, (Jakarta: Pustakan Sinar Harapan, 1996).
72). Ricklefs, M.C.,”Sejarah Indonesia Moderen”, (terj.) Dharmono Hardjowidjono, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991).
73). Roy, S.L., “Diplomasi”, (terj.) Herwanto dan Mirnawati, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991).
74). Russet, Bruce (et.al).,”Choices in The World politics: Sovereignty and Interdependence”, (New York: Freeman and Company, 1989).
75). Said, Edward W.,”Orientalism: Western Conceptions of the Orient”, (London, Penguin, 1991).
76). Said, Mohammad.,”Aceh Sepanjang Abad”, (jilid 1), (Medan: 1961).
77). Sarte, Jean Paul.,”Introduction”, in “Wretched of the Earth”, (New York: Grove Press, 1963).
78). Siegel, James T.,”The Rope of God”, (Berkeley and Los Angeles: University of California, 1969).
79). Simatupang, T.B.,”Pelopor Dalam Perang Pelopor Dalam Damai”, (Jakarta: Sinar Harapan, 1981).
80). Sjamsuddin, Nazaruddin.,”The Republican Revolt: The Study of Acehnese Rebellion”, (Singapore: ISEAS, 1985).
81). Sjamsuddin, Nazaruddin, “Integrasi Politik di Indonesia”, (Jakarta: Gramedia, 1989).
82). Sjamsuddin, Nazaruddin. Dan Alfia,” Profil Budaya Politik Indonesia”, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991).
83). Stepan, Alfred.,”Militer dan Demokratisasi”, (terj.) Bambang Cipto, (Jakarta Pustaka Utama Grafiti, 1996).
84). Sorenson, Georg.,”Demokrasi dan Demokratisasi: Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah”, (terj.) I Made Krisna, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
85). Storr, Anthony.,”Human Agression”, (New York: Antheneum, 1968).
86). Suryohadiprojo, Saidiman.,”Suatu Pengantar Dalam Ilmu Perang: Masalah Pertahanan Negara”, (Jakarta: Intermassa, 1981).
87). Sulaiman, Muhammad Isa.,”Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan, dan Gerakan”, (Jakarta: Al-Kautsar, 2000).
88). T’Veer, Paul Van.,”Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje”, (terj.) Grafitipers, (Jakarta: Grafitipers, 1985).
89). Thompson, Kenneth W.,”Politik Antar Bangsa”, (terj.) S. Maimoen, (Jakarta: YOI, 1990).
90). Tibi, Basam.,”Political Islam and The New World Disorder”, (The Regent: California University, 1998).
91). Tung, Mao Tze.,”Selected Works”, (Peking: Foreign Language Press, 1967).
92). Tung, Mao Tze.,”Selected Military Writings”, (Peking: Foreign Language Press, 1963).
93). Tzu, Sun.,”The Art of War”, (terj.) Samuel B. Griffith, (Oxford: Clarendon Press, 1963).
94). Vlekke, Bernard H.M., “Nusantara: A History of Indonesia”, (Nederland: W. Van Hoeve-The Hague, 1965).
95). Wells, H.G.,”The Outline of History”, (revised edition), (Garden City, New York: Garden City Book, 1949), Vol. II..
96). Walsh, Thomas (et. Al).,”Masih Adakah Alternatif di Ujung Krisis”, (Jakarta: INFID, 2003).
97). Wolfe, James W and Couleumbis, Theodore A.,”Pengantar Hubungan International: Keadilan dan Power”, (terj.) Marcedes Marbun, (Putra Bardin, 1999).
98). Zainuddin, H.M., “Tarich Atjeh dan Nusantara”, (jilid I), (Medan: Pustaka Iskandar muda, 1961).
99). Zentgraaff, H.C., “Atjeh”, (terj.) Aboebakar, (Jakarta: Beuna, 1983).

MAJALAH

Far Eastern Economic Review, (January 24, 1991).
Far Eastern Economic Review, (July, 29, 1999).
American Journal of International Law, (1984).
The Washington Quarterly, Vol. 23, No.3 (Summer).
Gatra, 36/IV, (25 July 1998).
Editor, (13 Juli, 1991).
The Economist, (editorial, Agustus 1, 2003)




KORAN



Kedaulatan Rakyat, (30 September, 2000).
Bangkok Post, (December 7, 2003).
Kompas, (4 Oktober, 2004).
Kompas, (9 Agustus, 2004).
Kompas, (11 September, 2004).
Kompas, (19 Oktober, 2004).
Kompas, (28 September, 2004).
Kompas, (7 Oktober, 2004).
Kompas, (25 Juni, 2004).
Kompas, (24 Oktober, 2004).
The Wasington Post, ( November 4, 1994).
The Washington Post, (October 12, 2004).
Koran Tempo, (5 Oktober, 2004).
Koran Tempo, (15 Oktober, 2004).
Koran Tempo, (13 Oktober, 2004).
Serambi Indonesia, (9 January, 1999).
Jakarta Post, (Juni 23, 2003).
Jakarta Post, (May 13, 2000).
Jakarta Post, (May 14, 2000).
Strait Times, (December 21, 2000).
The New York Times, (September 19, 2003).






Lampiran


DECLARATION OF INDEPENDENCE OF ACHEH SUMATRA



“To the people of the world:


“We, the people of Acheh, Sumatra, exercising our right of self-determination, and protecting our historic right of eminent domain to our fatherland, do hereby declare ourselves free and independent from all political control of the foreign regime of Jakarta and alien people of the island of Java.

“Our fatherland, Acheh Sumatra, had always been a free and independent Sovereign State since the world begun. Holland was the first foreign power to attempt to colonize us when it declared war against the Sovereign State of Acheh, on March 26, 1873, and on the same day invaded our territory, aided by Javanese mercenaries. The aftermath of this invasion was duly recorded of the front pages of contemporary newspapers all over the world. The London Times, on April 22, 1873, wrote: “A remarkable incident in the modern colonial history is reported from the East Indian Archipelago. A considerable force of Europeans has been defeated and held in check by the army of a native state…the State of Acheh. The Achehnese have gained a decisive victory. Their enemy is not only defeated, but compelled to withdraw. “The New York Times, on March 6th, 1873, wrote: “A sanguinary battle has taken place in Acheh, a native kingdom occupying the northern portion of the Island Sumatra. The Dutch delivered a general assault and now we have details of the result. The attack was repulsed with the great slaughter. The Dutch general was killed, and his army put the disastrous flight. It appears, indeed, to have been literally decimated.” This event had attracted powerful world wide attention. President Ulysses S. Grant of the United States issued his famous Proclamation of Impartial Neutrality in this war between Holland and Acheh.

“On the Chrismas Day, 1873, the Ducth invaded Acheh for the second time, and thus begun what Harper’s Magazine had called “A Hundred Years War of Today”, one of bloodiest and longest colonial war in human history, during which one-half of our people had laid down their lives defending our Sovereign State. It was being fought right up to the beginning of World War II. Eight immediate forefathers of the signer of this Declaration died in the battlefield of the long war, defending our Sovereign Nation, all as successive rulers and supreme commanders of the forces of the Sovereign State Acheh Sumatra.

“However, when, after World War II, the Dutch East Indies was supposed to have been liquidated—an empire is not liquidated if its territorial integrity was preserved—our fatherland, Acheh, Sumatra, was not returned to us. Instead, our fatherland was turned over by the Dutch to the Javanese—their exmercenaries—by hasty fiat of former colonial power. The Javanese are alien and foreign people to us Achenese Sumatrans. We have not historic, political, cultural, economic or geographic relationship with them. When the fruits of Dutch conquests are preserved, intact, and then bequeathed, as it were, to the Javanese, the result is inevitable that a Javanese colonial empire would be established in place of that of the Dutch over our fatherland, Acheh Sumatra. But, colonialism, either by white, Dutch, Europeans, or by brown, Javanese Asians is not acceptable to the people of Acheh Sumatra.

“This illegal transfer of sovereignty over our fatherland by the old, Dutch colonists to the new, Javanese colonialists, was done in the most appalling political fraud of century: the Dutch colonialists was supposed to have turned over the sovereignty over our fatherland to a “new nation” called “Indonesia”. But “Indonesia” was a fraud: a cloak to cover up Javanese colonialism. Since the world begun, there never was a people, much less a nation, in our part of the world by that name. No such people existed in the Malay Archipelago by definitions of ethnology, philology, cultural anthropology, sociology, or by any other scientific findings. “Indonesia” is merely a new label, in totally foreign nomenclature which has nothing to do with our own history, language, culture, or interests; it was a new label considered useful by the Dutch to replace the despicable “Dutch East Indies” in an attempt to unite the administration of their ill-gotten far-flung colonies; and the Javanese neo-colonialists knew of its usefulness to gain fraudulent recognition from the unsuspecting world, ignorant of the history of the Malay Archipelago. If Dutch colonialism was wrong, then the Javanese colonialism which has squarely based on it cannot be right. The most fundamentals principle of international law states: Ex injuria jus non oritur. Right cannot originate from wrong.

“The Javanese, nevertheless, are attempting to perpetuate colonialism which all the western colonials powers had abandoned and all the world had condemned. During these last thirty years the people of Acheh, Sumatra, have witnessed how our fatherland has been exploited and driven into ruinous conditions by the Javanese neo-colonialists: they have stolen our property; they have robbed us from our livelihood; they have abused the education of our children; they have exiled of our leaders; they have put our people in chains of tyranny, poverty, and neglect: the life expectancy of our people is 34 years and is decreasing—compare this to the world’s standard of 70 years and is increasing! While Acheh, Sumatera has been producing a revenue of over 15 billion US dollars yearly for the Javanese neo-colonialists, which they used totally for the benefit of Java and the Javanese.

“We, the people of Acheh, Sumatra, would have no quarrel with the Javanese if they had stayed in their own country, and if they had not tried to lord it over us. From now on we intend to be the masters in our own house: the only way life is worth living; to make our own laws: as we see fit; to become the guarantor of our own freedom and independence: for which we are capable; to become equal with all the peoples of the world: as our forefathers had always been. In short, to become sovereign in our own fatherland!

“Our cause is just! Our land is endowed by the Almighty with plenty and bounty. We covet no foreign territory. We intend to be a worthy contributor to human welfare the world over. We expect recognition from decent members of the community of nations. We extend the hands of friendship to all peoples and to all governments from the four corners of the earth.




December 4, 1976.

“In the name of sovereign People of Acheh, Sumatra.

Teungku Hasan Muhammad di Tiro,
Chairman, National Liberation Front
Of Acheh Sumatra and Head of State
Acheh, Sumatra.

1 comment:

Leisure Reading said...

ANY READERS AFTER READING THIS ARTICLE THOROUGHLY AND ANALYTICALLY WILL COME TO ONE CONCLUSION: THE ARTICLE HIGHLY FULL OF HATRED AND ONE SIDED POURING DATA WITH IMBALANCE. THE WRITER ABSOLUTELY MINDLESS PERSON WITH POOR INTELLECTUAL MINDSET. THUS WE SHOULD PAY A PITY ON HIM.