04 September 2008

Bab 09-1: NESTAPA KAUM MUSLIMIN - Modus Operandi (1)

Bab 09 NESTAPA KAUM MUSLIMIN TNI PENJAGAL KEMANUSIAAN
KENDATI pasukan militer non-organik sudah ditarik dari Aceh, seperti yang diinstruksikan Pangab Jendral Wiranto tanggal 7 Agustus 1998, tidak serta merta dapat menghilang-kan luka dan duka yang pernah mereka to0rehkan selama beroperasi di sini. Penderitaan fisik, mental dan intelektual banyak dialami masyarakat Aceh. Hal yang sulit dilakukan adalah memulihkan kondisi traumatis masyarakat Aceh yang telah menciptakan neurosa psikologis bagi sebagian besar masyarakat Aceh.

Dari beberapa kasus kekerasan yang terjadi selama diberlakukannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), sedikitnya ada 30 model penyiksaan yang sudah terdata. Di antaranya, ada korban yang digorok hingga putus, lalu kepalanya dibawa aparat keamanan dengan dipertontonkan di desa asalnya. Selain itu, ada yang ditembak di sumur, diganduli batu ke tubuh lalu dibuang ke sungai, penyetruman alat vital korban pada saat interogasi, botol yang dimasukkan ke kemaluan wanita, torehan luka yang ditetesi jeruk nipis dan sebagainya.

Selain itu, banyak muncul kasus orang hilang mau-pun yang mati tak wajar, yang bisa dikategorikan ke dalam tiga kelompok. Pertama, besar kemungkinan terlibat GPK yang sesungguhnya GAM itu ciptaan elit politik di jajaran militer yang gemar merekayasa keada-an. Kedua, hanya simpatisan (kasihan pada korban) ataupun benci pada penculik yang bertindak semena mena. Ketiga, adalah korban fitnah. Tapi pada semua kasus itu terjadi pelanggaran HAM. Baik dari proses penangkapan, penyiksaan, maupun hukuman tembak yang tak melalui proses pengadilan. Dan, masyarakat sekarang sudah mengerti. Karena kesadaran hukum terus meningkat.
Dari kasus-kasus yang tercatat di DPRD Pidie, sekitar 20 persen korban penganiayaan berat masih hidup dan siap memberi kesaksian. Mereka umumnya sangat mengenali para penyiksanya. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa kasus kekerasan yang terjadi

Bab 09-01 Modus Operandi Solidaritas Sesama Napol di LP
Dari 680 kasus orang hilang dan tindak kekerasan plus pemerkosaan yang berhasil dihimpun Forum Peduli Hak Asasi Manusia (FP-HAM), setelah diklarifikasi terdapat sedikitnya 30 kasus yang berkualifikasi supersadistis. Sebagaimana aksi kebiadaban tentara sekuler manapun di dunia ini—seperti yang dilakukan tentara Nazi pada Perang Dunia II, tentara Serbia terhadap etnis Bosnia dan Albania—di mana korban sipil biasanya ditelanjangi dan diperkosa secara bergiliran di antara tentara-tentara yang gagah lainnya hingga pada model penyiksaan dan penin-dasan di mana laki-laki sipil dilarang untuk bersikap religius dalam menghadapi kematiannya. Pelecehan agama cukup banyak terjadi dalam peristiwa DOM Aceh ini. Kisah Bosnia berulang lagi atau terjadi bersamaan dengan apa yang dialami di Aceh. Umat Islam di Indonesia bahkan yang di Aceh sendiri, ironisnya, lebih peduli dengan nasib yang dialami Muslim Bosnia ketimbang yang dialami oleh umat Islam di Aceh, wilayah sendiri.2 Hal ini karena ketakutan mereka pada rezim Soeharto yang melebihi teroris telah menyebabkan rasa takut yang luar biasa di kalangan umat Islam Indonesia. Seharusnya mereka bersikap seimbang atas yang dialami di Aceh dan di Bosnia atau di tempat pembantaian umat manusia manapun di dunia ini. Lihatlah bagaimana cara-cara mereka menyiksa umat Islam di Aceh berikut ini.

1. Korban Disembelih dan Rumahnya Dibakar
Kejadian sadis menimpa korban, M. Jalil, 40 tahun. Warga Desa Maneh, Kecamatan Geumpang, Pidie yang oleh aparat diduga terlibat GPK ini disudahi di Alue Bayuen, Aceh Timur, sekitar 250 km dari desanya, di suatu hari di tahun 1990.
Menurut pengakuan istri korban, Saodah Aleh (41) ibu dari lima orang anak, suaminya itu sedang mendulang emas di Alue Bayuen ketika dibantai petugas. Lalu kepalanya dibawa pulang oleh aparat ke kampung asalnya, Desa Maneh, Pidie. Sedangkan tubuh korban ditinggalkan di TKP. Kedatangan aparat ke rumahnya, dengan membawa kepala suami-nya—yang disaksikan oleh banyak penduduk Desa Maneh—ternyata belum membuat derita Saodah berakhir. Sebab, setelah kepala suaminya diserahkan, giliran rumahnya pula yang dibakar. Saodah dan keluarganya juga dianiaya.

2. Rumah dibakar dan Hartanya dimusnahkan
Teuku Nurdin, 70 tahun, benar benar mengalami nasib sial yang berkelanjutan. Warga Ulee Reubek Barat, Seunuddon, Aceh Utara ini pada 27 Juli 1990 didatangi lima anggota GPK di rumahnya untuk minta makan sekaligus istirahat. Kalau tak diperkenankan, ia diancam akan dibunuh di bawah todongan senapan. Tak lama kemudian, terdengar bunyi senjata dari pihak ABRI yang mengetahui kedatangan GPK ke rumah Teuku Nurdin. Maka, terjadilah kontak senjata antara pihak ABRI dengan GPK. Tuan rumah, seperti dikisahkan Hasan (30), anak korban, lari meninggalkan ajang pertempuran itu. Dari saksi mata (tetangga) mereka kemudian tahu bahwa rumah tersebut dibakar, dibantu oleh sejumlah masyarakat yang dipaksa oleh aparat. Sedangkan GPK sempat melarikan diri. Sebelum dibakar, barang barang milik Nurdin, senilai Rp 3 juta diambil aparat. Esoknya, semua masyarakat setempat dikumpulkan untuk ditanyai, siapa pemilik rumah yang dibakar tersebut. Ternyata pemiliknya adalah Nurdin, yang kemudian Nurdin melarikan diri ke Blang Geulumpang (rumah familinya). Setelah 20 hari baru ia kembali. Saat itu Danramil setempat berjanji akan mengganti rugi rumah yang dibakar itu. Tapi, sampai sekarang janji tersebut belum diujudkan.

3. Diikat dan Diseret Ramai ramai, lalu Ditembak
Lain lagi kejadian yang menimpa Syech Asnawi Yahya (32), sarjana FKIP Jabal Ghafur, Sigli. Sebagai keuchik (kepala kampung/desa) di Blang Kulam, Kecamatan Batee, ia tak mau warganya disiksa oleh aparat atau diculik dengan dalih ikut operasi. Tapi, karena sering adu argumen dengan aparat mengenai masalah itu, ayah dua anak itu pun diambil petugas pada suatu hari di tahun 1991. Lalu dibawa ke jembatan Delima, Pidie. Lehernya dipasangi tali, lalu beberapa warga disuruh menarik tali tersebut. Dalam situasi begitu, petugas menembakkan peluru ke tubuhnya. Syech Asnawi Yahya pun tewas di tempat. Mayat Syech Asnawi Yahya itu baru boleh diambil keesokannya oleh ibunya.

4. Ditenggelamkan ke Sungai Hingga Mati
Sulaiman Ali (40), tidak menduga dirinya akan mati dengan cara yang mengenaskan. Warga Ulee Rubek Seunuddon, Aceh Utara, ini disiksa di Mata Anoe, yang tak jauh dari desanya pada suatu hari di tahun 1990. Menurut adik kandung korban, Teungku Nurdin Ali, abang-nya itu diambil petugas selagi bekerja di tambak udang. Setelah itu ia diboyong ke Kantor Koramil setempat, kemudian diangkut ke Lhoksu-kon. Di kedua tempat ini ia disiksa dengan popor senapan mesin. Namun, karena masih bernyawa akhirnya di tubuhnya diganduli batu sebagai pemberat, lalu ditenggelamkan di Sungai Sampoiniet, Aceh Utara. Dua hari kemudian, tubuhnya timbul ke permukaan dan dibawa masyarakat ke Masjid Raya Sampoinet untuk dimandikan dan dikafankan. Lalu ia dikubur di pekarangan rumah Keuchik Kedai Sampoiniet.

5. Ditaruh Pemberat Besi dan Ditenggelamkan ke Sungai
Abdurahman Ahmad (52), mengalami tindak kekerasan sepulangnya dari kebun membelah kayu di tahun 1990. Kala itu, warga Leubok Pengpeng, Kecamatan Peureulak, Aceh Timur ini kepergok ABRI yang sedang menyisir pinggiran hutan. Tanpa ditanya apa apa, Abdurahman langsung dibawa. Enam hari kemudian, lapor Ibrahim Ali (28), anak korban, jasad ayahnya ditemukan mengapung di Sungai Pereulak. Yang sangat menyedihkan, Abdurahman Ahmad diikat hidup hidup pada besi yang berukuran sepanjang badannya, beratnya sekitar 17 kilogram. Setelah diganduli besi, kemudian dilempar ke sungai. Film Amistad karya Steven Speilberg kalah sadisnya dibanding kejadian yang dialami Abdur-rahman Ahmad ini.

6. Ajimat Dicabut dan Disiksa
Ishak Raja Bayan (55) mengalami siksaan pada bulan Maret 1990 di desanya, Matang Anoh, Seunoddon, Aceh Utara. Pagi hari yang naas itu ia bermaksud ke tambak untuk mengambil gajinya yang akan dibagi-kan pagi itu. Sewaktu pulang ia dihadang oleh dua anggota Yonif 125 dan dibawa ke Koramil Seunoddon. Ia kemudian disiksa dan ditembak. Tapi, ternyata ia kebal. Lalu ajimatnya berupa cincin dicabut paksa. Setelah itu ia disiksa sampai memar dan lunglai. Ia kemudian disuruh pulang tanpa tahu apa sebab ia dikasari begitu.

7. Disiksa Sembilan Malam, Dibiarkan dalam Keadaan Lapar.
ABDUL GANI Berdan (26), warga Jiem jiem, Bandar Baru, Pidie. Jebolan SD yang punya tiga anak ini mengalami siksaan pada tanggal 11 Oktober 1992 di Pos Sattis setempat. Ketika itu, ia bersama tujuh penduduk lainnya, dijemput sore hari (15.00 WIB) oleh tiga oknum berseragam loreng. Di pos Sattis itu mereka disiksa selama sembilan hari sembilan malam. Selama tiga hari korban tidak diberi makan. Perutnya perih luar bisa. Setelah itu, seperti dilaporkan Siti Aminah (29), istri korban, Abdul Gani Berdan berhasil pulang dengan keadaan yang sangat mempriha-tinkan. Saat pergi ia masih tegap, pulangnya pakai tongkat. Itulah yang dimaksud Aminah sebagai keadaan yang memprihatinkan itu.

8. Diborgol, Disiksa dan Dirampas Hartanya.
Seperti yang diadukan seorang pensiunan PNS M. Yahya (59) penduduk Meunasah Manyang Muara Dua, mengadukan dirinya pernah diculik 12 Juni 1990. Para penculik mahir itu memborgol tangannya, kemudian menyiksanya dengan bermacam cara dan jurus pukulan maut yang sangat mengerikan dan nyaris menemui ajal. Tidak hanya itu, malah hartanya seperti emas perhiasan isterinya dan sepeda motor BL 7461 KB bersama buku hak miliknya dikuras kelompok penculik.3 Karena itu, M. Yahya meminta pemerintah dapat menindak tegas pelakunya, sementara identitas para pelaku masih dicatat dan masih hidup.

9. Disiksa Di depan Mata Anak dan Istrinya.
Pengaduan orang hilang di Aceh Utara terus bertambah. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Iskandar Muda Lhokseumawe kembali menerima tambahan laporan empat kasus orang hilang. Dengan demikian, telah 44 kasus yang diadukan ke LBH dan DPRD setempat. Ketua Yayasan LBH Iskandar Muda, Mohammad Yacob Hamzah, menyebutkan korban orang hilang yang telah dilaporkan kepada pihaknya, kebanyakan petani miskin dan minim pendidikannya yang terjadi antara tahun 1989 hingga 1992. Pada umumnya, mereka dijemput di rumah, di pos siskamling, dan ada di warung kopi. Mengutip beberapa aduan dari isteri dan anak korban yang diterima selama ini, kata Yacob, sangat mengerikan. Karena, ada korban kala dijemput di rumah, lalu disiksa di depan mata anak dan isterinya. Bahkan, ada korban yang kemudian rumahnya dibakar.4

Selama ini, derai air mata isteri dan anak korban keberingasan penculik tiap hari mengalir di LBH Iskandar Muda. Mereka umumnya penduduk yang tinggal di desa terpencil, misalnya di Kuta Makmur, Samalanga, Lhoksukon, Muara Dua, Jeunieb, dan Matang Kuli. Seperti pengaduan yang diterima Yayasan LBH Iskandar Muda pada 18 Juli 1998, tiga janda bersama anaknya mengadukan kehilangan suaminya yang dijemput orang misterius dan sampai sekarang belum kembali. Seba-gaimana dikisahkan Salbiah (43) penduduk Alue Glem Kecamatan Blang Mangat, suaminya Jamaluddin (54) dijemput tahun 1991, kala itu korban sedang menunggu makan malam bersama keluarga. Peristiwa serupa dialami janda Syamsiah (40) Desa Blang Baroh Kecamatan Kuta Makmur, suaminya M Nasir (45) dijemput orang misterius 13 Desember 1990. Kala penculik menjemputnya, korban sedang bermanja manja dengan anak-nya yang paling bungsu.

Pengadu lainnya yang ikut kehilangan keluarganya adalah Rasyidah (40)Desa Krueng Seunong Kecamatan Kuta Makmur dan Abdurrahman (22) penduduk Blang Abeuk Kuta Makmur. Kata janda Rasyidah, suami-nya Zainuddin Hs (34) dijemput tahun 1990, korban diambil di Pos Sis-kamling, sementara A. Rahman mengadukan, bahwa abangnya M Yusuf H (48) diculik 28 Juni 1990 di rumahnya dan sampai sekarang para korban belum diketahui nasibnya. Karena itu, para keluarga korban berharap agar pemerintah dapat menyelidiki ke mana suami dan ayah pengadu dibawa orang misterius.

10. Disiksa Hingga Lumpuh
Safruddin Daud (32) sekarang cacat fisik seumur hidup akibat dipukul oknum penculik. Pada 2 Januari 1991ditangkap penculik, ia dibawa ke SD Krg Meusagop bersama puluhan warga lainnya, mereka dipukul babak belur dan mengakibatkan Safruddin patah tulang punggung. Sampai sekarang korban terpaksa tidur di rumah menahan derita, jangankan mencari nafkah, berak saja harus ditampung isterinya. Sebagai upaya kelangsungan hidup ayah dua anak itu, isteri tercintanya Aisyah (27) terpaksa bekerja keras. Seperti menanam padi dan bekerja upahan lainnya dari penduduk demi anak dan suaminya yang sudah cacat se-umur hidup. Menurut Safruddin Daud, sejak ia mendapat penyiksaan dari penculik yang tidak diketahui identitasnya itu, keluarganya telah mencoba mengobati ke berbagai rumah sakit, termasuk ke dukun patah. Namun, upaya yang ditempuh itu tidak pernah berhasil, sementara harta-nya sudah ludes dijual untuk beaya pengobatan dan karena semua sudah habis, ia sekarang pasrah menunggu ajal datang menjemputnya.
Pengaduan hampir sama juga diterima oleh LSM YAPDA Lhokseu-mawe, seperti diakui Direktur Eksekutif Div Community Organizer Zulfi-kar MS dan Sugito Tassan. Katanya, lembaganya terus didatangi keluarga korban yang mengadukan nasipnya, mereka datang umumnya pendu-duk desa pedalaman dan petani miskin.

11. Ditembak, kemudian Kuburnya Dibongkar
Walau Zainuddin (27) sudah jadi mayat, namun ia masih mengalami penderitaan. Peristiwa yang dialami Zainuddin tersebut terjadi pada bulan Agustus tahun 1991. Warga Ulee Reubek, Seunuddon, Aceh Utara ini berangkat dari Bireuen menuju Pantonlabu (Aceh Utara) pukul 01.00 dinihari. Para peronda malam menangkapnya setiba di Pos Cempedak, Jambo Aye. Karena tak merasa bersalah, ia melawan dan sempat dipukuli. Lalu, para peronda menggelandangnya ke Meunasah Cempedak. Sebagian yang lainnya memanggil polisi. Kemudian polisi datang, tapi korban mela-wan. Karena tampak garang, para peronda lalu memanggil anggota Kopassus di Alue Bili. Saat itu korban lari ke kebun. Anggota Kopassus langsung menembaknya secara membabi buta. Korban jatuh terkapar dengan tubuh yang bersimbah darah. Mayatnya dilemparkan ke parit di dekat balai pasar Ulee Ruebek Timur, sekira pukul 03.00 dinihari. Kemudian, masyarakat mengambil dan mengebumikan mayat tersebut. Esoknya, pukul 11.00 WIB kesatuan ABRI dari Korem Lhokseumawe datang ke TKP ingin mengambil foto korban. Tapi, karena telanjur dikubur warga, diperintahkan untuk dibongkar kembali. Setelah memfotonya, mereka pulang, dan warga mengubur Zainuddin kembali.

12. Ditembak dalam Sumur
Korban kebiadaban aparat yang didor di dalam sumur itu adalah Muhammad Juned (28), warga Rawa Itiek, Pantonlabu, Aceh Utara. Suami Rabiah ini, menurut istrinya kepada FP HAM, diambil aparat keamanan pada suatu hari di tahun 1990 di Desa Matang Ruebek. Dalam kejadian itu, Juned yang tak tahu apa salahnya, dikejar oleh aparat. Kaki-nya tersandung, lalu jatuh terperosok ke perigi (sumur). Di perigi itulah korban didor. Air sumur yang jernih sontak berubah memerah oleh kucu-ran darahnya. Masih dalam keadaan bergerak, Juned diboyong aparat naik mobil ke Lhokseumawe. Sejak itu sampai sekarang korban tidak diketahui bagaimana nasibnya. Oleh FP HAM, musibah yang menimpa Muhammad Juned ini digolongkan sebagai korban orang hilang, meski keluarganya menduga Juned sudah almarhum. Cuma saja kuburnya tak diketahui di mana.

13. Ditembak di Depan Umum
Imuem Sulaiman (40), mengalami hal yang tak kalah sadisnya. Warga Lueng Dua, Simpang Ulim, Aceh Timur ini mengalami nahas di tahun 1990. Saat itu, seperti dikisahkan adiknya, M. Daud (kini 40 tahun) yang melapor ke Peduli HAM, abangnya yang meninggalkan enam anak itu diambil petugas sewaktu kenduri di rumah keuchik setempat. Lalu dibawa ke Pos Lueng Puet, diinterogasi diikuti pukulan bertubi tubi. Setelah itu, korban dibawa ke lapangan sepak bola. Di sini ia dipukul dan dipertonton-kan kepada warga. Lalu, ia ditembak disaksikan ratusan warga sebanyak dua kali. Tembakan pertama pada kepalanya, dan tembakan kedua di bahu kirinya. Setelah roboh, petugas berlalu. Dan, jenazah korban dimandikan dan disembahyangkan secara Islam, lalu dikebumikan hari itu juga.

14. Penculikan Akibat Fitnah
Laporan “orang hilang” hingga 13 Juli 1998, mencapai 137 kasus. Sebagian kasus diduga kuat akibat fitnah antar masyarakat, fitnah politik atau salah informasi, bahkan ada aparat yang sengaja menyalah gunakan wewenang dengan memanfaatkan status DOM. Tak terkecuali fitnah terhadap lawan politik, terutama menjelang Pemilu tahun lalu.5 Itulah sebabnya mengapa kasus kasus pelanggaran HAM itu perlu diusut, supaya diketahui benar kesalahan korban. Nurdin Amin dari PPP ini mengakui, sejumlah “orang PPP” yang dikenal “bersih lingkungan” pun bisa diangkut akibat fitnah politik tersebut. Tapi, dari kasus yang dilapor-kan masyarakat, memang bukan hanya simpatisan PPP yang jadi korban, tetapi ternyata ada juga “orang Golkar” ataupun politikus PDI. Tapi pada semua kasus itu terjadi pelanggaran HAM. Baik dari proses penangkapan, penyiksaan, maupun hukuman tembak yang tak melalui proses pengadi-lan. Hal ini yang sangat disesalkan.
Sebagai contoh korban fitnah bisa disimak dari cerita Puteh Idris (45), warga Sarah Panyang, Bandar Baru. Menurutnya, M Abas Saleh, suami-nya, diculik April 1998 lalu, akibat tuduhan yang “salah alamat”. Si pencu-lik menuduh suaminya menyimpan senjata atas laporan seorang “kaki tangan” penculik bernama M Yusuf (35), penduduk Desa Cubo, Bandar Baru. Semua tempat di rumah mereka yang berukuran 9 x 7 meter persegi itu digali, senjata dimaksud tak ditemukan. Ia yakin suaminya tak bersalah. Tapi, suaminya dibawa juga, dan sampai sekarang belum dikembalikan.
Sejumlah masyarakat yang melapor juga kerap menunjuk contoh kasus kasus sejenis (terkait UU subversi) yang pernah disidangkan di pengadilan. Mengapa para korban sebelumnya tidak disidangkan saja, biar ketahuan apa kesalahannya? Juga, ada masyarakat yang telah membaca berita tentang dibebaskan atau “diampuni”nya sejumlah Napol/Tapol GPK di Banda Aceh atas instruksi “pemerintah reformasi”. “Mengapa anak saya tidak dilepas lepas? Mohon perhatian pemerintah,” harap Usman Gade (80) dari Desa Seunong, Meuredu. Menurut Usman, dari pelacakan dia dan keluarganya, salah seorang anaknya yang diculik tanggal 5 Januari 1991 bernama Keuchiek Umar Usman (50) saat ini masih berada dalam tahanan di Medan. Sejak diculik, kata Usman, adiknya Umar yang bernama Samwi Usman (28) yang juga ikut diteror mulai ketakutan. Samwi yang tadinya simpatisan lalu lari ke hutan bergabung dengan GPK. Tak tahan, Samwi lalu resmi menyerahkan diri. Oleh Kades setempat, Samwi dibawa ke Koramil. Tanpa diduga, petugas langsung menembaknya hingga mati.

15. Dijadikan Perisai saat Bertempur Lawan GPK
Teungku Rahman Ali (70), warga Cot Baroh, Glumpang Tiga, Pidie, pada 1996 dibawa ke Pos Sattis Bilie Aron (Rumoh Geudong), ditembak (lalu diobati). Kemudian, disiksa lagi dan dibawa ikut operasi untuk ditempatkan di barisan depan (sebagai tameng tentara) saat menghadapi serangan atau menyerang GPK. Cara berperang seperti sangat melanggar Konvensi HAM Dunia dan konvensi tentang etika perang.

16. Tangan Dibedah, Ditetesi Air Cuka
Kisah miris lainnya menimpa Rosli (25), warga Bola Mas Tanah Jambo Aye, Aceh Utara. Menurut ayah korban, Samidan Ali, yang melapor ke Peduli HAM, anaknya itu pada suatu hari di bulan Agustus 1991 sedang menuju pulang dari Unit VI tempat dia bertani ke rumah mereka di Unit III. Dalam perjalanan itu dia ditangkap petugas keamanan. Selama tiga bulan tidak pulang pulang ke rumah istrinya. Setelah mencari ke sana -kemari, memasuki bulan keempat, pelapor mencari anaknya itu ke Pos Bola Mas Unit III. Di tempat itu, ia temukan Rosli sedang bekerja paksa sebagai tukang masak. Setelah didesak Samidan, akhirnya anaknya itu dikembalikan. Tapi, menurut pengakuan Rosli kemudian, begitu ia ditangkap kedua matanya ditutup dengan kedua belah tangan diikat. Kepada petugas dia mengaku akan pulang ke rumah, menemui istri dan mertuanya untuk mengabarkan bahwa lahan sawah mereka yang dia garap selama ini sudah siap tanam. Tapi, penjelasannya itu tak digubris petugas yang justru menudingnya menanam senjata di suatu tempat. Karena tak bisa menunjukkan tempat senjata itu, ia dipukuli dan diten-dang. Sampai pada gilirannya, “Telapak tangan saya dibelah, lalu diperaskan air jeruk ke celah luka itu. Perihnya tak terbayangkan,” ujar Rosli sebagaimana ditirukan ayahnya. Setelah siksaan itu ia lewati, Rosli tak diperkenankan pulang ke rumah, melainkan dikaryakan sebagai tukang masak di pos keamanan.

17. Mati Digantung
Penganiayaan yang dialami M Adam Puteh (55), penduduk Meunasah Cot Tunong, Simpang Tiga, yang diungkapkan kepada DPRD Pidie juga cukup menyayat hati. Pada tahun 1991, ia pernah digantung kepala ke bawah, kemudian dipukul dengan kayu, lalu ditendang dengan sepatu tentara.4 “Saya sudah ditahan, tapi tidak bisa melawan,” kata M Adam yang juga hadir pada pertemuan dengan TPF DPR RI di Sigli. Selain itu, menurut pengakuan M Adam, ke dalam mulutnya juga pernah dimasukkan moncong senjata. Sampai menusuk ke tenggorokan dan berdarah. Seumur umur ia mengaku tak pernah merasakan siksaan sedemikian parah itu. Menurutnya, penyebab ia ditangkap oleh oknum aparat itu hanya karena ia telah memotong buluh/bambu lemang. “Mereka menyangka saya akan membuat lemang untuk makan GPK. Karena di tempat itu memang tidak ada yang berani datang,” kata M Adam. Padahal, katanya, rumpun buluh itu sudah dibelinya dari Keuchiek Saman dan akan dipotong untuk dijual ke pasar. Capek ia menjelaskan, oknum itu tidak percaya dan terus menyiksanya untuk mencari “pengakuan” seperti yang dituduhkan mereka. Aiyub Ismail (39), warga Simpang Aron, Glumpang Tiga, mengungkapkan, meski sudah dianiaya agar mati, namun ajal belum menjemputnya. Dikisahkan, pada tahun 1991, malam hari datang tiga oknum tentara dan langsung membawanya ke Pos Jiem-jiem dengan berjalan kaki. Sepanjang jalan ia sudah disepak dan dipukuli. Tiba di Pos, penganiayaan semakin dahsyat. Kedua tangannya pernah diikat dengan pemberat (batu) lalu dilempar ke sungai supaya tenggelam dan mati. “Mungkin ajal saya belum sampai. Setelah beberapa lama batu itu terlepas, dan Alhamdulillah saya timbul lagi,” kenang Aiyub. Ia diangkat, dan masih terus disiksa sampai tengah malam. Esok harinya, Aiyub dilepas dengan pesan: Apa yang telah dialaminya tidak boleh diceritakan pada orang lain. Belum pulih benar kesehatannya, tiga bulan kemudian, ia diambil lagi. Kali ini Aiyub ditahan sampai tiga bulan (di Kota Bakti dan Rumoh Geudong), juga tak lepas dari siksaan.

18. Penyiksaan Massal
Jumlah pelaporan kasus “orang hilang” maupun tindak kekerasan di Pidie sampai 30 Juli 1998, mencapai 629 kasus. Angka ini merupakan gabungan antara laporan yang dicatat di DPRD Pidie (524 kasus) dan yang dicatat oleh para relawan dari FP HAM (105 kasus). Kasus kasus penyiksaan — baik yang disiksa, diperkosa, maupun ditembak/dibunuh (tapi tidak mati) — semakin terungkap dan mendominasi laporan. Korban korban penyiksaan kian berani memberi kesaksiannya. Bahkan di satu desa, Blang Iboih, Langgien, Bandar Baru, Pidie, sedikitnya 30 warga (separuh jumlah penduduk desa itu) telah diangkut serentak oleh oknum dan dibawa ke Pos Sattis terdekat pada 1991. Di situ, mereka diperiksa sekaligus dianiaya guna mencari tahu keterkaitan mereka dengan GPK. “Berbagai jenis siksaan telah mereka alami,” kata Zulkifli. Saking beratnya pukulan, salah seorang diantara ke 30 korban itu yang bernama Husen (32) diperkirakan telah meninggal dunia akibat penyiksaan. Karena ketika dibawa, jumlah mereka semua 30 orang. Pulangnya tinggal 29. Namun, mereka tidak tahu di mana kuburan Husen. Ke 30 warga Blang Iboih yang menjadi korban itu adalah A Gadeng (43), Husen Ubit (39), Zulkifli (35), Yusuf (40), Zakaria (40), A Gani (35), Usman (40), Johan (41), Ismail (32), Ismail (27), M Yacob (41), M Yunus (43), Husen (meninggal), Husen Mahmud (48), Ismail (50), M Yakob (40), M Yusuf (42), Zakaria Abdullah (34), M Thaleb (38), M Yusuf Abdullah (30), M Jafar (31), Fatimah (52), Ainsyah (50), Maryam (47), Fatimah Ali (38), Ti Hawa (32), Sa’yak (38), Nurhayati (43), Hamidah (50), dan Muhammad Cut (39).
19. Kepala Dikuliti di Depan Anak

M. Yusuf (12), bocah Desa Buloh Blangara, Lhokseumawe, yang masih mengenakan pakaian sekolah SD ini menceritakan penculikan dan penganiayaan terhadap ayahnya, M. Jakfar, di rumah mereka, Desa Buloh Blangara, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara, tahun 1992. “Ayah saya diambil oleh tentara. Ayah dipukul, disepak, dan dihantam dengan bedil di kepala sampai kulit kepalanya koyak. Dia ditarik ke belakang, kemudian dilempar ke mobil. Kala itu usia saya baru enam tahun. Awalnya, malam itu saya bersama kedua orangtua sedang makan di rumah. Pintu depan diketuk dan setelah dibuka oleh ayah, langsung empat orang bersenjata (tentara) meninju dan menendangnya. Juga memukul ayah dengan popor senjata di kepala korban berkali kali hingga kulit kepalanya sobek. Belum puas, dengan ganas penculik ayah mendekat dan menyobek kulit kepalanya. Ayah waktu itu terjatuh, dan kemudian penculik itu menginjak injaknya. Dalam keadaan tak berdaya begitu, ayah masih dipukul, hingga kemudian diseret dan dilempar ke dalam mobil (tidak tahu jenis mobil itu). Saya dan Emak hanya menangis dan ketakutan sekali. Ayah saya dibantai sekelompok tentara. Saat itu, ayah hanya bisa berkata “bantu...” Dan saya hanya mampu meraung raung. Sedangkan nasi yang masih tersisa dalam piring tidak sanggup lagi mereka kunyah. Malam itu saya tidak tidur dan menangis memikirkan ayah yang sudah dibawa dalam mobil. Saya ketakutan dan menangis. Ayah dilempar begitu saja seperti bangkai. Namun, ketika dibawa, ayah masih tampak bergerak dan mencoba menoleh ke belakang, namun kepala ayah dipukul lagi oleh penculik. Saya sangat kehilangan dan selalu menangis bila mengingat peristiwa itu. Sebab, ayah sangat akrab dengan saya selaku putra tunggalnya. Ayah juga secara rutin jika pulang ke rumah selalu membawa kue untuk saya. Sekarang ayah saya sudah tak ada. Ibu saya, Antikah, juga tak ada. Ia meninggal setelah sakit sakitan dan trauma. Saya tak punya tempat tinggal seperti dulu. Untung ada yang mengangkat saya sebagai anak asuh.”

20. Sudah Jadi Korban, Keluarganyapun Ditipu
Nasib menyedihkan dialami seorang ibu bernama Khatijah (50). Menurut Kamariah (25), anaknya, pada 24 April 1998, pagi hari, rumah mereka di Desa Cot Baro, Glumpang Minyeuk, didatangi beberapa penculik. Mereka mengatakan bahwa di rumah Khatijah disimpan senjata. Dua kamar di dalam rumah digali, tapi tak ditemukan. Anehnya, malah mereka membawa Khatijah, dan sampai sekarang belum kembali. Meskipun keluarga Khatijah tahu bahwa Khatijah sudah tidak pulang beberapa lama, beberapa anggota keluarga korban berusaha untuk mencari korban yang hilang dengan cara-cara apapun juga. Mereka bahkan ikut jadi korban penipuan.

Kejadian serupa juga menimpa keluarga A Gani Abubakar (29), seorang pengusaha kopi bubuk kemasan di Bereunun yang diculik tahun 1991. Menurut Saudah (35), kakaknya, kedua orangtua mereka pernah memberi uang Rp 500.000 kepada Yusuf Macek yang menawarkan akan mengurus pembebasan A Gani. Uang itu, kata Yusuf, akan dibelikan perhiasan untuk istri si penculik. Tapi sampai sekarang A Gani tak kunjung pulang, dan uang itu pun tak kembali lagi. Pencarian Syamsiah Abdullah (60), warga Meunasah Mee Puedeuk Baroh, Tripa, mencari anaknya Ruslan Basyah (36) sampai ke Pantonlabu, Aceh Utara. Ceritanya, sejak anaknya diculik, 1 Desember 1991, Syamsiah enam kali bolak balik ke sebuah kantor di Kota Bakti. Tetap tak bertemu. Kali terakhir, ia dikabarkan bahwa anaknya telah dibawa ke Desa Matang Guru, Panton Labu. Hari itu juga Syamsiah berangkat. Tiba di sana, dini hari, sang ibu diberitahu bahwa Ruslan—yang dikenali lewat KTP di saku celana—telah meninggal dunia dan dikebumikan di desa itu.

21. Suami Dibuang, Istri Disetrum
Di suatu hari tahun 1996 Idris (30), tamatan SMP, dipermak di Murong Cot, Kecamatan Sakti, Pidie, pukul 07.00 WIB. Sebagai warga yang pendiam, Idris tergolong nekat. Ia diketahui menanam senjata di dekat rumahnya atas suruhan orang lain dengan imbalan uang. Karena ketahuan petugas, Idris ditangkap dan digelandang ke Lamlo. Delapan bulan ditahan, kemudian ia dibuang di Cot Panglima di Takengon dengan tangan dan kaki terikat. Matanya ditutup. Tapi, menurut pengaduan istrinya, Rosmiati (28), Idris kemudian berhasil ke luar dari Cot Panglima dan mencapai rumah pada bulan Ramadhan tahun 1996. Setelah itu, menghilang lagi setelah pernah pulang pergi ke rumah sebanyak tiga kali. Belakangan, karena suaminya tak tertangkap, giliran si istri dibawa ke rumah Gedong Aron. Di situ Rosmiati ditelanjangi dan dikontak (maksudnya disetrum) sampai mengeluarkan kotoran. Yang menelanja-nginya adalah Kopassus yang ia kenal.

22. Semua Gigi Dirontokkan
Teungku M. Yusuf Alibasyah, warga Blang Bunot, Bandar Baru, pada tanggal 5 Januari 1993 diambil paksa oleh dua orang petugas di Pos Sattis Jiem jiem. Lalu dianiaya dengan cara mukanya dipukul berkali kali sampai giginya rontok semua. Karena sulit mengunyah lantaran tak lagi bergigi, makanan umumnya dia telan langsung. Kini, (Juli 1998), ia sakit sakitan.

23. Cacat Karena Dipukul dengan Balok
M Saleh Pakeh (32), warga Desa Lengkok, Sakti, pada tahun 1990 disiksa di Pos Sattis Tangse, kemudian di Pos Sattis Kota Bakti, Pidie. Ditahan 24 hari, disetrum, dan dipukul dengan balok sampai berdarah darah. Ia bahkan pernah diobati Palang Merah Indonesia (PMI), namun kini mengalami cacat dan penuh bekas luka di badan.

24. Tulang Rusuk Dipatahkan
Ismail Usman (45), Cot Baroh, Glumpang Tiga, pada tahun 1992 di Pos Sattis Jiem jiem dan Pos Sattis Kota Bakti, Pidie, dipukul dengan popor senjata, balok kayu, dan benda keras lainnya hingga kini mengalami tulang rusuk patah. Dadanya sesak dan pahanya sakit.

25. Digantung, Kepala ke Bawah
Umar Ibrahim (60), Cot Baroh, Glumpang Tiga, Pidie. Dikerjai di Pos Sattis Jiem jiem, Pidie, pada Juni 1994. Ia digantung dengan kepala ke bawah, lalu direndam dalam air dan tinja, serta dihujani pukulan. Masih untung, ia masih bertahan hidup mesti mengaku sangat trauma dan merasa secara fisik sudah rusak di dalam.

26. Dipaksa Bersenggama dengan Tahanan Wanita
Penistaan seks juga dialami pemuda M. Taeb Hasan (20) baru baru ini, pada suatu hari di tahun 1998. Warga Blang Sukon, Bandar Baru, Pidie ini datang mengadu langsung ke Tim Investigasi FP HAM, 27 Juli lalu. Ia diambil paksa dari kediamannya, lalu dibawa ke Pos Sattis Ulee Gle. Di sini ia diperiksa dan diinterogasi dengan berbagai pertanyaan yang bernada memposisikannya sebagai aktivis GPK. Karena mengaku tak tahu dan tak terlibat, Taeb dipukul dan ditelanjangi. Setelah itu ia dipaksa berbuat mesum dengan tiga wanita yang ditahan di pos tersebut. Dari sejumlah wanita janda yang juga dipaksa bertelanjang di tempat itu, Taeb akhirnya hanya mampu melayani dua orang. Karena tak memenuhi “target” yang diingini penculiknya, Taeb akhirnya disiksa. Begitupun, kepada FP HAM Taeb mengaku memang pernah melihat sekelompok orang yang tak dikenalnya melintas di kebun coklat yang ia tunggui. “Tapi, apakah mereka itu yang dikatakan GPK saya tak tahu, dan saya pun tak pernah berhubungan dengan mereka,” ujarnya.

27. Karena Persoalan Pribadi
Contoh kesewenang wenangan lainnya adalah kasus penganiayaan berat yang dilakukan Pratu Il, anggota Bataliun 131 Payakumbuh, Sumatera Barat, terhadap Ramli Abubakar (28), warga Desa Kambuk Nicah, Kunyet, Padang Tiji. Syukri Abdullah (30), abang korban, mengaku heran meski tak bertugas di Pidie, Pratu Il ternyata bisa semena mena menganiaya adiknya. Kejadian berlangsung 5 Maret 1995 saat Ramli sedang nonton teve di warung Bukhari, Desa Seunadu, Padang Tiji. Tiba tiba masuk Pratu Il yang baru datang dari Payakumbuh. Il yang ternyata teman korban semasa remaja itu menyimpan dendam pada Ramli. Menurut sejumlah saksi mata, Il waktu itu mengambil sebuah pompa sepeda dan langsung memukuli kepala korban hingga retak dan mengeluarkan banyak darah.6 Sebelum pulang ke Payakumbuh, menurut Syukri, Pratu Il sempat mengancam akan “menghabisi” keluarga mereka kalau dia datang lagi nanti. Karena itu, pihaknya telah berulang kali melaporkan kasus itu ke Koramil Padang Tiji, Kodim 0102 Pidie, Sub Den POM, dan instansi terkait lainnya. Namun oknum ABRI yang diduga bersalah itu sejauh ini tak kunjung diproses, hanya lantaran alasan DOM. “Padahal, kasus ini jelas jelas karena persoalan pribadi,” sebut Syukri. Ia hanya berharap DPRD Pidie bersedia “mengangkat” kasus itu, sehingga pelaku penganiaya adiknya dapat ditindak. “Adik saya sudah sakit saraf. Uang kami sudah jutaan rupiah habis untuk pengobatannya,” papar Syukri.

28. Sudah kehilangan Suami, Malah Difitnah Secara Sistematis dengan Surat
Sejumlah janda (tepatnya istri, karena belum dipastikan suaminya meninggal) yang telah melaporkan kehilangan suaminya di DPRD Pidie beberapa waktu lalu, serentak menerima “surat dari suaminya” yang seolah dikirim dari Batam, Riau.7 Mereka yang menerima “surat dari Batam” itu semuanya warga Kecamatan Mutiara, Pidie. Masing masing Aminah Ali, warga Desa Sentosa, dari suaminya Syarwan T Ahmad. Nyak Ubit (dari suaminya Ayub Ali), Dariati Saleh (dari suaminya Jafar Abdullah), dan Khatijah Cut (dari suaminya Kaoy Ahmad), ketiganya penduduk desa paloh Tinggi.
Menurut pengakuan para wanita itu, masing masing mereka mene-rima surat secara terpisah. Begitu menerima surat, hati mereka sempat berdebar debar. Tapi, setelah surat dibuka, kentara sekali bahwa surat itu direkayasa. Mereka bisa memastikan ini dari tanda tangan suami masing masing dengan mencocokkannya pada tanda tangan asli di surat/akte maupun KTP suami. Satu sama lain wanita itu kemudian bertemu di rumah Dariati yang sementara dinobatkan sebagai “pimpinan” dari kelompok janda janda di Kecamatan Mutiara. Mereka lalu menghubungi yang lainnya. Ternyata, baru empat “surat dari Batam” yang diterima mereka. “Ini surat palsu. Tanda tangannya palsu. Saya tahu betul itu bukan tanda tangan suami saya. Disangkanya kami bodoh, mau ditipu tipu begitu,” kata Dariati di Sigli. Ketiga temannya mengiyakan dengan penuh emosi campur sedih. Keempat surat itu isinya senada (namun tak persis sama) itu memang kentara sekali janggal dan seakan sengaja direkayasa. Surat itu dikirim melalui pos. Namun, cap kantor posnya bukan berasal dari Batam. Berstempel pos tanggal 8 Juli 1998.

Sementara kesaksian diberikan para janda saat penculikan suami mereka—oleh aparat negara. Membandingkan hurufnya, keempat surat itu kemungkinan diketik dari mesin tik yang sama. Yang lebih janggal, tanda tangan Syarwan TA, Ayub Ali, Kaoy Ahmad, maupun Jafar Abdullah yang tertera di surat ternyata sangat berlainan dengan aslinya. Melihat tanda tangan itu, Nyak Ubit malah sempat berfirasat bahwa suaminya telah dibunuh. Karena, menurutnya, kalau memang masih hidup—misal dalam tahanan—pasti si penculik akan memaksa suaminya, Ayub Ali, untuk menanda tangani “surat dari Batam” tersebut. “Tapi, tekenan itu jelas bukan tekenan suami saya. Biarlah, kalau sudah mati saya akan pasrah. Tapi, pemerintah bisa menunjukkan dimana kuburan-nya,” pinta ibu dari lima anak yang masih kecil kecil ini, sedih.

Berikut surat “dari Syarwan T Ahmad” untuk Aminah (dikutip persis aslinya):
Peurumoh ulon njang ulon gaseh beuna na sabee dalam lindong Allah.Assalamualaikum Wr. Wb. Dengon suratnyoe lon bi thee bak gata lon na dalam lindong poe teuh Allah. Meunan cit gata bandum dji noe. lon djie noe na di Batam gata bek susah lon akan lon jaga droe. beu neu teu peu lon teungoh dji mita oleh kafee jawa sehingga dji noe lon jakpeu siblah droe keu deeh u batam karna di deh aman. meunyoe na di jak kafee nyan u rumoh ta peugah hana ta tuhoo bek ta meu teu eeh sapee. droe neuh ban mandum njang na dji gampong bek susah doa droe neuh mandum keu ulon. Lon akan lon lanjut perjuangan nyoe sampoe selesai. oh no keuh mantong dji lee, leu beh ngon kureng lon lakee mueah.
Wassalamualaikum Wr. Wb. Amin.
(tanda tangan palsu).
Syarwan T. Ahmad.

Tiga surat lainnya bernada sama. Hanya penempatan kalimatnya yang berbeda beda. Umumnya terdapat kata kata yang menyiratkan hasutan, memecah belah persatuan. Semacam “lon akan lanjut perjuangan nyoe” atau “kafee Jawa” dan sejenisnya. Yang menonjol, pada semua surat tercantum pesan “bek peugah sapeu”. Sehingga, siapa pun yang memba-canya dapat meraba raba siapa pengirimnya. Kalimat “lon akan lanjutkan perjuangan nyoe” pada surat yang dikirim Ayub Ali juga dinilai aneh oleh istrinya. Menurut Nyak Ubit, suaminya itu tak pernah terlibat GPK. Hanya selama hidup, suaminya terkenal kritis di desa. Penyimpangan uang desa sering diprotes Ayub. “Mungkin ada yang tidak senang, lalu memfitnah suami saya GPK,” ungkapnya. Begitupun, meski kritis, toh mereka takut juga akan “ancaman Pemilu” lalu. “Karena takut, kami satu kampung semua coblos Golkar,” tambah Nyak Ubit.

Seorang istri/janda lainnya juga menerima sepucuk “surat dari Batam” yang seolah dikirim dari suaminya yang telah dilaporkan hilang. Surat itu diterima oleh Faridah Amin (25), penduduk Dayah Tanoh, Muti-ara, Pidie, dari “suaminya” Syarifuddin Asih.8 Sampai tanggal 20 Juli 1998, sudah lima “surat dari Batam” yang diterima oleh para istri korban “orang hilang” di Pidie.

Sebagaimana empat surat yang datang sebelum-nya, surat Faridah itu juga dilaporkan ke DPRD Pidie. Faridah menerima surat tersebut 18 Juli 1998 melalui pos. Cap kantor posnya bukan berasal dari Batam. Berstempel pos tanggal 8 Juli 1998. Tanda tangan Syarifuddin dalam surat tersebut juga dinilai palsu, karena berlainan dengan aslinya. Isinya juga senada dengan empat surat sebelumnya. Antara lain, “Syarifuddin” minta supaya Faridah tenang di kampung menunggu ia pulang dari Batam. Dia sedang menyelamatkan diri. Kalau ada yang mencarinya, jangan ceritakan apa apa.
Surat rekayasa itu ditulis—juga memakai mesin tik—dalam bahasa Aceh dengan tata bahasa yang kacau-balau. Surat yang sama sebelumnya diterima Aminah Ali warga Desa Sentosa dari suaminya Syarwan TA, Nyak Ubit dari suaminya Aiyub Ali, Dariati Saleh dari suaminya Jafar Abdullah, dan Khatijah Cut dari suaminya Kaoy Ahmad.

Mereka pun telah melaporkan perihal “surat dari Batam” itu ke Sub Den POM setempat serta ke DPRD Pidie. Sayangnya, di DPRD Pidie, anggota dewan dari Komisi A yang selama ini bertugas mencatat kasus “orang hilang” hari itu tak satu pun mereka temui. Menurut seorang pegawai, sebagian anggota dewan sedang rapat dengan Dandim di Makodim 0102 Pidie, dan sebagian lainnya ikut Rakorbang.

29. Status Wajib Lapor yang Tak Jelas
Dari banyak laporan masyarakat, status “wajib lapor” itu ternyata cukup merepotkan. Lebih lebih selama krisis ekonomi. Meski kesalahan belum jelas, namun mereka terpaksa meninggalkan kerja, mengeluarkan ongkos untuk labi labi, juga ongkos RBT, hanya untuk menghadap ke Pos Sattis yang ditunjuk. Harapan dihapuskannya “wajib lapor” juga dikemukakan Sulaiman Gade (56) dan anaknya M Rafi Sulaiman (36) warga Panton Raya, Tripa. Cut Ali Rani (52) dan Ibrahim Asyik (63), keduanya warga Dayah Teumanah, Tripa. Bahkan juga sudah diikutkan penataran P 4 segala, tetap wajib lapor seminggu sekali sampai sekarang.

Tentang penataran P 4, baik Cut Ali maupun Ibrahim menyindir. Bahwa seharusnya oknum oknum aparat itu dulu ditatar P 4, kalau perlu ditatar bagaimana menjadi manusia. Para penyiksa ternyata tidak semua aparat. Beberapa nama penyiksa di rumoh geudong ternyata warga setempat yang dijadikan TPO (tenaga pembantu operasi) sekaligus tukang pukul. Menurut kesaksian Ibrahim Thaeb (41), tukang jahit, warga Ulee Tutui, Mutiara, sedikitnya empat TPO (berinisial Is alias R, Sai, dan Ad) dan enam aparat Pos Sattis Bilie Aron (Har, To, Nas, Sas, Fai, dan Pra) telah menyiksanya secara sadis sejak tanggal 18 Maret 1998 hingga 30 Mei 1998. Selama dua bulan 12 hari itu, ia pernah dipukuli dengan rotan, ekor ikan pari (nampak berbekas nyata di dadanya), atau dipukuli balok kayu. Lain waktu, Ibrahim ditelanjangi, disetrum (pada kemaluan, hidung, dan beberapa tempat), diikat seperti salib. Giginya bahkan pernah dicabut dengan tang. Pernah beberapa hari Ibrahim tak dikasih makan. Akibat penyiksaan di rumoh geudong, ia kini menderita lumpuh pada kaki sebelah kiri. Ibrahim berharap adanya perhatian pemerintah terhadap korban korban seperti dirinya.

30. Ayah Dibunuh di Sebuah Rumah di Desa Lain
Keadilan bagi Herawati Hamid (21) baru sebatas mimpi. Untuk mencari tahu siapa pembunuh ayahnya, Hamid Itam (50), ternyata tak cukup mengandalkan Kepolisian maupun Polisi Militer. Ia bersama pamannya, Usman Itam (40), adik kandung Hamid, selama dua tahun ini sudah pontang panting mengusut sendiri.9 Tak sedikit tantangannya. Bahkan Usman sendiri pernah didatangi sejumlah oknum Kopasus ke rumahnya di Desa Tampieng Baroh, Indrajaya, beberapa waktu lalu. Kedua oknum itu minta ia menghadap atasan mereka di Pos Sattis Kota Bakti. Usman menolak. Ia pun diajak ke seorang paranormal untuk men-cari tahu siapa pembunuh Hamid Itam sebenarnya. Tapi tetap dia tidak mau. Kalau memang dia juga harus mati. Biar mati di rumah saja.

Didampingi pengacaranya, Iskandar Ishak SH (direktur LBH Seura-moe Makkah, Sigli), menceritakan hasil pengusutan mereka. Sebagian keterangan diperoleh dari saksi saksi, sebagian juga dari sumber di kalangan polisi penyidik.”Ayah saya bukan dibunuh di Gunung Gurutee, tapi di Pidie. Di sebuah rumah di Kelurahan Blang Asan. Ada saksi yang mendengar tembakan itu,” tutur Herawati, mahasiswi Akademi Manaje-men Informatika dan Komputer (AMIK) Jabal Ghafur, Pidie. Diceritakan, pada hari terakhir di Sigli, 13 September 1996, almarhum Hamid Itam yang seorang pegawai Setwilda Pidie pamit dari rumahnya sekitar pukul 17.00 WIB menuju Kota Sigli. Tapi ia tak kunjung pulang lagi.

Baru esoknya, tersiar kabar mayat Hamid Itam ditemukan mati tertembak di Gunung Gurutee, Aceh Barat. “Sejak meninggal ayah, kami cuma sekali—pada hari keempat kematian—dipanggil polisi untuk dimin-ta keterangan. Setelah itu tak ada kabar lagi. Bagaimana hasil penyelidi-kannya, sudah dimana kasusnya tak pernah diberitahukan lagi,” tutur Herawati. Muncul ide dari Usman untuk mengusut sendiri. Ia mengingat kembali cerita cerita abangnya tentang sejumlah orang yang “memusuhi” Hamid. “Sebelum meninggal, Bang Hamid pernah cerita bahwa ia bertengkar di dengan Pak BR (disingkat) di Kantor Bupati. Menurut abang, Pak BR yang dikenal dekat dengan bupati sempat mengancam-nya,” ungkap Usman, penjahit di Kios Saumi, Caleu. Usman menilai pertengkaran itu serius. Mengingat selama ini almarhum tidak pernah ribut dengan orang lain, dan jarang bercerita kalau ada persoalan. Pengusutan dimulai dari ke sebuah warung kopi Nescafe di depan Hotel Paris, Sigli. Menurut saksi, abangnya sorenya sedang minum kopi dengan beberapa teman. Tiba tiba datang sejumlah orang—termasuk pengusaha AK (juga dikenal dekat dengan Bupati dan BR), serta oknum aparat— dan langsung membawa Hamid dengan sebuah mobil taft milik seorang pengusaha, famili bupati. Hamid dibawa ke sebuah rumah di Blang Asan. Menurut Usman, saksi kunci yakni seorang pesuruh di rumah itu melihat dan mendengar jelas suara tembakan pada malam harinya, yang mem-buat Hamid meninggal seketika. “Saat ini saksi itu masih ada. Dia dibawa oleh Pak Suwahyu (waktu itu Kapolda Aceh) ke Surabaya,” ungkap Usman. Penembak abangnya diduga seorang “pembunuh bayaran” dari kalangan oknum ABRI berinisial FP. Meski telah berusaha dilacak, Usman mengaku sulit mencari data dimana FP berada saat ini.

Yang jelas tidak lagi di Pidie. Mayat Hamid Itam kemudian diangkut dan dibuang ke Gunung Gurutee, Aceh Barat (menurut Usman, tindakan ini diduga untuk mengaburkan TKP). Tuhan berpihak kepada mereka. Mayat yang dilempar itu tak sampai jatuh ke jurang Gurutee melainkan tersangkut di akar pohon. Konon karena para penculik/pembunuh itu dalam keadaan terburu buru, dan kebetulan ada kendaraan lewat. Usman mengakui tidak tahu pasti keterlibatan Bupati Djakfar Is dalam kasus ini. “Itu hanya keyakinan hati saya, setelah dikait kaitkan dengan siapa siapa yang ikut terlibat serta persoalan yang dipertengkarkan oleh Hamid dengan BR. “Saya semakin curiga kepada Pak Bupati ketika membaca sebuah berita tentang kematian anak kecil akibat termakan obat cacing PMTAS tahun lalu. Bupati waktu itu minta kasus tersebut diusut tuntas. Tapi mengapa bupati tak pernah menyuruh usut tuntas kasus kami. Bukankah Bang Hamid adalah pegawainya di Kantor Bupati?” papar Usman Hamid. Diakui, Djakfar Is dan rombongan dari kantor bupati pernah datang ke rumah duka pada hari kedua, dan menyerahkan “uang duka” sebanyak Rp 500.000. Padahal, bukan uang yang penting. Yang sangat diharapkan keluarga korban adalah terung-kapnya kasus tersebut, sehingga pelaku pembunuhan Hamid Itam agar segera diproses—tidak lagi “dipending”—dan mendapat hukuman setimpal.

Kini, harapan itu mereka titipkan kepada Komnas HAM, disamping pengacaranya di Sigli. Kronologis kejadian pembunuhan versi pengu-sutan keluarga korban itu telah mereka (ditanda tangani Usman dan Herawati) kirim ke Komnas HAM di Jakarta, dengan tembusan kepada 25 pihak/lembaga. Diantaranya kepada Mendagri, Kejaksaan Agung, Menhankam/Pangab, Kapolri, Pangdam I/BB, Gubernur Aceh, Kapolda, Danrem 011/LW, Danrem 012/TU, dan yang terkait lainnya.



Bab 09-1: NESTAPA KAUM MUSLIMIN - Modus Operandi (2)
31. Pembantaian Besar besaran Seperti Membunuh Hama
Dari jumlah sementara laporan “orang hilang”, tindak kekerasan, dan sejenisnya yang dilaporkan masyarakat di Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur hingga 27 Juli 1998 yang mencapai puluhan ribu seperti jumlah hama saja layaknya. Terdapat fakta yang cukup menggugah. Kasus “mati tak wajar” di daerah ini mayoritas terjadi tahun 1990 1991. Selama dua tahun itu telah terjadi pembantaian besar besaran di daerah “Serambi Mekah” ini.10 Di Pidie dari jumlah 375 kasus, sedikitnya 102 jiwa ditemukan telah menjadi mayat. Dan, dari jumlah 102 ini, sekitar 80 persen diantaranya adalah kasus yang terjadi tahun 1990 1991. Untuk kasus “orang hilang” yang di DPRD Pidie mencapai 131 kasus, 60 persen diculik antara 1990 1991. Pelaku pembunuhan—maupun kasus kasus “orang hilang” dan tindak kekerasan lainnya di Pidie diperkirakan lebih 95 persen kasus, diduga—dan menurut keterangan saksi dan keluarga— pelaku penembakan dilakukan oleh oknum ABRI.
Sebaliknya di Aceh Utara, seperti pengakuan Ketua DPRD Aceh Utara Mas Tarmansyah, sehari sebelumnya, bahwa 60 persen kasus “orang hilang” dan tindak kekerasan yang terdata di DPRD Aceh Utara diakuinya dilakukan oknum ABRI, dan 40 persen didalangi GPK. Di antara kasus kasus kematian di Pidie, sejumlah pelapor mengaku cukup mengenali pelaku penculik atau setidak tempat tugas penculik.

32. Nyaris Menyerupai Siksa Kubur oleh Malaikat Berbaju Loreng11
M Saleh Pakeh (32), warga Desa Lengkok, Sakti, pada tahun 1990 disiksa di PS Tangse dan PS Kota Bakti. Ditahan 24 hari, disetrum, dipukul dengan balok sampai berdarah, dan pernah diobati PMI. Kini mengalami cacat dan penuh bekas luka di badan.

33. Disekap Terpencar, Korban Penculikan 1998 Ternyata Masih Hidup
Sebagian korban penculikan pada tahun 1998 ternyata dikabarkan masih hidup, dan kini disekap dalam tahanan yang tersebar di beberapa tempat secara tersembunyi. Karenanya, petugas dari Detasemen Polisi Militer (POM) diminta segera melacak dan menyelamatkan korban. Di antara beberapa laporan masyarakat maupun hasil pelacakan anggota Komite untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Pidie, diduga—beberapa terlihat nyata—sebagian korban penculikan itu masih hidup. Belum “dihabisi” semua seperti disinyalir banyak pihak.12 T. Syamsul Ali dan Awaluddin dari Kontras Pidie yang mengaku selama ini ikut “memata matai” beberapa Pos Sattis sekaligus menjaring informasi dari warga sekitar, mengatakan ada dua korban penculikan 1998 disekap di kawasan Padangtiji. Beberapa sudah dipindahkan ke Rancung, Lhokseumawe. Karenanya, mereka sangat berharap petugas dari POM dapat melacak sekaligus menyelamatkan para korban itu. Informasi apalagi yang dibutuhkan petugas? Apa perlu masyarakat disuruh menggerebek ramai ramai—yang justru merupakan tindakan melanggar hukum. Salah seorang korban dipergoki masih hidup di Pos Sattis Tringgadeng. Tahanan itu nampaknya sakit sakitan, mungkin sudah lumpuh. Warga yang tak bersedia ditulis namanya ini mengaku sering bertandang ke Pos itu karena “terlanjur” berteman dengan anggota Kopassus setempat.

Sejumlah warga di sekitar Rumoh Geudong, Teupin Raya, menginfor-masikan bahwa ketika Tim Pencari Fakta (TPF) DPR RI berkunjung ke Rumoh Geudong, sebagian tahanan sudah lebih dulu diungsikan ke beberapa tempat. Ada yang ditampung sementara di rumah penduduk di Glumpang Tiga maupun yang dipindahkan ke Pos Sattis lain di Pidie. Begitu TPF berangkat, tahanan pun dimasukkan lagi ke rumah besar yang dikenal sebagai “camp” penyiksaan itu. Lainnya tetap ditempatkan di Pos Sattis yang tersebar di Pidie. Namun, dalam keterangannya kepada TPF DPR RI, Danpos Sattis Bilie Aron Lettu Sutarman mengatakan sejak ia bertugas di Rumoh Geudong, 14 Mei 1998, tak satu orang pun ditahan di situ. Pengakuan ini ternyata tak mendapat dukungan dari sejumlah korban penyiksaan di Rumoh Geudong. Kepada DPRD Pidie, mereka melaporkan bahwa sebagian mereka ada yang dibebaskan pada sepan-jang Juni 1998.

Menurut T. Syamsul dan Awaluddin, aksi mereka melacak tempat penyekapan korban penculikan di beberapa tempat selama ini tak jarang dibantu informasi dari keluarga korban. Dalam sepekan terakhir, para keluarga korban—terutama kasus penculikan 1998—tampak cukup bersemangat melacak jejak korban “orang hilang” itu. Bahkan kepada Dubes Australia Jonh McCarty dan rombongan yang berkunjung ke Glumpang Tiga, pun sempat dimintai bantuan mencari korban. “Tolonglah, Pak. Dimana anak saya? Katanya di Rancung, Pak. Tolong disuruh kembalikan anak saya,” pinta Rosmawati, warga Blang Malu, Mutiara, menghiba iba. Ibu dari Zufikar Fathul Ali yang diculik 26 Maret 1998 itu tak peduli meski dikatakan bahwa kedatangan Pak Dubes bermisi sosial ekonomi.

34. Rumoh Geudong (Rumah Aceh) Dibakar
Laporan “orang hilang” maupun pelanggaran HAM lainnya, terma-suk rumah yang sengaja dibakar oknum yang tercatat di DPRD Pidie sampai tanggal 20 Juli 1998 mencapai 261 kasus. Hari itu saja jumlah pelapor sampai 50 orang. Yang menarik, di antara rombongan pelapor terdapat keluarga dari Hamid Itam (45), pegawai Setwilda Pidie, korban penculikan dan penembakan—diduga oleh oknum aparat—pada 1996 lalu. Kasus ini pernah diusut, tapi kemudian “dipending” oleh Polda Aceh. “Kami berharap, DPRD mau memperjuangkan supaya kasus ini diangkat lagi dan ditindak lanjuti,” pinta adik kandung Hamid, Usman Itam (40) kepada anggota Komisi A DPRD Pidie. Usman lalu menceritakan kronologis penangkapan dan penganiayaan sampai abangnya meninggal di sebuah rumah di Kota Sigli, baru mayatnya “dibuang” ke Gunung Geurutee, Aceh Barat. Dari laporan tambahan yang kini mencapai jumlah 261, baik kasus “orang hilang”, “mati tak wajar”, penganiayaan, dan lain lain semuanya bertambah. Sedikitnya 31 rumah—mayoritas jenis rumoh Aceh—di daerah itu telah dengan sengaja dibakar oleh oknum aparat.13 Alasan pembakaran umumnya karena penghuni rumah tidak bisa menunjukkan dimana orang yang dicari petugas. Tapi, anehnya, dalam beberapa kasus, rumah dibakar justru setelah “orang yang dicari” sudah ditemukan lalu dibawa. Akibatnya, istri maupun para anak yatim yang ditinggal, tidak hanya kehilangan suami/ayah tetapi sekaligus kehilangan tempat tinggal. Para janda umumnya terpaksa menumpang di rumah keluarga atau kerabat di desa tersebut. Atau pulang ke rumah orangtua/mertua. “Kami minta pemerintah mengganti rumah kami yang dibakar,” pinta Puteh Di (60), warga Cot Kunyet, Padang Tiji. Menurut-nya, setelah suaminya ditembak dan meninggal pada 1991, sang penem-bak lalu membakar rumahnya serta rumah anaknya (berdampingan). Tak cukup puas, para oknum itu juga kembali mengambil Basri (35), anaknya itu, pada November 1992 dan sampai sekarang belum dikem-balikan. Sejak itulah, kata Puteh, ia tidak hanya harus menanggung ma-kan anak anak dan cucunya, tapi juga membuat “gubuk” darurat untuk tempat tinggal dua keluarga itu di desa setempat. Mengingat banyaknya permohonan mengganti rumah inilah, DPRD Pidie mengharapkan Pemda Pidie segera memikirkan upaya pengadaan rumah bagi masyara-kat yang kini berstatus “tunawisma” itu. “Pemda harus bertanggung jawab,” kata Teungku Yunus Cut, sekretaris Komisi A DPRD Pidie. Salah satu saran yang diusulkan DPRD, sebaiknya kayu kayu curian hasil tangkapan Dinas Kehutanan setempat nantinya tidak lagi dilelang. Melainkan dapat dimanfaatkan untuk membangun rumah sederhana bagi para “tunawisma” itu. Apalagi mengingat sebagian besar mereka umumnya janda dan anak yatim yang logikanya sulit membangun rumah sendiri. Karenanya, Dishut Pidie diharapkan lebih berperan, sehingga pengawasan hutan dapat diperketat disamping pengadaan rumah korban operasi militer itu pun dapat segera terwujud. Korban pembakaran rumah yang umumnya terjadi antara tahun 1990 1998 diantaranya rumah Nurmala Sulaiman (35) di Beureueh, Teungku Alibasyah Amin (30) di Desa Sinbe, Abdurrahman M Ali di Gumpueng, ketiganya di Kecamatan Mutiara. Di Kecamatan Tringgadeng Panteraja meliputi rumah M Rafi Sulaiman (36) di Panton Raya, Salamah (80) di Panton Raya, Cut Ali Rani (52) di Dayah Teumanah, Ibrahim Asyik (63) di Dayah Teumanah, M Abbas Rasyid (67) di Tamphoi Panton, Usman Hamzah (50) di Tamphoi, dan Khatijah di Dayah Teumanah. Di Kembang Tanjong, terdiri dari rumah Rasyidah/Abdul Yunus di Pasi Lhok, Syahbuddin/Nurmala di Pasi Lhok, Ummi Kalsum di Lancang, Ilyas Ahmad/Maimunah di Lancang, dan rumah Maryani Umar. Di Glumpang Tiga, rumah Safiah (46) di Cot Tunong, Madinah Abdullah (60) di Amud Masjid, Rosdini (38) di Desa Kupula, dan beberapa lainnya. Rumah Puteh Di (60) di Cot Kunyet, dan Basri (35) di Cot Kunyet, keduanya di Padang Tiji juga menjadi korban pembakaran oleh petugas yang disaksikan warga setempat. Di Kecamatan Delima, rumah dibakar baru dilaporkan milik Burhanuddin Usman (40) di Cirih Blang Mee.

35. Sudah Menjadi Korban pun Masih Diteror
Menurut catatan, salah seorang korban perkosaan, Nyak Maneh Abdullah (35) beberapa hari lalu juga sempat mendapat teror dari seorang cuak yang diduga atas suruhan para oknum Kopassus. Waktu itu, rumah Nyak Maneh di Desa Rinti, Mutiara, sempat didatangi sejumlah oknum dengan mobil. Hanya satu orang—TPO alias cuak di Rumoh Geudong bernama Is alias R—yang turun menjumpai Nyak Maneh. Para oknum aparat menunggu di mobil. Nyak Maneh ditanya, siapa yang menyuruh lapor lapor ke DPRD. Jawabnya, ia sendiri yang lapor, karena banyak orang kampung sudah lapor dan ia tidak takut lagi sekarang. R menanya-kan beberapa pertanyaan lagi dengan nada mengancam. Belakangan diketahuinya, ternyata Kepala Desa (Kades) Rinti setempat juga sudah lebih dulu diinterogasi oleh beberapa oknum aparat yang cukup dikenal oleh Pak Keuchiek. Nyak Maneh memang tidak diapa apakan, tapi ia merasa takut juga, dan beberapa malam ia tidak tidur di rumah.

Pasi Intel Kodim 0102 Pidie Letda Inf Suyanto menegaskan apabila memang ada pelapor yang diteror atau sekadar ditanyai demikian, dipersi-lakan melapor ke Kodim 0102 Pidie. Suyanto tetap menjamin keamanan setiap pelapor dan tak perlu takut, seperti ketika ia—mewakili Dandim— menegaskan hal itu di hadapan TPF DPR RI di Sigli. Tegas Suyanto, kalau yang meneror itu oknum aparat, sebaiknya kenali nama, dari pos mana, kalau perlu pangkatnya apa, supaya gampang dipanggil.

Sejumlah Pos Sattis (PS) di Pidie, sudah mulai kosong. PS Padangtiji, PS Bilie Aron, PS Kota Bakti, PS Jiem jiem, dan PS Pintu I Tiro, terlihat berkemas kemas berangkat menuju Lhokseumawe. Malah dikabarkan, penghuni PS Tringgadeng dan PS Ulee Glee sudah lebih dulu minggat.

Keberangkatan anggota pasukan elite itu disambut gembira oleh masya-rakat. Begitupun, banyak warga yang menyaksikan kepergiaan mereka dengan tatapan sinis. Seperti yang terjadi di PS Bilie Aron. Warga sekitar Rumoh Geudong dari balik pagar melihat kepergian “para oknum” itu dengan sinis. Sebagian mengumpat, dan sebagian mengucapkan syukur. “Bagaimana tidak bersyukur. Kami sudah tak sanggup lagi mendengar dan menyaksikan orang orang disiksa di Rumoh Geudong itu. Kalau malam, tidur kami sering terganggu karena mendengar jeritan jeritan orang yang disiksa. Atau mendengar lagu lagu dari tape yang diputar keras keras waktu penyiksaan,” tutur seorang warga Desa Aron. Bahkan, setelah berangkat para oknum itu pun ternyata masih meninggalkan sebentuk penderitaan lain.

Menurut anggota keluarga pemilik Rumoh Geudong, oknum Kopassus itu meninggalkan hutang jutaan rupiah. Bayangkan, enam bulan rekening telepon belum dibayar. Mereka menyuruh masyarakat untuk menagih pembayarannya kepada bupati. Menurut catatan, tak sedikit Pemda Pidie mengeluarkan dana untuk biaya operasional Kopassus, termasuk reke-ning telepon, listrik, sewa rumah, kendaraan, dan sebagainya selama DOM. Sumber di Setwilda Pidie menyebutkan, tunggakan telepon di Mess Kopassus di Blang Asan yang mencapai Rp 7 juta tahun 1997 lalu pun sampai sekarang belum lunas. Ditambah lagi rekening telepon di tujuh Pos Sattis lainnya.

36. Hilang tak Berbekas Setelah Dijemput Petugas 8 Tahun Lalu
Kasus kehilangan Apa Don, penduduk Jalan Sukaramai Lhokseu-mawe, akhirnya diadukan isteri bersama dua putrinya ke DPRD Aceh Utara. Kepada anggota Komisi A, keluarganya mengungkapkan, Apa Don yang bernama asli Zulkifli itu hilang tak berbekas hampir delapan tahun sejak dijemput lima oknum petugas, di kediamannya, 3 Nopember 1990.15 Menurut isterinya, Ely Zohra (45) yang didampingi dua putrinya, Dewi dan Fifi, kepada anggota Komisi A DPRD setempat, Apa Don dijemput oknum petugas tersebut dengan menggunakan mobil Taft sekitar pukul 21.20 WIB. Para penjemput, dilaporkan, tidak bersedia menjelaskan ke mana Apa Don hendak dibawa. Karena sampai Minggu sore tak kembali, tutur Ely Zohra, ia melaporkan kasus penjemputan misterius itu ke Kodim Aceh Utara dan Korem 011/Lilawangsa. Kedua institusi militer tersebut, katanya, juga tidak dapat memberikan informasi tentang ke mana raibnya Apa Don.

Ketua DPRD Aceh Utara, H. Mas Tarmansyah, membenarkan Komisi A yang menangani pelaporan orang hilang telah menerima pengaduan dari keluarga Apa Don. Sejauh itu, ia belum bisa memastikan apakah Apa Don dijemput oknum petugas atau anggota GPK. Namun, menurut isterinya kepada anggota Komisi A, penjemput diduga oknum petugas. Baik Ely Zohra maupun kedua putrinya yang datang mengadu ke DPRD mengaku meski suami dan ayahnya telah hampir delapan tahun hilang, namun hingga saat ini mereka belum bisa melupakan peristiwa itu. Karena kehilangan kepala keluarga mereka itu tak berbekas dan sangat misterius. Sampai sekarang Dewi masih bertanya tanya, apakah ayahnya sudah meninggal atau masih hidup.

Kepada Anggota Komisi A yang hadir, antara lain Ketua Komisi Letkol CPM Anwar AS, Sofyan Ali, Zulfan Adamy, dan Sekretaris Komisi, Agustiar, ketiga anggota keluarga Apa Don meminta kasus kehilangan suami dan ayah mereka itu dapat diusut dan diungkapkan. Sehingga mereka sekeluarga bisa hidup tenang dan tidak trauma setiap kedatangan tamu ke rumahnya. Apa Don yang bertubuh gempal dikenal luas di Kota Lhokseumawe. Selain seorang pengusaha, ia juga dikenal sebagai “orang kaki lima” karena pergaulannya yang luas.

37. Korban Ditembak, Lalu Dipotong Tangan
Forum Peduli Hak Azasi Manusia (FP HAM) Aceh bersama para sukarelawannya akan menelusuri desa desa pedalaman di Aceh untuk menampung pengaduan masyarakat terhadap kasus kasus pelanggaran HAM, sekaligus melakukan investigasi secara objektif, yang berkaitan dengan operasi militer selama beberapa tahun terakhir, kata Ir. H. Abdul Gani Nurdin.16 Ketua Pelaksana Harian FP HAM Aceh menjelaskan, kegiatan pendataan yang dilakukan 27-30 Juli 1998 di Ulee Gle (Pidie), Pantonlabu (Aceh Utara), dan Peureulak (Aceh Timur) baru merupakan langkah awal. Abdul Gani menjelaskan itu karena menilai masih banyak korban atau keluarganya—terutama dari desa desa pedalaman—yang belum berkesempatan mengadu.

Pengaduan pelanggaran HAM yang sempat tertampung pada “pos” FP HAM di Masjid Raya Pase, Pantonlabu, adalah 80 persen datang dari desa pedalaman. Mereka memberitahukan pada tim FP HAM bahwa masih banyak keluarga korban belum sempat datang, karena kesulitan dana transportasi. Padahal, mereka ingin mengadukan suami dan anaknya yang hilang. Selain laporan keluarga korban, FP-HAM Aceh banyak juga menerima masukan dari tokoh ulama dan masyarakat di berbagai kecamatan menyangkut sikap oknum aparat yang bertindak di luar aturan hukum yang berlaku. Bahkan, polisi terkesan tidak berfungsi lagi.

Ketua FP HAM Aceh Ir H Abdul Gani Nurdin mengatakan, kala timnya berada di Masjid Raya Pase, beberapa tokoh daerah itu melaporkan pula peristiwa mengerikan di Desa Lueng Sa, Kecamatan Simpang Ulim, Aceh Timur. Dua warga desa itu, yakni Sarjani Ibrahim (35) penduduk Lueng Sa dan Teungku Imum Budiman (50) penduduk Lueng Dua, dilaporkan ditembak di lapangan bola Sinar Agung. Menurut laporan yang diterima FP HAM lewat tokoh di Pantonlabu, bertepatan pada 17 bulan Ramadhan 1991, sekitar pukul 10.30 WIB, para penculik menang-kap kedua korban. Dengan mata tertutup kain hitam, tangan diborgol dibawa ke lapangan bola, kemudian menyuruh warga desa datang ke lapangan untuk menyaksikan tragedi itu, termasuk diantaranya Teungku Ibrahim, ayah Sarjani.17 Setelah warga berkumpul sekitar 350 orang, dua korban yang sebelumnya telah disiksa, serta diikat pada tiang gawang dan kemudian dihukum dangan tembakan tanpa proses pengadilan. Sarjani yang saat itu baru lima bulan kawin dengan Mardiana—bahkan isterinya sedang hamil tiga bulan—“dihadiahkan” dua peluru yang bersarang di bagian kepala. Sedangkan Teungku Imam Budiman, dilapor-kan, hanya satu peluru juga bersarang di bagian kepala yang membuat kondisi fisik korban robek. Masyarakat dipaksa untuk melihat ketika korban ditembak. Kalau tidak, mereka kena pukul dari penculik. Sehingga semua warga jelas melihat kedua korban jatuh tersungkur serta darah segar membasahi tiang gawang.

Tindakan oknum penculik yang terlatih tersebut, menurut tokoh tadi, tidak hanya sesadis itu. Tapi, Sarjani—kiper Poraja Pantonlabu yang pernah mewakili Aceh ke Jambi tahun 1980 an—itu setelah ditembak dua peluru, kedua tangannya dipotong supaya bisa melepaskan borgol di tangannya. Kemudian oknum itu menyuruh warga menanam mayat Sarjani tanpa dimandikan. Dilaporkan, beberapa tokoh di sana merenca-nakan kedua jenazah korban akan dimandikan sesuai dengan ajaran Islam. Namun, penculik yang bersikap kasar itu membentak masyarakat agar tidak perlu dimandikan. “Tanam saja bangkai itu. Untuk apa dimandikan,” ungkap tokoh pelapor itu kepada tim FP HAM mengutip ucapan sang oknum pada waktu itu.

Dengan adanya masukan tersebut, tim FP HAM akan turun ke berba-gai desa termasuk ke kawasan Lueng Sa, di mana kedua korban itu diekse-kusi di lapangan bola serta disaksikan ayahnya dan masyarakat lain. Berdasarkan fakta fakta yang diperoleh pihak FP HAM, sebagian besar para korban penculikan dan pembunuhan diyakini bukanlah orang yang bersalah. Buktinya, para korban kebanyakan dijemput di rumah. Bahkan ada yang sedang makan dengan keluarganya. Berani karena benar, takut karena salah. Kalau korban orang yang bersalah tidak akan berani berkumpul dengan keluarga, apalagi duduk di warung kopi dan di pos siskamling. Apalagi korbannya ada yang berumur 50 s/d 70 tahun ikut diculik. Padahal fisik mereka sudah tidak berdaya lagi, apalagi ingin memberontak.

38. Ayah Diculik, Ibu telah Meninggal
Kehidupan Muhammad Yusuf (10), anak yatim piatu penduduk Trieng Pantang Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara tak ubah seperti ayam kehilangan induk.18 Bocah itu dipelihara neneknya Nuraini (50), semen-tara ayah dan ibunya sudah pergi menghadap khalik, kata Muhammad Yusuf. Pelajar kelas 3 SD Trieng Pantang itu kepada Ketua LBH Iskandar Muda Lhokseumawe, mengisahkan, bahwa kepergian ayahnya tidak dapat dibayangkan. Karena, kepergian ayahnya Mustafa (35) tidak sem-pat menitipkan pesan. Katanya, korban dijemput penculik di rumah kemudian dipukul babak belur di depan matanya di Desa Blang Talon Kecamatan Kuta Makmur.

Kala ayahnya diculik empat orang bersenjata lengkap, Yusuf tidak bisa berbuat banyak, kecuali menangis. Menurut bocah itu, ketika penculik membawa ayahnya, korban sambil berjalan mencoba melihat ke belakang, namun dilarang oleh penculik. Bahkan ayahnya dipukul dengan senjata serta ditendang. Kendati pukulan berbagai jurus menghinggap di tubuh ayahnya, namun ayahnya memaksa diri memandang ke arah keluarga-nya yang sedang berdiri menangis. Itu merupakan tatapan terakhir antara Yusuf dengan ayahnya. Setelah ayahnya diambil para penculik, Yusuf bersama ibunya, Antikah kembali ke Desa Trieng Pantang, karena di Buloh merasa tidak aman pada tahun 1990/91. Sekitar empat tahun setelah itu ibunya menyusul bapaknya, setelah menderita penyakit demam panas, setelah itu Yusuf dipelihara oleh nenek.

Sementara Direktur LBH Iskandar Muda Mohammad Yacob Hamzah SH mengatakan, pengaduan bocah tersebut merupakan pengaduan ke 320 kasus yang diterima LBH nya. Menurut Yacob, dalam aduan keluarga korban menceritakan berbagai kisah sedih, ada yang ditembak di depan matanya, setelah itu rumah dibakar dan isterinya diganggu dan hartanya dirampas. Sebagian keluarga korban sempat ditahan di kantor resmi aparat keamanan, kemudian baru menghilang entah kema-na. Malah ada keluarga korban ketika menanyakan ke camp penahanan, penculik langsung mengatakan, suami mereka sudah dibunuh.

Seperti diceritakan isteri Abdurrani, janda miskin penduduk Kecama-tan Matang Kuli, bahwa pada 19 Februari 1992 suaminya Abdul Rani (58) dijemput penculik. Korban ditembak yang ikut disaksikan anak dan isteri dan rumah dibakar serta sepeda motor diambil penculik dan tidak dikembalikan.

39. Dikencingi dan Disiksa
Teungku Nasir (tokoh masyarakat yang juga Komisaris PPP di Bulo Blangara, Kecamatan Kutamakmur Seorang Da’i) secara kronologis mela-porkan, ia bersama Is diundang ke kantor Koramil setempat dengan hanya memakai kain sarung. Lalu dibawa ke kantor Korem 011/LW. Di korem itulah ia ditanyai dimana Robert (tokoh GPK). Teungku Nasir juga ditanya di mana pimpin rapat GPK. Nasir mengingat ingat tidak pernah memim-pin rapat. Waktu itu ia sedang melatih anak anak musabaqah selama 10 hari, dan tidak pernah keluar. Saat itulah Nasir tidak dibenarkan shalat dan dipukuli dengan bruti hingga paha Nasir patah (sambil menunjukkan pahanya). Orang orang yang menyiksa Teungku Nasir itu, katanya, masih ada. Ia mengenal, mereka hadir dalam acara ini.

Teungku Nasir dipukul dengan bruti hingga jatuh, dan tidak bisa bangun. Karena tidak bisa bergerak lagi, ia diinjak injak. Saking sakitnya keluar berak. Setelah itu ia ditarik ke dalam kamar, dan ia minta mandi. Namun mereka mengencingi kepalanya. Setiap diinterograsi, ia ditandu. Sekian lama Nasir disiksa, kemudian dikembalikan ke kampung melalui Muspika. Selama 6 bulan wajib lapor ke kantor Koramil Kutamakmur, dan setiap minggu gotong royong di kantor Koramil dan sering dipukuli oleh anggota di sana. Sejak itulah ia berobat ke Bireuen dan tinggal di Dayah Abu Tumin Blang Bladeh selama 6 tahun. Melalui Abu Tumin saya tidak lagi diancam. Dikatakan ia dilepas, karena sudah ditemukan Nasir lain yang mereka cari. Ketika bertemu Dandim dan Nasir waktu itu menjadi khatib Jumat di Buloh Blangara, beliau menasehati anggap itulah cobaan dari Allah.

Yusuf Ismail Pase SH (mewakili, ketua KONTRAS Cabang Aceh) mempertanyakan niat anggota TPF yang selama di Aceh Utara lebih banyak bertemu dengan pejabat, dibandingkan turun ke lapangan. Acara pertemuan di DPRD itu sangat protokoler dan terkesan direkayasa, nilai Yusuf Ismail Pase. Ismail menunjukkan contoh penderitaan rakyat Aceh akibat DOM. Sambil menangis, ia menunjukkan seorang anak yatim piatu M Yusuf (12) anak Mustafa yang dianiaya tentara di depan matanya. Bayangkan, bagaimana kalau itu anak atau keluarga Bapak. Bagaimana pukulan mental akibat kekejian aparat keamanan itu.

Menurut Yusuf, operasi militer telah memberikan pukulan berat bagi rakyat, ketakutan sepanjang hidup mereka. Mereka sangat takut pada ABRI. Jangankan itu, asal baju loreng tampak, rakyat sudah ketakutan, meskipun itu Pemuda Pancasila. Siapa lagi yang akan diambil. Apa ada perselisihan dengan Pak Kecik, toke pulan, warung kopi, atau pengusaha diskotek, karaoke? Itulah gambaran trauma yang dialami rakyat. Bukan orang saja yang dibunuh karena diduga tahu GPK, tapi juga harta mereka. Buktinya adalah SNTK kendaraan. Kalau orangnya GPK, apakah rumah dan kendaraannya juga GPK.

Rakyat ketakutan atas intimidasi yang dilakukan aparat ABRI. Rakyat Aceh sendiri merasakan, dalam perjuangan reformasi ini saja mereka diintai, diancam dan tidak merasa aman. Untuk itu tidak tepat lagi, DOM ada di Aceh. Aceh ini sangat setia, tidak ada niat bagi rakyat untuk memisahkan diri. Itu sejarah,—telah membuktikan Aceh setia, dan menjadi modal bangsa tercinta ini. Bukan Indonesia yang menarik Aceh menjadi bagian Republik ini, tapi Aceh menggabungkan diri kepada Indonesia.

40. Disalib
Beuransah (55) penduduk Blangbladeh, Kecamatan Jeumpa Bireuen, mengaku korban keganasan militer yang lolos dari maut. Perut Beuransah memperlihatkan bekas tembakan karena ditembak ABRI. Ia ditembak di sebuah gubuk ketika pulang dari ladangnya. Di gubuk itu, kebetulan ada 9 orang lain. Dari 10 orang itu, cuma dia yang selamat, sedang 9 orang yang lain mati kena tembak. Kemudian mereka dilemparkan ke dalam sumur. Lalu sumur itu ditimbun dengan batu dan batang batang pisang. Karena tak mati ia mengaku dibawa pulang oleh tentara yang menembaknya untuk diobati. Setelah sembuh, dia dibawa ke sebuah markas militer yang tidak diketahui di mana, karena matanya ditutup kain. Lalu, dia diperiksa dengan penyiksaan penyiksaan. Kedua tangan-nya diikat pada dinding seperti orang disalib.

41. Kulit Kepala Dikelupas
Dua anak manusia bernama Yusuf, tanggal 30 Juli 1998, menjadi tokoh peremuk kekerasan hati ratusan masyarakat Aceh Utara ketika secara gamblang keduanya mengungkapkan aksi penyiksaan dan penghi-langan manusia secara sadis oleh oknum aparat kepada TPF DPR RI, di Gedung DPRD setempat.19 Ungkapan duet Yusuf itu membuat semua yang hadir di ruang sidang DPRD sebagai tempat pertemuan, luruh dan menangis, tak terkecuali ketua dan anggota TPF serta Muspida Aceh Utara. Kedua Yusuf itu adalah Yusuf Ismail Pase SH dan Yusuf M Jafar, anak yatim berusia 12 tahun yang mengaku menyaksikan langsung proses penyiksaan dan penghilangan ayahnya, M Jafar, oleh aparat. Ketika Yusuf Ismail Pase, aktivis Walhi dan pengacara praktik di Lhokseu-mawe mengungkapkan tragedi penyiksaan aparat terhadap M Jafar, penduduk Trieng Pantang, Kecamatan Tanah Luas, seraya mengangkat putra korban, Yusuf, dari tempat duduknya, masyarakat yang memadati ruang sidang DPRD bagaikan dikomando larut dalam kesedihan dan menitikkan air mata.
Kesedihan semakin kompleks ketika Yusuf menceritakan episode demi episode penyiksaan ayahnya yang dia persaksikan dalam bahasa Aceh. Ayahnya diambil tentara ketika sedang makan. Ia ditinju dan ditendang. Kemudian kepalanya dipukul dengan popor senjata hingga kulit kepala-nya sobek. Selanjutnya, kulit kepala itu dikelupas dengan tangan oleh seorang tentara dan ditarik ke belakang. Kepala yang sudah tak berkulit itu pun masih dipukuli. Ayahnya terjerembab, kemudian diambil dan dicampakkan ke mobil. Apakah ayahnya bangkai sehingga dibuang seperti itu. Ungkapan cerita penyiksaan tahun 1992 dari saksi hidup itu tak ayal memancing kepiluan mendalam pada diri setiap masyarakat yang hadir di gedung DPRD.

42. Diperlakukan Seperti Bangkai Kucing Kurap
Bocah bernama M. Yusuf (12), menjadi tokoh peremuk kekerasan hati ratusan masyarakat Aceh Utara ketika menceritakan kepahitan dan kepedihan hatinya saat ayahnya dipukul dan diculik oleh aparat ber-senjata.20 Hingga saat ini, ia mengaku tidak tahu ke mana ayahnya dibawa. Apakah masih hidup atau sudah mati, tak jelas. Sambil mengu-sap air bening yang mengucur dari matanya yang cekung, Yusuf dengan bicara sesedukan menceritakan kesaksiannya terhadap penganiayaan ayahnya M. Jakfar di depan rumah mereka desa Buloh, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara, tahun 1990. Ayahnya diambil oleh tentara, dipukul, disepak, dan dihantam dengan bedil di kepala sampai kulit kepala koyak dan ditarik ke belakang, kemudian dilempar ke mobil. Itu baru sepotong dari cerita penderitaan Yusuf yang kini terpaksa diasuh makcik-nya dan menyekolahkan hingga saat ini duduk di kelas III SD. Ibunya sendiri, Atikah sejak itu sakit sakitan akibat tidak sanggup mengenang tragedi yang sangat sadis terhadap suaminya, M. Jafkar. Sekitar empat tahun kemudian ibunya pun meninggal menyusul ayah mereka sudah pulang ke desa Trieng Pantang, Kecamatan Lhoksukon.
Cerita M. Yusuf, malam itu ia bersama kedua orang tuanya sedang makan dalam rumah mereka. Pintu depan diketok dan setelah dibuka oleh ayahnya, langsung empat orang bersenjata (tentara, menurut M Yusuf) meninju dan menendangnya, lalu memukul dengan popor senjata di kepala korban berkali kali hingga kulit kepalanya sobek, dan seorang tentara menyobek kulit kepala korban. Ayahnya waktu itu jatuh dan diinjak lagi, kemudian dipukul lagi hingga kemudian diseret dan dilempar ke dalam mobil (tidak tahu jenis mobil itu). Yusuf dan ibunya hanya menangis dan ketakutan sekali. Ayahnya dibantai tentara. Saat itu, ayahnya hanya bisa berkata “bantu”, dan Yusuf kecil pun hanya mampu meraung raung. Sedangkan nasi yang masih tersisa dalam piring tidak sanggup lagi mereka kunyah. Malam itu ia tidak tidur dan menangis memikirkan ayah yang sudah dibawa dalam mobil. Ayahnya dilempar begitu saja seperti bangkai. Namun ketika dibawa, ayahnya masih tampak bergerak dan mencoba menoleh ke belakang, namun kepala ayahnya dipegang penculik. Bocah Yusuf mengaku sangat kehilangan dan selalu menangis ketika mengingat peristiwa itu. Sebab ayahnya, sangat akrab dengan putra tunggal tersebut. Ayahnya juga secara rutin jika pulang ke rumah selalu membawa kue untuk Yusuf kecil, dan membawanya ke kedai pada hari tertentu. “Jino hana le ayah lon, hanale mak, hanale tempat lon tinggai,”21 tutur bocah malang itu.
Penderitaan M. Yusuf, anak tunggal korban Jakfar dan Atikah itu mungkin tidak seberapa jika saja ayahnya tidak dibantai di depan matanya sendiri. M Yusuf adalah sebuah potret tanpa bingkai tentang nasib anak anak yang malang dari sebuah produk yang mengatas-namakan sebuah “kesetiaan dan cinta rakyat”. Namun telah menimbul-kan kekejaman tanpa ampun dan kesengsaraan tanpa ujung.

43. Gara gara Utang
Lain lagi nasib Iskandar (30) warga Desa Beuringen Kecamatan Meurah Mulia, Aceh Utara. Sebagaimana diadukan oleh isterinya ke LSM YAPDA, gara gara belum melunasi utang Rp 800.000 kepada sese-orang, dua pria tak dikenal—seorang berambut pendek, seorang lagi gondrong—pada suatu hari tahun 1997 menjemputnya di rumah dan belum kembali. Dari 354 pengaduan orang hilang dan pelanggaran HAM lainnya yang telah diterima LBH Iskandar Muda, Lhokseumawe, setidak-nya tercatat 15 kasus yang dibarengi dengan pembakaran rumah korban. Diantara korban pembakaran rumah itu, ada yang diculik hingga belum dikembalikan. Ada pula yang hanya dibakar rumah dengan tuduhan sebagai tempat persembunyian GPK, tapi pemiliknya tak diculik. Kasus pembakaran rumah itu berlangsung antara tahun 1989 1991. Pelapor ke LBH Iskandar Muda yang mengadukan sebagai korban pembakaran rumah, antara lain; Abd Salam (43) desa Beuringen Kecamatan Meurah Mulia. Ketika rumahnya dibakar tanggal 24 Juli 1990 sekitar pukul 12.00, ia tidak berada di rumah. Setelah membakar rumah, aparat mencari Abd Salam. Setelah tertangkap, ia mengaku diinterogasi sambil dianiaya di kantor Koramil Jungka Gajah selama dua hari dua malam. Kemudian ia mengaku dilepas.

Korban lain yang mengadukan pembakaran rumah adalah; Asnawi-yah (28) desa Arongan Abe, Lhoksukon. Maimunah (45) desa Matang Rubek, Tanah Jamboaye. Ibrahim Din (53) desa Matang Raya, Tanah Jamboaye. Jalil Taleb (62) desa Bantayan, Tanah Jamboaye. Yusuf Abdur-rahman (62) desa Keude Tambue, Samalanga. Ismail Abubakar (27) desa Matang Teungoh, Tanah Jamboaye. Teungku A Rahman Mahmudi (46) desa Tambue, Samalanga. Asniati (30) desa Cot Geulumpang Baroh, Jeunib. M Affan Ishak (49) desa Garot, Jeunib. Nursiah (60) desa Simpang Kramat, Kutamakmur. Nurmina (42) desa Cot Geulumpang Baroh, Jeunib. Khadijah Puteh (55) desa Awe Dua, Tanah Jamboaye. Salbiah (37) desa Teupin, Syamtalira Bayu. Zulbahri (40) desa Ulee Gunong, Lhoksukon.

44. Banyak Mayat Korban DOM yang Dibuang
Korban “orang buangan” di Beunot Bayu yang tewas akibat ditabrak mobil, yang tergeletak di kamar jenazah RSU Lhokseumawe sejak 17 Agustus 1998 dikuburkan secara Islam atas inisiatif pimpinan RSU karena dikuatirkan akan membusuk. Tak seorang pun masyarakat atau yang mengaku keluarga korban dan mengenali mayat itu. Syukri, Kabag Tata Usaha RSU Lhokseumawe mengatakan tidak mungkin lagi menyimpan terus mayat yang mulai membusuk itu di kamar jenazah RSU. Karena itu pimpinan RSU minta dilakukan penguburan dan semua biayanya mencapai Rp.300.000 menjadi beban RSU. Prosesi mayat tersebut dan penguburannya di kawasan pekuburan umum Kuta Blang dilakukan dengan bantuan masyarakat setempat atas permintaan pimpinan RSU.

Sementara itu Ketua LBH Yayasan Iskandar Muda dan Direktur Eksekutif LPLH (Lembaga Pembelaan Lingkungan Hidup) Lhokseumawe mengatakan mereka telah menyampaikan berita adanya orang yang ”dibuang” dari mobil, kepada sejumlah relawan LSM di Lho’seumawe dan juga kepada pihak kepolisian untuk membantu mencari tiga korban lagi yang kini tidak diketahui lagi keberadaannya. Kondisi fisik keempat pria “buangan” tanpa indentitas dan hanya bercelana dalam saja itu amat memprihatinkan. Penduduk Desa Beunot Bayu dan warga Gedong yang sempat menyaksikan peristiwa “misterius” itu melihat keempat korban bangkit dengan terhuyung huyung dari jalan dan kemudian berjalan tak tentu arah. Satu diantaranya ditolong warga Desa Beunot Bayu dan diberi makan dan tempat tidur, tapi ia melarikan diri karena takut dan akhirnya ditabrak mobil dan tewas.22 Seorang lagi sempat ditolong penduduk Gedong dan dilaporkan ke Polsek Samudra, namun setelah diberi makan oleh petugas Polsek, korban tersebut akhirnya diam diam lari meninggalkan Mapolsek.
Pada tanggal 18 Agustus 1998, pihak LBH dan LPLH mengerahkan sejumlah relawan LSM untuk mencari tiga korban tersebut, belum berhasil menemukannya. Mohammad Yacob Hamzah (LBH) dan Yusuf Ismail Pase (LPLH) Lhokseumawe mengimbau Kapolda Aceh dan seluruh Kapolres dijajarannya untuk memberi bantuan mencari tiga lagi korban yang dibuang dari sebuah mobil di jalan raya antara Bayu Geudong yang sampai sekarang tidak diketahui lagi keberadaannya. Kedua LSM tersebut menduga keras keempat orang yang dibuang itu adalah korban kejahatan penculikan atau korban “orang hilang” yang banyak dilaporkan oleh masyarakat Aceh Timur, Aceh Utara, dan Kabupaten Pidie dewasa ini. Seperti dilaporkan penduduk Desa Beunot Bayu dan warga Geudong, mereka melihat kondisi fisik korban amat lemah dan berjalan terhuyung huyung. Selain itu mereka juga senantiasa dalam ketakutan dan acap berteriak minta ampun jangan disiksa lagi. Seorang penduduk Beunot mengatakan setelah diberi makan, korban berteriak: “Jangan setrum saya, jangan pukul kepala saya dengan pistol, sakit sekali, dan jangan siksa lagi saya”.

45. Kepala Desa Disiksa, Dituduh Melindungi GPK
Lain lagi kisah M. Hasbi Yacob, korban yang saat itu sebagai Kades Bili Baro Kecamatan Matangkuli harus menjalani siksaan selama 32 hari di Posko Rancung Batuphat, milik PT Arun. Kejadian berawal 10 Juli 1990, ia bersama Sekdes M. Diah dibawa empat anggota tentara Yonif 125, hanya gara gara menanyakan kenapa warga desanya dipukuli mereka. Saat itu sebuah mobil colt tersangkut di jalan sosial, terlihat di dalamnya oknum ABRI dan terbaca simbolnya Yonif 125. Lalu tentara itu minta bantuan melalui Kades untuk menolak mobil mereka yang saat itu terkumpul sebanyak 35 pemuda desa ikut membantu. Tapi setelah itu, tanpa sebab petugas mengancam anak anak muda desa sambil memukuli mereka. Waktu itu Yacob mengingatkan supaya mereka jangan dipukuli, apalagi tidak bersalah. Saat itulah ia langsung diciduk dan dituduh bahwa semua warga desa itu GPK. Hari itu Hasbi (58) bersama Sekdes M. Diah disuruh buka pakaian ditelanjangi di depan warganya selama 1,5 jam. Baru kemudian mereka dinaikkan ke mobil menuju Posko Alue Lengkit. Sedangkan uang dalam saku celananya sebanyak Rp 1,2 juta hasil jualan jeruk juga diambil petugas.

Kemudian di tengah perjalanan, keduanya ditutup mata dengan baju mereka hingga diketahui sudah berada di Rancung. Di kawasan Rancung, keduanya dengan mata tertutup dan tangan diikat ke belakang dinaikkan ke dam truk. Kemudian bersama batu dan kayu yang ada di truk dituang ke dalam semak. Di semak itu pula dua anak bangsa itu dipukuli habis habisan secara beramai ramai. Tidak ingat lagi sakitnya mereka disiksa seperti anjing memperebutkan bangkai.

Di dalam barak penyiksaan itu, keduanya baru dibuka balut mata dan terlihat ada 13 orang tahanan lain yang juga kondisi mereka sangat menyedihkan. Setiap malam mereka dipukuli, dilempar ke dalam beling, disetrum listrik di kemaluan, dan dikasih makan dengan tulang ikan cirik diaduk dengan nasi yang banyaknya satu genggam, kalau lambat atau cepat ambil nasinya, langsung mereka disepak. M. Hasbi yang sampai saat ini alat vitalnya masih mengeluarkan darah akibat penyiksaan setrum listrik itu, tidak mampu membayangkan kesadisan petugas. Mereka kalau minta shalat, tidak dikasih, dan kalau baca fatihah besar besar, baraknya dihujami batu dari atas bubung.
Hasbi yang bernomer tahanan 98 itu ia disekap bersama 13 tahan lainnya, di antaranya Alamsyah (Kades Arongan Lhoksukon), Syahril (Kades Nibong), Ahmad Saidi (anggota Polsek Sungai Pauh Langsa), Usman (anggota Koramil Sumigo Raya A Timur), Ibrahim (warga Jrat Manyang), H. Manaf (Panton Labu), Ampon Ahmad (Jeunib), dan Ibrahim warga Penayang Lhokseumawe (masih hidup). Keuchik Hasbi setelah disiksa sebulan lebih, dipulangkan kembali ke Posko Alue Lenyit dan diserahkan kepada Koramil Matangkuli. Sementara jabatan Kades-nya sendiri sudah duluan dicopot oleh Camat Sadali Badai (saat ini pembantu Bupati Lhoksukon). Penyiksaan itu sangat perih karena dilaku-kan bangsa sendiri.

46. Kepala Dibacok, Perut Ditembak
TPF berkunjung ke beberapa lokasi kuburan massal di Aceh Utara dan Timur, satu diantaranya kuburan pedagang cabe. Pada lokasi itu mereka dapat keterangan tentang korban pembantaian oknum aparat keamanan, korban dikuburkan tanpa dikafani sesuai ajaran Islam, padahal, korbannya semua orang Islam. Kala TPF itu tiba di lokasi warga rame rame menunjukkan lokasi kuburan yang berada di Bukit Seuntang, Gudang Saismic di Kecamatan Lhoksukon Aceh Utara, Bukit Gantung Kecamatan Simpang Ulim dan Komplek PT Irwin, Kecamatan Julok Aceh Timur. Misalnya di Desa Paya Deumam Simpang Ulim, sekitar 20 an warga ikut menunjukkan lokasi pada TPF. Malah, gigi korban pembantaian aparat yang ditemukan dilokasi PT Irwin Julok ikut diambil visualnya oleh TPI.23
Warga mengungkapkan bahwa kuburan yang ada di desa tersebut merupakan kuburan Hasbi bin Usman (24) penduduk Kampung Baru, Kecamatan Peureulak Aceh Timur yang ditemukan di pinggir jalan 15 Maret 1991. Warga melihat mobil Taft mencampakkan mayat Hasbi, ketika petugas siskamling mendekat, pengemudi yang pangkas pendek mirip potongan ABRI mencoba menabrak warga, kemudian lari ke arah Langsa. Beberapa penduduk mengisahkan, bahwa korban belakangan diketahui Hasbi Usman asal Desa Kampung Baru Peureulak, menurut keluarganya korban dijemput aparat keamanan empat hari sebelumnya, kemudian ditemukan tewas mengenaskan, dibagian kepala bekas bacokan dan bagian perut bekas tembakan. Pemuda itu diketahui bekerja sebagai pedagang cabe di kawasan Peureulak yang sukses, bahkan berhasil membeli mobil dan banyak uang. Namun, ketika mayatnya ditemukan warga di Desa Paya Deumam, sementara hartanya baik mobil maupun uang tidak ditemukan warga dan diduga dibawa penculik.

Menurut Warga Paya Deumam, bukan hanya mayat Hasbi ditemu-kan di kawasan itu, tapi banyak mayat orang tak dikenal lain dibuang ke daerah itu, seperti di Matang Pudeng, Lhok Nibong, Madat dan beberapa lokasi lainnya dan dikuburkan warga setempat. Pada umumnya, kondisi fisik mayat banyak rusak dan bekas sayatan pisau, lubang bekas peluru dan bekas pukulan benda keras di bagian tubuh korban.

Lain lagi dilaporkan warga Aceh Utara yang santer disebutkan dengan terungkapnya “Misteri Bukit Tengkorak” di Blok C Tanah Merah, Kecamatan Tanah Jambo Aye. Ternyata, setelah diselidiki bukan banyak lokasi lain yang sebih seram dan mengerikan, seperti di Bukit Seuntang dan Gudang Saismic yang tidak berani didatangi warga. Korban keganasan oknum aparat keamanan tahun 1990 1993 sebelum dibuang ke Bukit Tengkorak, bukit Seuntang dan Gudang Saismic di Bukit Seuntang. Para korban mendapat penyiksaan di kamp oknum petugas keamanan persis di Desa Matang Ubi Lhoksukon, kilometer 307 308 bagian timur Banda Aceh. Bahwa para korban DOM setelah menerima penyiksaan di kamp Matang Ubi, korban dibawa ke tempat lain dan dibunuh, kalau istilah ABRI waktu itu “disekolahkan ke Sukabumi atau ke Balik Papan.”

Dalam kamp tersebut, tidak hanya disiksa, tapi juga dibunuh kemudian dikuburkan dalam komplek kantor PU Pengairan itu. Bahkan, sekitar dua ratus mayat berada di lokasi perkantoran itu yang ditanam di tiga lokasi, beberapa warga yang pernah mendapat perlakuan biadab oknum ABRI bersedia menunjukkan lokasinya. Di antara sekian banyak korban, terdapat mayat pengantin baru asal Peureulak Aceh Timur, pemuda yang baru dua bulan kawin itu ditangkap serta dibunuh aparat keamanan. Sekitar seminggu setelah korban dibunuh, isterinya yang tidak diketahui namanya datang menanyakan. Lantas oknum aparat yang tidak diketahui namanya itu menyuruh masuk ke dalam untuk diperte-mukan dengan suaminya. Tapi, sampai ke kamar korban diperkosa kemu-dian dibunuh dan ditanam di lokasi tersebut.

47. Bukit Seuntang dan Bukit Tengkorak Lainnya
Belum habis warga Aceh Utara digemparkan dengan penemuan ladang pembantaian “Bukit Tengkorak” di Blok C Seureukee, Kecamatan Tanah Jambo Aye, kini muncul informasi baru lokasi pembantaian di Bukit Seuntang.24 Kalau Bukit Tengkorak disebut sebut mencapai 200 korban, Bukit Seuntang pun tidak kalah seramnya, mungkin lebih dari itu, ujar beberapa penduduk di sana. Suasana di lokasi Bukit Seuntang tampak biasa biasa saja dipenuhi semak. Di dataran datar yang terlihat luas itu nampak beberapa lokasi lekukan tanah seperti bekas galian yang telah tertimbun. Di dekat sebuah bukit kecil yang belum ditumbuhi rumput nampak ada bekas galian. Di lokasi ini di duga banyak mayat ditanam.

Sebelumnya, di tempat itu pernah ada perkantoran PT Sak Nusantara (Sakna), kontraktor Jakarta yang kala itu membangun saluran irigasi teknis. Namun, sekitar tahun 1989 1993 bangunan itu dipakai sebagai kamp aparat keamanan menjalani bertugas memburu kelompok penga-cau liar. Lokasi Bukit Seuntang ini meski siang hari sudah nampak suasana mengerikan, menegakkan bulu kuduk bagi orang yang melihatnya.Sebab utmanya kawasan itu tampak sepi sekali. Tak ada penduduk yang berani ke lokasi itu, kecuali jika ada keperluan yang penting harus melewatinya. Malam hari kata penduduk setempat, suasana bagaikan mati. Hutan belukar penuh sepanjang jalan menuju lokasi itu menjadi kubangan babi di tengah jalan masuk ke sana. Rumah penduduk terdekat berjarak sekitar 500 meter dari lokasi Bukit Sentang. Ada sekitar delapan warga yang sempat ditemui dan mereka tidak mau bicara akibat rasa takut. Misalnya, seorang penduduk Bukit Seuntang, berkali kali minta maaf kalau bicara tentang Bukit Seuntang itu. Meski pun beberapa warga setempat mau mengatakan pernah melihat beberapa mayat dikuburkan di lokasi itu.

Penduduk sekitar lokasi mengaku, dulu malam hari sering mendengar letusan senjata diiringi jeritan dan raungan suara manusia. Bahkan kadang kadang bertubi tubi setiap malam ada letusan senjata dan jeritan manusia dari arah lokasi Bukit Seuntang itu. Orang orang di kantor perusahaan bangunan irigasi di lokasi itu pun hampir tiap malam mende-ngar letusan senjata di komplek itu. Setelah letusan itu terdengar bunyi mesin traktor (becho) dihidupkan dan keesokan harinya warga melihat ada timbunan atau lobang yang ditutup dengan onggokan tanah. Ketera-ngan beberapa penduduk menyebutkan bahwa di Desa Bukit Seuntang ada beberapa lokasi yang di diduga sebagai lokasi kuburan massal. Selain yang dekat dengan lokasi kantor PT Sakna, ada beberapa lubang lagi di Dusun Ujung Bayi komplek kantor Mobil Oil dan juga di Bukit Ujung Salam yang diduga ada enam lobang yang berisikan belasan mayat.

Para korban sebagian besar bukan penduduk Lhoksukon, seperti pernah ditemukan mayatnya oleh masyarakat. Mereka berasal dari Idi Aceh Timur, dari Aceh Pidie, dari Bireun dan Jeunieb. Sebelum dibunuh, mereka lebih awal disiksa di kamp tersebut dan ada pula dilempar dalam lobang galian hidup hidup dan kemudian diberondong peluru lalu ditutup dengan timbunan tanah menggunakan becho. Sekitar 10 Km dengan Lokasi Bukit Seuntang, terdapat bekas gudang penyimpanan dinamit bahan peledak yang digunakan untuk survai minyak dan gas milik Mobil Oil tahun 1990. dilokasi inipun menurut cerita penduduk setempat pernah terjadi peristiwa mengerikan seperti yang terjadi di Bukit Seuntang. di kawasan Gudang Dinamit inipun banyak lobang lobang dan onggokan tanah yang diduga keras tempat penguburan. Kondisi jalan menuju Gudang dinamik yang terletak di Desa Leubok Dalam, masih dalam Kecamatan Lhoksukon nyaris tidak dapat dilalui karena sudah tumbuh rumput ilalang (rumput padang). Tidak satu pun terdapat rumah penduduk sekitar itu, di lokasi bekas gudang dinamit terdapat satu bangunan piket di pintu gerbang yang terlihat masih bertengger. Beberapa penduduk Desa Leubok, mengatakan di lokasi itu juga pernah tinggal aparat keamanan beberapa tahun lalu. Di sekitar lokasi itu dulu sering ditemukan mayat orang yang dibuang.

M. Harun seorang warga desa itu mengatakan dulu pernah ada mayat seorang lelaki yang dikenal penduduk bernama Syamsyuddin, penduduk Desa Blang Kulam Idi Cut Kecamatan Darul Aman, Aceh Timur. Selain itu juga masih ada beberapa mayat orang tidak dikenal ikut dikuburkan oleh masyarakat setempat. Bahkan ada satu mayat yang setelah ditanam di lokasi itu, diambil lagi oleh tentera dan POM ABRI. Jenazah laki laki asal Kota Lhokseumawe itu, ditanam di kawasan Gudang Dinamit dan sebagian tubuh korban terjungkal ke luar lobang. Korban itu adalah seorang famili dekat sebuah keluarga aparat keamanan di Lhokseumawe yang ditemukan terbunuh di Gudang Dinamit. Pelaku pembunuhan terungkap dan oleh POM dan kemudian menyuruh meng-gali kembali kuburan itu. Penduduk sempat menyaksikan peritiwa itu.

Dari cerita penduduk lokasi lokasi tersebut sekarang menjadi angker dan jarang ada penduduk yang berani datang ke sana kalau tidak penting betul. Akibatnya, tempat itu menjadi lokasi kosong yang mengerikan dan oleh penduduk menyebutkan ada hantu yang melolong setiap malam di lokasi itu. Pernah pula, penduduk, di kawasan itu mendengar suara suara seperti suara orang berbicara, namun ketika dilihat tidak tampak seorang pun di jalan. Sampai dimana kebenaran temuan mayat di lokasi itu dulu, hanya penduduk setempat yang paling tahu karena mereka bisa mendengar dan menyaksikannya dari dekat ketika peristiwa terjadi.

48. Guru Diculik, Kepala Sekolah Stress
Muhammad (42) Kepala SD Negeri PIR I Krueng Pase Kecamatan Kuta Makmur Kabupaten Aceh Utara, mengalami trauma berat setiap kali mengingat peristiwa penculikan M. Diah, guru bawahannya yang terjadi pada jam sekolah 25 Juli 1990 lalu.25 Tak tahan mengingat peris-tiwa itu, Muhammad meminta pindah meski resikonya dia hanya menjadi guru biasa di SD lain. Mantan Kepala SD PIR I Krueng Pase yang kini menjadi guru kelas di SD Negeri Nomor 4 Samalanga ini menceritakan pengalaman sedih dan mengerikan yang menimpa koleganya itu kepada beberapa guru di Kantor Dinas P dan K Kabupaten Pidie. Sambil bercerita guru ini terus menyapu air matanya karena tak bisa menahan perasaan sedihnya. Soalnya sejak hari “pengambilan paksa” diri M Diah itu, hingga sekarang Muhammad tidak pernah mendengar tentang guru malang itu lagi.

Demikian pula isteri korban, Suryana, penduduk Desa Paya Dua Kecamatan Makmur yang baru dinikahi dan sampai sekarang belum sempat mengadakan pesta perkawinanya, tak pernah lagi melihat M Diah. Sejak kekasihnya diambil oknum aparat yang bersenjata di sekolah, Suryana memang terus mencari kemana mana dan minta bantuan instansinya. Tapi sampai sekarang tidak ada kabar beritanya. Peristiwa tersebut, kata Muhammad, amat membekas diingatannya. Sebab waktu M Diah “diambil” murid murid sekolah yang masih kecil kecil yang diting-galkan oleh M Diah, pun ketakutan dan menangis tersedu sedu saat melihat gurunya itu dibawa beberapa oknum aparat keamanan bersen-jata lengkap. Murid murid bertanya kepada M Diah mengapa gurunya ditangkap dan guru mereka itu adalah orang yang baik hati, tutur Muhammad. Oknom oknum aparat bersenjata itu datang dengan tiba -tiba tanpa surat perintah atau membawa kepala desa setempat untuk menjadi saksi. Oknum aparat keamanan tersebut menanyakan kepada Muhammad yang mana M Diah dan Muhammad memanggil koleganya itu tanpa menyangka akan dibawa. Oknum aparat hanya minta lihat KTP M Diah, dan setelah itu korban dibawa pergi dan tidak pernah kembali ke sekolahnya. Menurut catatan yang ada diarsip sekolah, M Diah lahir 1963 di Desa Meunasah Kulam Beureughang Kecamatan Kuta Makmur dan diangkat menjadi guru PNS di SDN PIR I Krueng Pase, 1 Oktober 1986 dengan NIP 131486059. Dikatakan yang paling menyakit-kan pengambilan guru itu terjadi saat sedang jam belajar sehingga disaksi-kan oleh murid murid sekolah. Selain itu tidak ada selembar surat penang-kapanpun yang dikeluarkan oleh oknum oknum aparat keamanan tersebut. Sementara itu niat untuk melapor peristiwa penagkapan guru M Diah itu ke Dinas P dan K Kabupaten Aceh Utara pun terhalang karena setelah penangkapan M Diah, kawasan itu ditutup dan semua warga PIR I Krueng Pase tidak dibenarkan meninggalkan rumahnya. Baru empat hari kemudian mereka dibolehkan bepergian seperti biasa. Setelah melapor, saat itu Kadis P Dan K, Drs Syahbuddin AR memberi pengarahan kepada sejumlah guru SD diAceh Utara dan memberi semangat kepada Muhammad agar melaksanakan tugasnya seperti biasa di SD PIR I Krueng Pase. Muhammad mengatakan untuk keamanan bila bepergian, saat itu hampir semua guru di daerah terpencil seperti Krueng Pase mengenakan baju dinas guru dari Pemda dan atau baju Korpri. Sebab KTP banyak yang sudah habis masa berlakunya dan untuk pergantian saat itu amat sulit karena penerbitan KTP baru pun dihentikan dengan alasan blanko KTP habis. Akibat itu baju dinas dan baju Korpri menjadi sangat penting sebagai alat bukti diri guru/PNS bila melewati pos pos pemeriksaan aparat keamanan, maupun pos kamling di desa. Hampirsemua guru SD terpencil saat itu mengenakan baju dinas setiap hari hingga warna baju bukan saja menjadi apak karena luntur, tapi juga bau keringat karena jarang dicuci, kecuali waktu sekolah libur. Meski sekarang tidak lagi mengajar di SD terpencil PIR I Krueng Pase, Muhammad masih sering trauma dan tampak seperti bingung akibat stres jika terbayang pada peristiwa saat penagkapan M Diah. “Saya masih bisa mengingat wajah ketakukan M Diah memandangi saya ketika akan dibawa. Saya tahu dia ingin saya menolongnya, tapi saya tidak bisa berbuat apapun selain melapor peristiwa itu kepada Kadis P dan K di Lhokseumawe”, tuturnya. Muhammad mengatakan ia berharap kolega-nya itu masih hidup dan suatu saat bisa bertemu lagi. Demikian pula dengan Suryana isteri yang telah dinikahi M Diah tapi belum sempat hidup bersama.

49. Diduga Korban “Orang Hilang”
Empat lelaki hanya mengenakan celana dalam dengan kondisi jasmani dan rohani yang sakit dan tidak memiliki identitas apapun, 12 Maret 1998 pukul 21.00 WIB “dibuang” dari sebuah mobil jeep di dua lokasi ditengah jalan raya Banda Aceh Medan antara kawasan Bayu Geudong. Seorang diantaranya, menjelang pagi tewas ditabrak sebuah mobil saat lari menyeberang jalan beberapa jam setelah diberi makan dan tempat untuk tidur oleh penduduk.26 Peristiwa “misterius” tersebut sempat disaksikan sejumlah warga Desa Bunot Bayu dan warga Gedong. Keempat pria korban “buangan” itu diduga keras adalah korban orang hilang atau penculikan yang telah mengalami penyiksaan berat. Beberapa warga sekilas melihat paling sedikit ada empat oknum dalam mobil yang mirip jeep Land Rover dan tak jelas plat nomor polisinya. Setelah menyele-saikan tugasnya membuang “muatannya” berupa empat anak manusia itu, dengan tenang meluncur kembali di jalan raya menju ke arah timur. Menurut keterangan yang diperoleh, dua orang korban pertama dibuang di kawasan Desa Benot Bayu, dan dua orang lagi di kawasan jalan tak jauh dari Geudong Samudera. Baik dua korban yang dibuang di Bayu, maupun dua lagi yang dibuang di Gedong, bangkit dan berjalan terhu-yung huyung di jalan raya hingga menarik perhatian orang banyak yang saat itu berada di tepi jalan sekitar dua lokasi kejadian. 13 Agustus 1998, sekitar pukul 01.00 WIB pagi, beberapa pemuda Benot Bayu melihat ada orang berjalan terhuyung huyung seperti ayam yang terkena sakit sawan, tak tentu arah berputar putar di jalan raya yang padat lalu lintas dan berbahaya itu mendatangi orang itu bermaksud mencari tahu. Setelah ditanya ternyata orang itu adalah salah seorang dua korban yang dibuang di kawasan Benot Bayu. Dari profil tubuhnya diperkirakan korban masih muda dan berusia antara 18 sampai 25 tahun. Pemuda desa Benot kemudi-an meminta bantuan orang desa untuk memberi makan korban yang nampak fisiknya lemah sekali. Korban ini mendapat makanan disebuah rumah penduduk, saat sedang makan itu beberapa pemuda termasuk ibu yang memberi makan mengajukan beberapa pertanyaan menyangkut identitas korban. Korban saat itu hanya menjawab “Matang Peusangan”. Setelah menyebut dua kata itu, korban berteriak berulangkali menyebut-kan: “Jangan setrum saya, jangan pukul kepala saya pakai pistol, sakiiit, jangan siksa saya lagi”, kata korban tersedu sedu sambil memegang kedua kepalanya serta menunduk. Wajahnya saat itu kelihat pucat dan ketaku-tan, serta tidak berani memandang wajah orang orang yang membantu memberinya makan di sebuah rumah warga Bunot. Setelah selesai makan, empat pemuda yang bertugas di Pos Kamling Langa Bayu memberinya tempat tidur di pos itu. Menjelang subuh, keempat pemuda yang tertidur lelap, terbangun. Tapi tak melihat lagi korban. Mereka serentak bangun untuk mencari korban yang diam diam meninggalkan Pos Kamling saat mereka tertidur. Mereka menelusuri arah jalan timur dan ke barat karena yakin korban tersebut belum jauh dari Pos Kamling itu. Dugaan keempat pemuda itu benar. Karena tak jauh dari lokasi itu, tiba tiba mereka mendengar suara tabrakan di jalan raya, tapi tak sempat memperhatikan mobil yang melintas dengan cepat. Ternyata yang ditabrak adalah orang yang sedang mereka cari. Peristiwa kecelakaan dan ikhwal korban itu dilaporkan kepada petugas Polsek Bayu. Korban yang saat itu diperkira-kan telah tewas di TKP akibat ditabrak mobil, diangkut ke RSU Lhokseu-mawe. TPF yang melihat mayat tak dikenal yang sampai 15 Agustus 1998, masih terbaring di ruang jenazah RSU Lhokseumawe, kondisinya sangat menmprihatinkan. Korban hanya mengenakan sepotong celana dalam, tinggi tubuh ditaksir 160 cm, kurus. Luka baru akibat tabrakan terlihat mengganga dibagian kepala dengan darah yang membeku. Kedua belah siku tangan dan lutut juga terluka akibat terseret di jalan. Keanehan juga tampak pada mayat korban adalah, gigi korban sebagian telah rontok, bekas luka luka sebelum tabrakan terlihat jelas pada tubuh korban terutama dibagian dada, pipi, dan bagian kedua lengan yang di-duga keras, korban sebelum tewas ditabrak mobil telah “kenyang” dengan penganiayaan yang cukup berat dan sangat kejam. Seorang korban lain ditemukan penduduk Gedong terbaring tak berdaya di ditepi jalan dan dilaporkan ke Polsek Gedong. Penduduk Gedong mengatakan seorang petugas Polsek bernama Sertu Pol Oloan Siagian memberi bantuan dan membawa korban itu ke Mapolsek dan diberi makan. Petugas polisi ini mengajukan beberapa pertanyaan tapi dijawab tak jelas oleh korban yang juga mempunyai dugaan korban sedang dalam kondisi stress berat. Tak lama setelah makan, korban ini juga dengan pandangan curiga dan ketakutan yang amat sangat, bangkit lari meningggalkan kantor Mapolsek Gedong. Setelah itu tak diketahui lagi keberadaannya. Dengan itu dari empat korban buangan, seorang tewas dan mayatnya terbaring di kamar jenazah RSU Lhokseumawe, sedang tiga lagi diduga masih melanglang buana di sepanjang jalan raya tanpa tujuan. Kantor LBH Yayasan Iskan-dar Muda mendapat laporan dari penduduk Bunot tentang “pembua-ngan” keempat korban dan korban yang tewas ditabrak mobil. Yakob Hamzah langsung mengecek ke kamar jenazah RSU Lhokseumawe dan mendapat kepastian dari seorang warga Bunot bahwa korban tewas akibat ditabrak mobil itu adalah salah seorang korban eks “buangan” mobil misterius, di Bunot yang sempat diberi makan dan tidur di Pos Kamling Langa Bunot. Pihak LBH Yayasan Iskandar Muda Lhokseu-mawe membuat analisa dari keterangan penduduk Bunot serta menco-cokkannya dengan daftar laporan orang hilang serta sejumlah foto foto korban orang hilang yang ada di arsip LBH Yayasan Iskandar Muda Lhokseumawe. Melihat kondisi korban yang tewas dan cerita penduduk tentang tiga korban lain, pihak LBH menduga keempat korban “buangan” dari mobil miterius itu adalah korban korban penculikan atau “orang hilang” yang telah mengalami siksaan berat dan berada dalam kondisi fisik amat lemah serta gangguan akibat depressi mental yang cukup mengkahawatirkan. Buktinya salah seorang korban lari tanpa tujuan di jalan hingga ditabrak mobil. Yakob mengharapkan pihak kepolisian mencari tiga korban lainnya yang kini tidak diketahui lagi nasibnya setelah “dibuang”. Ketua LBH ini juga menyerukan demi kemanusiaan, jika itu adalah korban orang hilang atau penculikan maka cara “pembuangan” korban yang sedang mengalami sakit fisikis dan depressi mental yang berat itu seperti itu, sama dengan membunuh. Cara yang lebih manusiawi adalah menyerahkan atau membebaskan mereka dengan cara yang tidak menyakiti lagi. Mohd Yacob Hamzah menegaskan, kalau perlu LBH Yayasan Iskandar Muda siap menolong korban jika diberitahu keberada-annya dan berjanji menjaga “rahasia” lokasi tempat korban berada. “Ini demi kemanusiaan jangan menambah penderitaan terhadap korban lagi. Allah akan mengampunkan dosa bagi orang yang membantu orang orang yang teraniaya.

50. Yang Pernah Diculik Hingga Tidak Tahu Lagi Harus Bagaimana Menceritakan Sadisnya Siksaan
Sementara itu, Teguh Sanjaya, salah seorang korban penculikan oleh aparat keamanan, sempat histeris ketika menyampaikan pengalamannya di depan TPF tersebut. “Saya pernah diculik selama dua minggu pak. Saya tidak tahu bagaimana harus menceritakan kesadisan aparat,” kata-nya terbata bata. Karena itu, ia sangat mengharapkan agar hukum dan keadilan benar benar dapat ditegakkan di Aceh. Ia diculik dengan tudu-han sebagai penyandang dana untuk GPK. Padahal, semua tuduhan itu tidak punya fakta. Ketika berada di luar gedung DPRD, di tengah kerumu-nan massa, lelaki jangkung yang mengaku mencari nafkah di kaki lima itu, secara terang terangan menyatakan sangat benci dengan rezim Soeharto dan para pendukungnya. Bahkan, ia sempat perang mulut dengan seorang pria yang mengaku pendukung rezim Soeharto. Tuntutan untuk menghapuskan DOM juga disampaikan salah seorang pengurus KNPI Aceh Timur. Isi tuntutan itu antara lain, meminta supaya kasus kasus orang hilang di Aceh agar diusut tuntas. Menghukum orang orang yang bersalah sesuai perbuatannya. Diharapkan tidak ada yang kebal hukum. Pihak KNPI juga mendesak pemerintah agar segera mencabut DOM, mendengarkan jeritan hati masyarakat. Kepada TPF juga diha-rapkan dapat menghimpun semua data/fakta sejujurnya. Khairuddin M Dan, seorang pembicara yang mewakili para pekerja (Ketua DPC FSPSI Aceh Timur), juga mendukung pencabutan DOM di Aceh. Ia menilai, penerapan operasi militer di Aceh selama ini, telah menghambat masuknya investor dari luar Aceh ke propinsi ini. Permintaan agar DOM segera diakhiri juga disampaikan seorang mahasiswi yang berbicara mewakili kaum wanita. Malah ia menyampaikan hal itu dengan berlutut di lantai di hadapan anggota TPF DPR RI. Tuntutan pencabutan DOM juga disuarakan Ketua HMI Cabang Langsa, Ray Iskandar, yang minta TPF agar menggarisbawahi, telah terjadinya pelanggaran HAM di daerah ini. Beberapa orang lainnya yang ikut berbicara di forum itu, menyampaikan usul yang kontroversi agar DOM tetap dipertahankan di Aceh. Mendengar hal itu, para hadirin yang duduk di bagian belakang, spontan riuh dan menyoraki tiga pembicara itu. Yang satunya dari Idi dan dua lagi dari Langsa. Akibatnya, sampai beberapa kali ketua tim terpaksa berupaya menenangkan hadirin. Pertemuan antara TPF DPR RI dengan tokoh masyarakat, pemuda, OKP, mahasiswa, LSM dan berbagai kalangan di Aceh Timur itu, berlangsung sejak pukul 10.20 WIB sampai menjelang shalat Jumat. Sebelumnya, di tempat yang sama, berlangsung suatu pertemuan tertutup antara TPF dengan segenap unsur Muspida dan anggota DPRD setempat.

51. Diculik Ketika Sedang Melaksanakan Shalat Tarawih
Lima orang janda dari Kecamatan Peureulak dan satu dari Kecamatan Nurusalam (Idi Cut), Aceh Timur, mendatangi DPRD Tk II Aceh Timur. Para janda ini mengadukan tentang suami dan anak mereka yang hilang pada tahun 1991 lalu. Di antara yang hilang itu tercatat seorang remaja berusia 18 tahun. Jumlah orang hilang yang dilaporkan, sebanyak 14 kasus. Para janda yang didampingi para mahasiswa itu, diterima tiga anggota Komisi A DPRD setempat, masing masing Teungku Abdul Rasyid (FPP), Adi Raja (FKP ) dan Mawardi Nur (FPP). Turut hadir mendengarkan penjelasan dari keluarga orang hilang itu, dua staf Kantor Sospol, masing masing Syaiful Azhar BA dan Fadli SH. Ketua DPRD Tk II Aceh Timur, Achmad Dadang, ketika diminta tanggapannya tentang masuknya laporan orang hilang tersebut, mengatakan, sebagai wakil rakyat, pihaknya tetap menampung segala aspirasi dan keluhan dari masyarakat. Begitu juga mengenai orang hilang ini, tidak tertutup kemungkinan akan masuk lagi pengaduan pengaduan dari masyarakat. Karena itu, untuk sementara ini, pihaknya akan menampung dan menca-tat semua masukan tentang kasus orang hilang. “Selanjutnya, kasus tersebut akan diserahkan kepada pihak yang berwenang menangani-nya,” katanya. Para wanita yang mengadukan kasus orang hilang ke dewan itu, berasal dari Kecamatan Peureulak, masing masing, Aminah (40), Hafsah M Ali (43), Asiah Abdul Rahman (49), Khadijah Abdullah (47), Ti Hawa. Sedangkan dari Idi Cut, Nurakikah. Keenam wanita desa ini, melaporkan tentang keluarganya yang hilang pada bulan Ramadhan tahun 1991. Sebagian besar orang orang hilang itu diambil ketika sedang melaksanakan shalat tarawih.27 Usai mendapatkan laporan orang hilang itu, anggota Dewan Mawardi Nur dan salah seorang mahasiswa yang menjadi mediator para janda itu, mengatakan, dari pengaduan tentang orang hilang, yang diterima dewan baru 14 kasus. Empat di antara orang hilang itu, ditemukan beberapa hari kemudian, sesudah menjadi mayat. Sedangkan yang lainnya masih belum diketahui rimbanya. Ke-empat orang hilang yang ditemukan telah menjadi mayat itu, Marhaban Bardan (55) suami Aminah, warga Desa Hutan Dama Kecamatan Peureulak. Mayatnya ditemukan di Masjid Pasi Puteh, setelah diman-dikan warga setempat. Armiah Ismail (38), suami Hapsah M Ali. Korban yang karyawan PT PPP Blang Simpo itu, diambil orang tak dikenal, pada 4 Maret 1991 sekitar pukul 10.00 WIB di Kedai Alur Nireh. Ditemukan mayatnya pada 6 Maret 1991 terapung di sungai Matang Arun (Sungai Peureulak). Mahmud M Hasbi (18), anak dari Khadijah Abdullah. Mayat-nya ditemukan di pinggir jalan Krueng Tuan, setelah tiga hari kemudian, tepatnya pada 21 Ramadhan. Sedangkan korban lainnya, Abdullah, warga Idi Cut. Mayat suami Nurakikah ini, ditemukan di depan rumah-nya sendiri, dalam kondisi yang sangat mengenaskan. “Suami saya lehernya tembus peluru,” ungkap Nurakikah sambil menyeka air mata-nya. Sedangkan 10 kasus orang hilang, tapi hingga kini belum ditemukan, masing masing: M Yakob Abdulah (suami Asiah Abdul Rahman), warga Desa Babah Krueng, Peureulak; Zamzami (suami Ti Hawa), warga Desa Tualang, Peureulak; Armiya Amin (35), warga Desa Buket Pala, Peureulak; Abdul Rani (45), warga Desa Buket Pala, Peureulak; Adni Rani (22), warga Desa Buket Pala, Peureulak; Kasim (22), warga Desa Buket Pala, Peureulak; Sukri(22), warga Desa Buket Pala, Peureulak; Usman (22), warga Desa Buket Pala, Peureulak; Mariah, remaja berusia 18 tahun, warga Desa Buket Pala, Peureulak; Sa’id Sulaiman (50), warga Desa Buket Pala, Peureulak; Menurut Armin Ali, Kades Buket Pala tahun 1991, kepada pihak Dewan, Armiya Amin, Sa’id Sulaiman dan dirinya sendiri, sempat ditahan di Ranto Peureulak. Namun, setelah diproses ia dilepaskan kembali. Sedangkan Armiya Amin dan Sa’id Sulaiman, tidak diketahui kemana dibawa.


Bab 09-2: NESTAPA KAUM MUSLIMIN - Sekelumit Kisah Getir di Aceh (1)
01. Tak Boleh Tutup Aurat Saat Shalat
02. Diciduk di Masjid, Dibantai di Lapangan
03. Disiksa hingga Mata Kiri tak Berfungsi
04. Diculik Serempak lalu Dibunuh Massal
05. Santri Diculik, Lalu Dibantai
06. Da’i Disiksa 35 Hari, Kalau Berzikir, Mulut Disumbat
07. Yang Disiksa Tak Henti-Henti Menyebut Nama Allah
08. Digebuk, Dicampakkan ke Mobil, lalu Dikubur Massal
09. Diikat Seperti Kepiting, lalu Ditembak
10. Sepeda Motor pun Diculik
11. Sebelum Pulang, Oknum Kopassus Masih Berkenan Menyempatkan Diri Menculik Lagi
12. Diculik, Dijarah, Kepala Dipenggal
13. Ditembak dan Dibuang Ke Parit
14. “Dikubur” Sampai Sebatas Leher
15. Dibuang ke jalan
16. Korban Pembantaian 17. Dipaksa Ikut Membantu Operasi, Lalu Dilibas
18. Teror Berlebihan Terhadap Korban
19. Saat Eksekusi Subuh Nurhayati Ingin Memeluk Suaminya
20. Dikubur 3 Hari Lalu Ditembak
21. Dimasukkan ke dalam Goni
22. Mereka yang Dikasari Aparat dan Dikubur Hidup-hidup
23. Menonton Eksekusi Maut
24. Digorok Batang Lehernya
25. Suami diculik
26. Tubuh Disayat-sayat
27. Pemilik Dibunuh, Harta Dijarah, Rumah Dibakar
28. Dituduh GPK, Nyaris Temui Ajal
29. Tiga Malam Tidur Bersama Mayat
30. Korban DOM Salah Tangkap Disiksa hingga Lumpuh, Bahkan Ada yang hingga Tertawa dan Menangis Sendiri
31. Dari Perontokan Gigi sampai Diganduli Besi

Berikut ini adalah beberapa kisah sejati kepedihan jiwa, fisik dan masa depan yang diderita oleh orang-orang Aceh selama DOM berjaya di Aceh. Dengan kejayaan dan kegemahripahan fasisme militer ini pulalah telah menghasilkan kesuraman wajah-wajah wanita Aceh yang tadinya cerah ceria. Dengan kedigdayaan ABRI jugalah telah mengakibatkan wajah-wajah wanita-wanita dan jejaka Aceh yang tadinya bersinar cemerlang kini pupus dan layu diterjang pukulan, tamparan dan injakan serta aksi tidak senonoh yang gagah perwira dari tentara Republik, tentara yang dulunya dielu-elukan dan didukung secara hebat oleh putra dan putri Aceh. Lihatlah bentuk-bentuk kegagahan dan keperwiraan mereka dalam rangkuman kisah singkat yang sangat memilukan ini:

1. Tak Boleh Tutup Aurat Saat Shalat
Sayed Abdullah SH (42), ayah delapan anak, yang tadinya polisi, kemudian beralih jadi kontraktor itu, diambil dari rumahnya pada bulan Ramadhan 1994 oleh dua oknum pasukan elite (Kopassus) yang bertugas di sana. Tanpa ba-bi-bu, langsung dimasukkan ke mobil Kijang terbuka, menuju posko keamanan di Kota Bakti, Pidie. Tanpa ditanya apa-apa Abdullah, warga Blok Sawah, Sigli, ditelanjangi dan dianiaya bergantian. Setelah itu—masih dalam keadaan telanjang bulat—dibawa naik mobil ke Tangse. Di Blang Dhot ini ada pos Kopassus. Ia disuruh berdiri di sana, juga tanpa busana. Ketika masuk waktu shalat, ia minta pakaian untuk menutup aurat, tapi tak diperkenankan. Sepuluh bulan ia disiksa berat, baru kemudian dilepas. Abdullah tak terima dituduh seolah-olah terlibat GPK. Ia sendiri justru pemberantas GPK. Bahkan, pernah menda-pat penghargaan dari Pangdam Iskandar Muda Aceh sewaktu dulu ber-tugas di kepolisian ikut dalam operasi menumpas Aceh Merdeka.

2. Diciduk di Masjid, Dibantai di Lapangan
Maddin Ismail (45), juga tewas secara tragis. Warga Pante Bayeun, Simpang Ulim, Aceh Timur ini menurut istrinya, Asni (40), diciduk dari masjid setempat pada pukul 10.00 WIB di tahun 1990. Ia dijemput ke masjid karena setelah dicari ke rumah, ia tak ada. Korban dibawa oleh sekitar 15 anggota berseragam loreng dengan truk. Bersama Maddin Ismail, juga ada beberapa warga yang kala itu diboyong untuk, katanya, diperiksa. Tapi, pada siang hari, Maddin Ismail dibawa ke lapangan sepak bola, lalu ditembak persis di bawah telinganya hingga tembus ke sebelah. Mayat ayah dari enam anak ini dibawa pulang oleh warga kampung pada petang hari, lalu dikebumikan.

3. Disiksa hingga Mata Kiri tak Berfungsi
Cerita sadis lainnya adalah apa yang dialami Ibrahim Sufi, 35 tahun. Imam meunasah di Biara Barat Tanah Jambo Aye, Aceh Utara ini diambil petugas sesudah shalat magrib dari meunasah (surau) setempat di tahun 1990. Kemudian, dibawa ke kantor Koramil setempat dan disiksa dengan cara dipukul dan diterjang. “Mata kiri saya sampai sekarang rusak setelah disiksa selama dua malam dua hari. Saya difitnah terlibat GPK. Padahal, kenyataannya tidak,” ujar Pak Imam yang langsung melapor ke Forum Peduli HAM. Menurutnya, meski dilepas ia sempat dikenakan wajib lapor setiap hari, kemudian seminggu sekali.

4. Diculik Serempak lalu Dibunuh Massal
Kasus kematian Teungku Usman Raden (imam meunasah setempat), Teungku Abdullah Husen (wiraswata), dan Abdurrahman Sarong (PNS di Dinas PU Sigli) berlangsung bersamaan. Ketiganya warga Desa Selatan Batee. Menurut laporan istrinya masing-ma-sing, Aminah (40), Jariah (28), dan Usmawati (40), penculik suami mereka adalah seorang aparat yang cukup mereka kenal, berisial PK. Menurut para istri itu, pengambilan ketiga suami mereka itu berlangsung dalam suatu razia KTP (dikumpul-kan banyak orang) di sebuah lapangan pada tanggal 1 Juni 1991. “Suami saya punya KTP, tapi dibawa juga. Walaupun kami tahu siapa yang menculik, tapi kami tidak tahu ke mana mereka dibawa,” ungkap Jariah. Setelah tiga hari kemudian, seorang warga memberitahukan mereka bahwa mayat Usman, Abdullah, dan Abdurrahman yang mulai membu-suk ditemukan di pinggir bukit dekat waduk Lhokseumani, Batee, Pidie. Ketiga istri bersama warga lainnya segera ke sana. Di atas dada mayat diletakkan KTP masing-masing.

5. Santri Diculik, Lalu Dibantai
Dilaporkan oleh Haji A Jalil Abdullah (66), warga Meunasah Sukon Cubo, Bandar Baru bahwa anaknya Kamarullah (17), santri Darul Falah, Bandar Baru, Pidie, diculik bersama tiga temannya sesama santri ketika sedang belajar dan diskusi dengan gurunya di pesantren itu pada 1992. Tiba-tiba muncul sejumlah oknum aparat dengan sebuah mobil, tanpa ba-bi-bu (tanpa menjelaskan apa salah mereka), langsung mengambil keempat santri itu. Enam hari kemudian, mayat keempat santri itu ditemukan berserak-an tercampak di Blang Usi, Pidie. Semua orang Aceh dianggap GPK sehingga tanpa penjelasan dan basa-basi langsung main tangkap dan main bunuh saja.

6. Da’i Disiksa 35 Hari, Kalau Berzikir, Mulut Disumbat
Meski usianya sudah uzur, namun Teungku Abdul Wahab Daud (61), guru mengaji dan penda’i/khatib di Masjid Baitul Mukmin, Lampoh Saka, Peukan Baro, Pidie, cukup kuat daya ingatnya. Tutur katanya lancar. Fisiknya pun sehat, tak kalah dengan yang muda. Namun, pada tubuh tuanya itu jelas kelihatan parut-parut bekas berbagai penyiksaan, terbanyak di punggung dan bagian kaki. Itulah “kenang-kenangan” DOM, katanya. Dan, kepedihan itu tak akan pernah ia lupakan.28 Abdul Wahab disiksa bukan lagi setengah mati. Tapi sudah tiga per empat (3/4) mati. Ia mengaku pernah merasakan hidup dijajah Jepang. Orang Jepang, kalau dibilang taklok (takluk, menyerah), mereka langsung berhenti memukul. Yang sekarang ini tidak (penyiksaan DOM yang dia rasakan, maksudnya). Walaupun kita sudah minta-minta ampun, tetap terus disiksa. Abdul Wahab masih ingat, ia menjalani penyiksaan di Rumoh Geudong, Glumpang Tiga, selama 35 hari, dan baru kembali 5 Juni 1998. Pelakunya tak lain oknum Kopassus di Pos Sattis Bilie Aron bersama para TPO (tenaga pembantu operasi) alias cuak. Sebagian penyik-saan di masa Danpos Lettu Par, dan sebagian masa Lettu Sut alias Ar (yang sempat berdialog TPF DPR RI).

Abdul Wahab diambil di penginapannya di Kantor KUD Bahagia, Lampoih Saka, tanggal 30 April 1998 sekitar pukul 10.30 WIB, sepulang dari pengajian Majelis Taklim di Masjid setempat. Penculik terdiri dari Sas (wakil Danpos) dan seorang TPO, Is alias R, yang datang dengan mobil Taft Rocky. Tanpa basa-basi alias diberitahu salahnya apa, Abdul Wahab langsung dibawa ke Rumoh Geudong. Begitu tiba, ia diperiksa oleh oknum bernama Prapat. “Untuk apa kamu ke sini?!” tanya Pra, se-perti dikutip Abdul Wahab. “Saya tidak tahu,” jawabnya. Pra yang meme-gang rotan langsung menyabet pahanya. Tiba-tiba TPO yang bernama R ikut-ikutan bertanya. “Kamu yang melindungi Idris GPK itu di rumahmu kan?” Abdul Wahab menyangkal, dan mengatakan selama ini—karena kesibukannya—ia lebih sering menginap di KUD Bahagia ketimbang pulang ke rumahnya di Desa Keutapang, Peukan Baro. Kemungkinan karena jawaban itu “tak memuaskan” para oknum, Abdul Wahab pun disiksa. Supaya para aparat yakin, ia minta disumpah atas nama Allah SWT setelah lebih dulu mengambil wudhu. Namun, anehnya, mereka tetap tak percaya. Itu sumpah palsu, kata oknum. Ia tetap dicap melindungi Idris yang telah pulang menyelamatkan diri dari maut.

7. Yang Disiksa Tak Henti-Henti Menyebut Nama Allah
Idris, warga Murong Cot, Sakti, yang dituduh GPK diculik tahun 1997. Sejak itu, keluarga Idris kerap mendapat bantuan beras atau uang dari Abdul Wahab yang ibarat bapak angkat mereka. Pada Januari 1998, menurut keterangan istrinya, Idris tiba-tiba pulang ke rumah dalam keadaan sakit dan luka. Rupanya ia bersama dua korban penyiksaan dari Pidie lainnya baru dilempar ke jurang Cot Panglima (perbatasan Aceh Tengah dan Utara). Namun hanya Idris yang tak sampai ke bawah, melainkan menyangkut di pohon. Ia lalu merangkak naik dan pulang ke rumah. Konon hanya beberapa hari di rumah, untuk kemudian pergi lagi. Pada saat pergi inilah kemungkinan ada cuak yang melihatnya. Maka kemudian, pada Maret 1998, diambil pulalah Rosmiati, adiknya (Rasyidah), serta ibu mertuanya (Nyak Maneh). Hasil penyiksaan ketiganya, para oknum mendapat informasi tentang Abdul Wahab yang sering membantu keluarga ini. Padahal, Abdul Wahab hanya pernah memberi uang kepada Rosmiati, istrinya Idris itu, yang sudah seperti saudara dengan mereka. Apalagi mengingat Idris tidak ada. Abdul Wahab merasa kasihan dengan anak-anak Idris. Tetapi tak ada yang percaya. Abdul Wahab kembali disiksa sejadi-jadinya. Ia ditelanjangi, disetrum kemaluan, disabet dengan rotan sampai berdarah, dan sebagai-nya. Ia tetap tabah. Tapi, ketika disetrum hidungnya, sempat berteriak. Oknum bernama Pra nyeletuk, “Habisi saja. Biar mampus dia!” Abdul Wahab juga mendengar perkataan angkuh lainnya yang keluar dari mulut mereka. “Kami yang berkuasa sekarang, tahu! Kalau kami tembak, mau lapor kemana kau!” Atau, “Asal kau tahu, sudah 16 orang saya bunuh,” kata Pra seperti yang diingat Abdul Wahab. Dalam penyiksaan sadis itu, guru ngaji ini memang kerap menyebut nama Allah SWT, atau kalimat tauhid “Lailahaillallah”. Tapi, setiap kali Abdul Wahab mengucap-kannya, mulutnya disumbat kain atau dipukul.

Abdul Wahab kemudian dimasukkan dalam sel di atas rumoh geudong. Di situ, terdapat delapan bilik kecil yang disekat-sekat. Ada sekatan papan, ada pula dari bambu. Ruang penyiksaan di bagian serambi depan dan belakang. Di ruang-ruang kecil (2x2 m) itulah ditahan para korban secara berdesakan. Bersamanya waktu itu ada 58 orang ditahan. Dianta-ranya keluarga Idris (Rosmiati, Rasyidah, dan Nyak Maneh), Teungku Abbas Lhok Bruek (Cubo, Bandar Baru), Ibrahim Laweueng, Usman Ahmad (Dayah Tanoh, Mutiara), dan sebagian besar warga Mutiara.

Tengah malam pada hari pertama itu, ia didatangi oleh Danpos Lettu Par. Abdul Wahab disuruh duduk selonjor kaki. Par meletakkan balok kayu di atas kedua pahanya, lalu Par naik. Balok itu diinjak-injak selama dua jam, bergantian dengan oknum lain. Bayangkan sakitnya, sampai terkencing-kencing. Keesokan paginya, di hadapan tahanan lain, bapak tua ini disuruh jungkir balik di halaman rumoh geudong. Lalu disuruh merangkak sampai ke kubangan (penampungan air kotoran). Abdul Wahab dibuat seperti anjing. Ia direndam dalam kubangan (yang keliha-tan hanya bagian hidung ke atas) dari pukul 8.00 WIB sampai 16.00 WIB.

Ketika suatu kali ia dirantai dan disalib, lalu dipukul dengan berbagai alat penyiksa, Abdul Wahab juga sempat mengucapkan doa. “Ya Allah, akhirilah kezaliman ini”. Oknum yang mendengar marah, dan mencaci. “Apa kamu bilang? Mana bisa diterima doa babi!” Para korban memang sering dipanggil dengan anjing, babi, dan sejenis itu. Anehnya, kata Abdul Wahab, dalam penyiksaan ia juga pernah ditanyai soal senjata. Ia menga-ku tidak tahu. Abdul Wahab pun dipukul keras pada perutnya. Dua hari ia mengalami kencing darah. Di rumoh geudong, ia juga menyak-sikan saat korban-korban lain disiksa. Seperti Teungku Abbas Lhok Bruek yang digantung kepala ke bawah, lalu dipukul sejadi-jadinya. Teungku Abbas menjerit-jerit, “Bek geusiksa lon. Hana lon tupat senjata nyan.” Setelah itu, seorang tahanan wanita, Nyak Maneh, disuruh memegang kemaluan Teungku Abbas yang dalam keadaan telanjang. Mulanya Nyak Maneh menolak, dan kemudian ia dipukuli. Hingga Abdul Wahab mendukung-nya, “Pue nyang geu yue pubuet laju. Allah Maha Mengetahui.” Melihat adegan penyiksaan dan pelecehan seks itu, Abdul Wahab sering mena-ngis. Abdul Wahab kuat kalau disiksa seberat apa pun. Tapi kalau melihat orang lain disiksa, ia tak tahan untuk tidak menangis.

Selama 35 hari di kamp penyiksaan itu, suatu kali mereka pernah didatangi Abu Usman Kuta Krueng. Di hadapan 58 tahanan, Abu Kuta berceramah. Intinya, para tahanan itu seolah-olah semuanya sudah salah jalan dan harus kembali ke jalan yang benar. Sebetulnya, apa salah mereka? Dan, pertanyaan ini tak pernah terjawab sampai ia dilepas, 5 Juni 1998, dan bahkan sampai sekarang. Sebelum dibebaskan, Abdul Wahab sempat diancam dengan kata-kata seperti: “Apa yang kamu lihat, kamu dengar, dan kamu rasakan selama di sini, jangan ceritakan pada orang lain. Kalau bilang-bilang, keselamatan kamu tidak terjamin”, yang diucapkan Danpos Sattis Bilie Aron waktu itu. Tapi, ia tidak takut lagi sekarang. Abdul Wahab mau jadi saksi dan mau disumpah, demi Allah SWT, bahwa penyiksaan itu benar-benar terjadi.

8. Digebuk, Dicampakkan ke Mobil, lalu Dikubur Massal
M. Yusuf Hasan (39), warga Paya Tukai Tanah Jambo Aye, diambil pada 11 Oktober 1990 di jalanan desanya, Lalu dicampakkan petugas ke dalam saluran air dan tidak dibenarkan bangkit. Kemudian, rombongan Kopassus yang memperlakukannya demikian meninggalkan tempat itu untuk mengambil calon korban yang lain. Tapi, karena sudah menjelang magrib, M. Yusuf Hasan—seperti dikisahkan saudara sepupunya, Kama-luddin Basyir—bermaksud pulang untuk shalat. Apa lacur, di tengah jalan ia bertemu dengan petugas yang melarangnya jangan bangkit dari saluran air tadi. Karena, dianggap melanggar kesepakatan, Yusuf Hasan digebuk tiga kali pada dadanya. Begitu jatuh, ia pun dilemparkan ke dalam mobil petugas. Lebih enam bulan ia tanpa kabar. Kemudian, sekitar Februari 1991 seseorang kenalannya melaporkan Yusuf Hasan sudah dikubur secara massal di Blok B UPT IV dalam kebun kelapa sawit Jambo Aye, Aceh Utara.

9. Diikat Seperti Kepiting, lalu Ditembak
Pemandangan yang begitu mencekam sekaligus menyedihkan itu tak pernah dilupakan Teungku M. Hasan Ishak, seorang imam meunasah di Desa Panton Raya, Kecamatan Tringgadeng Panteraja (Tripa). Ia telah melihat—kemudian ikut memandikan, mengafankan, dan menguburkan —lima mayat yang tercampak di Dayah Teumanah, Tripa, yang dikenali sebagai guru-guru pesantren/mengaji dari Kecamatan Bandar Dua. Mereka diikat seperti kepiting. Dibeurekah (diikat menyatu) lima orang. Darah bercecer dari lubang-lubang di badan mereka, bekas tembakan.29 Tapi, salah satu mayat itu nampak wajahnya tersenyum. Mereka mati syahid. Teungku Hasan Ishak menuturkan, pada pertengahan Mei 1991 di bawah rumah Imum Rahman didapati lima mayat terikat. Pada malam sebelumnya, warga di sekitar kejadian sempat mendengar suara gaduh. Serombongan oknum tentara menyeret para tahanannya ke bawah ru-mah Imum Rahman. Tak ada yang berani keluar rumah. Tiba-tiba terde-ngar beberapa kali tembakan, diiringi lenguhan korban-korban menjelang ajal yang begitu menyayat hati. Suasana semakin mencekam. Tapi, salah seorang korban belum langsung mati. Karena kemudian seseorang mengucapkan “Allahu Akbar” maupun “Lailahaillallah” beberapa kali dengan suara lemah. Rupanya ucapan itu masih didengar oleh oknum- oknum tentara yang hendak pergi. Ada suara sepatu tentara yang kembali lagi. Disusul dua tembakan tambahan. Seketika lenyaplah ucapan takbir tersebut. Masyarakat seolah dapat menebak apa yang telah terjadi. Menje-lang subuh, barulah warga berani keluar rumah dan melihat siapa gera-ngan yang menjadi korban pembunuhan sadis itu. Awalnya masyarakat setempat tak mengenal mereka. Namun, setelah informasi itu disebar hingga ke kecamatan sekitarnya, baru diketahui ternyata kelimanya warga Kecamatan Bandar Dua, sekitar 15 Km dari desa itu. Masing- masing jenazah Teungku Muniruddin Kaoy (24) dan Teungku Armiya (26) keduanya penduduk Desa Uteun Bayu, Teungku Ibrahim dari Cot Mee, Teungku M Yusuf asal Cot Keng, dan Ismail Hasan (45) dari Alue Sanee. Selanjutnya, sesuai kebiasaan, para imam meunasah dari beberapa desa di kemukiman itu pun dikumpulkan. Termasuk Teungku M Hasan Ishak dari Panton Raya, desa tetangga Dayah Teumanah. Hasan Ishak ikut memandikan kelima jenazah itu. Membersihkan darah, dan mengambil peluru di badan mereka. Hanya satu peluru yang tak tercabut, yakni yang di tubuh Teungku Muniruddin Kaoy. Peluru itu tertancap di tulang rusuknya. Walaupun sudah ditarik pakai tang, tetap tak bisa dicabut. Akhirnya terpaksa dikubur bersama peluru timahnya.

Kelima jenazah sebelumnya disembahyangkan di Masjid Dayah Teumanah usai shalat Jumat. Kemudian dikuburkan satu lubang berlima di pekuburan umum setempat. Beda dengan kuburan yang lain, makam para teungku yang kini diperluas itu telah disemen sekelilingnya. Belakangan, banyak masyarakat—juga dari Bandar Dua—yang berziarah ke makam itu untuk melepas nazar dan “cari berkah” di situ. Ini terlihat dari banyaknya sobekan kain putih yang diikat pada pohon kemboja yang tumbuh di atas makam. Keluarga kelima korban baru-baru ini juga telah melaporkan kasus itu kepada DPRD setempat. Pertama sekali, Juariah (41), janda Teungku M Yusuf yang melaporkan kasus itu ke Komnas HAM dengan didampingi Forum LSM Aceh. Janda dari Cot Keng yang kini mengasuh lima anak yatim itu mengisahkan, bahwa suaminya diambil awal Maret 1991. Tanpa didampingi suami, ia melahirkan anak kelima (saat suami diculik, Juariah sedang hamil tua). Dua bulan kemudian, ia diberitahu bahwa suaminya telah dikubur bersama lima mayat lainnya di Dayah Teumanah.
Cerita Adawiyah Yusuf (60), ibu dari Teungku Muniruddin Kaoy, pun tak kalah menyedihkan.

Muniruddin, guru pesantren diambil oleh tiga oknum aparat pada malam Jumat, 4 Mei 1991 dari Masjid Uteun Bayu saat sedang mengajar ngaji muridnya. Beberapa hari kemudian diperoleh informasi tentang penembakan dan penemuan lima mayat itu. Salah satunya Teungku Muniruddin. Akan halnya Nursiah Ahmad (42), janda dari Ismail Hasan, telah kehilangan dua orang tercintanya. Suaminya diambil 8 Mei 1991, ditahan di Pos Sattis Ulee Glee selama 10 hari. Kemudian mayatnya ditemukan di Dayah Teumanah. Padahal, tahun sebelumnya, 9 Oktober 1990, salah seorang anaknya, M Nasir bin Ismail (20) lebih dulu dibawa dan ditahan ke PS Ulee Glee, lalu dipindahkan ke PS Kota Bakti, dan sampai sekarang belum kembali. Nursiah tak habis pikir tentang kesalahan suaminya itu, hingga sampai dibunuh?

Teungku Armiya (alm), juga seorang guru ngaji, menurut laporan ayahnya M Musa Sabi (58), diambil oleh oknum Kopassus dari PS Ulee Glee, ditahan 20 hari, lalu ditembak dibawah rumah Imum Rahman, Dayah Teumanah. Musa Sabi merelakan anaknya dikubur satu lubang bersama empat mayat yang diikat bersama Armiya.

10. Sepeda Motor pun Diculik
Sejumlah 15 sepeda motor yang ikut “diculik” bersamaan dengan penculikan korban “orang hilang” sejauh ini juga belum dikembalikan kepada keluarga korban.30 Yang juga jadi tanda tanya masyarakat, apa pula “dosa” sepeda motor itu sampai “ditahan” demikian lama. Para keluarga korban berharap, sebelum pasukan elite itu ditarik pulang, baik korban penculikan sepanjang 1998 maupun harta benda yang telah dijarah mereka sebelumnya agar dikembalikan.
Menurut pengakuan seorang istri korban “orang hilang”, Nurjannah Gade (35), warga Paloh Tinggi, Mutiara, sepeda motor Honda Astrea Grand Jumbo yang diambil oleh oknum Pos Sattis Bilie Aron, selama ini sering dilihatnya dikendarai oleh oknum aparat maupun TPO (tenaga pembantu operasi) di Rumoh Geudong. Janda lima anak ini pernah mencoba memintanya baru-baru ini. Rencananya akan dijual untuk modal usaha. Oknum Kopassus mau mengembalikan, asal Nurjannah bersedia teken surat-surat yang sudah dipersiapkan. Sedangkan isi surat itu menyatakan seolah-olah suaminya, Jamaluddin (40), pegawai BKKBN Kecamatan Mutiara, telah melarikan diri entah kemana. Padahal, kata Nurjannah, suaminya jelas-jelas diculik pada malam tanggal 26 Pebruari 1998 dari Pos Kamling Desa Paloh Tinggi bersama sepeda motornya. Kejadian itu disaksikan warga desa. Jamaluddin dibawa ke Rumoh Geudong, dan sampai sekarang belum kembali.

Mengingat isi surat yang menyimpang itu, Nurjannah tak mau meneken. Toh ia masih lebih mencintai suami daripada “cuma” sebuah sepeda motor. Dalam kasus penjarahan sepeda motor ini, ia telah memberi kuasa kepada Iskandar Ishak SH dari LBH Seuramoe Makkah untuk menyelesaikan persoalan itu. Menurut Iskandar, Sub Den-POM Sigli pun sudah dilaporkannya beberapa waktu lalu. Iskandar sudah mendesak mereka untuk mengambil sepeda motor korban di Pos Sattis Bilie Aron. Tapi menurut petugas di situ, untuk bergerak mereka perlu minta izin Lhokseumawe (Den POM Lhokseumawe) terlebih dulu. Terkesan pena-nganan kasus tersebut sangat lamban. Padahal, bagi janda korban yang miskin, nilai sebuah honda cukup besar artinya untuk menghidupi anak- anak yatimnya.
Sedih lagi nasib Sudarmi Thaher. Keluarga miskin di Desa Rambong Meunasah Cot Mutiara ini memang tak punya sepeda motor. Namun, ketika suaminya, Abdul Wahab Ali, yang seorang pedagang kaki lima, diculik ketika hendak shalat dhuhur di Masjid Kota Bakti, sang suami mengendarai honda pinjaman temannya. Honda Astrea 800 pinjaman itu pun ikut diangkut ke Pos Sattis terdekat. Namun, dagangan A Wahab Ali tak diangkut. Melainkan dititip pada sebuah warung. Ketika barang ini akan diambil Sudarmi esok harinya, si pemilik warung menyuruh Sudarmi minta izin dulu ke Pos Sattis Kota Bakti. Meski dagangan boleh dibawa pulang, tapi sang suami dan honda pinjaman itu tak kunjung dikembalikan sampai sekarang. Kini, saat ibu muda ini harus memikirkan “makan apa besok” untuk kelima anaknya, Sudarmi masih harus memi-kirkan bagaimana cara mengganti Honda teman suaminya yang telah diambil oleh oknum di Pos Sattis Kota Bakti. Selain 15 sepeda motor—yang dilapor tapi diduga lebih banyak lagi—masyarakat juga banyak yang melaporkan harta-benda yang dijarah para oknum yang cukup dikenal mereka. Mulai dari emas, kerbau, dan sebagainya, sampai chain-saw (gergaji berantai) pemotong kayu. Sepeda motor dan harta benda ini dijarah biasanya bersamaan dengan penculikan orang.

Lucunya, pada beberapa kasus, beberapa hari setelah pengambilan sepeda motor itu, oknum tersebut datang lagi untuk mengambil surat- surat seperti BPKB dan STNK. Mereka minta semua surat-surat tersebut, dan masyarakat tak berani menahannya karena takut. Bahkan, setelah Yabuni yang seorang guru SMPN Kembang Tanjong ini diambil oleh oknum Pos Sattis Pintu I Tiro dan ditahan di Rumoh Geudong, para oknum Kopassus itu mendatangi juga SMPN Kembang Tanjong untuk meminta semua surat maupun SK atas nama Yabuni Idris. Untung saja kepala sekolahnya tidak memberikan. Sehingga, Rosmawati dan anak-anak masih dapat uang pensiun suami.

Sedikitnya tiga unit chainsaw telah ikut “diculik”, Di antaranya chainsaw milik Yusuf Hasan (Kades Didoh, Mutiara) yang “diangkut” bersama Yusuf tanggal 12 Maret 1997 oleh oknum dari PS Bilie Aron. Nurmala Yakob, istrinya, belakangan mendapat kabar sang suami telah dibunuh dan dilempar ke jurang Cot Panglima. “Kalau saja Kopassus mau mengembalikan sinso (chainsaw) itu. Saya bisa menyewakannya, untuk makan anak-anak,” tutur Nurmala yang sehari-hari kini berkerja mengambil upah mencuci di rumah penduduk. Dua chainsaw lainnya adalah milik Maimunah, warga Cot Seutui, Ulim, dan milik M Adam/Rahimah, Pulo Baro, Tangse. Yang juga dipertanyakan masyarakat —bernada menyindir— untuk apa oknum Kopassus itu sampai “menculik” chainsaw. Kalau diambil Honda, mungkin bisa memperlancar cari mangsa atau korban. Tapi chainsaw itu untuk apa, kalau bukan mau curi kayu di hutan.
Kerugiaan harta benda ini belum termasuk rumah-rumah penduduk —terbanyak rumah Aceh—yang dibakar. Kini tercatat sekitar 70-an rumah beserta isinya telah sengaja dibakar. Umumnya karena alasan tak bertemu dengan mangsa yang dicari oknum. Lain kasus, disebabkan karena rumah itu diduga telah “melindungi” dan memberi makan para GPL.

11. Sebelum Pulang, Oknum Kopassus Masih Berkenan Menyempatkan Diri Menculik Lagi
Dua oknum Kopassus yang cukup dikenali masyarakat, tanggal 18 Agustus 1998, mencoba menculik keluarga salah seorang korban di Desa Nibong, Ujong Rimba, Kecamatan Mutiara. Penculikan yang sempat menggemparkan masyarakat itu justru terjadi pada hari keberangkatan rombongan Kopassus dari Pidie ke Lhokseumawe.31 Kepala Sub Detasemen Polisi Militer (POM) Sigli Lettu CPM Hartoyo yang dikonfirmasi, membenarkan penculikan itu yang menurut istilahnya sebuah “insiden” yang berhasil diatasi dengan baik.

Kejadian bermula ketika rumah M Yunus Ahmad (korban penculikan tanggal 28 Maret 1998, dan belum kembali) di Desa Nibong didatangi dua oknum dengan mengendarai mobil Toyota Kijang Biru BK 1655 LR. Kedua oknum tersebut berniat mengambil istri korban, Zaubaidah Cut (37). Kebetulan siang itu, Zaubaidah pergi ke Bireun. Penggantinya, oknum —diduga dari Pos Sattis Bilie Aron— kemudian mengambil ibunya (mertua M Yunus) bersama anak M Yunus yang berusia 15 tahun. Menurut keterangan kedua oknum tersebut, mereka diambil untuk dipertemukan dengan korban (M Yunus) yang kini masih hidup (ditahan) dan akan dikembalikan. Tapi, kemudian, mobil yang bermuatan dua oknum bersama keluarga korban itu pun kemudian parkir di simpang jalan Blang Malu (dekat SPBU Mutiara). Mereka merencanakan akan menunggu Zaubaidah. Warga sekitarnya pun menjadi gempar dan panik. Sebagian kemudian menunggu Zaubaidah di simpang lainnya untuk mencegah sang istri korban menjumpai para oknum. Begitu datang, sore hari, Zaubaidah diam-diam digiring langsung ke Sub Den-POM di Sigli.
Begitu menerima laporan tersebut, Lettu CPM Hartoyo segera menelepon Koramil Mutiara untuk “mengamankan” mobil Kijang biru itu. Menurut saksi mata, termasuk Iskandar Ishak SH dari LBH Iskandar Muda, dua anggota Koramil Mutiara dengan mengendarai sepeda motor menemui oknum Kopassus di persimpangan jalan. Sepeda motor itu terlihat menggiring mobil Kijang sampai ke Koramil Mutiara, saat menjelang maghrib. Menurut sumber di Sub Den-POM setempat, kedua oknum Kopassus itu sempat mendapat peringatan keras dari Kasub Den-POM via telepon. Intinya, kalau memang tahanan itu akan diserahkan, harusnya melalui Muspika ataupun langsung ke kepala desa. Namun, sebelum petugas Den-POM menuju ke Koramil Mutiara, kedua oknum Kopassus itu keburu menghilang dengan mobilnya.
Adanya dugaan masih tahanan, termasuk korban M Yunus itu, menurut Hartoyo, pihaknya akan berusaha melacak kembali di beberapa tempat. Hartoyo memang pernah menerima laporan masyarakat tentang dugaan ada tahanan yang masih disekap di beberapa tempat. Hartoyo mengatakan sudah mencarinya, seperti di Padangtiji, yang dilaporkan Kontras, tapi setelah ke sana, Danpos Sattis bilang tidak ada. Menurutnya, untuk menangkap oknum Kopassus yang bertindak “di luar prosedur” selama operasi tak semudah memproses oknum ABRI perorangan. Dalam operasi, mereka itu dalam suatu kesatuan. Ada penanggung-jawabnya. Kalau oknum perorangan, pasti akan diproses.

12. Diculik, Dijarah, Kepala Dipenggal
Kasus orang hilang yang masuk ke DPRD Tk II Aceh Timur, bertambah 24 kasus lagi, sehingga jumlah seluruhnya menjadi 38 kasus. Dari 38 kasus itu, hanya 11 orang yang ditemukan mayatnya. Data orang hilang ini berdasarkan laporan para janda yang kehilangan suami, anak-anak dan familinya. Tiga hari berturut-turut, sejak 20 Juli 1998, lembaga legislatif ini, didatangi para janda yang mengadukan nasib mereka. Sekitar pukul 10.00 WIB, sebanyak 14 janda dari Kecamatan Nurussalam (Idi Cut) dan tiga dari Kecamatan Peureulak, mendatangi gedung dewan untuk mengadukan suami dan anak mereka yang hilang. Hanifah dalam pengaduannya mengatakan, setelah suaminya Rusli Ishak, diculik, rumah kediaman mereka dibakar.32 “Hingga kini saya dan anak-anak terpaksa tinggal di rumah famili,” katanya dengan sedih. Sementara Barinsyah mengaku, suaminya hilang bersama sepeda motornya. Sedangkan orang hilang yang mayatnya ditemukan kembali, yaitu Muklis, warga Idi Cut. Putra dari ibu Kamariah ini ditemukan dalam keadaan kepalanya dipenggal. Warga Idi Cut lainnya Nurdin, Abdul Jalil, Abdul Yatim, Syahbuddin, Rusli Ishak serta Abdullah Karim, warga Desa Paya Meuligo, Peureulak, juga ditemukan mayatnya dalam keadaan mengenaskan. Sebelumnya, dilaporkan empat mayat orang hilang, juga ditemukan. Dengan bertambah tujuh lagi, maka menjadi 11 mayat yang ditemukan. Wakil Ketua DPRD Aceh Timur, Syamaun Budiman SH mengatakan, selain melaporkan tentang suami, anak dan adik mereka yang hilang, para janda itu juga meminta pemerintah agar dapat menanggulangi nasib mereka yang sudah menjanda bertahun-tahun. Para janda itu juga mengeluhkan masa depan anak-anak mereka. Karena, tidak ada lagi yang menanggung biaya pendidikan untuk mereka. Sementara itu, kalangan mahasiswa pro reformasi selaku mediator para pelapor orang hilang itu mengatakan, pihaknya tidak menunggu hasil proses pendataan DPRD, Karena, dikhawatirkan dewan akan lamban meresponnya. Berkai-tan dengan kasus pelanggaran HAM di Aceh Timur, pihak mahasiswa akan membantu memberikan data kepada lembaga HAM yang ada. “Seperti forum peduli HAM yang berkedudukan di Banda Aceh,” kata salah seorang mahasiswa pro reformasi itu. Penambahan laporan yang masuk ke DPRD Tk II Aceh Timur tentang orang hilang yang belum ditemukan, sebagai berikut:
? Syafi’i (50), warga Desa Alur Beurawe, Kecamatan Langsa Timur, hilang, 6-6-1990
? Alamsyah Daud (40), warga Desa Alur Pinang, Kecamatan Langsa Timur, hilang, 27-12-1990
? M Yunus, (19), warga Desa Alur Pinang, Kecamatan Langsa Timur, hilang, 18-12-1990
? M Daud Ali, (45), warga Desa Paya Meuligo, Kecamatan Peureulak, hilang, 3-9-1990
? Abdullah K, warga Desa Blang Seunibong, Kecamatan Langsa Timur, hilang, 28-8-1997
? Abdul Muthalib (30), warga Desa Tualang, Kecamatan Peureulak, hilang, 27-4-1991
? Abdul Rasyid (70), warga Desa Tualang, Kecamatan Peureulak, hilang, 21-3-1991
? Razali ZA (48), warga Desa Tualang, Kecamatan Peureulak, hilang, 27-4-1991
? Ridwan, warga Desa Tringgadeng, Kecamatan Nurussalam, hilang, 14-4-1991
? Jamaluddin, warga Desa Tringgadeng, Kecamatan Nurussalam, hilang, 6-8-1991
? Abdullah, warga Desa Seunebok Simpang, Kecamatan Nurussalam, hilang, 1991
? Moh Isa, warga Desa Seunebok Simpang, Kecamatan Nurussalam, hilang, 7-7-1990
? Ibnu Hasan, warga Desa Seunebok Teungoh, Kecamatan Nurussalam, hilang, 25-6-1990
? Amat Diman, warga Desa Kampung Baru, Kecamatan Nurussalam, hilang ?-4-1991
? Moh Ali, warga Desa Seunebok Simpang, Kecamatan Nurussalam hilang 1991
? M Salim, warga Desa Blang Buket, Kecamatan Nurussalam, hilang 1990; Abdul Rahman (26), warga Desa Seunebok Teungoh, Kecamatan Nurussalam, hilang, 1991.

13. Ditembak dan Dibuang Ke Parit
Kasus orang hilang yang masuk ke DPRD Aceh Timur, telah mencapai 53 kasus, setelah lembaga legislatif setempat, menerima pengaduan sebanyak 15 kasus lagi. Di antaranya, sebanyak tujuh orang ditemukan jasadnya telah meninggal dunia. Sedangkan yang lainnya belum diketahui nasibnya. Orang hilang yang kemudian ditemukan mayatnya, Teungku M Yunus Ahmadi, warga Desa Tanjung Tualang, Kecamatan Peureulak. Kata Hanifah, suaminya itu ditembak di dekat rumahnya pada 27 Pebruari 1991. Usman Ilyas, warga Desa Tepin, Kecamatan Idi Rayeuk, diculik pada tahun 1991. Jenazahnya ditemukan di dalam parit di Desa Keude Geureubak.33 Sedangkan yang lainnya juga ditemukan mayatnya, Armia Yasin (35), Warga Desa Bukit Pala, Peureulak, Syamsuddin Budiman (35) warga Desa Tanjung Tualang Peureulak, Alamsyah (45), warga Desa Paya Kaloi, Peureulak, Zailani Yusuf (45), warga Desa Babah Krueng, Peureulak, Zakaria Abdul Jalil (46), Warga Desa Lipah, Peureulak. Mereka yang dinyatakan masih hilang sebagai berikut:
? Djamaluddin Mahmud (23), mahasiswa, hilang, Maret 1991.
? Abdullah Bakarwan (43), warga Desa Matang Seulimeng, Langsa Barat, hilang, 25 Januari 1997.
? Usman Rauf (50), warga Desa Babah Krueng, Peureulak, hilang, 3 Maret 1991.
? Teungku H Achmad Dewi (43), Warga Desa Bantayan, Darul Aman, hilang 4 Maret 1991.
? Asnawi bin Usman (17), warga Desa Bantayan, Darul Aman, hilang, 4 Maret 1991.
? Zainal Abidin (32), warga Desa Paya Lipah, Peureulak, hilang, 26 April 1991.
? Ishak Yasin (35), warga Desa Utun Dama, Peureulak, hilang 23 April 1991.
? Muhammad bin Lutan (40), warga Desa Keumuning I, Darul Aman, hilang, 29-8-1990.

Semakin banyak para janda yang kehilangan suami, anak dan sanak familinya pada tahun 1990-1991 mengadu ke DPRD II Aceh Timur. Hingga 27 Juli 1998, kasus orang hilang yang masuk ke lembaga wakil rakyat setempat telah mencapai 93 kasus.34 Anggota Komisi A DPRD II Aceh Timur, Mawardi Nur, mengatakan, kasus orang hilang yang masuk ke dewan sebanyak 37 kasus. Namun yang tercatat nama dan alamatnya hanya 31 kasus. Sedangkan enam kasus lagi belum terinventarisir secara akurat. Menurutnya, enam kasus lagi tidak jelas nama dan alamatnya tidak tercatat, kemungkinan akibat kelalaian petugas pencatat. Menurut pantauan, sejak para janda mengadukan prihalnya, kegiatan menginven-tarisir orang-orang hilang di lembaga legislatif itu, terkesan acak-acakan. Sistem pendataan yang dilakukan tidak menggunakan formulir yang seragam. Masing-masing pencatat menggunakan caranya sendiri. Akibat-nya, ada korban yang tidak terdata nama dan alamatnya. Terbukti, dari 37 kasus yang masuk, enam di antaranya tercecer alias tidak terdata secara akurat. Hal ini sangat merugikan bagi masyarakat yang melapor-kannya. Dari 31 kasus yang tercatat nama dan alamatnya itu, 15 orang di antaranya ditemukan mayatnya. Di antaranya ada mayat yang dite-mukan dalam keadaan leher tergantung dengan tali, terapung di sungai, tergeletak di pinggir jalan, terkapar di dalam tambak udang dan parit-parit. Selain itu ada pula rumahnya yang dibakar. Orang hilang yang mayatnya ditemukan itu antara lain, Asnawi Hamzah (46) Warga Desa Bukit Agu, Kecamatan Idi Rayeuk, M Salim (45) Warga Gampong Beusa Seberang, Kecamatan Peureulak, Ilyas Mudsyah (42), Warga Gampong Beusa Seberang, Kecamatan Peureulak, Hanafiah Amin (60), warga Desa Kota Lintang, Kecamatan Kota Kuala Simpang, Mat Yetdin (50) warga Desa Jengki, Kecamatan Peureulak, Johan Basyah (56) alamat tidak tercatat. M Amin bin Ibrahim (63), warga Desa Sampoimah, Kec Idi Rayeuk, M Musa (20) warga Desa Lhok Meurah, Kecamatan Nurussalam, Zainal Abidin (25) warga Desa Ponyan, Kecamatan Nurussalam, Teungku Ishak (48) warga Desa Bukit Bagok, Kecamatan Nurussalam, Jamaluddin (29) warga Desa Seunebok Tuha, Kecamatan Idi Rayeuk, Zakaria (20) warga Desa Lhok Kuyun, Kecamatan Darul Aman, M Jamin (35) Desa Simpang Punti, Kecamatan Nurussalam, Umi Kalsum (46), Desa Seunebok Buloh, Kecamatan Darul Aman dan M Isya (40) warga Desa Pulo U, Kecamatan Nurussalam. Sebanyak 16 orang hilang yang belum diketahui nasibnya sebagai berikut:
? M Gani Ibrahim (45), warga Desa Beusa Seberang, Peureulak, hilang pada 27 Ramadhan 1992.
? M Isa Hasan (32), warga Desa Jengki, Peureulak, hilang, 1991.
? Abdullah Isi (alamat tidak tercatat), hilang 1991.
? Wahid Thalib (60) warga Gampong Mesjid, Nurussalam, hilang 16 Maret 1991.
? M Isa (40), warga Desa Alu Luding II, Darul Aman, hilang 29 Agustus 1991.
? T Daud Paneuk (37), warga Desa Panah Sa, Nurusslam, hilang 1991.
? Abdullah (27), warga Desa Keumuning III, Darul Aman, hilang 1992.
? M Yusuf (25), warga Desa Keumuning III, Darul Aman, hilang, 1991.
? Ishak (39), warga Desa Bagok Panah I, Nurussalam, hilang, 15 Desember 1991.
? M Jakfar (34), warga Desa Bagok, Nurussalam, hilang, 24 April 1991.
? M Husin (50), warga Desa Bukit Rumiah, Darul Aman, hilang, 9 September 1991.
? Zainuddin (25), warga Desa Bukit Panjau, Nurussalam, hilang, 10 Nopember 1991.
? Ismail Hasan ( 45) warga Desa Seunebok Dalam, Nurussalam, hilang, 16 Nopember 1991.
? Zailani (37) warga Desa Seunebok Dalam, Nurussalam, hilang 1996.
? Ramli (40) warga Desa Lhee, Nurussalam, hilang, Pebuari 1991.
? M Yusuf Ismail (30) warga Desa Sidodadi, Langsa Timur, hilang, 1991.
Kasus orang hilang, yang dilaporkan kepada pihak DPRD II Aceh Timur, sementara ini telah mencapai 117 orang, setelah tanggal 28 Juli 1998 masuk 24 kasus lagi. Sebanyak 23 kasus di antaranya dilaporkan warga Kecamatan Simpang Ulim.35 Selebihnya satu kasus dari Peureulak dan satu lagi dari Idi Rayeuk. Para janda melaporkan kehilangan suami, anak dan sanak familinya. Menurut keterangan anggota Komisi A DPRD setempat, Eno Rukmana, dari 24 kasus orang hilang itu, hanya lima di antaranya ditemukan mayatnya. Sedangkan yang lainnya masih belum diketahui nasibnya. Orang hilang yang mayatnya ditemukan itu antara lain, Haji Yunus (46), Abdul Hamid (40), Syafaruddin (30), Ismail (25), Abubakar Ismail (41). Dari lima orang hilang yang ditemukan, tiga di antaranya ditembak. Seperti dilaporkan Abdul M Husin, warga Desa Leung Peut, Simpang Ulim, putranya itu diculik pada 8 Desember 1997. Ia ditembak tujuh hari kemudian, ketika pulang ke kampung, saat tiba di rumah. Sedangkan Syafaruddin, menurut pelapornya, dijemput orang tak dikenal di Malaysia, pada 27 Maret 1998 untuk dibawa ke Aceh. Tapi korban ditembak di negara tetangga itu. Korban dikuburkan di Malaysia. Sementara itu, Abubakar Ismail ditembak di tempat pada 15 September 1990. Menurut pelapornya, mayat tidak boleh diambil. Setelah 44 hari, baru mayat dikembalikan kepada keluarganya. Peristiwa yang paling memilukan lagi, seperti diuraikan Siti Hajar. Putranya Zulkifli yang masih berusia 13 tahun, diculik pada tahun 1992 di kawasan Desa Lubuk Pimping, Simpang Ulim ketika sedang pergi ke sekolah. “Hingga hari ini anak saya itu tidak pulang,” kata Siti Hajar.

14. “Dikubur” Sampai Sebatas Leher
Akibat munculnya gangguan keamanan oleh GPK dan diberlakukan-nya “Daerah Operasi Militer” (DOM) di Aceh, banyak warga Aceh yang hilang nyawanya secara tidak wajar. Mereka ada yang menjadi korban tindakan kekerasan oknum aparat kemanaan. Ada juga yang dihabisi GPK. Banyak orang hilang di Aceh yang tidak diketahui rimbanya. Di Aceh Timur saja, orang hilang yang tercatat di DPRD setempat, mencapai 202 kasus. Sedangkan yang ditemukan kembali telah menjadi mayat hanya berbilang jari. Namun, di antara korban yang “diambil”, ada juga yang masih hidup. Mereka inilah sebagai saksi hidup tentang terjadinya pelanggaran HAM di daerah ini. Adalah Amril (35), warga Idi Rayeuk, bersama keluarganya, sudah berada di gedung DPRD II Aceh Timur. Ia bermaksud ingin menguraikan penderitaan pahitnya kepada tim pencari fakta (TPF) DPRD-RI di gedung dewan tersebut, akibat disiksa oknum aparat keamanan. Namun, acara temu dialog masyarakat dengan TPF di ruang sidang DPRD Aceh Timur itu, baru dimulai sekitar pukul 10.20 WIB. Sehingga, kesempatan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi-nya sangat terbatas. Amril sendiri tidak sempat untuk mengadukan prihalnya kepada anggota dewan terhormat dari Jakarta itu. Namun, ia sempat menuturkan kisah nyatanya itu. Sebagai seorang nelayan kecil, ia mengatakan hidupnya pada waktu itu, sangat tenteram. Untuk menyambung hidup keluarganya, ia pergi melaut dengan perahu, khusus untuk menjaring udang. Tapi nasib berkata lain. Pada suatu malam, 2 Juli 1996, ketika hendak melaut, ia diambil oleh oknum tentara dengan tuduhan sebagai anggota GPK. Selanjutnya apa yang terjadi. Esoknya, di markas para aparat keamanan itu, ia disiksa dan dipaksa harus menga-ku sebagai anggota GPK. Berkali-kali Amril memelas agar jangan dipukul, karena ia bukan GPK. Tapi para oknum petugas itu tidak percaya, bahkan setiap ia memelas, broti mendarat ke tubuhnya. Bukan itu saja siksaan yang dialami Amril. Kuku jari tangan dan kakinya dicabut dengan tang dan dihimpit dengan batu. Setiap kuku yang tercabut disuruh isap. Menurut pengakuan ayah dari tiga orang putra yang masih kecil-kecil itu, ia juga pernah ditanam sampai sebatas leher di Bukit Cut, Keude Geurubak, Idi Rayeuk. Di bukit itu, mulut Amril dikencingi, setelah terlebih dahulu rahangnya dijepit dengan tangan agar mulut ternganga. Akibat siksaan berat itu, tubuh Amril kini terasa teruk. Urat kakinya ada yang putus akibat dihantam dengan benda keras. “Selama lima bulan saya disandera di markas itu,” kata suami Syafariah tersebut. Lain halnya dengan Cut Ainul Mardhiah (57) yang juga menuturkan kisah sedihnya. Janda yang juga berasal dari Idi Rayeuk ini, merupakan korban GPK. Suaminya, Serka Trimin Trihartono, dibunuh oleh kelompok separatis itu. Trimin pada tahun 1989 bertugas di Koramil Idi Rayeuk sebagai Babinsa Kota. Pada suatu malam, ketika ia sedang mengawasi sebuah PHR, tiba-tiba datang seorang menjemputnya memberi laporan ada keributan di Kuala Idi. Tanpa curiga, Trimin pergi ke Kuala Idi. Ia dibon-ceng dengan sepeda motor oleh orang yang menjemputnya itu. Namun naas bagi Trimin. Dalam perjalanan ke Kuala, di suatu tempat yang sepi, ia ditembak dari belakang sehingga tewas ketika itu juga. “Itulah yang terjadi terhadap keluarga kami,” kata Cut Ainul.

15. Dibuang ke jalan
Menjelang pasukan ditarik dari Aceh, yang kabarnya dilakukan antara 19 dan 20 Agustus 1998, beberapa kejadian menarik terjadi di Aceh. Misalnya, ada empat pria yang hanya mengenakan celana dalam dengan kondisi fisik dan psikis yang buruk, serta tanpa identitas apapun, 12 Maret 1998 pukul 21.00 WIB “dibuang” dari sebuah mobil jeep di dua lokasi di tengah jalan raya Banda Aceh-Medan antara kawasan Syamta-lira Bayu-Geudong, Aceh Utara. Seorang di antaranya, tewas ditabrak sebuah mobil saat lari menyeberang jalan beberapa jam setelah diberi makan dan tempat mengaso oleh penduduk. Peristiwa tersebut disaksikan sejumlah warga Desa Bunot Bayu dan warga Geudong. Warga setempat menduga, keempat pria korban “buangan” itu korban penculikan alias orang hilang yang telah mengalami penyiksaan berat dan keburu dilepas menjelang penarikan pasukan keamanan nonorganik dari Aceh. Beberapa warga sekilas melihat paling sedikit ada empat oknum dalam mobil yang mirip jeep land rover dan tak jelas plat nomor polisinya itu. Setelah menyelesaikan tugasnya membuang “muatan” berupa empat anak manusia itu, dengan tenang mobil tersebut meluncur kembali di jalan raya menuju arah timur Lhokseumawe. Menurut keterangan warga, dua korban pertama dibuang di kawasan Desa Bunot Bayu. Sedangkan dua orang lagi di kawasan jalan tak jauh dari Geudong Samudera. Baik dua korban yang dibuang di Bayu, maupun dua lagi yang dibuang di Geudong, bangkit dan berjalan terhuyung-huyung di jalan raya hingga menarik perhatian orang banyak yang saat itu berada di tepi jalan sekitar dua lokasi kejadian. 13 Agustus 1998 sekitar pukul 01.00 WIB pagi, beberapa pemuda Bunot Bayu melihat ada orang yang berjalan terhuyung-huyung, tak tentu arah, dan berputar-putar di jalan raya yang padat arus lalu-lintas itu. Maka, para pemuda mendatangi orang tersebut dengan maksud mencari tahu mengapa mereka tampak lemas dan terbingung-bingung. Setelah ditanya ternyata orang itu adalah salah seorang dari dua korban yang dibuang di kawasan Beunot Bayu.Dari profil tubuhnya diperkirakan korban masih muda dan berusia antara 18 sampai 25 tahun. Pemuda Desa Bunot kemudian meminta bantuan salah satu warga desa untuk memberi makan kepada korban yang fisiknya tampak lemah sekali itu. Selagi ia makan, beberapa pemuda --termasuk ibu yang memberinya makan--mengajukan beberapa perta-nyaan menyangkut identitas korban. Meski ditanya siapa nama dan dari mana, ia hanya menjawab singkat, “Matang Peusangan”. Ini adalah nama sebuah ibukota kecamatan di Aceh Utara. Setelah menyebut dua kata itu, korban berteriak berkali-kali, “Jangan setrum saya. Jangan pukul kepala saya pakai pistol, sakiiit, jangan siksa saya lagi,” tangis korban tersedu-sedu dan histeris, sambil memegang kedua kepalanya seraya menunduk. Terkesan ia menghindari sesuatu, seperti layaknya orang yang coba menghindari pukulan beruntun. Wajahnya saat itu kelihatan pucat dan ketakutan, serta tak berani meman-dang wajah orang-orang yang memberinya makan di Desa Bunot. Seuai makan, empat pemuda yang bertugas di Poskamling Langa Bayu memberinya tempat tidur di pos itu. Menjelang subuh, keempat pemuda yang tertidur lelap, terbangun. Tapi, tak lagi melihat korban di sana. Mereka bergegas mencari korban yang diam-diam meninggalkan Poskamling saat mereka tertidur itu. Mereka menelusuri arah jalan timur dan ke barat karena yakin korban tersebut belum jauh dari Poskamling. Dugaan keempat pemuda itu benar. Tak jauh dari Poskamling, tiba-tiba mereka mendengar suara tabrakan di jalan raya, tapi tak sempat memperhati-kan mobil apa yang melintas dengan cepat. Ternyata yang ditabrak adalah orang yang sedang mereka cari. Peristiwa kecelakaan dan ihwal korban itu dilaporkan kepada petu-gas Polsek Bayu. Korban yang saat itu diperkirakan telah tewas di TKP akibat ditabrak mobil, diangkut ke RSU Lhokseumawe. Hingga 16 Agustus 1998 mayat tak dikenal itu masih terbaring di ruang jenazah RSU Lhokseumawe, kondisinya memprihatinkan. Korban hanya mengenakan sepotong celana dalam, tinggi tubuh ditaksir 160 Cm, kurus ceking. Luka baru akibat tabrakan terlihat mengganga di bagian kepalanya dengan darah yang membeku. Kedua belah siku tangan dan lututnya juga terluka. Keanehan juga tampak pada mayat korban. Sebagian giginya telah rontok. Selain itu, bekas luka-luka lama (sebelum tabrakan) terlihat jelas pada tubuh korban terutama di bagian dada, pipi, dan bagian kedua lengan yang diduga keras, korban sebelum tewas ditabrak telah “kenyang” dengan penganiayaan yang cukup berat. Kantor LBH Yayasan Iskandar-Muda mendapat laporan dari penduduk Bunot tentang “pembuangan” keempat korban tersebut. Yacob Hamzah langsung mengecek ke kamar jenazah RSU Lhokseumawe dan mendapat kepastian dari seorang warga Bunot bahwa korban tewas akibat ditabrak mobil itu adalah salah seorang korban eks “buangan” mobil misterius di Bunot yang sempat diberi makan dan tidur di Poskamling Langa Bunot. Pihak LBH Yayasan Iskandar Muda membuat analisa dari keterangan pendu-duk Bunot serta mencocokkan-nya dengan daftar laporan orang hilang serta sejumlah foto-foto korban orang hilang yang ada di arsip LBH tersebut. Melihat kondisi korban yang tewas dan cerita penduduk tentang tiga korban lain, pihak LBH menduga keempat korban “buangan” dari mobil miterius itu adalah korban penculikan yang telah mengalami siksaan berat dan berada dalam kondisi fisik dan psikis yang amat lemah. Ketua LBH ini juga menyerukan demi kemanusiaan, jika itu adalah korban orang hilang atau penculikan, maka cara-cara “pembuangan” korban yang sedang mengalami sakit psikis dan depresi mental yang berat seperti itu, sama dengan membunuh. “Cara yang lebih manusiawi adalah menyerahkan atau membebaskan mereka dengan cara yang tidak menyakiti lagi,” saran Yacob. Mohd Yacob Hamzah menegaskan, kalau perlu LBH yang dipimpinnya siap menolong korban jika diberitahu keberadaannya dan berjanji menjaga “rahasia” lokasi tempat korban berada. “Demi kemanusiaan, jangan menambah penderita-an korban lagi. Allah akan mengampuni dosa bagi orang yang membantu orang-orang yang teraniaya,” kata Yacob rada religius.

16. Korban Pembantaian
Sementara itu, di Desa Alu Ie Mirah Kecamatan Simpang Ulim, Aceh Timur, kuburan massal ditemukan di kawasan Bukit Gantung yang letaknya 15 Km dari Keude Lhok Nibong. Di lokasi itu ditemukan lima korban pembantaian yang diduga dilakukan oknum aparat keamanan pada tahun 1990. “Satu di antara korban ditanam oleh M Sareh dalam kebun coklatnya dan diperkirakan tulangnya masih ada,” ujar Ismail Ali (30), penduduk Alue Ie Mirah. Beberapa warga Desa Alue Ie Mirah mengatakan bahwa mereka pernah melihat para korban dibawa aparat keamanan ke Bukit Gantung, persis di Lorong Cot Puteh. Korban dibawa dengan mata tertutup dan tangan diikat, malah sambil berjalan paksa korban dipukuli. “Kami hanya melihat lima orang saja yang pernah dibawa ke sana,” kata Ismail. Menurut Ismail, warga yakin korban dibu-nuh di Bukit Gantung, sedangkan mayatnya di lempar ke jurang. Tapi, dari lima orang yang dibawa ke sana hanya satu kali terdengar letusan senjata, yang lainnya diduga dibunuh dengan pisau atau justru dicekik. Pendeknya, warga melihat tiap aparat membawa korban ke lokasi itu dan tidak ikut dibawa pulang saat aparat kembali. Malah penduduk menemukan sepasang sepatu yang digantung di pohon oleh aparat setelah pemiliknya dibunuh. “Semua orang tahu dan tanya saja kepada kepala desa,” kata warga. Warga Alu Ie Mirah juga mengatakan bahwa selain para tahanan dari tempat lain dibawa dan dibunuh di Bukit Gantung juga warga desa itu hilang diculik aparat keamanan dan 20 unit rumah penduduk dibakar oknum aparat. Warga desa itu yang diculik antara tahun 1990 lalu masing-masing, M Yusuf (32), Abu Bakar (50), M Aji (16), Pawang Ibrahim (50), Nurdin Ahmad (25), Abdul Majid (35), Abd Mulateb (32), Abdul Manaf (35), Abd Mutaleb Ahmad (45), Abdullah Pawang (55), dan Abdurrahmah (30). Semua korban diculik pada tahun 1990 dan hingga kini belum diketahui nasibnya.

17. Dipaksa Ikut Membantu Operasi, Lalu Dilibas
Berbagai akal licik dilakoni aparat keamanan untuk memperdaya anggota masyarakat yang dijadikan sasaran selama operasi militer berlangsung di Aceh sejak 1990 hingga 7 Agustus 1998. Modus yang menonjol dilakukan adalah mengajak calon korban dengan dalih ikut membantu operasi menumpas GPK, menjadikan mereka sebagai tameng dalam pertempuran, lalu dihabisi.36 Atau paling tidak, mereka dikondisi-kan untuk tewas tanpa pertanggungjawaban apapun dari aparat mau-pun kesatuannya. Dari hasil klarifikasi kasus, Forum Peduli Hak Asasi Manusia (FP HAM) mencatat praktik-praktik kejahatan seperti itulah yang menimpa banyak warga sipil di pedesaan, mulai dari Kabupaten Pidie, Aceh Utara, hingga Aceh Timur. “Paling sedikit, 25 korban pemban-taian dari 720 pengaduan yang diterima FP HAM tewas dengan modus operandi seperti itu,” ungkap Ketua Pelaksana Harian FP HAM, Ir Abdul Gani Nurdin didampingi Ketua Pokja Investigasi/Advokasi Mukhlis Mukhtar SH. Salah satu kasus yang mereka sebutkan adalah apa yang menimpa Geuchik Hasim Ibrahim (45), warga Bayeun, Aceh Timur. Pada suatu siang di tahun 1990, suami Mariati Salam (35), yang baru punya satu putra, ini didatangi petugas keamanan di rumahnya. Jelas-jelas petugas menyatakan kepada Hasim bahwa perannya sebagai tokoh masyarakat di desa itu amat diperlukan untuk ikut membantu operasi militer menumpas GPK. Meski khawatir akan keselamatan Hasim, tapi istri dan anaknya, Saiful (7), akhirnya merelakan juga lelaki yang mereka cintai itu pergi. Dua hari berselang, tak ada kabar apakah benar Hasim ikut operasi atau tidak. Tak pula diketahui seberapa besar perannya dalam operasi itu, kalau memang ada. Yang jelas, pada hari ketiga setelah ia dijemput petugas, seorang warga menemukan Hasim sudah jadi mayat di pinggiran desa. Para petugas yang menjemputnya, jangankan menga-ku bertanggung jawab, datang pun tidak untuk, misalnya, sekadar menyatakan duka cita ke rumah Hasim. Dengan dalih “ikut operasi” pula Bransyah, Banta Lidan, dan Bugeh (ketiganya bersaudara) dijemput di rumahnya, lalu dihabisi pada suatu malam di tahun 1994. Warga Desa Maneh, Geumpang, Pidie itu adalah anak, menantu, dan adik dari Denabah yang datang melapor ke FP HAM. Menurut Denabah, yang datang menjemput para korban itu adalah aparat keamanan berbaret merah. Pertama diambil adalah Bransyah, menyusul Banta Lidan, dan Bugeh. Ketika ditanya Denabah mengapa anak, menantu, dan adiknya itu diambil, petugas menjawab tangkas: ikut bantu operasi ABRI! Mereka pun dilepas Denabah dengan harapan bisa kembali dalam keadaan selamat. Tapi, naluri keibuan Denabah akhirnya beralasan bahwa ajakan “ikut operasi” itu hanya dalih. Terbukti, tak jauh dari rumahnya, selagi melintas di Simpang Kene (Geumpang) Bransyah ditembak. Letupan suara bedil terdengar ke rumah Denabah, dan warga pun berhamburan, kemudian menyaksikan tubuh Bransyah terbujur kaku ditembus timah panas. Sedangkan Bugeh, dihabisi dengan cara ditembak di Cot Bate Keling, juga tak jauh dari Desa Maneh, Geumpang. Akan halnya, sang menantu, Banta Lidan, dieksekusi dengan cara lehernya digorok, sampai terpisah kepala dari badan. “Badannya dibuang ke gunung, sedangkan kepalanya dipulangkan ke kampung kami,” ungkap Denabah. Pendek-nya, dalam sehari itu Denabah dan keluarganya yang tersisa, bersama warga desa mengubur tiga mayat. Ia tak habis pikir, mengapa mereka yang semula didalihkan ikut membantu operasi militer, pulangnya sudah jadi mayat dan hanya tinggal kepala. Ismail Mahmud (63), warga Leubok Maneh, Jambo Aye, Aceh Utara yang hanya tamatan SR, juga mengalami nahas pada suatu hari di tahun 1991. Kala itu, menurut istrinya, Keumala-wati (45), suaminya yang masih kekar itu dijemput sejumlah petugas di rumahnya pada 5 Maret 1991, selagi shalat magrib. Petugas menyatakan, dan itu didengar langsung oleh Keumalawati, suaminya akan dibawa ke Langkahan, masih di Aceh Utara, untuk ikut membantu operasi ABRI menumpas GPK. Sehari di Langkahan, Ismail dibawa aparat ke Rantau Peureulak, katanya, juga untuk membantu operasi selama seminggu. “Tapi, sudah tujuh tahun lebih, suami saya belum dipulangkan. Jangan- jangan sudah meninggal. Tapi, kalau sudah meninggal di mana kubur-nya,” Keumala menggugat. Ada pula korban yang diambil dengan dalih ikut membantu menunjukkan tapal batas desa. Itulah yang menimpa Asy’ari bin Teungku Amin (32), warga Dayah Baroh, Ulim, Pidie, yang diambil 30 April 1991, dan ditemukan jadi mayat pada 4 Mei 1991. Ia dibawa naik mobil dengan dalih perlu bantuan menunjukkan tapal batas jalan. Lalu dibawa ke Pos Sattis Gle Cut, dan sebulan kemudian ditemukan di Desa Geulanggang Ulim sudah jadi mayat dengan luka tembak di tubuhnya. Begitu dikisahkan Aisyah (40), kakak kandung korban. Selain didalihkan ikut operasi, ada pula korban yang dijadikan tameng operasi, sebagaimana dialami Teungku Rahman Ali (70), warga Cot Baroh, Glum-pang Tiga, Pidie. Suatu hari di tahun 1996 ia dibawa ke Pos Sattis Bilie Aron (Rumoh Geudong), ditembak, lalu diobati. Kemudian, disiksa lagi dan dibawa operasi untuk ditempatkan di barisan depan (sebagai tameng tentara) saat menyerang persembunyian aktivis GPK di hutan. Melihat banyak warganya yang diambil dengan dalih ikut operasi dan tak pernah dipulangkan—kalaupun ada dalam bentuk mayat—Syech Asnawi Yah-ya (32), Kades Blang Kulam, Kecamatan Batee, Pidie coba beradu argu-men dengan aparat keamanan. Sebagai pengayom, ia tak ingin warganya terus-terusan diambil tanpa kesalahan yang jelas, kecuali dialasankan ikut membantu operasi. Tapi, adu argumen itu pula yang membuat sar-jana FKIP Jabal Ghafur, Sigli, dan ayah dua anak ini diciduk petugas pada tahun 1991. Lalu dibawa ke jembatan Delima, Pidie. Dipasang tali di lehernya, kemudian disuruh tarik kepada 10 warga. Dalam situasi begitu, petugas menyemburkan peluru ke tubuhnya. Tewas di tempat. “Mayat adik saya itu baru boleh diambil esoknya oleh ibu saya,” lapor abang korban, Syech Baihaqi Yahya kepada Forum Peduli HAM.

18. Teror Berlebihan Terhadap Korban
Menurut catatan, salah seorang korban perkosaan, Nyak Maneh Abdullah (35) beberapa hari lalu juga sempat mendapat teror dari seorang cuak yang diduga atas suruhan para oknum Kopassus. Waktu itu, rumah Nyak Maneh di Desa Rinti, Mutiara, sempat didatangi sejumlah oknum dengan mobil. Hanya satu orang—TPO alias cuak di Rumoh Geudong bernama Is alias R—yang turun menjumpai Nyak Maneh. Para oknum aparat menunggu di mobil. “Saya ditanya, siapa yang menyuruh melapor ke DPRD,” kata Nyak Maneh. “Saya jawab, saya sendiri yang lapor. Karena banyak orang kampung sudah lapor. Saya tidak takut lagi sekarang.” R menanyakan beberapa pertanyaan lagi dengan nada mengancam. Belakangan diketahuinya, ternyata Kepala Desa (Kades) Rinti setempat juga sudah lebih dulu diinterogasi oleh beberapa oknum aparat yang cukup dikenal oleh Pak Keuchiek. “Saya memang tidak diapa-apakan. Tapi, saya merasa takut juga. Beberapa malam ini saya tidak tidur di rumah,” tambah Nyak Maneh. Pasi Intel Kodim 0102 Pidie Letda Inf Suyanto menegaskan apabila memang ada pelapor yang diteror atau sekadar ditanyai demikian, dipersilakan melapor ke Kodim 0102 Pidie. “Kita tetap menjamin keamanan setiap pelapor. Tak perlu takut,” tegasnya, seperti ketika ia—mewakili Damdim—menegaskan hal itu di hadapan TPF DPR RI di Sigli. “Kalau yang meneror itu oknum aparat, sebaiknya kenali nama, dari pos mana, kalau perlu pangkatnya apa. Supaya gampang kita kita panggil dia,” jelas Suyanto. Sejumlah Pos Sattis (PS) di Pidie, mulai kosong. PS Padangtiji, PS Bilie Aron, PS Kota Bakti, PS Jiem-Jiem, dan PS Pintu I Tiro, terlihat berkemas-kemas berangkat menuju Lhokseumawe. Malah dikabarkan, penghuni PS Tringgadeng dan PS Ulee Glee sudah lebih dulu minggat. keberangkatan anggota pasu-kan elite itu disambut gembira oleh masyarakat. Begitupun, banyak warga yang menyaksikan kepergian mereka dengan tatapan sinis. Seperti yang terjadi di PS Bilie Aron. Warga sekitar Rumoh Geudong dari balik pagar melihat kepergian “para oknum” itu dengan sinis. Sebagian mengumpat, dan sebagian mengucapkan syukur. “Bagaimana tidak bersyukur. Kami sudah tak sanggup lagi mendengar dan menyaksikan orang-orang disiksa di Rumoh Geudong itu. Kalau malam, tidur kami sering terganggu karena mendengar jeritan-jeritan orang yang disiksa. Atau mendengar lagu-lagu dari tape yang diputar keras-keras waktu penyiksaan,” tutur seorang warga Desa Aron. Bahkan, setelah berangkat para oknum itu pun ternyata masih meninggalkan sebentuk penderitaan lain. Menurut ang-gota keluarga pemilik Rumoh Geudong, oknum Kopassus itu meninggalkan hutang jutaan rupiah. Bayangkan, enam bulan rekening telepon belum dibayar. “Mereka suruh kami menagih pembayarannya sama bupati,” kata pemilik rumah. Tak sedikit Pemda Pidie mengeluarkan dana untuk biaya operasional Kopassus, termasuk rekening telepon, listrik, sewa rumah, kendaraan, dan sebagainya selama DOM. Sumber di Setwilda Pidie menyebutkan, tunggakan telepon di Mess Kopassus di Blang Asan yang mencapai Rp 7 juta pada tahun 1997 belum lunas. Ditambah lagi rekening telepon di tujuh Pos Sattis lainnya.

19. Saat Eksekusi Subuh Nurhayati Ingin Memeluk Suaminya
Nurhayati (35), hanya berteriak histeris saat menyaksikan suaminya diberondong dengan senjata, di rumahnya, 20 September 1990. Wanita yang baru dua bulan melahirkan ini, tersentak saat mendengar suara letusan senjata di bawah rumahnya yang tinggi, rumoh Aceh. Beberapa menit sebelumnya, ia masih melihat suaminya, Basyaruddin, sembahyang shubuh. Setelah turun, ia mendapatkan suaminya sudah terkapar di tanah. Ia mengerang menahan sakit, dan dari pergelangan tangan kanan tampak keluar darah karena luka tembak. Tampak tiga oknum tentara dan Kades A Wahab berdiri mengelilingi korban, sembari membiarkan korban merintih-rintih kesakitan.37 Setelah beberapa saat, sambil berdiri santai, kembali menembak dan mengenai pinggang korban. Nurhayati menangis, dia ingin maju memeluk suaminya yang tampak makin payah setelah peluru kedua menembus pinggangnya. Kepala desa dan ketiga petugas berseragam tampak santai saja, menonton erangan Basyararud-din yang tak berdaya. Namun niat Nurhayati itu dicegah dengan kasar, sehingga dia terjerembab ke halaman. Hal yang sama dialami oleh ibunya, Fatimah, juga dipukul berkali-kali karena menangis meraung-raung. Entah belum puas, Basyaruddin yang sudah sekarat itu, kemudian diseret ke halaman. Oknum berseragam itu kemudian memotong batang pisang yang rupanya dipakai sebagai bantal Basyaruddin. Setelah disandarkan di pohon itu, para oknum berseragam tersebut mundur beberapa meter, untuk kemudian menembak secara beruntun. “Saya tidak sanggup mena-ngis lagi. Apa dosa suami saya. Ibu juga disepak karena tak mau diam saat dibentak agar berhenti menangis,” katanya saat melaporkan peristiwa tersebut ke sebuah LBH di Lhokseumawe, beberapa hari lalu. Sejak saat itu, Nurhayati telah berstatus janda satu anak yang baru berumur dua bulan. Lain lagi kisah M Hasbi Yacob, korban yang saat itu sebagai Kades Bili Baro Kecamatan Matangkuli, harus menjalani siksaan selama 32 hari di posko Rancung Batuphat, milik PT Arun, hanya gara-gara bertanya mengapa ada oknum ABRI yang memukul warganya. Kejadian berawal 10 Juli 1990, ia bersama sekdes M Diah dibawa empat anggota tentara Yonif 125, setelah menanyakan kenapa warga desanya dipukuli. Saat itu sebuah mobil colt yang dipakai oleh beberapa oknum berseragam ABRI, tersangkut di jalan sosial. Lalu tentara itu minta bantuan melalui Kades untuk membantu. Saat itu juga terkumpul sebanyak 35 pemuda desa ikut membantu. Tapi setelah itu, tanpa sebab petugas mengancam anak-anak muda desa sambil memukuli mereka. “Saya waktu itu mengingatkan supaya mereka jangan dipukuli, apalagi tidak bersalah. Saat itulah saya langsung diciduk dan dituduh semua warga desa itu GPK,” kata Hasbi. Suasana lebih buruk lagi saat Hasbi (58) bersama Sekdes M Diah, ditelanjangi di depan warganya selama 1,5 jam. Diperlakukan begitu, kedua tokoh desa ini terpaksa harus menunduk menahan malu. Baru kemudian mereka dinaikkan ke mobil menuju Posko Alue Lengkit. Sedangkan uang dalam saku celananya sebanyak Rp 1,2 juta hasil jualan jeruk juga diambil petugas. Kemudian di tengah perjalanan, keduanya ditutup mata dan saat dibuka mereka sudah tiba di Rancung. “Tidak bisa diingat sakitnya. Kami disiksa seperti anjing,” tutur mantan kades Bili Baro itu sambil tercenung. Di dalam barak itu, terlihat ada 13 orang tahanan lain yang kondisinya sangat menyedihkan. “Setiap malam kami dipukuli, dilempar ke dalam beling, disetrum listrik di kemaluan, dan dikasih makan dengan tulang ikan. Kalau lambat atau cepat ambil nasinya, langsung kami disepak,” kata Hasbi. M Hasbi yang sampai saat ini alat vitalnya masih mengeluarkan darah akibat penyiksaan setrum listrik itu, tidak mampu membayangkan kesadisan petugas. “Kami kalau minta shalat, tidak dikasih, dan kalau baca fatihah kera-keras, barak kami itu dihujani batu dari atas bubung,” tutur Hasbi yang mengadu ke LBH Iskandar Muda Lhokseumawe. Hasbi yang bernomor tahanan 98 itu ia disekap bersama 13 tahan lainnya, di antaranya nama Alamsyah (Kades Arongan Lhoksukon), Syahril (kades Nibong), Ahmad Saidi (anggota Polsek Sungai Pauh Langsa), Usman (anggota Koramil Sumigo Raya A Timur), Ibrahim (warga Jrat Manyang), H Manaf (Panton Labu), Ampon Ahmad (Jeunib), dan Ibrahim warga Penayang Lhokseumawe (masih hidup). Keuchik Hasbi setelah disiksa sebulan lebih, dipulangkan kembali ke Posko Alue Lenyit dan diserahkan kepada Koramil Matangkuli. Se-mentara jabatan Kadesnya sendiri sudah duluan dicopot oleh Camat Sadali Badai (saat ini pembantu bupati Lhoksukon).

20. Dikubur 3 Hari Lalu Ditembak
Berbagai drama pembantaian semasa operasi militer berlangsung di Aceh kini satu per satu mulai diungkapkan keluarga korban atau saksi mata yang semakin berani melapor ke lembaga-lembaga yang bersedia menampung pengaduan mereka. Salah satunya adalah apa yang dilaporkan Nyak Adek (65) mengenai nasib menantunya, Nyak Umar Daud (40), warga Dayah Cot, Tiro, Pidie yang pernah dikubur separuh badan dan disetrum selama tiga hari berturut-turut, lalu didor.38 Seperti dilaporkan Nyak Adek, peristiwa yang menimpa menantunya itu terjadi pada suatu hari di tahun 1991. Nyak Adek yakin benar bahwa penculik suami Fatimah (30) itu adalah beberapa aparat keamanan yang berbaju loreng. Tak jelas apa salah Nyak Umar, juga tak dijelaskan terlibat GPK atau tidak, tapi tiba-tiba ia didatangi petugas di tempatnya bekerja masih di desa Dayah Cot, Tiro. Di depan teman-teman sekerjanya, ayah empat anak ini disuruh menggali lobang sedalam satu meter lebih di bawah todongan senjata, lalu ia dipaksa masuk ke lobang itu. Setelah itu, ia ditimbun separuh badan dan disetrum berkali-kali dengan dipaksa mengaku terlibat GPK. Siang maupun malam, selama dua hari, ia diperlakukan seperti itu, namun tak juga m


Bab 09-2: NESTAPA KAUM MUSLIMIN - Sekelumit Kisah Getir di Aceh (2)
20. Dikubur 3 Hari Lalu Ditembak
Berbagai drama pembantaian semasa operasi militer berlangsung di Aceh kini satu per satu mulai diungkapkan keluarga korban atau saksi mata yang semakin berani melapor ke lembaga-lembaga yang bersedia menampung pengaduan mereka. Salah satunya adalah apa yang dilaporkan Nyak Adek (65) mengenai nasib menantunya, Nyak Umar Daud (40), warga Dayah Cot, Tiro, Pidie yang pernah dikubur separuh badan dan disetrum selama tiga hari berturut-turut, lalu didor.38 Seperti dilaporkan Nyak Adek, peristiwa yang menimpa menantunya itu terjadi pada suatu hari di tahun 1991. Nyak Adek yakin benar bahwa penculik suami Fatimah (30) itu adalah beberapa aparat keamanan yang berbaju loreng. Tak jelas apa salah Nyak Umar, juga tak dijelaskan terlibat GPK atau tidak, tapi tiba-tiba ia didatangi petugas di tempatnya bekerja masih di desa Dayah Cot, Tiro. Di depan teman-teman sekerjanya, ayah empat anak ini disuruh menggali lobang sedalam satu meter lebih di bawah todongan senjata, lalu ia dipaksa masuk ke lobang itu. Setelah itu, ia ditimbun separuh badan dan disetrum berkali-kali dengan dipaksa mengaku terlibat GPK. Siang maupun malam, selama dua hari, ia diperlakukan seperti itu, namun tak juga mengakui apa yang dituduhkan aparat kepadanya. Pada hari ketiga, sepertinya petugas mulai habis kesabaran, lalu menembak mati lelaki yang cuma tamat SD itu. Setelah jadi mayat, petugas memberitahu keluarganya agar jenazah Umar Daud dikuburkan oleh pihak keluarga. Tapi, dalam suasana berkabung itu, istri korban dan anak-anaknya masih menghadapi cobaan lain: petugas membakar rumah Nyak Umar. Seluruh isinya tak sempat diselamatkan. Kini, Nyak Adek mau tak mau harus menampung dan menghidupi istri almarhum Nyak Umar (Fatimah) yang tak lain anak kandungnya sendiri bersama empat cucu yang semuanya masih duduk di bangku SD. Sepanjang hari, seperti dikatakan Saifuddin Bantasyam SH, MA dari Pokja Investigasi/Advokasi FP HAM, forum yang belum berusia sebulan itu terus menerima pengaduan dari para korban. Di samping ada yang datang langsung, melapor melalui surat, maupun melalui penerimaan langsung pengaduan dari korban/keluarga korban di tempat asalnya seperti mereka lakukan di Ulee Gle (Pidie), Pantonlabo (Aceh Utara), dan Peureulak (Aceh Timur) pada 27-29 Juli 1998. FP HAM juga menerima enam surat pengaduan dari korban yang mereka poskan ke Kotak Pos 70. Salah satunya adalah pengaduan dari Ainul Marliah (59), yang melaporkan kasus penembakan yang menimpa anak, M Taib. Peristiwa tragis itu terjadi di rumah korban sendiri, Dusun Rayeuk Pange Matangkuli, Aceh Utara pada tanggal 2 November 1990. Saat itu, datang sejumlah aparat keamanan. Tanpa bertanya dan menjelaskan apa-apa, langsung mengikat tangan pemuda Taib. Lalu dipukul dan ditendang di depan keluarganya. Kemudian ia digelandang ke luar rumah dan digiring ke jalan. Dipaksa berbaris dengan sejumlah lelaki lain di desa itu yang juga digelandang dari rumah masing-masing. Tapi, entah karena alasan apa hanya M Taib dan Ibrahim Abdullah yang ditembak. Mayatnya kemudian dikubur keluarga. “Saya harap kasus tersebut diungkap faktanya dan dipertanggungjawabkan secara hukum yang berlaku di negara Indonesia,” tulis Ainul Marliah. Bahwa Ainul adalah warga Rayuek Pange, itu diperkuat oleh surat keterangan yang dibuat oleh Camat Matangkuli, Usman Ishak BA, tertanggal 19 Maret 1997. Harapan serupa juga diungkapkan Nurdin Abdullah sebagai abang kandung Ibrahim Abdullah yang adiknya itu juga tewas didor pada hari dan tempat yang sama, setelah tangannya diikat dan dikasari. “Tegakkan hukum dan hak-hak asasi manusia di negara ini,” ujarnya berpesan. Nahas juga menimpa Bustamam, warga Desa Nga Matang Ubi, Matangkuli, Aceh Utara. Menurut adik kandungnya, Abdul Manaf yang melapor ke FP HAM, abangnya itu diburu petugas keamanan di rumahnya pada 22 Juli 1993. “Rumah kami dikepung oleh beberapa anggota ABRI dan abang saya ditangkap, lalu dibawa pergi.” Sebulan kemudian, ia ditembak di tempat terbuka di Desa Reungkam, Aceh Utara. Mayatnya dikembalikan dalam kondisi sebelah matanya copot. Dari saksi mata Abdul Manaf kemudian mendapat info bahwa abangnya itu dihujani 12 peluru, sehingga kondisi jasadnya luka parah.

21. Dimasukkan ke dalam Goni
Kisah tragis di akhir hayatnya juga dialami Ridwan (40), warga Dama Tutong, Peureulak, Aceh Timur, pada suatu hari di tahun 1989 silam. Menurut ayah korban, Abdurrahman Ali (78) kepada FP HAM, anaknya itu pada pukul 14.00 WIB, 5 Rabiul Awal 1989 sedang ikut musyawarah untuk peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. Tiba-tiba ke tempat rapat itu datang sejumlah petugas keamanan yang dari tampilannya mengenakan baret merah. Semua orang yang berhimpun di situ mereka kumpulkan lalu disiksa, tanpa dijelaskan apa salahnya. Puluhan warga itu kemudian dipaksa naik ke truk dan menuju Kantor Danramil Pereulak. Setelah itu dibawa ke Tuang Cut, masih di wilayah Aceh Timur. Di tempat ini mereka masih mengalami siksaan pedih. Menurut Abdurrahman Ali, hanya sedikit dari mereka yang dibawa ke Tualang Cut itu yang pulang kembali ke desanya. Malang bagi Abdurrahman, anaknya Ridwan, tak ikut dalam rombongan yang pulang. Ia hanya mendapat sepotong cerita dari orang-orang yang pulang bahwa Ridwan, ayah tiga anak itu ditembak petugas di depan mereka. Lalu mayatnya dimasukkan ke goni, kemudian dibuang, namun tak diketahui ke mana. “Kalau ada yang bisa menginformasikan di mana kuburnya, kami sangat berterima kasih, karena ingin ziarah ke sana,” ujar Abdurrahman. Menurut Jubir FP HAM, Dr Humam Hamid, temuan hasil investigasi dan pengaduan mengenai orang hilang itu, belum merupakan fakta final, melainkan masih sekadar petunjuk permulaan tentang adanya pelanggaran HAM dan hukum di Aceh. Dalam waktu dekat, tim validasi FP HAM akan turun ke berbagai desa di Pidie, Aceh Utara, dan Timur, untuk memastikan dan mengkonfirmasikan kepada Kades dan camat setempat tentang orang-orang hilang dan korban tindak kekerasan itu.

22. Mereka yang Dikasari Aparat dan Dikubur Hidup-hidup
Kegiatan keamanan di Aceh yang berlebihan, represif, brutal, dan cenderung tak berperikemanu-siaan telah memakan banyak korban di kalangan sipil. Bahkan, pukulan-pukulan dan tendangan yang setiap pagi dan sore serta setiap malam mereka terima, mereka “sedekahkan untuk Republik yang haus darah ini. Untuk pukulan-pukulan ini tidak ada tuntutan-tuntutan untuk diselesaikan secara hukum.
Teungku. Abdurrahman, 70 tahun, warga Geulumpang Tiga, Pidie, Aceh. “Saya dipaksa menggali kubur di bawah todongan senjata. Dengan tertatih-tatih harus mengais luba-ng, mempersiap-kan kuburan -yang belakangan saya ketahui ternyata untuk diri saya sendiri. Kuburan itu persis di samping sebuah kuburan lain yang sudah duluan ada. Saya hanya bertakbir dalam hati, menyebut-nyebut nama Allah. Sementara petugas keamanan yang berdiri di dekat saya terus mengomando, Gali terus, gali! Mereka membentak dan mengancam saya. Padahal mereka itu muda-muda, pantasnya jadi anak-anak saya. Saya diambil oleh oknum aparat sepulang dari sawah, atas sepengetahu-an kepala desa. Lalu dibawa ke mark-as yang populer disebut Rumah Geudong di Kecamatan Geulumpang Tiga. Kebetulan, rumah bekas hulubalang itu memang dijadikan markas aparat. Di situlah saya disiksa tiga hari tiga malam. Ditelanjangi dan kemaluan saya diset-rum. Kedua tangan saya diikat, seperti orang disalib. Waktu itu, ada lima pria lain yang juga ditelanjangi dan disetrum. Kemudian ada lagi dua perempuan yang juga ditelanjangi. Kasihan, perempuan-perempuan itu disetrum juga, sama seperti kami. Saya sedih sekali. Diikat dan dipukul dengan rotan sesuka hati. “Mereka bertanya kepada saya di mana senjata. Mana saya tahu. Saya tak punya senjata, tak menyimpan senjata. Kami semua tak ada senjata, tapi terus dipaksa untuk menja-wab mana senjatanya. Mana saya tahu. Saya dipukul lagi, dan kemudian dimasukkan dalam bak berisi taik dan kotoran got. Orang yang memukul saya itu masih ada. Dia itu algojo. Dulu rambutnya panjang, sekarang rambut dia sudah pend-ek. Mungkin supaya kita tak kenal lagi. Dulu mobilnya saya lihat putih, sekarang catnya sudah hitam. Sesudah puas disiksa, kemudian saya dimasukkan dalam sel. Saya masih ditelanj-angi juga. Tiga hari tiga malam begitu terus, akhirnya saya dibawa ke kuburan. Di sana saya disuruh gali lubang, katanya mau ditanam hidup-hidup karena tak mau mengaku. Saya hanya menyebut-nyebut nama Allah sambil meng-gali lubang. Kemudian saya disuruh masuk ke dalam lubang itu, dan disuruh telentang. Kemu-dian mereka menimbun saya dengan tanah. Setelah itu tanahnya diinjak- injak, terutama di bagian perut saya. Untung timbunan yang di kepala saya tidak diinjak dan tidak rapat sehingga saya masih bisa bernafas meski megap-megap begini (Abdurrahman kemudian memperaga-kan dirinya dalam tanah). Empat menit kemudian mereka gali lagi tanahnya. Saya diangkat sudah lemas, kemudian dibawa lagi ke Rumoh Geudong, tempat penyiksaan itu. Ditelanjangi lagi dan ditanya lagi mana senjata. Saya masih jawab tidak tahu karena memang tak punya senjata. Akhir-nya saya dimasukkan lagi dalam sel. Esoknya saya lihat, dua dari tujuh orang yang ditahan bersama saya sudah mati. Mereka dimasukkan dalam goni pupuk, dan menjelang malam, dinaikkan dalam mobil. Entah ke mana dibawa. Akhirnya saya dilepas. Sebelum pergi, saya dibentak lagi. Katanya, apa yang kau alami dan lihat di sini, jangan diceritakan sama siapa pun. Awas kalau kau cerita. Sudah itu saya disuruh pulang dan baru sekara-ng berani bercerita, apalagi sudah ada tim pencari fakta DPR yang datang ke Aceh. Apa yang saya sampaikan ini benar adanya. Saya mau bersumpah pakai al-Quran. Saya juga bersedia ditembak, asal jasad saya tidak dihilangkan, biar anak cucu saya bisa ziarah. Soalnya, sudah percuma saya hidup. Dulu, sebelum kemaluan saya disetrum, dalam sebulan bisa dua tiga kali saya menggauli istri. Sekarang tidak bisa sekalipun lagi.

23. Menonton Eksekusi Maut
Beberapa warga Lueng Sa, Kecamatan Simpang Ulim, Aceh Timur, yang tak mau identitas-nya dibeberkan bertutur sbb: Dua warga desa itu menjadi korban eksekusi, masing-masing Sarjani Ibrahim (35), penduduk Lueng Sa dan Teungku Imum Budiman (50) penduduk Lueng Dua. Keduanya ditembak di lapangan bola kaki Sinar Agung, disaksikan ratusan penduduk setempat. Bertepatan pada 17 bulan Ramadhan 1991, sekitar pukul 10.30 WIB, para penculik menangkap kedua korban untuk kemudian memborgolnya. Dengan mata tertutup kain hitam, korban diseret ke lapangan sepak bola desa setempat. Sementara penculik lainnya mengerahkan penduduk agar menyaksikan eksekusi tersebut, termasuk Teungku. Ibrahim, ayah Sarjani. Setelah ratusan warga berkumpul, dua korban yang sebelumnya telah disiksa, serta diikat pada tiang gawang, kemudian ditembak persis di bagian kepala. Sarjani yang saat itu baru lima bulan kawin dengan Mardiana bahkan istrinya sedang hamil tiga bulan meninggal tertembus dua peluru di kepalanya. Sedangkan sebuah peluru menembus kepala Teungku Imum Budiman, hingga membuat orang tua tersebut juga meninggal seketika. “Kami dipaksa melihat ketika korban ditembak. Kalau tidak, kami kena pukul dari penculik. Sehingga semua warga jelas melihat kedua korban jatuh tersung-kur serta darah segar membasahi tiang gawang,” kata warga tersebut. Tindakan oknum penculik yang terlatih tersebut tidak hanya sesadis itu. Tapi, Sarjani kiper Poraja Pantonlabu yang pernah mewakili Aceh ke Jambi tahun 1980-an setelah ditembak tangannya dipotong supaya bisa melepaskan borgol di tangannya. Kemudian oknum itu menyuruh warga menanam mayat Sarjani tanpa dimandikan. Beberapa tokoh di sana merencanakan kedua jenazah korban akan dimandi-kan sesuai dengan ajaran Islam. Namun, penculik yang bersikap kasar itu membentak masyarakat agar tidak perlu dimandikan. “Tanam saja bangkai itu. Untuk apa dimandiin,” ungkap mereka mengutip ucapan sang oknum pada waktu itu.

24. Digorok Batang Lehernya
Ibrahim, 32 tahun, penduduk Sawang, Aceh Utara. Penjual nasi ini hingga kini diisukan sudah meninggal setelah lehernya digorok, dan dibuang dalam jurang. Pria yang masih meny-isakan parut hasil gorokan benda tajam di lehernya itu tampak bergetar menahan tangis, nyaris tak bisa berkata-kata. Saya diambil oleh oknum petugas di Sawang, Aceh Utara. Lalu dibawa ke markas mereka dan dipukul sampai pingsan. Setelah itu, saya sudah tak ingat apa-apa. Saya sadar kemudian sudah berada di jurang, yang saya tahu ternyata di jurang Cot Panglima, Km 25 lintasan Bireuen-Takengon, atau 50 kilometer dari kampung tempat saya diculik. Saat saya sadar, leher saya sudah berdarah dan di badan saya hanya ada celana dalam. Ternyata saya terluka sayat. Saya manjat tebing curam itu pelan-pelan, merayap sambil memegang dahan-dahan kayu. Akhirnya saya berhasil naik dan jalan kaki beberapa kilometer. Syuk-ur alhamdulillah, kemudian ketemu kawan, dan dinaik-kan motor-nya, dibawa ke rumah sakit, yaitu Puskes-m-as. Karena sudah parah, dokternya bilang tak sanggup, dan ibu saya dengan ambulance ke RS di Lhokseumawe. Di sana dokternya juga bilang tak sanggup, dan akhirnya saya dibawa ke Banda Aceh. Leher saya dijahit, dan saya diopname selama 30 hari. Agar orang-orang tak curiga, saya dibilang ditabrak honda. Petugas keamanan menuduh saya membantu GPK. Padahal, saya cuma jual nasi, beli beras untuk masak. Eh, katanya, beras itu untuk bantu GPK. Mana saya tahu. Saya ditangkap saat membawa belanj-aan ke warung. Saya jual nasi buka warung. Selama ini saya jarang ke luar. Dibilang saya sudah mati. Sebab katanya, kalau mereka tahu saya masih hidup, pasti dicari lagi. Saya takut....

25. Suami diculik
Sudarni, 40 tahun, Desa Rambong, Mutiara, Pidie. Suami saya dijemput bersama Pak Keuchik (Kades). Dibawa ke markas keamanan, dan sampai sekarang tak kembali. Kalau masih hidup, tolong kembali-kan suami saya. Kalau sudah mati, tolong tunjukkan kuburnya. Sebagai janda beranak lima hidup saya amat pedih sepeninggal suaminya tercinta. Kepedihan itu terasa lebih pahit karena setelah dua bulan suami saya diculik, si bungsu meninggal. Saya sudah tak sanggup membia-yai anak sekolah. Jangank-an membeli susu, makan pun sudah tak cukup. Di antara kasus-kasus kematian di Pidie, sejumlah pelapor mengaku cukup menge-nali pelaku penculik atau setidak tempat tugas penculik. Contoh pada kasus kematian Teungku Usman Raden (imam meunasah setempat), Teungku Abdullah Husen (wiraswata), dan Abdurrahman Sarong (PNS di Dinas PU Sigli), ketiganya warga Desa Selatan Batee. Menurut laporan istrinya masing-ma-sing, Aminah (40), Jariah (28), dan Usmawati (40), penculik suami mereka adalah seorang aparat yang cukup mereka kenal, berinisial PK. Menurut para istri itu, pengambilan ketiga suami mereka itu berlangsung dalam suatu razia KTP (dikumpulkan banyak orang) di sebuah lapangan pada tanggal 1 Juni 1991. “Suami saya punya KTP, tapi dibawa juga. Walaupun kami tahu siapa yang menculik, tapi kami tidak tahu dibawa kemana mereka,” ungkap Jariah. Setelah tiga hari kemudian, seorang warga memberitahukan mereka bahwa mayat Usman, Abdullah, dan Abdurrahman yang mulai membusuk ditemukan di pinggir bukit dekat Waduk Lhokseumani, Batee. Ketiga istri bersama warga lainnya segera ke sana. Di atas dada mayat diletakkan KTP masing- masing. Dalam banyak kasus, korban penculikan dihabisi di tempat lain. Mayatnya “dibuang” atau dicampakkan di luar kawasan pos penculik (mengaburkan TKP?). Seperti yang dilaporkan HA Jalil Abdullah (66), warga Meunasah Sukon Cubo, Bandar Baru, mengenai kejadian penculi-kan anaknya Kamarullah (17), santri Darul Falah, Bandar Baru. Kamarullah diculik bersama tiga temannya sesama santri ketika sedang belajar dan diskusi dengan gurunya di pesantren itu pada 1992. Tiba-tiba muncul sejumlah oknum aparat dengan sebuah mobil, tanpa ba-bi-bu (tanpa menjelaskan apa salah mereka), langsung mengambil keempat santri itu. Enam hari kemudian, mayat keempat santri itu ditemukan berserak-an tercampak di Blang Usi.

26. Tubuh Disayat-sayat
Sekitar dua bulan kemudian, dari rumah sakit itu M Ben mengaku dibawa ke sebuah tempat di sekitar kilang pengol-ahan gas PT Arun (Rancong). Setelah ditanyai macam-macam di sana, katanya, ia dibawa lagi ke sebuah tempat di sekitar Lhoksu-kon. Empat malam kemudian, dikembalikan ke rumah. Baru 20 hari di rumah, M Ben bersama 14 orang keluarga dekat dan tetangganya, dijemput lagi oleh pasukan tentara lain, dibawa ke sebuah pos operasi di Sidomulyo. “Di pos itu, kami semua dituduh membantu orang-orang GPL. Karena tidak mengakui tuduhan tidak beralasan tersebut, kami pun disiksa. Telinga saya disayat-sayat dengan pisau. Lalu ditaruh air jeruk nipis. Kepala dipukul dengan balok. Bahkan, ketika saya bilang mau kencing, disuruh kencing atas kepala adik saya bernama Yakob. Tidak hanya itu, kami pun disuruh berdiri dalam hujan. Dikasih sabun, lalu disuruh begini-begini (M Ben memeraga-kan tangannya pada kemaluan). Lalu disuruh lagi merayap di atas pohon pihmie (putri malu). Sakit sekali rasan-ya,” urai M Ben.
Setelah empat hari empat malam disiksa di pos operasi Sidomulyo itu, katanya, M Ben bersama saudara-saudara dan tetangganya dijemput oleh pasukan lain dari Simpang Kramat dan dipulangkan ke rumah masing-masing. “Setelah 20 hari di rumah, saya baru bisa bergerak bangun dari tempat tidur,” kata M Ben. M Ben yang belakangan ini mengaku hanya bisa memperta-hankan hidup dengan bekerja sebagai penggembala lima ekor sapi milik warga desanya itu, mengaku mulai berani melapor ke LBH Iskandarmuda, setelah mendengar bahwa Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto telah mencabut DOM dari Aceh. “Saya dengar itu dari orang-orang kampung yang baru pulang mengadu ke sini,” katanya lugu.
Dengan tubuhnya yang telah cacat permanen, M Ben meng-aku tidak bisa lagi bekerja sebagai petani, sebagaimana digelutinya sebelum tragedi memilukan itu. Untuk mencari nafkah bagi keluarganya sekarang, kata M Ben, sangat bergantung kepada kerja keras istrinya, Ti Aisyah, sebagai buruh tani. Anak tertuanya yang baru tamat SD, katanya, telah putus sekolah. Dua orang masih SD, dan yang terkecil belum bersekolah. Direktur LBH Iskandar Muda Lhokseumawe, Mohd Yacob Hamzah SH menyatakan pihaknya sekarang memfokuskan penampungan pengadu-an oleh korban yang langsung mengalami pelanggaran hak azasi manusia atau pelanggaran hukum lainnya akibat dari pemberlakuan operasi militer (DOM) di Aceh selama ini.

27. Pemilik Dibunuh, Harta Dijarah, Rumah Dibakar
Daftar orang hilang, diculik, dan dibunuh orang-orang tak dikenal di Aceh Utara berdasarkan pengaduan keluarganya ke LSM Yayasan Putra Dewantara (Yapda) Lhokseumawe dan LBH Iskandar Muda telah mencapai 176 kasus. Pihak pengadu mengaku keluarga mereka hilang sekitar tahun 1989-1994 dan ada juga yang hilangnya tahun 1997. Menu-rut para pelapor, korban-korban ada yang diketahui sudah dibun-uh. Sebagaimana diceritakan janda Rohani Sufi (50) penduduk Reungkam Kecamatan Matang Kuli, pada 19 Februari 1992 suaminya Abdul Rani (58) dijemput penculik. Korban ditembak di depan istri dan anaknya, kemudian rumah dibakar serta sepeda motor diambil penculik dan tidak dikembalikan.39 Kisah serupa juga diceritakan janda Fauziah (35) pendu-duk Tempok Masjid Cunda Kecamatan Muara Dua, suaminya T Zainal Abidin (41) dijemput orang tidak dikenal ketika membeli rokok. Kemudi-an penculik datang ke rumah mengambil semua perabot rumah tangga-nya dan bahan pecah belah. “Sampai sekarang tidak dikembalikan,” ujar Fauziah ketika mengadu ke LBH Iskandar Muda. Selain LBH Iskandar Muda, kini muncul Yapda yang juga untuk membantu mendata identitas korban penculikan.
Direktur Eksekutif Yapda Zulfikar MS didampingi Divisi Community Organizer Sugito Tassan mengatakan, pihaknya telah menerima pengaduan orang hilang 25 kasus. Kecuali itu, katanya, juga LSM Yapda menerima pengaduan korban perkosaan oleh penculik. Namun, pihaknya belum mendata secara rinci kasus tersebut. Direktur Yapda yang juga bagian dari “Kontras” Aceh dan Ketua Walhi Aceh itu, mengaku para keluarga korban yang mengadu menangis di depannya sambil menunjukkan foto keluarga mereka yang hilang. Para keluarga korban meminta agar korban dicari di mana keberadaannya saat ini. “Maka kita sudah turun ke lapangan mencari data otentik,” kata Zulfikar. Sementara korban orang hilang yang diadukan ke DPRD oleh keluarganya, belum berhasil didapatkan datanya-. Namun beberapa anggota legislatif Aceh Utara itu mengaku sudah menerima laporan warga dengan puluhan kasus pelangg-aran HAM tersebut. Direktur Yayasan LBH Iskandar Muda Mohd Yacob Hamzah SH mengaku telah menerima pengaduan 148 kasus. Malah tanggal 22 Juli 19998 sekitar pukul 17.20 WIB, kantornya di Kampung Jawa Lama didatangi orang yang mengaku dari “Palang Merah Intern-asional.” Ketika pemuda asal Amerika Serikat mengaku bernama Alex (30) itu datang ke kantornya. Alex, kata Mohd Yacob, sempat melihat beberapa keluarga korban yang sedang mengadu. Namun, warga AS itu tidak berdialog dengan para pengadu, karena mengaku kedatangannya sekedar ingin berkenalan dan ingin mengatakan ia berada di Aceh selama ini. “Tapi tidak disebutkan di mana ia menginap dan apa tujuannya datang ke Aceh,” kata Mohd Yacob. Daftar orang hilang lihat tabel. Nama-nama yang dimuat dalam tabel itu, nomor 123 sampai 147 diperoleh dari LSM Yayasan Putra Dewantara, Jalan Listrik Pasar Inpres Lhokseumawe. Sedangkan nomor 144 hingga nomor 176 bersumber dari ke Yayasan LBH Iskandar Muda Jalan Iskandar No. 143 Tel 45341 Lhokseumawe.

28. Dituduh GPK, Nyaris Temui Ajal
Gara-gara tak setuju pemotongan dana bantuan desa oleh pihak atasannya, seorang kepala desa di Aceh Utara, mengaku harus menerima perlakuan sangat sadis yang nyaris menemui ajal. “Bahkan saya dituduh GPK. Padahal, saya tak pernah berhubungan dengan kelompok itu,” ungkap Hanafiah Sulaiman (65), mantan kepala Desa Meunasah Teungoh Kecamatan Jeunib40 ketika mengadu ke LSM YAPDA Lhokseu-mawe. Geusyik Piah, demikian ia akrab dipanggil, kepada LSM YAPDA mengisahkan kronologis tragedi yang dialaminya. Semasa masih menja-bat kepala desa tahun 1980-an, ia selalu tidak sependapat dengan atasan-nya. Katanya, sang atasan menyuruhnya meneken surat pertanggung-jawaban penggunaan dana bandes, tapi ia menolak, sebab banyak pemotongan tanpa prosedur. Karena menolak meneken surat yang dibuat menurut kehendak atasan, katanya, lantas ia dijemput oknum petugas dan ditahan. Selama dalam tahanan tentara Jahiliyah, kata Geusyik Piah, “Masya Allah, hanya Allah saja yang menolong saya,” ujarnya dengan ghirah kegeraman terhadap negara. Disebutkan ia kemudian diberhentikan secara sepihak dari jabatan kepala desa itu. Hanya agamalah satu-satunya obat yang bisa menyembuhkan luka-luka Aceh. Atau, dalam ungkapan yang rada Marxian sikit, hanya agama sajalah yang bisa menjadi racun penawar bagi kekejaman negara di Aceh. Negara ini harus dilawan dengan agama. Agama adalah candu satu-satunya bagi stamina perlawa-nan rakyat terhadap negara.

29. Tiga Malam Tidur Bersama Mayat
Kendati kejadiannya telah tujuh tahun lalu, namun apa yang pernah dialami Teungku Nurdin Galon (63) masih lengket dalam ingatannya. Apalagi tubuhnya mengalami cacat akibat penyiksaan selama ia ditahan para penculik. “Saya tak menyangka bisa hidup, tapi kekuasaan Allah membuat saya luput dari maut,” kata lelaki jangkung yang mengaku pernah dipaksa tidur dengan mayat selama tiga malam.41 Teungku Nurdin mengaku diperlakukan secara tak manusia oleh oknum-oknum pasukan elit yang terlibat “Operasi Jaring” di Aceh Utara. Dan, siksaan serta fakta-fakta yang pernah dilihatnya, dua hari lalu telah diceritakan kepada LSM YAPDA di Lhokseumawe yang menerima laporan orang hilang dan korban-korban pelanggaran HAM selama operasi penumpa-san GPK yang kini diganti nama dengan GPL (gerombolan pengacau liar). Ia mengatakan, selain tidur bersama mayat orang tidak dikenal, Nurdin juga sempat melihat beberapa tahanan mati disiksa, kemudian janazahnya ditanam menggunakan becho sekitar pukul 03.00 WIB dini hari akhir tahun 1991. “Ini bukan fitnah, saya bersedia tunjukkan lokasi kuburan itu jika diperlukan,” kata Nurdin Galon (alamat lengkap ada pada LSM YAPDA Lhokseumawe). Didampingi Ketua LSM YAPDA Lhokseumawe Sugito Tassan, petani miskin asal Alue Ie Puteh Kecamatan Baktia, menceritakan bahwa dirinya ditangkap 5 Maret 1991 dengan tuduhan sebagai GPK. Kala dijemput ke rumah, kata Teungku Nurdin, mata ditutup dan dibawa ke salah satu tempat. Di sana juga banyak warga lain disandera para penculik.
Selama dalam tahanan, kata Nurdin, siang dan malam para penculik bersikap kejam dan keji terhadap para sandra, semua tahanan tidak ada yang beres fisiknya. Siang-malam pen-culik terlatih itu masuk kamar tahanan, dalam keadaan mabuk melakukan penyiksaan yang membuat tahanan babak belur. “Tiga setengah tahun saya berada di tempat mengerikan itu,” kata Teungku Nurdin. Kala berada di tempat itu, kata Nurdin, tubuhnya dicambuk dengan rotan. Dipukul dengan popor senjata. Dikontak listrik dan berbagai penyiksaan dilakukan siang malam. Selain di tempat itu, Teungku Nurdin juga mengaku pernah ditahan di tiga lokasi lainnya yang suasananya juga cukup mengerikan, terutama karena perlakuan sadis. Saat berada di tempat penahanan kedua, Teungku Nurdin, mengaku lebih parah lagi. Ia sempat bermalam- malam ditidurkan dengan mayat orang-orang yang tak dikenalnya. “Tiap malam saya lihat mayat dikeluarkan dari LP itu dan diangkut dengan mobil. Jenazah itu dibuang ke sungai seperti ke Sampoiniet, ditanam dalam komplek dan banyak dibawa ke kawasan Seureuke,” kata Nurdin. Nurdin didampingi Gito Tassan juga menunjukkan tubuhnya yang cacat akibat disiksa penculik, yakni giginya ompong karena dihantam dengan kayu. Ibu jari kakinya pun dipatahkan yang akibatnya hingga sekarang ia belum bisa berjalan tanpa pakai sandal. Demikian juga dadanya masih terasa sakit dan tiap batuk selalu mengeluarkan darah. Bukan hanya itu, kata Nurdin, malah para penculik juga mengambil jam tangannya merk Mido dan uang tunai Rp 400.000 serta meminta uang nasi selama ia ditahan di salah satu camp di Desa Matang Ubi Km 307 Jalan Banda- Medan, Kecamatan Lhoksukon. Nurdin masih ingat oknum yang mengambil jam dan uangnya. Setelah 3,4 tahun mendekam di camp itu, kata Teungku Nurdin, ia dibenarkan pulang ke rumahnya. Sebelum pulang, ia lebih dulu diobati, terutama luka-luka bakar di bagian tubuhnya. Ada juga syarat lainnya, yakni, para penculik menekankan bahwa apa yang terjadi selama dalam tahanan tidak diceritakan pada orang lain.

30. Korban DOM Salah Tangkap Disiksa hingga Lumpuh, Bahkan Ada yang hingga Tertawa dan Menangis Sendiri
Seorang korban salah tangkap di Desa Matang Ubi, Kecamatan Samalanga, Aceh Utara, menjadi lumpuh dan kehilangan suara setelah ke luar dari kamp penyiksaan.42 Sementara seorang warga Geulumpang Bungkok, Samalanga, mengalami stres berat sehingga sering menyanyi, tertawa, atau menangis sendiri hingga saat ini, juga setelah ditangani oleh aparat. Di Desa Matang Ubi, nasib buruk itu diderita oleh M Diah Usman (50). Meski hanya empat hari ditangani oleh oknum aparat, ia menderita lumpuh, dan tak mampu bersuara sejak tahun 1991. Hari-hari M. Diah sejak itu hanya terbaring lemah di tempat tidur, dan hanya mampu berbicara dalam bahasa isyarat. Nasib M. Diah, itu, dilaporkan anaknya, Rusli ke LBH Iskandar Muda. Rusli pula yang mengurus ayah-nya, sekaligus mencari makan untuk keluarga dengan cara menyeser benih udang di pinggir pantai. Korban salah tangkap ini dijemput petugas keamanan 25 April 1991 di rumahnya, Desa Kuala Cangkoi Kecamatan Tanah Pasir. Ia dibawa ke camp penyiksaan di Km 307 Banda Aceh Medan, persis di Desa Matang Ubi Lhoksukon. Memang, kata Rusli, ayahnya ditahan sekitar empat malam, namun penyiksaan selama dalam tahanan cukup berat. Korban distrum dengan listrik, dipukul di bagian punggung dan dada hingga benar-benar tak berdaya. Penjemputan ayah-nya itu, kata Rusli, melalui Kepala Desa setempat, dengan alasan ia terlibat GPL (GPK waktu itu).
Kala itu, Kades sudah memberitahukan bahwa M Diah itu bukan orang yang dicari. Karena, yang dicari itu Usman Bayu, juga berpenyakit “kaki gajah,” seperti yang dialami oleh M Diah. Namun, meski Kades telah memberitahukan, tapi petugas tetap membawa korban ke Matang Ubi dan disiksa siang malam bersama para tahanan lain. Korban M Diah baru dilepaskan setelah Muspika Kecamatan Samudera mengeluarkan surat Mandah No.25/33/74/03/1991. Dalam surat Mus-pika 30 April 1991 menyatakan bahwa M. Diah Usman itu adalah petani penjaring udang, ia adalah penduduk Kuala Cangkoi Tanah Pasir, sedangkan sebelumnya ia penduduk Tanjung Hagu Kecamatan Samu-dera Geudong. Artinya, dia bukan orang yang dicari itu. Dalam pengaduannya ke LBH Iskandar Muda, putra korban minta agar pelaku-nya ditindak. Sementara ayahnya yang sudah lumpuh itu diminta perhatian pemerintah untuk mengobatinya, baik kaki dan tangan yang lumpuh maupun suaranya bisa direpro kembali, kata Rusli berharap.
Sementara Darmawan (29), penduduk Desa Geulumpang Bungkok, Kecamatan samalanga Aceh Utara, juga dilaporkan ke LBH Iskandar Muda oleh Adiknya Badruzzaman (26). Dalam laporannya, Badruzza-man mengatakan, korban dijemput oleh oknum ABRI tahun 1992 dan dibawa ke kamp di Samalanga, tiga hari kemudian dibawa ke Rancung Lhokseumawe. Bukan hanya petugas yang memukulnya di tahanan itu, tapi juga preman yang sedang mabuk ikut memukul korban. Setelah menjalani masa penahanan beberapa bulan, korban dibebaskan dalam kondisi fisik yang lemah karena kurang gizi dan akhirnya jadi stres. Malah sampai sekarang, kata Badruzzaman, kehidupan abangnya itu seperti dalam alam khayalan, ketawa sendiri, menyanyi, dan pergi pagi pulang malam, serta sering mengamuk dengan keluarganya.

31. Dari Perontokan Gigi sampai Diganduli Besi
Tengku M. Yusuf Alibasyah, warga Blang Bunot, Bandar Baru, pada tanggal 5 Januari 1993 diambil paksa oleh dua orang petugas di Pos Sattis Jiem-jiem.43 Lalu dianiaya dengan cara mukanya dipukul berkali- kali sampai giginya rontok semua. Karena sulit mengunyah lantaran tak lagi bergigi, makanan umumnya dia telan langsung. Kini ia sakit-sakitan. Ismail Usman (45), Cot Baroh, Glumpang Tiga, pada tahun 1992 di Pos Sattis Jiem-jiem dan Pos Sattis Kota Bakti, dipukul dengan popor senjata, balok kayu, dan benda keras lainnya hingga kini mengalami tulang rusuk patah. Dadanya sesak dan pahanya sakit. Teungku Rahman Ali (70), warga Cot Baroh, Glumpang Tiga, pada 1996 dibawa ke PS Bilie Aron (Rumoh Geudong), ditembak (lalu diobati). Kemudian, disiksa lagi dan dibawa operasi untuk ditempatkan di barisan depan (sebagai tameng tentara). Idris (30), tamatan SMP. Ia dipermak di Murong Cot, Kecamatan Sakti, Pidie, pukul 07.00 WIB di suatu hari tahun 1996. Sebagai warga yang pendiam, Idris tergolong nekad. Ia diketahui menanam senjata di dekat rumahnya atas suruhan orang lain dengan imbalan. Karena ketahu-an petugas, Idris ditangkap dan digelandang ke Lamlo. Delapan bulan ditahan, lalu dibuang di Cot Panglima di Takengon. Diikat kaki dan tangannya. Matanya ditutup. Tapi, menurut pengaduan istrinya, Rosmiati (28), Idris kemudian berhasil mencapai rumah pada bulan Ramadhan tahun ini. Setelah itu, menghilang lagi setelah pernah pulang pergi ke rumah sebanyak tiga kali. Belakangan, karena suaminya tak tertangkap, giliran si istri dibawa ke rumah Gedong Aron. “Di situ saya ditelanjangi dan dikuntak (maksudnya disetrum) di kemaluan sampai mengeluarkan kotoran. Yang menelanjangi saya adalah Kopassus yang saya kenal.” Korban lainnya adalah Nyak Meulo (21), tamatan SD. Wanita yang tadinya gadis ini mengalami nahas pada tahun 1995 di Desa Pule Ie, Kecamatan Tangse, Pidie. Nahas itu menimpa dirinya ketika kedua orang tuanya pergi ke kebun dan menetap lama di pondok yang ada di kebun tersebut. Menjelang satu tahun kemudian, ketika orangtua korban pulang, mendapati anaknya sudah hamil. Nyak Meulo mengaku pada suatu hari, digagahi paksa oleh oknum aparat. Giliran M Ali Sabi (63), ayah Nyak Meulo mendatangi aparat yang berinisial Suk itu, ternyata ia sudah dipindah tugaskan ke Batam sampai sekarang. Akhirnya, tinggal-lah pahitnya pada keluarga mereka



Bab 09-3: NESTAPA KAUM MUSLIMIN - Kekerasan Terhadap Perempuan Aceh
01. Wanita Aceh Diperkosa Tiga Tentara
02. Pelecehan Seksual Terhadap Kaum Wanita
03. Diperkosa dan Hamil, lalu Ditinggalkan
04. Gadis Korban Perkosaan Melahirkan Anak Pemerkosa
05. Diperkosa sambil Berdiri
06. Diperkosa, Disetrum dan Dicambuk dengan Kabel 07. Ditelanjangi Massal
08. Gadis Cacat Diperkosa oleh Tentara yg Sedang Mabuk
09. Suami Diculik, Istri Diperkosa
10. Diambil Paksa dan Diperkosa
11. Diarak Telanjang, lalu Didor
12. Digagahi di Depan Anaknya

Berbagai bentuk tindak kekerasan yang dialami perempuan yang terjadi dari ratusan kekerasan yang terjadi seputar diberlakukannya DOM selama ini tidak pernah tersingkap.44 Ada beberapa alasan yang menyebabkan tindak kekerasan terhadap perempuan tidak pernah diketahui oleh masyarakat luas, seperti: korban pemerkosaan, sering dianggap aib dan memalukan oleh masyarakat. Akibatnya korban atau keluarga selalu berusaha untuk menutupi kejadian tersebut. Selain adanya ancaman dari pelaku untuk “tidak mengungkap” kejadian tersebut pada orang lain, kerena pelakunya aparat yang sedang bertugas di daerah tersebut, membuat korban/keluarga selalu berada dalam kondisi diintimidasi. Sebagai akibatnya adalah penderitaan dan trauma yang dialami korban sangat mendalam, sehingga sangat sulit bagi korban untuk menceritakan pengalaman buruknya, apalagi kepada orang yang tidak terlalu dikenalnya.

1. Wanita Aceh Diperkosa Tiga Tentara
Sekitar 1.000-an masyarakat Pidie—terbanyak janda bersama anak kecil—yang duduk berdesakan di Gedung DPRD Pidie, menyambut kedatangan TPF dari DPR RI yang hari itu berkunjung ke Pidie. Ketika Ketua Tim Hari Sabarno menanyakan apakah masyarakat di daerah itu merasa “terganggu” dengan GPK, dan apakah GPK memang masih ada? Mereka serentak menjawab lantang, “Tidak. Tidak ada!” Bahkan dari kelompok janda yang duduk di sayap kanan gedung terdengar jeritan lemah (dalam bahasa Aceh), “Kami bukan takut GPK. Tapi takut pada tentara!” “Jika nanti muncul (GPK), apa yang dilakukan?” tanya ketua tim ini. “Hukum saja! Kami hukum pancung mereka!” teriak masyarakat serentak, spontan, dan tak ada unsur rekayasa. Karena memang sesung-guhnya GPK itu adalah rekayasa dari penguasa sendiri. Pertanyaan— tampaknya juga spontan—itu dilontarkan TPF setelah mendengar banyak laporan dari korban dan keluarga korban tentang kisah penculikan maupun tindak kekerasan selama operasi militer di Pidie. Dari sejumlah pelapor yang tampil, kisah tersadis dan sangat menggugah tim DPR RI adalah yang dialami CS (disingkat), 42 tahun, warga Ujong Leubat, Bandar Baru. “Saya diperkosa oleh tiga orang tentara di Pos Jiem-jiem, Pak. Setelah itu, saya pingsan. Paginya, saya disepak dan didorong ke sungai. Disuruh mandi,” ungkap CS (dalam bahasa Aceh yang diterje-mahkan oleh wakil rakyat dari PPP dan tokoh pejuang HAM, Ghazali Abbas Adan). Yang mendengar, semua terkejut. Teganya, tiga tentara Republik memperkosa seorang wanita. Berapa lagi wanita Aceh yang diperkosa jika jumlah tentara itu mencapai angka 7000 orang? Berapa wanita Aceh diperkosa dalam sehari? Dalam Seminggu, dalam setahun? Dalam sembilan tahun masa DOM? Maka wajar jika terdengar umpatan caci-maki masyarakat lainnya. “Saya diperkosa bergiliran Pak. Tapi, hanya satu malam. Setelah tiga hari di situ, saya disuruh pulang,” kata CS, kaku, seakan menahan tangis. “Selanjutnya?” tanya anggota DPR RI. CS diam lama. “Tidak ada lagi,” katanya, singkat, lalu duduk. Ditanya kemudian, CS mengisahkan pada 1992 ia dan suaminya M. Yunus ditangkap oleh oknum dari Pos Jiem-jiem. Mereka ditempatkan di kamar terpisah. Pemerkosaan salah seorang pelaku dikenal CS bernama A— itu kemungkinan tak diketahui suaminya. Sebelum dibebaskan, CS sempat disiksa juga. Sejak pulang itu, ia mengaku tak pernah melihat lagi suami-nya. Belakangan dikabarkan orang kampung, bahwa M. Yunus ditembak dengan tangan diikat di atas pentas (dipertontonkan pada warga) di Desa Cibrek, Kembang Tanjong. Ditanya mengapa ia tak sampai menangis ketika bercerita di depan banyak orang? “Saya sudah capek menangis,” katanya. Karena, menurut CS, mereka sudah “terbiasa” men-dengar kisah sadis dan penyiksaan serupa itu. Lagipula, ia khawatir kalau terlalu banyak bicara nanti bakal diambil lagi oleh oknum. Kekhawatiran perempuan Aceh yang sangat luar biasa keteguhannya dalam membela kebenaran dan berani menghadang kedzaliman dengan mengatakan, “Kalau saya diambil, siapa yang mengurus anak-anak. Hidup kami sangat susah. Siapa ya yang mau bantu orang-orang seperti kami ini?” tutur korban perkosaan ini, ditemani dua janda sekampungnya. Menjawab ketakutan para pelapor itu, seorang srikandi Aceh, Ir. Faridah Ariani, tokoh pejuang hak-hak azasi perempuan dari Forum Peduli HAM minta TPF DPR RI agar memberi “jaminan keamanan” sehingga masyarakat yang datang hari itu, terutama para pelapor yang telah memberi kesaksian, nantinya tidak “diapa-apakan” oleh oknum tentara. “Bagaimana, apakah di sini hadir dari unsur keamanan?” tanya Hari Sabarno. Cari sana, cari sini, muncul Pasi Intel Kodim 0102 Pidie Letda Inf Suyanto yang menyatakan ia—mewakili Dandim dapat memberikan “jaminan keamanan” yang sangat diharapkan itu.
Kisah Ramlah juga cukup menggugah. Ibu tua dari Simpang Jurong, Geumpang, mengatakan pada 1992 ia diambil oleh oknum tentara dan dibawa ke Pos. Konon karena tak ditemukan suami dan anaknya. Ramlah disiksa, ditelanjangi, digigitkan orang hutan, dibakar, bahkan dipatahkan tangannya. Tangan yang kini telah cacat itu diperlihatkan kepada semua yang hadir. Setelah suaminya ditemukan, baru Ramlah bebas. Tapi yang lebih menyakitkannya, suami berikut empat anaknya laki-laki dan perempuan dibunuh oleh oknum tersebut dan dikubur secara massal di Geumpang. Lain lagi cerita Umar Abubakar dari Desa Jiem-jiem, Bandar Baru. Pada 1995, ia ditembak oleh oknum tentara dan mengenai pahanya. Untunglah oknum itu “mau berbaik hati” membawanya ke Rumah Sakit Kesrem Lhokseumawe. Tapi, kakinya harus diamputasi. Kini Umar berjalan dengan dua tongkat. “Saya tak bisa bekerja lagi. Saya makan, dikasih-kasih orang,” ungkapnya. Akan halnya Khatijah dari Cot Baroh, Glumpang Tiga, diambil tentara setelah pulang mengunjungi anaknya di Malaysia pada Februari 1998. Ia dipukuli, ditelanjangi, dan siksaan lainnya di Rumoh Geudong selama 15 hari. April 1998, diambil lagi dengan tuduhan menyimpan senjata. Rumahnya hancur diobrak- abrik, tapi senjata tak ditemukan. Khatijah pun diangkut lagi ke Rumoh Geudong dan kembali menjalani siksaan, lalu dipindah ke Rancung, dan dibebaskan Juni 1998. Terakhir, ia didatangi oknum penyiksanya, meminta uang Rp 500.000 agar Khatijah tak diambil lagi. “Saya kasih terus uang itu. Memang, sampai sekarang saya tak diambil lagi,” ungkapnya, terus terang. Sementara, Nyak Ubit dan Aminah Ali, keduanya warga Kecama-tan Mutiara, mempertanyakan kemana suami mereka yang diculik tentara sekitar Maret 1998. “Suami saya diambil oleh Kupasui (Kopassus, maksudnya) hanya gara-gara di desa dia memegang dana IDT. Hanya karena IDT, Pak,” kata Nyak Ubit. Hari Subarno sering mempertanyakan darimana para pelapor tahu bahwa pelakunya itu adalah Kopassus. Para pelapor lancar menjawab. Keluarga korban, saksi (warga desa), bahkan korban penyiksaan umumnya cukup kenal siapa pelakunya. Penyiksaan korban umumnya berlangsung di Pos Sattis terdekat, ataupun di Rumoh Geudong. Jumlah masyarakat yang datang melapor ke DPRD Pidie sekitar 100-an orang (pelapor baru). Namun, karena diisi pertemuan dengan TPF DPR RI hari itu, para anggota Komisi A tak sempat mencatat. Mereka diminta kembali esok harinya. Di akhir pertemuan, DPRD Pidie menyerahkan sebagian laporan sementara masyarakat kepada tim TPF DPR RI. Sebagaimana aspirasi masyarakat, para wakil rakyat di DPRD Pidie dengan tanpa ragu-ragu juga sepakat meminta pemerintah menca-but DOM di daerah itu. Sebelumnya tim juga mengadakan pertemuan dengan Muspida Pidie di Pendopo. Malam harinya, TPF berdialog dengan LSM, tokoh masyarakat, dan akademisi dari perguruan tinggi setempat. Rencananya, TPF DPR RI yang berinti Hari Sabarno (ketua), DR Mochtar Azis, Ghazali Abbas Adan, Sedaryanto, Prof DR Endang Saefullah, Lukman R, Chairuddin Harahap, dan Drs Suyanto, akan mengunjungi Desa Cot Keng, Bandar Dua, Pidie yang dijuluki “kampung janda”. Selan-jutnya tim menuju Lhokseumawe. Saat ini, laporan yang tercatat di DPRD Pidie masih 440 kasus, mencakup “orang hilang”, kematian, penyiksaan, pembakaran rumah dan penjarahan harta/sepeda motor.
TPF DPR RI dalam peninjauan lapangan di Kabupaten Pidie, pada tanggal 29 Juli 1998 mengunjungi Desa Cot Keng di Bandar Dua yang beberapa tahun lalu pernah dijuluki “kampung janda”. Ketua TPF, Hari Sabarno berdialog dengan sejumlah janda Cot Keng maupun warga dari tiga kecamatan sekitarnya. Dialog yang berlangsung di meunasah setempat berlangsung dalam suasana yang hingar-bingar. Di tengah isak-tangis, tanya jawab yang gencar, dan penterjemah yang sampai beberapa orang, sehingga para anggota DPR RI maupun korban pelapor sendiri sering kebingungan. Belum lagi sorotan kamera wartawan dari berbagai media cetak dan elektronik. Di antara pelapor, terdapat dua gadis tapi punya anak yang mengaku hasil perkosaan oknum tentara.45 Keduanya adalah S (32), warga Dayah Teumanah dan Sum (19) warga Tampui, Kecamatan Bandar Dua. Karena tanya-jawab yang simpang siur, akhirnya kasus dari keduanya tidak terangkat secara detail. Ketika keduanya mengaku diperkosa lalu melahirkan “anak haram” itu, Hari Sabarno bahkan menyimpulkan bahwa hal itu perlu ada bukti, semisal tes darah dan sebagainya. “Kalau ada wartawan di sini, tolong kasus perkosaan ini jangan dikutip dulu. Nanti bisa salah paham. Perkosaan perlu ada bukti-bukti,” kata Hari Sabarno. Mendengar itu, S maupun Sum (menggendong anak) terpaku dan tak mampu bertutur lagi. Kesedi-han ditelannya sendiri. Lalu mereka pun beringsut, pulang. TPF yang kemudian mencoba mencari kedua gadis itu, baru bertemu petang harinya di desa Dayah Teumanah (kediaman S). “Saya mampu menunjukkan buktinya, kalau ada yang tidak percaya,” tutur S, seorang gadis cacat, miskin, dan kini bertambah lagi status sebagai ibu dari “anak tanpa ayah”. Kisah S dan Sum ini bakal ditulis tersendiri. Tak kurang, Keuchiek Cot Keng, Salahuddin, sendiri kepada Serambi, usai dialog, mengaku ikut gugup menjawab. Karena kondisinya sangat tak mendukung keinginannya untuk mengungkap semua. Baru satu pertanyaan dijawabnya, para penanya baik dari DPR RI maupun dari penter-jemah sudah menyimpulkan versi masing-masing. Contoh, ditanya berapa jumlah janda di desa ini? Salahuddin menjawab tujuh orang. Jumlah KK-nya? Sekitar 40 KK. Maka Hari Sabarno pun menyimpulkan bahwa desa itu tak patut disebut “kampung janda” mengingat persentase jandanya sangat sedikit. Padahal, menurut Salahuddin juga dibenarkan oleh tokoh- tokoh masyarakat setempat umlah tujuh janda itu adalah kondisi sekarang. Sedangkan kekosongan laki-laki hanya 9 suami di tengah 40-an istri di desa itu terjadi antara tahun 1991-1996 hingga mendapat julukan “kampung janda”. Disebutkan, jumlah penduduk desa itu saat ini tercatat 168 jiwa. Mata pencaharian mereka umumnya bertani, dan memelihara itik (bantuan LSM Yadesa Aceh). Sebagian janda juga telah dilatih ketrampilan tangan oleh Yadesa. Ada pula warga yang bermata-pencaharian mencari kayu (balok tem) di hutan. Meski income dari hutan lebih besar, namun pengeluaran terutama untuk upeti aparat pun juga besar. “Kita yang capek cari kayu di hutan, oknum-oknum itu yang dapat uang banyak,” keluh seorang warga Cot Keng, di depan Pak Keuchiek. Ditanya tentang adanya “upeti kayu” untuk aparat itu, Salahuddin hanya diam. Ia tak membantah, tapi tak pula mengiyakan.

2. Pelecehan Seksual Terhadap Kaum Wanita
Bulan Maret 1998, Rosmiati, bersama ibunya (Nyak Maneh) dan adik perem-puannya, Rasy (21)—korban pelecehan seks—diambil oknum Kopassus dengan tuduhan telah “memberi makan GPK”. Mereka disiksa bergiliran di Rumoh Geudong. Rasy, gadis berjilbab ini pun ikut disiksa dan ditelanjangi. Pernah, katanya, ia ditidurkan telentang dalam keadaan telanjang bulat. Kaki dan tangan diikat agar tak bisa melawan. Pada kemaluan dan payudaranya dijepit alat penyetrum. Sepanjang malam dijepit, tanpa dilepas, dan sekali-sekali disetrum. Beberapa tahanan di situ disuruh duduk di samping kepalanya, lalu disuruh meremas buah dada gadis itu. Para tahanan tampak tak tega, namun tetap dipaksa oleh oknum. Rasy hanya bisa menangis. Seorang tahanan malah disuruh duduk di atas perutnya. “Perut saya sakit sekali,” kenangnya. Ketika ditanya apakah ia juga diperkosa? Rasy diam lama. “Tidak,” katanya singkat sambil memendamkan aib. Yasng seharusnya merasa aib adalah tentara biadab itu, bukan dia. Siksaan yang dialami kakak dan ibunya jauh lebih berat. Rosmiati disetrum sampai terberak-berak. Menurut mereka, hanya 15 hari mereka kumpul bersama ibu di Rumoh Geudong. Sebab, kemudian, kata petugas, Nyak Maneh harus dibawa ke Rancung, Lhokseumawe. Menjelang bebas, Juni 1998, Rasy dan Rosmiati masih diperlakukan sebagai babu di rumah itu. Disuruh masak, cuci pakaian, dan sebagainya. Pelecehan seks tak henti dialami Rasy. Kadang ia dipeluk, diremas, dicium, dan sejenis itu, oleh petugas di sana. Apa yang bisa dilakukannya kecuali pasrah? Yang menarik, di Rumoh Geudong yang dikenal sebagai camp penyiksaan itu, sampai akhir Mei dan pertengahan Juni 1998 lalu masih terdapat tahanan. Baik dari laporan Rosmiati dan Rasy yang bebas Juni 1998, maupun tahanan lain seperti Zulkifli Wahab (40), warga Sarah Panyang, Bandar Baru. Zulkifli, misalnya, diambil 22 April 1998 oleh oknum bernama Pra dan R (tukang pukul) lalu dibawa ke Rumoh Geudong. Selama 46 hari disiksa, akibat tuduhan yang berbau fitnah.
Pada 1 Juni ia dibebaskan, dengan syarat harus menanda-tangani semua surat-surat yang sudah dibuat oleh oknum Kopassus. “Disuruh teken, saya teken saja. Lain mau bilang apa,” kata Zulkifli, ketus. Padahal, kepada TPF DPR RI, Danpos Sattis Bilie Aron Lettu Sutarman alias Arman, mengatakan selama ia bertugas di Rumoh Geudong, sejak 14 Mei 1998, tak ada tahanan di situ. “Walaupun saya tak ingat tanggal-nya, tapi kami ingat, dibebaskan pada bulan Juni 1998,” jelas Rosmiati. Ada kesan, ketika Danpos Sattis Bilie Aron itu berdialog dengan TPF DPR yang dipimpin Hari Sabarno, Rumoh Geudong sebagai camp konsentrasi memang dikosongkan. Tentang adanya ruang yang disekat kecil-kecil, mirip sel, menurut Sutarman kala itu, merupakan tempat tidur anak buahnya. Padahal, secara fisik terlihat tempat sesempit dan sepengap itu (hanya ada lubang kecil untuk sirkulasi udara) bukanlah tempat yang nyaman untuk para serdadu. Di tempat itu juga, seperti disaksikan TPF DPR, terdapat rantai dan bersiliweran kabel listrik, terkesan dibersihkan mendadak, yang sebelum-nya, menurut pengakuan sejumlah korban penyiksaan, di situlah mereka disetrum dan digibal. Sejumlah warga di sekitar Rumoh Geudong, Teupin Raya, Pidie menginforma-sikan bahwa ketika TPF DPR RI berkunjung ke tempat itu 28 Juli lalu, sebagian tahanan sudah lebih dulu diungsikan ke beberapa tempat. Ada yang ditampung sementara di rumah penduduk di Glumpang Tiga maupun yang dipindahkan ke Pos Sattis lain di Pidie. Begitu TPF berangkat, tahanan pun dimasukkan lagi ke rumah besar yang dikenal sebagai kamp penyiksaan itu. Lainnya tetap ditempatkan di Pos Sattis yang tersebar di Pidie. Yang dipersoalkan sekarang, kata Rosmiati, bukan tanggal, dan bagaimana ibunya diperlakukan di situ, melainkan di mana gerangan ibu mereka? Pertanya-an serupa juga dilontarkan para keluarga korban yang diculik baru-baru ini, sepanjang 1998. Sejauh ini, DPRD Pidie telah mencatat sekitar 690 kasus orang hilang dan korban tindak kekerasan sejak Juni lalu.
Namun, seperti dikatakan Ketua Fraksi ABRI, Drs Soewanan Soewan, mereka belum mendapat sepotong kabar pun tentang di mana para penculik baru itu kini berada, dan apa sudah adakah yang kembali ke keluarganya menjelang penarikan pasukan atau tidak. Akan tetapi, Teuku Syamsul Ali dan Awaluddin dari Kontras Pidie mengaku, bahwa selama ini ia ikut “memata-matai” beberapa Pos Sattis sekaligus menjaring informasi dari warga sekitar. Dari hasil pantauannya, ia mengatakan ada dua korban penculikan 1998 disekap di kawasan Padangtiji. Beberapa sudah dipindahkan ke Rancong Camp, Lhokseu-mawe, Aceh Utara. Salah seorang korban dipergoki masih hidup di Pos Sattis Tringgadeng, namun namanya tak diketahui. “Saya melihat sendiri. Tahanan itu tampak sakit- sakitan. Mungkin sudah lumpuh,” kata seorang warga Tringgadeng Panteraja. Warga yang tak bersedia ditulis namanya ini mengaku sering bertandang ke Pos itu karena “telanjur” berteman dengan anggota Kopassus setempat. Mengingat masih ada korban penyekapan yang masih hidup, Kontras sangat berharap petugas dari Den-POM dapat melacak sekaligus menyelamatkan para korban itu. “Informasi apalagi yang dibutuhkan petugas? Apa perlu masyarakat kita suruh menggerebek ramai-ramai yang justru merupakan tindakan melanggar hukum,” kata Syahrul Nurfa SH, koordinator Kontras Pidie. Pernyataan itu diperkuat oleh Abdulrahman Yacoub SH, Ketua Dewan Penasihat Kontras Aceh. “Lepaskan korban yang masih diculik secara formal. Jangan menambah kejahatan lagi dengan membuang mereka di sembarang tempat dalam keadaan fisik dan psikis mereka yang buruk,” ujarnya kepada D&R.46

3. Diperkosa dan Hamil, lalu Ditinggalkan
Derita model begini cukup banyak mencapai jumlah ribuan, salah satunya, diderita Nyak Meulo (21), tamatan SD. Wanita cantik yang tadinya gadis ini mengalami nahas pada tahun 1995 di Desa Pule Ie, Kecamatan Tangse, Pidie. Nasib naas itu menimpa dirinya ketika kedua orangtuanya pergi ke kebun dan menetap lama di pondok yang ada di kebun tersebut. Menjelang satu tahun kemudian, ketika orangtua korban pulang, mendapati anaknya sudah hamil. Nyak Meulo mengaku pada suatu hari, digagahi paksa oleh oknum aparat. Giliran ayah Nyak Meulo mendatangi aparat yang berinisial Suk itu, ternyata ia sudah dipindahtugaskan ke Batam sampai sekarang. Akhirnya, kata ayah korban, M Ali Sabi (63), tinggallah pahitnya pada keluarga mereka: anak yang ternodai dan seorang bayi tanpa ayah.

4. Gadis Korban Perkosaan Melahirkan Anak Pemerkosa
Di antara pelapor, terdapat dua gadis—tapi punya anak—yang mengaku hasil perkosaan oknum tentara.47 Keduanya adalah S (32), warga Dayah Teumanah dan Sum (19) warga Tampui, Kecamatan Ban-dar Dua. Karena tanya-jawab yang simpang siur, akhirnya kasus dari keduanya tidak terangkat secara detail. Ketika keduanya mengaku diper-kosa lalu melahirkan “anak haram” itu, Hari Sabarno bahkan menyimpul-kan bahwa hal itu perlu ada bukti, semisal tes darah dan sebagainya. “Kalau ada wartawan di sini, tolong kasus perkosaan ini jangan dikutip dulu. Nanti bisa salah paham. Perkosaan perlu ada bukti-bukti,” kata Hari Sabarno. Mendengar itu, S maupun Sum (menggendong anak) terpa-ku dan tak mampu bertutur lagi. Kesedihan ditelannya sendiri. Lalu mereka pun beringsut, pulang. TPF kemudian mencoba mencari kedua gadis itu, baru bertemu di desa Dayah Teumanah (kediaman S). “Saya mampu menunjukkan buktinya, kalau ada yang tidak percaya,” tutur S, seorang gadis cacat, miskin, dan kini bertambah lagi status sebagai ibu dari “anak tanpa ayah”.

5. Diperkosa sambil Berdiri
Itu pula yang dialami Hadijah (32), warga Seunubok Jalan, Alue Nireh, Peureulak, Aceh Timur, pada 25 Maret 1997. Sekira pukul 21.30 rumah-nya didatangi dua aparat keamanan yang mengenakan kaos hijau. Suaminya dipaksa ke luar rumah, ditelanjangi, dan terus diawasi oleh seorang petugas. Sementara, di dalam rumah, seorang aparat lainnya beraksi. Hadijah dibentak, ditelanjangi, dan diperkosa sambil berdiri. Tak cuma itu, semua perabotan rumah diobrak-abrik, dengan dalih untuk mencari senjata, kata petugas yang datang itu, disembunyikan di rumah tersebut. Tapi, hasilnya ternyata nihil. Yang mereka peroleh justru kenik-matan dari tubuh sintal Hadijah. Untung saja, suaminya yang ditelanjangi di luar rumah tak sampai mengalami nasib seperti istrinya.

6. Diperkosa, Disetrum dan Dicambuk dengan Kabel
Di antara kasus perkosaan, terungkap bahwa ada korban yang “digilir” tiga aparat keamanan, dikasari, dan dicamb-uk dengan kabel sampai tulang rusuknya patah. Derita tak yang terkira menimpa Fatimah (25), warga Blang Iboih, Bandar Baru, Pidie. Ibu tiga anak yang berparas lumayan ini diambil paksa oleh petugas di rumahnya pada pukul 21.00 WIB pada suatu malam di tahun 1996. Ia diboyong ke Pos Sattis Jiem-jiem, Bandar Baru, Pidie. Di tempat “durjana” inilah Fatimah, yang diculik tanpa sepengetahuan suaminya, diperkosa. Fatimah dipaksa melayani tiga orang aparat. Setelah itu ia disetrum dan dicambuk dengan kabel, sampai tulangnya ada yang patah. Setelah mereka puas, dan seluruh hasrat kebinatangannya lampias, ia pun dilepas. Fatimah pulang tertatih- tatih dengan perasaan pedih. Fatimah juga menyebutkan ada salah seorang tersangka pemerkosanya yang cukup dia kenal, berinisial Syah dari satuan elite ABRI yang bertugas di Bandar Baru. Apa yang dialami Fatimah, hanyalah contoh kasus atau petunjuk permulaan tentang adanya indikasi pemerkosaan selama operasi militer berlangsung di Aceh sejak 1991-7 Agustus 1998. Selain itu, masih terdapat banyak kasus serupa.

7. Ditelanjangi Massal
Pembugilan tubuh juga pernah dialami secara massal oleh Sakdiah (25), Nurhayati (30), Aisyah (40), Fatimah (50), Siti Hawa (45), dan Khatijah (52), semuanya warga Blang Iboih, Bandar Dua, Pidie. Pada suatu siang, di tahun 1992, datang serombongan aparat berbaju loreng ke kampung mereka. Semuanya disuruh kumpul di sekolah SD Blang Iboih, lalu dipaksa jalan kaki ke Pos Sattis Jiem-jiem yang jaraknya 1 kilometer. Sesampai di posko itu mereka diperiksa, dan tak seorang pun mengaku pernah membantu atau mengenal orang-orang GPK. Akibatnya, mereka disiksa dan ditelanjangi. Kemudian, dipaksa tidur di rumput sampai pagi. Nyamuk dan embun malam menggasak tubuh mereka yang tak tertutup selembar benang pun. Pelakunya dari pasukan elite ABRI, ungkap pelapor.

8. Gadis Cacat Diperkosa oleh Tentara yang Sedang Mabuk
SH, 32 tahun, warga Dayah Teumanah Kecamatan Bandar Dua, Pidie. (Ia minta namanya disingkat). Saya sudah dikasih uang Rp 500.000 untuk meneken sebuah surat, supaya jangan lagi menuntut pemerkosa saya. Katanya, kalau tidak ada surat itu, dia tak bisa kawin-kawin lagi. Uang Rp 500.000 itu sudah habis membeli susu anak ini. Untuk nanti saya tidak tahu bagaimana lagi. Untuk makan dia juga. Dan, kalau nanti dia tanya ayahnya, apa yang mesti saya jawab. Kejadian tragis itu terjadi malam tanggal 17 Agustus 1996 lalu. Seperti biasa, saya berjualan di kios di ujung lorong. Tiba-tiba datang sejumlah oknum tentara dari Yonif 126 Ulee Glee. Salah seorang yang dikenal bernama Pratu HMS, dalam keadaan mabuk, langsung mengganggu saya. Melihat gelagat tak baik, saya yang cacat kaki, lalu berlari tertatih--ta-tih menuju rumah yang tak jauh dari tempat jualan. HMS mengejar. Pintu rumah yang akan saya kunci didorong oleh oknum itu, seraya mengancam akan menem-baknya kalau tak mau melayani dia. Celakanya, malam itu tak seorang pun di rumah. Sehingga, meski saya sudah coba melawan, namun HMS tetap lebih kuat. Saya pun diperkosa. Diduga, malam itu, sejumlah warga termasuk beberapa gadis desa setem-pat—mengetahui perbuatan biadab itu. Sebab, ada yang menyaksikan ketika HMS mengejar saya ke rumah. Namun, esoknya, semua tutup mulut. Mereka takut. Saya sendiri juga memilih diam. Kalau mengadu, kondisi justru bisa lebih memburuk. Justru setelah HMS ditarik tugas ke Pematang Siantar, Sumatera Utara, ada sedikit kelegaan di hatinya. Selanjutnya, saya berniat akan melupakan peristiwa itu, dan menganggapnya sebagai takdir terburuk --lebih buruk dari cacat tubuh--yang diberikan Tuhan kepada saya. Apalagi bulan- bulan depannya, saya masih mens (menstruasi) sedikit. Saya tak curiga lagi. Tapi setelah lima bulan, saya pusing dan sering muntah-m-untah. Karena saya memang sakit maag. Saya periksa ke Puskesmas Tringgade-ng. Tapi, oleh dokter di situ saya dibilang hamil. Ban dengoe hamil, pangsan laju lon (begitu mendengar hamil, langsung saya pingsan). Tak sadar diri. Berbagai cara untuk menggugurkan kandungan sudah dicobanya. Terma-suk obat-obatan yang mahal. Tapi, tetap tak berhasil. Kandungannya semakin besar. Di tengah kegalauan batin itulah, sayamelahirkan bayi perempuan tanggal 14 Mei 1997 lalu. Bayi yang kini sudah berusia 14 bulan itu berkulit putih. Menurut warga kampung, wajahnya sangat mirip dengan HMS. Tak lama habis bersalin, saya mencari alamat “ayah anak” alias pemerko-sa saya di Pematang Siantar. Ditemani Sum (korban “perkosaan” yang pelakunya kebetulan juga anggota Yonif 126), kami langsung menghadap atasannya HMS. Kebetulan Danton-nya mau me-ngerti saya. Ia langsung memanggil HMS. Tapi, sudah saya duga, HMS tak mau bertanggung-jawab. Saya kan cacat. Di depan saya, dia menga-kui perbuat-annya, namun tak mau bertanggung jawab. Akibatnya, HMS dipukul dan diinjak-injak oleh komandannya. Kemudian kami pulang lagi ke kampung. Belakangan ia mengetahui HMS balik lagi ke Pidie. Kali ini—kemungkinan sampai sekarang—bertugas di Tiro/Truseb. Dia tak pernah sekalipun melihat anaknya ini. Surat (perjanjian tidak menggugat tadi) dan uang itu pun diantar oleh komandannya.

9. Suami Diculik, Istri Diperkosa
Tiap hari keluarga korban mendatangi LBH untuk mengadukan nasibnya. Mereka yang datang umumnya penduduk desa pedalaman dan dari pakaiannya tergambar bahwa kehidupannya di garis kemiski-nan, bahkan ada pengadu kala pulang minta ongkos karena kehabisan uang. Derai air mata para janda dan anak yatim selalu terjadi. Betapa tidak, keluarganya dijemput di rumah, kemudian langsung ditembak di depan matanya.
Setelah sang suami mati, istrinya diperkosa secara bergiliran di depan mayat suaminya tanpa memberi kesempatan kepada istrinya untuk mendoakan kepergian terpaksa suaminya. Bukan hanya itu tindakan para penculik, tapi setelah kehilangan suami juga rumahnya dibakar. Seperti Geusyik Saiyiman (55) Kades Teungoh Reuba, Muerah Mulia, Hasbi (40) Desa Masjid Meurah Mulia, Utoh Kaoy (60) Desa Alue Tho, Matang Kuli dan beberapa korban lainnya. Mereka adalah korban ditembak di depan keluarganya secara sadis, sementara penembak terlatih itu meninggalkan lokasi dengan sorak-sorak bergembira menyanyikan mars lagu-lagu kemerdekaan setelah membakar rumah orang-orang miskin. Selain tragedi berdarah tanpa proses hukum itu, juga penyiksaan sampai cacat fisik. Perlakuan terhadap wanita, seperti pemerkosaan juga tidak luput dari laporan yang diterima dan juga oral sex yang dipaksa lakukan oknum penculik.

10. Diambil Paksa dan Diperkosa
Kasus yang dialami As, An, Bc, ketiganya gadis berusia antara 24-25 tahun, warga Kecamatan Sawang Aceh Utara, amatlah mengenaskan. Pada suatu hari ketiganya diambil paksa dari rumah, diperkosa di suatu tempat oleh oknum aparat keamanan. Setelah diperkosa, ketiganya diba-ringkan bersusun, lalu dihujani tembakan. Wanita hamil pun tak luput dari sasaran aparat. Itu yang terjadi atas diri Dn (37), ibu rumah tangga di sebuah desa dalam Keca-matan Sawang, Aceh Utara. Meski sedang hamil lima bulan, ia tak luput dari perkosaan oknum aparat, yang kesatu-annya tak jelas, lalu ditembak. Sang suami dan warga desa mengebumi-kan jenazah korban dengan hati yang terluka.

11. Diarak Telanjang, lalu Didor
Penelanjangan massal yang berakhir dengan penembakan, dialami Aminah Ali (50), Banta Cut Amat (35), dan Muslim (25), semuanya warga Pulo Kenari, Tiro, Pidie. Pada Selasa malam, pukul 02.00 WIB, ketiganya diambil dari rumah oleh oknum Kopassus, lengkap dengan senjata. Aminah Ali dan menantunya, Cut Amat, diikat bersamaan lalu dinaikkan ke mobil aparat. Sedangkan Muslim, anak Aminah, tidak diikat. Tapi, ketiganya mengalami nasib sama: ditelanjangi dan diarak sambil dipukul- pukul ke tengah pasar yang tentunya menjadi tontonan orang banyak. Usai dianiaya, Aminah dan Cut Amat ditembak di depan massa. Kemudi-an, rumah mereka dibakar, termasuk rumah Nyak Kaoy (34), anak kandung Aminah Ali yang berdampingan dengan rumah ibunya. Akan halnya Muslim, awalnya memang terhindar dari eksekusi maut di depan umum. Tapi, ia dipaksa ikut operasi militer ke gunung dengan alasan mencari orang yang hilang. Tapi nyatanya, sejak dari pasar ia sudah digelandang dan ditendang. Menurut saksi mata yang melapor, Muslim dicukur rambutnya, pernah pula dibakar kulitnya pakai korek api, dan akhirnya tewas didor.

12. Digagahi di Depan Anaknya
Apa yang dialami Nyak Maneh Abdullah (35) dari Desa Rinti, Mutiara sungguh di luar perikemanusiaan. Nyak Maneh diperkosa oleh aparat di depan anaknya sendiri.48 Menurut laporan Nyak Maneh, pada malam tanggal 4 Januari 1998, rumahnya didatangi beberapa aparat yang mencari suaminya, M Kaoy Ibrahim (40). Sang suami bersama beberapa pria di kampung itu yang merasa “dicari-cari” aparat sebelumnya memang telah minta izin (surat jalan) kepada Kades untuk berdagang di Banda Aceh. Namun, sampai sekarang rombongan itu belum kembali. Sebagai ganti suaminya, malam itu Nyak Maneh dibawa ke Pos Sattis Pintu I Tiro. Ia diperiksa dan ditanya tentang suaminya. Nyak Maneh disiksa, pahanya dipukul hingga beku darah. Kepala dihantam benda keras. “Akibat pukulan itu, sekarang Nyak Maneh, ibu tiga anak ini sudah kurang bisa mendengar lagi. Esoknya, Nyak Maneh dipulangkan.

Namun pada awal Mei 1998, ia diambil lagi oleh aparat yang bernama Ef dan Sla. Karena khawatir anaknya tak terurus, ia bersikeras membawa anak bungsunya yang masih berusia 2 tahun. Sedangkan dua anak yang lebih besar meski terus menangis terpaksa ditinggal begitu saja, tanpa ada yang menjaga. Ibu dan anak ini kemudian digiring ke Pos Pintu I Tiro. Di situ, Nyak Maneh diperiksa sembari disiksa, dan ditelanjangi. Anaknya yang melihat terus menangis. Malamnya, masih dalam keadaan telanjang, dan di depan anaknya, ia diperkosa oleh aparat yang bernama A (masih muda, lajang). Muka, terutama mulutnya, ditutup kain, supaya jangan berteriak. Hari berikutnya, ia disetrum pada kemaluan dan payudaranya. Diikat tali pada leher. Macam-macam caranya mereka menganiaya Nyak Maneh. Apa sebetulnya salahnya? Siksaan itu dialaminya selama beberapa hari, kemudian ia dilepas. Tapi, setelah itu ia berstatus “wajib lapor” ke Pos Pintu I.

No comments: