04 September 2008

MEROSOTNYA KEKUATAN ISLAM

Oleh Al Chaidar

Modernisasi Orde Baru sampai era transisi BJ Habibie, telah menimbulkan transformasi sosial-budaya, ekonomi dan politik Indonesia, yang secara struktural merubah orientasi politik kalangan Islam Indonesia . Di era Presiden Abdurrahman Wahid saat ini, transformasi itu tunggang-langgang (runaway) di antara developmentalisme (kapitalisme), demokrasi, kebangsaan, keislaman dan keadilan.
Perubahan-perubahan orietasi politik masa Islam bukanlah semata-mata didorong oleh reinterpretasi terhadap ajaran-ajaran itu sendiri, melainkan juga dipercepat oleh perubahan struktural seperti yang diindikasikan dengan lahirnya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) dan reaksi keras terhadapnya.
Dalam konteks ini, meminjam diskursus William Liddle, Islam justru berkembang di Indonesia tanpa terlibat di dalam politik praktis. Karenanya, umat Islam telah dapat bergerak dalam segala aktifitas sosial-budaya dan keagamaannya tanpa harus berhadapan dengan hambatan-hambatan serius seperti yang ditemuinya di masa lalu. Kecurigaan-kecurigaan pemerintah terhadap Islam, lenyap begitu Islam melepaskan diri dari persoalan-persoalan politik.
Pembangunan Orde Baru telah mendorong tingkat mobilisasi sosial-budaya yang lebih tinggi. Ini karena prasarana transportasi publik yang lebih murah, perbaikan prasarana jalan dan rel serta komunikasi terus berkembang. Semua ini meningkatkan akses masyarakat ke kota-kota besar. Isolasi relatif masyarakat desa terkuak dengan tersedianya radio-radio murah dan meningkatnya akses terhadap televisi. Dan, bagi perluasan cakrawala intelektual, perkembangan media cetak di masa Orde Baru telah sangat membantu memberikan dasar-dasar bagi perkembangan lebih lanjut. Semua ini adalah akomodasi non-politik yang kemudian, lambat laun, akan memberi perubahan pada daya tawar-menawar (bargaining power) rakyat terhadap penguasa. Maka, pintu gerbang bagi terciptanya akomodasi politik pun terpaksa terkuak.
Akomodasi politik merupakan petunjuk perubahan persepsi diri di kalangan umat Islam. Maka dalam konteks ini, Islam yang tadinya berkembang biak tanpa politik, tiba-tiba mengalami perubahan-perubahan struktural yang sangat besar pengaruhnya terhadap umat Islam Indonesia. Didukung oleh lapisan-lapisan petani, pedagang menengah dan beberapa kalangan yang telah berada dalam posisi white collar job, mereka, di awal Orde Baru, gagal menangkap kembali pengaruh terbatas yang bahkan pada 1950-an hanya sekali-kali dinikmatinya. Kehidupan politik dunia usaha di awal Orde Baru telah terkonsolidasikan ke dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin), suatu organisasi bisnis yang menikmati dukungan finansial dari pemerintah yang, sebagai akibatnya, menjadi saluran komunikasi utama antara masyarakat bisnis dengan pemerintah. Sebagai salah satu ciptaan Orde Baru, Kadin didominasi oleh kalangan bisnis yang tumbuh dari dan di dalam aparatur negara—terutama pada awal-awal tahun pembentukannya—daripada kaum menengah Muslim.
Kenyataan baru ini menyentak kesadaran umat, terutama ketika mereka semakin menyadari betapa kecilnya peran politik mereka dalam proses restrukturisasi sosial-ekonomi dan politik di dalam percaturan politik di masa Orde Baru. Maka keutuhan dan kesetiaan lama—sebagaimana tercermin pada politik aliran—tidak bisa dipertahankan lagi. Perubahan situasi yang radikal itu, karenanya, haruslah dipahami dengan akidah yang baru. Pergeseran kesadaran ini telah menggoyahkan pendapat yang pernah secara teguh hidup dan berkembang di kalangan umat Islam: bahwa negara Islam bukanlah alat tunggal untuk mewujudkan cita-cita ajaran Islam di muka bumi. Pada gilirannya, pergeseran pemikiran ini pula yang mendorong berbagai kelompok sosial di kalangan umat mereformulasikan keberadaan dan ideologi yang diyakininya. Harus diakui, hanya impian akan Negara Madinah (Islam) sajalah satu-satunya alat politik perjuangan untuk menegakkan hukum-hukum Allah. Partai pun diharuskan menuju ke Negara Madinah (Islam), agar mendapat kepercayaan rakyat.
Diimbangi dengan kegagalan yang berulang-ulang di dalam kancah politik Orde Baru, yang melahirkan frustrasi di kalangan Islam, sisa-sisa kepemimpinan politik Islam di masa lalu itu semakin melemah di dalam ruang lingkup Orde Transisi BJ Habibie dan Orde Reformasi era Presiden Abdurrahman Wahid dewasa ini.
Tahun-tahun terakhir perkembangan Islam Indonesia menyaksikan kemerosotan pengaruh kaum ideologis itu. Pengaruh tokoh-tokoh partai politik Islam di masa lampau, kendati masih tetap dihormati, dengan sempurna telah terkosongkan dari ruang kesadaran politik umat—terutama di kalangan mereka yang telah terurbanisasikan.
Di sinilah gagasan negara Islam secara tajam telah merosot. Kemenangan Golkar yang berulang-ulang di dalam setiap pemilu masa Orde Baru —kendatipun bukan tanpa kecaman—secara mencolok menunjukkan betapa intensifnya perubahan-perubahan ideologis di kalangan umat. Terlebih jika mengingat bahwa kemenangan-kemenangan Golkar itu justru terjadi di daerah-daerah yang sebelumnya menjadi pendukung konvensional partai-partai Islam.
Dengan melihat merosotnya gagasan negara Islam itu, ummat kehilangan impian tentang Negara Madinah yang pernah dibayangkan (imagined state). Namun kini terjadi krisis ekonomi, politik dan sosial sehingga ada peluang di era reformasi untuk mengajukan model Negara Madinah tadi dengan tafsir baru yang kontekstual. Maka, sudah waktunya para intelektual dan politikus Islam melakukan pencarian untuk membuka wacana Negara Madinah era Rasululah yang dibayangkan. Bagaimanapun, konstitusi dan undang-undang Republik Indonesia yang ada, belum menjamin supremasi hukum, politik emansipatoris dan keadilan sosial sehingga perlu penyempurnaan atau amandemen.
Dalam situasi pancaroba dewasa ini, Piagam Madinah sangat mungkin untuk dimanfaatkan sebagai sumber nilai dan inspirasi bagi hukum dan perundang-undangan di Indonesia. Selain akan membuat hubungan para intelektual dan politikus Islam kian mengakar dengan ummat, hal itu juga akan mencegah kemungkinan timbulnya apa yang disebut Gustave le Bon sebagai revolusi religius. Lagipula konstitusi dan undang-undang yang ada akan kian diperkaya, disempurnakan dan didayagunakan. Hal ini juga akan mendorong golongan non-Muslim untuk menyumbangkan pemikiran terbaiknya untuk hal yang sama. Agaknya, Islam pasca Habibie dan kini di bawah era Presiden Abdurrahman Wahid, memiliki masalah dan kesempatan setelah “aksi sejuta ummat” di Monas Jakarta, menimbulkan percikan kontroversi dan sedikit ketegangan antara elite negara dan massa.
Dengan melihat maraknya gejala separatisme dan kekerasan di Maluku,Aceh, Mataram, Irian dan seterusnya, akhirnya, semua terpulang kepada para intelektual, politikus dan angkatan muda Islam yang punya komitmen pada kehidupan berbangsa bernegara. Apakah mereka akan mengambil kesempatan ataukah hanya menunggu datangnya persoalan? Milenium baru menanti jawaban.

No comments: