04 September 2008

Kemunculan Partai-Partai Politik Lokal di Aceh

Kemunculan Partai-Partai Politik Lokal di Aceh:
Studi Analisis Partisipasi dan Patronase Politik Masyarakat di Beberapa Daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam


Bab 1
Pendahuluan

Salah satu kesepakatan yang dihasilkan dalam perundingan antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, ada pemberian amnesti kepada anggota GAM berikut pemulihan hak-hak politik, ekonomi, dan sosial. Salah satu bentuk pemulihan hak politik yang begitu ramai dibicarakan adalah keinginan GAM membentuk partai politik lokal di Nanggroe Aceh Darussalam. Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, mengarah kepada kesediaan pihak GAM melepaskan tuntutan merdeka, yang berarti pengakuan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hanya saja, kelompok GAM menuntut dibukanya peluang pembentukan partai lokal di Naggroe Aceh Darussalam (NAD). Kini pemerintah sudah mengeluarkan peraturan tentang partai lokal dan ramailah panggung demokrasi di Aceh.
Ramainya pembicaraan terhadap keinginan GAM tidak hanya terbatas pada kemungkinan hadirnya partai politik lokal di Aceh, tapi kemungkinan terjadinya efek domino terhadap daerah lain di Indonesia. Apalagi keinginan membentuk partai politik lokal sudah terdengar sejak awal reformasi. Setidaknya keinginan itu didasari pengalaman kehadiran partai politik lokal dalam Pemilihan Umum 1955. Artinya, dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan Indonesia, partai politik lokal bukan sesuatu yang ahistoris. Jika menengok ke belakang, Indonesia sebenarnya sudah berpengalaman dengan kehadiran partai lokal. Ini terjadi dalam pemilu demokratis pertama yang pernah berlangsung di tanah air. Ketika itu sejumlah partai lokal tercatat sebagai kontestan pemilu 1955. Di antaranya: Partai Rakyat Desa (PRD), Partai Rakyat Indonesia Merdeka (PRIM), Gerakan Pilihan Sunda, Partai Tani Indonesia (PTI), dan Gerakan Banteng (di Jawa Barat), Gerinda (di Yogyakarta), Partai Persatuan Daya (di Kalimantan Barat),Persatuan Indonesia Raya NTB (di NTB), AKUI (di Jatim).
Partai-partai lokal tak menjadi jawara di daerah masing-masingnya. Di Jawa Timur, AKUI hanya menempati urutan ke-19. Di Jawa Tengah, Gerinda berada di urutan ke-18. Di Jawa Barat,Gerakan Banteng di urutan ke-20, PRD ke-21, dan PTI ke-23.Di Kalimantan Barat, Partai Persatuan Daya berada di urutan ke-10. Di NTB PIR NTB malah tidak ada dalam daftar. Menurut Feith, hanya Persatuan Daya yang berhasil mendapat kursi di Konstituante, tetapi tidak di DPR. Meski begitu, tak dipungkiri, kehadiran partai politik lokal juga bisa menimbulkan ekses lain. Menurut Wawan Ichwanuddin dari Pusat Kajian Politik Fisip UI beberapa waktu lalu, parpol lokal akan beragam jenisnya dari mulai yang moderat hingga yang ekstrim. Karena itu, tak tertutup kemungkinan justru terjadi konflik di antara partai lokal sendiri.
Sekalipun secara historis kehadiran partai politik lokal punya dasar yang cukup kuat, apakah dari aspek hukum (tata negara) kehadiran partai politik lokal dapat dibenarkan? Pertanyaan ini menjadi penting karena ada pendapat yang mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Partai Politik tidak memungkinkan adanya partai politik lokal. Kalau dibaca dengan cermat UUD 1945, Pasal 28 mengamanatkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Salah satu sarana untuk mewujudkan kebebasan berserikat dan berkumpul itu adalah dengan membentuk partai politik.
Sebagian kalangan beranggapan, cara-cara represif di masa lalu-lah yang menjadi pupuk bagi berkecambahnya perasaan ingin melepaskan diri dari Indonesia. Kekerasan fisik, eksploitasi sumber daya alam dan ketiadaan saluran partisipasi politik mengakibatkan pilihan merdeka kerap digaungkan. Padahal, yang dimaksud merdeka sebenarnya tak selalu berarti lepas dari bingkai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Menjadi pertanyaan penting dalam penelitian ini adalah apakah benar persepsi dan asumsi para pengamat tentang ketiadaan saluran partisipasi politik di tingkat lokal. Dan apakah benar bahwa partai politik nasional telah kehilangan akarnya di masyarakat yang semakin berpikiran regional.
Tak hanya soal kebijakan ekonomi dan keputusan politik, tetapi juga menyangkut pengidentifikasian diri. Jadi, otonomi daerah saja tak cukup. Warga di berbagai daerah perlu diberikan ruang untuk mengekspesikan identitas dan juga aspirasi politiknya. Dus, usulan partai lokal menjadi relevan. Masalahnya, ada kekhawatiran partai lokal bakal mendorong tumbuh suburnya separatisme. Dengan membuka peluang membentuk partai lokal, perjuangan yang tadinya bersifat informal di luar negara menjadi formal. Parpol lokal itu tahapan untuk merebut kursi politik lokal dan jika berkuasa, akan mulai mempertanyakan pola hubungan dengan pusat.
Separatisme tumbuh karena karena ketidakadilan, kesewenangwenangan, tersumbatnya aspirasi di suatu wilayah, dan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan lainnya. Sebaliknya, kata Kristiadi, kehadiran partai politik lokal justru dapat dijadikan kanalisasi dan instrumen bagi masyarakat di daerah untuk menyalurkan aspirasi mereka. Pasalnya, partai politik berskala nasional tidak mungkin dapat menampung dan mengagregasi kepentingan rakyat di daerah yang sedemikian beragam. Partai lokal dalam pandangannya akan lebih mampu memberikan perhatian kepada kepentingan daerah atau kepentingan kelompok tertentu di daerah. Meski begitu, ia meyakini, partai lokal tak akan mempertentangkan kepentingan nasional dengan kepentingan daerah. Soalnya, jika itu yang dilakukan, partai lokal itu bakal gagal mendapat dukungan masyarakat.
Adanya partai lokal, kata pengamat perpemiluan ini, akan membantu desentralisasi dan menggairahkan politik lokal. Jika ada partai lokal, maka mereka bisa membuat tren kebutuhan nasional. Pada titik ini, peringatan yang disampaikan Arie Sudjito menjadi penting. Parpol lokal tidak akan menjadi kanal aspirasi daerah jika tingkah lakunya hanya menduplikasi partai-partai politik nasional yang ada saat ini. Yang ia maksud, kebiasaan oligarki kepemimpinan di segelintir elit, memajukan aspirasi kelompoknya sendiri ketimbang aspirasi konstituen serta sogokan politik dalam berbagai bentuk. Parpol lokal baru menjadi kanal aspirasi jika mampu mendekatkan jarak pengambilan keputusan antara warga dengan pemerintah yang berkuasa.





Bab 2
Kerangka Teori

Untuk melihat bagaimana partai politik lokal menjadi bagian dari sistem politik Indonesia sekarang, kita perlu berkaca pada Pemilihan Umum 1955. Herbert Feith membagi empat kelompok partai politik yang mendapatkan suara di DPR dan Konstituante, yakni partai besar, menengah, kelompok kecil yang bercakupan nasional, dan kelompok kecil yang bercakupan daerah. Kelompok terakhir ini, menurut Herbert Feith, bisa dikategorikan partai atau kelompok yang bersifat kedaerahan dan kesukuan. Misalnya munculnya Partai Rakyat Desa, Partai Rakyat Indonesia Merdeka, Gerakan Pilihan Sunda, Partai Tani Indonesia, dan Gerakan Banteng di Jawa Barat. Tidak hanya itu, di daerah lain ada Gerinda di Yogyakarta dan Partai Persatuan Daya di Kalimantan Barat.
Parpol merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang demokratis. Sebagai suatu organisasi, keberadaan parpol bertujuan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara absah dan damai. Ia tidak hanya sebagai instrumen demokrasi tapi sekaligus mengusung tujuan yang lebih luas yakni memastikan kedaulatan rakyat atas hak-hak dasarnya, baik itu hak sipil politik maupun ekonomi dan sosial mereka.
Pasal 1 UU Nomor 31/2002 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, dan negara melalui pemilihan umum. Ketentuan tersebut mengandung makna bahwa partai politik dapat dikatakan sebagai representation of ideas tentang negara dan masyarakat yang dicita-citakan oleh sekelompok warga negara yang diperjuangkan melalui pemilihan umum. Apalagi, menurut Jocobson, the primary function of any political party is to win elections.
Meskipun secara eksplisit dinyatakan dapat dilakukan oleh sekelompok warga negara, pembentukan partai politik hanya dapat dilakukan dengan persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang. Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 31/2002 menyatakan bahwa partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 tahun dengan akta notaris.
Sekiranya persyaratan kehadiran partai politik hanya sebatas ketentuan itu, dapat dipastikan tidak sulit membentuk partai politik lokal. Kesulitan membentuk partai politik lokal muncul karena akta notaris harus memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang disertai susunan kepengurusan tingkat nasional. Kesulitan makin terasa karena partai politik harus didaftarkan pada Departemen Kehakiman dengan memenuhi salah satu syarat, yaitu mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50 persen dari jumlah provinsi, 50 persen dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25 persen dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang bersangkutan.
Dengan adanya syarat partai politik mempunyai susunan kepengurusan tingkat nasional dan kepengurusan tingkat provinsi (sekurang-kurangnya setengah dari jumlah provinsi yang ada), kehadiran partai politik lokal menjadi hampir tidak mungkin direalisasi. Apalagi kalau mau mengikuti pemilihan umum. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Legislatif hanya memperkenankan partai politik mengikuti pemilihan umum kalau memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di dua pertiga dari jumlah provinsi dan pengurus lengkap sekurang-kurangnya di dua pertiga dari jumlah kabupaten/kota yang ada.
Barangkali menarik mengambil contoh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pasal 28 ayat 1 UU Nomor 21/2001 menentukan bahwa penduduk Provinsi Papua dapat membentuk partai politik. Meski tidak secara eksplisit, ketentuan itu sering dimaknai sebagai ruang membentuk partai politik lokal. Apalagi, dalam ayat 3 dan ayat 4, masyarakat asli Papua diprioritaskan dengan meminta pertimbangan kepada Majelis Rakyat Papua. Namun, semangat "partai politik lokal" itu memudar dengan ketentuan dalam ayat 2, yang menegaskan bahwa tata cara pembentukan partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan penjelasan di atas, mengecilnya ruang munculnya partai politik lokal sengaja didesain oleh mayoritas kekuatan politik di tingkat pusat. Padahal, untuk melakukan desentralisasi politik, kehadiran partai politik lokal merupakan sebuah keniscayaan. Apalagi, dengan pola partai politik (yang serba terpusat) selama ini, aspirasi politik di tingkat lokal cenderung dinegasikan oleh sebagian besar partai politik yang ada. Kita tidak hanya ingin demokrasi dengan parpol sebagai elemen utamanya berfungsi, tapi lebih jauh lagi menjadikan demokrasi bermakna untuk sebagian besar masyarakat, di mana ada pengendalian masyarakat atas urusan publik berlandaskan kesetaraan politik.
Jika tak ada aral melintang, maka pada 2009 nanti Indonesia kembali akan menyelenggarakan Pemilihan Umum (Pemilu) yang disusul dengan pemilihan presiden (Pilpres) secara langsung. Sebagai bagian dari proses demokratisasi maka Pemilu maupun Pilpres meniscayakan keterlibatan serta partisipasi politik masyarakat. Terkait dengan hal tersebut di atas, maka segala persiapan tampak sudah dilakukan oleh semua partai politik, demikian pula aktor-]aktor yang hendak ikut berlaga dalam pemilihan presiden, sudah giat melakukan berbagai manuver politik dan aktivitas-aktivitas publik untuk mempromosikan dirinya. Adalah penting segera menakar kekuatan, kelemahan dan peluang dari masing-masing partai politik dan kandidat yang hendak berlaga itu. Selain untuk mengetahui siapa yang bakal menang, tetapi juga untuk medeteksi sedini mungkin dinamika dan perubahan-perubahan yang bakal terjadi sehubungan dengan persiapan dan hasil Pemilu dan Pilpres nanti. Serta tidak kalah penting
Penelitian ini juga mencoba melihat bagaimana eksistensi parpol lebih banyak ditopang oleh elit-elit lama (dan baru) yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan sempit kelompok mereka sendiri dengan mengabaikan aspirasi warga negara kecuali saat kampanye dan pemungutan suara dalam pemilu. Parpol justru dinilai menyebabkan terjadinya defisit demokrasi dalam sistem demokrasi perwakilan. Namun, apakah kemudian parpol memang layak untuk ditinggalkan, atau bahkan dihapus saja? Terdapat tiga skenario yang bisa diajukan untuk memperkuat daya representasi partai politik. Pertama, desentralisasi partai politik. Dalam skenario ini, partai politik berfungsi sebagai lembaga representasi politik masyarakat, rekrutmen politik, dan penyalur aspirasi masyarakat. Ini hanya bisa dikerjakan dengan cara mendesentralisasikannya agar berfungsi menjadi institusi-institusi politik lokal yang efektif, dan juga bertujuan mempromosikan kepemimpinan politik lokal yang lebih aspiratif.
Skenario kedua adalah pembentukan partai politik lokal. Skenario ini ditujukan untuk mentransformasikan gerakan sosial lokal menjadi gerakan politik yang absah di tingkat lokal melalui cara-cara demokratis. Ini juga dimaksudkan untuk menyediakan sarana untuk mengagregasikan aksi sipil menjadi aksi politik serta 'menantang' kelambanan parpol 'nasional' dalam memenuhi kepentingan politik lokal. Memang akan ada resiko manipulasi demi kepentingan primordial etnis/agama oleh para bos lokal dan petualang-petualang politik oligarkis. Tetapi tanpa mengabaikan resiko tersebut, kita tidak bisa menafikan bahwa bahwa partai politik lokal yang otentik jauh lebih bermakna bagi kepentingan lokal ketimbang partai nasional di tingkat lokal.
Skenario terakhir adalah politisasi forum warga. Langkah ini memang merupakan bagian dari skenario politisi masyarakat sipil. Ini cara untuk 'menantang' atau 'memberikan pelajaran' bagi parpol-parpol yang ada untuk bebenah menghadap forum-forum warga yang terpolitisasi, dan bahkan lebih memiliki akar dan legitimasi dalam masyarakat dibandingkan parpol. Tiga skenario ini memang hanya proyek minimal dalam menjadikan demokrasi dengan parpol sebagai elemen utamanya menjadi lebih bermakna. Parpol memang bermasalah saat ini, tapi mengabaikan, dan bahkan meninggalkannya hanya membuat ruang publik diisi oleh kekuatan yang tidak demokratis







Bab 3
Tujuan Penelitian dan Signifikasi Penelitian

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk secara umum merekam respon publik Aceh terhadap partai politik lokal dan nasional. Ruang lingkup yang akan dideteksi dan diperiksa secara empirik dalam penelitian ini adalah:
1. Preferensi sosial politik masyarakat atas pilihan pilihannya terhadap partai politik lokal dan nasional yang diukur atas dasar kelas dan golongan sosialnya.
2. Popularitas para kandidat calon pemimpin lokal (kepala daerah) yang telah muncul dan diperkirakan akan muncul beserta kemungkinan pasangannnya melalui simulasi yang dibuat. Serta faktor-faktor image apa yang memungkinkan sang kandidat populer.
3. Popularitas partai politik lokal dan dan peluangnya dalam memenangkan pilkada, kelas dan golongan sosial pemilihnya, serta daerah-daerah yang menjadi basisnya.
4. Tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilu (Parlemen Pusat maupun Pilpres) dan Pilkada.


Signifikasi Penelitian
Ada tiga hal pokok yang menjadi manfaat atau signifikansi penelitian ini, yaitu melakukan: 1) monitoring persepsi masyarakat terhadap partai politik dan calon presiden; 2) prediksi perkembangan persepsi masyarakat; 3) preskripsi politik.





Bab 4
Metodologi Penelitian


Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif, dengan mengaplikasikan metode deskriptif-analisis. Penelitian ini menggunakan dua metode pengumpulan data, pengumpulan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer (primary sources) dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (in-depth interviews) dengan masyarakat kalangan bawah yang dianggap merepresentasikan kekuatan-kekuatan politik lokal (ulama, kelas pedagang, mahasiswa dan kalangan muda, kalangan wanita, kalangan pegawai negeri), kalangan yang mewakili kepentingan dan tendensi politik nasional, dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Pengumpulan data sekunder (secondary sources) dilakukan melalui penelusuran bahan-bahan tertulis seperti buku-buku, majalah, buletin, koran/surat-kabar dan bahan tertulis lainnya yang tidak diterbitkan.

Subyek Penelitian
Subyek penelitian akan diwawancarai seputar partai-partai lokal yang akhir-akhir ini muncul di Aceh dan bagaimana mereka menyikapinya. Sebagian besar subyek akan diambil dari daerah pedesaan, sisanya sekitar seperempatnya berasal dari daerah-daerah urban (perkotaan) di Aceh. Usia subyek juga dibatasi dari usia 17 tahun hingga 50 tahun atau bagi mereka yang sudah menikah.

Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan mewawancarai kalangan bawah dari masyarakat di kota-kota dan wilayah kabupaten Banda Aceh dan Aceh Besar, Lhokseumawe, Aceh Utara, Takengon, Tamiang, Bener Meriah, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Barat, dan Nagan Raya.

Analisis Data
Data primer yang didapat di lapangan dalam bentuk wawancara akan ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan. Data ini akan dikombinasikan dengan data-data sekunder yang bersumber dari berita-berita yang ditulis media massa cetak (koran, majalah, buletin atau jurnal) serta ulasan dan opini kalangan akademisi yang tersebar di berbagai media massa, termasuk internet. Data akan dikategorisasikan dalam suatu proses taksonomi sederhana yang menyangkut beberapa isu dan topik penting menyangkut parpol lokal. Selanjutnya, data-data yang sejenis akan direduksi untuk mengurangi jumlah data yang terlalu banyak untuk kemudian dianalisis berdasarkan tema-tema tertentu yang dianggap bisa menjawab penelitian ini. Hasil analisis ini akan dituliskan ke dalam laporan penelitian sederhana untuk kemudian akan diinterpretasikan dalam suatu seminar hasil penelitian.



Bab 6
Jadwal Penelitian

JADWAL KEGIATAN PENELITIAN

No Nama Kegiatan Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Pembuatan Proposal Penelitian
2 Persiapan awal
3 Survei Lapangan
4 Pengkajian dan Analisis Data
5 Studi Perpustakaan
6 Pengolahan Data
7 Penyusunan Laporan dan penggandaan
8 Seminar Hasil Penelitian
9 Penyusunan Laporan dan Jurnal

No comments: