04 September 2008

Perpecahan dan Integrasi, Perkembangan Gerakan Darul Islam di Indonesia dan Jaringannya di Asia Tenggara, 1962-2006

Perpecahan dan Integrasi:
Perkembangan Gerakan Darul Islam di Indonesia dan Jaringannya di Asia Tenggara, 1962-2006




Al Chaidar
Dosen pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Malikussaleh
Lhokseumawe, Aceh



Latar Belakang
Gerakan Darul Islam (DI) atau dikenal dengan Negara Islam Indonesia (NII) adalah sebuah gerakan politik bersenjata yang sangat berpengaruh di Indonesia dari tahun 1949 hingga sekarang. DI muncul pertama kalinya di Jawa Barat dan dalam perkembangannya kemudian gerakan ini menjangkau berbagai daerah: Jawa Tengah (1950), Kalimantan Selatan (1951), Sulawesi Selatan (1952) dan Aceh (1953). Darul Islam, sebenarnya, sudah muncul semenjak tahun 1948 dan belum benar-benar berakhir hingga saat sekarang ini. Bahkan, untuk konteks kekinian, ada indikasi yang sangat kuat bahwa Darul Islam muncul lagi dalam berbagai bentuk dan nama serta dalam berbagai model dan metode pergerakan. Kemunculan kembali Darul Islam ini menunjukkan adanya kelanjutan (continuity) dari sebuah gerakan ideologi yang tak pernah mati. Kemunculan kembali DI atau NII ini terutama karena banyaknya keinginan untuk melanjutkan perjuangan menegakkan negara Islam di Indonesia, selain sebagai upaya untuk memperebutkan posisi Imam atau kepala negara. Akibatnya, keinginan ideal untuk menegakkan negara Islam berubah menjadi upaya praktis memperebutkan posisi sebagai Imam di dalam struktur organisasi gerakan ini sehingga beberapa tokoh yang memiliki konstituennya sendiri mengklaim diri sebagai imam dengan segala justifikasinya masing-masing.
Maka bermunculanlah berbagai faksi di dalam tubuh organisasi pergerakan bawah tanah terbesar di Indonesia ini. Secara teoritis, faksionalisme adalah bentuk pergerakan yang mempunyai tujuan dan akar politik dan ideologi yang sama namun muncul banyak perbedaan kecil yang sebenarnya tidak signifikan. Kebanyakan perbedaan ini berkaitan dengan masalah kepemimpinan internal dan tokoh-tokoh pergerakan kemudian mengambil jalan lain yang dianggap lebih tepat untuk melanjutkan misi dan visi organisasi atau pergerakan. Sebagaimana akan dibahas di dalam tulisan ini, kelanjutan Negara Islam Indonesia pasca S.M. Kartosoewirjo bertendensi kuat ke arah sistem politik faksionalisme. Di dalam konteks DI, faksionalisme ini terjadi karena adanya peristiwa-peristiwa penting yang menggambarkan dinamika konflik internal pergerakan selain kelanjutan resistensi politik umat Islam sebagai perjuangan untuk mempertahankan eksistensi Negara Islam Indonesia pada generasi penerusnya. Tetapi di sisi lain, pada periode pasca perang (1949-1962), para tokoh utama pengikut S.M. Kartosoewirjo membuat struktur NII yang kemudian mengalami perubahan dan perpecahan ke dalam beberapa faksi dan perubahan pola pikir dan metode penafsiran sejarah, ayat dan hadist. Banyaknya faksi-faksi dalam kalangan internal pergerakan DI ini bersifat arbitrer dalam pengertian bahwa satu sama lain saling mengklaim yang paling berhak mewarisi panji kepemimpinan Negara Islam Indonesia pasca S.M. Kartosoewirjo.
Kelanjutan Negara Islam Indonesia pasca S.M. Kartosoewirjo ditandai oleh dua fenomena menarik: perpecahan dan integrasi; ada persatuan atau integrasi antar berbagai faksi dan terjadinya berbagai perpecahan atau konflik suksesi keimaman atau karena efek dari berbagai peristiwa kekerasan yang muncul dalam perjalanan NII. Perpecahan bermula dari munculnya kelompok fillah dan kelompok sabilillah. Fillah bermakna sipil setelah kekalahan perang yang dialami oleh DI mulai tahun-tahun 1960-an, sedangkan sabilillah adalah kelompok yang hendak melanjutkan perang bersenjata dengan cara gerilya. Kelompok fillah mengambil metode dakwah dan tarbiyah (pendidikan) sebagai jalan jihadnya. Sedangkan kelompok sabilillah mengambil jalan perang sebagai jihadnya. Pada tahun-tahun awal 1970-an kedua kelompok ini berdebat tentang cara-cara melanjutkan perjuangan NII sepeninggal S.M. Kartosoewirjo. Kelompok pertama lebih banyak menyampaikan konsep-konsep, sementara kelompok kedua menuntut pelaksanaan dari kata-kata. Kelompok pertama pada tataran wacana dan lebih mengembangkan dakwah dan keilmuan yang abstrak, sedangkan kelompok kedua lebih menekankan pada aksi fisik yang nyata. Namun, perdebatan ini lebih sering kemudian diakhiri dengan tarik-menarik klaim siapa yang paling sah dan konstitusional dalam memagang tampuk kepemimpinan pergerakan.
Persoalan kepemimpinan adalah problem internal yang tidak pernah selesai di dalam setiap pergerakan Islam di manapun di dunia ini. Kepemimpinan adalah isu sentral yang sangat dominan dalam menentukan apakah seseorang sudah berada pada tanzim (organisasi) yang benar dan bagi pengikutnya (atau sering disebut dengan istilah ‘ummat’) menjadi persoalan pilihan jalan hidup. Bagi pemimpin tiap-tiap faksi menjadi dasar yang tegas dalam menetapkan setiap keputusan yang syar’i (sah secara hukum Islam). Untuk menganalisis isu kepemimpinan ini, ada beberapa jejak untuk dijadikan rujukan tentang estafet kepemimpinan perjuangan NII, yaitu rujukan kepada klausal peraturan pemerintah (Maklumat Komandemen Tertinggi No. 11) di mana memuat azas Sapta Palagan dengan KPSI yang berlaku secara otomatis garis kepemimpinan tersebut. MKT 11 ini juga memuat tentang azas Purba Wisesa (kekuasaan otomatis), yang berarti bahwa kepemimpinan akan diakui oleh orang-orang yang terdekat dengan S.M. Kartosoewirjo. Tetapi azas yang menjadi acuan ini pada prakteknya tidak begitu diketahui oleh sebagian pengikut NII karena minimnya pemahaman para anggota jamaah (yang dalam diskursus mereka disebut sebagai ‘warga’) maupun mas’ul (aparat) tentang ketatanegaraan NII dan mekanismenya, sehingga tidak dapat dengan cepat mengadakan konsolidasi pada tingkat KPSI khususnya dalam pengaturan perumusan strategi.
Perencanaan strategis pergerakan DI dimulai ketika terjadi kontak antara Hasan Anwar dengan Abu Hasan di Sulawesi. Hasan Anwar memulai dialog sensitif ini dengan mengambil pengandaian bahwa shalat sendirian memang sah, namun lebih baik kalau dalam sebuah jamaah, setiap jamaah shalat mestilah ada imamnya, dan dalam doktrin politik Islam, setiap ada imam mestilah ada bai’at (sumpah setia). Pertemuan di Sulawesi ini berkoinsidensi dengan peristiwa penting lainnya yang bersifat rahasia, Forum Majlis Syuro NII di Makassar. Dengan kehadiran Hasan Anwar ini bersamaan dengan sedang berlangsungnya Forum Majelis Syura NII di Sulawesi menjadikan pembicaraan isu kelanjutan kepemimpinan sebagai tema yang sangat penting dan kontroversial. Segera saja seluruh peserta memikirkan persoalan estafet kepemimpinan DI yang belum tuntas. Ibarat kereta api, DI bagaikan gerbong tanpa lokomotif; bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya. Pembicaraan kepemimpinan ini menjadi topik pembahasan utama dalam agenda elit politik untuk perencanaan strategis kelanjutan perjuangan DI/TII.
Kehadiran Hasan Anwar dalam Forum Majelis Syura itu juga menyampaikan amanah S.M. Kartosoewirjo sebagai Imam pada saat-saat terakhir di penjara sebelum menjalani eksekusi tahun 1962. Amanah itu berisikan ajakan kepada setiap mujahid untuk tetap berpegang kepada peraturan pemerintah NII dan perjuangan harus tetap dilanjutkan sesuai dengan Sapta Palagan. Dan juga mengenai penggantian pimpinan perjuangan agar tetap dilanjutkan berdasarkan KPSI dan medan jihad tidak boleh sampai terputus. Sehingga dengan ini terbukti bahwa jaringan DI di Sulawesi setelah tertawannya S.M. Kartosoewirjo tidak pernah berhenti dan terus dilanjutkan, walau Kahar Muzakar telah meninggal. Pada tataran ini, gerakan DI adalah gerakan dengan jaringan nasional (atau setidaknya pada saat itu bersifat interinsuler) yang melintasi batas-batas etnik, bahasa dan budaya lokal.
Usaha lainnya adalah dengan dilanjutkannya kerja keras dalam membuka hubungan interinsuler antara Jawa Barat-Aceh, yang mana diutusnya wakil dari Aceh ke Jawa Barat, kemudian kunjungan dari Aceh ini mendapatkan kunjungan balasan dari Jawa Barat. Gerakan yang bersifat inter-cultural ini mampu menyambungkan keinginan universal Islam tanpa sekat-sekat perbedaan kultural. Mereka diterima oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh di Beureueneun, Aceh tahun 1967. Langkah-langkah ini adalah usaha awal penyusunan kembali strategi jihad yang dipersiapkan untuk menyambut revolusi Islam menuju Futuh Mekkah di Indonesia.
Usaha-usaha ini kemudian dilanjutkan dengan Perencanaan Program 1967-1973. Program ini juga mendapat sambutan dari tokoh-tokoh Islam yang ada di tingkat elit politik Republik Indonesia. Tetapi program ini mengalami kebocoran karena ketidakpercayaan dan ketidakpahaman sebagian para mujahidin DI. Karena itu, pada tahun 1973 Atjeng Kurnia mengambil inisiatif berangkat untuk menjumpai Teungku Muhammad Daud Beureueh untuk mendapatkan penjelasan program yang dimaksud, tetapi Teungku Muhammad Daud Beureueh tidak memberikan penjelasan yang memadai kepada Atjeng Kurnia. Konsekuensinya, pertemuan ini membawa penilaian negatif Atjeng Kurnia, sehingga isu ini dibawa ke forum di Jawa Barat bahwa ada hal-hal yang sengaja ditutup-tutupi bagi sebagian anggota DI lainnya. Selanjutnya usaha-usaha program mengalami kebocoran yang tidak pada tempatnya dengan mengikutsertakan beberapa tokoh DI yang dianggap sudah indisipliner, yaitu Adah Djaelani.
Pada sisi lain, di kalangan ummat atau warga NII belum banyak mengetahui dan memahami tentang perangkat-perangkat peraturan kenegaraan di tingkat pusat, dan kurangnya kontak dan informasi pada masa itu sehingga terjadi kesalahpahaman perjuangan. Seperti yang dituturkan oleh Pak Ridwan dengan mengambil peristiwa yang terjadi di Brebes, Jawa Tengah, mulai tahun 1962. Sewaktu ramai beredar sejumlah selebaran (pamflet-pamflet) yang dibuat oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) tertempel di batang-batang pohon yang berisikan seruan dan ajakan agar pasukan TII untuk menghentikan tembak-menembak (cease-fire) dengan pihak TNI sehubungan dengan kabar bahwa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo selaku Imam NII tengah mengadakan perundingan dengan pihak RI. Karena kekurangan informasi dan kontak, atas tersebarnya pamflet-pamflet ini membuat kalangan pejuang DI/TII dilematis. Di satu sisi mereka harus terus melanjutkan pertempuran sementara di sisi lain harus menghormati pembicaraan damai yang sedang berlangsung.
Panglima Divisi II TII Jawa Timur, Haji Ismail Pranoto (populer dengan nama singkatan Hispran) beserta satu kompi pasukan yang mengiringinya, ia dan rombongan bermaksud hendak mengecek kebenaran isi selebaran tersebut, untuk maksud tersebut dia meninggalkan ribuan pasukannya di wilayah Jawa Tengah. Dalam perjalanan Hispran mampir ke Brebes. Di Brebes ini, Hispran dijumpai oleh lima orang prajurit yang mengatakan bahwa sejumlah pasukan di bawah pimpinan Saiful, Digdo, Hispuri di Watugeni, pasukan yang telah ditinggalkan Hispran mempercayai isi selebaran, mereka tengah bergerak menuju Tegal. Masalah komunikasi yang kurang menyebabkan disinformasi yang kemudian berakibat kalahnya TII di Jawa Timur.
Sementara itu, situasi yang berkembang sangat cepat sedemikian rupa, Hispran berpedoman atas wasiat Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo bahwa: “(1) suatu ketika akan terjadi wahyu anggening, yaitu kelak akan terjadi badai angin topan yang menyapu seluruh para mujahid, yang membuat kondisi kawan menjadi lawan, mujahid menjadi bukan mujahid, bukan mujahid menjadi mujahid, panglima menjadi prajurit, prajurit menjadi panglima. Dan untuk ini, jika Ridwan memerintahkan kalian untuk turun menghentikan jihad, maka sejak itu anggap saja Ridwan iblis dan kalian langsung tembak saja Ridwan, (2) harus diingat kalau mujahid ingkar dari jihad, maka ia akan menjadi iblis, lebih jahat daripada TNI, (3) harus juga diingat kalau kalian kehilangan kekuatan, kalian hanya tinggal mempunyai gigi satu saja, selama Pancasila masih ada, berarti gigi satu itu gunakan untuk menggigit musuh. Bila kalian berada di suatu wilayah atau di mana saja kamu berada, di sanalah kamu berjihad. Tidak terbatas oleh teritorial, (4) Kalau kalian berada ‘dalam kondisi jihad, maka rasa aman adalah racun”. Begitu pesan imam yang disampaikan Hispran.
Dari wacana “pesan imam” tersebut, warga NII kemudian mengembangkan suatu etos berjuang yang unik: (1) tidak pernah berhenti berjihad; (2) TNI adalah musuh; (3) Pancasila adalah thagut (berhala); (4) selalu awas. Namun, jika pesan itu dipersepsikan secara berlebihan, maka akan muncul konsekuensi negatif dari etos bergerak: (1) tidak mempercayai teman; (2) bisa memindahkan pergerakan ke mana saja, di luar Indonesia sekalipun; (3) bisa saling membunuh sesama pejuang atau teman seperjuangan; (4) berbiaya tinggi karena harus berpindah tempat setiap waktu. Pesan ini jika salah ditafsirkan pun bisa menjadi penyebab munculnya perpecahan (faksi-faksi) di dalam tubuh DI.
Perpecahan juga disebabkan oleh munculnya faksi-faksi yang dalam sejarahnya ada yang bersedia “turun gunung” (menyerah) dan kelompok yang tidak bersedia turun gunung. Misalnya dalam kasus pasukan di Brebes yang telah bersepakat tidak mau turun gunung tidak mempercayai selebaran yang disebarkan oleh pihak TNI. Kyai Maskur, seorang anak buah Hispran KW-2Jawa Tengah, mungkin ia di bawah tekanan pihak TNI mengultimatum Hispran, “Bahwa kalau kalian tidak mau turun, mereka akan kerahkan pasukan yang telah turun bersama alat-alat negara RI yang telah ada.” Untuk ultimatum ini Hispran menjawab, “Silahkan kalian kerahkan semua, bagi Ridwan hanya Allah dan para malaikat-Nya saja. Kalau kalian hendak turun silahkan.” Dari lima orang yang membawa berita bergabung kembali dengan Hispran kecuali satu pimpinan pasukan, Rakum. Tak lama kemudian pasukan TNI melakukan operasi-operasi penyisiran , hingga pasukan terpencar karena terdesak sampai ke lereng-lereng bukit selama dua bulan.
Kasus ini terjadi, pada waktu S.M. Kartosoewirjo sebagai Imam NII tertawan, karena konsolidasi dan koordinasi jihad tidak secara langsung terselesaikan karena pada zaman itu sarana komunikasi yang tidak memungkinkan terjadinya komunikasi antar pimpinan komando militer sehingga tidak dengan cepat menyelesaikan situasi. Di banyak kasus setelah tertawannya Imam S.M. Kartosoewirjo sumber daya manusia pada tingkat komandan memahami sistem komandemen yang berlaku hanya tinggal sedikit. Pemahaman ini sebenarnya sangat penting untuk mencegah strategi desepsi dari pihak TNI yang memakai cara-cara disinformasi untuk menyesatkan orientasi para pejuang DI.
Hingga tahun 1963 pasukan yang telah terpencar ini bertemu kembali. Mereka mengadakan pertemuan rahasia dengan para komandan batalyon, komandan kompi dan para ajudannya. Pertemuan rahasia ini dihadiri oleh delapan komandan di bawah pimpinan Hispran: komandan batalyon Haji Annas, ajudannya Aspri (Salman Al Farisi), komandan kompi Kastulani. Pertemuan rahasia ini dijaga ketat oleh pasukan yang terdiri dari sejumlah 100 prajurit orang ini berpencar. Hingga tahun 1967 mereka bertemu dengan jumlah 12 orang. Inilah peristiwa reintegrasi pasukan DI pertama di bawah komando Hispran. Komando inilah yang masih teguh dalam prinsip militernya hingga kemudian berubah menjadi tanzim Jama’ah Islamiyyah sekarang ini.
Sementara itu, sejumlah pasukan lain yang belum turun gunung masih bergerilya di tempat-tempat lain di Jawa tengah. Bagi mereka, turun gunung dijemput lawan atau ditawan, sesuatu yang berada di luar angan-angan mereka: mereka ingin pulang dijemput sanak saudara dan orang-orang terkasih, menjadi pahlawan yang membebaskan, bukan menjadi tawanan. Namun pada akhirnya ada beberapa di antara mereka yang turun gunung karena koordinasi dan kondisi perjuangan sudah mengalami kekalahan di berbagai lini pertempuran. Beberapa dari mereka yang menyerah, ternyata mengalami kurangnya kaderisasi setelah turun gunung, maka KW-2 Jawa Tengah kemudian menyusun usaha-usahanya dan turut serta dalam usaha-usaha konsolidasi sampai tahun 1973. Menyerah diikuti perubahan strategi perjuangan, dari jihad menjadi dakwah dan tarbiyah.
Sementara itu tahun 1968-1969 di Jawa Barat, Atjeng Kurnia menghimpun kembali bekas-bekas panglima, seperti Adah Djaelani, Ateng Djaelani, Muhammad Hatam, itu direalisasikan dalam satu wadah PRTI (Persiapan Resimen Tentara Islam) dengan 10 kader, yakni: Tahmid (pimpinan PRTI), Maman Tsani SH, bawahan Tahmid (mewakili generasi muda), Sambas Suryana, Ir. Atjeng Sutisna, Ubad, Budiarto, Nanang, Ridwan, Ayep (adik istri Atjeng Kurnia). PRTI pertama mempunyai tugas internal, yakni memperingatkan kembali eksponen-eksponen TII termasuk anak-anaknya jangan sampai tidak tahu perjuangan orang tuanya. Usaha selama satu tahun ini dievaluasi, tidak ada penambahan kader yang signifikan. Hambatan-hambatan itu di antaranya adalah lambatnya komunikasi pesan dan perintah dari atas ke bawah: kalau mendatangi komandan regu, komandan regu menjawab ia tidak diperintahkan oleh komandan peleton, kalau mendatangi komandan peleton, ia menjawab ia tidak diperintahkan oleh komandan kompi, kalau mendatangi komandan kompi, ia menjawab ia tidak diperintahkan oleh komandan resimen, dst. Dari jawaban-jawaban yang diterima, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi inti masalah adalah orangtua. Lalu pihak generasi muda mendatangi eksponen-eksponen panglima dengan mengajukan pertanyaan, “sanggupkah orang tua untuk meneruskan perjuangan atau tidak, bahkan mereka meminta jawaban di atas kertas agar jelas, agar mereka dapat bergerak dengan leluasa dan tiada penghalang dari orang tua.” Waktu itu seluruh orangtua menyatakan sanggup dengan segala konsekwensinya.
Diadakannya pertemuan dengan eksponen-eksponen angkatan pertama pejuang DI dengan anak-anak DI/TII (generasi kedua) secara internal dimungkinkan terjadi karena Danu Muhammad Hasan mengusulkan agar pertemuan itu terbuka sifatnya, karena untuk mengumpulkan sekian ribu para mujahid sangat sulit. Pada waktu itu Pak Danu dinas pada Opsus dengan Ali Moetopo, mereka mengadakan pertemuan reuni disarankan oleh Pak Danu untuk mengambil uang untuk keperluan tersebut dari kantor Bakin di Matraman. Pertemuan diselenggarakan atas sponsor Bakin. Maka pada 24 April 1971, pertemuan diselenggarakan di rumah Danu Muhammad Hasan di Jalan Madrasah 240 Bandung. Berlangsungnya acara pertemuan itu selama tiga hari tiga malam. Pembicara di antarannya waktu itu adalah Hispran, Jaja Sudjadi (eksponen Majelis Keuangan NII), Kadar Solihat (eksponen komandan resimen, anak buah Agus Abdullah), istri Kadar Solihat, Maman Tsani (mewakili anak-anak DI/TII). Namun dibalik pertemuan reuni itu sisi lain yang dapat ditangkap, seluruh eksponen NII mengadakan koordinasi kembali secara internal. Dari pertemuan itu mulai adanya pembagian-pembagian tugas, khususnya yang bertugas melakukan kontak komunikasi NII, seperti pengangkatan tugas-tugas Kuasa Usaha. Siapa yang bertugas di Sukabumi, Tasikmalaya, Jawa Timur, dll dibagi secara managerial. Selanjutnya diadakan pertemuan-pertemuan rutin di rumah Pak Danu Muhammad Hasan. Tahun 1973 terbentuk susunan komando dengan mengakui pimpinan komando tertingginya, yaitu Teungku Muhammad Daud Beureueh menjabat sebagai KPSI (Komando Perang Seluruh Indonesia).
Tahun 1975 susunan komando —khususnya untuk seluruh Jawa — sudah rampung terbentuk. Aceng Kurnia diangkat sebagai panglima wilayah Jawa Barat, yang pada waktu itu Jawa Barat terbagi menjadi 3 bagian; (1) Panglima Divisi I Aceng Kurnia, Panglima II Gubernurnya Ulis Suja’i, (2) Panglima Periangan Bagian Timur, Mia Ibrahim dan untuk Daerah Banten dan Bogor, Uci Nong. Dan, (3)Jawa Timur, Hasan dan Idris. Jawa Tengah, Panglima I Saiful Imam untuk bagian selatan, Panglima II Sutiko Abdurrahman untuk bagian Surakarta, Panglima III Haji Paleh untuk bagian barat, Panglima IV Seno (alias Basyar atau Abdul Hakim) untuk bagian Semarang. Tahuan 1975 hanya Blitar yang belum ada calon bupatinya pada waktu itu.
Tetapi di balik itu munculnya kecurigaan dalam susunan struktur di Jawa Barat ini atas diaktifkannya Ateng Djaelani dan Zainal Abidin dalam struktur Dewan Imamah, sehingga mereka berdua mempunyai wewenang mengangkat serta mem-bai’at para panglima dan komandan. Kecurigaan ini datang dari Jawa Tengah menyangkut keberadaan Ateng Djaelani dan Zainal Abidin yang sudah dicurigai sebagai pihak yang berkhianat. Sehingga penyusunan di Bandung barisan terpecah, yaitu kelompok Sabilillah yang menyetujui penyusunan kembali struktur, walau struktur itu disponsori Ali Moertopo. Pada periode ini, perjuangan DI lebih banyak menghasilkan pengkhianat daripada pahlawan.
Pembentukan struktur baru ini diprakarsai oleh kalangan yang tergabung dalam wadah Sabilillah, di mana Adah Djaelani Tirtapraja sebagai pimpinan tertinggi seluruh Jawa, Panglima Jawa-Madura adalah Danu Muhammad Hasan, dan wakil panglima Hispran (Haji Ismail Pranoto). Di sini, sangat besar kemungkinan terjadinya perpecahan. Tahun-tahun 1970-an adalah tahun-tahun yang sulit bagi DI: banyak yang bersatu, untuk kemudian berpecah-belah.
Dunia pergerakan, selain terlihat sebagai dunia yang penuh dengan rapat-rapat rahasia, juga terbentuknya banyak forum. Forum NII Jawa Barat misalnya, menunjukkan suatu dinamika tersendiri dari kaum pergerakan. Forum sering diwarnai protes dari utusan-utusan dari Jawa Timur, di mana protes tersebut mempertanyakan: (1) Keberadaan Danu yang aktif dengan Ali Moertopo, dan (2) Keberadaan Ateng Djaelani dan Zainal Abidin dalam struktur kepengurusan, mengingt masa lampau mereka berdua telah mengkhianati Imam di tahun 1960 dengan menyerahkan diri kepada musuh dari medan jihad. Tetapi protes tersebut dapat ditanggapi oleh Danu Muhammad Hasan yang mengatakan bahwa setiap orang mempunyai salah dan untuk taubat melalui kesalahannya. Bagi orang yang pernah mengkhianti jihad maka taubatnya adalah kembali jihad. Kalau tolak taubat jihadnya, ke mana ia akan mendapatkan taubatnya. Sedangkan taubat jihad ibarat lubang jarum. Sedangkan Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Kalau tutup pintu taubatnya, maka berarti menutup pintu taubatnya. Setelah jawaban yang diberikan oleh Danu itu, tak ada pertanyaan protes lagi.
Yang menarik adalah apa yang terjadi terhadap Danu Muhammad Hasan. Ia adalah tokoh yang konsisten berjuang, namun terjepit di antara paksaan untuk bekerja-sama dengan pihak RI dan tudingan dari teman-teman seperjuangannya sebagai orang yang berkhianat. Padahal ia adalah tokoh dengan setting sosial-politik yang rumit dan terjepit. Ia masih tetap konsisten dengan perjuangan menegakkan negara Islam, sampai kapan pun. Tentang keberadaan dirinya, Danu Muhammad Hasan menyatakan, bahwa ia akan membawa Ali Moertopo ke dalam Islam, sebenarnya ia sendiri berkeberatan bersama Ali Moetopo, tetapi ia berpengharapan Ali Moertopo dapat diajak bergabung jika dia mau, kalau tidak maka Ali Moertopo akan saya bunuh dari dekat. Danu mempunyai anggapan demikian terhadap Ali Moertopo, dengan latar belakang pernah di tahun 1966 mempunyai jasa, ketika dari komandan-komandan batalyon ke atas mau dilenyapkan oleh Soeharto. Ali Moertopo mencegah, “Sebelum bekas DI/TII dihancurkan, saya lebih dulu dihancurkan.” Danu ternyata tertipu dengan bahasa Ali Moertopo dengan rencana “Pancing dan Jaring” -nya sebagai upaya guna menjaring anggota-anggota NII.
Ketika itu tahun 1975, seperti yang disampaikan KSM (Komite Solidaritas Muslim), Ali Moertopo memanfaatkan para eksponen pejuang DI/TII ini bekerjasama dengan ABRI dalam mengantisipasi adanya bahaya laten komunis dari Vietnam (karena saat itu Vietnam menang perang melawan Amerika Serikat) dan kemungkinan bangkitnya kekuatan komunis di Indonesia. Kerjasama itu adalah memobilisasi massa Islam, menyusun kekuatan bersama-sama dengan kekuatan ABRI untuk menghadapi munculnya bahaya komunisme. Ternyata itu semua cuma isapan jempol, dan semata-mata merupakan tipu daya dan jebakan Ali Moertopo karena sesungguhnya secara resmi ABRI tak mempunyai kebijaksanaan seperti itu. Setelah penggalangan massa Islam terbentuk, Hispran dan massanya ditangkap aparatur keamanan atas informasi dan instruksi Ali Moertopo, dengan tuduhan hendak membentuk dewan revolusi, yang bertujuan melakukan makar terhadap pemerintahan yang sah, sekaligus bertujuan mendirikan negara Islam. Kelompok ini kemudian dijuluki Komando Jihad oleh Ali Moertopo. Padahal tidak satu pun tindakan kekerasan yang dilakukan kelompok ini selain penggalangan massa, sebagaimana diminta Ali Moertopo.
Dengan adanya penangkapan massal yang dilakukan di Jawa Timur dan di Sumatera, di mana kejadian-kejadian penangkapan itu mengarahkan massa dalam jumlah yang besar yang berinduk ke Jawa Barat. Ateng Djaelani dan Zainal Abidin dipanggil Kodam Siliwangi untuk diinterogasi dan Ateng Djaelani dan Zainal Abidin membocorkan rencana-rencana dan susunan struktural tersebut kepada Himawan Sutanto. Himawan Sutanto pun mendapatkan banyak manfaat dari informasi tersebut. Namun, leliku perjuangan politik itu lebih banyak mendatangkan masalah ketimbang hasil perolehan rekruitmen anggota baru. Perasaan untuk mengubah strategi pergerakan pun muncul.
Perubahan strategi dari pergerakan bawah tanah ke sistem terbuka baru sebatas wacana karena terhalang oleh banyaknya penangkapan dan penghilangan paksa yang dilakukan oleh aparat TNI. Dengan demikian maka terjadilah penangkapan besar-besaran. Danu Muhammad Hasan dikenakan hukuman selama 10 tahun penjara. Dodo Muhammad Darda 16 tahun. Pengaruh operasi ini membawa dampak mengakibatkan sejumlah para tokoh Darul Islam non-struktural bentukan Ali Moertopo juga ikut ditangkap dan dipenjarakan, yakni di“hijrah”kan Teungku Daud Beureueh ke Jakarta , Haji Saleh, Jubli, Idris (di Jawa Tengah), Hasan (panglima Jawa Timur), Gaos Taufiq (di Sumatera), Bardan Kindarto (di Palembang), Timsar Zubil (di Medan), Abdul Qadir Baradja (di Lampung), dll. Yang tertangkap ini pun saling menyalahkan dan yang belum menemui jawaban mengapa sampai tertangkap akhirnya mencoba mengira-ngira siapa yang telah membocorkan rahasia.
Sementara Ateng Djaelani dan Zainal Abidin tidak dihukum. Yang tidak dihukum ini kemudian menjadi sasaran tuduhan bahwa mereka telah berbuat khianat. Sedangkan Adah Djaelani, Ules Suja’i, Aceng Kurnia, Tahmid Basuki Rahmat, Toha Mahfudz, Sutiko Abdurrahman Saiful Imam, Seno (alias Basyar atau Abdulhakim) lolos dari penangkapan. Dalam masa ini, akibat banyaknya intelektual yang berhijrah hasil perkembangan dakwah perjuangan NII dan untuk mendukung program Adah Djaelani membentuk KW-IX tahun 1978, sebagai pengembangan wilayah baru dan daerah modal. KW-IX adalah daerah utama (ummul quro’) NII yang senantiasa menjadi wacana dalam pergerakan. Sebagai ummul quro’ KW-IX berada di ibu-kota RI (Jakarta) dan daerah-daerah satelit di sekitarnya yang penuh dengan pusat-pusat industri dan komersial lainnya. Diharapkan kemudian ummul quro’ ini menjadi penopang ekonomi bagi berjalannya mesin pergerakan di daerah-daerah.

Awal Mula Perpecahan Darul Islam
Setelah meninggalnya Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, banyak peristiwa-peristiwa penting sebagai kelanjutan resistensi politik Umat Islam dan juga perjuangan Negara Islam Indonesia pada generasi penerusnya. Setelah berakhirnya rezim kekuasaan Orde Lama, pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat dari awalnya telah menyadari betul mengenai adanya kemungkinan naiknya pamor politik umat Islam. Berawal ketika jatuhnya kekuatan PKI yang telah gagal dalam aksi kudetanya kemudian secara formal diperkuat dengan keputusan politis yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang pembubaran partai PKI, secara tidak langsung telah mengangkat citra politik Islam di pentas perjuangan nasional. Yang mana kekita itu dari setiap partai politik Islam banyak mengecam dan mengutuk terhadap perlakuan PKI dan mereka menuntut pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus PKI ini, sehingga dengan demikian di dalam struktur peta kekuatan politik Indonesia saat itu terjadilah ketidakseimbangan (imbalance). Gejala yang muncul dari adanya kekalahan PKI membuat Politik Umat Islam sedang mendapat angin, dan ditangkap gejala tersebut oleh pemerintah dengan satu prediksi bahwa politik umat Islam memiliki kecenderungan hendak memperkuat posisinya. Di mana kekuatan tersebut yang akan menghancurkan cita-cita nasionalis sekuler yang telah menjadikan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Dan hal itu disadari betul oleh Angkatan Darat, bahwa di dalam kalangan umat Islam masih terdapat bibit-bibit ekstrimisme yang amat potensial yang suatu saat bisa muncul kepermukaan.
Maka pada tanggal 21 Desember 1966 diumumkannya suatu pernyataan politik oleh perwira-perwira tentara Angkatan Darat bahwa mereka "akan mengambil tindakan tegas terhadap siapapun, dari pihak mana pun, dan golongan apa pun yang akan menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 seperti yang telah dilakukan oleh Pemberontakan Partai Komunis di Madiun, Gestapu, Darul Islam ...dan Masyumi-Partai Sosialis Indonesia...."
Untuk hal tersebut di atas banyak sekali rekayasa politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui operasi badan intelejennya terhadap umat Islam di segala segmen kehidupan. Selama masih bertumbuhnya kekuatan-kekuatan politik umat Islam, selama itu pula gerakan tersebut dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan Orde Baru yang sedang mencari jati dirinya, sehingga sangat diperlukan sekali peredaman bahkan pemusnahannya.
Dimana dan sampai kapan pun, selama Islam diyakini oleh ummatnya sebagai minhajul hayat , satu-satunya jalan kehidupan yang harus ditegakkan, selama itu pula kekuatan-kekuatan kaum kafir dan musyrik akan menjalin kerjasama bahu membahu dalam menekan laju Islam . Dan kemungkinan yang terburuk yang akan didapat oleh umat Islam dari adanya kerjasama tersebut adalah bagaimana mereka membasmi para pejuang Islam dengan kekuatan senjata yang didukung oleh pasukan militer.
Politik rekayasa di dalam tubuh pemerintah Orde baru telah mewarnai corak kekuasaan rezim Suharto. Ditandai dengan pelarangan rehabilatasi nama partai Masyumi, pengangkatan elit politik dari golongan nasrani sampai kepada adanya penyederhanaan partai yang bertujuan depolitisasi massa, yang dari program tersebut cukup efektif memarjinalkan posisi politik Islam. Demikianlah mereka berdaya upaya agar jangan sampai Islam memainkan peran dalam panggung politik Indonesia.
Untuk mengantisipasi setiap kekuatan arus politik Islam ini, pemerintah Orde Baru dan kaum misionaris menjalankan beberapa pola aksi melalui badan intelejennya. Sasaran pertama yang mereka goyang dengan jalan rekayasa politik adalah partai Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), Pemerintah melakukan rekayasanya terhadap Parmusi karena melihat bahwa di dalam partai Masyumi masih banyak bercokol para politikus Islam yang mempunyai militansi Islam sehingga berpotensi untuk membangkitkan kembali misi Islam dalam ajang pemilu dengan menjadikan umat Islam sebagai basis pendukungnya. Oleh karena itu, Pemerintah Orde Baru mengambil satu kebijakan terhadap partai ini. Pada tanggal 5 Februari 1968, Jenderal Suharto memberitahukan bahwa Pemerintah menyetujui pembentukan Partai Parmusi, namun Pemerintah tidak mengizinkan seorang pun kepada pemimpin bekas partai Masyumi memegang peranan dalam kepengurusan partai tersebut, Dan kepada mereka dihimbau untuk menunggu sampai selesainya pemilihan umum. Begitu juga tentang RUU Perkawinan, pada tanggal 31 Juli 1973, ketika pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan kepada DPR. Kemudian RUU tersebut mendapat reaksi keras dari umat Islam. Puncaknya, lebih dari 300 mahasiswa muslim menyerbu ke DPR dan membuat kerusakan ketika Menteri Agama Mukti Ali sedang membacakan jawaban pemerintah dalam sidang pleno DPR.
Di samping itu pemerintah Orde Baru melakukan manuver politiknya terhadap Islam tradisional seperti organisasi NU—yang nota bene memiliki banyak pengikutnya, badan intelejen yang diwakili oleh Opsus melakukan intrik politiknya dengan menciptakan organisasi massa GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam),—dengan pimpinannya yang bernama Ramadi ,—dalam penggalangan rakyat. Mereka berharap dengan melalui organisasi yang dibentuk, kekuatan umat Islam dapat ditekan. Selanjutnya, setelah bergabungnya umat Islam dalam mesin giling GUPPI ini, dengan sistematis badan intelejen menggarap massa Islam tradisional tersebut untuk ditariknya sebagai penyokong dan pembela Golkar. Demikianlah pemerintah Orde Baru menerapkan strategi kebijakannya, yang intinya adalah bagaimana mengendalikan umat Islam.
Begitu juga badan intelejen dengan program Opsusnya melakukan hal yang sama terhadap mantan para pejuang Darul Islam, mereka membuat rekayasa-rekayasa yang canggih terhadap para pejuang Darul Islam dengan pola "Pancing dan Jaring", para pejuang itu dikumpulkan dalam satu wadah dan kemudian dikorbankan dengan melalui berbagai peristiwa berdarah. Seolah-olah bahwa para pejuang Islam selalu ingin mengadakan konfrontasi dengan pihak ABRI dan penguasa, dengan tindakan pengacauan, pemberontakan dan lain sebagainya. Dengan terciptanya suasana persinggungan itu maka apa yang menjadi keinginan para penguasa dzalim terkabul, ya'ni membuat umat Islam merasa alergi terhadap Negara Islam dan selalu menutup diri bila diceritakannya. Sungguh perbuatan yang sangat keji, seperti kekejian yang dilakukan oleh raja Fir'aun ketika pada masa Nabi Musa a.s.
Kejadian rekayasa ini merupakan gambaran yang terang dari pemerintah Orde Baru, bahwa mereka tidak ingin sama sekali resistensi politik Islam yang diperjuangkan oleh umat Islam pada umumnya dan para pejuang Darul Islam khususnya untuk mengembangkan ideologi Islam di percaturan politik. Yang mereka kehendaki adalah bahwa Islam hanya sebatas ritualitas belaka tanpa ikut campur dalam urusan negara. Demikianlah rencana makar yang sedang diperjuangkan oleh thagut, untuk memberdayakan umat Islam sebagai alat komoditas politik bagi manusia-manusia yang jahil (bodoh).
Yang paling giat dan menonjol dalam usahanya untuk melaksanakan devide et impera nya terhadap umat Islam` di dalam perjuangan suci Darul Islam adalah Ali Moertopo. Menurut hemat dia, siapa dan darimana orang tidak menjadi masalah, bila mau diajak bekerjasama maka akan dirangkulnya untuk bersama-sama melaksanakan program setan Opsus. Salah satu modus operasi Ali Moertopo adalah dengan mengumpulkan para advonturir yang rakus kekayaan untuk dilibatkan dalam setiap aksi Opsus. Dengan keahliannya dalam merangkul massa, dia banyak sekali memanfaatkan kekuatan-kekuatan Islam bukan hanya terhadap para pejuang Darul Islam tetapi juga terhadap kekuatan-kekuatan bekas Permesta, Masyumi. Berbagai cara pendekatan dia tempuh termasuk juga menginsentifkan material kemudian setelah mereka terbujuk lalu dimasukkannya ke dalam "kandang" yang telah mereka siapkan. Dengan teori 'penggalangan' —dimana dalam teori itu menggariskan bahwa tidak adanya kawan dan lawan,—Ali Murtopo menjalankan taktik dan strateginya dalam memupuk kekuatan-kekuatan tersebut demi kepentingan politiknya.
Sudah sejak awal tahun 1970-an, Ali Moertopo mengadakan jalinan kerjasama dengan sejumlah pejuang DI/TII. Ketika itu Ali Moertopo giat pergi ke Jawa Barat untuk menarik mereka ke Jakarta,—yang sebelumnya para pejuang tersebut masih di bawah binaan Kodam Siliwangi Bandung—antara lain yaitu Dodo Kartosuwiryo, sebagian lagi adalah seperti Adah Jaelani, Danu Muhammad Hasan. Namun garis kebijakan yang telah dibuat oleh Ali Moertopo untuk mendekati para pejuang DI/TII itu menimbulkan permasalahan di dalam tubuh Bakin. Sesungguhnya, biar bagaimanapun yang namanya perjuangan Islam itu seharusnya tidak membutuhkan jalinan kerjasama dengan penguasa yang dzalim. Bahkan seharusnya ada yang tampil dari orang pemberani menyatakan kebenaran di depan penguasa tiran. Sebagaimana sabda Rasulullah. "Afdhalu Jihad Kulil haq 'inda sulthonin jair" (Seutama-utama Jihad adalah Katakanlah kebeneran itu kepada penguasa yang lalim). Dengan digelarnya Opsus oleh pemerintah, dikalangan petinggi militer sendiri banyak yang merasa heran dan kaget, kenapa berani-beraninya Ali Moertopo merangkul para pejuang Darul Islam tersebut. Menurut pengakuan Ketua Bakin Sutopo Juwono, ia sudah beberapa kali memperingatkan Ali agar jangan main-main dengan para pejuang Darul Islam. Sebab katanya, bisa jadi para pejuang Darul Islam nantinya suka macam-macam, karena merasa punya jasa ikut menghancurkan PKI segala macam, nanti mereka bisa menagih janji. Maka lebih baik jangan. Adanya peringatan tersebut pada dasarnya memberikan isyarat kepada Ali bahwa satu di antara dua kemungkinan pasti terjadi tentang para pejuang Darul Islam: satu kemungkinan bahwa para pejuang Darul Islam itu akan memperalat Opsus; atau sebaliknya, Opsus memperalat mereka.
Dengan adanya peristiwa perselisihan didalam tubuh militer Republik Indonesia kelihatannya bahwa kekuasaan Orde Baru bersatu, secara lahiriyah terlihat kompak dengan kerjasamanya untuk menekan resistensi politik Islam, tetapi sesungguhnya di dalam tubuh mereka sendiri terdapat permusuhan dan pertentangan intern yang sangat hebat. Hati mereka terpecah belah tidak dalam persatuan dan kesaatuan, jiwa para militer mereka kosong dari aqidah Islamiah, bahkan nyaris seperti yang digambarkan oleh Kartosoewirjo dahulu.
Sebagaimana yang dituturkan oleh Ramadi, bahwa banyak para pejuang Darul Islam yang hilir-mudik di rumahnya, di antaranya Danu, Dodo M. Darda Kartosoewirjo. Ada pula nama-nama dengan panggilan khas, seperti Ki Acun atau Ki Mansyur. Menurut penuturan dari salah seorang anak buah Ali Moertopo di Opsus, dukungan yang diperlihatkan para pejuang Darul Islam terhadap Opsus sangat kuat. Saking kuatnya mereka lalai akan tugas dan fungsi yang diamanahkan oleh pendahulu mereka.
Kehadiran Opsus dengan segala programnya, rupanya telah dan selalu menjebak para pejuang Darul Islam, dengan iming-iming bahwa mereka akan siap membantu dalam pendirian kembali Negara Islam. Para pejuang Darul Islam percaya betul atas "ucapan" Ali Moertopo tersebut. Di mata mereka, apabila Ali Moertopo menang maka ia akan mendirikan negara Islam. Sungguh satu dusta telah dilakukan oleh orang kafir untuk menutup-nutupi tujuannya, biar siapapun orangnya kalau tetap menjalankan roda pemerintahan jahiliyah, maka hukum-hukum Islam tidak akan pernah diberlakukan. Tipu daya orang kafir telah masuk ke dalam jiwa para pejuang, sehingga mereka lebih mempercayakan orang kafir sebagai teman setianya untuk bersama-sama berkoalisi menegekkan kembali Negara Islam.
Pada sekitar tahun 1978, berdasarkan cerita seorang pejuang Darul Islam, bahwa Ali Moertopo sangat berambisi untuk menjadi wakil presiden. andai saja Ali Moertopo berhasil menjadi wapres maka yang menjadi sasaran berikutnya adalah Presiden Soeharto, ditambahkannya, Ali Moertopo selanjutnya akan menetralisasi keadaan dengan cara apa pun sehingga Ali Moertopo bisa duduk dikursi kepresidenan.
Program Opsus yang diketuai oleh Ali Moertopo ini, pada permulaan Orde Baru memang sangat berfungsi dalam reformasi politik (political reform), guna memperkuat poros Pancasila dan UUD 45, juga menetralisasi kekuatan politik umat Islam melalui usaha rekayasa politiknya terhadap semua orsospol dan organisasi kemasyarakatan dan profesi.
Yang menjadi target politik dari Ali Moertopo dengan menciptakan gagasan tersebut adalah bagaimana menguasai badan intelijen Negara untuk menjalankan roda pemerintahan Orde Baru yang sedang dalam perkembangannya. Namun karena adanya kendala didalam tubuh Opsus yang disebabkan banyak berkumpul segala aliran disana, sehingga pada akhirnya Ali mempunyai kesimpulan bahwa Opsus tidaklah efektif. Memang disatu sisi bisa berkumpulnya segala aliran di Opsus menandakan akan kapasitas Ali Moertopo. Tetapi dari sisi organisasi, keberadaan Opsus sangat rentan terhadap timbulnya pertikaian yang dibawa oleh setiap aliran yang ada. Masing-masing interest itu kemudian saling berhadapan di dalam tubuh Opsus sendiri (intemal fighting).
Untuk memperlihatkan kelemahan dari strategi Ali Moertopo perlu dikutip sebuah peribahasa, Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga. Ia melakukan kekeliruan ketika tidak mendasarkan operasi intelijennya pada anggota organik, tapi acap kali justru lebih mempercayai anggota jaring seperti Aulia Rahman, Leo Tomasoa, Bambang Trisulo. Atau lebih percaya pada Liem Bian Khoen, maupun para pejuang Darul Islam.
Dalam dunia intelijen, membina jaringan merupakan salah satu hal yang penting, sehingga selain memiliki anggota organisasi yang resmi, intelijen juga mengembangkan anggota jaringan (yang tak resmi) di mana-mana. Tergantung pada sasaran apa yang hendak dicapai. Namun, rahasia-rahasia operasi Ali agaknya lebih banyak diketahui oleh anggota jaring daripada anggota organik. Akibatnya permainan Ali dibongkar oleh anggota-anggota jaringnya sendiri. Di dalam hal ini Ali Moertopo dikritik kurang mematuhi hukum-hukum manajemen intelijen yang menyebutkan: tidak boleh terlalu percaya pada anggota jaring! Mungkin ia mau berimprovisasi, atau bermaksud nyleneh.
Di samping itu Anggota jaring dikenal pula memiliki disiplin yang rendah sehingga biasanya mereka gampang buka kartu, membuka belang intelijen yang mestinya dirahasiakan. Jadi tidaklah mengherankan bila rahasia keterlibatan Ali dibongkar sendiri oleh bekas-bekas anak buah jaringnya di dalam tahanan. Ramadi cs, mungkin lantaran tidak tahan tekanan hidup di tahanan, maka mereka mengungkap semua permainan Ali Moertopo. Mereka ramai-ramai "bernyanyi". Sebaliknya, anggota organisasi umumnya lebih terdidik, lebih disiplin dan teguh dalam memegang rahasia. Anggota organik juga dapat berlindung di balik suatu peraturan yang tidak mengizinkan mereka membuka rahasia. Perbedaannya yang lain antara anggota organik dengan anggota jaring ialah anggota organik mengetahui tugasnya secara menyeluruh, sementara anggota jaring biasanya hanya tahu per sektor. Misalnya, seseorang anggota jaring ditugaskan membina ulama, maka ia tahunya hanya soal ulama. Lain itu tidak.
Menjelang akhir 1970-an banyak yang ditangkapi dari sejumlah pejuang DI/TII binaan Ali Moertopo seperti, Adah Djaelani Tirtapradja, Danu Mohammad Hassan, serta dua putra Kartosoewiryo Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki. Ketika pengadilan para mantan tokoh DI/TII itu digelar pada tahun 1980, maka terungkaplah apa yang sebenarnya target dari digelarnya aksi lapangan tersebut. Dan dengan adanya hal itu dicurigai sebagai upaya untuk memojokkan posisi umat Islam. Sebagai salah satu bukti adalah dalam kasus persidangan Danu Mohammad Hassan. Pada saat dia dalam persidangan dia mengaku sebagai orang Bakin. Mungkin inilah akibat yang harus dialami oleh para pejuang Darul Islam setelah mengadakan kerjasamanya dengan organisasi Opsus.
Peristiwa pahit yang dialami oleh para mujahid NII sejak tahun 1970-an, penyebab utamanya yaitu telah kehilangan rujukan, sehingga telah menyimpang dari hukum / perundang-undangan, sehingga pula mengangkat kepemimpinan diluar jalur Konstitusi NII. Sebab, jika pengangkatan Imam NII tidak berdasarkan undang-undangnya, maka bisa saja terkendalikan oleh intelijen kuffar, dan pasti didalamnya terjadi kekacauan. Dalam keadaan Darurat Perang dimana wilayah NII dikuasai oleh musuh, maka musuh pun bisa membuat rekayasa pemimpin NII palsu. Karena tanpa undang-undang itu secara hukum tidak ada perbedaan mengenai figur seseorang dengan yang lainnya, sehingga tidak ada perbedaan pula antara nilai yang tidak menyerah dengan yang sudah menyerah kepada musuh. Tanpa undang-undang itu orang tidak bisa membedakan mana pemimipin NII yang sebenarnya dan mana pemimpin NII sempalan.
Sesungguhnya perjuangan NII dari mulai diproklamasikan tahun 1949 hingga tahun 1962 tidak ada kelompok-kelompok dalam perjuangan menggalang Negara Karunia Allah ini. Tetapi apa yang kemudian lahir sesudahnya adalah terjadinya perselisihan pendapat dan faham tentang siapakah yang berhak dan pantas untuk melanjutkan tugas suci sebagai pemimpin. Munculnya bibit perselisihan sekitar tahun 1974 –1979, dimana ketika mujahidin NII pecah kedalam tiga kelompok. Hal demikian diakui oleh Adah Djaelani dalam kesaksiannya dalam sidang pengadilan.”Menurut saksi, organisasi NII di Indonesia ada tiga kelompok yaitu; Kelompok yang Imam-nya Daud Beureuh, wakilnya saksi, kelompok yang Imam-nya Djadja Sudjadi (Garut Timur) dan kelompok Imam-nya H.Sobari (Rajapolah , Tasik Malaya). Sebab-sebab terjadinya pengelompokkan karena masing-masing ingin memisahkan diri dengan alasan seperti dikatakan oleh saksi: “H. Sobari menganggap kami yang menyerah tahun 1962 sebagai pengkhianat sehingga ia membentuk NII sendiri, sedangkan kelompok Djadja Sudjadi menyayangkan kami mengangkat Imam orang Sumatera sehingga ia membentuk NII sendiri”. Kelompok Djadja Sujadi dikenal dalam wadah Fillah. Sedangkan yang lainnya dikenal dalam wadah Sabilillah.
Pada sekitar tahun 90-an, kembali muncul perselisihan faham dalam pergerakan Darul Islam, setelah Adah Jaelani melimpahkan kekuasaan kepada Abu Toto (Toto As-Salam) sebagai Warasatul Mafasid (pewaris orang-orang yang membuat kerusakan). Sebenarnya Toto As-Salam ini tidak pernah terdaftar sebagai anggota DI, namun menggunakan nama NII. Dengan segala kemampuan "intelektual jahili" yang dimilikinya, dia melanjutkan warisan kepemimpinan mengatasnamakan NII dan membawahi jama’ah sekitar 50.000 orang untuk menghambur-hamburkan harta umat demi kepentingan dirinya dan orang yang turut sepaham dengannya. dengan penuh semangat pengabdian jahiliyahnya menghambur-hamburkan harta umat demi kepentingan dirinya dan orang yang turut sepaham dengannya.
Maka apa yang dikenal dan diyakini oleh sementara orang hari ini tentang Negara Islam Indonesia yang diproduk oleh kaki tangan Pemerintah RI, hanyalah merupakan rekayasa sesat dan menyesatkan (dhoollun wa mudhillun) dari tingkah polah oknum-oknum fasikun yang tidak bertanggung jawab terhadap nilai-nilai suci yang terkandung dalam Alquran, Al Hadist dan Qanun Asasi Negara Islam Indonesia. Prosedur syari'ah dan manhaj harakah yang telah digariskan pun banyak yang dilanggar dan diacuhkan, sehingga timbullah tajassus (saling mencari kesalahan ) diantara kalangan penerus perjuangan Darul Islam untuk menganggap bahwa pihaknyalah yang paling benar menurut ukuran masing-masing pemimpinnya serta para pengikutnya, dan bukan berdasarkan Qur’an dan Sunnah Nabi s.a.w. bukan pula menurut Undang-Undang NII.
Sebagai sunnatullah yang berlaku sepanjang sejarah kehidupan manusia di muka bumi, perburuan harta dan kekuasaan, hari ini mewarnai juga dalam perjuangan kaum fasikun dalam melanjutkan estafeta tugas suci yang telah Allah amanahkan untuk umat Islam Indonesia. Bahkan sudah terjadi rekayasa dengan 'kaum kuffar' untuk mengaburkan harakah Darul Islam yang nantinya dari usaha-usaha tersebut, akan mencemarkan nama baik perjuangan NII hingga umat Islam "kembali menjadi kafir" dengan mengikuti langkah-langkah yang telah dirancang oleh Setan. Sebagian pejuang Darul Islam sudah lari dari garis-garis dasar perjuangan yang telah ditetapkan oleh Negara Islam Kartosoewirjo yaitu: " tegaknya li'ilai kalimatillah fil ardhi".
Kemudian ditambahkan tentang penjelasan maksud tersebut oleh Kartosoewirjo, dengan satu penjelasan yang sangat rinci yang antara lain berbunyi:
"Selain dari pada itoe, dari pada isi dan djiwa Firman Allah terloekis diatas, bolehlah kiranja ditarik dan dipetik peladjaran daripadanja, jang menoendjoekkan akan pentingnja kedoedoekan, peranan dan foengsi Pimpinan dimasa Perang, dimasa Revolusi. Tegasnja: Pimpinan jang djoedjoer dan ichlas, benar dan ‘adil serta tegas, tapi bidjaksana. Ialah Pemimpin jang sanggoep hidoep dan berdjoeang bersama-sama ra’iat, sehidoep semati, senasib-sepenanggoengan, dan timboel-tenggelam bersama-sama bawahan dan ra’iat, jang mendjadi tanggoeng-djawabnja, didoenia hingga diachirat".
Peristiwa pahit yang dialami oleh kaum Nabi Musa AS, yaitu dengan dipusingkan oleh Allah karena tidak maunya mereka masuk ke Baitul Maqdis, padahal Allah telah menjanjikan hal tersebut untuk kaum Nabi Musa, ternyata dialami juga oleh pejuang NII sekarang ini, Mungkin sebagai sunnatullah pula, bahwa hal tersebut diturunkan kepada mereka semua sebagai bahan tadabbur dan tafakkur untuk tetap istiqomah dan hanif melaksanakan tugas menegakkan kalimatullah. Tidak seperti mereka yang pada tahun 1962 menyerahkan diri kepada musuh. Jangan diulangi agar diri tidak dicatat dalam sejarah sebagai orang-orang yang menyerah kepada musuh.
Jalan keluar dari perpecahan adalah kembali kepada Konstitusi / perundang-undangan NII. apapun yang sudah menimpa warga NII, persatuan pada akhirnya akan terwujud, jika sudah menemukan kembali alat pemersatunya, yakni merujuk kepada M.K.T. No.11 tahun 1959 mengenai estapeta Imam dalam Darurat Perang, yang merupakan peninggalan Dewan Imamah NII. Sebagai embriyonya, yaitu setelah Abdul Fattah Wirananggapati keluar dari penjara musuh tahun 1982, mengadakan penggalangan terhadap para mujahid untuk merujuk kepada perundang-undangan NII. Hasil dari penggalangan itu terjalinlah kepemimpinan NII dengan rujukan hukum yang jelas.
Solusi kembali kepada undang undang ini membuat kader kader mujahid bersikap demikian ketat dalam memelihara nilai hukum. Ketika Abdul Fattah Wirananggapati ditawan tahun 1991-1996, dan pada saat itu kepemimpinan atas perintah Abdul Fattah Wirananggapati beralih pada mujahid yang bebas di luar. Kepemimpinan ini atas kesepakatan Dewan Imamah dikembalikan padanya setelah Abdul Fattah bebas. Namun ketika belakangan terbukti bahwa dirinya yang telah diangkat sebagai Imam itu memberikan pernyataan pernyataan bernada negatif saat diwawancarai oleh wartawan dari Majalah Ummat . Dewan imamah menyidangkan kasus ini, kemudian memberhentikannya pada awal tahun 1997. Adanya badan usaha yang menopang perjuangan, maka penggalangan NII berkembang semakin pesat meliputi banyak propinsi.


Aksi Kekerasan Gerakan Darul Islam
Selama 1962-2003, Indonesia sudah mencatat puluhan kali ledakan bom terjadi dalam skala kecil dan besar, setengahnya terjadi di Jakarta. Catatan dimulai dengan ledakan bom yang terjadi di kompleks Perguruan Cikini dalam upaya pembunuhan presiden pertama RI, Ir Soekarno, pada 1962. Berikut ini adalah sejumlah peristiwa yang terkait dengan kekerasan yang telah dilakukan Darul Islam antara lain;
Perisitiwa kekerasan pada 11 November 1976 yang terjadi di Sumatera Barat tepatnya di Masjid Nurul Iman, Padang. Pelakunya adalah Timzar Zubil, tyang disinyalir oleh pemerintah sebagai Komando Jihad. Namun hingga sekarang, Timzar tidak pernah ditemukan. Selang dua tahun kemudian pada 20 Maret 1978, kekerasan terjadi ketika sekelompok pemuda melakukan peledakan di beberapa tempat di Jakarta dengan bom molotov, dan membakar mobil presiden taksi untuk mengganggu jalannya sidang umum MPR. Peristiwa ledakan bom terjadi lagi pada 14 April 1978, namun terjadi Masjid Istiqlal, Jakarta. Sampai sekarang, ledakan bom dengan bahan peledak TNT itu tetap jadi misterius.
Empat tahun kemudian pada 4 Oktober 1984, terjadi peristiwa ledakan bom di BCA, Jalan Pecenongan, Jakarta Barat. Diketahui pelakunya adalah Muhammad Jayadi, anggota Gerakan Pemuda Ka'bah (anak organisasi Partai Persatuan Pembangunan) lantaran protes terhadap peristiwa Tanjungpriok 1983. Jayadi yang tidak dikenal sebagai anggota Gerakan Pemuda Ka'bah kemudian dijatuhi hukuman penjara 15 tahun setelah mengaku menjadi pelaku peledakan.
Saat bersamaan, juga terjadi ledakan di BCA dan Kompleks Pertokoan Glodok, Jakarta dengan pelaku Chairul Yunus alias Melta Halim, Tasrif Tuasikal, Hasnul Arifin yang juga merupakan anggota Gerakan Pemuda Ka'bah. Mereka dijatuhi hukuman penjara dan dipecat dari keanggotaan Gerakan Pemuda Ka'bah.
Selain itu, ledakan juga terjadi di BCA Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat dengan pelaku Edi Ramli, juga anggota Gerakan Pemuda Ka'bah. Siapa dalang pemboman, sebenarnya masih misterius, tapi Edi dijatuhi hukuman penjara. Rentetan kasus peledakan beberapa kantor BCA itu menyeret tokoh-tokoh Petisi 50, seperti H.M. Sanusi, A.M. Fatwa (keduanya dipenjara, saksi-saksi mengaku disiksa), dan H.R. Dharsono.
Setelah BCA menjadi sasaran pada 24 Desember 1984, terjadi ledakan bom di Gedung Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT), Jalan Margono, Malang, Jawa Timur. Namun tidak diketahui siapa pelakunya.
Pada 20 Januari 1985, Candi Borobudur di Jawa Tengah tak luput dari sasaran ledakan bom. Pelakunya adalah seorang mubalig, Husein Ali Alhabsy yang juga dilatar-belakangi motif protes terhadap peristiwa Tanjungpriok 1983. Husein menolak tuduhan atas keterlibatannya dalam peledakan Borobudur dan menuding Mohammad Jawad, yang tidak tertangkap, sebagai dalangnya. Pada awalnya, Husein mendapat ganjaran penjara seumur hidup. Tapi kemudian mendapatkan grasi dari pemerintahan Habibie pada 23 Maret 1999.
Pada 16 Maret 1985, ledakan bom terjadi di Bus Pemudi Ekspress di Banyuwangi, Jawa Timur. Pelakunya adalah Abdulkadir Alhasby, anggota majelis taklim. Kasus ini juga dikaitkan dengan peledakan Candi Borobudur yang juga memprotes peristiwa Tanjungpriok 1983. Bahan peledak yang digunakan adalah TNT batangan PE 808/tipe Dahana. Kemudian terjadi rentetan ”bom natal” di tahun 2000 hingga terjadi peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002.
Dari pengakuan para tersangka tindak pidana terorisme Bom Bali 12 Oktober 2002, jelas terlihat sebuah ekspresi emosi keagamaan. Ali Gufron, salah seorang tersangka teror Bom Bali, bahkan menyatakan sikapnya dengan tegas dan sederhana: “... membalas kezaliman dan kesewenangan AS dan sekutunya terhadap kaum Muslim dengan maksud agar mereka menghentikan kezaliman-nya.” Ada suatu nilai yang bekerja dan mendikte jalan pikiran mereka. Ali Ghufron misalnya, menyatakan bahwa pemboman itu adalah “aksi pengabdian kepada Tuhan.” Maka Ali Ghufron, Imam Samudra, Amrozi, dan kelompoknya merasakan suatu delusion of grandeur, perasaan mempunyai atau mewakili atau mendapatkan titah dan menjadi bagian dari unsur kebesaran yang berkeyakin-an dirinya mengemban misi khusus dari Tuhan.
Kaum teroris senantiasa merasa diri sebagai “pejuang Tuhan” yang ter-panggil untuk bertindak atas nama Tuhan dan agama, menjadi “tangan Tuhan” di muka bumi untuk merealisasikan “kemurkaan-Nya” dalam sebentuk resis-tensi, pemboman. Akibat dari interpretasi dan ekspresi emosi keagamaan yang delusif ini, maka tragedi pun terjadi dan sejumlah besar spekulasi pun muncul di tengah-tengah publik.
Tragedi serangkaian serangan bom kaum teroris di Bali, Makassar, Jakarta dan lain tempat di Indonesia telah memunculkan serangkaian spekulasi dari yang apologis hingga yang a-priori. Spekulasi pertama adalah tentang siapa pelaku serangan teror yang sangat terencana dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan teknikal yang canggih. Pelakunya diidentifikasi secara arbitrer sebagai anti-AS, anti-Israel, anti-demokrasi, anti kekuatan ekonomi kapitalis, dan militer global. Spekulasi kedua adalah tentang motif kaum teroris dalam melakukan tindakan penghancuran berlebihan terhadap tempat-tempat di mana kekuatan ekonomi, politik, dan militer AS berada. Spekulasi ketiga adalah tentang sasaran-sasaran apa lagi yang akan dituju terhadap AS dan Israel. Pelakunya secara allegedly diidentifikasikan sebagai kaum funda-mentalis Islam yang saat ini menjadi musuh bebuyutan AS, Osama bin Laden yang saat ini bersembunyi di Afghanistan. Kalaupun bukan Osama, masyarakat dunia berasumsi bahwa pelakunya adalah orang-orang lain dari kalangan fundamentalis Islam yang memiliki hubungan doktrinal dengan jaringan Al Qaedah.
Sebenarnya, kaum teroris bukanlah kelompok baru dalam dunia pergerakan radikal dan fundamentalis Indonesia. Kaum teroris adalah gabungan dari inti ajaran fundamentalis dan radikal yang bertemu dalam satu titik perencanaan perang melawan kezaliman. Di Indonesia, kelompok teroris ini berjumlah kecil: (1) Jamaah Islamiyyah, dan (2) Darul Islam (terbatas pada faksi tertentu).


Perpecahan Darul Islam
Setelah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Proklamator Negara Islam Indonesia wafat, mulailah terjadi perbedaan pandangan dan perpecahan dalam gerakan Darul Islam. Perpecahan gerakan Darul Islam saat itu sudah mencapai 38 faksi. Sistem faksionalisme yang ada dalam gerakan ini sangat mempengaruhi perkembangan gerakan ini sejak tahun 1962.
Sekitar tahun 1978-1979, Darul Islam pecah ke dalam dua kubu. Pertama, kubu Jamaah Fillah, diketuai oleh Djadja Sujadi. Kedua, Jamaah Sabilillah, dipimpin oleh Adah Djailani Tirtapradja. Kedua tokoh ini merupakan petinggi militer TII, sebagai Anggota Komandemen Tertinggi (AKT) yang diangkat langsung oleh Kartosoewirjo. Karena "tidak boleh ada dua Imam", Djadja Sujadi dibunuh oleh Adah Djaelani. Adah Djaelani dimasukkan ke penjara pada tahun 1980 dan perpecahan dalam Jamaah Sabilillah tak dapat dicegah. Darul Islam terburai menjadi beberapa kelompok dengan ketuanya masing-masing. Celakanya, pimpinan kelompok yang satu dengan lainnya saling membatalkan dan saling tidak mengakuinya.
Sejak itu, sesungguhnya sendi-sendi moral perjuangan Darul Islam sudah terpuruk dan meringkuk. Kesatuan perjuangannya tidak lagi mengental, tetapi buyar bersama ambisi pribadi-pribadi. Karena itu, apa yang dikenal rakyat Indonesia tentang Darul Islam di kemudian hari, sesungguhnya ialah Darul Islam produk dari manusia-manusia yang kurang berkualitas. Darul Islam masa kini ialah Darul Islam produk sempalan-sempalan NII yang senantiasa mengklaim dirinya sebagai "pewaris tunggal" penerus Kartosoewirjo.
Perpecahan yang terjadi dalam tubuh Darul Islam merupakan konsekuensi dari adanya persatuan atau intergrasi parsial antara kelompok-kelompok faksi. Integrasi dan perpecahan itu terlihat dari beberapa peristiwa atau kasus, seperti: (1) Peristiwa Komji (Komando Jihad), (2) Misi Islam, (3) Syuro Mahoni, (4) Sabilillah II, (5) Gerakan Usroh; (6) Syuro Lampung, (7) Jamaah Islamiyah, (8) Khalifatul Muslimin, (9) Syuro Cisarua, (10) KW9, (11) Resolusi ke Adah, dan (12) Jamaah Asharullah.


1. Syuro Mahoni

Pada tahun 1974. Beberapa tokoh DI memprakarsai suatu pertemuan untuk melanjutkan perjuangan mewujudkan negara Islam. Pertemuan ini mempertemukan Daud Beureu'eh, Ali AT, Gaos Taufik, dan Adah Djailani. Dalam pertemuan ini, membuahkan beberapa keputusan antara lain, pertama, mengangkat Daud Beureu'eh sebagai imam, kedua, mengobarkan kembali Jihad fi Sabilillah, ketiga, menuntut pencabutan perintah fillah, keempat, menyusun pemerintahan baru NII, kelima, mengangkat Ali di sebagai Menteri Luar Negeri, Adah Djailani sebagai Menteri Dalam Negeri, dan Gaos Taufik sebagai Koordinator Militer.
Setelah pertemuan ini, memunculkan Peristiwa Komji (Komando Jihad).

Bagan 1
Integrasi


Bagan 1 di atas menggambarkan bahwa perpecahan Darul Islam dimulai sejak tahun 1962. Darul Islam memjadi dua kubu; Fillah dan Sabilillilah. Dari kelompok Sabillilah pada tahun 1974 mengadakan pertemuan yang dinamakan Syuro Mahoni, sehingga menghasilkan beberapa keputusan yang memicu terjadinya peristiwa Komando Jihad (Komji) antara lain kekerasan-kekerasan yang dilakukan anggota Darul Islam.


2. Peristiwa Komji (Komando Jihad)

Peristiwa ini melibatkan hampir semua faksi DI, kecuali Danu Muhammad Hasan masih berada dalam tahanan. Setelah adanya pertemuan Syuro Mahoni yang menghasilkan keputusan tentang mengobarkan kembali Jihad fi Sabilillah, maka faksi-faksi DI membentuk Komando Jihad. Jihad yang dikumandangkan berkaitan juga dengan keputusan Syuro Mahoni lainnya yakni penyusunan pemerintahan baru NII dengan kata lain anti pemerintah RI maka gerakan Komji ini diduga mempunyai kaitan sebagai pelaku Peristiwa Pemboman Gereja Santa, kasus pembunuhan, dan perampokan.
Sebagaimana bagan 2 di bawah ini menggambarkan pada waktu itu Pemerintah RI masih dikuasai Orde Baru yang cenderung anti gerakan Islam melakukan operasi besar-besaran untuk menumpas gerakan ini antara tahun 1971 hingga 1980. Operasi penumpasan tersebut dinamakan “operasi Sapu Jagat” yang menghasilkan hampir seluruh pimpinan faksi-faksi DI ditahan oleh Pemerintah RI.

Bagan 2
Disintegrasi






3. Misi Islam
Misi Islam muncul sebagai sebuah gerakan orang-orang DI dalam merambah jalan baru dakwah. Misi Islam mencoba memulai menyusun kembali puing-puing semangat dakwah dalam tekanan penguasa Orde Baru yang begitu ketat memantau aktivitas orang-orang DI. Oleh karena itu, Misi Islam dibentuk tidak berhaluan politik kekerasan, tetapi berhaluan perjuangan melalui sistem pendidikan terbuka.
Gagasan gerakan ini diprakarsai oleh Abdullah Hanafi yang berasal dari Fraksi Aceng Kurnia. Abdullah Hanafi berlatar belakang pendidikan pesantren yang pernah ditempuhnya semasa di Madura.
Gerakan Misi Islam ini menyelenggarakan pendidikan pesantren gratis bagi kalangan bawah dan para pedagang kecil. Pendidikan pesantren gratis ini masih tetap terselenggara hingga kini.
Berdasarkan bagan 4 di bawah ini gerakan Misi Islam digambarkan bahwa seorang ahli nahwu sharaf dalam berdakwah tidak menggunakan pakaian muslim seperti biasanya, namun dengan menggunakan celana jeans Ustadz Yusuf seorang ulama dari kalangan DI memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada jamaah DI. Selain Gerakan Misi Islam juga menggaungkan tentang negara Islam sehingga Bapak Irsyad dan Ustadz Abdul Qadir Baradja di tangkap penguasa Orde Baru.
Bagan 4
Disintegrasi





4. Sabilillah II



















5. Gerakan Usroh
Helmy Danu Muhammad Hasan, anak dari Danu Muhammad Hasan melanjutkan pendidikan ke Mesir. Di Mesir, Helmy mengadopsi gerakan Ikhwanul Muslimin yang menjadi tren di sana ke Indonesia. Di Indonesia gerakan ini dapat diterima dan berkembang sangat pesat di kalangan pelajar menengah umum. Oleh kalangan umum gerakan disebut dengan nama Gerakan Usroh. Gerakan ini melakukan dakwah melalui pengajian di masjid-masjid kecil. Tidak terlalu lama, gerakan ini berganti nama dengan istilah Gerakan Tarbiyah. Kini, gerakan ini telah berkembang menjadi partai politik, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Bagan 5
Disintegrasi


Terbentuknya PKS sebagaimana yang digambarkan dalam bagan 5, pada awalnya adalah gerakan Usroh yang dilakukan oleh Helmy Danu Mohammad Hasan, dengan mengadopsi gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Sementara dari faksi-faksi DI membentuk juga gerakan Usroh, antara faksi Aceng Kurnia dengan faksi Ismail Pranoto.




6. Syuro Lampung


Bagan 6
Integrasi






7. Jamaah Islamiyah
Muncul perpecahan baru di tubuh Darul Islam. Perpecahan itu terjadi di faksi Ajengan Masduki. Pada awalnya Abdullah Sungkar berselisih paham dengan Ajengan Masduki, sehingga Abdulah Sungkar bersama beberapa anggota lainnya membentuk Jamaah Islamiyyah yang didirikan pada tahun 1991.




Bagan 7
Disintegrasi



8. Khalifatul Muslimin
Pendirian Khalifatul Muslimin diprakarsai oleh Abdul Qadir Baraja, dari Faksi Haji Ismail Pranoto (Hispran). Gagasan ini muncul mengingat kekosongan kekhalifahan kaum Muslimin sejak berakhirnya kekhalifahan terakhir di Turki beberapa waktu silam.

Bagan 8
Disintegrasi





9. Syuro Cisarua
Pertemuan beberapa tokoh DI dari Fraksi Tahmid, Ajengan Masduki, Gaos Taufik, Dodo, dan Adah Djailani dalam pertemuan yang dikenal dengan nama Syuro Cisarua tahun pada tahun 1998 menghasilkan kesepakatan untuk kembali kepada keputusan Syuro 1979. Adah Djailani terpilih sebagai imam dalam pertemuan itu, sedangkan Tahmid selaku Kepala Staf Umum.
Bagan 9
Integrasi




10. KW-IX
Tahun 1990-an, terjadi lagi perselisihan paham dalam tubuh Darul Islam. Ketika itu, Adah Jaelani melimpahkan kekuasaannya kepada Abu Toto atau Toto Salam.
Menurut beberapa sumber, Toto Salam tidak pernah terdaftar sebagai anggota DI, tetapi selalu memakai nama NII. Dengan segala kemampuannya, ia melanjutkan pewarisan kepemimpinan Darul Islam yang membawahi jamaah sekitar 50.000 orang. Di bawah pengaruhnya, Abu Toto mendirikan Al-Zaytun, sebuah mega proyek Pondok Pesantren, di Desa Mekar Jaya, Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat. Mega proyek yang menempati "ribuan" hektare tanah ini, membuat iri beberapa tokoh Darul Islam lainnya.











Bagan 10
Disintegrasi


11. Resolusi ke Adah
Pada tahun 1996, Tahmid, dibantu oleh Mia, Engkin, dan Darmi membentuk komisi dalam rangka protes atas adanya persoalan penyimpangan yang telah dilakukan oleh Fraksi Abu Toto. Mereka menyampaikan resolusi kepada Adah Djailani, karena Adah telah melimpahkan kekuasaannya kepada Abu Toto atau Toto Salam membentuk KW-IX. Adah Djailani menolak resolusi itu. Sebaliknya, bahkan Adah memecat Tahmid dari jabatan KSU. Selanjutnya jabatan KSU diserahkan kepada Abu Toto.
Bagan 11
Disintegrasi





12. Jamaah Asharullah
Jamaah Ansharullah ada kaitannya dengan Jamaah Islamiyyah. Berasal dari Fraksi Abdullah Sungkar, dari garis Haji Iskandar Pranoto (Hispran).

Bagan 12
Disintegrasi








Analisis Faksi-Faksi Darul Islam
Dari paparan di atas, jelas terlihat bahwa terorisme Islam terbentuk dari adanya overlapping of interest dari paham fundamentalisme dan paham radikalisme Islam. Dengan demikian, cara mengatasi terorisme pun, secara ideologis adalah memisahkan antara paham fundamentalisme Islam dan paham radikalisme Islam untuk tidak bertemu dalam satu wadah yang utuh. Jika pemisahan ini berhasil dilakukan, maka terorisme akan mengalami kematiannya secara pelan-pelan. Namun, jika radikalisme dan fundamentalisme terus-menerus mendapatkan momentum untuk bersatu, maka akan sulit sekali mengatasi terorisme. Terorisme akan tumbuh subur di kalangan di mana antara simbol dan hakikat bertemu. Jama’ah Islamiyyah pada awalnya bukanlah organisasi teroris, ia merupakan organisasi radikal yang mengalami fundamentalisasi di Malaysia setelah bertemu dengan banyak kalangan fundamentalis di luar Indonesia. Sementara Darul Islam yang mempraktekkan terorisme hanyalah sebagian kecil saja.
Di bawah ini, terdapat beberapa penjelasan tentang faksi-faksi Darul Islam dengan segala potensinya dalam bentuk tabel-tabel. Pada tabel 1 di bawah ini, tergambar jumlah anggota Darul Islam yang dikumpulkan secara garis besar. Jumlahnya anggota Darul Islam hampir mencapai setengah juta orang (376.000). Faksi Abu Toto, yang melanjutkan faksi Adah Jailani adalah yang terbanyak (sekitar 50.000) anggotanya. Sementara faksi-faksi dengan jumlah anggota terkecil adalah faksi Adi SMK, Yunus dan Broto. Setiap faksi rata-rata memiliki jumlah anggota yang berkisar antara 5000 hingga 10.000 orang. Jumlah ini belum termasuk keluarga (istri dan anak) mereka. Tabel 1 hanya menggambarkan jumlah anggota dari pihak anggota laki-laki saja yang juga banyak di antara mereka belum menikah. Namun tidak diketahui berapa jumlah mereka yang menikah dan belum menikah.
Jumlah keseluruhan anggota Darul Islam adalah 376,000. Jumlah anggota terbanyak dimiliki oleh faksi Abu Toto dengan 50,000 anggota. Disusul oleh faksi Abdul Qadir Baraja dengan 30,000 anggota. Dan faksi Abdullah Said, Ajengan Masduki, Ali AT, Helmi Danu Muhammad Hasan, dan Tahmid Rahmat Kartosuwiryo; masing-masing 20,000 anggota. Sedangkan jumlah anggota terkecil dimiliki oleh faksi Adi SMK dan Broto masing-masing dengan 1,000 anggota. Rata-rata jumlah keseluruhan anggota Darul Islam adalah 9,894 anggota.


Tabel 1
Jumlah Anggota Darul Islam Menurut Faksi

No Nama Faksi Jumlah
Anggota
1 Abdul Fatah Wirananggapati 5,000
2 Abdul Jabbar 2,000
3 Abdul Qadir Baraja 30,000
4 Abdullah Said 20,000
5 Abu Bakar Ba’asyir 10,000
6 Abu Fatih atau Hamzah 5,000
7 Abu Kholish 5,000
8 Abu Toto 50,000
9 Abu Wardan 3,000
10 Abubakar Misbah 10,000
11 Aceng Kurnia 10,000
12 Adi SMK 1,000
13 Aef Saifulloh 5,000
14 Ajengan Masduki 20,000
15 Ali AT 20,000
16 Bahrum 5,000
17 Banjarmasin 5,000
18 Broto 1,000
19 Budi Santoso 10,000
20 Emeng Abdurrahman 10,000
21 Fahru 10,000
22 Gaos Taufik 10,000
23 Helmi Danu Muhammad Hasan 20,000
24 Karsidi 1,500
25 Lukman 5,000
26 Mamin 10,000
27 Misi Islam 10,000
28 Munir Fatah 10,000
29 Mursalin Dahlan 10,000
30 Musodiq 10,000
31 Omo 5,000
32 Qaidatul Jihad 9,000
33 Tahmid Rahmat Kartosuwiryo 20,000
34 Tawaw 5,000
35 Ules Suja'i 5,000
36 Yasir 2,500
37 Yunus 1,000
38 Yusuf Kamil Hanafi 5,000
Total 376,000


Dari 38 faksi Darul Islam yang ada sekarang, sebanyak 13 faksi adalah faksi fillah (yang lebih berorientasi pada pola perjuangan sipil), sedangkan jumlah faksi yang berorientasi sabilillah adalah sebanyak 25 faksi. Dibandingkan dengan jumlah faksi fillah tahun 2000 yang terdiri dari 7 faksi fillah dan 7 faksi sabilillah, maka perpecahan atau aglomerasi pergerakan Darul Islam lebih banyak terjadi pada kelompok faksi sabilillah. Artinya, kelompok faksi militer dan cenderung pada kekerasan lebih terbuka untuk terpecah, sedangkan kelompok faksi sipil (non-militer) lebih sedikit terpecah. Kelompok faksi fillah bertambah 6 faksi dalam 6 tahun, sedangkan kelompok faksi sabilillah bertambah 18 faksi dalam 6 tahun terakhir ini.

Tabel 2
Faksi-Faksi Darul Islam Menurut Kelompok Orientasi (Sipil dan Militer)

No. Faksi Fillah Sabilillah
1 Abdul Fatah Wirananggapati Fillah
2 Abdul Jabbar Sabililah
3 Abdul Qadir Baraja Sabililah
4 Abdullah Said Fillah
5 Abu Bakar Ba’asyir Sabililah
6 Abu Fatih atau Hamzah Sabililah
7 Abu Kholish Sabililah
8 Abu Toto Sabililah
9 Abu Wardan Sabililah
10 Abubakar Misbah Fillah
11 Aceng Kurnia Fillah
12 Adi SMK Sabililah
13 Aef Saifulloh Sabililah
14 Ajengan Masduki Fillah
15 Ali AT Sabililah
16 Bahrum Sabililah
17 Banjarmasin Sabililah
18 Broto Sabililah
19 Budi Santoso Fillah
20 Emeng Abdurrahman Sabililah
21 Fahru Sabililah
22 Gaos Taufik Sabililah
23 Helmi Danu Muhammad Hasan Fillah
24 Karsidi Sabililah
25 Lukman Sabililah
26 Mamin Fillah
27 Misi Islam Fillah
28 Munir Fatah Sabililah
29 Mursalin Dahlan Fillah
30 Musodiq Sabililah
31 Omo Fillah
32 Qaidatul Jihad Fillah
33 Tahmid Rahmat Kartosuwiryo Sabililah
34 Tawaw Sabililah
35 Ules Suja'i Sabililah
36 Yasir Fillah
37 Yunus Sabililah
38 Yusuf Kamil Hanafi Sabililah
Total 13 25



Yang menarik untuk dilihat bahwa ternyata tidak semua faksi yang berorientasi militer berkenderungan terhadap kekerasan. Dan tidak semua faksi fillah (non-militer) menerima ide atau gagasan non-kekerasan. Sebanyak 23 faksi cenderung dan menerima gagasan perlunya kekerasan dalam pergerakan, baik terhadap pihak yang dianggap musuh maupun terhadap pihak internal yang berkhianat atau merugikan pergerakan. Hanya 15 faksi yang cenderung tidak menyetujui kekerasan dalam menjalankan pergerakan Darul Islam. Data ini dikumpulkan dari wawancara yang bersifat tidak berstruktur dan dinilai kecenderungan afeksinya ke arah kekerasan atau non-kekerasan. Yang menarik adalah kecenderungan baru dari faksi Ajengan Masduki yang bersifat non-kekerasan, padahal sebelumnya banyak anggota faksi ini yang terlibat dalam serangkaian kasus kekerasan politik yang sangat mengkhawatirkan di Indonesia dan Filipina selatan serta di beberapa tempat di Thailand selatan. Juga kecenderungan yang berubah dari faksi Emeng Abdurrahman yang semakin mengarah kepada non-kekerasan yang sebelumnya banyak anggota faksi ini yang terlibat langsung dalam kekerasan dan terorisme di Indonesia maupun di wilayah lain di Asia Tenggara. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui mengapa kecenderungan ini terjadi. Tabel 3 di bawah ini menggambarkan orientasi kekerasan dan nopn-kekerasan dalam praktek dan aksi-aksi masing-masing faksi Darul Islam.

Tabel 3
Faksi-Faksi Darul Islam yang Mempraktekkan Kekerasan dan Non-Kekerasan

No. Faksi Violence Non-Violence
1 Abdul Fatah Wirananggapati NV
2 Abdul Jabbar V
3 Abdul Qadir Baraja NV
4 Abdullah Said NV
5 Abu Bakar Ba’asyir V
6 Abu Fatih atau Hamzah V
7 Abu Kholish V
8 Abu Toto NV
9 Abu Wardan V
10 Abubakar Misbah NV
11 Aceng Kurnia NV
12 Adi SMK V
13 Aef Saifulloh V
14 Ajengan Masduki NV
15 Ali AT V
16 Bahrum V
17 Banjarmasin V
18 Broto V
19 Budi Santoso NV
20 Emeng Abdurrahman NV
21 Fahru V
22 Gaos Taufik V
23 Helmi Danu Muhammad Hasan NV
24 Karsidi V
25 Lukman V
26 Mamin V
27 Misi Islam NV
28 Munir Fatah NV
29 Mursalin Dahlan NV
30 Musodiq V
31 Omo V
32 Qaidatul Jihad V
33 Tahmid Rahmat Kartosuwiryo NV
34 Tawaw V
35 Ules Suja'i V
36 Yasir V
37 Yunus V
38 Yusuf Kamil Hanafi NV
Total 23 15



Dari tabel 4 di bawah ini menjelaskan bagaimana faksi-faksi fillah yang seharusnya tidak menyetujui ide-ide kekerasan tetapi menyetujui kekerasan, mesti tidak tergambar apakah kecenderungan ini sudah berada pada tataran aksi atau praktek nyata di lapangan. Sebanyak 4 faksi fillah yang menyetujui kekerasan tersebut adalah faksi Mamin, Omo, Qaidatul Jihad dan Yasir. Faksi-faksi yang bersifat fillah di dalam pergerakan Darul Islam sekarang ini menjadi kabur, karena tidak semuanya berkecenderungan non-kekerasan. Bahkan dari tabel 4 kita bisa melihat bahwa banyak juga faksi-faksi sabilillah yang menyetujui atau bersifat non-kekerasan. Sebanyak 6 faksi lebih memilih metode non-kekerasan dalam menjalankan roda organisasinya. Keenam faksi tersebut adalah: faksi Abdul Qadir Baraja. Faksi Abu Toto, faksi Emeng Abdurrahman, faksi Munir Fatah, faksi tahmid Rahmad Basuki Kartosoewirjo dan faksi Yusuf Kamil Hanafi.

Tabel 4
Faksi-Faksi Darul Islam Menurut Kelompok Cluster dan Kecenderungan pada Kekerasan

No. Faksi Fillah Sabililah Violence Non-Violence
1 Abdul Fatah Wirananggapati Fillah NV
2 Abdul Jabbar Sabililah V
3 Abdul Qadir Baraja Sabililah NV
4 Abdullah Said Fillah NV
5 Abu Bakar Ba’asyir Sabililah V
6 Abu Fatih atau Hamzah Sabililah V
7 Abu Kholish Sabililah V
8 Abu Toto Sabililah NV
9 Abu Wardan Sabililah V
10 Abubakar Misbah Fillah NV
11 Aceng Kurnia Fillah NV
12 Adi SMK Sabililah V
13 Aef Saifulloh Sabililah V
14 Ajengan Masduki Fillah NV
15 Ali AT Sabililah V
16 Bahrum Sabililah V
17 Banjarmasin Sabililah V
18 Broto Sabililah V
19 Budi Santoso Fillah NV
20 Emeng Abdurrahman Sabililah NV
21 Fahru Sabililah V
22 Gaos Taufik Sabililah V
23 Helmi Danu Muhammad Hasan Fillah NV
24 Karsidi Sabililah V
25 Lukman Sabililah V
26 Mamin Fillah V
27 Misi Islam Fillah NV
28 Munir Fatah Sabililah NV
29 Mursalin Dahlan Fillah NV
30 Musodiq Sabililah V
31 Omo Fillah V
32 Qaidatul Jihad Fillah V
33 Tahmid Rahmat Kartosuwiryo Sabililah NV
34 Tawaw Sabililah V
35 Ules Suja'i Sabililah V
36 Yasir Fillah V
37 Yunus Sabililah V
38 Yusuf Kamil Hanafi Sabililah NV
Total 13 25 23 15

Organisasi Darul Islam adalah organisasi dengan konsep dan pergerakan yang universal. Gerakan ini cenderung untuk menjalin komunikasi dan membangun jaringan yang permanen di luar Indonesia. Sebanyak 20 faksi, yang merupakan mayoritas, memiliki hubungan luar negeri. Artinya, hanya 18 faksi saja yang belum memiliki jaringan di luar Indonesia. Daya jangkau mereka pada pergerakan-pergerakan Islam di luar sangat tinggi. Dibandingkan pada tahun 1980-an, hanya dua faksi saja yang memiliki hubungan jaringan ke luar, yaitu faksi Ajengan Masduki dan faksi Abullah Sungkar (atau sekarang bernama faksi Abu Bakar Ba’asyir). Faksi Mamin dan Yunus serta Karsidi misalnya, meskipun pernah berada di Malaysia cukup lama, namun tidak membangun jaringan hubungan luar negeri selama berada di luar Indonesia. Artinya, anggota NII yang berada di luar negeri (kebanyakan di Malaysia) bisa juga bermakna bahwa mereka lari ke luar negeri dan tidak lagi berjihad atau hanya sekedar mengasingkan diri dan kemudian berdiam tidak menjalin hubungan apapun dengan pergerakan Islam internasional manapun. Tabel 5 di bawah ini memperlihatkan beberapa faksi yang tidak membangun hubungan atau jaringan regional atau internasional.

Tabel 5
Hubungan Luar Negeri dari Faksi-Faksi Darul Islam

No Nama Faksi Hubungan Luar
(Nilai 1=Ada; 0=Tidak Ada)
1 Abdul Fatah Wirananggapati 1
2 Abdul Jabbar 1
3 Abdul Qadir Baraja 1
4 Abdullah Said 1
5 Abu Bakar Ba’asyir 1
6 Abu Fatih atau Hamzah 1
7 Abu Kholish 1
8 Abu Toto 1
9 Abu Wardan 0
10 Abubakar Misbah 0
11 Aceng Kurnia 0
12 Adi SMK 0
13 Aef Saifulloh 0
14 Ajengan Masduki 1
15 Ali AT 1
16 Bahrum 0
17 Banjarmasin 0
18 Broto 1
19 Budi Santoso 0
20 Emeng Abdurrahman 1
21 Fahru 0
22 Gaos Taufik 1
23 Helmi Danu Muhammad Hasan 1
24 Karsidi 0
25 Lukman 1
26 Mamin 0
27 Misi Islam 0
28 Munir Fatah 1
29 Mursalin Dahlan 0
30 Musodiq 1
31 Omo 1
32 Qaidatul Jihad 0
33 Tahmid Rahmat Kartosuwiryo 1
34 Tawaw 1
35 Ules Suja'i 0
36 Yasir 0
37 Yunus 0
38 Yusuf Kamil Hanafi 0
Total 20 Ada ; 18 Tidak Ada


Dari tabel 6 di bawah ini, setahunnya Darul Islam dari berbagai faksi mengadakan latihan militer sebanyak 258 kali yang mungkin tersebar di Indonesia atau wilayah lainnya di Asia Tenggara. Rata-rata setiap faksi mengadakan latihan militer sebanyak sekali sebulan. Dan semua faksi Darul Islam, baik sabilillah atau fillah, baik yang berorientasi kekerasan maupun non-kekerasan, semuanya memiliki latihan kemiliteran bagi anggotanya. Yang menarik adalah bahwa faksi Adi SMK mengadakan latihan militer sekali dalam setahun, padahal faksi ini adalah satu-satunya faksi yang hadir secara publik dengan segala atribut kemiliterannya, lengkap dengan segala tanda pangkat.

Tabel 6
Frekuensi Latihan Militer

No Nama Faksi Frekuensi Latihan Militer (per tahun)
1 Abdul Fatah Wirananggapati 2x 1 th
2 Abdul Jabbar 12x 1 th
3 Abdul Qadir Baraja 2x 1 th
4 Abdullah Said 12x 1 th
5 Abu Bakar Ba’asyir 12x 1 th
6 Abu Fatih atau Hamzah 12x 1 th
7 Abu Kholish 12x 1 th
8 Abu Toto 12x 1 th
9 Abu Wardan 12x 1 th
10 Abubakar Misbah 2x 1 th
11 Aceng Kurnia 6x 1 th
12 Adi SMK 1x 1 th
13 Aef Saifulloh 6x 1 th
14 Ajengan Masduki 6x 1 th
15 Ali AT 12x 1 th
16 Bahrum 3x 1 th
17 Banjarmasin 6x 1 th
18 Broto 6x 1 th
19 Budi Santoso 3x 1 th
20 Emeng Abdurrahman 3x 1 th
21 Fahru 6x 1 th
22 Gaos Taufik 12x 1 th
23 Helmi Danu Muhammad Hasan 12x 1 th
24 Karsidi 6x 1 th
25 Lukman 12x 1 th
26 Mamin 6x 1 th
27 Misi Islam 3x 1 th
28 Munir Fatah 6x 1 th
29 Mursalin Dahlan 6x 1 th
30 Musodiq 12x 1 th
31 Omo 6x 1 th
32 Qaidatul Jihad 12x 1 th
33 Tahmid Rahmat Kartosuwiryo 6x 1 th
34 Tawaw 6x 1 th
35 Ules Suja'i 6x 1 th
36 Yasir 3x 1 th
37 Yunus 4x 1 th
38 Yusuf Kamil Hanafi 3x 1 th
Total 258x 1 th

Sebanyak 17 faksi Darul Islam terlibat dalam terorisme, baik bersifat kelembagaan maupun perseorangan. Dan, dari tabel 7 di bawah ini, 21 Faksi DI tidak pernah terlibat dalam pelanggaran tindak pidana terorisme. Yang menarik adalah faksi Abdullah Said yang tidak pernah terlibat dalam terorisme. Mungkin anngota-anggota mereka yang terlibat langsung dipecat atau dikeluarkan atau tidak diakui lagi sebagai umat atau dianggap tidak patuh terhadap pimpinan. Sebagaimana diketahui bahwa faksi Abdullah Said-lah yang memperkenalkan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar ke Taliban di Afghanistan. Selain itu, faksi Ajengan Masduki tidak mengakui terlibat dalam terorisme. Hal ini bisa bermakna bahwa faksi ini sepeninggal Ajengan Masduki tidak lagi berhubungan dengan pelaku-pelaku terorisme atau tidak mengakui kepemimpinan yang sebelumnya yang telah membuka jalan bagi hubungan gerakan Darul Islam dengan MILF di Filipina Selatan.

Tabel 7
Faksi-Faksi Darul Islam yang Terlibat dan Tak Terlibat Terorisme

No Nama Faksi Terlibat
Terorisme
1 Abdul Fatah Wirananggapati Ya
2 Abdul Jabbar Ya
3 Abdul Qadir Baraja Tidak
4 Abdullah Said Tidak
5 Abu Bakar Ba’asyir Tidak
6 Abu Fatih atau Hamzah Ya
7 Abu Kholish Ya
8 Abu Toto Ya
9 Abu Wardan Ya
10 Abubakar Misbah Tidak
11 Aceng Kurnia Ya
12 Adi SMK Tidak
13 Aef Saifulloh Ya
14 Ajengan Masduki Tidak
15 Ali AT Ya
16 Bahrum Tidak
17 Banjarmasin Tidak
18 Broto Tidak
19 Budi Santoso Ya
20 Emeng Abdurrahman Tidak
21 Fahru Tidak
22 Gaos Taufik Ya
23 Helmi Danu Muhammad Hasan Ya
24 Karsidi Ya
25 Lukman Ya
26 Mamin Tidak
27 Misi Islam Tidak
28 Munir Fatah Tidak
29 Mursalin Dahlan Tidak
30 Musodiq Ya
31 Omo Tidak
32 Qaidatul Jihad Ya
33 Tahmid Rahmat Kartosuwiryo Tidak
34 Tawaw Ya
35 Ules Suja'i Tidak
36 Yasir Tidak
37 Yunus Tidak
38 Yusuf Kamil Hanafi Tidak
Total Ya=17; Tidak=21

Tabel 8
Faksi-Faksi DI dilihat dari Orientasi Kekerasan dan Non-Kekerasan
dan Hubungannya dengan Keterlibatan Mereka dalam Terorisme

No. Faksi Violence/
Non-Violence Terlibat
Terorisme
1 Abdul Fatah Wirananggapati NV Ya
2 Abdul Jabbar V Ya
3 Abdul Qadir Baraja NV Tidak
4 Abdullah Said NV Tidak
5 Abu Bakar Ba’asyir V Tidak
6 Abu Fatih atau Hamzah V Ya
7 Abu Kholish V Ya
8 Abu Toto NV Ya
9 Abu Wardan V Ya
10 Abubakar Misbah NV Tidak
11 Aceng Kurnia NV Tidak
12 Adi SMK V Tidak
13 Aef Saifulloh V Ya
14 Ajengan Masduki NV Tidak
15 Ali AT V Ya
16 Bahrum V Tidak
17 Banjarmasin V Tidak
18 Broto V Ya
19 Budi Santoso NV Tidak
20 Emeng Abdurrahman NV Ya
21 Fahru V Tidak
22 Gaos Taufik V Ya
23 Helmi Danu Muhammad Hasan NV Ya
24 Karsidi V Ya
25 Lukman V Ya
26 Mamin V Tidak
27 Misi Islam NV Tidak
28 Munir Fatah NV Tidak
29 Mursalin Dahlan NV Tidak
30 Musodiq V Ya
31 Omo V Tidak
32 Qaidatul Jihad V Ya
33 Tahmid Rahmat Kartosuwiryo NV Ya
34 Tawaw V Tidak
35 Ules Suja'i V Tidak
36 Yasir V Tidak
37 Yunus V Tidak
38 Yusuf Kamil Hanafi NV Tidak
Total V=23; NV=15 Ya=17; Tidak=21

Tabel 9

No. Faksi Memiliki Situs Internet
Ya Tidak
1 Abdul Fatah Wirananggapati Tidak
2 Abdul Jabbar Tidak
3 Abdul Qadir Baraja Ya
4 Abdullah Said Ya
5 Abu Bakar Ba’asyir Ya
6 Abu Fatih atau Hamzah Tidak
7 Abu Kholish Tidak
8 Abu Toto Ya
9 Abu Wardan Tidak
10 Abubakar Misbah Tidak
11 Aceng Kurnia Tidak
12 Adi SMK Ya
13 Aef Saifulloh Tidak
14 Ajengan Masduki Tidak
15 Ali AT Ya
16 Bahrum Tidak
17 Banjarmasin Tidak
18 Broto Tidak
19 Budi Santoso Ya
20 Emeng Abdurrahman Ya
21 Fahru Ya
22 Gaos Taufik Tidak
23 Helmi Danu Muhammad Hasan Ya
24 Karsidi Tidak
25 Lukman Tidak
26 Mamin Ya
27 Misi Islam Ya
28 Munir Fatah Tidak
29 Mursalin Dahlan Tidak
30 Musodiq Ya
31 Omo Tidak
32 Qaidatul Jihad Ya
33 Tahmid Rahmat Kartosuwiryo Ya
34 Tawaw Tidak
35 Ules Suja'i Tidak
36 Yasir Tidak
37 Yunus Tidak
38 Yusuf Kamil Hanafi Tidak
Total 15 23


Tabel 10
Kemampuan Persenjataan Faksi-Faksi Darul Islam

No. Faksi Memiliki Persenjataan Ringan
Ya Tidak
1 Abdul Fatah Wirananggapati Ya
2 Abdul Jabbar Ya
3 Abdul Qadir Baraja Tidak
4 Abdullah Said Tidak
5 Abu Bakar Ba’asyir Ya
6 Abu Fatih atau Hamzah Ya
7 Abu Kholish Ya
8 Abu Toto Ya
9 Abu Wardan Ya
10 Abubakar Misbah Tidak
11 Aceng Kurnia Ya
12 Adi SMK Tidak
13 Aef Saifulloh Ya
14 Ajengan Masduki Tidak
15 Ali AT Ya
16 Bahrum Ya
17 Banjarmasin Ya
18 Broto Ya
19 Budi Santoso Tidak
20 Emeng Abdurrahman Ya
21 Fahru Tidak
22 Gaos Taufik Ya
23 Helmi Danu Muhammad Hasan Tidak
24 Karsidi Tidak
25 Lukman Ya
26 Mamin Tidak
27 Misi Islam Tidak
28 Munir Fatah Tidak
29 Mursalin Dahlan Tidak
30 Musodiq Ya
31 Omo Tidak
32 Qaidatul Jihad Ya
33 Tahmid Rahmat Kartosuwiryo Tidak
34 Tawaw Ya
35 Ules Suja'i Ya
36 Yasir Ya
37 Yunus Ya
38 Yusuf Kamil Hanafi Tidak
Total 22 16

Tabel 11
Kemampuan Merakit dan Meledakkan Bom Faksi-Faksi Darul Islam

No. Faksi Memiliki Bom
Ya Tidak
1 Abdul Fatah Wirananggapati Tidak
2 Abdul Jabbar Ya
3 Abdul Qadir Baraja Tidak
4 Abdullah Said Tidak
5 Abu Bakar Ba’asyir Ya
6 Abu Fatih atau Hamzah Ya
7 Abu Kholish Ya
8 Abu Toto Tidak
9 Abu Wardan Ya
10 Abubakar Misbah Tidak
11 Aceng Kurnia Tidak
12 Adi SMK Tidak
13 Aef Saifulloh Ya
14 Ajengan Masduki Tidak
15 Ali AT Ya
16 Bahrum Ya
17 Banjarmasin Ya
18 Broto Ya
19 Budi Santoso Tidak
20 Emeng Abdurrahman Tidak
21 Fahru Tidak
22 Gaos Taufik Ya
23 Helmi Danu Muhammad Hasan Tidak
24 Karsidi Ya
25 Lukman Ya
26 Mamin Tidak
27 Misi Islam Tidak
28 Munir Fatah Tidak
29 Mursalin Dahlan Tidak
30 Musodiq Ya
31 Omo Tidak
32 Qaidatul Jihad Ya
33 Tahmid Rahmat Kartosuwiryo Tidak
34 Tawaw Tidak
35 Ules Suja'i Tidak
36 Yasir Ya
37 Yunus Ya
38 Yusuf Kamil Hanafi Tidak
Total 17 21

Tabel 12
Pasukan/Laskar Faksi-Faksi Darul Islam

No Nama Faksi Pasukan
Istisyad
1 Abdul Fatah Wirananggapati Jundullah
2 Abdul Jabbar Jundullah
3 Abdul Qadir Baraja Jasadiyah
4 Abdullah Said -
5 Abu Bakar Ba’asyir Laskar Mujahiddin
6 Abu Fatih atau Hamzah Thaifah Mansyurah
7 Abu Kholish -
8 Abu Toto Garda Zaytun
9 Abu Wardan Komji
10 Abubakar Misbah -
11 Aceng Kurnia Komji
12 Adi SMK Amdi
13 Aef Saifulloh Jundullah
14 Ajengan Masduki Jundullah
15 Ali AT Komji
16 Bahrum Komji
17 Banjarmasin Jundullah
18 Broto Front Islam
19 Budi Santoso Garda Liga
20 Emeng Abdurrahman Jundullah
21 Fahru -
22 Gaos Taufik Komji
23 Helmi Danu Muhammad Hasan Garda PKS
24 Karsidi Sabilillah
25 Lukman Cakrabuana
26 Mamin Khos
27 Misi Islam -
28 Munir Fatah -
29 Mursalin Dahlan -
30 Musodiq Tanjim Qiyatul Islam
31 Omo FTR
32 Qaidatul Jihad Shaurah Jihad
33 Tahmid Rahmat Kartosuwiryo Komji
34 Tawaw Jundullah
35 Ules Suja'i Komji
36 Yasir Takpur
37 Yunus Thaifah Mansyurah
38 Yusuf Kamil Hanafi Sabilillah
Total 28

Tabel 13
Afiliasi Darul Islam ke Partai-Partai Politik

No Nama Faksi Afiliasi
Partai Politik
1 Abdul Fatah Wirananggapati PPP
2 Abdul Jabbar -
3 Abdul Qadir Baraja -
4 Abdullah Said Golkar
5 Abu Bakar Ba’asyir -
6 Abu Fatih atau Hamzah -
7 Abu Kholish -
8 Abu Toto PKPB
9 Abu Wardan -
10 Abubakar Misbah Non-Partai
11 Aceng Kurnia Golkar
12 Adi SMK PBR
13 Aef Saifulloh PPP
14 Ajengan Masduki -
15 Ali AT -
16 Bahrum -
17 Banjarmasin -
18 Broto PAN
19 Budi Santoso PUI- PKPB
20 Emeng Abdurrahman PAN
21 Fahru PAN
22 Gaos Taufik PDIP
23 Helmi Danu Muhammad Hasan PKS
24 Karsidi -
25 Lukman PDIP
26 Mamin -
27 Misi Islam PPP
28 Munir Fatah PPP
29 Mursalin Dahlan PUI
30 Musodiq -
31 Omo PPP
32 Qaidatul Jihad -
33 Tahmid Rahmat Kartosuwiryo Golkar
34 Tawaw -
35 Ules Suja'i Golkar-PKPB
36 Yasir -
37 Yunus PKPB
38 Yusuf Kamil Hanafi Golkar
Total 22


Tabel 14
Terdapat atau Tidaknya Generasi Pertama dalam Faksi-Faksi Darul Islam

No. Faksi Memiliki “Orang Tua” Asabiqul Awwalun
Ya Tidak
1 Abdul Fatah Wirananggapati Ya
2 Abdul Jabbar Ya
3 Abdul Qadir Baraja Ya
4 Abdullah Said Ya
5 Abu Bakar Ba’asyir Ya
6 Abu Fatih atau Hamzah Ya
7 Abu Kholish Ya
8 Abu Toto Ya
9 Abu Wardan Ya
10 Abubakar Misbah Ya
11 Aceng Kurnia Ya
12 Adi SMK Tidak
13 Aef Saifulloh Ya
14 Ajengan Masduki Ya
15 Ali AT Ya
16 Bahrum Ya
17 Banjarmasin Ya
18 Broto Ya
19 Budi Santoso Ya
20 Emeng Abdurrahman Ya
21 Fahru Ya
22 Gaos Taufik Ya
23 Helmi Danu Muhammad Hasan Ya
24 Karsidi Ya
25 Lukman Ya
26 Mamin Ya
27 Misi Islam Ya
28 Munir Fatah Ya
29 Mursalin Dahlan Ya
30 Musodiq Tidak
31 Omo Ya
32 Qaidatul Jihad Ya
33 Tahmid Rahmat Kartosuwiryo Ya
34 Tawaw Ya
35 Ules Suja'i Ya
36 Yasir Ya
37 Yunus Ya
38 Yusuf Kamil Hanafi Ya
Total 36 2

Tabel 15
Epigon atau Onderbouw Faksi-Faksi Darul Islam

No Nama Faksi Epigon/
Onderbouw Jumlah Anggota
1 Abdul Fatah Wirananggapati GPI 5,000
2 Abdul Jabbar - 2,000
3 Abdul Qadir Baraja Khilafah 30,000
4 Abdullah Said Hidayatullah 20,000
5 Abu Bakar Ba’asyir Al Mukmin 10,000
6 Abu Fatih atau Hamzah Thaifah Tanjim 5,000
7 Abu Kholish Ansharullah 5,000
8 Abu Toto KW-IX 50,000
9 Abu Wardan - 3,000
10 Abubakar Misbah Fillah 10,000
11 Aceng Kurnia Komji 10,000
12 Adi SMK Amdi 1,000
13 Aef Saifulloh Khos 5,000
14 Ajengan Masduki Ansharullah 20,000
15 Ali AT KPPSI 20,000
16 Bahrum Jundullah 5,000
17 Banjarmasin Sabilillah 5,000
18 Broto Batalion 1,000
19 Budi Santoso LMI 10,000
20 Emeng Abdurrahman Sabilillah 10,000
21 Fahru HNI 10,000
22 Gaos Taufik JDI 10,000
23 Helmi Danu Muhammad Hasan Usroh 20,000
24 Karsidi Zunud 1,500
25 Lukman Cakrabuana 5,000
26 Mamin Khos 10,000
27 Misi Islam Misi Islam 10,000
28 Munir Fatah Fillah 10,000
29 Mursalin Dahlan Fillah 10,000
30 Musodiq GIS 10,000
31 Omo FTR 5,000
32 Qaidatul Jihad Jundullah 9,000
33 Tahmid Rahmat Kartosuwiryo - 20,000
34 Tawaw Tanjim Jihad 5,000
35 Ules Suja'i Korpus 5,000
36 Yasir Komji 2,500
37 Yunus - 1,000
38 Yusuf Kamil Hanafi Fillah 5,000
Total 34 376,000

Tabel 16
Neraca Pendapatan dan Pengeluaran Faksi-Faksi Darul Islam

No Nama Faksi Income Expenditur
1 Abdul Fatah Wirananggapati 1 miliar 1,2 miliar
2 Abdul Jabbar 500 juta 600 juta
3 Abdul Qadir Baraja 10 miliar 10 miliar
4 Abdullah Said 5 miliar 5,5 miliar
5 Abu Bakar Ba’asyir 5 miliar 6 miliar
6 Abu Fatih atau Hamzah 500 juta 700 juta
7 Abu Kholish 200 juta 800 juta
8 Abu Toto 10 miliar 15 miliar
9 Abu Wardan 1 miliar 1 miliar
10 Abubakar Misbah 500 juta 500 juta
11 Aceng Kurnia 5 miliar 5,2 miliar
12 Adi SMK 200 juta 200 juta
13 Aef Saifulloh 500 juta 600 juta
14 Ajengan Masduki 5 miliar 5 miliar
15 Ali AT 10 miliar 10 miliar
16 Bahrum 5 miliar 5 miliar
17 Banjarmasin 3 miliar 3 miliar
18 Broto 1 miliar 1 miliar
19 Budi Santoso 4 miliar 4 miliar
20 Emeng Abdurrahman 3 miliar 3 miliar
21 Fahru 6 miliar 6 miliar
22 Gaos Taufik 4 miliar 4 miliar
23 Helmi Danu Muhammad Hasan 10 miliar 10 miliar
24 Karsidi 500 juta 500 juta
25 Lukman 3 miliar 3 miliar
26 Mamin 8 miliar 8 miliar
27 Misi Islam 4 miliar 4 miliar
28 Munir Fatah 3 miliar 3 miliar
29 Mursalin Dahlan 2 miliar 2 miliar
30 Musodiq 5 miliar 5 miliar
31 Omo 1,5 miliar 1,5 miliar
32 Qaidatul Jihad 2 miliar 2 miliar
33 Tahmid Rahmat Kartosuwiryo 10 miliar 10 miliar
34 Tawaw 2 miliar 2 miliar
35 Ules Suja'i 7 miliar 7 miliar
36 Yasir 1 miliar 1 miliar
37 Yunus 2 miliar 2 miliar
38 Yusuf Kamil Hanafi 5 miliar 5 miliar
Total 146,4 miliar 154,3 miliar


Tabel 17
Anggaran Paramiliter Faksi-Faksi Darul Islam

No Nama Faksi Anggaran Paramiliter
1 Abdul Fatah Wirananggapati 500 juta
2 Abdul Jabbar 200 juta
3 Abdul Qadir Baraja 5 miliar
4 Abdullah Said 1 miliar
5 Abu Bakar Ba’asyir 2 miliar
6 Abu Fatih atau Hamzah 400 juta
7 Abu Kholish 200 juta
8 Abu Toto 1 miliar
9 Abu Wardan 500 juta
10 Abubakar Misbah 200 juta
11 Aceng Kurnia 2 miliar
12 Adi SMK 200 juta
13 Aef Saifulloh 500 juta
14 Ajengan Masduki 2 miliar
15 Ali AT 5 miliar
16 Bahrum 1 miliar
17 Banjarmasin 1 miliar
18 Broto 1 miliar
19 Budi Santoso 500 juta
20 Emeng Abdurrahman 1 miliar
21 Fahru 1 miliar
22 Gaos Taufik 2 miliar
23 Helmi Danu Muhammad Hasan 2 miliar
24 Karsidi 500 juta
25 Lukman 2 miliar
26 Mamin 2 miliar
27 Misi Islam 0 miliar
28 Munir Fatah 0 miliar
29 Mursalin Dahlan 1 miliar
30 Musodiq 3 miliar
31 Omo 500 juta
32 Qaidatul Jihad 2 miliar
33 Tahmid Rahmat Kartosuwiryo 2 miliar
34 Tawaw 1 miliar
35 Ules Suja'i 2 miliar
36 Yasir 1 miliar
37 Yunus 1 miliar
38 Yusuf Kamil Hanafi 1 miliar
Total 49,2 miliar

Tabel 18

No. Faksi Jumlah Anggota
Laki-Laki Perempuan
1 Abdul Fatah Wirananggapati 5,000 2,000
2 Abdul Jabbar 2,000 1,000
3 Abdul Qadir Baraja 30,000 10,000
4 Abdullah Said 20,000 10,000
5 Abu Bakar Ba’asyir 10,000 5,000
6 Abu Fatih atau Hamzah 5,000 2,000
7 Abu Kholish 5,000 5,000
8 Abu Toto 50,000 20,000
9 Abu Wardan 3,000 1,000
10 Abubakar Misbah 10,000 4,000
11 Aceng Kurnia 10,000 5,000
12 Adi SMK 1,000 2,200
13 Aef Saifulloh 5,000 1,000
14 Ajengan Masduki 20,000 8,000
15 Ali AT 20,000 5,000
16 Bahrum 5,000 2,000
17 Banjarmasin 5,000 2,000
18 Broto 1,000 300
19 Budi Santoso 10,000 3,000
20 Emeng Abdurrahman 10,000 5,000
21 Fahru 10,000 4,000
22 Gaos Taufik 10,000 4,000
23 Helmi Danu Muhammad Hasan 20,000 10,000
24 Karsidi 1,500 500
25 Lukman 5,000 2,000
26 Mamin 10,000 5,000
27 Misi Islam 10,000 4,000
28 Munir Fatah 10,000 6,000
29 Mursalin Dahlan 10,000 5,000
30 Musodiq 10,000 3,000
31 Omo 5,000 2,000
32 Qaidatul Jihad 9,000 2,000
33 Tahmid Rahmat Kartosuwiryo 20,000 7,000
34 Tawaw 5,000 2,000
35 Ules Suja'i 5,000 3,000
36 Yasir 2,500 500
37 Yunus 1,000 300
38 Yusuf Kamil Hanafi 5,000 2,000
Total 376,000 155,800


Tabel 19

No Nama Faksi Epigon/
Onderbouw Jumlah Anggota
1 Abdul Fatah Wirananggapati Asrotomo 1
2 Abdul Jabbar - -
3 Abdul Qadir Baraja Ukhuwah Islamiyah 5
4 Abdullah Said Hidayah 30
5 Abu Bakar Ba’asyir Al Mukmin 12
6 Abu Fatih atau Hamzah Thaifah 3
7 Abu Kholish - -
8 Abu Toto Al Zaytun 2
9 Abu Wardan - -
10 Abubakar Misbah Suffah -
11 Aceng Kurnia - -
12 Adi SMK Amdi 1
13 Aef Saifulloh Anshar 1
14 Ajengan Masduki Al Ikhlas 5
15 Ali AT Al Jamal 10
16 Bahrum Anshar 3
17 Banjarmasin Al Ulum 1
18 Broto Al Amin 2
19 Budi Santoso Istikomah 5
20 Emeng Abdurrahman Sabil 3
21 Fahru Bahrul Ulum 5
22 Gaos Taufik - -
23 Helmi Danu Muhammad Hasan Pesantren PKS 3
24 Karsidi - -
25 Lukman - -
26 Mamin - -
27 Misi Islam Misi Islam 2
28 Munir Fatah Fillah 5
29 Mursalin Dahlan Ali 1
30 Musodiq Jundullah 2
31 Omo At Tibyan 1
32 Qaidatul Jihad Salafi 2
33 Tahmid Rahmat Kartosuwiryo Suffah 5
34 Tawaw Salafi 2
35 Ules Suja'i Kudang 1
36 Yasir - -
37 Yunus - -
38 Yusuf Kamil Hanafi Gunung Tembang 1
Total 114


Tabel 20

No. Faksi Afiliasi Non-Parpol Jumlah
1 Abdul Fatah Wirananggapati Ya 2
2 Abdul Jabbar Tidak 0
3 Abdul Qadir Baraja Ya 5
4 Abdullah Said Ya 10
5 Abu Bakar Ba’asyir Ya 10
6 Abu Fatih atau Hamzah Ya 2
7 Abu Kholish Ya 2
8 Abu Toto Ya 3
9 Abu Wardan Tidak 0
10 Abubakar Misbah Ya 3
11 Aceng Kurnia Ya 5
12 Adi SMK Tidak 0
13 Aef Saifulloh Tidak 0
14 Ajengan Masduki Ya 6
15 Ali AT Ya 15
16 Bahrum Ya 3
17 Banjarmasin Ya 2
18 Broto Ya 1
19 Budi Santoso Ya 7
20 Emeng Abdurrahman Ya 5
21 Fahru Ya 6
22 Gaos Taufik Ya 4
23 Helmi Danu Muhammad Hasan Ya 8
24 Karsidi Tidak 0
25 Lukman Tidak 0
26 Mamin Tidak 0
27 Misi Islam Tidak 0
28 Munir Fatah Ya 5
29 Mursalin Dahlan Ya 6
30 Musodiq Ya 5
31 Omo Ya 3
32 Qaidatul Jihad Tidak 0
33 Tahmid Rahmat Kartosuwiryo Ya 9
34 Tawaw Tidak 0
35 Ules Suja'i Ya 3
36 Yasir Tidak 0
37 Yunus Tidak 0
38 Yusuf Kamil Hanafi Tidak 0
Total 20=Ya; 13=Tidak 130





Penutup
Pemetaan gerakan Islam Radikal dan Islam Fundamentalis ini barulah pada tahap permulaan. Artinya, untuk mengikuti dinamika pergerakan dan organisasi serta tokoh-tokohnya, diperlukan suatu penelitian khusus dan updating watch terus-menerus agar perkembangannya dapat dipahami dengan baik. Perlu juga dilakukan upaya serius melacak akar sejarah perpecahan faksi-faksi dalam Darul Islam maupun di luar Darul Islam serta gerakan-gerakan baru yang lahir dan berkembang di Indonesia mestilah diikuti dengan seksama agar karakteristiknya dikenal dan dimengerti. Dengan pemahaman yang cukup, maka para pengambil keputusan akan mengerti apa yang esensial dan mana yang merupakan plasma pergerakan dari aliran-aliran dan paham-paham yang berkembang di Indonesia. ***

No comments: