04 September 2008

STUDI ANALISIS SOSIAL-POLITIK PENERAPAN SYARI’AT ISLAM DI ACEH

POLITIK SYARI’AH:
STUDI ANALISIS SOSIAL-POLITIK PENERAPAN SYARI’AT ISLAM
DI ACEH



BAB 1. PENDAHULUAN
Ada sebuah asumsi yang sudah jamak diterima umum bahwa masyarakat Aceh berkeinginan untuk dapat menjalankan ajaran Islam secara sempurna dan menyeluruh; Islam yang mereka pahami bukan dalam arti ibadah saja, tetapi lebih luas dari itu, paling kurang mencakup pendidikan, hukum, pemerintahan, serta ekonomi dan sosial. Di dalam sejarahnya, Islam relatif sudah pernah menyatu dengan adat dan sistem pemerintahan lokal sehingga rakyat Aceh merasa sudah pernah mempunyai pengalaman dan karena itu mempunyai kebanggaan tentang hal tersebut. Rakyat Aceh telah memperjuangkan pelaksanaan Syari`at Islam ini sejak awal kemerdekaan, sebagaimana terjadi dalam kasus pemberontakan Darul Islam tahun 1953 dan aspirasi syariat ini tidak pernah berhenti dan bahkan terus diperbaharui dalam berbagai bentuk tuntutan.
Dalam upaya pelaksanaannya sekarang ajaran dan tuntunan Islam tersebut cenderung dipahami dalam kerangka budaya dan adat Aceh serta dalam kerangka negara bangsa, dalam hal ini NKRI berdasarkan UUD 1945, dengan keterlibatan Pemerintah Pusat secara penuh (paling kurang pemerintahan provinsi, pemerintahan kabupaten/kota serta pemerintahan gampong atau desa). Karena pemahaman di atas maka hukum syariat yang sedang dilaksanakan sekarang lebih banyak bertumpu pada pengalaman sendiri dan tidak akan meniru atau mengambil model dari tempat yang lain. Tetapi ini tidak berarti bahwa Aceh tidak belajar dari pengalaman dan upaya bangsa lain yang sudah pernah ada.
Dalam pelaksanaan syariat Islam ini paling kurang ada empat masalah (tantangan) yang harus dihadapi. Pertama, tantangan internal, seperti telah disebutkan pelaksanaan Islam di Aceh dilakukan dalam kerangka adat “lokal” dan negara bangsa, suatu hal yang belum pernah terjadi dalam sejarah kejayaan umat Islam masa lalu. Karena itu para ulama perlu berdiskusi untuk menemukan metode dan bahkan kesimpulan yang dianggap sesuai dengan Al-qur’an dan juga sesuai dengan kebutuhan umat masa kini, walaupun dari segi lain akan berbeda dengan pemahaman yang selama ini ada. Yang kedua, tantangan eksternal, harus ada upaya sungguh-sungguh untuk menjawab dan memberi tempat kepada issue-issue global seperti perlindungan HAM, kesetaraan gender (gender equality) dan demokratisasi dalam kegiatan pelaksanaan Syari`at Islam di Aceh sekarang. Tantangan yang ketiga adalah tantangan berkaitan dengan sistem ketatanegaraan yang ada di Indonesia sekarang; bahwa Islam yang akan dilaksanakan di Aceh (hukum dan yang lainnya) akan menjadi sub sistem dalam sistem bernegara Indonesia. Tantangan yang keempat adalah ketersediaan sumber daya manusia, dalam hal ini para ulama Aceh, sebagai pemikir atau mufassir yang mampu menyusun tata kerja serta bidang prioritas tanpa menimbulkan gejolak besar di tengah masyarakat.
Menyadari keadaan di atas maka pihak Dinas Syariat Islam Nanggroe Aceh Darussalam --yang memiliki sayap pemaksa hukumnya yang terkenal yaitu WH (Wilayatul Hisbah)-- memulai upaya implementasi syariat Islam ini secara bertahap, dengan skala prioritas tertentu, dengan belajar dari pengalaman negara-negara Muslim lainnya guna tidak mengulangi kesalahan yang sama, dan dengan memanfaatkan berbagai kemudahan yang dihasilkan dan ditawarkan oleh ilmu pengetahuan di zaman modern. WH kini tampak di mata orang Aceh sebagai “polisi tuhan” atau dalam bahasa awam sering disebut sebagai “polisi syariat”. Kehadiran dan sepak-terjang WH dan Dinas Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah menimbulkan fenomena disintegrasi internal masyarakat dan disposisi politik lembaga-lembaga negara yang dulunya memiliki kuasa yang besar dalam tata-pemerintahan daerah.
Secara sosiologis, fenomena disintegrasi internal ini memunculkan dilema bagi kalangan perempuan. Bagi banyak kalangan intelektual Muslim di Aceh, adalah hukum terbaik, sama persis seperti ketika syariat Islam ini dikenalkan di Arab. Syari’at Islam sejak kemunculannya telah berusaha mewujudkan keadilan gender dalam masyarakat Arab yang memiliki budaya dan tradisi patariarkhi yang sangat kuat. Upaya tersebut diwujudkan dengan adanya aturan dan doktrin-doktrin yang berusaha mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan dari posisinya semula. Aturan-aturan syari’at tersebut –-yang tentu saja disesuaikan dengan konteks ketika itu-- antara lain adalah mengecam penguburan bayi-bayi perempuan, membatasi poligami, memberikan hak waris, hak-hak sebagai isteri, hak sebagai saksi dan hak-hak lainnya bagi perempuan. Dengan kata lain syari’at Islam sejak semula telah memberikan hak dan peran kepada kaum perempuan baik di wilayah domestik maupun wilayah publik. Padahal, sebagaimana diketahui, tradisi Arab ketika itu secara umum menempatkan perempuan hampir sama denga hamba sahaya yang tidak memiliki hak apapun. Karena itu, dari sini dapat dilihat bahwa sesungguhnya semangat dan pesan moral yang dikandung syari’at Islam adalah persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan dan berusaha menegakkan keadilan gender dalam masyarakat.
Sementara itu, banyak kalangan yang mengkritisi birokratisasi atau institusionalisasi syariat Islam di Aceh. Ada upaya membangun perbedaan antara Islam Aceh (the Achenized Islam) dengan Islam di Arab. Walaupun pesan universal syari’at Islam adalah keadilan gender (gender equity), namun banyak penafsir yang memahami teks-teks syari’at –-yang terdapat dalam al-Qur`an dan Hadits-- hanya secara tekstual, parsial dan dilepaskan dari konteks turunnya, sehingga menghasilkan interpretasi yang gender bias dan melahirkan aturan atau doktrin ketidakadilan gender. Kenyataannya, hasil interpretasi seperti inilah kemudian yang banyak dipahami dan dipraktekkan dalam masyarakat Islam, termasuk masyarakat Islam masa modern sekarang ini. Bahkan penafsiran teks kitab suci seringkali dijadikan lebih suci daripada kitab suci itu sendiri. Namun demikian seiring dengan kemajuan zaman dan maraknya tantangan modernitas, muncul beberapa pemikir Islam yang berupaya melakukan reinterpretasi terhadap teks-teks syari’at, termasuk teks-teks syari’at yang berkaitan dengan gender.
Syariat Islam tidak hanya menimbulkan satu persoalan politik baru yang menarik diteliti, melainkan juga telah melahirkan yurisprudensi yang melihatkan diskusi dan perdebatan hangat sehingga para ulama dianggap memiliki garis fikih tersendiri, yaitu “Fiqh Aceh”. Reinterpretasi terhadap teks-teks syari’at merupakan hal yang wajar bahkan suatu keniscayaan, karena al-Qur`an sendiri sebagai sumber syari’at Islam yang utama merupakan teks yang selalu terbuka untuk diinterpretasi sepanjang zaman. Interpretasi terhadap teks-teks al-Qur`an sesungguhnya telah dimulai sejak masa sahabat, atau bahkan sejak masa Nabi Muhammad SAW sendiri. Teks syari’at yang interpretable tersebut merupakan salah satu indikasi dari fleksibilitas dan kemampuan adaptabilitas syari’at Islam terhadap perubahan zaman -–dan sekaligus mempertegas bahwa syari’at Islam sesuai untuk segala waktu dan tempat. Bagaimana penerapan fiqh ini dalam kehidupan politik lokal di Aceh menjadikan diskusi tentang ideologi keacehan kontemporer sebagai bahan penelitian yang sangat menarik dan menantang.

BAB 2. PERUMUSAN MASALAH
Aceh adalah satu-satunya propinsi di Indonesia yang memiliki hak untuk menerapkan Syari’at Islam secara penuh. Hak ini mulai dipergunakan secara perlahan sejak tahun 1999, Aceh secara perlahan-lahan telah mulai meletakkan sebuah kerangka kelembagaan untuk menegakkan Syari’at Islam. Dalam proses peletakan kerangka kelembagaan tersebut, mereka menemui pertanyaan-pertanyaan sosial yang sulit dijawab: Aspek apa yang harus ditegakkan pertama kali? Apakah sebaiknya menggunakan aparat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan yang sudah ada atau membentuk lembaga baru? Bagaimana sebaiknya menjatuhkan hukuman kepada para pelanggar hukum?
Secara politik, penelitian ini mencoba menganalisis bagaimana upaya Pemerintah Aceh untuk menemukan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan di atas diperhatikan dengan seksama oleh pemerintah daerah yang lain, dan beberapa di antaranya telah membuat peraturan-peraturan daerah (qanun) yang terinspirasi oleh atau diambil dari ‘perda syariat’ di Aceh. Langkah ini pada gilirannya telah memicu perdebatan hangat di Indonesia mengenai apa peran pemerintah di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten dalam mendorong ketaatan terhadap Syari’at Islam dan sejauh mana gerakan Islamisasi akan dan sebaiknya diperbolehkan untuk berkembang.
Penelitian ini akan mencoba menganalisis alasan-alasan yang mengemuka atas pertanyaan mengapa Aceh mendapatkan hak untuk menerapkan syari’at Islam, sementara propinsi yang lain tidak. Alasan-alasan itu antara lain: bahwa Islam adalah identitas utama masyarakat Aceh; bahwa ada preseden masa lalu penerapan syari’at Islam di Aceh; bahwa memberikan hak menerapkan Syari’at Islam akan membujuk Aceh menjauh dari separatisme dan membantu memulihkan kepercayaan kepada pemerintah pusat. Ketiga asumsi ini, namun khususnya yang terakhir, ikut menjadi alasan ketika pada tahun 1998 pemerintah pasca-Soeharto yang pertama mulai memikirkan tentang solusi politik atas konflik di Aceh.
Pengadilan Islam di Aceh telah lama menangani kasus-kasus mengenai perkawinan, perceraian dan warisan, namun ketika Pemerintah Pusat memberikan Undang-Undang atau legislasi politik untuk melaksanakan syariat Islam yang lebih luas, maka revolusi internal mulai terjadi di Aceh. Sebuah terobosan yang berkenaan dengan penerapan hukum Islam yang lebih luas terjadi setelah undang-undang Otonomi Khusus disahkan pada tahun 2001, yang memberikan lampu hijau kepada pengadilan Islam untuk melebarkan jangkauan mereka hingga ke peradilan pidana. Pada titik inilah persoalan serius mengenai dualisme hukum muncul, tanpa adanya batasan yang jelas mengenai pembagian tugas antara pengadilan negeri biasa dan pengadilan Syari’at. Pertanyaan mengenai masalah penegakan hukum bahkan lebih suram: Penelitian ini mengamati peran wilayatul hisbah, yaitu “polisi tuhan” atau “polisi syariat” yang telah dibentuk oleh pemerintah setempat dan bagaimana perannya semakin lama semakin luas –-dengan cara yang membuat aparat hukum non-syariat tidak senang.
Penelitian mengkaji persoalan-persoalan praktis yang telah muncul pada saat Aceh mencoba untuk menegakkan tiga aturan Syari’at Islam yang pertama, yang telah disahkan oleh pemerintah propinsi. Aturan-aturan itu adalah: larangan minuman keras; berjudi; dan khalwat. Penelitian ini melihat bagaimana dan mengapa pemerintah memilih hukum cambuk sebagai sanksi bagi yang melanggar ketiga aturan ini, meskipun hukuman ini belum pernah ada sebelumnya di Aceh. Penelitian ini juga melihat rencana-rencana untuk memperluas penerapan hukum Islam.
Penelitian ini akan mengelaborasikan realitas bahwa meskipun para pejabat Syari’at di Aceh benar-benar yakin bahwa penerapan hukum Islam yang ketat akan ikut memfasilitasi tujuan yang lebih luas seperti upaya perdamaian, rekonsiliasi, dan rekonstruksi, tapi ada dinamika lain yang juga terjadi. Fokus perbaikan moralitas tak lagi jadi sarana tapi sudah jadi tujuan itu sendiri. Birokrasi Syari’at memiliki kepentingan untuk memperluas kekuasaannya. Semangat yang ditunjukkan oleh “polisi tuhan” dalam menerapkan peraturan ini telah mendorong sebuah proses dimana penduduk saling melaporkan tentang tetangganya dan main hakim sendiri. Ada persepsi bahwa perempuan dan kaum miskin telah menjadi target utama dari penegakan hukum Islam ini. Belum ada indikasi bahwa penerapan Syari’at Islam bisa meningkatkan keadilan bagi sebagian besar rakyat Aceh. Namun, bagi mereka yang mendukung perluasan penegakan syari’at Islam, hal itu mungkin tidak relevan. Masalah sebenarnya adalah apakah hukum buatan manusia atau Tuhan akan berlaku.
Perubahan politik yang baru saja terjadi di Aceh dan hubungannnya dengan Indonesia telah menciptakan dinamika yang baru tentang pemahaman serta pengertian lokal terhadap norma-norma Islam, praktek budaya lokal serta struktur legal formal di provinsi ini. Program ini akan memfasilitasi studi lokal dan international tentang perubahan dan perkembangan yang terjadi. Riset akan diarahkan pada tingkat pemahaman yang lebih mendalam tentang situasi di Aceh serta menumbuhkan pemahaman komparatif tentang penerapan Syariat Islam terhadap komunitas masyarakat Islam lainnya.

BAB 3. TINJAUAN PUSTAKA
Teuku Ibrahim Alfian, dalam bukunya Aceh dalam Lintasan Sejarah menjelaskan tentang betapa luasnya perdebatan ulama tentang hukum Islam (syariat) yang harus dijalankan, dan bagaimana peraturan ini dijalankan. Penelitian ini, dengan berkaca pada masa lalu sejarah Aceh (the glory of the past), mencoba melihat bagaimana respon kalangan elit dan masyarakat pendukung GAM (Gerakan Aceh Merdeka) terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh pasca Reformasi. Buku penulis sendiri sudah mencoba membedah GAM dari sudut terbentuknya ideologi keacehan sejak masa awal kemerdekaan hingga 2002. Namun, dengan kehadiran Misi Eropa di Aceh, ada adopsi dan adaptasi nilai-nilai eksterior GAM dalam menentukan strategi. Perdamaian sendiri bagi rakyat Aceh sama pentingnya dengan syariat Islam. Namun tidak bagi GAM. Ada banyak aspirasi dalam benak GAM yang tak tersampaikan. Maka apa yang terlihat sekarang, sebuah gugatan yang tak begitu jelas antara masyarakat dan para tokoh pergerakan politik. Mirip aspirasi-aspirasi liar yang pernah disampaikan oleh kalangan kiri yang pernah ada dalam sejarah kelam Aceh tahun 1965-1966.
Penerapan Syariat islam sendiri di Aceh adalah kelihaian kalangan birokrat ketika terjadinya reformasi di Indonesia. Di satu pihak GAM memperkuat basis militernya, sementara itu kalangan birokrat memasukkan ide-ide untuk menjinakkan pergolakan pemberontak. Maka, perdamaian menjadi taruhan di tengah perjudian politik antara berbagai pihak yang memiliki kekuatan politik di Aceh ketika itu. Jeda kemanusiaan membuat banyak kalangan harus berkonsentrasi pada internasionalisasi kasus Aceh, sementara kalangan birokrat atau teknokrat Aceh yang berasal dari kalangan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) mencoba mengkritik GAM di samping memenfaatkan akomodasi politik berupa Syariat Islam.
Konflik politik yang muncul antara GAM, Pemerintah RI dan Masyarakat dan kalangan elite lokal (kaum teknokrat Aceh) tidak semudah mengelola konflik dalam sebuah kantor pemasaran sebuah perusahaan. Konflik politik tidak hanya melibatkan pengaruh dari peraturan otonomi, melainkan juga berakar dalam ideologi komunal yang menyejarah. Bagaimana pun, Aceh ¬–sebagaimana dipersepsikan oleh rakyatnya sendiri—adalah bangsa besar yang akan dengan mudah tersinggung martabat budayanya jika diperlakukan tidak adil. Mengantisipasi ketidak-adilan dan merasa tertipunya Aceh oleh Pemerintah Pusat ini, maka kemudian GAM menyusun gerakan gerilya yang menginkorporasikan banyak komponen “perang informasi” dan “perang urat-syaraf”. GAM kemudian lebih mengemukakan isu-isu HAM, demokrasi dan hak-hak determinasi sebuah bangsa yang terjajah. Namun, perjuangan dan strategi menginternasionalisasikan kasus Aceh mengakibatkan GAM harus menunda dulu pembicaraan tentang Islam. Tidak seperti perjuangan “straight forward” yang dilakukan dulu, masyarakat dan kalangan GAM bersatu padu dalam perjuangan untuk melepaskan diri hampir dengan segala cara, di mana adagium-adagium Islam dipakai di level bawah tanpa tercium oleh dunia internasional.
Ideologi GAM mengalami perubahan yang agak drastis dibandingkan pemberontakan DI sebelumnya. Namun, bagaimana pun, pergolakan di Aceh tak pernah terlepas dari “getar-getar” pengaruh pergolakan di tahun 1953. Penelitian ini akan mencoba melihat dilema yang dialami oleh rakyat Aceh dan GAM dalam perkembangan kontemporer. Demokrasi telah menggantikan ideologi GAM yang semula sangat Islam oriented. Rakyat Aceh pun berada di persimpangan antara derasnya pengaruh internasional dengan keinginan mewujudkan “negara bayangan” yang dicita-citakan dan diperjuangan oleh para ideolog Aceh. Maka, legislasi syariat Islam yang telah diberikan kepada Aceh kemudian disadari banyak kalangan nasional sebagai obat yang salah yang telah diberikan kepada Aceh. Sementara itu masyarakat Aceh banyak yang merasa bersyukur atas Syariat Islam. Bagi mereka, pengorbanan banyak anak bangsa Aceh yang menjadi korban dalam tragedi konflik baru-baru ini perlu mendapatkan penghormatan religius dan yang ditinggalkan pun merasa harus melaksanakan agama dalam bentuk aplikasi dan implimentasi hukum syariat Islam di Aceh. Penelitian ini pada bagian-bagian awal akan banyak berisi kajian tentang hukum Islam dalam sejarah politik Aceh, dan pada bagian tengah hingga akhir akan membahas tentang dinamika para pendukung dan pengritik Syariat Islam di Aceh.

BAB 4. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan, pertama, untuk menguji asumsi bahwa ada kesalahan berfikir dalam benak orang Islam antara dua persepsi sumber autoritas formal, satu dihasilkan Negara dan lainnya dari agama atau syariah. Yang kedua lebih dominan setelah lebih dari satu millennium, sementara yang sebelumnya diperkenalkan hanya selama dua abad terakhir. Kedua bagian ini harus dikerjakan terpisah dalam kondisi kenegaraan dan syariah bahwa ada satu hal yang telah menjadi kebiasaan, yaitu, penekanan yang sangat besar dalam aspek legal. Pada satu sisi, secara umum dipegang bahwa Negara mempunyai hak absolut untuk mengklaim sebuah monopoli melalui pembentukan perundangan, yang dikerjakan oleh lembaga-lembaga legislatif. Sedangkan sisi lainnya, diyakini bahwa syariah harus menjadi fondasi semua hukum yang diaplikasi terhadap orang Islam.
Penelitian ini juga akan melihat kasus-kasus di pengadilan Syariah Aceh. Penelitian ini berargumen bahwa perundangan formal sebuah Negara adalah yang paling utama, sementara syariah adalah pelengkap legal yang dihasilkan melalui ratifikasi perundang-undangan Negara. Hal ini harus secara sejalan diformulasikan dengan hukum-hukum Indonesia yang sudah dinyatakan sebagai bagian tak terpisahkan. Selanjutnya, penelitian ini akan berusaha menggambarkan perspektif perbandingan pada pengadilan syariah di sejumlah Negara Islam. Penulis menekankan bahwa skenario yang sama harus diperhatikan dimana pengadilan syariah sangat tergantung pada autoritas legal yang dikelola oleh Negara.

BAB 5. METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat kualitatif, dengan mengaplikasikan metode deskriptif-analisis. Penelitian ini menggunakan dua metode pengumpulan data, pengumpulan data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer (primary sources) dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (in-depth interviews) dengan para tokoh yang dianggap merepresentasikan kekuatan-kekuatan politik lokal, nasional, internasional dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Pengumpulan data sekunder (secondary sources) dilakukan melalui penelusuran bahan-bahan tertulis seperti buku-buku, majalah, buletin, koran/surat-kabar dan bahan tertulis lainnya yang tidak diterbitkan.

BAB 6. TAHAPAN PENELITIAN DAN JADWAL PELAKSANAAN
Penelitian ini akan berlangsung selama 6 bulan, melalui tujuh tahap:
Tahap pertama, persiapan operasional di mana diadakan sejumlah rapat kecil konsultansi antara penulis dan rekan sejawat peneliti dan pengumpul data lapangan. Waktu yang diperlukan untuk tahap pertama ini sekitar 1 (satu) bulan.
Tahap kedua, pengumpulan data sekunder (secondary sources) dengan menelusuri sumber-sumber yang berkaitan dengan Aceh pada periode-periode penting yang menjadi fokus perhatian studi ini melalui buku-buku, majalah-majalah, surat-kabar, buletin atau pamflet, dan lain-lain. Waktu yang dibutuhkan untuk tahap kedua ini sekitar 1 (satu) bulan.
Tahap ketiga, pengumpulan data primer, yakni pelaksanaan wawancara mendalam dengan narasumber dari berbagai kalangan (GAM, para aktivis dan tokoh yang mewakili kekuatan-kekuatan politik lokal, nasional dan internasional). Selanjutnya, secara simultan akan dilakukan proses pembuatan transkripsi wawancara dalam bentuk hard-copy sebagai dokumen referensi. Pada tahap ketiga yang sangat penting ini, akan membutuhkan rentang waktu yang agak panjang, sekitar 3 (tiga) bulan.
Tahap keempat, kategorisasi data atau taksonomi data yang berkorelasi dengan masing-masing bab dalam buku. Jika data yang terkumpul terlalu banyak, maka akan dilakukan proses reduksi data sehingga yang akan dikutip dan dicatat dalam buku hanya yang esensial saja. Waktu yang dibutuhkan untuk tahap keempat ini adalah dua bulan.
Tahap kelima, diadakan koloquium, suatu diskusi internal terbatas yang mendiskusikan kerangka penulisan buku yang utuh sebagai satu kesatuan (integral) untuk menentukan judul laporan penelitian yang lebih sesuai.
Tahap keenam, penulisan laporan yang dilakukan oleh penulis dengan pembabakan yang sudah disepakati berdasarkan koloquium dan temuan data di lapangan dan data sekunder lainnya. Waktu yang dibutuhkan sekitar 1 (satu) bulan.
Tahap ketujuh, pencetakan laporan dan persiapan teknis lainnya seperti pembuatan indeks dan perbaikan-perbaikan teknis penulisan lainnya yang ada. Waktu yang dibutuhkan untuk tahap ini adalah 1 (satu) bulan, termasuk pengumpulan laporan penelitian ke LPPM Universitas Malikussaleh.

No comments: