(Tidak) Mungkinkah Berdamai dengan Teroris?
Al Chaidar*
Secara antropologis, perdamaian adalah siklus akhir dari sebuah konflik. Perjanjian damai tercetus ketika kedua pihak tidak ingin lagi bertikai. Jika pertempuran dimulai dengan sebuah ritual pernyataan yang keras, maka perdamaian dirayakan dengan sebuah pernyataan yang penuh dengan itikad baik. Pertarungan antara pemerintah RI dengan musuh utamanya yang disebut teroris hingga saat ini belum berakhir. Bagi pemerintah RI, mungkin berdamai dengan teroris sama saja akan menjadi musuh AS. Hegemoni AS dalam soal counter terrorism terlihat dalam pernyataan sabdais George W. Bush: “either you’re with us or with the terorist”. Bersama doktrin pre-emptive strike, pernyataan Bush ini menjadi salah satu inti doktrin “anti terorisme” yang seakan-akan menempatkan bangsa-bangsa di dunia ini hanya dalam satu pilihan, yaitu menjadi kawan atau lawan bagi AS. Bush bagaikan seorang nabi, yang setiap sabdanya dianggap sebagai hukum. Negara manapun yang tidak mendukung doktrin anti-terorismenya, dengan sendirinya ditempatkan sebagai musuh AS. Sehingga jika muncul wacana perdamaian dengan teroris yang sempat dicetuskan oleh sebuah tim negosiasi dengan teroris di tanah air, maka hanya dianggap mencari permusuhan dengan AS, yang tak akan (mungkin) ditanggapi pemerintah RI. Kemungkinan ini semakin dipersempit oleh pernyataan pihak Kepolisian RI bahwa tidak ada kompromi dalam perang melawan terorisme. Selain itu juga, teroris bukanlah sebuah negara dengan sistem, dan batas-batas yang diakui. Teroris bergerilya menyerang di luar batas wilayah politik suatu negara. Organisasinya pun bukan organisasi resmi yang beralamat tetap dan bisa dikunjungi dengan naik taksi.
Perdamaian dengan teroris dianggap tidak mungkin bagi pemerintah, mengapa? Dalam hubungan internasional, hanya negara yang punya hak untuk melakukan perang dan damai. Namaun bagaimanakah menghadapi aksi-aksi bom bunuh diri dari tahun ke tahun yang masih terjadi dan terkesan pemerintah bersikap arogan dengan tidak melakukan langkah-langkah proaktif selain secara represif-koersif terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Kurang lebih 260 orang yang telah berhasil ditangkap dan sebagian besar dari mereka telah diproses pengadilan, 5 di antaranya telah divonis mati. Dr Azahari yang merupakan expert bom telah tertembus peluru pasukan Detasemen Khusus (Densus) 88. Namun demikian masih ada beberapa pelaku utama yang masih standing in motion, antara lain: Nurdin M. Top, Zulkarnaen, Dulmatin dan sebagainya. Perang terhadap teroris pun tak pernah usai. Akankah kita hidup dalam suasana teror terus-menerus tanpa ada upaya politik untuk menyelesaikannya? Sudah matikah ilmu politik dan ilmu hukum dalam menjawab tantangan terorisme ini?
Wacana perdamaian dengan teroris internasional telah diungkapkan oleh Professor Engseng Ho, dari Harvard University dalam sebuah diskusi Forum kajian Antropologi Indonesia dengan tajuk Cultural Map to Recovery, di Bentara Budaya (16 Desember 2005) yang menyatakan apakah mungkin bagi Amerika Serikat (AS) untuk melakukan perjanjian perdamaian dengan al-Qaidah atau Osama bin Laden? Menurutnya mengapa tidak? Ketika negara bisa saja bertindak di luar batas kedaulatannya (out of boundary of sovereignity), maka pihak di luar negara (non-state terrorist) pun bisa juga bertindak di luar batas perwakilan politik (out of boundary of representation). Ketika Osama bin Laden menawarkan perjanjian damai kepada masyarakat Mediterania di Eropa, dia sebenarnya hanya memformalisasikan rencana rekonsialiasi damai sesudah orang-orang Spanyol condong kepada perdamaian. Menurut Engseng Ho, Spanyol telah menunjukkan adanya itikad perdamaian dengan teroris terlebih dahulu dengan cara yang unik tapi dimengerti oleh pihak teroris. Semenjak saat itu, pertengahan 2004, Spanyol tidak lagi diganggu oleh ulah para teroris. Mereka menunjukkan bahwa perdamaian adalah sesuatu yang mungkin. Memang, perjanjian ini tidak dalam keadaan yang benar-benar mereka inginkan atau tidak ada keadaan yang selalu sesuai dengan keinginan, tapi mereka telah memulainya. Mungkinkah hal ini terjadi di Indonesia?
Tawaran gencatan senjata Osama Bin Laden itu dilihat banyak kalangan sebagai upaya memecah AS dan sekutunya di Eropa, termasuk dengan mengeksploitasi perbedaan AS dan Eropa tentang Irak. Osama Bin Laden menyerukan kepada Eropa agar menarik pasukan militer dari negara-negara Muslim. Imbalannya, Eropa akan bebas dari serangan teror. Para pemimpin Eropa, demi memperlihatkan loyalitas dan solidaritasnya terhadap AS, mengatakan tidak mungkin mengadakan negosiasi dengan Osama Bin Laden. Presiden Perancis Jacques Chirac, salah satu penentang keras perang Irak menepis tawaran gencatan senjata itu. "Tidak mungkin dilakukan perjanjian dengan teroris." Sikap tersebut diikuti oleh negara Eropa lainnya seperti Jerman, Italia, Inggris, dan Rusia. Terlebih lagi menurut Kai Hirschmann, Wakil Kepala Lembaga Riset Terorisme dan Kebijakan Keamanan Jerman mengatakan, ucapan Osama Bin Laden bagaikan ucapan perampok bank: “Berikan aku satu juta Euro dan saya tidak akan merampok bank lagi.” Rupanya Amerika Serikat merasa senang dengan reaksi-reaksi Eropa itu sehingga upaya mempengaruhi negara Eropa dapat dikatakan cukup berhasil. Tetapi tidak dengan sikap Spanyol, setelah PM Zapatero berjanji membawa pulang pasukannya dari Irak.
Di Indonesia, akibat tragedi Bom Bali I dan Bom Hotel Marriot Jakarta, pemerintah telah melakukan support to terorism dengan membatasi kebebasan bagi masing-masing pemeluk agama tertentu dalam mengimplementasikan dan mengembangkan ajaran agamanya, termasuk fundamentalisme beragama. Pemerintah mengintervensi pesantren dan memaksakan diskusi tentang jihad yang sesuai dengan pembangunan serta rencana sidik jari para santri. Terorisme dikaitkan dengan persoalan fundamentalisme agama, suatu burueacratic common-error. Padahal terorisme merupakan produk dari ketidakadilan dan kejahatan dalam skala global yang langsung maupun tidak telah dipicu oleh kekuatan negara besar yang menabur neo-hegemonisme dan neo-kolonialisme terhadap negara-negara kecil. Seperti kasus Perang Irak, AS justru telah melakukan tindakan apa yang populer disebut state terrorism yang dipercaya kaum radikal agama sebagai penyebab munculnya aksi teror dengan dalih pembalasan terhadap apa yang dilakukan oleh AS dan sekutunya.
Tindakan pembalasan terhadap AS bersama sekutunya tidak saja dilakukan di Irak, kelompok teroris pun menyerang Indonesia. Terbukti setelah adanya penawaran rekonsiliasi damai dari Osama Bin Laden, aksi teroris kembali mewarnai tanah air dengan meletusnya Bom Kuningan. Menyusul Bom Bali II yang meninggalkan kesan doktrin-doktrin terorisme sulit dihilangkan, kelompok teroris mulai diperhitungkan sebagai momok, sebagai virus ganas dan monster yang menakutkan bagi warga sipil dan turis-turis asing, dengan aksi-aksi bom syahid secara beruntun dari tahun ke tahun. Sedangkan, upaya untuk mengenali dan menghancurkan terorisme yang dikampanyekan serta disponsori oleh Amerika Serikat dan sekutunya hanya akan terus melanggengkan kondisi dan nuansa co-existence with terrorism tanpa akhir.
Aksi–aksi terorisme yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia telah memberikan kesan bahwa Indonesia battle-field antara doktrin Bush dan doktrin Osama Bin Laden. Kondisi demikian jelas tidak dapat dipertahankan secara berlanjut karena hal tersebut tidak menawarkan apapun kecuali suasana penderitaan dan rasa sedih bagi warga sipil. Sementara di pihak rakyat, apa salahnya mengakui bahwa warga sipil di Indonesia —yang telah menjadi korban dan terperangkap dalam genderang perang antara pihak teroris dengan Amerika Serikat dan sekutunya— untuk menuntut suatu peace treaty negotiation untuk berdamai dengan teroris. Jika fatwa Osama Bin Laden —yang juga menjadi acuan kaum teroris di Indonesia— disambut pemerintah RI bukan tidak mungkin Indonesia menjadi “medan damai” di antara keduanya sebagaimana yang telah terjadi di Spanyol. ***
----------------
*) Pengajar pada Jurusan Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.
No comments:
Post a Comment