20 December 2008

MENIMBANG KETOKOHAN S.M. KARTOSOEWIRJO DAN PEMIKIRAN POLITIKNYA

KATA PENGANTAR


MENIMBANG KETOKOHAN S.M. KARTOSOEWIRJO
DAN PEMIKIRAN POLITIKNYA
Oleh : Ahmad Suhelmi, MA


PROLOG

Pepatah mengatakan sejarah itu berulang, “L’histoire serepete”. Kebenaran pepatah ini menemukan relevansinya saat ketika kita menyaksikan belakangan ini gejala kebangkitan ‘politik aliran’ atau ideologi politik yang pernah hidup di zaman lampau . ‘Politik aliran’ atau ideologi politik yang saya maksud adalah ideologi kiri radikal (Komunisme, PKI) dan ideologi kanan radikal (Darul Islam).
Komunisme, apa pun definisinya, bangkit kembali. Tidak mudah untuk meng-identifikasi secara pasti organisasi dan aktivis berideologi komunis yang bangkit itu. Namun, dengan mengamati berbagai gejala politik yang belakangan terjadi sukar mempercayai Komunisme telah benar-benar mati . Pembebasan Napol/Tapol PKI, an-tara lain kolonel (pur.) Latief, Dr. Subandrio, Bungkoes, Ketek, Rewang dan bebas berkeliarannya mantan tokoh Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat), Pramoedya Ananta Toer, tampaknya memiliki andil dalam membangkitkan kembali ideologi Komunisme.
Menolak versi sejarah Orde Baru yang menganggap PKI aktor utama tragedi 30 September 1965, beberapa mantan PKI itu mengatakan bahwa aktor utama gerakan bukanlah PKI karena ia hanyalah ‘korban’ pertarungan di tubuh Angkatan Darat. PKI digunakan sebagai ‘alat’ oleh segelintir elite Angkatan Darat, antara lain mantan Presiden Soeharto, untuk memukul lawan-lawan politiknya. Kini para mantan PKI itu ingin ‘meluruskan sejarah’ PKI seperti yang dilakukan Pramoedya, Carmel Budiardjo dan mantan penculik Mayjen M.T. Haryono, eks. Serda Bongkoes. Tidak tertutup kemung-kinan usaha ‘pelurusan sejarah’ itu tendensius: ‘upaya cuci tangan’ tokoh-tokoh PKI atas kejahatan-kejahatan politiknya di masa lampau. Mereka menyadari era keterbukaan saat ini adalah ‘peluang emas’ untuk bersih-bersih diri.
Sejarah Indonesia kontemporer ibarat bandul jam yang bergerak ke kanan, ke kiri. Ketika bergerak ke kiri, ada kekuatan yang menariknya ke arah berlawanan. Proses historis itulah yang kini terjadi. Kebangkitan Komunisme diikuti oleh kebangkitan ‘ideologi radikal kanan’ lawannya, Darul Islam (aktivitas NII). Aktivis NII yang selama Orde Baru berkuasa bergerilya politik di bawah tanah (underground movement) menggugat wacana sejarah Orde Baru yang amat memojokkan perjuangan ‘suci’ Darul Islam. Sejarah DI, dalam perspektif mereka, tidak seburuk yang dikonstruksikan Orde Baru. Gerakan Darul Islam sesungguhnya tidak pernah ‘mati’, tetap survive. Kini terasa telah muncul usaha menawarkan ideologi DI sebagai wacana ideologi alternatif. Dan momentum politik saat ini dinilai paling tepat untuk itu.

IDEOLOGI DARUL ISLAM
Ideologi sesungguhnya tak pernah mati, apalagi ia bersumber pada ajaran agama-agama klasik seperti Islam. Dalam suatu kurun sejarah tertentu --karena ditindas penguasa politik-- bisa saja ideologi itu tenggelam, tapi suatu saat ia akan bangkit kembali manakala situasinya kondusif. Strategi ‘pagar betis’ TNI (1960-an) telah berhasil menumpas para pejuang DI. Pemimpinnya, S.M. Kartosoewirjo diekskusi mati, 1962. Tapi kematian para pejuang DI itu, bukan berarti ideologi Negara Islam yang mereka perjuangkan mati pula. Ideologi itu tetap survive hingga memasuki dekade 1980-an.
Apa latar belakang kebangkitan kembali ideologi DI, juga ideologi radikal kiri seperti Komunisme, saat ini? Mengapa sebagian kaum muda kita tertarik pada ideologi-ideologi radikal anti kemapanan itu? Apa daya tariknya?
Dari perspektif struktural, kebangkitan DI saat ini akibat struktural kekuasaan repressif Orde Baru selama berkuasa tiga dekade. Di bawah kekuasaan Orde Baru, ideologi negara Pancasila menjadi demikian repressif dan monolitik (monolithic ideo-logy). Penguasa Orde Baru mengklaim hanya Pancasila yang boleh hidup, sementara ideologi lain termasuk ideologi Negara Islam mesti dikubur dalam-dalam. DI diseja-jarkan dengan PKI dan Kartosoewirjo dengan Muso dan Aidit. Image DI pengkhianat dan pemberontak ditanamkan sedemikian rupa agar menimbulkan ketakutan kepada siapa pun yang ingin mengetahui --meski dalam bentuk kajian ilmiah-- apa sesungguhnya DI dan ajaran-ajaran Kartosoewirjo. Buku-buku DI dilarang, para penerbit atau mengedarnya dituduh subversif. Aktivis-aktivis DI ditangkapi dan pengadilan terhadap mereka diekspose di berbagai media massa.
Repressif politik Orde Baru meredam gerakan DI dan ideologinya itu memang efektif untuk jangka waktu tertentu. Namun, cara itu justru membangkitkan ingin tahu publik (curiousity) --khususnya anak-anak muda Muslim yang kritis dan enerjik-- tentang apa sesungguhnya DI itu dan mengapa ia dilarang, ditutup-tutupi. Maka, semakin pemerintah melarang dan merepressif DI, semakin kuat rasa ingin tahu mereka. Disadari atau tidak tindakan repressif penguasa Orde Baru justru membuat ideologi DI dan Kartosoewirjo semakin populer di kalangan aktivis-aktivis muda Islam. Mereka, melalui jalur-jalur khusus yang ‘rahasia’ --memperoleh karya-karya tentang DI dan karangan-karangan Kartosoewirjo. Dari sinilah rasa ketertarikan itu mendorong mereka kemudian terlibat dalam gerakan DI bawah tanah. Dalam konteks inilah ideologi DI sebagai ‘ideologi tandingan’ (counter ideology) dimunculkan. Gejala serupa juga terjadi di kalangan aktivis-aktivis gerakan kiri radikal. Jadi, struktur kekuasaan Orde Baru yang repressif dikehendaki atau tidak menyediakan lahan subur bagi bangkitnya ideologi-ideologi radikal itu.
Kegagalan ulama, kyai atau kaum intelektual Muslim menawarkan sebuah konseptualisasi ideologis bagi perubahan sosial merupakan unsur penting dalam membangkitkan semangat kaum muda mempelajari ideologi-ideologi radikal. Mereka kecewa dengan tokoh-tokoh agama yang seakan membiarkan maraknya kezaliman penguasa, penindasan, kemaksiatan, kesenjangan sosial. Di mata mereka ulama yang seharusnya memainkan ‘peran suci’ sebagai ‘pewaris perjuangan para Nabi (ulama’ warotsatu al anbiyaa) justru menjadi pendukung kekuasaan tiranik, koruptif dan zalim. Godaan kekuasaan membuat kaum ulama menjadi ulama as su’u. Bagi anak-anak muda itu, keadaan ini memuakkan dan harus dirubah. Bila perlu dilawan dengan kekerasan. Di sinilah motif perlawanan politik dan gejala radikalisasi muncul di kalangan anak-anak muda itu. Salahkah mereka? Tidaklah arif menimpakan seluruh ‘kesalahan’ pada anak-anak muda yang sedang mencari jati diri itu. Nampaknya para ulama dan cendekiawan Muslim kita perlu intropeksi diri bahwa mereka telah gagal menawarkan wacana ideologi alternatif bagi anak-anak muda itu.
Anak-anak muda yang tertarik pada Marxisme, Komunisme atau Sosialisme Demokratis (democratic socialism) menjadikan Marx-Engels, Tan Malaka, Bung Karno, Che Guevarra, atau Antonio Gramci atau tokoh-tokoh teologi pembahasan (theologi of liberation) panutan. Dan kekaguman terhadap tokoh-tokoh itu melampaui batas-batas agama (trans agama). Di antara mereka sebagian beragama Islam, Kristen atau Khatolik. Karya para tokoh legendaris sejarah itu dijadikan sumber inspirasi, ideologi dan platform perjuangan mereka. Anak-anak (mahasiswa) Muslim yang memiliki kecenderungan ‘radikal’ serta terlibat dalam kelompok diskusi Islam di kampus, usrah, atau kegiatan tarbiyyah menemukan ‘sumber kekuatan spiritual dan ideologis’ dalam sosok Hasan Albana, Sayyid Qutb, Abul A’la Maududi, Mohammad Natsir atau S.M. Kartosoewirjo. Ada juga yang mengagumi Dr. Ali Syariati, ideolog dan arsitek Revolusi Islam Iran. Sebagian mereka juga mengagumi pemikir-pemikir Islam ‘moderat’ seperti Nurcholish Madjid atau Amien Rais.
Idealisasi terhadap Kartosoewirjo semakin diperkuat oleh proses sosiologis yang berlangsung selama Orde Baru. Modernisasi --sebagai prasyarat pelaksanaan ideologi developmentalisme (ideology of developmentalism)-- telah menyebabkan disorientasi kehidupan keagamaan, dan meretakkan ikatan-ikatan persaudaraan dalam struktur kehidupan Muslim Indonesia. Ukhuwah Islamiyah yang intinya, meminjam Emile Durkheim, solidaritas organis digantikan oleh solidaritas mekanis. Semangat kolektif digantikan individualisme. Manusia menjadi egois dengan dirinya. Kehausan spiritual pun menggejala, khususnya di kalangan kaum muda terpelajar di kampus-kampus. Mereka frustasi dengan ideologi sekuler --sebagai bagian dari modernitas-- dan meng-anggapnya sebagai bencana bagi kemanusiaan dan penyebab degradasi kehidupan spiritual.
Mereka mengalami kehausan spiritual, lalu mencari jalan yang bisa memuaskan dahaga spiritual itu. Dalam proses pencarian itulah sebagian mereka menemukan ‘air penyejuk’ kehausan spiritualisme dengan memasuki perkumpulan Jama’ah Tabligh atau sejenisnya yang banyak tersebar di kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung dan Surabaya. Sebagian lainnya menemukan ‘air penyejuk kedahagaan spiritual’ itu dalam ajaran-ajaran S.M. Kartosoewirjo, tokoh utama Darul Islam. Dengan memasuki kelompok pergerakan ini mereka merebut kembali kehangatan persaudaraan sesama Muslim, kesatuan jama’ah dan menemukan wadah yang pas untuk mengeks-presikan makna-makna simbolik politik Islam. Alasan ini misalnya yang melatari keter-libatan Al Chaidar dalam gerakan DI. Dalam wawancaranya dengan Aliansi Keadilan, ia mengatakan, “Saya memang merasa haus belajar Islam karena suasana kampus itu sangat sekuler dan sangat individualis. Jadi, hati saya kosong dan kering. Maka saya merasa harus belajar Islam, tapi harus Islam yang berpolitik, biar tidak tanggung. Saya malas belajar Islam kalau bukan Islam yang berpolitik.”
Keterlibatan anak-anak muda dalam gerakan DI juga disebabkan ideologi dan ajaran-ajaran Kartosoewirjo memiliki daya pikat kuat. Ini salah satu kunci untuk mema-hami mengapa gerakan DI mampu bertahan selama puluhan tahun. Daya pikat itu terletak pada:
Pertama, kemampuan Kartosoewirjo mengartikulasikan gagasan-gagasan Islam yang langsung diambil dari sumber utama Islam, Al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Tampaknya ia juga menguasai khasanah sejarah (tarikh) periode Islam klasik. Perpaduan analisa tekstual-skripturalis dengan analisa historis yang dikemu-kakan dalam karya-karyanya memiliki daya tarik kuat khususnya bagi mereka yang terobsesi untuk ‘kembali kepada Al-Qur`an dan Sunnah Nabi’ dan perjuangan mene-gakkan Islam ‘kaffah’ (sempurna).
Kedua, image Kartosoewirjo sebagai ‘pembela’ kaum dhu’afa (mustadh’afien, tertindas) menjadi daya tarik lain mengapa kaum muda terpikat pada DI. Ideologi DI yang Kartosoewirjo memiliki andil penting merumuskannya, menunjukkan keberpihakan kuat pada kaum tertindas ini (Buktinya? Lihat kutipan idiom-idiom Al-Qur`an tentang dhu’afa dalam Sikap Hidjrah PSII). Image keberpihakan itu diperkuat oleh kehidupan sehari-hari Kartosoewirjo yang sederhana. Jauh dari kemewahan. Bila tokoh-tokoh ‘nasionalis sekuler’ banyak menghabiskan waktu mereka dengan berdansa-dansi, minum khamar --sebagaimana kolonialis Belanda yang dimusuhinya-- maka Kartosoewirjo mengha-biskan waktunya di Insitute Suffah, di pedesaan Malangbong Tasikmalaya (Jawa Barat). Di tempat itu ia memasuki dunia tasawuf, mistisisme Islam.
Dalam soal keberpihakan DI terhadap kaum tertindas ideologinya memiliki ‘kemiripan’ dengan ideologi Marxis (Marxisme). Marxisme memiliki daya pikat kuat bagi kaum tertindas (istilah Marxis: kaum proletariat). Di mata kaum marxis, Karl Marx (1818-1885) adalah ‘Nabi kaum tertindas’ (Prophet of the Proletariat). Di masa jayanya PKI (1950-1965) pelecehan terhadap Marx membangkitkan kemarahan kaum komunis, sama seperti kemarahan umat beragama manakala seorang nabinya dilecehkan.
Ketiga, janji-janji dan harapan-harapan messianistik yang ditawarkannya kepada generasi muda Islam. Ideologi DI menjadikan bahwa keterlibatan dalam aktivitas DI dan perjuangan demi DI kelak memberikan ‘penyelamatan’ manusia. Bila tidak di dunia ini, maka ‘penyelamatan’ itu kelak akan diperoleh di akhirat. Pengorbanan apa pun yang diberikan untuk perjuangan DI tak pernah sia-sia. Kematian akibat perjuangan DI dijanjikan memperoleh kesyahidan (martyrdom) dan membawa seseorang ke surga yang penuh kenikmatan. Ideologi inilah yang menyebabkan banyak anggota DI yang tahan menghadapi siksaan dan penderitaan. Di sini terletak salah satu kekuatan ajaran DI yang tidak mudah dipatahkan.
Keempat, daya pikat ideologi DI juga terletak pada wataknya yang romantis. DI merupakan sebuah gerakan revolusioner yang berupaya menghidupkan kembali romantisme Islam zaman Rasulullah Muhammad SAW. DI merupakan sebuah simboli-sasi ‘glorification of the past’. Di kalangan aktivis DI, ajaran-ajaran Kartosoewirjo memberikan --meminjam istilah Holk H. Dengel-- ‘angan-angan’ akan kejayaan Islam masa lampau, khususnya di zaman Nabi Muhammad. Perjuangan DI berupaya mewu-judkan kembali kejayaan masa lampau Islam itu dalam konteks dunia (modern) masa kini. Romantisme secara emosional memang memikat, karena ia melahirkan gairah untuk perjuangan membela cita-cita.
Kelima, sebagaimana Marxisme, ideologi DI merupakan ideologi monolitik (monolithic ideology). Sebagai ideologi monolistik, ideologi DI meyakinkan para penganutnya akan kemampuannya sebagai ‘alat penjelasan’ terhadap apa pun persoalan hidup manusia. Tidak hanya persoalan dunia, tapi juga akhirat. Segala persoalan hidup manusia di dunia dan akhirat seakan ada jawabannya dalam ideologi itu. Dan, dalam kehidupan spiritual manusia modern yang mengalami kegamangan, ketidak berdayaan menghadapi masa depan yang tidak pasti, dan ‘kekeringan jiwa’ ideologi monolistik seperti itu berdaya pikat luar biasa. Inilah faktor-faktor yang membuat ideologi DI dan Kartosoewirjo memiliki daya tarik.

KARTOSOEWIRJO: BIOGRAFI POLITIK INTELEKTUAL
Sampai saat ini biografi Kartosoewirjo tetap merupakan ‘misteri’ sejarah. Siapa sesungguhnya Kartosoewirjo? Bagaimana tokoh ini menapaki jalan kehidupan intelektual, spiritual dan politiknya ketika hidup? Mengapa akhir kehidupan tokoh ini tragis, mati ditembak seperti ‘anak-anak revolusi’ Indonesia lainnya? Selama Orde Baru biografi Kartosoewirjo, seperti juga biografi Mohammad Natsir, Syafruddin Prawira-negara, Isa Anshary, Tan Malaka, Syahrir, Bung Karno dan Jenderal Sudirman seakan dihalangi dinding-dinding tebal wacana sejarah formal. Ada semacam kesengajaan untuk menyembunyikan peran-peran historis mereka dengan tujuan politis melanggengkan kekuasaan.
Ini berakibat buruk. Angkatan muda Indonesia saat ini yang nota bene tidak pernah mengalami pahit getirnya dinamika politik zaman Revolusi, Demokrasi Parlementer, dan Orde Lama, kurang atau bahkan tidak mengenal sama sekali tokoh-tokoh sejarah bangsa mereka sendiri. Mereka tidak mengenal secara objektif sisi ‘plus-minus’ peran historis dan jasa-jasa tokoh-tokoh sejarah itu. Bila demikian, bagaimana mungkin bangsa ini bisa belajar dari kesalahan atau kearifan mereka di masa lampau? Bagaimana mungkin bangsa ini menghargai jasa-jasa pahlawannya bila mereka tak dikenal? Padahal, seperti dikatakan Bung Karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya.”
Yang berkembang kemudian, yang justru diyakini sebagai kebenaran sejarah, adalah mitologisasi sosok mereka. Mitologisasi itu misalnya terjadi dalam sosok Bung Karno. Cerita-cerita sejarah tentang Bung Karno berkembang penuh mitos yang kebenarannya sukar dipertanggungjawabkan secara akademis. Anak-anak muda kita mengidolakan Bung Karno tanpa pemikiran kritis. Dinding-dinding mitos di sekitar tokoh ini tentu perlu di ‘sobek’, agar sosok tokoh sejarah itu nampak sebagaimana adanya (as it is). Biografi dan sejarah Bung Karno perlu didekonstruksi, sekaligus direkonstruksi.
Ketokohan Kartosoewirjo juga diliputi mitos dan manipulasi sejarah. Di masa Orde Baru karakter tokoh ini dimanipulasi dan dimitoskan, sehingga yang tampil di hadapan kita adalah Kartosoewirjo ‘pemberontak’, pengkhianat bangsa dan musuh negara jauh dari apa yang digambarkan Hiroko Horikoshi yang menilai tokoh ini sebagai pejuang anti penindasan kolonial, berjasa membendung Komunisme di zaman pergerakan nasional dan pejuang keadilan. Lukisan ‘distortif’ tentang Kartosoewirjo itu diindoktrinasi selama Orde Baru melalui berbagai penataran P4 (Pedoman, Peng-hayatan, Pengamalan Pancasila) dan pelajaran sekolah dari SD hingga SMU. Hal serupa dilakukan dalam pendidikan-pendidikan militer tingkat SESKO ABRI. Sisi-sisi positif kehidupan pribadi dan politiknya nyaris tidak akan ditemukan dalam buku-buku sejarah formal Orde Baru.
Dalam hal ini Orde Baru berhasil mensosialisasikan kebohongan sejarah untuk waktu relatif lama. Biografi Kartosoewirjo oleh karena itu perlu didekonstruksi. Peran-peran historisnya, terutama pra-gerakan DI (1949) perlu dikaji secara akademis, jujur dan objektif. Tanpa campur tangan kepentingan kekuasaan. Kartosoewirjo harus dilihat sebagai manusia yang memiliki kelebihan, sekaligus kelemahan. Sama seperti kita melihat sosok Bung Karno. Hanya dengan cara itulah kita bisa jujur pada sejarah. Saya kira dengan cara itulah generasi muda Indonesia akan mampu menempatkan ketokohan Kartosoewirjo dalam spektrum wacana sejarah yang adil dan objektif. Lepas dari bias-bias kepentingan politik. Dan dengan cara itu pula bangsa kita belajar semakin dewasa dalam menatap sejarah masa lampau.
Dekonstruksi sejarah dan biografi Kartosoewirjo dilakukan dengan menggali beberapa topik berikut. Pertama, bagaimana sesungguhnya peran Kartosoewirjo di zaman Kolonial, pergerakan nasional sebelum Indonesia merdeka? Apa makna historis keberadaannya dalam perjuangan melawan penjajahan? Kedua, dengan maksud dan tujuan apakah Kartosoewirjo membentuk DI? Mengapa ia memberontak terhadap pemerintahan Bung Karno? Apa motif sosial-ekonomi, militer dan ideologis yang melatari pemberontakannya? Adakah ia merasa dikhianati oleh Republik, ataukah karena wataknya yang tidak kompromistis? Mengapa kemudian ia menggunakan cara kekerasan (dengan membentuk Tentara Islam Indonesia/TII) untuk membentuk Negara Islam? Faktor-faktor apakah yang menyebabkan gerakan yang dipimpinnya mampu bertahan untuk jangka waktu relatif lama?
Jawaban-jawaban jujur dan objektif terhadap pertanyaan itu akan mampu memberikan gambaran yang lebih jernih tentang sosok sesungguhnya Kartosoewirjo. Untuk sampai kepada penjelasan-penjelasan historis yang objektif itu tentu diperlukan berbagai persyaratan tehnik-metodologis. Dua di antaranya adalah tersedianya data-data primair seperti tulisan, karya atau pidato-pidato Kartosoewirjo. Data primair ini sangat penting dalam kajian biografis karena mampu memberikan gambaran pemikiran Kartosoewirjo langsung dengan menggali sumber pertama. Sayangnya, tulisan-tulisan Kartosoewirjo sukar diperoleh. Peneliti serius mungkin dapat memperolehnya di perpustakaan luar negeri, seperti perpustakaan Leiden (Belanda), Monash University, Australian National University (Australia), Cornell University (Ithaca, AS), atau Library Congress (Washington DC, AS).
Diperlukan juga sejarawan biografi profesional yang benar-benar mumpuni melacak kehidupan pribadi tokoh sejarah. Namun di sinilah letak kelemahan dunia akademik kita selama ini. Kita belum memiliki, kalau pun ada jumlahnya amat terbatas, sejarawan ahli biografi itu. Dunia akademik barat telah lama memiliki sejarawan yang mengkhu-suskan kajiannya pada biografi tokoh-tokoh sejarah. Rudolf Mrazeck misalnya yang mengkaji biografi Tan Malaka dan Sutan Syahrir. Karya Mrazeck tentang Tan Malaka menarik dilihat dari perspektif kultural dan psikoanalisa yang dipakainya untuk memahami dinamika pemikiran dan tingkah laku kedua tokoh itu. Riwayat hidup Tan Malaka ibarat cerita detektif, penuh kisah dramatis. Dia juga tokoh unik dan misterius. Mungkin karena alasan ini Mrazeck tertarik mengkaji biografinya.
Biografi Kartosoewirjo, saya kira tidak kalah menariknya dengan Tan Malaka, Syahrir, atau juga Bung Karno. Liku-liku dan perjuangan hidup Kartosoewirjo unik, dramatis, penuh ‘misteri’. Kartosoewirjo, meminjam Herbert Marcuse, bukan ‘manusia satu dimensi’ (one dimensional man) yang melulu bergulat dengan wacana teoritis yang abstrak. Dia juga seorang aktivis politik yang bergulat dengan dunia praxis dan menjadi bagian darinya. Karier semasa hidup membuktikan hal itu; Kartosoewirjo menjadi teoritisi dan politikus (PSII dan Masyumi, era 1920-an - pertengahan 1940-an), mistikus, wartawan, dan iman gerilyawan DI TII.
Kartosoewirjo adalah tokoh gerilyawan legendaris. Tidak berlebihan menyebut reputasinya sebagai gerilyawan jauh di atas tokoh Falintil, Xanana Gusmao. Ia mungkin setara dengan Che Guevarra, gerilyawan dan teoritisi Marxis terkemuka Amerika Latin. Atau setara dengan Nur Misuari, gerilyawan MNLF (Moro National Liberation Front). Belasan tahun lamanya Kartosoewirjo bersama pengikutnya tetap survive bergerilya di belantara hutan-hutan pegunungan Jawa Barat. Dalam keadaan sakit parah pun, sama seperti almarhum Panglima Besar Jenderal Sudirman, gerilya itu tetap dilakukannya.
Banyak persoalan di sekitar kehidupan pribadinya sejak remaja, masa pendudukan Jepang, zaman revolusi hingga detik-detik terakhir kehidupannya masih menjadi ‘teka-teki’ sampai saat ini. Sejarawan telah mengungkap sebagian perjalanan hidupnya. Namun, sejauh penelitian yang telah dilakukan mereka, tetap saja masih banyak ‘misteri’ kehidupan Kartosoewirjo yang tetap menuntut kejelasan.
Kartosoewirjo dilahirkan 7 Januari 1907 di Cepu, perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ayahnya seorang makelar candu di desa Pamotan, Rembang. Melihat pekerjaan ayahnya, jelas Kartosoewirjo bukanlah dilahirkan dalam keluarga santri, tapi keluarga abangan atau priyayi. Yang pasti keluarganya termasuk keluarga terpandang di masa itu. Ini dibuktikan dengan kemampuan keluarganya menyekolahkan Kartosoewirjo ke sekolah Belanda. Mengenai struktur nasabnya, Kartosoewirjo pernah menyebarkan desas-desus dirinya ‘berdarah biru’, keturunan Aryo Jipang, seorang cucu Raden Patah sang penakluk kerajaan Hindu Majapahit.
Pada usia 6 tahun ia masuk SR (Sekolah Rakyat), sekolah yang khusus bagi pribumi di Pamotan. Kartosoewirjo belajar hanya sampai kelas IV di SR itu, karena kemudian pindah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Tahun 1919 orang tuanya pindah ke Bojonegoro, maka Kartosoewirjo pun pindah sekolah. Oleh orang tuanya ia dimasukkan ke ELS (Europeesche Leger School). Semasa di Bojonegoro inilah ia belajar Islam pada Notodihardjo. Inilah satu-satunya pendidikan agama yang diperoleh Kartosoewirjo di masa kanak-kanak dan remajanya. Kartosoewirjo tidak pernah memasuki sistem pendidikan Islam seperti pesantren yang banyak terdapat di Jawa Timur. Kartosoewirjo, seperti Soekarno, adalah seorang otodidak. Pengetahuannya tentang Islam sangat mungkin diperolehnya melalui buku-buku agama (berbahasa Belanda dan Inggris) atau diskusi dengan pemimpin-pemimpin politik Islam seperti H.O.S. Tjokroaminoto dan H. Agus Salim.
Setelah lulus dari ELS (1923) Kartosoewirjo masuk Sekolah Kedokteran NIAS (Nederlandsche Indische Artsen School). Pendidikannya di NIAS tidak diselesaikannya karena ia diberhentikan (drop out) akibat menyimpan buku-buku Marxis-Komunis, 1927. Di mana itu (1926-1927) pemerintah kolonial Belanda sedang gencar-gencarnya memburu orang-orang komunis yang dianggap terlibat dalam pemberontakan PKI. Sebagian komunis yang tertangkap dipenjarakan, disiksa atau dibuang ke Boven Digoel. Siapa pun yang kedapatan menyebarkan ideologi Marxis-Komunis ditangkap. Maka sangat beralasan bila pihak sekolah NIAS menghukum Kartosoewirjo dengan mengeluarkannya dari sekolah tersebut. Berhenti dari sekolah, bukanlah akhir proses belajar otodidaknya. Sistem pendidikan kolonial yang sempat digelutinya memberi-kannya bekal yang relatif cukup untuk menjelajahi berbagai pemikiran dan filsafat politik yang berkembang pada zaman itu, antara lain Marxisme.
Kartosoewirjo mempelajari (menyimpan) karya-karya Marxis? Dari mana ia memperoleh tulisan-tulisan itu? Kartosoewirjo mempunyai seorang paman bernama Marko Kartodikromo, tokoh komunis (PKI) seangkatan dengan Alimin, Tan Malaka, Semaun dan Darsono. Marko inilah yang memberikan buku-buku itu kepada Kartosoewirjo . Juga melalui pamannya inilah Kartosoewirjo tertarik pada Marxisme. Tetapi, kenapa ia tertarik? Tampaknya Marxisme (dan Komunisme) di zaman itu merupa-kan sebuah ideologi anti kolonialisme-imperialisme dan berpihak kepada rakyat tertindas. Inilah yang menjadi daya tarik Marxisme-Komunisme bagi kaum pergerakan ketika itu. Maka, tidak terlalu mengejutkan bila banyak tokoh pergerakan --termasuk yang beragama Islam-- yang mempelajari dan terinspirasi ideologi itu (terutama Marxisme). Di antara tokoh pergerakan itu antara lain: Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Syahrir, Haji Misbach dan Kartosoewirjo.
Bila ini diakui keabsahannya, maka terbuka kemungkinan radikalisme Kartosoe-wirjo dan semangat anti kolonialisme-imperialismenya di masa remajanya produk interaksi intelektualnya yang intensif dengan pemikiran-pemikiran Marxis. Ini bisa dimengerti mengingat akses Kartosoewirjo terhadap pemikiran atau ideologi Islam amat terbatas. Pendidikan agamanya, sebagaimana dikatakan di atas, juga terbatas. Ini barulah sebuah hipotesis yang perlu diteliti lebih jauh. Tapi tidak tertutup kemungkinan pula Kartosoewirjo mengalami radikalisasi akibat persentuhan dirinya dengan gagasan-gagasan Pan Islamisme Al-Afghani yang di masa itu cukup berpengaruh terhadap tokoh-tokoh pergerakan Islam. Situasi revolusioner, khususnya menjelang pemberontakan 1926-1927 juga telah membentuk wataknya menjadi radikalis.
Kartosoewirjo diusia remaja tidak seperti Natsir atau K.H. Agus Salim --tidak menguasai bahasa Arab yang amat vital bagi usaha memahami pemikiran Islam. Dalam soal ini, Kartosoewirjo tidak banyak berbeda dengan Soekarno. Interaksi pemikiran Kartosoewirjo paling intensif terjadi ketika belajar Islam dari Ajengan Ardiwisastra di Malangbong (Tasikmalaya, Jawa Barat).
Lalu, salahkah Kartosoewirjo, seperti juga Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syahrir dan lain-lain mengadopsi pemikiran-pemikiran Marxis? Saya kira tidak juga. Karena pertama, mereka adalah sebagian dari produk sistem pendidikan kolonial. Dalam sistem pendidikan kolonial, guru-guru Belanda yang mendidik tokoh-tokoh itu sebagian bersemangat marxis-humanis dan liberal. Mereka inilah yang mempengaruhi anak-anak didiknya seperti Soekarno, Syahrir, atau Hatta.
Kedua, di zaman itu bangsa kita membutuhkan sebuah ideologi perlawanan terhadap kolonialisme-imperialisme. Kekejaman penjajahan mesti di ‘sobek’, dan itu hanya mungkin dilakukan oleh gerakan-gerakan ideologis radikal seperti Marxisme. Ketiga, struktur sosial mengalami proses ideologisasi dalam skala pasif. Berbagai aspek kehidupan sosial, politik dan agama mengalami ideologisasi. Oleh karena itu, sejarawan Kuntowijoyo menyebut zaman itu (dekade pertama abad XX), ‘fase ideologi.’ Dalam konteks historis itulah pengadopsian Marxisme mesti dipahami. Dalam perspektif mereka Marxisme menyediakan suatu basis ideologis bagi perlawanan itu. Di mana itu, bahkan berkembang anggapan bahwa Marxisme-Komunisme tidak bertentangan dengan Islam karena keduanya sama-sama berpihak kepada kaum tertindas dan anti kolonialisme-imperialisme. Penganut pandangan ini antara lain Soekarno dan Haji Misbach.
Di sinilah saya kira perbedaan menyolok antara Kartosoewirjo dengan Natsir misalnya. Sama seperti patriot bangsa lainnya, Natsir juga anti kolonialisme-impe-rialisme. Namun wataknya yang demikian lebih terinspirasikan oleh Islam, ketimbang Marxisme. Natsir sejak kanak-kanak telah belajar Islam di surau dan beranjak remaja dididik tokoh-tokoh Islam seperti Ahmad Hasan, radikalis Persis (Persatuan Islam) dan Haji Agus Salim. Bagi Natsir, Islam adalah agama anti penindasan yang menolak ekploitasi manusia oleh manusia (L’exploitation de L’homme par L’homme). Bila benar radikalisme Kartosoewirjo terinspirasikan oleh Marxisme maka persoalannya kemudian adalah bagaimana tokoh ini bisa memilah Marxisme sebagai ideologi perlawanan (ideologi of protest) dan pada saat yang sama membuang jauh-jauh ‘unsur-unsur ateistik’ dalam ajaran-ajaran Marx itu? Persoalan ini patut dikaji sejarawan biografi.
Kecenderungan Kartosoewirjo pada kegiatan organisasi sudah mulai nampak tatkala memasuki Jong Java, Jong Islamieten Bond (JIB) dan kemudian PSII. Dalam waktu relatif singkat Kartosoewirjo telah menunjukkan kemampuannya memimpin. Tidak terlalu mengejutkan bila tokoh Sarekat Islam H.O.S. Tjokroaminoto kemudian mengangkatnya menjadi sekretaris pribadinya. Sebagai sekretaris Tjokroaminoto, Kartosoewirjo jelas memiliki tempat tersendiri di hati tokoh puncak Sarekat Islam itu. Dalam hubungan dekatnya dengan Tjokroaminoto itulah nampaknya Kartosoewirjo belajar banyak tentang Islam, metode organisasi, berkomunikasi dengan massa dan membangun kekuatan umat. Dan di masa ini pula ‘sosok Islam ideologis’ Kartosoe-wirjo mulai terbentuk. Ia mulai mendambakan lahirnya Negara Islam dan masyarakat Islam ideal di Indonesia suatu saat kelak. Juga di rumah Tjokroaminoto (Cimahi, Bandung) untuk pertama kalinya Kartosoewirjo berkenalan dengan Soekarno yang ketika itu telah menjadi ketua PNI. Interaksi Soekarno dengan Kartosoewirjo di rumah Tjokroaminoto masa itu tentu merupakan peristiwa sejarah menarik yang patut diteliti sejarawan.
Dalam usia 20 tahun (1927), Kartosoewirjo menjadi wartawan surat kabar Fadjar Asia mulai dari bawah sebagai korektor dan reporter. Dalam waktu 16 bulan kemudian ia diangkat sebagai wakil pemimpin redaksi dan kuasa usaha. Ini prestasi cukup mengesankan ketika itu. Dalam fase kehidupan jurnalistik inilah Kartosoewirjo mengembangkan kemampuan artikulasi gagasan-gagasannya. Fadjar Asia wadah pa-ling tepat untuk itu. Dalam Fadjar Asia itulah tulisan-tulisannya ‘mengalir’ bak air terjun.
Gagasan-gagasan radikal Kartosoewirjo mulai nampak dalam artikel-artikel Fadjar Asia itu. Ia menentang para bangsawan Jawa (kaum priyayi) yang bekerja sama dengan pemerintahan Belanda. Pembelaannya terhadap kaum tertindas, petani kecil dan buruh-buruh juga dikemukakan. Ketika para petani kecil di Lampung diusir dari tanah miliknya oleh ‘kapitalis asing’, Kartosoewirjo menulis: “Orang-orang Lampung dipandang dan diperlakukan sebagai monyet belaka, ialah monyet yang diusir dari sebatang pohon ke sebatang pohon lainnya.” Dikecamnya Volksraad yang tidak melindungi dan berpihak kepada rakyat serta ‘hanya omong kosong belaka.’ Kepada kaum buruh ia menyerukan melawan para penindasnya: “Jangan berkeluh kesah, jangan meminta-minta! Jangan tinggal diam saja! Kalau takut mati jangan hidup! Kalau hendak hidup janganlah takut mati!” Dalam tulisannya yang lain ia mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia hanya bisa diperoleh dengan pengorbanan: “Sebab kemerdekaan tanah air itu tidaklah sedikit harganya, yang oleh karenanya harganya, tentu bakal memakan korban luar biasa.”
Kepada kaum abangan dan PNI Soekarno yang menyerang Islam, reaksi Kartosoewirjo lebih keras lagi. Mengetahui Parada Harahap --ketua redaksi Bintang Timoer-- menghina Islam, Kartosoewirjo menulis: “Si Parada Harahap menjilat-jilat pantat dan mencari muka kaum Nasionalis (PNI). Menjilat pantat dan mencari muka, karena ia perlu akan hal itu sebab boleh jadi Parada Harahap takut kalau ia lantaran berbuat berkhianat terhadap kepada bangsa dan tanah air -mendapat kemplangan di arah kepalanya, sehingga boleh jadi ia menjadi tidak sadar kalau tidak mampus sama sekali.” Kartosoewirjo juga menjuluki Parada Harahap ‘Penjual Bangsa Indonesia’, dan ‘Binatang Tikus dari Krekot.’
Dalam dekade 1930-an peran politik Sarekat Islam semakin menurun akibat wafatnya Tjokroaminoto (1934), krisis keuangan, munculnya golongan nasionalis sekuler (PNI Soekarno), dan konflik internal antara kubu kooperatif versus non-kooperatif. Sebelumnya SI dilanda konflik antara ‘SI Merah versus SI Putih?’ Dalam pergolakan di tubuh SI itu, Kartosoewirjo bersama Abikoesno Tjokrosoejoso berpihak ke kubu ‘SI Putih’ dan kubu non-kooperatif. Di masa ini Kartosoewirjo memainkan peran politiknya yang strategis dalam Sarekat Islam. Ia seakan menjadi ‘pemimpin politik bayangan’ yang menggantikan Tjokroaminoto. ‘Peran sentral’ tampak dari per-mintaan organisasi agar Kartosoewirjo menulis Brosur Sikap Hidjrah PSII yang dapat dijadikan landasan ideologis perjuangan PSII. Sikap Hidjrah PSII merupakan master-pice, salah satu karya tulis terbaik Kartosoewirjo.
Dalam tulisan itu Kartosoewirjo membahas fase-fase perjuangan Islam PSII, kewajiban jihad dan hijrah dan konsolidasi kekuatan Islam. Secara kreatif-inovatif ia menganalogikan Indonesia sebagai Makkah yang harus ditransformasikan menjadi Madinah. Makkah dan Madinah bermakna simbolik, yang pertama bermakna negara kafir (jahiliyah) dan yang kedua Negara Islam. Menegakkan negara berdasar Islam menurutnya adalah bagian dari upaya umat Islam mengikuti sunnah (tradisi) Rasulullah Muhammad SAW. Di sini Kartosoewirjo mendemonstrasikan secara piawai pengeta-huannya mengenai tarikh klasik Islam, tafsir Al-Qur`an dan strategi perjuangan mene-gakkan Islam.

DI : ANGAN-ANGAN KEKUASAAN POLITIK ISLAM
Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Proklamasi merupakan ekspresi simbolik tegaknya Indonesia sebagai sebuah negara bangsa yang berdaulat penuh, otonom. Indonesia memasuki fase paska kolonialisme. Tidak semua pejuang kemerdekaan sepakat dengan proklamasi itu. Tokoh-tokoh ber-ideologi komunis (PKI) seperti Muso dan Amir Syarifuddin menolak negara Republik Soekarno. Mereka berontak, dan meletuslah peristiwa Madiun (1948). Pemberontakan gagal, dan keduanya ditembak mati.
Kartosoewirjo pada awalnya tidak bersikap antagonistik terhadap RI. Tapi kekecewaan demi kekecewaan yang dialami Kartosoewirjo dan pengikut-pengikutnya menyangkut berbagai sektor sosial, ekonomi, politik, militer, agama dan psikologis mengubah keadaan itu. Ia membentuk Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan melakukan perlawanan frontal terhadap RI. Jadi, pemberontakan Kartosoewirjo bukanlah suatu peristiwa politik yang berdiri sendiri lepas dari konteksnya. Maka, tidak-lah adil menilai Kartosoewirjo dan DI sebagai pemberontak tanpa menganalisis sebab-sebab yang melatarinya.
Awal kekecewaan Kartosoewirjo, dan saya kira juga banyak faksi-faksi politik Islam, adalah ketika ‘tujuh kata’ dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dicoret oleh Hatta tidak lama setelah teks proklamasi dibacakan. Peristiwa pencoretan itu merupakan ‘pukulan telak’ (KO, Knock out) bagi umat Islam yang sejak zaman penjajahan Belanda mendambakan diberlakukannya syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam pan-dangan Kartosoewirjo pencoretan itu merupakan awal kekalahan politik Islam berha-dapan dengan golongan nasionalis sekuler di saat negara Indonesia baru saja dilahirkan. Benih-benih perlawanan terhadap RI pun mulai tumbuh.
Kekecewaan lain menyusul. Paska perjanjian Renville (1948), semua kekuatan gerilya TNI yang berada di kantong-kantong pertahanan Jawa Barat diwajibkan hijrah (mengungsi) ke Yogyakarta. Ibu Kota negara pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Bagi para pejuang DI hal itu mengecewakan tidak hanya karena menunjukkan sikap kompro-mistis RI dan TNI kepada pihak Belanda, tapi juga membiarkan rakyat Jawa Barat tidak terproteksi. Hijrah TNI ini dianggap ‘penghianatan’ yang kemudian membang-kitkan amarah rakyat Jawa Barat. Apalagi yang mengungsi itu adalah Divisi Siliwangi, tentara kebanggaan rakyat Jawa Barat. Kartosoewirjo dan laskar bersenjatanya menolak hijrah ke Yogyakarta dan tetap bertahan di kantong-kantong gerilya di hutan-hutan Jawa Barat. Dari sinilah awal munculnya simpati rakyat Jawa Barat terhadap perjuangan heroik-patriotik Kartosoewirjo dan DI. Apalagi selama itu Kartosoewirjo dikenal sangat tidak kompromistis terhadap Belanda, khususnya menyangkut eksistensi Negara Pasundan.
Natsir, ketika itu menteri penerangan mengomentari hijrah TNI: “Hubungan kami dengan Kartosoewirjo pada masa sebelumnya rapat sekali. Bung Hatta juga selalu berhubungan dengannya. Soalnya, Persetujuan Renville telah mengusir TNI “hijrah” dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. Orang-orang Jawa Barat merasa ditinggalkan dalam perjuangan. Waktu itu Kartosoewirjo pulang balik ke Yogyakarta dan langsung menemui Bung Hatta. Bung Hatta memberi bantuan supaya Kartosoewirjo bisa sedikit mendi-nginkan orang-orang Jawa Barat yang merasa ditinggalkan Republik.” Menurut pengakuan Natsir, tidak hanya Kartosoewirjo dan rakyat Jawa Barat yang kecewa dengan hijrah TNI itu. Bung Hatta juga sedih Perjanjian Renville menyebabkan Jawa Barat di-tinggalkan TNI. Hatta menilai hijrah TNI akibat ulah Perdana Menteri Amir Syarifuddin (PKI) yang tanpa pikir panjang menyerahkan Jawa Barat begitu saja kepada Belanda.
Merasa posisinya semakin kuat pada 7 Agustus 1949 Kartosoewirjo memprokla-masikan Negara Islam Indonesia (NII) di Cisampah, daerah Cisayong (Jawa Barat) sebagai tandingan atas Negara Republik Indonesia. NII menjadi ‘negara dalam negara’. Negara bentukan Kartosoewirjo ini memiliki konstitusi (Qonun Azasi), struktur administratif dan birokrasi pemerintahan maupun angkatan bersenjata yang terlatih (Tentara Islam Indonesia/TII). Sejak awal kelahirannya NII telah menunjukkan keunggulannya sebagai negara berdasar agama di abad modern Indonesia. Sejauh yang saya ketahui tidak ada satu pun gerakan Islam Indonesia sejak kemerdekaan hingga saat ini yang mampu mengungguli struktur kenegaraan NII dan angkatan bersenjatanya.
Tidak semua pemimpin politik Islam ketika itu setuju dengan NII. Mohammad Natsir, tokoh puncak Partai Islam Masyumi misalnya menolak NII. Melalui surat yang dikirim melalui mantan gurunya di Persis, Ahmad Hassan, Natsir meminta Kartosoewirjo membatalkan proklamasi berdirinya NII. Namun ikhtiar Natsir sudah terlambat, sebab Kartosoewirjo telah memproklamasikan NII tiga hari sebelumnya.
Mengapa Natsir menolak NII? Bukanlah elite-elite partai Islam ketika itu, termasuk Masyumi, juga memiliki obsesi untuk mendirikan Negara Islam atau negara berdasar Islam? Dan mengapa DI bersikeras mendirikan NII? Penolakan elite-elite politik Islam itu antara lain karena umat Islam telah memiliki konsensus bersama bahwa persoalan genting yang harus segera diselesaikan bukanlah persoalan apa dan bagaimana bentuk negara Indonesia, tetapi bagaimana menghadapi agresi kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia. Dengan memproklamasikan NII berarti kekuatan umat Islam terpolarisasi. Di satu pihak memprioritaskan soal bentuk negara, sementara di pihak lain mempersiapkan diri untuk menghadapi agresi kolonial.
Antara Natsir dengan Kartosoewirjo juga terdapat pertikaian ideologis yang cukup tajam. Meski keduanya sama-sama Muslim ‘puritan’ dari segi akidah Islam, namun prilaku politik keduanya menunjukkan perbedaan yang cignifikan. Natsir adalah seorang politikus moderat, atau bahkan liberal seperti yang ditunjukkannya ketika menjadi Perdana Menteri (1950-1951). Dalam menyusun komposisi kabinetnya ia merekrut anggota kabinetnya tidak hanya berasal dari Masyumi atau partai-partai Islam tapi juga tokoh Partai Katolik seperti Kasimo atau tokoh Partai Sosialis Indonesia, seperti Soemitro Djoyohadikusumo. Sikap politik Natsir ini membedakannya secara tegas de-ngan Kartosoewirjo yang cenderung ekslusif. Kartosoewirjo mustahil merekrut golongan Katolik, kaum sosialis atau nasionalis sekuler menjadi ‘orang penting’ dalam struktur kenegaraan NII.
Meskipun terdapat perbedaan pandangan cukup tajam di antara keduanya, hubungan pribadi mereka tetap baik. Keadaan itu baru berubah setelah Natsir menjadi Perdana Menteri (1950-1951). Natsir, didukung tentara (Abdul Haris Nasution) meme-rintahkan agar memerangi Kartosoewirjo dan pengikut-pengikutnya. Di mata Natsir, gerakan Kartosoewirjo telah mengacaukan situasi keamanan nasional. Oleh karena itu harus segera diredam. Banyak tentara Islam Kartosoewirjo (TII) yang terbunuh dalam berbagai clash bersenjata itu. Peristiwa ini terus berlangsung hingga Kabinet Natsir jatuh dan digantikan oleh Kabinet Dr. Sukiman. Kartosoewirjo, sebagaimana dikatakan Natsir ketika itu berucap, “Dari sekarang, tidak ada lagi hubungan dengan RI.”
Perpecahan yang melanda umat Islam akibat perseteruan Natsir versus Karto-soewirjo itu menguntungkan PKI, musuh bebuyutan keduanya. Konflik Natsir versus Kartosoewirjo memberikan ‘angin segar’ bagi kekuatan komunis (PKI) mengon-solidasi diri. Apalagi ketika itu partai kiri ini telah membentuk jaringan aliansi khusus dengan kekuatan nasionalis sekuler, termasuk Soekarno. PKI memanfaatkan konflik internal kubu Islam untuk menyusun kekuatan di berbagai lapisan sosial khususnya lapisan bawah (graas root). Hasilnya kongkrit, PKI yang sempat dihancurkan paska peristiwa Madiun (1948) mulai bangkit kembali, dan dalam pemilu 1955 partai kiri ini berada di urutan keempat pemenang pemilu.
Mengapa Natsir bertarung dengan Kartosoewirjo? Siapa yang salah? Siapa yang benar? Kartosoewirjo memaksakan kehendaknya? Ataukah Natsir --demi memperta-hankan jabatannya sebagai Perdana Menteri-- ‘mengkhianati’ cita-cita kenegaraan Islam yang diperjuangkan Kartosoewirjo? Bagi angkatan muda Islam sekarang tidak terlalu penting siapa yang benar atau yang salah. Yang jelas pertarungan terbuka antara dua tokoh politik Islam itu amat merugikan Islam dan menguntungkan PKI.
Di benak mereka muncul berbagai pertanyaan mengapa hal itu harus terjadi. Apakah perbedaan-perbedaan visi, orientasi dan tujuan politik Natsir dan Kartosoewirjo sama sekali tidak memiliki ‘titik temu’ sehingga harus diselesaikan melalui clash bersenjata? Ataukah konteks historis saat itu tidak memungkinkan penyelesaian konflik secara damai, sehingga harus diselesaikan melalui jalan kekerasan? Pertarungan kedua tokoh umat itu menjadi warisan dan beban sejarah (historical burden) bagi generasi Islam masa kini dan mendatang. Perlu diratapi? Mungkin. Tapi pertarungan itu telah menyejarah. Angkatan muda Islam saat ini perlu mengambil hikmah dari peristiwa itu agar ikhtilaf (perbedaan visi dan misi politik) setajam apa pun di antara umat Islam tidak dieks-presikan dalam konflik bernuansa kekerasan.
Salahkah Kartosoewirjo dan DI menawarkan ideologi Negara Islam? Tentu saja tidak. Sah-sah saja karena pada masa paska kolonialisme, khususnya dekade 1950-an semua, kekuatan sosial politik (organisasi kemasyarakatan dan partai-partai politik) diberikan hak sama untuk menyuarakan aspirasi ideologis mereka, termasuk PKI. PKI berhak mempropagandakan Komunisme menjadi dasar negara. Demikianlah juga pen-dukung Pancasila, atau faksi Murba (Musyawarah Rakyat Banyak) yang memper-juangkan ideologi sosial ekonomi atau Masyumi dan DI yang memperjuangkan Islam. Menawarkan Islam menjadi dasar negara Indonesia --apalagi dalam forum resmi seperti Dewan Konstituante (1956-1959) dan alam kebebasan Demokrasi Parlementer-- bukanlah aib politik, apalagi sebuah ‘pengkhianatan’ dan pemberontakan. Hanya satu hal mesti dicamkan: perjuangan ideologis itu tidak boleh melanggar konstitusi. Semua pihak harus mematuhi ‘aturan main’ (rule of the game) yang disepakati bersama.
Di sinilah letak demokratisnya zaman Demokrasi Parlementer yang oleh Orde Baru diklaim sebagai masa-masa suram kehidupan politik Indonesia. Kebebasan benar-benar ditegakkan. Dan kebebasan politik masa itu berhasil mengantarkan bangsa ini ke pemilu pertama (1955) yang paling demokratis dalam sejarah Republik kita. Kita saat ini mestinya banyak belajar dari pengalaman-pengalaman historis masa itu. Dan umat Islam patut ‘bangga’ karena pemilu itu dilakukan di masa Kabinet Burhanuddin Harahap, seorang tokoh penting Masyumi. Saya katakan patut ‘bangga’ karena tidak terbayangkan apa yang terjadi seandainya pemilu itu dilaksanakan di masa kabinet yang dipimpin tokoh PKI.
Persaingan politik dan ideologis akan demokratis dan adil manakala masing-masing pihak yang bersaing menanggalkan cara-cara kekerasan untuk mencapai kemenangan. Sekali cara kekerasan dipakai, ketika itu persaingan yang demokratis pun mati. Keke-rasan akan melahirkan kekerasan pula. Inilah yang terjadi ketika Kartosoewirjo dan DI-nya memakai jalan kekerasan sebagai cara paling legitimate untuk mendirikan Negara Islam. Kartosoewirjo harus berhadapan dengan Natsir yang pada mulanya menolak jalan kekerasan. Namun akhirnya memakai kekerasan pula.
Apakah perbedaan perspektif mengenai apa sesungguhnya Negara Islam itu merupakan sumber konflik di antara pemimpin-pemimpin Islam? Mungkin juga. Sejak lama tidak ada kejelasan tentang persoalan eksistensi-fundamental ini. Dalam perspektif Kartosoewirjo Islam memiliki konsepsi negara yang sangat jelas. Islam adalah agama dan negara (ad dien wa ad daulah). Gagasan Negara Islam bukanlah wishful thinking, tapi sebuah kenyataan historis. Bukan sekedar teori politik normatif (normative political theory), tapi teori politik empiris (empirical political theory). ‘Negara Madinah’ zaman Nabi Muhammad SAW membuktikan hal itu. ‘Negara Islam’ memang ‘alat’ belaka, tapi sangat diperlukan demi terealisasinya syariat-syariat Islam. Di luar Negara Islam yang ada hanyalah negara thagut, sebuah pemaknaan simbolik Al-Qur`an bagi negara yang tidak didasarkan Islam.
Tidak semua tokoh-tokoh politik Islam di masa itu memiliki konsep negara yang sama seperti Kartosoewirjo. Tokoh Masyumi, Zainal Abidin Ahmad misalnya, menulis karya Membentuk Negara Islam (1956). Bila ditelaah, konsep Negara Islam versi Zainal tidak lain merupakan konsep kenegaraan barat yang dibungkus dengan wacana, idiom-idiom Islam. Jadi, konsep barat ‘berbaju’ Islam. Institusi-institusi politik Negara Islam (seperti DPR) yang dikemukakannya dalam buku itu nyaris tidak ada bedanya dengan institusi-institusi politik barat modern. Di sini letak perbedaan tajam konsep Zainal dengan Kartosoewirjo tentang Negara Islam. Beberapa tokoh Masyumi menegaskan bahwa partai Islam ini menghendaki masyarakat Islam (Islamic society). Kalaupun ada yang menghendaki Negara Islam dalam Masyumi, itu bukan kecende-rungan umum dalam partai Islam itu. Tokoh senior Masyumi, Mohammad Roem mengatakan bahwa dalam statuta dan anggaran dasar Masyumi tidak ditemukan satu pun kalimat yang menyebut Negara Islam. Yang ada, masyarakat Islam.
Konflik politik rupanya tidak hanya terjadi antara mereka yang berbeda organisasi namun juga yang seorganisasi. Ini misalnya nampak dalam Darul Islam sendiri seperti yang terjadi antara Kartosoewirjo dengan K.H. Yusuf Tauzuri. Di masa awal gerakan, K.H. Tauzuri adalah pendukung setia Darul Islam, namun dalam fase selanjutnya ia memisahkan diri dan berpihak ke tentara Republik. Para “tentara perlawanan” itu, terma-suk K.H. Tauzuri berpihak kepada Republik Indonesia antara lain karena alasan ideologis. Dalam Masyumi juga terjadi pertikaian antara tokoh ‘moderat’ seperti Natsir dengan Sukiman. Atau antara Natsir dengan K.H. Isa Anshari, tokoh radikal Masyumi Jawa Barat. Keduanya berselisih paham tentang metode menghadapi Komunisme (PKI). Natsir menghendaki cara moderat-konstitusional sedangkan Anshari memilih jalan radikal-revolusioner dalam menghadapi Komunisme.
Setelah melalui pertarungan panjang, melelahkan dan memakan banyak korban DI berhasil dilumpuhkan. Sebagian anggota DI menyerah atau kembali kepangkuan Republik. Kartosoewirjo berhasil ditangkap. Peristiwa ini menyebabkan intensitas gerakan DI berada di titik paling rendah. Pada 5 September 1962 jam 5.50 Kartosoewirjo dihukum mati. Ini sesuai dengan keputusan sidang ke tiga MAHADPER, 16 Agustus 1960 (?). Kartosoewirjo dinyatakan bersalah karena kejahatan-kejahatan politik yang dilakukannya: (1) Makar untuk merobohkan negara Republik Indonesia; (2) Pembe-rontakan terhadap kekuasaan yang sah di Indonesia dan; (3) Makar untuk membunuh kepala negara Republik Indonesia (Presiden Soekarno).
Dalam pengadilan terhadap dirinya Kartosoewirjo menolak tegas telah memerin-tahkan anak buahnya membunuh Presiden Soekarno. Keterangan-keterangan para saksi (11 orang) tentang adanya perintah pembunuhan oleh Kartosoewirjo itu, dibantahnya. Perintah pembunuhan itu diibaratkannya ‘dongeng dan isapan jempol berbahaya’ yang sengaja direkayasa untuk memastikan Kartosoewirjo dijatuhkan hukuman mati. Kartosoewirjo memberikan analogi tentang ‘isapan jempol berbahaya’ yang benar-benar pernah terjadi dalam sejarah. Hitler, katanya telah memanfaatkan kebakaran Gedung Reichstag di Berlin untuk membunuh kaum Yahudi Jerman. Belanda pernah meng-asingkan ratusan pejuang ke Boven Digoel (Irian Barat) karena dituduh terlibat pembe-rontakan komunis (1926-1927) padahal mereka itu tidak ada sangkut-pautnya dengan pemberontakan itu. Disebutkannya juga isapan jempol berbahaya lainnya yang dikemukakan seorang saksi bernama Haris. Saksi ini mengaku telah melihat Karto-soewirjo ongkang-ongkang di Klub Konkordia (Bandung) bersama seorang Belanda bernama Schmidt sambil minum bir dan bertemu dengan Komisaris Tinggi Mahkota Belanda Lovink di Hotel Des Indes Jakarta.
Mana yang benar, pengakuan Kartosoewirjo itu, ataukah kesaksian para saksi bohong? Perihal perintah pembunuhan oleh Kartosoewirjo itu tentu perlu diteliti se-jauh mana kebenarannya. Tidakkah terbuka kemungkinan --seperti dikatakan Karto-soewirjo-- bahwa pengadilan terhadap dirinya adalah rekayasa kekuasaan Soekarno, tokoh nasionalis ‘sekuler’ yang semenjak zaman pergerakan menjadi musuh utamanya. Kita telah memaklumi bahwa pengadilan terhadap tokoh DI itu sepenuhnya pengadilan yang bersifat politis, bukan pengadilan demi penegakkan keadilan. Dalam pengadilan politis --sebagaimana terjadi pada masa-masa Orde Baru-- keputusan hukuman terhadap terpidana sering telah ditentukan dari ‘atas’ (penguasa politik) sebelum proses pengadilan dilangsungkan.
‘Misteri’ hukuman mati terhadap Kartosoewirjo juga diperkuat oleh kenyataan bahwa hukuman itu benar-benar dilaksanakan. Persoalan begini. Setelah mengetahui keputusan hukuman mati itu, para pembela hukum Kartosoewirjo memohon keringanan agar kliennya tidak dihukum mati. Hukuman itu menurut mereka terlalu berat. Kartosoewirjo pun sudah tua renta dan sakit-sakitan. Ia juga sangat berjasa bagi negara semasa zaman pergerakan dan di pengadilan bersikap baik, mempermudah jalannya persidangan dan masih memiliki tanggung jawab menghidupi keluarganya.
Lalu, bagaimana dengan Presiden Soekarno sebagai orang paling otoritatif menen-tukan ‘nasib akhir’ Kartosoewirjo? Soekarno ternyata juga menolak memberikan grasi yang diajukan penasihat hukum Kartosoewirjo, dengan alasan tidak ada dasar argumen-tasi untuk mengabulkannya. Tidak tertutup kemungkinan PKI berperan penting mem-pengaruhi keputusan Presiden Soekarno mengingat hubungan antara keduanya di masa itu sangat dekat. Dengan demikian, maka hukuman mati atas tokoh sejarah ini harus dilaksanakan. Yang menarik, menurut catatan Dengel, keputusan hukum mati itu disambut antusias oleh kaum komunis. Mereka mengirimkan telegram-telegram ke MAHADPER berisi pernyataan senang atas dijatuhkannya hukuman mati itu. Fakta sejarah ini tentu menarik dikaji mengingat --seperti dinyatakan di atas-- keputusan pengadilan terhadap Kartosoewirjo lebih bersifat politis, ketimbang usaha mencari ‘dewi keadilan.’ Kematian Kartosoewirjo ibarat ‘revolusi memakan anaknya sendiri’ persis seperti yang dialami oleh Amir Syarifuddin (PKI), dan Soekarno.

MENGGAGAS IDEOLOGI ALTERNATIF?
Kegetiran perjuangan DI menegakkan Negara Islam menimbulkan trauma historis dan ketegangan dalam hubungan Islam-negara Orde Baru selama beberapa dekade. Islam kemudian seakan identik dengan kekerasan politik (political violence) dan pem-berontakan. Umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk negeri ini mengidap apa yang dinamakan Wertheim kompleks minoritas (minority complex). Keadaan ini merugikan umat Islam secara keseluruhan. Inilah salah satu alasan strategis kemunculan pemikiran yang menolak konsep Negara Islam dan menyebut fenomena DI ‘kekeliruan sejarah’ Islam di masa lampau.
Gagasan penolakan Negara Islam terutama muncul di kalangan cendekiawan terkemuka seperti Nurcholish Madjid, Amien Rais dan Abdurrahman Wahid. Mereka sependapat dengan Moehammad Roem bahwa Islam tidak memiliki bentuk negara. Nurcholish menilai Negara Islam sebagai apologia dan reaksi atas gelombang ideologi sekuler barat (Sosialisme, Komunisme, Nasionalisme) di dunia Islam. Tiada suksesi kepe-mimpinan negara paska kewafatan Rasul Muhammad SAW menurut Nurcholish merupa-kan bukti kuat bahwa Islam tidak secara spesifik menentukan negara yang harus dibangun. Amien Rais menilai Negara Islam tidak ada, karena tidak ada satupun ayat dalam Al-Qur`an yang menyebut istilah Negara Islam. Abdurrahman Wahid menolak Negara Islam, karena konsep itu mengancam eksistensi demokrasi, plurarisme, ekslusif-sektarian dan bahaya bagi integrasi bangsa Indonesia. Memaksakan Islam menjadi dasar negara berbahaya karena Islam dalam konteks ke-Indonesiaan menurut Abdurrahman hanyalah sub-kultur dan ‘komplementer’ bagi nasion Indonesia yang memiliki prinsip ‘bhineka tunggal ika.’ Menegakkan Negara Islam samalah artinya memporak-poran-dakan negara kesatuan RI.
Konsep Negara Islam dalam perspektif mereka memposisikan umat Islam menjadi kelompok pinggiran, oposisional dan selalu bersitegang dengan pemerintah (Orde Baru). Kondisi ini merugikan kepentingan umat Islam. Oleh karena itu, menurut Abdurrahman, konsep Negara Islam harus ditolak dan Islam dituntut akomodatif terhadap Pancasila. Bukan sebaliknya, Pancasila akomodatif terhadap Islam. Terlepas kita setuju atau tidak dengan logika itu, kecenderungan menolak konsep Negara Islam mendominasi wacana politik Islam Orde Baru. Dalam tingkat tertentu akomodasi Islam ke dalam struktur politik Orde Baru berhasil mencairkan ketegangan hubungan antara keduanya. Interaksi Islam-negara Orde Baru semakin membaik memasuki dekade 1990-an. Inilah fase ‘bulan madu’ hubungan Islam-negara Orde Baru.
Saat ini ketika sistem politik Orde Baru mulai rontok dengan lengsernya mantan Presiden Soeharto (21 Mei 1998), masihkah relevan penolakan Negara Islam, atau negara berdasarkan Islam itu? Masihkah kita harus terus menerus menyalahkan Karto-soewirjo dan DI-nya? Masihkah kita tetap bersikeras bahwa ideologi Pancasila yang tertutup (versi Orde Baru) dan UUD 1945 itu harus dipertahankan mati-matian sementara gugatan terhadap relevansinya dengan perkembangan zaman semakin dipertanyakan dari hari ke hari?
Kekalkah Pancasila sebagai ideologi negara? Sampai kapan ia mampu bertahan? Sampai dunia kiamat? Para pembela Pancasila percaya bahwa nilai-nilai universal Pancasila membuat ideologi ini bertahan menghadapi gempuran zaman. Pancasila abadi, ‘tak lekang karena panas, tak lapuk karena hujan.’ Tapi beberapa pengamat menilai ke-cenderungan-kecenderungan politik akhir-akhir ini serta proses globalisasi yang melanda Indonesia menimbulkan pertanyaan serius tentang daya tahan (resistensi) Pancasila sebagai ideologi negara. Pengamat politik seperti Arbi Sanit menilai Pancasila tidak akan mampu bertahan menghadapi gempuran zaman. Cepat atau lambat Pancasila akan menjadi peninggalan sejarah. Tanda-tanda zaman ke arah itu menurut Arbi Sanit telah nampak saat ini. Jadi sebenarnya Pancasila tidaklah ‘sakti’ seperti yang disakralkan dan dimitoskan Orde Baru selama tiga dekade. Ideologi-ideologi yang mampu bertahan menghadapi gempuran zaman menurut Arbi adalah ‘ideologi-ideologi klasik’ seperti Islam, Kristen, Sosialisme dan Liberalisme.
Demikian juga dengan UUD 1945. Dr. Mochtar Pabottingi dan Syamsu Rizal Pangabean berpendapat bahwa UUD 1945 dirumuskan dalam situasi darurat. Karena itu UUD 1945 tidak bisa dianggap UUD yang telah final. Oleh karena itu ia perlu direvisi atau diubah apabila UUD itu ingin tetap relevan dengan perkembangan zaman. Buyung Nasution bahkan berpendapat pasal-pasal tertentu UUD 1945 memposisikan seorang presiden RI menjadi penguasa otoriter, bahkan diktator. Pandangan ini disetujui pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.
Kini bangsa kita sedang membangun Indonesia baru yang demokratis. Dalam konteks perkembangan itulah berbagai usaha menawarkan wacana ideologi alternatif harus ditolerir --sejauh tidak menggunakan cara-cara repressif dan anti demokratis. Sebagai ideologi, Pancasila semestinya akomodatif terhadap tawaran-tawaran ideologis dari mana pun datangnya. Tidak menutup diri dan merasa benar sendiri seperti di zaman Orde Baru. Ini bila Pancasila ingin tetap bertahan menghadapi gempuran zaman. Di sinilah letak tugas penting sejarah para pemimpin bangsa yang kini berada di tampuk kekuasaan. Mereka dituntut untuk mampu menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka yang akomodatif terhadap tawaran-tawaran wacana ideologis lain. Di pihak lain, di sini pula letak tanggung jawab historis mereka yang kini mencoba menawarkan ideologi alternatif itu, termasuk dari kalangan faksi-faksi Islam.
Dalam sebuah diskusi buku ‘Wacana Ideologi Negara Islam’ karya Al Chaidar di Masjid Ukhuwah Islamiyah Univeritas Indonesia, Depok (9 April ‘99), Fahri Hamzah mengemukakan pandangannya tentang bagaimana kita seharusnya mensikapi munculnya tawaran ideologi Negara Islam sebagai wacana alternatif bagi ideologi negara saat ini seperti dilakukan Al Chaidar, aktivis muda DI. Dalam perspektif Fachry tawaran ideologi alternatif Al Chaidar itu tidak lain dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan proses dialogis di antara komponen bangsa. Dialog yang jujur, terbuka, cerdas dan penuh pengertian sangat dibutuhkan saat dimana kita saat ini mengalami keterpurukan akibat iklim politik yang tertutup selama beberapa dekade lalu.
Ikhtiar tawaran dialog Al Chaidar itu perlu didukung. Dan dalam proses dialog itu kita harus terus menerus melakukan kritik-kritik tajam terhadap gagasan-gagasan Al Chaidar. Atau kepada siapa pun yang menawarkan wacana ideologi alternatif saat ini. Ini perlu dilakukan menurut Fachry agar ia ‘tidak jalan sendirian’, lalu justru membahaya-kan tidak hanya bagi dirinya. Tapi juga bagi orang lain. Dengan melakukan kritik terus menerus, kita memperkuat basis argumentasi wacana ideologi Negara Islam yang ditawarkan Al Chaidar. Di sisi Al Chaidar sendiri ia perlu mensikapi kritik-kritik itu secara dewasa, cerdas dan terbuka dan menghindari sikap mau menang sendiri. Sikap mau menang sendiri jelas menutup rapat-rapat pintu dialog.
Saya sependapat dengan Fachry. Wacana ideologi yang ditawarkan Al Chaidar perlu dikritik agar ia tidak kebablasan dan gegabah. Ia dituntut memiliki kesadaran historis dalam menawarkan sebuah ideologi negara alternatif mengingat persoalan ini bukan persoalan sepele. Dan, tidak menawarkan ideologi alternatif itu sebagai ekpe-rimentasi belaka. Suatu kekeliruan ‘kecil’ yang tidak perlu, bisa akan berdampak besar bagi perjalanan sejarah Islam Indonesia di masa depan. Bila kebablasan bukan tidak mungkin TNI akan mengambil sikap keras. Sejarah lampau hubungan TNI-DI telah membuktikan hal itu. Ideologi negara bagi TNI adalah masalah amat prinsipil. Masalah hidup-matinya. Menawarkan ideologi Negara Islam dengan cara mendongkel ideologi Pancasila diibaratkan Prof. Mansur Suryanegara “membangunkan macan tidur.”
Era liberalisasi ideologi saat ini patut disambut antusia, sekaligus kewaspadaan penuh. Mengapa? Proses ideologisasi potensial menimbulkan konflik politik di antara kelompok-kelompok masyarakat. Konflik ideologis sangatlah serius implikasinya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita sudah mengalaminya di era pergerakan nasional dan dekade 1950-1960’an. Konflik ideologi itu mencapai puncaknya dalam tragedi berdarah G 30 S/PKI 1965. Di sisi lain, liberalisasi ideologi membuka peluang Komunisme PKI untuk merasa berhak dijadikan wacana ideologi alternatif pula. Ini tentu merugikan umat Islam. Oleh karena itu usaha ‘pendongkelan’ Pancasila yang gejalanya nampak akhir-akhir ini bila kebablasan akan merugikan umat Islam sendiri.
Jadi bagaimana pun, dalam mensikapi sejarah DI dan ideologi Negara Islam kita selalu dituntut hati-hati, kritis, objektif dan evaluatif. Agar tidak terjebak dalam --meminjam Jalaluddin Rakhmat-- jebakan determinisme sejarah (historical determi-nism). Orang yang terjebak dalam determinisme sejarah, menganggap apa yang terjadi dalam sejarah Islam masa lampau sebagai acuan yang paling absah (legitimate) dan ideal karena itu patut dijadikan contoh. Masa lalu dijadikan patokan kebenaran bagi masa kini. Padahal sesungguhnya tidak demikian. Dalam sejarah ada ‘mutiara hikmah yang patut diambil sebagai pelajaran, namun ada juga ‘warisan buruk’ yang mesti dibuang ke tempat sampah.’ Generasi muda Islam saat ini dituntut kritis mensikapinya.
Di sisi lain, sejarah merupakan suatu proses kreatif dan inovatif yang kerap melahirkan model-model pergerakan Islam yang baru ‘sama sekali’ dengan apa yang pernah muncul di masa lampau. Ini karena, seperti dikatakan Hegel, setiap zaman memiliki ‘jiwanya sendiri’ (zeitgeist). Prilaku mencontoh gerakan-gerakan Islam masa lampau tanpa sikap objektif dan kritis samalah artinya dengan memasukkan diri ke dalam jebakan determinisme sejarah itu. Determinisme sejarah mematikan proses kreativitas dan inovatif. Mudah-mudahan penawaran ideologi alternatif yang dike-mukakan Al Chaidar tidak terjebak dalam determinisme sejarah itu.

EPILOG
Karya tentang DI dan pemikiran politik Kartosoewirjo ini merupakan upaya untuk menawarkan proses dialogis yang kreatif, cerdas dan konstruktif. Oleh karena itu perlu disambut baik. Dari segi akademis upaya ini tentu memiliki makna yang cukup berarti mengingat selama ini karya tentang pemikiran politik Kartosoewirjo apalagi yang ditulisnya sendiri tergolong langka dan sukar ditemukan. Bagi saya ini mengherankan, sebab ketokohan Kartosoewirjo dalam sejarah Indonesia kontemporer tak perlu dipertanyakan. Apa pun kekhilafan politiknya di masa lampau, Kartosoewirjo tetaplah seorang tokoh sejarah yang pemikiran dan prilaku politiknya perlu dikaji. Dari kajian itu, generasi kini dan mendatang mungkin bisa memetik hikmahnya. Mengambil apa yang baik, membuang segala yang buruk.
Penerbitan karya ini melengkapi bacaan kita tentang pemikiran politik Indonesia yang telah ada yaitu karya Dr. Deliar Noer, ‘Pengantar ke Pemikiran Politik’ dan karya suntingan Dr. Herbert Feith dan Dr. Lance Castles, ‘Indonesian Political Thinking 1945-1965.’ Keduanya karya klasik yang selama ini dijadikan buku teks di pelbagai perguruan tinggi, khususnya untuk studi pemikiran politik Indonesia. Karya Deliar memfokuskan pembahasannya pada pemikiran tentang hubungan agama-negara, demokrasi dan kebangsaan sebelum dan sesudah masa perjuangan kemerdekaan.
Feith dan Castles mengoleksi tulisan dan pidato yang berisi pemikiran politik para negarawan dan tokoh politik Indonesia terkemuka (1945-1965) yang mewakili lima ‘politik aliran’ atau ideologi: Islam, Jawa Tradisional, Nasionalisme, Marxisme, dan Sosialisme Demokrasi. Jadi pemikiran politik dalam buku ini sangat variatif; ada pemi-kiran politik tokoh PKI (Aidit), Nasionalis Radikal (Soekarno), Masyumi (Natsir), Jawa Tradisional (Atmodarminto), Partai Sosialis Indonesia (Syahrir) dan lain-lain.
‘Anehnya’ karya Feith dan Castles itu tidak memuat satu pun tulisan atau pidato Kartosoewirjo. Saya katakan ‘aneh’ karena ketokohan Kartosoewirjo dan pemikiran-pemikiran politiknya tidak kalah pengaruhnya dibanding tokoh-tokoh sejarah lain seperti Syahrir, Soekarno, Natsir, atau Aidit. Apalagi dibandingkan dengan Atmodarminto misalnya, jelas ketokohan Kartosoewirjo atau pengaruh pemikirannya jauh melebihi pengaruh anggota Dewan Konstituante dari kelompok abangan itu. Apakah karena kedua editor buku itu tidak memiliki sumber-sumber otentik tulisan atau pidato Kartosoewirjo? Karena pertimbangan akademis, ataukah pertimbangan politis? Meng-ingat integritas keilmuan dua penyunting itu, saya percaya alasan pertama dan kedua, bukan yang ketiga (pertimbangan politis) yang mendasari tidak dimuatnya pemikiran Kartosoewirjo dalam buku itu. Ada beberapa studi awal tentang DI dan Kartosoewirjo seperti yang ditulis Pinardi, Hersri dan Joebaar Ayoeb, serta Soebardi. Karya mendalam mengenai topik yang sama dilakukan Nazaruddin Syamsuddin, Anhar Gonggong, Al Chaidar dan Agus Nugraha. Namun sayangnya, tidak semua karya itu ditulis dengan tujuan akademis. Karya-karya itu termasuk kajian terbaik mengenai Kartosoewirjo dan DI, meskipun ada di antaranya yang ditulis sarat kepentingan politik. Karya Pinardi misalnya, meskipun kaya dan data ‘akurat’ - lebih merupakan pamplet politik - propaganda anti Darul Islam dan Kartosoewirjo- daripada kajian akademis yang ‘objektif dan jujur’. Ada indikasi karya Pinardi ditulis untuk mendukung usaha operasi militer dan Soekarno (didukung PKI) mengikis sisa-sisa pengaruh ideologi DI paska kematian Kartosoewirjo.
Selama ini kajian DI dan Kartosoewirjo lebih banyak dilakukan oleh kaum Indo-nesianists asing, seperti: Karl D. Jackson (1990), Hiroko Horikoshi, Nieuwenhijze, Van Dijk , B.J. Boland dan Dengel (1995). Dalam menganalisis Darul Islam dan peran historis Kartosoewirjo, mereka --sebagaimana umumnya Indonesianis asing-- kerap terjebak oleh bias-bias orientalisme dan Islamo-phobia, sehingga karya akademis yang dilahirkan tidak jarang memberikan gambaran distortif. Bias orientalisme dan Islamo-phobia itu relatif sukar kita temukan dalam karya Al Chaidar atau Agus Nugraha.
Dengan diterbitkannya buku berisi pemikiran politik Kartosoewirjo ini tentu semakin memperkaya khazanah intelektual Islam Indonesia. Lahirnya karya ini patut disyukuri. Kelahiran karya ini mesti dipandang sebagai suatu langkah maju tidak hanya dalam konteks perkembangan dunia penerbitan buku, tapi juga dunia keilmuan. Saat ini, seperti telah dikemukakan di atas, bangsa kita perlu mengenal tokoh-tokoh sejarah dengan segala sisi ‘plus-minus’ peran-peran historis mereka. Oleh karena itu, kajian-kajian akademis atas pemikiran tokoh-tokoh itu sangat strategis. Di sinilah makna penting penerbitan buku ini.
Saya tidak menafikan kenyataan bahwa ada sebagian kalangan dihinggapi rasa khawatir karya ini dijadikan ‘instrumen’ sosialisasi dan penyebaran gagasan-gagasan ‘Islam ekstrim’ dan ideologi Negara Islam. Bagi mereka yang pernah mengalami per-golakan sejarah masa lampau khususnya di kalangan TNI (Angkatan ‘45) kekhawa-tiran itu cukup beralasan karena citra Kartosoewirjo dan DI bagi mereka identik dengan trauma sejarah dan pemberontakan. Angkatan muda saat ini relatif ‘bebas’ dari trauma sejarah itu, sehingga mampu memandang jernih persoalan Kartosoewirjo dan DI. Di kalangan TNI pun mulai tumbuh paradigma baru yang relatif bebas dari trauma sejarah itu. Ada perubahan paradigmatik, khususnya di kalangan para perwira muda TNI. Dalam kaitan ini, seorang perwira tinggi TNI, Mayjen Agus Wirahadikusumah mengatakan, “Kita tidak usah bicara lagi masalah radikal kanan atau kiri, komunis atau liberal, siapa pun dipersilakan mengembangkan pikirannya. Yang penting taat hukum.”
Saat ini kita memang dituntut berfikir positif (positive thinking) dalam menatap sejarah masa silam itu. Sebab bagaimana pun sejarah masa silam itu bagian dari alam ‘ingatan kolektif’ (collective memory) yang membentuk kejatidirian bangsa kita saat ini. Yang penting dalam menatap masa silam itu, kita pandai-pandailah mengambil pelajaran darinya. Pengalaman (masa lampau) adalah guru yang paling baik. Lagi pula seperti dikatakan Bung Karno, kita tidak bisa melarikan diri dari sejarah (We can not escape from history). Mudah-mudahan karya ini, terlepas dari kelemahan dan kekurang-annya, bisa memberikan hikmah dan pencerahan bagi kita semua. Dan dengan itu kita menyongsong Indonesia baru yang demokratis, adil, makmur dan memperoleh ampunan Allah. Wallahu a’lam bis showwab.

Bojong Gede, 6 Mei 1999.

No comments: