20 December 2008

Kartosoewirjo dalam Kancah Gerakan Nasionalisme Indonesia

Bab Tiga

Kartosoewirjo dalam Kancah Gerakan Nasionalisme Indonesia


Pada tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi, NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School). Di sekolah tersebut ia mengikuti tingkat persiapan (Voorbereidende School) selama tiga tahun. Kemudian pada tahun 1926 ia memulai kuliah utama yang sebenarnya, yang hanya khusus membahas persoalan-persoalan medis. Justru pada saat-saat kuliah inti inilah ia terlibat dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya. Dikenal ketika itu daerah Surabaya merupakan kota pergerakan kaum nasionalis Hindia. Untuk melihat bagaimana kiprah dan pemikiran Kartosoewirjo yang dipengaruhi oleh berbagai ideologi ketika itu, maka kita perlu terlebih dahulu memahami konteks sosial-politik kota Surabaya tahun 1920-an.
Di Surabaya sudah banyak bermunculan gerakan kaum nasionalis dengan berbagai organisasi tempat mereka berkumpul dan berdebat tentang cita-cita bagaimana bentuk Indonesia di masa depan. Para intelektual mulai memikirkan tentang sistem negara, ideologi atau haluan politik dan bentuk perjuangan yang kesemuanya mengambil konsep-konsep modern dari Barat. Hanya sedikit yang mengambilnya dari latar belakang sejarah Islam. Maka, tidaklah terlalu salah jika kita mengatakan bahwa modernisasi Indonesia dimulai pada periode ini. Keengganan para modernis Indonesia untuk memakai sistim Islam yang nantinya telah menyeret bangsa Indonesia yang akan diperjuangkan ke dalam lembah krisis yang berkepanjangan. Kunci perkembangan pada masa ini, sebagaimana disebut M.C. Ricklefs, adalah "munculnya ide-ide baru mengenai organisasi dan dikenalnya definisi-definisi dan konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah didengar oleh sebagian besar masyarakat Indonesia waktu itu." Ide baru tentang organisasi meliputi bentuk-bentuk organisasi dan sistem kepemimpinan yang baru, sedangkan definisi yang baru dan konsep-konsep baru yang, mengutip Ricklefs, "lebih canggih mengenai identitas meliputi analisis yang lebih mendalam tentang lingkungan agama, sosial, politik, dan ekonomi." Organisasi-organisasi kaum nasionalis itu terhimpun menjadi satu di dalam wadah yang bernama Perhimpunan Indonesia (PI). Di dalam perhimpunan ini terdapat banyak aliran pemikiran dan kecenderungan ideologis yang sedikitnya ada empat pikiran pokok dalam ideologi PI yang dikembangkannya sejak permulaan tahun 1925. Ideologi perhimpunan menempatkan kemerdekaan Indonesia sebagai tujuan politik utama dengan memperhatikan persoalan-persoalan sosial dan ekonomi serta politik. Keempat pemikiran pokok itu adalah:
Pertama, Kesatuan Nasional: perlunya bangsa Indonesia mengenyampingkan perbedaan-perbedaan sempit dan perbedaan etnis serta kedaerahan sehingga perlu ada kesatuan aksi melawan Belanda untuk menciptakan negara kebangsaan Indonesia yang merdeka dan bersatu. Kedua, Solidaritas: kebulatan dan persatuan yang kukuh antara pribumi tanpa melihat perbedaan yang ada antara sesama orang Indonesia. Yang perlu disadari adalah antara "kita di sini" dan "mereka di sana" berbeda dan ada pertentangan kepentingan yang mendasar antara penjajah dan kaum nasionalis haruslah mempertajam konflik antara orang kulit putih dan sawo matang. Persatuan biasanya diperoleh karena ada musuh bersama dari luar. Ketiga, Non-kooperasi: gerakan yang sama sekali tidak mau berkompromi dengan segala hal yang berbau kolonial. Tidak bekerjasama ini diartikan sebagai upaya menyadari bahwa kemerdekaan bukan hadiah sukarela dari Belanda tetapi harus direbut dan diperjuangkan oleh seluruh rakyat bangsa Indonesia dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri, oleh kerena itu tidak perlu mengindahkan segala kebijakan yang dibuat oleh dewan perwakilan kolonial seperti Volksraad (Majelis Rakyat). Bahkan kaum nasionalis Islam lebih keras lagi dalam memandang Volksraad seperti Volkshuis (Rumah Rakyat) yang bertentangan "Rumah Tuhan" (Masjid). Keempat, Swadaya: dengan swadaya gerakan kaum nasionalis dimaksudkan sebagai "gerakan yang tidak berkenan bersyarikat dengan penjajah"; mengandalkan kekuatan sendiri dan mengembangkan suatu struktur alternatif dalam kehidupan nasional, politik, sosial, ekonomi, dan hukum, yang kuat dan berakar dalam masyarakat pribumi dan sejajar dengan administrasi kolonial.
Yang jauh lebih penting dari pada kemenonjolan sementara dari sayap kooperasi gerakan nasionalis tahun 1930, adalah perpecahan yang terbuka antara kelompok nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Organisasi jahiliyah pertama yang menjadi cikal-bakal semua organisasi sekuler adalah Perserikatan Nasional Indonesia. Pada tanggal 4 Juli 1927 Sukarno dan Algemeene Studieclubnya memprakarsai pembentukan sebuah partai politik baru, Perserikatan Nasional Indonesia, dengan Sukarno sebagai ketuanya. Namun sekitar bulan Mei 1928 nama partai ini diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Tujuan PNI adalah kemerdekaan bagi Kepulauan Indonesia yang akan dicapai secara nonkooperatif dan dengan basis serta dukungan dari organisasi massa. Inilah partai politik penting pertama yang beranggotakan bangsa Indonesia, dimana program yang ingin dicapai dari PNI ini semata-mata mencita-citakan kemerdekaan politik, berpandangan kewilayahan yang meliputi batas-batas Indonesia yang nantinya akan memberlakukan ideologi nasionalisme 'sekuler'. Pada bulan Mei 1929 PNI telah mempunyai cabang-cabangnya di kota-kota besar di Jawa dan satu cabang di Palembang, serta menyatakan memiliki anggota sebanyak 3.860 orang (sebagian besar di Bandung, Batavia, dan Surabaya); pada akhir tahun 1929 jumlah anggota partai ini mencapai 10.000 orang.
Perbedaan paham antara kedua kelompok antara nasionalis Sekuler dan Islam melebar secara nyata pada tahun 1928 dan 1929 ketika pemimpin-pemimpin PSI semakin khawatir atas dominasi PNI dalam gelanggang politik dan atas kemerosotan dirinya yang berjalan terus. Usaha untuk mengorganisasi kembali dan meremajakan PSI tidak mampu mencegah merosotnya partai ini. Desas-desus tentang korupsi dalam partai hanya mempercepat proses kemunduran tersebut. Ketegangan antara golongan nasionalis sekuler dengan PSI mendekati titik perpecahan ketika dalam pengadilan terhadap Sukarno pada bulan Agustus diungkapkan sepucuk surat Tjipto Mangunkusumo kepada Sukarno tertanggal Maret 1928, di mana Tjipto memperingatkan bahaya Pan-Islamisme dan kemungkinan usaha-suaha Tjokroaminoto dan Salim untuk menguasai PPPKI. Kalau mereka berhasil, menurut Tjipto, akibatnya akan hancurlah gerakan nasionalis. Tjipto memperingatkan Sukarno terhadap “ulah pengkhianat” yang dilakukan oleh Tjokroaminoto dengan PSI. Semua pembaharu pada awalnya adalah "pemberontak" atau cap-cap negatif lainnya yang diberikan oleh lawan-lawannya.
Begitu tajamnya kritikan yang dialamatkan kepada kelompok Islam telah membuat kalangan pemimpin Islam marah, disamping itu adanya kemerosotan di tubuh organisasi PSI, maka pemimpin-pemimpin Islam yang tergabung dalam PSI mengadakan perlawanan dengan serangan balasan terhadap kaum nasionalis sekuler pada umumnya dan PNI pada khususnya. Dibalik pertentangan yang begitu sengit ini sebenarnya telah tercipta sebuah pembentukan kepemimpinan Indonesia dimasa mendatang. Namun karena adanya pertentangan mengenai antara garis-garis agama dan ideologi dengan kesadaran diri untuk keluar dari kolonialisme membawa akibat besar dengan telah terpecah belahnya bentuk dasar kepemimpinan. Dan hal ini dimanfaatkan sekali oleh pihak Belanda untuk membuat penindasan baru sebagai jawaban terhadap permasalahan yang sedang terjadi yaitu dengan mengubah pandangan tentang kepemimpinan Indonesia di masa yang akan datang. Bukan hanya di sektor politik tapi juga di sektor ekonomi kolonialisme Belanda telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat yang ada di Pulau Banda. Pengerukan besar-besaran dari hasil kebun pala yang menjadi komoditas di daerah tersebut telah menyeret rakyat disana menghadapi segala kesulitannya. miskin
Sesungguhnya peran yang dimainkan oleh PPPKI pada sekitar tahun 30an untuk meminimalisasi perseteruan yang sedang terjadi antara golongan nasionalis Islam dan Sekuler tidak mampu berbuat banyak, bahkan perseteruan itu semakin meningkat sehingga membawa akibat perlu adanya koreksi tentang fungsi PPPKI sebagai suatu forum antara golongan yang mempunyai prinsip perjuangan koperatif dan non kooperatif. Dan hal ini pula yang mengancam tentang eksistensi PPPKI.
Dalam rapat PPPKI yang diadakan pada bulan Maret telah diambil keputusan berupa pelarangan membentuk kepengerusan ditingkat daerah tetapi cukup dengan menunjuk agen-agennya di kota-kota besar di Jawa yang bertujuan untuk mengadakan satu kontrol terhadap Dewan Penasehat dalam menjalankan semua aktifitas partai. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa federasi telah menyebar ke tingkat bawah dan terbentuk menjadi satu kekuatan politik. Pada rapat PPPKI di Solo tanggal 25 Desember 1929, ketika wakil-wakil partai anggota sedang mengadakan kongres partai, di di luar dari perkiraan mereka bahwa setelah beberap hari acara kongres itu dilangsungkan ada beberapa dari peserta kongres itu yang akan ditangkap. Padahal inti pembicaraan dalam kongres itu bukanlah pada reaksi terhadap pihak federasi tetapi pada seputar perkembangan gerakan nasionalis di masa depan. Dan di dalam serangkaian perdebatan ketegangan antara golongan nasionalis sekuler dengan nasionalis Islam mencapai puncaknya dan mengancam kelangsungan eksistensi federasi itu.
Hal yang menarik selama periode perjuangan PSI dalam federasi ini ialah dimana Sukiman seorang fungsionaris partai PSI yang juga merupakan pendiri dari PPPKI dan penganjur yang paling gigih dalam keinginannya memasukkan PSI ke dalam PPPKI. Pada kongres partai di Yogyakarta tanggal 24 – 27 Januari 1930, dia dan Drijowongso melaporkan tentang adanya serangan-serangan terhadap PSI, sambil mengajukan usul agar partai itu segera menarik diri dari federasi. Namun usulan yang diajukan oleh Sukiman tidak mendapat jawaban pasti karena dirinya tidak lagi mendapat dukungan dari ketua partai Tjokroaminoto. Bahkan sekarang peranan itu menjadi terbalik karena Tjokroaminoto berusaha mempengaruhi partai tentang manfaat PPPKI dalam situasi di mana Sukiman menghendakinya untuk keluar. Dalam pemikiran Tjokroaminoto sangat riskan jika PSI keluar dari kenggaotaanya di PPPKI dan berakibat buruk terhadap masa depan partai, ditambah semakin terjepitnya posisi partai antara kaum pembaharu Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama yang konservatif. Ditambahkan oleh Tjokroaminoto, jika hal itu terjadi dalam partai maka lepaslah kesempatan dalam mempengaruhi golongan nasionalis sekuler, dan yang lebih parah lagi lambat atau cepat partai akan mati. Dan terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukannya selama menjadi anggota PPPKI, Tjokroaminoto dan Kartosoewirjo akan siap mempertanggungjawabkannya. Namun demikian, rapat tersebut tidak menyiapkan suasana untuk pengakuan semacam itu. Tjokroaminoto kemudian terpaksa memperbaiki usul ini dengan suatu usul lain bahwa bila PPPKI tidak puas dengan permintaan maaf secara tertulis dari dia dan Sukarmadji maka PSI akan keluar dari federasi.
Sekitar tahun 1930 PSI mengadakan kongres partainya, dan dalam salah satu keputusan kongresnya adalah mengubah nama partai menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Disamping itu ingin membuktikan kepada para pengecam tentang jati diri partainya, bahwa PSII| ini didirikan juga bertujuan hendak membentuk Negara Kesatuan Indonesia. Sekaligus berupaya untuk mengadakan rujuk dengan kalangan nasionalis sekuler. Akan tetapi rujuk dengan golongan nasionalis sekuler bukannya semakin lebih dekat. Pada bulan Juli dan Agustus hubungan ini malah memburuk akibat serangkaian karangan dalam surat kabar Soeara Oemoem, koran baru dari kelompok Studi Indonesia, yaitu karangan-karangan yang oleh banyak anggota PSII ditafsirkan sebagai penghinaan secara sengaja terhadap keyakinan mereka. Karangan-karangan yang dimuat selama hampir dua bulan mempertanyakannya manfaatnya perjalanan naik haji ke Mekkah yang dibandingkan dengan pembuangan para pemimpin nasionalis ke Boven Digul. Yang tersebut belakangan ini dianggap sebagai lebih berhak memperoleh penghargaan.
Haruslah kita mengenal lebih jauh lagi tentang bagaimana ideologi yang diperjuangankan oleh para nasionalis dalam kancah panggung politik Indonesia saat itu. Sesungguhnya Kaum nasionalis Indonesia saat itu memang sudah banyak terpengaruh oleh paham-paham demokrasi, liberalisme, kapitalisme, sosialisme, Islam dan, yang terbanyak, komunisme. Namun "daya celup Indonesia" terhadap semua ideologi itu sangat luar biasa. Misalnya, walaupun para pemimpin PI sangat terpengaruh oleh pikiran-pikiran Marxis-Leninis karena sudah menunjukkan kesuksesannya dalam membebaskan Rusia dan mengubahnya menjadi Soviet melalui sebuah Revolusi Bolshevik pada tahun 1917, namun sedikit sekali dari mereka itu yang menggunakan analisa konflik kelas (antara kelas buruh dan kelas majikan/bourguies) dalam masyarakat Indonesia. Sebagai gantinya, mereka melancarkan suatu perjuangan ras (race struggle) —sesuatu yang tidak ada di Rusia— antara orang Indonesia yang berkulit coklat melawan orang Belanda yang berkulit putih, antara bangsa Asia melawan bangsa Eropa atau, sebagaimana disebut Ingleson, sebagai perjuangan “sini” lawan “sana”. Rakyat Indonesia berusaha menekan perbedaan ideologis di antara mereka dan berusaha berjalan menuju suatu "revolusi integrasi".
Perjuangan antara ras coklat dengan ras putih juga merupakan pergulatan antara ras Asia dengan ras Eropa yang imperialis. Jika abad ke-20 dianggap sebagai abad Asia, maka kegagalan Belanda untuk hidup sesuai dengan cita-cita politik etis mengakibatkan kaum muda Indonesia berkesimpulan bahwa orang Asia tidak dapat lagi mengharapkan bantuan yang berarti dari bangsa Barat dalam usaha mereka mencapai kemerdekaan. “Janji palsu” yang sangat terkenal pernah diucapkan secara meyakinkan oleh Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum tahun 1918 tidak dapat diwujudkan karena terjadinya serangkaian kegagalan pembaharuan konstitusional tahun 1922 untuk mengadakan perubahan-perubahan penting; dan penolakan States General pada tahun 1925 terhadap pasal dalam rancangan undang-undang yang memungkinkan orang Indonesia menjadi mayoritas dalam Volksraad (parlemen yang didirikan di Batavia tahun 1918 dengan kekuasaan yang kecil, dengan mayoritas wakil-wakil orang Eropa dan dengan pemilihannya secara tidak langsung); maka semuanya itu semakin memerosotkan kepercayaan mereka kepada Belanda. Dalam pandangan kaum nasionalis Volksraad merupakan "parlemen palsu", untuk mengelabui kenyataan bahwa semua aspek kehidupan orang Indonesia sudah diakomodasi oleh pemerintah Belanda.
Kemudian muncullah zaman yang lebih buruk lagi di bawah masa pemerintahan Gubernur Jenderal Fock. Zaman ini ditandai oleh semakin ganasnya tekanan yang dilakukan oleh Gubenur Jenderal Fock terhadap kegiatan politik sejak tahun 1923, terutama terhadap PKI, memperkuat keyakinan mereka bahwa berkerja sama dalam sistem kolonial hanya merupakan "onani politik" yang sia-sia saja. Sistem kolonial harus dirombak secara radikal. Perombakan radikal ini hanya mungkin dilakukan dengan cara menarik garis perbedaan antara sana dan sini, artinya mereka menolak untuk berjuang dengan mempergunakan fasilitas pemerintah kolonial Belanda. Dalam suasana yang penuh hiruk pikuk perdebatan ideologis seperti inilah Kartosoewirjo dibesarkan. Dan mudahlah dipahami dalam atmosfir seperti ini ia berkenalan dengan berbagai aliran pemikiran, dan aliran pemikiran yang paling berpengaruh ketika itu adalah pemikiran Islam.
Selama di sekolah inilah Kartosoewirjo mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam. Di masa kuliahlah ia mulai "mengaji" secara serius. Saking seriusnya, ia kemudian begitu "terasuki" oleh shibghahtullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded dan semua aktivitasnya kemudian hanya untuk mempelajari Islam semata dan berbuat untuk Islam sahaja. Dia pun kemudian meninggalkan sekolah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik. Dengan modal ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ia kemudian aktif di berbagai diskusi politik. Ia juga memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Hajo Oemar Said Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto inilah yang kemudian banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosoewirjo. Setahun kemudian dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya yaitu Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya karena "terasuki" ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh "komunis" karena memang ideologi ini sering dipandang sebagai ideologi yang akan membahayakan. Padahal ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa yang zalim. Karena pengaruh pamannya yang sangat kuat, semakin membangkitkan minat Kartosoewirjo untuk memperdalam ilmu di bidang politik. Tidaklah mengherankan, kalau Kartosoewirjo nantinya telah tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik dan sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Buktinya ialah semenjak tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java, di organisasi ini dia terpilih menjadi ketua cabang Jong Java di Surabaya. Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota–anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita keislamannya mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap pemihakannya kepada agamanya, bukan pada paham nasionalisme, dan tak lama setelah masuk dalam organisasi ini dia terpilih menjadi ketua cabang JIB Surabaya. Melalui dua organisasi inilah kemudian membawa dia menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang sangat terkenal "Sumpah Pemuda". Jadi Sumpah Pemuda bukanlah diprakarsai oleh segelintir orang-orang priyayi Jawa, melainkan oleh tokoh-tokoh Islam.
Di dalam kalangan priyayi Jawa yang 'baru', mereka memandang bahwa pendidikan merupakan sebagai kunci menuju kemajuan. Oleh karena itu mereka membentuk suatu organisasi yang benar-benar modern. Kelompok ini mewakili suatu aliran sosial dan budaya yang penting di Indonesia pada abad XX. Mereka itu terutama adalah abangan Pada awal abad XX. Di antara kalangan-kalangan atas pemerintahan (priyayi) yang berada di lingkungan kaum abangan ada yang berpendapat bahwa pendidikan Barat akan memberikan kepada mereka suatu kunci menuju suatu perpaduan baru yang mereka anggap sebagai dasar bagi suatu peremajaan kembali terhadap kebudayaan, kelas, dan masyarakat mereka. Di antara kelompok ini sebagian besar memandang Islam secara netral dan bersahabat, tetapi dengan semakin meningkatnya tekanan-tekanan Islam beberapa di antaranya menjadi memusuhi Islam.
Dengan keaktifannya di organisasi kepemudaan, Kartosoewirjo berkenalan dengan tokoh Agoes Salim dan Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin PSI (Partai Sjarikat Islam) yang kharismatik, di mana pandangan politiknya, terutama cita-citanya akan suatu Negara Islam (Daulah Islamiyah), yang di kemudian hari ternyata sangat mempengaruhi jalan pikiran Kartosoewirjo. Keakraban secara pribadi terjalin setelah Kartosoewirjo tinggal di rumahnya dan secara kontinyu memperoleh transformasi pengalaman politik dari Tjokroaminoto. PSI merupakan lawan ideologis partai-partai sekuler ketika itu. Partai sekuler yang paling anti dengan PSI adalah Partai Nasional Indonesia (PNI). PNI merupakan puncak usaha menemukan suatu partai yang didasarkan kepada ideologi yang pada intinya berusaha mewujudkan persatuan nasional, non-kooperasi, dan swadaya. PNI adalah organisasi sekuler yang sesungguhnya sangat anti Islam, namun tidak banyak disadari oleh rakyat Indonesia yang sudah tertutup matanya oleh figur kharismatik Soekarno. Maka, menjelang akhir tahun 1927, dominasi PNI dalam gerakan nasionalis sudah sangat luas, seiring dengan dominasi pribadi Soekarno dalam dunia pergerakan.
Penantangan atau persaingan kepemimpinan dan harapan untuk menjadi partai massa yang terbesar hanya diberikan secara tunggal oleh Serikat Islam. Sejak pembentukannya dalam tahun 1911 Sarekat Islam telah merupakan partai politik Islam yang terkemuka dan selama beberapa tahun telah menjadi partai massa satu-satunya dalam zaman kolonial. Kebesaran SI ini karena diawali oleh sebuah gerakan mesianistik Sjarikat Dagang Islam yang didirikan oleh Hadji Samanhoedi di Solo pada tahun 1905 yang kemudian berubah menjadi Sjarikat Islam yang lebih mengkonsentrasikan diri pada gerakan politik dan bukan semata-mata gerakan ekonomi sebagaimana dilakukan oleh SDI. Perkembangan SI mencapai puncaknya hingga tahun 1919 di mana hampir semua tempat di Indonesia sudah memiliki kantor cabang SI. Setelah jaya biasanya segera datang masa surut. Masa surut ini ditandai oleh terpecahnya SI menjadi dua bagian yang secara ideologis berbeda jauh: SI Merah (komunis) dan SI Putih (Islam). Tetapi pendukungnya telah menurun secara dramatis setelah tahun 1919, ketika PKI mengambil alih sebagian besar anggota SI dan memasukkannya pada SI Merah yang merupakan cikal-bakal Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI pun mengalami kemerosotan karena meletusnya pemberontakan pada tahun 1926. Namun, kelemahan PKI bukan berarti kekuatan bagi PSI yang ternyata tetap berada dalam kemerosotan yang berjalan perlahan-lahan tetapi pasti. Namun demikian, kemerosotan PKI setelah pemberontakan, memberi keyakinan kepada para pemimpin Serikat Islam bahwa mereka mempunyai kesempatan untuk mengembalikan kejayaan mereka sebelumnya, dan mengisi kekosongan politik dengan suatu partai yang diremajakan kembali.
Meskipun telah diadakan peningkatan kegiatan dan perhatian terhadap reorganisasi tahun 1927, Serikat Islam, yang pada tahun 1921 telah mengubah namanya menjadi Partai Serikat Islam (PSI), gagal untuk memperoleh kembali dukungan yang telah hilang, Kelemahan kepemimpinan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, merupakan sebab utama kegagalan tersebut. Tjokroaminoto dan Salim adalah para veteran dalam gerakan nasionalis religius, dan meskipun ada kegiatan sekelompok kecil anggota-anggota muda yang dipimpin oleh Sukiman, seorang dokter lulusan Amsterdam, mereka tetap dapat menguasai partai tersebut. Tekanan utama yang terus diberikan kepada Islam dan gerakan Pan Islamisme, telah menyia-nyiakan usaha-usaha PSI untuk menarik dukungan dari elite intelektual muda. Orang-orang ini sebaliknya lebih tertarik kepada citra yang lebih radikal yang diproyeksikan oleh PNI dan memberikan kepada partai tersebut kekuatan kepemimpinan eselon satu atau dua, yang merupakan suatu faktor utama bagi dominasi PNI dalam gerakan nasionalis.
PSI juga gagal dalam mencapai dukungan yang berarti pada tingkat pedesaan, terutama karena ia semakin mengucilkan dukungan kyai-kyai dan ulama pedesaan yang dalam tahun 1910 merupakan elemen kunci bagi keberhasilan PSI. Hilangnya dukungan ini sebagian juga disebabkan oleh tindakan-tindakan keras dari pemerintah terhadap PKI. Hanya sedikit orang yang sekarang bersedia mengambil resiko membantu suatu partai politik. Lebih penting lagi, sikap keagaamaan Tjokroaminoto yang tidak ortodoks dan acaman bahwa modernisme Islam PSI akan menyulitkan posisi mereka sendiri, menyebabkan mereka meninggalkan PSI. Untuk mempertahankan ortodoksi terhadap penyelewengan-penyelewengan ini, beberapa ulama di Jawa Timur mendirikan Nahdatul Ulama pada tahun 1926, yang keorganisasiannya segera tersebar ke seluruh Jawa. PSI akan jauh lebih sulit untuk dapat berakar di daerah pedesaan. PSI semakin terjepit antara modernisme dinamis dari Muhammadiyah yang mempunyai basis di kota dan ortodoksi dan konservatisme Nahdatul Ulama yang mempunyai basis di pedesaan.
Pada sisi yang lain, langkah-langkah imbangan yang dilakukan oleh pemerintah pada tingkat kabupaten dan desa ternyata efektif, dan baik pegawai-pegawai bangsa Eropa maupun pegawai-pegawai Indonesia semakin menaruh perhatian terhadap keluhan-keluhan di daerah, dalam suatu usaha yang yang cukup berhasil menghilangkan setiap isyu yang dapat dieksploitir oleh PSI. Perhatian terhadap keluhan yang benar ataupun yang merupakan hasil bayangan saja kemudian dibarengi dengan tindakan hukuman terhadap pemimpin-pemimpin PSI setempat yang kegiatannya mengancam ketenangan di daerah. Tindakan itu dapat berbentuk denda atau penjara bagi pemimpin daerah, tetapi meliputi juga taktik-taktik seperti pengaturan kembali kerja-kerja di desa yang bersifat mendesak agar jadwalnya jatuh bersamaan dengan rapat-rapat terbuka yang diselenggarakan oleh PSI, sehingga orang-orang desa akhirnya terhalang untuk mengikutinya, atau tercatat semua yang mengikuti rapat-rapat PSI setempat dan kemudian melaporkan kepada wedana untuk diwawancarai dan diperingatkan masing-masing secara pribadi. Tekanan tersebut memberikan masing-masing secara pribadi. Disamping itu memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan sebab di mana pun taktik itu dijalankan maka ternyata bahwa sejumlah besar anggota PSI segera melepaskan keanggotaannya atau mengembalikan kartu keanggotaannya kepada lurah desa.
Akhirnya, pembaharuan organisasi PSI hanya berlangsung di atas kertas, dan partai tersebut ternyata tidak mampu, bahkan saja pada tahun 1927 tetapi juga pada tahun-tahun berikutnya, untuk menciptakan suatu struktur organisasi yang kuat. PSI tidak bisa mencegah proses kemundurannya secara pelan-pelan, baik melalui kepemimpinan yang kuat maupun melalui reorganisasi. Dari persoalan ini kemudian timbul masalah lain yang lebih permanen sifatnnya seperti masalah kekurangan dana untuk menjalankan proyek-proyek yang lebih ambisius, yang sudah cukup membuat mereka mampu menyaingi nasionalisme keras dari PNI. Sidang kongres pada tanggal 1 Oktober 1927 menyetujui PSI untuk masuk sebagai anggota federasi yang direncanakan, sehingga dengan demikian memberikan kepada Sukiman dan Sukarno dukungan yang mereka perlukan untuk mengatur pembentukannya secara resmi. Untuk tujuan tersebut diadakan sebuah rapat pada tanggal 17 – 18 Desember 1927 di Sekolah Taman Siswa di Bandung. Hadir dalam pertemuan tersebut wakil-wakil dari PSI, PNI, Budi Utomo, Pasundan, Sumatranenbond, Kaum Betawi dan Kelompok Studi Indonesia. Pada pertemuan tersebut menerima AD yang dipersiapkan oleh Sukarno dan Sukiman untuk membentuk suatu federasi yang dikenal dengan nama Pemufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) dan memilih sebuah panitia yang terdiri dari Sabiran sebagai ketua, Sunarjo sebagai Sekretaris dan Dr. Samsi sebagai anggota ketiga untuk menyelenggarakan suatu konferensi dalam bulan Juli 1928. Sebuah dewan penasehat dibentuk untuk mengurusi masalah-masalah yang dihadapi oleh badan federasi sampai terbentuknya pengurusan tetap pada konferensi yang akan datang. Iskaq Tjokroadisurjo menjadi ketua, Dr. Samsi menjadi sekretaris merangkap bendahara, dan Sukiman berserta Sukarno menjadi anggota dewan penasehat tersebut. Terakhir sekali, rapat tersebut memutuskan agar dibentuk sebuah suratkabar nasional dan menunjuk Sartono dan Parada Harahap untuk menjajagi dan melaporkan rencana tersebut.
Akan tertapi, selama tahun 1919 pemerintah kolonial meninggalkan paham liberal, karena van Limburg Stirum mulai menyadari segala sesuatunya mulai tidak terkendalikan. Mula-mula dia berpaling kepada ISDV. Sejak Revolusi Rusia tahun 1917 ISDV telah menjadi badan komunis yang lebih nyata. Pada akhir tahun 1917 organisasi ini menghimpun sebanyak 3.000 orang serdadu dan kelasi ke dalam soviet-soviet (dewan-dewan), terutama di kota pelabuhan Surabaya. Selama tahun 1918 dan 1919 pemerintah membubarkan dewan-dewan tersebut, mengasingkan Sneevliet dan menahan atau mengasingkan sebagian besar orang-orang Belanda lainnya yang menjadi pimpinan partai ini. akan tetapi, ketika orang-orang Belanda yang radikal itu menghilang, ISDV atuh pada pimpinan orang-orang Indonesia, yang dengan cepat memungkinkan partai ini akhirnya mendapatkan basis masanya. Insulinde adalah organisasi berikutnya yang terkena pukulan. Pada awal tahun 1919 di Surakarta berlangsung kekacauan-kekacauan pedesaan yang dipimpin oleh Haji Misbach, yang khotbahnya mengenai doktrin bahwa Islam dan Komunisme adalah hal yang sama menjadikan dirinya terkenal sebagai 'haji merah'. Pemimpin-pemimpin Insulinde lainnya tampaknya juga terlibat, sehingga Misbach dan Douwes Dekker ditahan dan Tjipto Mangunkusumo diasingkan dari semua wilayah yang berbahasa Jawa. Selanjutnya adalah giliran SI.
Kaum nasional dari segala aliran politik dengan cepat menyambut pembentukan PPPKI sebagai suatu kemajuan penting dalam perjuangannya melawan Belanda. Ada kecenderungan untuk melihat pembentukan PPPKI itu sendiri sebagai pergeseran penting dalam perimbangan kekuatan dalam wilayah jajahan, walaupun peringatan-peringatan terhadap sikap puas semacam itu dikeluarkan oleh organ PNI dan oleh suratkabarnya Singgih Timboel. Problem utama ialah bahwa satu-satunya ikatan bersama yang kuat antara organisasi-organisasi nasionalis tersebut adalah suatu ikatan negatif, yaitu bahwa semua mereka menentang musuh yang sama, yaitu Belanda. Dalam bentuknya yang positif, semua partai-partai anggota menyatakan dengan lantang dan berulang-ulang keinginan mereka untuk bersatu agar dapat menghidupkan kembali masyarakatnya dan memaksa Belanda menarik diri, tetapi masih terdapat hal-hal yang belum disetujui bersama yang menarik masing-masing partai ke arah yang berbeda-beda. Dua isue terpenting adalah prinsip kooperasi dan non-kooperasi dan peranan gerakan Islam dalam gerakan kebangsaan dan, akhirnya, peranan Islam dalam negara Indonesia yang direncanakan. Dalam rumusan AD federasi Sukiman dan Sukarno berkeyakinan bahwa masalah-masalah ini telah dapat diselesaikan dengan menghindari pembahasan tentangnya dan menegaskan bahwa badan federasi hanya menaruh perhatian kepada hal-hal sampingan saja – hal-hal yang paling sedikit sangkut-pautnya dengan tujuan-tujuan dasar dari partai-partai anggota – sementara bidang-bidang yang paling utama dalam kegiatan politik diserahkan kepada masing-masing partai.
Namun demikian, pembentukan federasi tersebut merupakan sukses besar bagi Sukarno dan Sukiman. Pada saat isyu kooperasi/non-kooperasi menimbulkan emosi yang hebat dan di saat PSI merasa bahwa nasionalisme Islam terancam oleh ideologi sekuler PNI, maka terbentuknya suatu badan federasi merupakan suatu kemenangan bagi jerih payah dan keunggulan diplomatis dari kedua orang tersebut. Usaha keduanya bersifat saling mengisi dan tanpa salah satu dari keduanya maka PPPKI tak akan dapat terbentuk. Sukarno memberi dorongan kepada persatuan dan menunjukkan komitmen pribadi yang mampu menyingkirkan semua rintangan dan yang menggairahkan sejumlah besar partai dan pemimpin-pemimpin dari berbagai keyakinan untuk percaya bahwa suatu badan persatuan dapat terbentuk, dan adalah kemenangan pribadi bagi pembela yang gigih dari prinsip non-kooperasi itu bahwa ia dapat melakukan tawar-menawar secara damai dengan penganut paham kooperasi. Tetapi untuk dapat berhasil, ia memerlukan kerjasama dari partai Islam yang paling besar.
Pada awal tahun 1927 ketika dikeluarkan dari NIAS dan dikeluarkan dari JIB, Kartosoewirjo pulang ke rumah orang tuanya di Bojonegoro untuk beberapa bulan. Kepulangan Kartosoewirjo tersebut setelah sebelumnya mendengar khabar bahwa orangtuanya telah meninggal dunia. Untuk menunjukkan sebuah pengabdian kepada orangtua di sana dia menjadi guru partikulir guna membantu biaya hidup ibunya. Kehidupannya kemudian mengalami suatu pergolakan yang luar biasa. Pemikiran-pemikirannya menjadi demikian berkembang dan oleh beberapa orang Jawa yang masih jahiliyah ketika itu, pandangan-pandangan Kartosoewirjo dianggap cukup radikal. Bahkan hingga Jepang datang menjadi kekuatan imperialis baru, kisah hidup Kartosoewirjo masih berjalan pada jalur yang radikal ini, yang istiqamah. Padahal, imperialisme Jepang yang sudah dimulai sejak 1894 terkenal begitu kejam.
Namun dari serangkaian siksaan tentara Jepang yang terkenal biadab itu, ternyata ada seberkas janji yang membesarkan hati: janji pemberian kemerdekaan bagi Indonesia. Pada tanggal 7 September 1944 Perdana Menteri Koiso menjanjikan kemerdekaan bagi 'Hindia Timur' (To-indo, istilah dalam bahasa Jepang yang terus dipakai secara resmi sampai bulan April 1954). Akan tetapi, dia tidak menentukan tanggal kemerdekaan itu, dan jelas diharapkan bahwa bangsa Indonesia akan membalas janji ini dengan cara mendukung Jepang sebagai ungkapan rasa terima kasih. Angkatan Darat ke-16 di Jawa kini diberitahu supaya mendorong kekuatan-kekuatan nasionalis, dan bendera Indonesia boleh dikibarkan di kantor-kantor Jawa Hokokai. Pada umumnya pihak angkatan laut masih tetap tidak tertarik pada keseluruhan gagasan tersebut. Sejak bulan Maret 1944 pihak angkatan laut telah membentuk beberapa komite penasihat di daerah kekuasaannya, tetapi komite-komite itu tidak mempunyai kekuasaan, hanya beranggotakan para pejabat serta bangsawan pribumi dan hanya mengadakan pertemuan beberapa kali sebelum menyerahnya Jepang. Angkatan Darat ke-25 di Sumatera mengumumkan berdirinya suatu Badan Penasihat Pusat (Sumatera Chuo Sangi-in) yang sifatnya konsultatif untuk pulau itu pada bulan Maret 1945, tetapi lembaga ini hanya satu kali mengadakan pertemuan di Bukittinggi sebelum berakhirnya perang.
Dalam bulan September pada tahun yang sama, Kartosoewirjo kembali ke Surabaya, dan selanjutnya menerima tawaran Hadji Oemar Said Tjokroaminoto untuk menjadi sekretaris pribadinya. Kemudian, dia turut serta menemani HOS Tjokroaminoto yang pindah ke Cimahi dekat Bandung. Di rumah Tjokro ini untuk pertama kalinya bertemu dengan Soekarno, yang di saat itu telah menjadi ketua PNI (Peserikatan Nasional Indonesia). Di rumah itulah mereka lama berdiskusi tentang politik, yang akhirnya Kartosoewirjo mendapat kesan bahwa Tjokroaminoto adalah penasehat politik Soekarno pada masa itu. Pertemuan yang sering antara Kartosoewirjo dan Soekarno pada saat konferensi PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia), yaitu suatu musyawarah organisasi-organisasi politik Indonesia, yang dibentuk atas inisiatif Soekarno. Baru bertemu kembali dengan Soekarno pada tahun 1942 di Jakarta pada kantor pusat Djawa Hokokai, ketika dalam pemerintahan militer Jepang.
Kini terbentuklah kelompok-kelompok pemuda dan militer yang baru. Untuk yang pertama kalinya Jawa Hokokai diberikan organisasi pemuda sendiri, Barisan Pelopor, yang pada akhir perang konon beranggotakan 80.000 orang. Pada mulanya Barisan Pelopor akan digunakan untuk menyiarkan propaganda, tetapi pada bulan Mei 1945 organisasi ini mulai mengadakan latihan gerilya. Para pemimpin pemuda perkotaan yang berpendidikan berhubungan dengan pemuda-pemuda kelas-bawah yang ada di kota-kota besar dan kecil, dan sebaliknya mereka secara resmi berhubungan dengan tokoh-tokoh Hokokai yang dipimpin oleh Sukarno. Pada bulan Desember 1944 Masyumi juga diperbolehkan memiliki sayap militer yang bernama Barisan Hizbullah (Pasukan Tuhan), yang memulai latihannya pada bulan Februari 1945 dan konon mempunyai 50.000 orang anggota pada akhir perang. Kepemimpinan didominasi oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dan anggota-anggota kelompok PSII dari masa sebelum perang yang bersifat kooperatif yang dipimpin oleh Agus Salim. Sekali lagi, para politisi penting Islam dari masa sebelum perang yang bersifat nonkooperatif dilangkahi.
Pada bulan Desember 1927 di Pekalongan, saat kongres PSIHT (Partai Sjarikat Islam Hindia Timoer) Kartosoewirjo terpilih menjadi sekretaris umum PSIHT. Kemudian diputuskan juga melalui kongres, bahwa pimpinan partai harus dipindahkan ke Batavia. Setahun kemudian tepatnya pada bulan Oktober 1928, Kartosoewirjo pernah menjadi peserta kongres pemuda Indonesia mewakili partainya di Batavia, pada kongres tersebut Kartosoewirjo memberikan pandangan tentang hakikat pendidikan pada masa yang akan datang. Namun pandangannya itu bertentangan dengan pemikiran ketua kongres Sugondo. Sehingga, debat sengit pun tak dapat terelakan. Ketika Kartosoewirjo tetap mempertahankan argumentasinya, terpaksa Sugondo memukulkan palu di atas meja, maka berakhirlah perdebatan itu.
Selain bertugas sebagai sekretaris umum PSIHT, Kartosoewirjo pun bekerja sebagai wartawan di koran harian Fadjar Asia. Semula ia sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi reporter. Pada tahun 1928 Kartosoewirjo banyak melakukan perjalanan ke provinsi-provinsi dalam rangka tugasnya, berkaitan dengan jabatannya sebagai Sekretaris Umum PSIHT dia mengunjungi cabang atau ranting di daerah-daerah. Dan sempat dalam perjalanan tugasnya itu dia pergi ke Malangbong, di sana dia bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera, yang pernah tertangkap oleh Belanda beberapa bulan karena terlibat dalam peristiwa Cimareme. Di sana pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum putri Ajengan Ardiwisastera, yang kemudian dinikahinya pada bulan April tahun 1929, di saat itu usianya lebih muda dua tahun dari Kartosoewirjo. Dengan kepindahan dia ke Malangbong, maka terangkatlah diri Kartosoewirjo menjadi orang yang sangat terpandang di daerah tersebut. Bukan hanya karena reputasi mertuanya saja yang sangat berpengaruh di daerah Malangbong, akan tetapi reputasi dia juga cukup tinggi, di mana dia pernah merasakan sekolah di NIAS, menjadi sekretaris pribadi HOS Tjokroaminoto, menjabat sebagai sekretaris umum PSIHT dan anggota staff harian Fadjar Asia. Begitu banyaknya pengalaman telah menghantarkan dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan nasional.
Pada tahun 1929, dalam usinya yang relatif muda sekitar 22 tahun, Kartosoewirjo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia. Dalam kapasitasnya sebagai redaktur mulailah dia menerbitkan beberapa artikel-artikel. Langkah awal dalam artikelnya sudah berani mengkritik, sasaran pertama kritiknya ditujukan untuk menentang bangsawan-bangsawan Jawa yang bekerja sama dengan Belanda. Di antara yang diserang oleh Kartosoewirjo adalah Sultan Solo, ketika Sultan ini mengadakan resepsi ulang tahunnya yang ke-64, Sultan Solo itu hanya memperhatikan wartawan-wartawan Belanda. Tentang Sri Sultan Kartosoewirjo menulis sebagai berikut:

“Rasa kebangsaan ta’ ada, keislaman poen demikian poela halnja, kendatipoen ia menoeroet titelnja mendjadi kepala agama Islam. Agama kebangsaan kita di tanah toempah darah ini. Bangsanja dibelakangkan dan bangsa lain diberi hak jang lebih dari batas..., jang soedah terang dan njata ialah: Boekan karena tjinta bangsa dan tanah air…, melainkan karena keperloean diri sendiri belaka, keperloean jang bersangkoetan dengan kesoenanannja.”


Selanjutnya dia menulis, bahwa tidak ada perbedaan, siapa yang berkuasa, apakah itu pemerintah sendiri atau pemerintahan bangsa lain, hasilnya sama saja, yaitu bahwa rakyat tidak memiliki kemerdekaan.

“Semendjak zaman keradjaan Padjadjaran sampai ke zaman Browidjojo, maka jang boleh dianggap merdeka tjoema radjanja sadja. Tetapi rakjatnja sedjak zaman itoe sampai ini waktoe tetap tinggal dalam gelombang perhambaan dan perhinaan jang serendah-rendahnja dan sedalam-dalamnja”.

PSIHT selalu berupaya untuk membela rakyat dan bangsanya, agar supaya kelak di kemudian hari Indonesia menjadi Indonesia merdeka dan agama Islam menjadi agama nasional bangsa Indonesia, demikian tulis Kartosoewirjo. "Nasionalisme dalam Islam boekan satoe sport atau peloeang waktoe dan joega boekan satoe tempat kesenangan melainkan adalah soeatu kewadjiban jang berat atau ringannja haroes ditanggungkan.” Kartosoewirjo melihat saatnya telah tiba, di mana rakyat telah terjaga dari tidurnya yang selama berabad-abad lamanya dan sadar akan kewajiban dan haknya serta sama-sama menemukan suatu persatuan yang berjuang untuk kepentingan rakyat. Persatuan ini bagi Kartosoewirjo adalah PSIHT. Dia mengeritik, bagaimana dengan cepatnya seseorang dituduh komunis, termasuk anggota PMI (Pemoeda Moeslim Indonesia) yang dituduh sebagai gerakan komunis yang dapat membahayakan keamanan dan tata tertib.
Kartosoewirjo memperhatikan nasib para petani kecil, “yang menyewakan tanahnya kepada perusahaan Barat atau pada kapitalis pribumi”. Dia juga marah sekali atas kenaikan pajak sawah hingga 90%. Dia juga mengeritik kerja rodi (Heerendienst) yang diganti dengan pembayaran tahunan, hanya karena tidak ada lagi lapangan kerja, akibat krisis ekonomi di Hindia Belanda pada masa itu. Ketika beberapa petani di Lampung yang diusir dari tanah mereka oleh “sekelompok kapitalis asing”, petani ini meminta bantuan kepada partai, Kartosoewirjo menulis tentang itu:

“Orang-orang Lampoeng dipandang dan diperlakoekan sebagai monjet belaka, ialah monjet jang dioesir dari sebatang pohon ke sebatang pohon lainnja.”
“Katanja ada Madjlis ini dan Madjlis itoe, ada Volksraad ada Vinciale Raad dan Madjlis Negeri (Tweede Kamer) dan segalanja boeat melindoengi ra’jat boeat menertibkan keamanan dan keadilan.” Tapi mana buktinya, tanya Kartosoewirjo. Bukankah ini semua: “omong kosong belaka?”

Dia mengajak para buruh untuk memperbaiki keadaan mereka: “Djanganlah berkeloeh-kesah! Djanganlah meminta-minta! Djanganlah tinggal diam sadja! Kalau takoet mati djanganlah hidoep! Kalau hendak hidoep, djanganlah takoet mati.”
Kartosoewirjo juga mencela hubungan orang-orang Belanda di perkebunan-perkebunan dengan wanita-wanita pribumi. Dan dia mengajak para orang kulit putih terutama pers Belanda untuk menjernihkan masalah ini:

“Kalau mereka sesoenggoehnja menghendaki perlakoean jang manis dari fihak kita, hendaklah mereka memboeang segala perlakoean jang tidak lajak kepada bangsa Indonesia.”

Kemerdekaan bangsa Indonesia hanya bisa dicapai dengan pengorbanan yang besar, demikianlah keyakinan Kartosoewirjo pada saat itu:

“Sebab kemerdekaan tanah air tidaklah sedikit harganja, jang oleh karena harganja, tentoe bakal memakan korban loear biasa.”

Karena artikel-artikel itu, Kartosoewirjo mendapat banyak musuh, tapi justru bukan di pihak penguasa kolonial, melainkan di pihak bangsanya sendiri, terutama di kalangan kaum nasionalis yang netral agama.
Perbedaan pendapat antara kaum nasionalis Islami dan yang netral agama lebih jelas nampak pada tahun 1928/29, dan yang lebih menonjol lagi ketika PNI lebih dominan di dalam pergerakan kebangsaan Indonesia dan di lain pihak mundurnya Partai Serikat Islam Hindia Timoer (PSHIT). Ketika kemunduran partainya tak dapat dibendung lagi, Kartosoewirjo meluapkan kekecewaannya dan menyerang para Nasionalis netral agama, terutama mereka yang menjadi anggota PNI. Maka dia dalam bulan-bulan terakhir jabatannya sebagai redaktur dan wakil pimpinan Fadjar Asia menyerang kaum Nasionalis netral agama. Artikel-artikelnya yang paling tajam tidak lagi ditandatanganinya dengan nama aslinya, melainkan dengan nama samaran “Arjo Djipang.”
Sasaran kritiknya adalah pimpinan redaksi Bintang Timoer, Parada Harahap yang dimakinya dengan kata-kata emosional tanpa meninggalkan analisis intelektualnya. Koran Bintang Timoer disebutnya reaksioner, Parada Harahap sendiri disebut sebagai penjual Bangsa Indonesia dan "Binatang tikoes dari Krekot.” Tentang Parada Harahap dia menulis sebagai berikut:

“Si Parada Harahap mendjilat-djilat pantat dan mentjari moeka dan perlindoengan kepada kaoem Nasionalis (PNI), Mendjilat pantat dan mentjari moeka, karena ia perloe akan hal itoe sebab boleh djadi Parada Harahap takoet kalau ia lantaran berboeat berchianat terhadap kepada bangsa dan tanah-air kita --mendapat kemplangan di arah kepalanya, sehingga boleh djadi ia mendjadi tidak sadar kalau tidak mampoes sama sekali.”

Dan dia bertanya, “Parada Harahap kaja dari mana? Ta’ melainkan dari mendjilat pantat kaoem kapitalis dan mendjoeal boedi rochnja kepada orang asing.”
Keresahan yang besar di antara para Nasionalis timbul karena artikel Kartosoewirjo mengenai bank nasional. Apa itu, tanyanya:
“Jang dinamakan “national” jang tak lain melainkan bank setjara barat, bank systeem tiroean, bank jang menimboelkan kapitalisme, bank jang mendorong kita ke arah persesatan, bank jang akan memperoleh hasil karena memoengoet rente.”
Koran harian Darmo Kondo di Solo menulis, bahwa artikel ini menggoncangkan kaum nasionalis Indonesia dan mendidihkan darah mereka. Darmo Kondo menganggap Nasionalisme kita ini aneh, tulis Kartosoewirjo. Dan dia melanjutkan:
“Kebangsaan kita dianggap aneh oleh Darmo Kondo. Djanganlah kira kalau kita kaoem kebangsaan jang berdasarkan kepada Islam dan ke Islaman tidak berangan-angan ke Indonesia merdeka. Tjita-tjita itoe boekan monopolinja collega dalam Darmo Kondo. Dan lagi djangan kira, bila kita orang Islam tidak senantiasa beroesaha dan ichtiar sedapat-dapatnja oentoek mentjapai tjita-tjita kita, soepaja kita dapat menguasai tanah air kita sendiri. Tjoema perbedaan antara collega dalam Darmo Kondo dan kita ialah, bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia bagi Nasionalisme jang dinjatakan oleh redaksi Darmo Kondo itoe adalah poentjaknja jang setinggi-tingginja, sedang kemerdekaan negeri toempah darah kita ini bagi kita hanjalah satoe sjarat, soeatoe djembatan jang haroes kita laloei, oentoek mentjapai tjita-tjita kita jang lebih tinggi dan lebih moelia, ialah kemerdekaan dan berlakoenja agama Islam di tanah air kita Indonesia ini dalam arti kata jang seloeas-loeasnja dan sebenarnja. Djadi jang bagi kita hanja satoe sjarat (midel) itoe, bagi redaksi Darmo Kondo adalah maksoed dan toejoean (doel) jang tertinggi.”
Dengan demikian pengertian Kartosoewirjo tentang kebangsaan sesuai dengan pandangan Tjokroaminoto yang menulis sebagai berikut:
“Islam itoelah tjita-tjita kita jang tertinggi, sedang nasionalisme dan patriotisme itoe ialah tanda-tanda hidoep kita sanggoep akan melakoekan Islam dengan seloeas-loeas dan sepenoeh-penoehnja. Pertama-tama adalah kita Moeslim, dan didalam ke Moesliman itoe adalah kita Nationalist dan Patriot, jang menoedjoe kemerdekaan negeri toempah darah kita tidak tjoema dengan perkataan-perkataan jang hebat dalam vergadering sadja, tetapi pada tiap-tiap saat bersedia djoega mendjadikan korban sedjalan apa sadja jang ada pada kita oentoek mentjari kemerdekaan negeri toempah darah kita.”
Pemerintah kolonial merasa khawatir akan dinamika baru di dalam pergerakan kebangsaan terutama yang ditimbulkan oleh PNI, karena dari permulaan, partai ini mengambil sikap radikal dan non-kooperatif dengan pemerintah kolonial. Tuntutannya jelas-jelas “kemerdekaan Indonesia”. Sehingga pemerintah mengambil tindakan respresif berupa pelarangan mengunakan istilah-istilah seperti “Merdeka” atau “Kemerdekaan” di dalam pidato-pidato Soekarno. Dan pada akhir tahun 1929 Soekarno bersama dengan tokoh-tokoh nasionalis lainnya ditangkap oleh polisi kolonial karena kegiatan politiknya sudah sangat meresahkan pemerintah kolonial. Tidak lama setelah itu PNI malah dibubarkan sendiri oleh tokohnya, Mr. Sartono. Sementara pada tahun yang sama Kartosoewirjo masih relatif tanpa rintangan dapat mengeluarkan gagasan-gagasan politiknya dalam Fadjar Asia.
Kecewa akan perkembangan politik pada umumnya dan karena kejatuhan partainya sendiri, Kartosoewirjo menulis:
“Dikelak kemoedian hari, djika soedah terbit perang “Brontojoedo Djojobinangoen” kita berdiri di muka barisan kita. Sekarang ini baroe perang gagal sadja.”
Selama dia bekerja di Batavia, Kartosoewirjo hidup sangat sederhana, “Sebagai seorang lulusan ELS dan “putus kuliah” di NIAS, sesungguhnya dia dapat hidup cukup mampu sekiranya dia mau menjadi pegawai pemerintah atau bekerja pada kantor swasta. Tetapi Kartosoewirjo tampaknya lebih suka dalam kehidupan yang sederhana (qana’ah) serta mengabdikan semua tenaga dan pikiran bagi kehidupan partai dan jurnalistiknya. Ketika H.O.S Tjokroaminoto jatuh sakit, pada bulan September 1929 Kartosoewirjo mengambil alih pimpinan redaksi Fadjar Asia. Tidak lama setelah dia memangku jabatan sebagai pimpinan redaksi, Kartosoewirjo pun jatuh sakit disebabkan penyakit beri-beri. Karena ketekunan, kesungguhan dan kegairahan pengabdian yang tinggi dalam menjalankan tugas-tugasnya di harian Fadjar Asia, untuk membebaskan negeri ini dari penjajahan. Sehingga, untuk sementara waktu dia dibebaskan dari tugas kesehariannya di Batavia, kemudian dia pulang ke kampung halaman istrinya di Malangbong untuk beristirahat sejenak menyembuhkan penyakit yang dideritanya.
Pada waktu Kartosoewirjo pindah ke Malangbong, di akhir tahun 1929 dalam kongres partai PSII, Kartosoewirjo terpilih menjadi wakil Partai tersebut untuk daerah Jawa Barat. Selama dia menjalankan tugas-tugasnya di Malangbong, dia tidak muncul di pentas percaturan politik. Sejarah tentang Jawa Barat ini perlu kita pahami terlebih dahulu sehingga kita bisa mengerti mengapa Kartosoewirjo memilih geografi Sunda ini sebagai tempat dikristalkannya Darul Islam, tempat dimulainya satu pernyataan sikap seorang mujahid. Tindak kekerasan di wilayah pedalaman Jawa semakin meningkat pada awal tahun 1924 ketika bermunculan kelompok-kelompok yang menamakan diri 'sarekat hijau', terutama di Priangan. Kelompok-kelompok tersebut merupakan gerombolan-gerombolan penjahat, para anggota polisi, dan para kyai yang mendapat dukungan pemerintah Belanda dan pejabat-pejabat priyayi. Pada awal tahun 1925 sekitar 20.000 orang anggotanya menyerang rapat-rapat PKI dan SI serta mengancam para anggota mereka. Pengawasan pemerintah semakin diperketat, dan apa yang tersisa dari pimpinan PKI sering berada dalam tahanan.
Pada tahun 1911 kaum muslim Indonesia di Jawa Barat mengambil langkah-langkah pertama ke arah pembaharuan secara hati-hati. Guru-guru Syafi'i membentuk Persyarikatan Ulama (Perserikatan Para Ilmuwan Agama); tetapi mereka juga terbuka menerima beberapa ide pembaharuan paham modern dan sedikit sekali berhubungan dengan kalangan pesantren yang bergaya lama. Keterbukaan dimulai ketika Persyarikatan Ulama membuka sebuah sekolah di tahun 1916, juga mendirikan sebuah panti asuhan yang dikelola oleh cabang wanitanya, serta melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan ekonomi, seperti percetakan, pertenunan, dan pertanian. Oleh karena itu kesempatan bagus tidak disia-siakan oleh Kartosoewirjo untuk menggunakan pengaruhnya demi meluasnya kegiatan PSII di daerah itu. kesempatan ini dipergunakan juga untuk menjalin hubungan pribadi dengan ulama setempat, bukan hanya di sekitar Malangbong, bahkan juga di daerah-daerah lain di Priangan Timur. Di bawah bimbingan mertuanya Ardiwisastera yang menjadi salah seorang anggota PSII terkemuka dari daerah itu dan seorang guru agama yang sangat masyhur dibantu para ulama yang lain Kartosoewirjo memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam. Usaha Kartosoewirjo tidak berlalu begitu saja, pada kongres Partai PSII tahun 1931 dia menjabat sebagai Sekretaris Umum PSII.
Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII) merupakan kelanjutan dari Sjarikat Islam (SI) yang dibentuk Hadji Samanhudi tahun 1912 di Solo. Sjarekat Islam itu sendiri berkembang dari Sjarekat Dagang Islam yang dibentuk oleh para pedagang pribumi sebagai jawaban atas gerakan emansipasi Cina pada awal abad ke-20.
Hanya dalam waktu 3 tahun sejak berdirinya SI, partai ini merupakan suatu gerakan massa yang beranggotakan hampir setengah juta orang. Setelah itu partai ini tidak pernah lagi beranggota sebanyak itu. Sebagai gerakan massa yang pertama dan hanya satu-satunya pada saat itu, Sjarikat Islam berusaha untuk mempersatukan sebanyak mungkin rakyat Indonesia di dalam satu organisasi, dan partai ini untuk pertama kali memberikan kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk mewujudkan keinginannya. SI merupakan wadah bagi kekuatan politik yang bermacam-macam, dimulai dari Panislamist yang konservatif, hingga para Marxist radikal. Keaneka-ragaman kekuatan politik yang berwadah dalam partai ini menjadi problem yang utama, karena tidak lama kemudian muncul gejala-gejala perpecahan. Ketika Kartosoewirjo memasuki partai ini pada tahun 1927 yang sekarang disebut PSII, proses tersebut telah terjadi.
Sebelum membicarakan reaksi SI terhadap ideologi-ideologi modern ini, sebuah catatan singkat tentang Marxisme di Indonesia perlu disertakan. Marxisme atau kemudian lebih dikenal dalam baju komunisme pertama kali diperkenalkan oleh tokoh-tokoh Marxis Belanda, yang diketuai oleh H.F.J. Sneevliet.
Pada tahun 1913 H.J.F.M. Sneevliet (1883-1942) tiba di Indonesia. Dia memulai karirnya sebagai seorang penganut mistik Katolik tetapi kemudian beralih ke ide-ide sosial demokratis yang revolusioner dan aktivisme serikat dagang. Dia kemudian bertindak sebagai agen Komintern di Cina dengan nama samaran G. Maring. Pada tahun 1914 kelompok Marxis ini mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratsche Vereeninging, Organisasi Sosial Demokrat Hindia Belanda), di Surabaya. Partai kecil beraliran kiri ini dengan cepat akan menjadi partai Komunis pertama di Asia yang berada di luar negeri Uni Soviet. Anggota ISDV hampir seluruhnya orang Belanda, tetapi organisasi ini ingin memperoleh dasar di kalangan rakyat Indonesia. Pada tahun 1915-6 partai ini menjalin persekutuan dengan Insulinde (Kepulauan Hindia), sebuah partai yang didirikan pada tahun 1907 dan setelah tahun 1913 menerima sebagian besar anggota Indische Partij yang berkebangsaan Indo-Eropa, yang radikal. Anggota Insulinde berjumlah 6000 orang termasuk beberapa orang Jawa yang terkemuka, tetapi organisasi ini jelas bukanlah suatu alat yang ideal untuk menarik rakyat sebagai dasarnya. Oleh karena itulah, maka perhatian ISDV mulai beralih kepada Sarekat Islam, satu-satunya organisasi yang memiliki jumlah pengikut yang besar di kalangan rakyat Indonesia.
Lewat organisasi inilah kemudian gagasan-gagasan dan slogan-slogan Marxis diekspor ke dalam tubuh SI. Dengan menginfiltrasi SI diharapkan ISDV dapat menguasai massa. Pada tanggal 23 Mei 1920 sayap kiri partai SI di bawah pimpinan Semaun mengubah menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia), dengan SI cabang Semarang sebagai pusatnya. Semaun dipilih sebagai ketuanya yang pertama, sekalipun pada waktu itu masih tetap sebagai anggota SI. Strategi dasar PKI ialah bagaimana menghancurkan pengaruh tokoh-tokoh SI yang lain dan membawa SI secara keseluruhan melalui infiltrasi ke dalam kamp komunis. Pada mulanya anggota PKI juga tetap menjadi anggota SI. Pengaruh kiri di dalam Sarekat Islam semakin bertambah besar karena ISDV berusaha memperoleh rakyat sebagai landasan. Pada tahun1914 seorang pemuda Jawa buruh kereta api yang bernama Semaun (lahir tahun 1899) menjadi anggota SI cabang Surabaya. Pada tahun 1916 dia pindah ke Semarang, di mana Sneevliet aktif dalam Sarikat Buruh Kereta Api dan Trem (VSTP: Vereniging Spoor en Tramweg-personeel). Kini Semaun juga bergabung dengan ISDV. Jumlah anggota SI Semarang berkembang pesat mencapai 20.000 orang pada tahun 1917, dan di bawah pengaruh Semaun cabang ini mengambil garis anti kapitalis yang kuat. Cabang ini menentang peran serta SI dalam kampanye Indiƫ weerbaar, menentang gagasan untuk duduk dalam Volksraad, dan dengan sengit menyerang kepemimpinan Central Sarekat Islam (CSI). Dalam kongres SI tahun 1917 kelompok radikal tampak memperoleh dukungan yang sangat besar. Tjokroaminoto merasa takut akan dimulai pertikaian intern dengan mereka dan setuju melontarkan kecaman terhadap kapitalisme yang berdosa; dengan demikian, nyata-nyata mengecam modal asing dan Cina tetapi bukan modal yang ada pada para Haji Indonesia dan lain-lain. Abdul Muis (1890-1959), seorang Minangkabau yang pernah menjadi wakil SI di dalam delegasi Indiƫ weerbaar ke negeri Belanda, melangkah sedemikian jauh ketika mengatakan bahwa apabila ternyata Volksraad gagal, SI akan memberontak.
SI kini terpecah menjadi beberapa kelompok, dan Kelompok aliran kiri yang dipimpin oleh cabang Semarang sangat menggebu-gebu dan berusaha keras untuk mendapatkan kekuasaan. Disamping itu pada tahun 1917 di daerah Jawa Barat telah didirikan suatu cabang revolusioner rahasia. Sangat sulit diharapkan dari mereka, disamping ketidak jelasan arah perjuangan juga keanggotaan rakyat sulit dikendalikan karena sebagian besar mereka cenderung terhadap tindakan kekerasan. Badai perpecahan di dalam tubuh SI ini ketika tahun 1915 muncul satu kekuatan baru di dalam tubuh SI. Pada tahun itu seorang Minangkabau bernama Haji Agus Salim (1884-1954), yang bekerja sebagai mata-mata polisi turut hadir dalam satu acara rapat yang diselenggarakan SI. Pada saat itula dia berubah niat justru ingin mendukung tujuan SI, dan membawa bersamanya komitment pada Pan-Islam dan Modernisme sebagai dasar yang tepat untuk menjalankan kegiatan politik partai.
Ketika diadakan pemilihan anggota Volksraad sekitar awal tahun 1918 sekaligus mengumumkan hasilnya—Abdul Muis dari CSI dan Abdul Rivai seorang Minangkabau yang menjadi anggota Insulinde, berhasil terpilih menjadi anggota,—namun seorang Gubernur bernama Jenderal van Limburg Stirum tidak puas dengan hasil ini. Dia menggunakan hak penunjukannya untuk mengangkat Tjipto Mangunkusumo (yang sudah kembali dari pengasingan) dari Insulinde dan Tjokroaminoto dari SI yang lebih bisa diajak bekerja sama. Adapun dari orang Eropa yang berhasil terpilih adalah anggota yang lebih progresif daripada sebagian besar anggota yang berkebangsaan Indonesia. Oleh karena itu Nederlandsch Indische Vrijzinnige Bond (Persekutuan Liberal Hindia Belanda) yang berkecenderungan terhadap politik Ethis bekerja bersama-sama dengan kaum Sosialis Belanda (Sociaal Democratische Arbeiderspartij: Partai Buruh Sosial Demokrat) dan orang-orang Indonesia yang lebih liberal mengadakan satu koalisi dengan membentuk suatu mayoritas dari anggota-anggota yang terpilih.
Tjokroaminoto yang ingin mempertahankan persatuan pergerakan nasional agak sedikit apologetik dengan memberikan kesempatan atau peluang pada golongan kiri. Tjokroaminoto mengatakan bahwa sosialisme Islam “lebih awal dan lebih baik dari sosialisme ciptaan Marx, baik dalam teori maupun praktek.” Lebih jauh dikatakan bahwa gagasan-gagasan sosialime sudah inheren dalam Islam. “Kita muslim, jadi kita sosialis,” ucap Tjokroaminoto. Ketika SI pada tahun 1921 memberlakukan peraturan baru dalam rangka melaksanakan disiplin partai yang tidak lagi memperbolehkan adanya keanggotaan yang ganda, akhirnya terjadilah perpecahan yang nyata dalam SI yang selanjutnya mempertegas wajah ke-Islamannya. Dan pada tahun 1930 SI berubah nama menjadi PSII (Partai Sjarikat Islam Indonesia).
Organisasi PSII memiliki tradisi non kooperasi yang panjang usianya. Kebijaksanaan politik tentang ini pertama-tama dirumuskan pada Kongres pertama partainya pada tahun 1923 dan 1924. Dengan menemukan ilhamnya dalam gerakan Mahatma Ghandi di India, dikembangkanlah konsep-konsep berdikari (swadeshi) dan dilenyapkannya struktur kolonial yang berlaku (hidjrah).
Sifat yang agak agresif dari politik non kooperasi PSII tercermin dalam kombinasi swadeshi dengan hidjrah. Jadi swadeshi sendiri yang sudah mengandung penolakan pengaruh kolonial, selanjutnya diperdalam oleh gagasan hidjrah, yang memungkinkan PSII merumuskan politik non kooperasi yang agresif tanpa perlu menggunakan pemberontakan terang-terangan.
Selanjutnya di dalam tubuh partai PSII terdapat pertentangan antara kedua kelompok besar, yaitu antara Dewan eksekutif (Ladjnah Tanfidzijah) di bawah pimpinan Abikusno Tjokrosujoso (adik Tjokroaminoto) yang tetap memperjuangkan politik non kooperasi, di mana dia tidak mau bekerja sama dengan fihak kolonial. Dan di satu pihak Dewan Partai di bawah pimpinan H. Agus Salim yang cenderung pada sikap untuk bekerja sama dengan kekuasaan kolonial. Dia khawatir, kalau politik non kooperasi diteruskan, akan ada kerugian forum politik yang akan mempercepat keruntuhan partai dan dia mendesak supaya diadakan suatu referendum tentang masalah ini.
Juga Roem berpendapat, bahwa rakyatlah yang paling menderita karena haluan yang dijalankan Abikusno ini. Sebab partai tidak lagi mewakili kepentingan rakyat di Volksraad dan semua itu hanyalah demi kepentingan politik partai. Meskipun sudah banyak alasan yang dikemukakan oleh Salim tetap tidak berhasil usul-usulnya itu diterima oleh partai, justru sebaliknya Abikusno menuduh Salim hanya untuk mencari kursi dalam Volksraad. Sebelum usul-usul Salim dapat diperdebatkan pada kongres partai yang berikutnya, Abikusno telah meletakkan jabatannya sebagai ketua partai pada akhir tahun 1935, sebab yang dikatakannya, dia tidak mau menghalangi Salim dalam usahanya itu.
Kartosoewirjo yang pada saat itu masih menjabat sebagai sekretaris Dewan Eksekutif, (Ladjnah Tanfidzijah), mengikuti langkah Abikusno meletakkan jabatannya.
Pada kongres partai ke 22 di Batavia bulan Juli tahun 1936 Abikusno terpilih menjadi ketua partai PSII. Setelah cara pemilihan pimpinan partai yang baru diberlakukan, yaitu kongres partai hanya harus memilih ketua partai saja. Di kongres ini terlihat jelas bahwa Abikusno lebih kuat dibandingkan dengan Agus Salim, dengan demikian Abikusno terpilih menjadi formatur, yang dapat memilih sendiri anggota-anggota pimpinan lainnya. Dan melalui rapat formatur ini Abikusno segera mengangkat Kartosoewirjo menjadi wakilnya. Jabatan sebagai wakil ketua PSII dipegang Kartosoewirjo sampai ia keluar dari partai dalam tahun 1939.
Setelah terpilihnya Abikusno menjadi ketua partai dia mengumumkan bahwa pertentangan mengenai politik hidjrah telah berakhir dan memerintahkan semua cabang-cabang partai tersebut untuk tidak mengambil peduli pada saran-saran Salim.
Dalam bulan November 1936 dengan perasaan yang sangat kecewa atas sikap Abikusno itu Salim membentuk suatu fraksi sendiri dalam tubuh partai PSII di bawah pimpinan Moehammad Roem. Fraksi tersebut diberi nama “Barisan Penjadar PSII” dan Salim berharap, bahwa di suatu saat nanti usul-usulnya untuk bekerja sama dengan pemerintahan kolonial akan disetujui. Setelah mendengar khabar bahwa Salim membentuk fraksi baru tersebut, Abikusno segera memberikan responnya dan mengumumkan kepada anggota-anggota PSII , bahwa politik hidjrah menjadi politik resmi partai tersebut, dan dia melarang cabang-cabang partai dengan ancaman pemecatan, bila mereka mendiskusikan usul-usul Salim atau mendukung fraksi Salim. PSII hanya mencontoh Sunnah Rasulullah dan bukan mengikuti pola pergerakan Barat, kata Abikusno. Anggota-anggota fraksi Salim merasa bahwa mereka yang sudah sangat berjasa untuk partai dan berjasa untuk “Oemat Islam dan kaoem sebangsa Indonesia, oleh poetjoek pimpinan “Baroe” dibentjana namanya dan kehormatannja.” Pucuk pimpinan kekurangan kesadaran sebagai pimpinan partai Islam yang hendak menjunjung agama Islam. Tulis Sabirin. Sabirin sebagai anggota fraksi Salim yakin, bahwa PSII akan menjadi satu perhimpunan rakyat “dalam pengawasan polisi, tertutup langkahnja dalam politik.” Begitu juga Moh. Roem sebagai ketua Barisan Penjadar menulis bahwa dari pergerakan politik Indonesia akhirnya hanya tinggal namanya saja. Hak-hak dasar demokrasi dianggap rendah oleh pimpinan partai, hak untuk mengeluarkan pendapat secara bebas bagi anggota partai dilanggar, tulis Moehammad Roem. “Partai memboetoehkan ketentraman, ketentraman jang akan terdapat djika “doodsklok” soedah diboenjikan, ketentraman di liang koeboer.”
Dalam bulan Januari 1937 Salim, Roem, Sabirin, Sangadji, Muslich dan 23 anggota fraksi Salim yang lainnya dikeluarkan dari keanggotaan PSII. Dengan demikian terjadilah perpecahan PSII lebih lanjut, karena Salim segera membentuk suatu partai Islam baru yang berdiri sendiri, yang disebutnya “Pergerakan Penjadar”.
Kritikan juga dilancarkan oleh Kartosoewirjo kepada Agus Salim ketika diadakan kongres partai, dan Kartosoewirjo menuntut suatu penerapan politik hidjrah yang tidak mengenal kompromi. Kartosoewirjo menerangkan, bahwa politik ini merupakan suatu jalan tengah antara Non-kooperasi dan Kooperasi. Oleh karena itu, dalam kongres Abi Kusno menugaskan Kartosoewirjo untuk menyusun suatu brosur tentang sikap hidjrah partai PSII.
Abikusno Tjokrosujoso membuat pernyataan bahwa kongres PSII Juli 1936 telah menyetujui politik Hijrah dan telah diuraikan secara terperinci oleh Kartosoewirjo dalam suatu brosur dua jilid mengenai masalah ini yang judulnya berbunyi “Sikap Hidjrah PSII” dan untuk Kata Pengantarnya sendiri akan dibuat olehnya serta ditandatanganinya sebagai presiden dan Arudji Kartawinata sebagai sekretaris PSII.
Hasil kongres yang telah diputuskan bersama itu mendapat kritikan dari anggota-anggota fraksi Salim, mereka menyatakan bahwa penjelasan tentang politik hidjrah tidak dapat diperoleh melalui pimpinan partai apalagi melalui brosur-brosur Kartosoewirjo. Semua itu kelihatan hanya sebagai suatu bungkusan yang indah tetapi tanpa isi, tulis Sabirin. Kenyataannya politik Hidjrah atau politik Non kooperasi PSII juga tetap tanpa hasil seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Kritik Moh. Roem terhadap brosur Kartosoewirjo terutama ditujukan pada bab akhir, di mana Kartosoewirjo di dalam brosurnya menerangkan politik Hidjrah. “Mengapa tidak diterangkan setjoekoepnja? Tanya Moehammad Roem. “Oentoek pengertian jang lebih djelas, lebih baik diadakan sadja dhoekir “baroe” jaitoe, mengoetjapkan perkataan “Politik Islam “100 kali”, begitu sarannya.
Pertanyaan tentang Non Kooperasi atau Kooperasi tidak dibahas Kartosoewirjo di dalam brosur-brosurnya, hal itu sesuai dengan petunjuk Abikusno. Masalah Non Kooperasi tidak penting bagi PSII dan tidak ada gunanya. Hanya untuk memikirkan hal tersebut sudah merusak pikiran kita, tulis Kartosoewirjo. Sebagian besar brosurnya ditujukan pada pembahasan arti sebenarnya dan maksud hijrah. Dibedahnya Al-Quran yang memuat kata hijrah dan dijelaskan artinya dalam konteks yang relevan. Penafsiran dan pandangan Kartosoewirjo tentang perubahan konsep pada konteks kolonial sangat teliti dan jauh jangkauannya. Dengan mendasarkan diri pada Al-quran dinyatakan hijrah sebagai kewajiban “semua pria dan wanita, tua dan muda,” kecuali mereka yang lemah, dan hijrah tidak boleh dihentikan “sebelum Falah (Keselamatan) dan Fatah (Kemenangan atau Pembukaan) tercapai.
Menurut Kartosoewirjo PSII berdiri di luar badan/lembaga yang dibentuk oleh pemerintah kolonial, tetapi partai ini tidak akan tinggal diam, bila rakyat dan bangsa akan dirugikan. Program politik PSII dia bandingkan dengan Jihad selama waktu Hidjrah. Menurut Kartosoewirjo, politik PSII adalah politik Islam, yang ia terangkan sebagai berikut:
“Jang dimaksoedkan dengan politik dalam faham Party Sjarikat Islam Indonesia ialah politik Islam, politik sepandjang adjaran-adjaran Islam. Dan dari sendirinja, maka politik jang didjalankan oleh PSII ialah politik Islam. Boekan politik barat atau politik membarat! Boekan politik jang tidak ada sangkoet-paoetnja dengan Islam dan boekan poela politik jang “Boekan politik Islam” atau politik di loear Islam”! Dalam brosurnya jilid I, Kartosoewirjo membahas hubungan antara manusia dan agama, begitu juga antara agama dan politik. Sejarah PSII antara tahun 1912-1936 dia bagi dalam tiga tahap, tahap I, zaman Qouliyah yaitu antara tahun 1912-1923. Pada tahap ini perhatian partai kebanyakan ditujukan pada hal-hal duniawi. Tahap yang kedua adalah zaman Fi’liyah yaitu antara tahun 1923-1930, suatu zaman peralihan, dan tahap yang ketiga adalah zaman I’tiqadiyah setelah tahun 1930. Pada tahap ini manusia sadar akan kewajiban-kewajiban agamanya. Kartosoewirjo menyebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menciptakan suatu dunia Islam yang murni. Dalam dunia Islam manusia harus menjalankan perintah-perintah Allah dan nabinya secara sungguh-sungguh dan benar.
Dalam jilid II, Kartosoewirjo menjelaskan penafsiran arti-arti hidjrah, yang bagi PSII merupakan kewajiban dan yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia. Berbeda dengan Non Kooperasi yang mempunyai arti yang lebih negatif, Hidjrah merupakan sikap yang positif, demikian Kartosuwiryo. Dia juga menentang pendapat yang tersebar luas di Barat, bahwa jihad selalu harus berarti perjuangan fisik. Dia membedakan dua macam Jihad, yaitu jihad kecil (jihad ul asghar) untuk melindungi agama terhadap musuh-musuh luar, dan jihad besar (jihad ul akbar) yang ditujukan untuk memerangi musuh dalam diri manusia itu sendiri. Dan karena tidak ada Hidjrah tanpa Jihad, maka PSII menyusun suatu program Jihad yang menjadi bagian dari “jihad PSII”.
Pada kongres partai PSII yang ke 23 tahun 1937 di Bandung, di bawah pimpinan Kartosoewirjo dibentuk suatu komisi yang harus menyusun suatu “program aksi hidjrah” (Daftar Oesaha Hidjrah PSII). Di mana penyusunan program tersebut telah diputuskan juga dalam kongres partai yang berikutnya pada tahun 1938 di Surabaya. Serta diputuskan juga akan didirikan suatu lembaga pendidikan kader di Malangbong dengan nama “Soeffah PSII”, yang akan dibuka pada tanggal 20 Februari 1939 di bawah pimpinan Kartosoewirjo sendiri sebagai wakil presiden PSII, yang bertujuan untuk pendidikan politik bagi kaum muslimin Indonesia, agar dengan demikian mereka dapat memerintah negara mereka sendiri bila saatnya nanti telah tiba, khususnya bagi anggota PSII yang laki-laki.
Akan tetapi sangat disayangkan sekali program yang baik tersebut tidak bisa terwujud melalui partai seperti yang direncanakan semula, karena dalam beberapa tahun kemudian situasi dalam partai PSII mengalami perubahan haluan politiknya.
Pada tahun 1939 Kartosoewirjo terlibat dalam pertengkaran yang sengit dengan mayoritas pimpinan PSII yang diketuai Abikusno. Sebagai pimpinan partai Abikusno mengajak Kartosoewirjo untuk memutar haluan politik partai dengan bergabung ke GAPI (Gabungan Politik Islam) dalam mengatasi tekanan Pemerintah Kolonial yang makin mendesak. Tetapi Kartosoewirjo tidak ikut melaksanakan perubahan arah balik politik ini dan tanpa kompromi tetap istiqomah pada pendiriannya, di mana satu-satunya haluan yang benar adalah politik Hidjrah. Menurut Kartosoewirjo tuntutan GAPI, adalah pembentukan suatu parlemen Indonesia, dan itu merupakan “sikap kooperasi juga namun, dengan corak yang lain”.
Perubahan politik PSII dari garis non kooperasinya yang dulu membuat brosur Sikap Hidjrah PSII yang dibuat oleh Kartosoewirjo begitu besar arti dan nilainya, kini sudah tidak berguna lagi. Pikiran-pikiran yang dikemukakan oleh Kartosoewirjo dicap sebagai anakronisme (yang tidak berkesesuaian). Maka untuk mempertahankan kebenaran sikap PSII, Kartosoewirjo dengan anggotanya yang sealiran antara lain Jusuf Taudjiri, dan Kamran membentuk partai baru yaitu Komite Pembela Kebenaran PSII (KPK-PSII). Karena dimaksudkan untuk bergerak di dalam PSII. Pada awal tahun 1939 Dewan Eksekutif PSII mengeluarkannya dari partai, yang sebelum pemecatan Kartosoewirjo dituduh telah menyalahgunakan uang partai. Dengan tindakan yang sepihak dari partai ini Kartosoewirjo tidak menghiraukannya dan terus melanjutkan rencananya semula untuk melaksanakan program aksi hidjrah dan pembentukan lembaga pendidikan kader.
Pada kongres partai yang ke 25 dalam bulan Januari 1940 di Palembang, melalui keputusan yang diambil komite eksekutif partai resmilah pemecatan Kartosoewirjo, Joesoef Taudjiri, Akis, Kamran, dan Sukoso dengan perimbangan 134 suara setuju, 9 suara netral. Dan diputuskan juga dalam kongres tersebut bahwa pelaksanaan program aksi Hidjrah tidak lagi diteruskan dan komisi yang sebelumnya ditugaskan untuk menyusun program ini, akan dibubarkan. Serta semua anggota PSII dilarang untuk memasuki Partai yang dibentuk oleh Kartosoewirjo.
Dalam bulan Maret 1940 melalui rapat umum komite Kartosoewirjo memutuskan mengubah KPK-PSII menjadi sebuah partai independen, yang berkantor pusat di Malangbong. Maksud yang terkandung sesungguhnya di belakang ini adalah bahwa komite akan berkembang menjadi PSII yang sebenarnya. Karena PSII Abikusno Tjokrosujoso dirasakan terdiri dari orang-orang yang telah mengkhianati haluan politik partai PSII yang telah dirintis oleh pembesar-pembesar partai sebelumnya dan berkhianat atas perjuangan masyarakat Islam yang sebenarnya.
Dengan memakai anggaran dasar dan peraturan-peraturan PSII yang lama, Kartosoewirjo ingin menegaskan bahwa KPK PSII adalah kelanjutan yang sebenarnya dari PSII yang lama. Sebab Kartosoewirjo merasa yakin bahwa partainya ini adalah partai PSII yang benar.
Menurut Horikoshi, pada sidang KPK-PSII yang pertama dalam bulan Maret 1940, dihadiri oleh enam cabang PSII yang lama dari Jawa Barat di antaranya dari Cirebon, Cibadak, Sukabumi, Pasanggrahan, Wanaraja dan Malangbong. Dalam sidang itu, keluar juga Daftar Oesaha Hidjrah PSII yang penyusunannya ditugaskan kepada Kartosoewirjo ketika dia masih menjabat sebagai wakil ketua PSII. Daftar Oesaha Hidjrah PSII tersebut masih keluar dengan judul aslinya dan dicetak oleh penerbitan yang didirikan oleh Kartosoewirjo di Malangbong, yaitu “Poestaka Darul Islam”.
Kartosoewirjo juga masih merencanakan untuk menerbitkan suatu penafsiran tentang program tersebut (Tafsir Daftar Oesaha Hidjrah) tetapi rencana ini tertunda. Dalam kata pengantar brosurnya, Kartosoewirjo tidak menyebut pemecatan dirinya dari PSII yang terjadi sebelumnya dan juga tidak menyinggung bagaimana terjadinya pembentukan KPK-PSII. Bahkan dia memberi kesan, bahwa dia sekarang mewakili PSII yang sebenarnya. Dia hanya menyayangkan, bahwa Daftar Oesaha Hidjrah PSII tidak lagi dapat diterbitkan sebelum berlangsungnya kongres PSII di Surabaya seperti yang direncanakan. Dalam Bab I brosurnya, Kartosoewirjo membahas struktur masyarakat yang menurut dia terdiri dari tiga macam masyarakat yang berbeda-beda dalam hukum dan haluannya, dalam susunan dan aturannya dan dalam sikap dan pendiriannya, tetapi hidup bersama-sama dalam satu negeri.
Ketiga macam masyarakat tersebut adalah masyarakat Hindia Belanda atau “masyarakat kejajahan” yang berkuasa; berikutnya adalah masyarakat Indonesia yang belum mempunyai hukum maupun hak dan tidak mempunyai pemerintahan sendiri, dan yang ketiga adalah masyarakat Islam atau “Darul-Islam”. Perbedaan antara masyarakat Indonesia dan masyarakat Islam menurut Kartosoewirjo adalah sebagai berikut:
“…masyarakat kebangsaan Indonesia mengarahkan langkah dan sepak terdjangnja ke djoeroesan Indonesia Raja, agar soepaja dapat berbakti kepada Negeri toempah darahnja, berbakti kepada Iboe-Indonesia. Sebaliknja, kaoem Moeslimin jang hidoep dalam masjarakat Islam atau Daroel-Islam, “tidaklah mereka ingin berbakti kepada Indonesia atau siapa poen djoega, melainkan mereka hanja ingin berbakti kepada Allah jang Esa belaka”. Maksoed toedjoeannja poen boekan Indonesia Raja, melainkan Daroel-Islam jang sempoerna-sempoernanja di mana tiap-tiap Moeslim dan Moeslimah dapat melakoekan hoekoem-hoekoem agama Allah (Islam), dengan seloeas-loeasnja, baik jang berhoeboengan dengan sjahsiyah maoepoen idjtima’iyah.
Pada bab berikutnya, Kartosoewirjo menyebutkan alasan-alasan turunnya “harkat derajat manusia atau bangsa”, yaitu karena “membelakangkan dan membohongkan agama Allah”. Kartosoewirjo mengharapkan persatuan dunia Islam dengan umatnya secara keseluruhan. Dan dia yakin, hanya dengan cara demikian dapat tercipta suatu dunia baru atau “Darul Islam”. Program aksi Hidjrah dia bagi dalam bidang-bidang politik, sosial, ekonomi, ibadah dan satu bidang tentang mistik Islam serta “ajaran Islam yang lainnya”. Dalam bagian tentang politik dia tanpa memberikan keterangan lebih lanjut hanya menyebut politik Islam nasional, politik Islam Internasional dan politik Islam terhadap dunia non Islam. Selanjutnya Kartosoewirjo menulis bahwa “kalau kita Hidjrah dari Mekkah Indonesia ke Madinah Indonesia…, boekanlah sekali-kali kita haroes berpindah kampoeng dan negeri beralih daerah dan wilajah, melainkan hanjalah di dalam sifat, thabi’at,, amal, itiqad dan lain-lain sebagainja.” Untuk mencapai Darul Islam yang sesempurna-sempurnanya, tulis Kartosoewirjo selanjutnya, manusia harus melepaskan “sifat, thabi’at dan laku ke-Mekkah-an dan beralih kepada sifat, thabi’at dan laku ke-Madinah-an.”
Tentang perekonomian dia menerangkan, bahwa sistem perekonomian harus berlandaskan pada solidaritas dan kolektivitasme. Harta yang berlebihan dari pada keperluan diri masing-masing atau rumah tangga haruslah disetorkan ke dalam tempat perbendaharaan umum seperti Baitul-Mal yang kemudian akan digunakan untuk membantu mereka yang berekonomi lemah. Dengan cara demikian tidak terdapat penumpukan kekayaan yang berlebihan dan kemiskinan akan dapat diperangi. “Ini adalah gambaran dunia Islam yang kita inginkan” demikian tulis Kartosoewirjo.
Pada bulan Maret 1940, rencana Kartosoewirjo diterima oleh kongres KPK PSII yang mengesahkan sebuah resolusi untuk membuka lembaga pendidikan kader “Suffah” di dekat Malangbong. Lembaga Suffah tersebut dibentuk dalam gaya sebuah pesantren tradisional, di mana para siswanya juga bertempat tinggal di sana. Kartosoewirjo sendiri mengajarkan bahasa Belanda, astrologi, dan ilmu tauhid kepada para siswanya. Metode pengajaran diambil dari metode H.O.S. Tjokroaminoto yang berarti bahwa para siswa di samping mendapat pengajaran pengetahuan umum dan pendidikan agama Islam juga dididik dalam Ilmu politik. Karena mengetahui bahwa mereka menghadapi kehilangan kekuasaan, maka pihak Jepang memutuskan untuk menghapuskan kekangan-kekangan yang masih ada terhadap kekuatan rakyat Indonesia. Angkatan Darat ke-16 mendesak unsur-unsur yang lebih bersifat hati-hati di dalam hierarki-hierarki Jepang supaya bertindak dengan cepat, karena mereka benar-benar mengetahui bahwa bibit-bibit revolusi telah tertanam dalam di Jawa. Pada bulan Maret 1945 pihak Jepang mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang mengadakan pertemuan pada akhir bulan Mei di bangunan lama Volksraad di Jakarta. Keanggotaannya mewakili sebagian besar pemimpin setengah baya di Jawa yang masih hidup yang berasal dari semua aliran pemikiran yang penting. Radjiman Wediodiningrat menduduki jabatan ketua, sedangkan Sukarno, Hatta, Mansur, Dewantara, Salim, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Abikoesno Tjokrosoejoso, Ki Bagus Hadikusumo, Wachid Hasjim, Mohammad Yamin, dan yang lain-lain duduk sebagai anggotanya. Keputusan pengangkatan para pemimpin dari generasi tua ini diharapkan oleh Pihak Jepang dapat diajak kerja samanya bila sudah merdeka nanti.
Sebagai dasar pendidikannya dia menggunakan konsep Daftar Usaha Hidjrah yang terdiri dari 5 bagian itu. Siswa-siswanya tidak hanya berasal dari Jawa Barat, tetapi juga dari provinsi lainnya di Jawa dan dari Sulawesi Selatan, Sumatra dan Kalimantan. Awalnya banyak siswa yang merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di lembaga Suffah yang penuh dengan disiplin, pekerjaan yang berat dan makanan yang sederhana. Ternyata dengan niat yang suci dan hati yang tulus untuk mendapatkan ridho ilahi akhirnya mereka mampu menempa dirinya dengan semangat Ruhul-Islam yang memancar dalam pribadi-pribadi kemusliman mereka, dan pada akhirnya dengan kesadaran, keyakinan dan panggilan Ilahi untuk memenangkan Agama Allah di muka bumi ini, mereka siap sedia dengan hati yang ikhlas menjadi tulang punggung kekuatan Darul Islam dan menjadi ma’mum yang setia atas imam Kartosoewirjo, yang di kemudian hari bersama-sama bahu membahu untuk tetap menggalang Negara Kurnia Allah yang diproklamasikan pada tanggal 7 Agustus 1949.

No comments: