20 December 2008

Kartosoewirjo dan Setting Sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia: Peristiwa Hijrah ke Jawa Barat

Bab Empat

Kartosoewirjo dan Setting Sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia:
Peristiwa Hijrah ke Jawa Barat

Untuk melihat betapa pentingnya posisi politik Jawa Barat, kita terlebih dahulu harus memahami beberapa political shift di Indonesia dilihat dari wilayah ini. Peristiwa perang Asia Pasifik antara tentara sekutu dengan Jepang mendatangkan berkah bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ketika terjadinya serangan balik yang dilancarkan oleh pihak sekutu pada tanggal 7 Agustus 1942 dalam upayanya untuk merebut daerah Guadalkanal telah menjadi malapetaka bagi Jepang. Apalagi setelah adanya peristiwa tertembaknya Admiral Jepang bernama Isoroko Yamamoto dalam penerbangannya di daerah Pulau Bougenville, 18 April 1943, sungguh sangat meruntuhkan moral para pejabat militer Jepang yang berada di tanah jajahan termasuk di Indonesia. Ditambah adanya pergolakan di tanah air sendiri yang ditimbulkan oleh revolusi sosial yang dipelopori oleh para alim ulama dan petani dalam menentang setiap penjajahan di tanah air semakin mempersulit langkah-langkah Jepang dalam usahanya menggalang kekuatan personil militernya. Akumulasi kejadian diatas telah memperlihatkan tanda-tanda kelemahan Jepang. Kelemahan itu diikuti dengan satu demi satu daerah yang telah diduduki Jepang di Asia Timur dapat direbut kembali oleh pihak sekutu setelah melancarkan aksi balasannya. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah yang terjadi baik dari luar maupun dari dalam, pemerintah Jepang yang berada di Indonesia pada tanggal 7 September 1944 telah mengumumkan untuk bangsa Indonesia sebuah janji berupa kemerdekaan Indonesia di kelak kemudian hari, yang akan disiarkan melalui berbagai media massa.
Makna Jawa Barat, khususnya Kota Blitar, Cilacap, Bandung dalam geopolitik Jepang, belajar dari pengalaman sejarah Belanda, adalah sangat penting. Demikian strategisnya Jawa Barat sehingga kita menyadari mengapa Belanda menyerah di Kalijati Subang, 8 Maret 1942, berdampak seluruh nusantara berbalik jatuh ke tangan penjajahan Jepang. Hal ini tidak lain karena Jawa Barat merupakan jantungnya kekuatan Penjajahan Belanda. Maka memahami kondisi Jawa Barat yang demikian strategis inilah maka dipakai oleh Kartosoewirjo sebagai wilayah hijrah. Seluruh potensi militer Jepang ada di sekitar Bandung dan daerah-daerah Sunda lainnya sangat penting artinya bagi dasar-dasar revolusi Islam bersenjata pada akhirnya. Terutama kekuatan infanteri Jepang yang luar biasa terdapat di Cimahi, kavaleri dan udaranya di Bandung, dan pabrik senjata dan mesiunya di Bandung. Departemen perangnya pun di Bandung. Dengan terkuasainya Bandung, maka Tentara Jepang dapat menguasai seluruh Nusantara. Kecuali terhadap Jawa Barat, Tentara Jepang menaruh sentral atensi sepenuhnyadengan pengertian selalu mendapatkan tanggapan tersendiri dari pemerintah Balatentara Jepang di Jakarta dan Tokyo.
Seperti terhadap Pemberontakan Tentara Peta Cileunca Pangalengan Bandung Selatan, yang mengambil tempat yang beradius sangat dekat dengan kota Bandung dan Jakarta, perhatian Jepang sangat beda perlakuannya bila dibandingkan dengan perlakuannya terhadap Pemberontakan Tentara Peta sebelumnya di Blitar dan Cilacap dan terhadap Pemberontakan Tentara Peta di Aceh (November 1944) yang mendahuluinya. Ternyata Tentara Jepang mengambil sikap yang positif untuk Jawa Barat, berdampak mengubah jalannya sejarah bagi bangsa dan negara Indonesia. Dengan pertimbangan geopolitiknya pula, Tentara Jepang memperlihatkan sikapnya yang sangat berani menyeret para pelaku Pemberontakon Tentara Peta Blitar ke Mahkamah MiliterJepang. Dengan perhitungan proses pengadilan akan menumbuhkan iklim takut, fear strategy, yang lebih mencengkam. Terutama kalangan politisi, tidak berani melancarkan tindakan politik yang tidak sejalan dengan kebijakan Tentara Jepang, bila diperlihatkon proses pengadilan pemberontak Tentara Peta Blitar.
Menjadi satu catatan dalam perjalanan pergerakan Islam Indonesia, ketika lahirnya suatu zaman baru yang sedang menyingsing ialah lahirnya gerakan pembaharuan Islam. Adapun yang melatar belakangi timbulnya gerakan pembaharuan ini perlu ada pengkajian yang lebih mendalam. Keadaan Islam di Indonesia sangat menonjol karena keaneka ragamannya. Tetapi hampir kebanyakan umat Islam Indonesia pada dasarnya adalah kaum Sunni yang menganut faham madzhab Syafi'i yang didirikan di Timur Tengah pada akhir abad VIII dan awal abad IX Masehi. Di dalam keaneka ragaman itu banyak pula diantara muslim yang saleh terlibat dalam masalah mistik Sufi; hal itu ditandai dengan tumbuh suburnya berbagai tarekat-tarekat seperti: tarekat Syattariyah, tarekat Qadiriyah, dan tarekat Naqsyabandiyah. Akan tetapi, di balik keseragaman yang tampak ini terdapat banyak perbedaan, hampir dipastikan lahirnya segala macam keyakinan itu merupakan penyimpangan dari ajaran Islam karena ketidak tahuan mereka dalam penggalian ajarannya. Seperti halnya di semua negeri yang terdapat salah satu agama besar dunia, Islam di Indonesia telah banyak dipengaruhi oleh perkembangan adat dan ide-ide lokal. Oleh karena itulah, maka orang-orang muslim terpelajar Indonesia dengan memperhatikan semua yang ada di sekeliling mereka, membuat perubahan besar dengan pembaharuan pemikiran yang lebih rasional lagi.
Selama masa penjajahan Jepang, sedikit berbeda dengan kondisi masa penjajahan Belanda, kondisi umat Islam sangat menyedihkan. Hanya pada periode pendudukan Jepang yang kendatipun singkat merupakan episode pembuka kembali keterlibatan umat Islam Indonesia dalam dunia politik. Sumbangan terbesar Jepang bagi politik Islam Indonesia terletak pada upayanya untuk menyatukan berbagai kekuatan Islam dalam suatu organisasi Masyumi yang didirikan pada 7 Agustus 1945, yang didukung baik oleh Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama (NU). Usaha Wahid Hasyim beserta tokoh-tokoh Islam lainnya untuk lepas dari pengaruh Jepang pada awalnya berhasil baik. Hal ini terbukti, ketika Jepang mengalami kekalahan dalam perang, sementara mereka yang terlibat dalam kepengurusan Masyumi tetap memainkan peran penting dalam politik nasional Indonesia.
Pada bulan Maret 1942, ketika itu bala tentara Jepang yang dipimpin oleh Kolonel Shoji sudah masuk ke wilayah Jawa Barat lewat Eretan dekat Subang, mereka terus memobilisasi pasukan untuk terus bergerak menuju pusat pemerintahan kolonial di Bandung, karena di Bandung berada semua pemerintah kolonial yang telah diungsikan sejak bulan Februari 1941. Bersamaan dengan kejadian itu Kartosoewirjo masih tetap berada di Malangbong, di jantung Jawa Barat sehingga tidak langsung merasakan pengaruh perang tersebut.
Seperti ramalan Jayabaya yang kebanyakan orang Indonesia meyakininya, Kartosoewirjo mempunyai prediksi bahwa Jepanglah yang akan mengusir Belanda dan mengakhiri kekuasaan Kolonialnya di Indonesia. Dengan adanya serangan dadakan dari pihak Jepang ini, maka pada tanggal 8 Maret 1942 Panglima Tertinggi Angkatan Perang Kerajaan Belanda, Jenderal Ter Poorten, bersama Gubernur Jenderal Pemerintah kolonial Belanda, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, menyerahkan Indonesia tanpa sarat kepada Jepang.
Pada tanggal 9 Maret 1942, di mana militer Jepang telah berhasil menaklukkan Belanda, mulailah mereka melanjutkan politik yang pernah dijalankan oleh Belanda. Niponisasi mulai diterapkan di hampir seluruh wilayah pendudukan Jepang di Indonesia. Berbeda dengan Belanda, pemerintah Jepang mengadakan perubahan politik yang baru berupa devide and rule - pecah belah untuk dikuasai. Oleh sebab pihak Jepang sangat faham betul tentang peta kekuatan politik yang sedang berkembang saat itu. Dimana dalam pandangan politiknya, di Indonesia sedang ada dua kekuatan yang sedang bertarung dalam menentukan masa depan negerinya, yaitu nasionalis Islam dan nasionalis yang non Islam.
Sebelum kedatangannya ke Indonesia Jepang sudah mengerti betul bahwa mayoritas masyarakat Indonesia adalah orang Islam, dan keberadaan mereka tersebar disetiap ormas dan parpol Islam. Oleh karena itu khusus untuk umat Islam Jepang telah membuat kebijakan politik tersendiri, yang menurut H.J. Benda disebut Nippon's Islamic Grass Root Policy - Kebijakan Politik Islamnya Jepang. Arah kebijakan politik ini adalah bagaimana Jepang berusaha untuk bisa mengeksploitasi kekuatan umat Islam yang tertumpu pada Ulama Desa dan para cendikian muslimnya, karena menurut anggapan Jepang keberadaan mereka semua hanyalah sebagai penghambat penjajahannya di Indonesia.
Pembaharuan disegala bidang dilakukan oleh Jepang dalam awal pejajahannya. Hal ini dilakukan oleh Jepang karena di Indonesia telah menggema rasa nasionalisme untuk keluar dari belenggu penjajahan, yang jika dicegahnya akan mengadakan perlawanan. Dan inilah yang tidak diinginkan oleh Jepang setelah belajar banyak dari bagaimana Belanda menjalankan kolonialismenya di Indonesia. Dengan diadakannya pembaharuan tersebut untuk meyakinkan kepada masyarakat Indonesia bahwa kehadiran mereka adalah sebagai Saudara Tua dalam pengertian politik. Yang nantinya akan memberikan kemerdekaan Indonesia.
Dalam hal pembaharuan yang dibuka oleh Jepang disambut baik oleh kalangan politisi Indonesia. Dalam suatu sidang yang diikuti sejumlah politikus Indonesia untuk mengajukan suatu saran kepada pihak Jepang mengenai susunan sebuah kabinet Indonesia masa yang akan datang. Dengan penuh semangat Abikusno yang memimpin sidang itu telah menyusun suatu “Daftar Calon-calon Menteri untuk Pemerintah Indonesia dan para pembantunya”, tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dari calon-calon yang bersangkutan Abikusno mengusulkan Moh. Hatta menjadi menteri perekonomian dan Soekarno menjadi menteri propaganda. Dan dia sendiri disebut surat kabar Tjahaja Timur sebagai calon yang memenuhi syarat untuk jabatan perdana menteri.
Harapan akan terbentuknya sebuah pemerintahan sendiri menjadi buyar. Segala dugaan tentang susunan Pemerintah Indonesia kelak segera berakhir dengan diumumkannya dekret Panglima Militer Jawa (Maklumat No 3) pada 20 Maret 1942 yang melarang membicarakan – dalam bentuk apa pun – struktur politik Indonesia. Akhirnya para pejabat Jepang meletakkan kartunya di meja. Kata-kata maklumat itu disusun sedemikian rupa hingga benar-benar tidak memungkinkan setiap partai menjalankan fungsinya.Organisasi-organisasi yang hanya diizinkan terus berfungsi adalah yang dapat diawasi dengan teliti dan dapat digunakan untuk memobilisasi rakyat, Pemerintah Pendudukan Jepang lebih menginginkan terbentuknya organisasi massa yang baru, yang diketuai pemimpin-pemimpin Indonesia yang terkenal dan kooperatif, ketimbang bekerja dengan organisasi-organisasi yang ada. Kartosoewirjo yang masih tinggal di Malangbong bersikap menunggu. Sebenarnya dia juga mengetahui seruan Jepang pada semua politikus Indonesia, agar datang ke Jakarta. Namun dalam buku yang disusun oleh pemerintah militer Jepang, dan yang berisikan semua nama-nama orang Indonesia yang terkemuka, nama Kartosoewirjo tidak tercantum.
Kartosoewirjo kini hanya menjadi “tokoh regional” saja, karena sikap hidjrahnya yang benar-benar konsekwen. Dalam masa pendudukan Jepang dia tetap memfungsikan lembaga Suffah, namun kali ini lebih banyak memberikan pendidikan kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka pendidikan militernya. Kemudian siswa yang menerima latihan kemiliteran di Institut Suffah itu akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang utama sesudah Perang, Hizbu’llah dan Sabili’llah, yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Pada tahun 1943 Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik. Dia masuk sebuah organisasi kesejahteraan dari MIAI (Madjlis Islam ‘Alaa Indonesia) di bawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus menjadi sekretaris dalam Majelis Baitul-Mal pada organisasi tersebut. Kegiatan yang dilakukannya ialah mengunjungi cabang-cabang Baitul-Mal di tiap daerah terutama di daerah Priangan. Dan pada bulan Mei 1943 Kartosoewirjo bersama-sama dengan Wondoamiseno dan Safei mendirikan cabang-cabang di lima kabupaten di Priangan atas izin dari residen Jepang Aseha di Bandung. Kegiatan lain yang dilakukannya menerbitkan sebuah artikel yang tidak berbau politik tentang Isra' dan Mi’raj Rasulullah, dalam Soeara MIAI. Selanjutnya Kartosoewirjo berupaya untuk meneruskan gagasan awalnya yaitu suatu masyarakat Islam yang benar-benar sempurna baik secara ideologi maupun ide, yang disesuaikan dengan propaganda Jepang dengan membuat tulisan-tulisan. Salah satu tulisannya sebagai berikut: “bahwa semua orang dapat ikut membangunkan dunia baru yang memberi jaminan akan kemakmuran, bagi tiap-tiap bagian daripada “Keluarga Asia Timur Raya”, apabila mereka kembali kepada ajaran Rasulullah dan umat Islam sadar akan kedudukannya”. Begitulah pandangan dan wawasan keislaman yang ada pada diri seorang Kartosoewirjo, di mana setiap gerak langkah kehindupannya hanya untuk kesuksesan dunia Islam.
Organisasi ini hanya berjalan selama enam bulan saja, karena pada bulan Oktober 1943 dibubarkan yang selanjutnya mengadakan fusi ke Masjoemi (Madjlis Sjoero Moeslimin Indonesia) yang didirikan pada tanggal 11 November 1943, dan Kartosoewirjo sendiri masuk menjadi anggota organisasi baru ini.
Ketika rahasia tentang rencana Jepang untuk melaksanakan politik devide and rule diketahui oleh kalangan politikus Indonesia. Dimana pemerintah Jepang memang sengaja menciptakan organisasi Masyumi dan Putera, yang hanya untuk diadu domba dengan sasaran ialah meredam keinginan bangsa Indonesia untuk merdeka, dan juga untuk langgengnya kekuasaan Jepang di Indonesia. Oleh karena itu, Jepang menciptakan sebuah alat kontrol yang baru dengan mendirikan Jawa Hokokai, yaitu Perhimpunan Kebaktian Rakyat Jawa pada bulan November 1944 sebagai pengganti “Poetra” (Poesat Tenaga Rakyat), semua para politikus Indonesia diintegrasikan pada organisasi buatan jepang ini, agar mereka dapat dikontrol lebih baik tanpa menimbulkan ekses yang buruk bagi kekuasaan Jepang. Kartosoewirjo sendiri bekerja di kantor pusat Djawa Hokokai (Djawa Hokokai Chuo Honbu) di bagian Chosaka yang mempunyai tugas untuk mengumpulkan data-data ekonomi dan informasi lainnya yang penting. Aktifitas rutin yang sering dikerjakan oleh Kartosoewirjo pada masa itu mengontrol penyerahan beras yang harus dilakukan rakyat setempat.
Di samping itu Jepang juga berusaha untuk memobilisasi rakyat pedesaan, terutama masyarakat Islam untuk kepentingan perang mereka, agar tercapai peningkatan produksi pertanian. Salah satu Program yang dibuat oleh Jepang berupa dipanggilnya 60 ulama dari seluruh pulau Jawa ke Jakarta untuk mengikuti “latihan ulama” sekali tiga minggu, yang pada akhir kursus tersebut mereka harus mengisi suatu angket yang berhubungan dengan kewajiban-kewajibannya terhadap Jepang.
Pada dasarnya kehadiran pendudukan militer Jepang di Indonesia setali tiga uang dengan Kolonial Belanda. Di mana politik devide and rule yang mereka adakan hanya untuk menindasan rakyat Indonesia saja, dan dilaksanakan hanya untuk kepentingan mereka saja. Rakyat diperlakukan dengan tidak wajar, diperas tenaganya untuk bekerja Romusha mana kala tidak mau dibunuhnya. Apa yang mereka impikan selama ini dengan penuh antusias meyakini ramalan Jayabaya hanyalah kesia-siaan. Impian negeri yang merdeka dari belenggu penjajahan harus dilupakan terlebih dahulu. Anak negeri harus menumpahkan darah dulu untuk mendapatkan apa yang menjadi dambaannya.
Pada tanggal 18 Februari 1944 terjadilah gerakan perlawanan terhadap pendudukan Jepang di daerah Singaparna. K.H. Zainal Mustofa memimpin sekitar 1000 orang yang didukung pula oleh para santrinya dan para petani setempat. Adapun motifasi dari adanya aksi tersebut adalah sebuah upaya dari K.H. Zainal Mustafa dan rakyat Singaparna untuk mendapakan arti sebuah kemerdekaan yang dirampas oleh penjajah Jepang. Diawali ketika 2 orang serdadu Jepang dibunuh Tentara rakyat yang dipimpin oleh K.H. Zainal Mustofa yang hanya bermodalkan keyakinan di tengah kebatilan berhadapan dengan persenjataan yang lengkap dan personil yang besar dapatlah diperkirakan akhihrnya. Pertempuran yang tidak seimbang ini berakhir ketika ditangkapnya K.H. Zainal Mustafa bersama 21 pimpinan pesantren dan gugurnya 85 santri. Zainal Mustofa beserta keluarganya dibawa ke Jakarta dan ditembak mati di sana. Perlawanan terhadap penjajah Jepang dilanjutkan di daerah Indramayu. Sebagai rasa solidaritas umat yang berada di Singaparna, maka Haji Madriyas, Kyai Mukasan, Haji Kartiwa, Kyai Kusen, dan Kyai Srengseng dan didukung oleh sebagian besar rakyat Indramayu mengadakan aksi perlawanan terhadap tentara Jepang yang biadab. Perlawanan itu sendiri terjadi pada 30 Juli April 1944. Kali ini Jepang lebih berhati-hati, pertama-tama yang dilakukan untuk memulihkan keadaan mereka mengajak berunding. Namun kebencian rakyat lebih besar dari ajakan untuk berunding, mereka sudah tidak mempercayai lagi kehadiran tentara Jepang di Indonesia. Maka terjadilah pertempuran antara rakyat setempat dengan tentara Jepang yang dipersenjatai dengan perlatan perang. Tidaklah mengherankan setelah kejadian itu maka banyak yang gugur dari pihak rakyat karena aksi Jepang tersebut.
Ketika situasi perang Asia Pasifik mulai memburuk bagi pihak Jepang, apalagi dengan adanya pemboman dari pihak sekutu kedaerah Jepang di Hiroshima dan Nagasaki, akhirnya untuk lebih memanfaatkan para politikus Indonesia dalam mendukung usaha-usaha perjuangannya mereka bersedia untuk memberi konsesi (kepemilikan) yang lebih besar bagi rakyat Indonesia dari yang pernah dilakukan oleh Belanda sebelumnya. Orang Indonesia kini diperkenankan membentuk organisasi bersenjata sendiri. Pertama, pada bulan Oktober 1943, terbentuknya PETA (Pembela Tanah Air) dan kemudian, pada akhir 1944 dibentuklah Hizbullah (Tentara Allah), cabang bersenjata Masyumi Islam. Di samping itu, pada 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang Koiso menjanjikan Indonesia “merdeka di kelak kemudian hari”. Dan pada 1 Maret 1945 janji ini diulangi, kali ini oleh Panglima tertinggi Jepang, yang sekaligus mengumumkan pembentukan “Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan”.
Berkat dibukanya kran kebebasan berupa konsesi dari pemerintah Jepang. Pada bulan Februari 1945, berkumpul sukarelawan Hizbullah di tempat pendidikan mereka untuk mendapatkan pendidikan dasar militer selama tiga bulan, setelah itu mereka ditugaskan untuk kembali ke tempat mereka masing-masing guna mengajarkan ilmunya kepada anggota yang baru. Hal inilah yang sejak lama ditunggu oleh Kartosoewirjo, bahwa rakyat Indonesia sangat berhak untuk menentukan nasib bangsanya sendiri tanpa diberikannya konsesi sekalipun, dia segera mengaktifkan kembali perguruan Suffah di Malangbong untuk melatih para pemuda berupa latihan kemiliteran dengan dipersenjatai tongkat bambu. Kartosoewirjo sendiri tidak terjun langsung menangani latihan tersebut karena dia ditugaskan oleh pemerintah Jepang sebagai pengamat latihan-latihan di Banten. Di mana daerah ini diumumkan menjadi daerah yang terlarang, karena di sini dikhawatirkan akan mendarat pasukan sekutu.
Pada bulan Juli 1945 semua unsur di kalangan pejabat militer Jepang mengadakan kesepakatan bahwa kemerdekaan harus diberikan kepada Indonesia dalam waktu beberapa bulan. Adapun yang menjadi latar belakangnya adalah ketika direbutnya daerah Iwojima oleh tentara Amerika yang kemudian dijadikan pangkalan pesawat pembomnya untuk melancarkan serangan-serangan terhadap Jepang. Dan begitu juga yang dialami oleh sekutunya Jepang, Jerman telah menyerah kepada sekutu, dan dengan demikian pihak Sekutu diberi peluang untuk memusatkan perhatian pada perang Pasifik.
Pada akhir bulan Juli para pemimpin Sekutu di Postdam mengeluarkan suatu tuntutan agar Jepang menyerah tanpa syarat. Jepang tidak dapat lagi memikirkan tentang kemenangan ataupun tindakan mempertahankan wilayah-wilayah pendudukannya. Tujuannya di Indonesia kini adalah membentuk sebuah negara yang merdeka dalam rangka mencegah berkuasanya kembali lawan, yaitu Belanda. Pada akhir bulan Juli angkatan darat dan angkatan laut Jepang mengadakan suatu pertemuan di Singapura guna merencanakan pengalihan politik dan perekonomian ke tangan bangsa Indonesia. Mereka memutuskan bahwa Jawa akan diberi kemerdekaan pada awal bulan September, sedangkan daerah-daerah lainnya segera menyusul.
Janji Jepang untuk sebuah kemerdekaan bangsa Indonesia diwujudkannya dengan mendirikan Dokuritsu Jumbi Chosakai, yaitu “Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia”, yang didirikan tanggal 28 Mei 1945. Pada saat-saat akan berakhirnya pendudukan Jepang, pihak pemerintah militer Jepang beralih orientasi politiknya dengan memberikan perhatian lebih banyak kepada kelompok nasionalis sekuler. Kendatipun mereka tetap memberikan perlindungan kepada kelompok Islam, namun pemerintah militer Jepang lebih mempersiapkan para politisi Indonesia dari golongan nasionalis sekular untuk memegang kendali politik nasional setelah Indonesia merdeka. Kenyataan ini terlihat dari wakil-wakil Islam yang duduk dalam BPUPKI ( Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan) dan PPKI ( Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ). Penunjukkan pihak Jepang yang diskriminatif ini telah membuat rasa sentimen para politisi dari golongan nasionalis Islam.
Dalam komite BPUPKI inilah terjadi perdebatan ideologis yang serius antara wakil-wakil golongan nasionalis Islam dan kelompok nasionalis sekular. Perbedaan disekitar tentang dasar ideologi negara Indonesia yang akan lahir telah menghangatkan suasana perkembangan politik menjelang kemerdekaan Indonesia. Pihak Islam mengusulkan gagasan negara Indonesia yang berdasarkan syariat Islam. Pihak nasionalis sekuler menolak gagasan tersebut dan mengajukan gagasan negara integralis dengan dasar ideologi Pancasila.
Dari pihak Islam beralasan bahwa sesungguhnya mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Namun demikian, syariat Islam tidak dapat berjalan. Sebab, sebagaimana diutarakan oleh Ki Bagus Hadikusumo, salah seorang wakil kelompok Islam yang duduk di BPUPKI, tidak ada institusi formal (seperti negara) yang mendukungnya. Zaman pemerintahan kolonial Belanda adalah contoh paling tepat untuk melukiskan betapa syariat Islam tidak dapat berjalan, kendatipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Lebih lanjut Hadikusumo menegaskan bahwa sebagian besar ajaran Islam mempunyai hubungan langsung dengan persoalan politik.
Pernyataan Ki Bagus Hadikusumo tadi sepenuhnya dapat dipahami oleh pihak nasionalis sekular. Namun, kelompok ini masih tidak dapat menerima gagasan negara Islam, karena Indonesia menurut Soepomo, salah seorang wakil kelompok nasionalis sekular, mempunyai keistimewaan-keistimewaan tertentu. Lebih dari itu, ia juga meragukan apakah syari’at Islam telah cukup mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern. Bahkan Islam menjadi ideologi yang menyumbang banyak terhadap --apa yang disebut oleh B.J. Boland sebagai "modern struggle"-- banyak pergolakan dalam Indonesia modern. Ideologi Islam dalam pandangan kaum Nasionalis sekuler adalah bentuk sistem kuno yang tidak mampu menjawab persoalan-persoalan modern sebuah masyarakat. Padahal cukup banyak referensi yang dihasilkan oleh intelektual Muslim, baik dari dalam maupun dari luar Indonesia, tentang konsep negara modern Islam. Upaya untuk “memahami” Islam tidak sepadan dengan upaya kaum Nasionalis Islam untuk mau mengerti ideologi-ideologi lain.
Perbedaan ini berlangsung terus. Namun setelah Sukarno di dalam Badan Penyelidik menjabarkan tentang konsep nasionalismenya maka berakhirlah perdebatan itu. Keinginan dari Sukarno dengan menawarkan konsepnya bertujuan untuk tidak menimbulkan perpecahan, kompromi pun diambil: maka tercapailah kesepakatan bersama sebagaimana terumuskan dalam Piagam Jakarta, di dalamnya disepakati bahwa Pancasila merupakan dasar negara. Di samping itu dicantumkan pula rumusan "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Implikasi Piagam Jakarta untuk hubungan antara syariat Islam dan negara akan menjadi sumber pertentangan-pertentangan sengit di masa mendatang. Bagaimana tidak terjadi pertentangan, konsep Pancasila yang dibuat oleh Sukarno itu ternyata hanyalah sebuah fantasi dirinya ketika sedang mengalami pergolakan bathin tentang masa depan bangsanya.
Penjelasan Soekarno tentang Pancasila sebagai dasar yang setepat-tepatnya untuk negara Indonesia, demikian menyinggung persoalan-persoalan mendasar tentang ideologi dari negara yang akan lahir, yang nantinya akan terjadi konflik antara para pendukung negara “sekuler” dan para pendukung negara Islam. Inilah realitas yang terlihat dalam negara yang baru merdeka di Indonesia; negara baru dengan masyarakat yang lama.
Bagaimana penuturan Sukarno sendiri mengenai penemuan istilah Marhaen merupakan suatu cerita yang menarik dan juga hasil imaginatif dari romantisme revolusionernya. Menurut Sukarno, ketika dia bersepeda melewati kampung di selatan Bandung, ia terlibat dalam suatu percakapan dengan seorang petani Sunda yang sedang membajak sawahnya. Petani itu menyatakan bahwa ia memiliki sepetak tanah kecil yang digarapnya sendiri, sebuah rumah sederhana, sebuah cangkul, sebuah sekop, dan sebuah bajak, dan dengan kerja keras ia berusaha memberi sandang dan pangan bagi keluarganya. Ketika ditanya namanya, petani yang dipandang Sukarno sebagai contoh tipikal rakyatnya itu menjawab: Marhaen. Tidaklah penting apakah Sukarno sendiri percaya atau tidak percaya akan kebenaran ceritanya, dan karena cerita itu diulang-ulangnya selama bertahun-tahun maka ia barangkali telah benar-benar mengalaminya. Yang penting ialah bahwa cerita itu menunjukkan bagaimana dalam pikiran Sukarno arti dan kepentingan konsep itu terletak dalam identifikasi dengan rakyat jelata, yang membentuk sebagian besar penduduk Indonesia, dan yang dengan mereka itulah ia, seperti juga banyak elite pemimpin gerakan nasionalis yang urban dan berpendidikan barat, merasa sangat perlu untuk mengidentifikasikan dirinya.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, diproklamasikannya Republik Indonesia dengan bantuan-bantuan bandit-bandit, gangster dan lain sebagainya dalam revolusi jahiliyahnya. Setelah kemerdekaan bangsa dicapai pada tahun 1945, sebagai imbal politik yang proporsional, wajar jika kaum nasionalis Islam kemudian menuntut dan memperjuangkan Islam sebagai dasar negara Indonesia yang baru merdeka. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, Piagam Jakarta yang telah ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 itu dibicarakan kembali. Dengan alasan: demi persatuan nasional, "tujuh kata" yang sangat berarti bagi umat Islam itu dihapus. Toleransi yang diberikan kaum Nasionalis Islam tidak dibalas setimpal oleh kaum Nasionalis sekuler. Kendatipun semua pihak menyadari bahwa kontribusi Islam terhadap kemerdekaan Indonesia lebih besar daripada sumbangan-sumbangan darah yang dipersembahkan oleh kalangan-kalangan non-Islam untuk kemerdekaan tanah air ini. Gerakan-gerakan masyarakat pribumi Muslim berabad-abad lamanya berjuang menentang kolonialisme Eropa dan menuntut kemerdekaan, baik secara konsepsional (melalui perjuangan-perjuangan pemikiran yang bertebaran di media-media cetak) maupun secara fisik, beradunya tulang dan daging para Syuhada dengan mesiu kaum kafir kolonial. Tidak diragukan lagi, dalam upaya-upaya nasionalistik ini, Islam memainkan peranan yang amat menentukan. Seperti apa yang ditulis oleh George McTurnan Kahin, “Agama Muhammad bukan saja merupakan mata rantai yang mengikat persatuan; melainkan bahkan merupakan simbol kesamaan nasib menentang pendatang asing dan penindas dari agama lain.” Atau seperti yang dinyatakan oleh Fred R. Von der Mehden, “Islam merupakan sarana paling jelas, baik untuk membangun persatuan nasional maupun membedakan masyarakat Indonesia dari elite penjajah Belanda. Pulau-pulau yang mencakup Hindia Belanda tidak pernah eksis sebagai entitas linguistik, kultural atau historis. Wilayah-wilayah terakhir yang jatuh ke tangan kontrol Belanda tidak pernah tunduk hingga awal abad ke-20. Karena itu, lantaran terdiri dari berbagai tradisi historis, linguistik, kultural dan bentuk geografis yang berbeda, maka satu-satunya ikatan universal yang tersedia, di luar kekuasaan kolonial, adalah Islam.”
Seperti terlihat jelas diatas, semua pembicaraan hasil rapat sidang Panitia pelaksana tersebut menjadi sia-sia, di mana Piagam Jakarta sendiri yang disusun oleh Panitia Sembilan termasuk di dalamnya tokoh-tokoh Islam yang tetap teguh pendiriannya untuk mempertahankan bahwa perjuangan Islam harus lewat parlemen tidak pernah diberlakukan. Sampai salah satu politikus dari Masyumi yaitu M Isa Anshari, menamakan keputusan tersebut sebagai suatu “permainan sulap” yang masih diliputi kabut rahasia. Yang pada akhirnya Indonesia merdeka sesungguhnya menjadi negara “sekuler”, yang di dalamnya tidak ada persoalan mengenai kewajiban hukum bagi umat Muslim menjalankan syariat Islam.
Bagi mereka yang suka bermain angka, ada saja yang menghubung-hubungkan jumlah sembilan tokoh dalam pembentukan Piagam Jakarta tadi dengan sebuah ayat Alqur-an, bahwa tokoh-tokoh yang terlibat dalam BPUPKI itu telah keliru membaca situasi dan membawa ummatnya kejurang yang berbahaya. Ayat yang dimaksudkan, sekali lagi oleh mereka yang suka bermain angka, sesungguhnya berkenaan dengan ummat Nabi Shaleh yaitu kaum Tsamud yang maksudnya adalah: “Dan adalah di kota itu, sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaikan”. Panitia 9, mungkin bukanlah yang dimaksudkan oleh firman Allah di atas. Tapi melihat kenyataan, situasi politik, latar belakang, segi syariahnya serta akibat-akibat yang ditimbulkannya bagi generasi muslim di kemudian hari, maka sulit untuk menyangkal jika ada orang mencari-cari relevansi antara kandungan ayat dengan perilaku politik yang mereka tunjukkan. Mungkin ini suatu kebetulan saja. Wallahu a’lam.
Selama masa pendudukan Jepang, kegiatan Kartosoewirjo hanya kelihatannya saja bersedia untuk bekerja sama dengan pihak Jepang. Selama masa itu dia tidak pernah mengeluarkan pernyataan politik, juga di hadapan rekan-rekannya dalam Djawa Hokokai. Namun dia memanfaatkan kedudukannya dan memanfaaatkan sarana propaganda yang dibentuk oleh Jepang guna mencapai tujuannya tanpa sepengetahuan Jepang, seperti yang juga dilakukan banyak politikus Indonesia lainnya pada masa itu. Terutama Kartosoewirjo tidak pernah memutuskan hubunganya dengan teman-temannya dari KPK-PSII yang masih tinggal di Jawa Barat. Tetapi dia tidak pernah mengambil bagian proses pengambilan keputusan di waktu-waktu sebelum proklamasi. Untuk itu dia tidak mempunyai kesempatan, karena dia telah menarik diri dari arena politik nasional karena sikap “Hidjrahnya” yang benar-benar konsekwen, dan juga hubungan Kartosuwisrjo dengan hampir semua tokoh organisasi Islam di tingkat nasional waktu itu sudah tidak akrab lagi. Pendapatnya tentang situasi selama masa pendudukan Jepang baru dinyatakan setahun kemudian dalam sebuah brosur di mana dia menulis sebagai berikut:
“Pada zaman pendoedoekan Jepang, maka keadaannya lebih menjedihkan daripada zaman Belanda. Semoeanja pergerakan politik dengan tiada ketjoealinja disapoe bersih sampai ke akar-akarnja, atau diboenoeh mati. Hak politik beoat ra’iat noel, tidak barang sedikitpoen diberikan”.
Dan kemudian dia melanjutkan:
“Waktoe itoe praktis tiada hak politik bagi ra’iat Indonesia, melainkan semoea djedjak dan langkah haroes dilahirkan kepada Tokio, ialah peosat persembahan manoesia berhala, jang bernamakan Tenno Heika, dan kiblatnja semoea djepangisme dan kemoesjrikan ala Djepang.”
Seterusnya tentang organisasi Islam ciptaan Jepang serta peranannya pada waktu itu, Kartosoewirjo menulis sebagai berikut:
“Masjumi dan kemudian MIAI, kedua-duanja buatan Jepang, dengan perantaraan agen-agennja, kijai-kiaji a la Tokio, merupakan lembaga dan medan pertempuran. Oleh fihak Islam muda, fihak revolusioner dan progressif, lembaga ini dipakai untuk menjusun dan mengatur “gerakan di bawah tanah”, seperti juga jang dilakukan oleh kawan-kawan seperdjuangan lainnja di Hokokai dan lain-lain badan kebaktian, buatan saudara tua itu.
Benih-benih subversif di masa sangkar mas Jepang, jang sesungguhnja kamp konsentrasi, di masa nanti, mendjadi pendorong dan daja kekuatan jang hebat.”
Dan tentang Soekarno, Kartosoewirjo menggambarkannya bahwa pada saat itu Soekarno menjadi agen nomor satu Jepang:
“Ibu pertiwi diselaraskan dengan Dewi Ameterasu, animisme Djawa (kedjawen) ditjampur dengan Sintoisme, marhaenisme disesuaikan dengan tjita-tjita kema’muran Asia Timur Raja dan dengan alat-alat itu atas perintah tuannja, ia siap memperdjepangkan diri dan kawan-kawannja dan kemudian UIBI (Umat Islam Bangsa Indonesia) pun menjadi sasarannja jang istimewa.”
Pada bulan Agustus itu Kartosoewirjo berada di Jakarta, dan dia juga mengetahui kekalahan Jepang dari sekutu bahkan dia mempunyai rencana kinilah saatnya rakyat Indonesia khususnya umat Islam merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Sesungguhnya dia telah memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus 1945. Tetapi proklamasinya ditarik kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal kepada Republik dan menerima dasar “sekuler”-nya.
Namun sejak kemerdekaan RI diproklamasikan (17 Agustus 1945), kaum Nasionalis sekulerlah yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang sekuler. Semenjak itu kalangan nasionalis Islam tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 70-an kalangan Islam berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kalangan Islam dan kaum Nasionalis sekuler. Karena kaum nasionalis sekuler mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya dapat disebut sebagai pertentangan antara Islam dan negara.
Pada bulan oktober 1945 Kartosoewirjo beserta anggota-anggota Masjumi yang lain di antaranya Wahid Hasyim dan Moh. Natsir mengadakan pembicaraan tentang akan menjadikan Masjumi sebagai partai politik. Namun tidak ada sepakat dalam pertemuan tersebut, maka pada tanggal 7-11-1945 di Yogyakarta partai Masjumi didirikan dengan memakai nama yang lama, dan partai Masjumi sekarang ini dijadikan sebagai wahana organisasi bagi semua kelompok Islam. Masjumi dimaksudkan agar menjadi partai politik kesatuan bagi semua Muslim, tanpa membedakan latar belakang agama, sosial pendidikan, dan ekonomi. Dalam organisasi ini Kartosoewirjo menduduki jabatan sebagai sekretaris pertama. Pada kongres itu banyak keputusan yang dapat diperoleh di antaranya ditetapkan bahwa di samping Hizbullah, yaitu sebuah laskar Islam (di mana anggota masih muda) yang masih tetap berdiri, dibentuk lagi sebuah laskar yang dinamakan Sabilillah (yang anggotanya terdiri dari generasi lebih tua). Keputusan yang lainnya adalah, bahwa umat Islam harus dipersiapkan untuk menjalankan Jihad. Dalam programnya, Masjumi merumuskan tujuannya, yaitu untuk menciptakan sebuah negara hukum yang berdasarkan ajaran agama Islam.
Setelah dibentuknya partai Masyumi ini banyak sekali didirikan kantor-kantor cabang partai, mulai dari tingkat provinsi sampai ke bawah yaitu tingkat desa. Karena itu pula Kartosoewirjo mengadakan perjalanan ke Jawa Barat untuk mempersiapkan pendirian kantor pusat Masyumi Daerah Priangan.

1 comment:

jack said...

bagus sekali... informasinya jarang diperoleh... boleh link ya.. ke originworld.wordpress.com