20 December 2008

KELANJUTAN NEGARA ISLAM INDONESIA DALAM ORDE BARU: DARI PEMANFAATAN KEPADA PENGHANCURAN

Bab Sepuluh

KELANJUTAN NEGARA ISLAM INDONESIA
DALAM ORDE BARU:
DARI PEMANFAATAN KEPADA PENGHANCURAN

Setelah syahidnya Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, banyak peristiwa-peristiwa penting sebagai kelanjutan resistensi politik Umat Islam dan juga perjuangan Negara Islam Indonesia pada generasi penerusnya. Setelah berakhirnya rezim kekuasaan Orde Lama, pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat dari awalnya telah menyadari betul mengenai adanya kemungkinan naiknya pamor politik umat Islam. Berawal ketika jatuhnya kekuatan PKI yang telah gagal dalam aksi kudetanya kemudian secara formal diperkuat dengan keputusan politis yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang pembubaran partai PKI, secara tidak langsung telah mengangkat citra politik Islam di pentas perjuangan nasional. Yang mana kekita itu dari setiap partai politik Islam banyak mengecam dan mengutuk terhadap perlakuan PKI dan mereka menuntut pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus PKI ini, sehingga dengan demikian di dalam struktur peta kekuatan politik Indonesia saat itu terjadilah ketidakseimbangan (imbalance). Gejala yang muncul dari adanya kekalahan PKI membuat Politik Umat Islam sedang mendapat angin, dan ditangkap gejala tersebut oleh pemerintah dengan satu prediksi bahwa politik umat Islam memiliki kecenderungan hendak memperkuat posisinya. Di mana kekuatan tersebut yang akan menghancurkan cita-cita nasionalis sekuler yang telah menjadikan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Dan hal itu disadari betul oleh Angkatan Darat, bahwa di dalam kalangan umat Islam masih terdapat bibit-bibit ekstrimisme yang amat potensial yang suatu saat bisa muncul kepermukaan.
Maka pada tanggal 21 Desember 1966 diumumkannya suatu pernyataan politik oleh perwira-perwira tentara Angkatan Darat bahwa mereka "akan mengambil tindakan tegas terhadap siapapun, dari pihak mana pun, dan golongan apa pun yang akan menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 seperti yang telah dilakukan oleh Pemberontakan Partai Komunis di Madiun, Gestapu, Darul Islam ...dan Masyumi-Partai Sosialis Indonesia...."
Untuk hal tersebut di atas banyak sekali rekayasa politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui operasi badan intelejennya terhadap umat Islam di segala segmen kehidupan. Selama masih bertumbuhnya kekuatan-kekuatan politik umat Islam, selama itu pula gerakan tersebut dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan Orde Baru yang sedang mencari jati dirinya, sehingga sangat diperlukan sekali peredaman bahkan pemusnahannya. Hal tersebut persis sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Allah dalam Al-Qur'an Surah 9: 33.
"Mereka berkehendak untuk memadamkan cahaya Allah (Al Islam) dengan sarana propaganda yang mereka miliki, namun Allah berkehendak lain untuk tetap menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang musyrik itu tidak menyukainya".
Dimana dan sampai kapan pun, selama Islam diyakini oleh ummatnya sebagai minhajul hayat , satu satunya jalan kehidupan yang harus ditegakkan, selama itu pula kekuatan-kekuatan kaum kafir dan musyrik akan menjalin kerjasama bahu membahu dalam menekan laju Islam . Dan kemungkinan yang terburuk yang akan didapat oleh umat Islam dari adanya kerjasama tersebut adalah bagaimana mereka membasmi para pejuang Islam dengan kekuatan senjata yang didukung oleh pasukan militer.
Konspirasi Yahudi dan Nasrani di dalam tubuh pemerintah Orde baru telah mewarnai corak kekuasaan rezim Suharto. Ditandai dengan pelarangan rehabilatasi nama partai Masyumi, pengangkatan elit politik dari golongan nasrani sampai kepada adanya penyederhanaan partai yang bertujuan depolitisasi massa, yang dari program tersebut cukup efektif memarjinalkan posisi politik Islam. Demikianlah mereka berdaya upaya agar jangan sampai Islam memainkan peran dalam panggung politik Indonesia. Allah telah berfirman:
"Dan amat sangat tidak suka kaum Yahudi dan Nasrani terhadap Umat Islam, sehingga Umat Islam mau tunduk, patuh dan setia mengikuti pola sistem yang telah mereka buat".( Al-Baqarah: 218).
Untuk mengantisipasi setiap kekuatan arus politik Islam ini, pemerintah Orde Baru dan kaum misionaris menjalankan beberapa pola aksi melalui badan intelejennya. Sasaran pertama yang mereka goyang dengan jalan rekayasa politik adalah partai Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), Pemerintah melakukan rekayasanya terhadap Parmusi karena melihat bahwa di dalam partai Masyumi masih banyak bercokol para politikus Islam yang mempunyai militansi Islam sehingga berpotensi untuk membangkitkan kembali misi Islam dalam ajang pemilu dengan menjadikan umat Islam sebagai basis pendukungnya. Oleh karena itu, Pemerintah Orde Baru mengambil satu kebijakan terhadap partai ini. Pada tanggal 5 Februari 1968, Jenderal Suharto memberitahukan bahwa Pemerintah menyetujui pembentukan Partai Parmusi, namun Pemerintah tidak mengizinkan seorang pun kepada pemimpin bekas partai Masyumi memegang peranan dalam kepengurusan partai tersebut, Dan kepada mereka dihimbau untuk menunggu sampai selesainya pemilihan umum. Begitu juga tentang RUU Perkawinan, pada tanggal 31 Juli 1973, ketika pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan kepada DPR. Kemudian RUU tersebut mendapat reaksi keras dari umat Islam. Puncaknya, lebih dari 300 mahasiswa muslim menyerbu ke DPR dan membuat kerusakan ketika Menteri Agama Mukti Ali sedang membacakan jawaban pemerintah dalam sidang pleno DPR.
Disamping itu pemerintah Orde Baru melakukan manuver politiknya terhadap Islam tradisional seperti organisasi NU—yang nota bene memiliki banyak pengikutnya, badan intelejen yang diwakili oleh Opsus melakukan intrik politiknya dengan menciptakan organisasi massa GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam),—dengan pimpinannya yang bernama Ramadi ,—dalam penggalangan rakyat. Mereka berharap dengan melalui organisasi yang dibentuk, kekuatan umat Islam dapat ditekan. Selanjutnya, setelah bergabungnya umat Islam dalam mesin giling GUPPI ini, dengan sistematis badan intelejen menggarap massa Islam tradisional tersebut untuk ditariknya sebagai penyokong dan pembela Golkar. Demikianlah pemerintah Orde Baru menerapkan strategi kebijakannya, yang intinya adalah bagaimana mengendalikan umat Islam.
Begitu juga badan intelejen dengan program Opsusnya melakukan hal yang sama terhadap mantan para pejuang Darul Islam, mereka membuat rekayasa-rekayasa yang canggih terhadap para pejuang Darul Islam dengan pola "Pancing dan Jaring", para pejuang itu dikumpulkan dalam satu wadah dan kemudian dikorbankan dengan melalui berbagai peristiwa berdarah. Seolah-olah bahwa para pejuang Islam selalu ingin mengadakan konfrontasi dengan pihak ABRI dan penguasa, dengan tindakan pengacauan, pemberontakan dan lain sebagainya. Dengan terciptanya suasana persinggungan itu maka apa yang menjadi keinginan para penguasa dzalim terkabul, ya'ni membuat umat Islam merasa alergi terhadap Negara Islam dan selalu menutup diri bila diceritakannya. Sungguh perbuatan yang sangat keji, seperti kekejian yang dilakukan oleh raja Fir'aun ketika pada masa Nabi Musa a.s..
Kejadian rekayasa ini merupakan gambaran yang terang dari pemerintah Orde Baru, bahwa mereka tidak ingin sama sekali resistensi politik Islam yang diperjuangkan oleh umat Islam pada umumnya dan para pejuang Darul Islam khususnya untuk mengembangkan ideologi Islam di percaturan politik. Yang mereka kehendaki adalah bahwa Islam hanya sebatas ritualitas belaka tanpa ikut campur dalam urusan negara. Demikianlah rencana makar yang sedang diperjuangkan oleh thagut, untuk memberdayakan umat Islam sebagai alat komoditas politik bagi manusia-manusia yang jahil (bodoh).
Yang paling giat dan menonjol dalam usahanya untuk melaksanakan devide et impera nya terhadap umat Islam` di dalam perjuangan suci Darul Islam adalah Ali Moertopo. Menurut hemat dia, siapa dan darimana orang tidak menjadi masalah, bila mau diajak bekerjasama maka akan dirangkulnya untuk bersama-sama melaksanakan program setan Opsus. Salah satu modus operasi Ali Moertopo adalah dengan mengumpulkan para advonturir yang rakus kekayaan untuk dilibatkan dalam setiap aksi Opsus. Dengan keahliannya dalam merangkul massa, dia banyak sekali memanfaatkan kekuatan-kekuatan Islam bukan hanya terhadap para pejuang Darul Islam tetapi juga terhadap kekuatan-kekuatan bekas Permesta, Masyumi. Berbagai cara pendekatan dia tempuh termasuk juga menginsentifkan material kemudian setelah mereka terbujuk lalu dimasukkannya ke dalam "kandang" yang telah mereka siapkan. Dengan teori 'penggalangan' —dimana dalam teori itu menggariskan bahwa tidak adanya kawan dan lawan,—Ali Murtopo menjalankan taktik dan strateginya dalam memupuk kekuatan-kekuatan tersebut demi kepentingan politiknya.
Sudah sejak awal tahun 1970-an, Ali Moertopo mengadakan jalinan kerjasama dengan sejumlah pejuang DI/TII.. Ketika itu Ali Moertopo giat pergi ke Jawa Barat untuk menarik mereka ke Jakarta,—yang sebelumnya para pejuang tersebut masih di bawah binaan Kodam Siliwangi Bandung—antara lain yaitu Dodo Kartosuwiryo, sebagian lagi adalah seperti Adah Jaelani, Danu Muhammad Hasan. Namun garis kebijakan yang telah dibuat oleh Ali Moertopo untuk mendekati para pejuang DI/TII itu menimbulkan permasalahan di dalam tubuh Bakin. Sesungguhnya, biar bagaimanapun yang namanya perjuangan Islam itu seharusnya tidak membutuhkan jalinan kerjasama dengan penguasa yang dzalim. Bahkan seharusnya ada yang tampil dari orang pemberani menyatakan kebenaran di depan penguasa tiran. Sebagaimana sabda Rasulullah. "Afdhalu Jihad Kulil haq 'inda sulthonin jair" (Seutama-utama Jihad adalah Katakanlah kebeneran itu kepada penguasa yang lalim). Dengan digelarnya Opsus oleh pemerintah, dikalangan petinggi militer sendiri banyak yang merasa heran dan kaget, kenapa berani-beraninya Ali Moertopo merangkul para pejuang Darul Islam tersebut . Menurut pengakuan Ketua Bakin Sutopo Juwono, ia sudah beberapa kali memperingatkan Ali agar jangan main-main dengan para pejuang Darul Islam. Sebab katanya, bisa jadi para pejuang Darul Islam nantinya suka macam-macam, karena merasa punya jasa ikut menghancurkan PKI segala macam, nanti mereka bisa menagih janji. Maka lebih baik jangan. Adanya peringatan tersebut pada dasarnya memberikan isyarat kepada Ali bahwa satu di antara dua kemungkinan pasti terjadi tentang para pejuang Darul Islam: satu kemungkinan bahwa para pejuang Darul Islam itu akan memperalat Opsus; atau sebaliknya, Opsus memperalat mereka.
Dengan adanya peristiwa perselisihan didalam tubuh militer Republik Indonesia kelihatannya bahwa kekuasaan Orde Baru bersatu, secara lahiriyah terlihat kompak dengan kerjasamanya untuk menekan resistensi politik Islam, tetapi sesungguhnya di dalam tubuh mereka sendiri terdapat permusuhan dan pertentangan intern yang sangat hebat. Hati mereka terpecah belah tidak dalam persatuan dan kesaatuan, jiwa para militer mereka kosong dari aqidah Islamiah, bahkan nyaris seperti yang digambarkan oleh Kartosoewirjo dahulu. Allah telah berfirman:
"Mereka tidak akan memerangimu secara serentak, kecuali hanya di desa-desa yang telah dibentengi, atau dari balik tembok perlindungan saja. Permusuhan dikalangan mereka telah memuncak. Kamu kira mereka kompak, namun sesungguhnya hati mereka terpecah belah. Perpecahan itu timbul, karena mereka tidak mengerti makna persatuan".(Q.S. 59: 14)
Sebagaimana yang dituturkan oleh Ramadi, bahwa banyak para pejuang Darul Islam yang hilir-mudik di rumahnya, di antaranya Danu, Dodo M. Darda Kartosoewirjo. Ada pula nama-nama dengan panggilan khas, seperti Ki Acun atau Ki Mansyur. Menurut penuturan dari salah seorang anak buah Ali Moertopo di Opsus, dukungan yang diperlihatkan para pejuang Darul Islam terhadap Opsus sangat kuat. Saking kuatnya mereka lalai akan tugas dan fungsi yang diamanahkan oleh pendahulu mereka. Lupa akan ma'na sebuah hadis yang menyatakan "Nahnu kaumun la nuharribu bima'unatil musyrikin". Arti lepasnya: "Kami para mujahid Allah tidak pernah berjuang tanpa adanya dukungan sedikitpun berupa fasilitas yang telah disediakan oleh orang Musyrik". Sebenarnya sudah menjadi kebiasaan orang kafir yang telah digambarkan oleh Allah.:
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka dalam upayanya untuk menghalang-halangi orang mu'min dari beribadah Kepada-Nya". (QS 8: 36.)
Kehadiran Opsus dengan segala programnya, rupanya telah dan selalu menjebak para pejuang Darul Islam, dengan iming-iming bahwa mereka akan siap membantu dalam pendirian kembali Negara Islam. Para pejuang Darul Islam percaya betul atas "ucapan" Ali Moertopo tersebut. Di mata mereka, apabila Ali Moertopo menang maka ia akan mendirikan negara Islam. Sungguh satu dusta telah dilakukan oleh orang kafir untuk menutup-nutupi tujuannya, biar siapapun orangnya kalau tetap menjalankan roda pemerintahan jahiliyah, maka hukum-hukum Islam tidak akan pernah diberlakukan. Tipu daya orang kafir telah masuk ke dalam jiwa para pejuang, sehingga mereka lebih mempercayakan orang kafir sebagai teman setianya untuk bersama-sama berkoalisi menegekkan kembali Negara Islam. Padahal Allah telah menegaskan terhadap orang mu'min dalam Al-qur'an.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita Muhammad)...." (QS. 60: 1)
Tidaklah orang-orang kafir itu berkawan, sesungguhnya hanya untuk menyusahkan urusan yang akan dilaksanakan oleh orang mu'min. Allah berfirman:
"Jika mereka berhasil menangkapmu, mereka akan menindakmu sebagai musuh. Mereka akan melepas tangan untuk membunuh, dan menjulurkan lidah untuk mencacimu, Selanjutnya yang mereka inginkan ialah kamu kafir kembali seperti mereka". (QS. 60: 2).
Pada sekitar tahun 1978, berdasarkan cerita seorang pejuang Darul Islam, bahwa Ali Moertopo sangat berambisi untuk menjadi wakil presiden. andai saja Ali Moertopo berhasil menjadi wapres maka yang menjadi sasaran berikutnya adalah Presiden Soeharto, ditambahkannya, Ali Moertopo selanjutnya akan menetralisasi keadaan dengan cara apa pun sehingga Ali Moertopo bisa duduk dikursi kepresidenan. Begitulah gambaran hidup orang kafir yang ambisius. Allah swt. Berfirman:
"Kehidupan dunia telah menipu mereka dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir". (QS. 6: 130)
Program Opsus yang diketuai oleh Ali Moertopo ini, pada permulaan Orde Baru memang sangat berfungsi dalam reformasi politik (political reform), guna memperkuat poros Pancasila dan UUD 45, juga menetralisasi kekuatan politik umat Islam melalui usaha rekayasa politiknya terhadap semua orsospol dan organisasi kemasyarakatan dan profesi.

Yang menjadi target politik dari Ali Moertopo dengan menciptakan gagasan tersebut adalah bagaimana menguasai badan intelijen Negara untuk menjalankan roda pemerintahan Orde Baru yang sedang dalam perkembangannya. Namun karena adanya kendala didalam tubuh Opsus yang disebabkan banyak berkumpul segala aliran disana, sehingga pada akhirnya Ali mempunyai kesimpulan bahwa Opsus tidaklah efektif. Memang disatu sisi bisa berkumpulnya segala aliran di Opsus menandakan akan kapasitas Ali Moertopo. Tetapi dari sisi organisasi, keberadaan Opsus sangat rentan terhadap timbulnya pertikaian yang dibawa oleh setiap aliran yang ada. Masing-masing interest itu kemudian saling berhadapan di dalam tubuh Opsus sendiri (intemal infighting).
Untuk memperlihatkan kelemahan dari strategi Ali Moertopo perlu dikutip sebuah peribahasa, Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga. Ia melakukan kekeliruan ketika tidak mendasarkan operasi intelijennya pada anggota organik, tapi acap kali justru lebih mempercayai anggota jaring seperti Aulia Rahman, Leo Tomasoa, Bambang Trisulo. Atau lebih percaya pada Liem Bian Khoen, maupun para pejuang Darul Islam.
Dalam dunia intelijen, membina jaringan merupakan salah satu hal yang penting, sehingga selain memiliki anggota organisasi yang resmi, intelijen juga mengembangkan anggota jaringan (yang tak resmi) di mana-mana. Tergantung pada sasaran apa yang hendak dicapai. Namun, rahasia-rahasia operasi Ali agaknya lebih banyak diketahui oleh anggota jaring daripada anggota organik. Akibatnya permainan Ali dibongkar oleh anggota-anggota jaringnya sendiri. Di dalam hal ini Ali Moertopo dikritik kurang mematuhi hukum-hukum manajemen intelijen yang menyebutkan: tidak boleh terlalu percaya pada anggota jaring! Mungkin ia mau berimprovisasi, atau bermaksud nyleneh.
Disamping itu Anggota jaring dikenal pula memiliki disiplin yang rendah sehingga biasanya mereka gampang buka kartu, membuka belang intelijen yang mestinya dirahasiakan. Jadi tidaklah mengherankan bila rahasia keterlibatan Ali dibongkar sendiri oleh bekas-bekas anak buah jaringnya di dalam tahanan. Ramadi cs, mungkin lantaran tidak tahan tekanan hidup di tahanan, maka mereka mengungkap semua permainan Ali Moertopo. Mereka ramai-ramai "bernyanyi". Sebaliknya, anggota organisasi umumnya lebih terdidik, lebih disiplin dan teguh dalam memegang rahasia. Anggota organik juga dapat berlindung di balik suatu peraturan yang tidak mengizinkan mereka membuka rahasia. Perbedaannya yang lain antara anggota organik dengan anggota jaring ialah anggota organik mengetahui tugasnya secara menyeluruh, sementara anggota jaring biasanya hanya tahu per sektor. Misalnya, seseorang anggota jaring ditugaskan membina ulama, maka ia tahunya hanya soal ulama. Lain itu tidak.
Menjelang akhir 1970-an banyak yang ditangkapi dari sejumlah pejuang DI/TII binaan Ali Moertopo seperti, Adah Djaelani Tirtapradja, Danu Mohammad Hassan, serta dua putra Kartosoewiryo Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki. Ketika pengadilan para mantan tokoh DI/TII itu digelar pada tahun 1980, maka terungkaplah apa yang sebenarnya target dari digelarnya aksi lapangan tersebut. Dan dengan adanya hal itu dicurigai sebagai upaya untuk memojokkan posisi umat Islam. Sebagai salah satu bukti adalah dalam kasus persidangan Danu Mohammad Hassan. Pada saat dia dalam persidangan dia mengaku sebagai orang Bakin. Mungkin inilah akibat yang harus dialami oleh para pejuang Darul Islam setelah mengadakan kerjasamanya dengan organisasi Opsus yang telah dibuat oleh Syaitan yang dzalim itu. Padahal Allah telah memperingatkan sebelumnya.
"Barang siapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya". (QS. 4: 38).
Dan ditegaskan lagi oleh Allah dalam firmannya.
"Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan itu kepada mereka melainkan tipuan belaka". (QS. 17: 64).
Peristiwa pahit yang dialami oleh para mujahid NII sejak tahun 1970-an, penyebab utamanya yaitu telah kehilangan rujukan, sehingga telah menyimpang dari hukum / perundang-undangan, sehingga pula mengangkat kepemimpinan diluar jalur Konstitusi NII. Sebab, jika pengangkatan Imam NII tidak berdasarkan undang-undangnya, maka bisa saja terkendalikan oleh intelijen kuffar, dan pasti didalamnya terjadi kekacauan. Dalam keadaan Darurat Perang dimana wilayah NII dikuasai oleh musuh, maka musuh pun bisa membuat rekayasa pemimpin NII palsu. Karena tanpa undang-undang itu secara hukum tidak ada perbedaan mengenai figur seseorang dengan yang lainnya, sehingga tidak ada perbedaan pula antara nilai yang tidak menyerah dengan yang sudah menyerah kepada musuh. Tanpa undang-undang itu orang tidak bisa membedakan mana pemimipin NII yang sebenarnya dan mana pemimpin NII sempalan.
Sesungguhnya perjuangan NII dari mulai diproklamasikan tahun 1949 hingga tahun 1962 tidak ada kelompok-kelompok dalam perjuangan menggalang Negara Karunia Allah ini. Tetapi apa yang kemudian lahir sesudahnya adalah terjadinya perselisihan pendapat dan faham tentang siapakah yang berhak dan pantas untuk melanjutkan tugas suci sebagai pemimpin. Munculnya bibit perselisihan sekitar tahun 1974 –1979, dimana ketika mujahidin NII pecah kedalam tiga kelompok. Hal demikian diakui oleh Adah Djaelani dalam kesaksiannya dalam sidang pengadilan.”Menurut saksi, organisasi NII di Indonesia ada tiga kelompok yaitu; Kelompok yang Imam-nya Daud Beureuh, wakilnya saksi, kelompok yang Imam-nya Djadja Sudjadi (Garut Timur) dan kelompok Imam-nya H.Sobari (Rajapolah , Tasik Malaya). Sebab-sebab terjadinya pengelompokkan karena masing-masing ingin memisahkan diri dengan alasan seperti dikatakan oleh saksi: “H. Sobari menganggap kami yang menyerah tahun 1962 sebagai pengkhianat sehingga ia membentuk NII sendiri, sedangkan kelompok Djadja Sudjadi menyayangkan kami mengangkat Imam orang Sumatera sehingga ia membentuk NII sendiri”. Kelompok Djadja Sujadi dikenal dalam wadah Fillah. Sedangkan yang lainnya dikenal dalam wadah Sabilillah.
Pada sekitar tahun 90-an, kembali muncul perselisihan faham dalam pergerakan Darul Islam, setelah Adah Jaelani melimpahkan kekuasaan kepada Abu Toto (Toto As-Salam) sebagai Warasatul Mafasid (pewaris orang-orang yang membuat kerusakan). Sebenarnya Toto As-Salam ini tidak pernah terdaftar sebagai anggota DI, namun menggunakan nama NII. Dengan segala kemampuan "intelektual jahili" yang dimilikinya, dia melanjutkan warisan kepemimpinan mengatasnamakan NII dan membawahi jama’ah sekitar 50.000 orang untuk menghambur-hamburkan harta umat demi kepentingan dirinya dan orang yang turut sepaham dengannya. dengan penuh semangat pengabdian jahiliyahnya menghambur-hamburkan harta umat demi kepentingan dirinya dan orang yang turut sepaham dengannya.
Maka apa yang dikenal dan diyakini oleh sementara orang hari ini tentang Negara Islam Indonesia yang diproduk oleh kaki tangan Pemerintah RI, hanyalah merupakan rekayasa sesat dan menyesatkan (dhoollun wa mudhillun) dari tingkah polah oknum-oknum fasikun yang tidak bertanggung jawab terhadap nilai-nilai suci yang terkandung dalam Al-Quran, Al Hadist dan Qanun Asasi Negara Islam Indonesia. Prosedur syari'ah dan manhaj harakah yang telah digariskan pun banyak yang dilanggar dan diacuhkan, sehingga timbullah tajassus (saling mencari kesalahan ) diantara kalangan penerus perjuangan Darul Islam untuk menganggap bahwa pihaknyalah yang paling benar menurut ukuran masing-masing pemimpinnya serta para pengikutnya, dan bukan berdasarkan Qur’an dan Sunnah Nabi s.a.w. bukan pula menurut Undang-Undang NII. Padahal perbuatan tersebut dilarang oleh Allah.
......" Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah bergunjing antara sesamamu. Adakah seseorang di antaramu mau memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah hal itu menjijikkan kepadamu. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat dan Penyayang". (Q.S. 49: 12).

Sebagai sunnatullah yang berlaku sepanjang sejarah kehidupan manusia di muka bumi, perburuan harta dan kekuasaan, hari ini mewarnai juga dalam perjuangan kaum fasikun dalam melanjutkan estafeta tugas suci yang telah Allah amanahkan untuk umat Islam Indonesia. Bahkan sudah terjadi rekayasa dengan 'kaum kuffar' untuk mengaburkan harakah Darul Islam yang nantinya dari usaha-usaha tersebut, akan mencemarkan nama baik perjuangan NII hingga umat Islam "kembali menjadi kafir" dengan mengikuti langkah-langkah yang telah dirancang oleh Setan. Sebagian pejuang Darul Islam sudah lari dari garis-garis dasar perjuangan yang telah ditetapkan oleh Imam Negara Islam Kartosoewirjo yaitu: " tegaknya li'ilai kalimatillah fil ardhi". Padahal Imam Assyahid Kartosoewirjo telah menasehati para pejuang Darul Islam melalui firman Allah yang berbunyi:
“Innallaaha yuhibbulladziina yuqaatiluuna fi sabiilillaahi shaffan ka annahum bunyaanun marshuush”. (Q.S. 61: 4 ),
dengan terjemahan bebas:
“Bahwasanya Allah berkenan menumpahkan (segenap) kasih-sayang-Nya (hanyalah) kepada (golongan, ummat dan bangsa) orang-orang yang jihad-berperang pada jalan-Nya dengan teratur (berorganisasi, bersaf-saf, tersusun rapih, sepanjang hajat dan keperluan Jama’tul-Mujahidin tsb.), (yang bentuk, sifat, dan fungsinya) laksana bina-bina daripada sebuah tembok (bantu-membantu, bela-membela, junjung-menjunjung dst.)”.
Kemudian ditambahkan tentang penjelasan maksud tersebut oleh Kartosoewirjo, dengan satu penjelasan yang sangat rinci yang antara lain berbunyi:
"Selain dari pada itoe, dari pada isi dan djiwa Firman Allah terloekis diatas, bolehlah kiranja ditarik dan dipetik peladjaran daripadanja, jang menoendjoekkan akan pentingnja kedoedoekan, peranan dan foengsi Pimpinan dimasa Perang, dimasa Revolusi. Tegasnja: Pimpinan jang djoedjoer dan ichlas, benar dan ‘adil serta tegas, tapi bidjaksana. Ialah Pemimpin jang sanggoep hidoep dan berdjoeang bersama-sama ra’iat, sehidoep semati, senasib-sepenanggoengan, dan timboel-tenggelam bersama-sama bawahan dan ra’iat, jang mendjadi tanggoeng-djawabnja, didoenia hingga diachirat".
Peristiwa pahit yang dialami oleh kaum Nabi Musa AS, yaitu dengan dipusingkan oleh Allah karena tidak maunya mereka masuk ke Baitul Maqdis, padahal Allah telah menjanjikan hal tersebut untuk kaum Nabi Musa, ternyata dialami juga oleh pejuang NII sekarang ini, Mungkin sebagai sunnatullah pula, bahwa hal tersebut diturunkan kepada mereka semua sebagai bahan tadabbur dan tafakkur untuk tetap istiqomah dan hanif melaksanakan tugas menegakkan kalimatullah. Tidak seperti mereka yang pada tahun 1962 menyerahkan diri kepada musuh. Jangan diulangi agar diri tidak dicatat dalam sejarah sebagai orang-orang yang menyerah kepada musuh.
Jalan keluar dari perpecahan adalah kembali kepada Konstitusi / perundang-undangan NII. Kaum Bani Israil terlepas dari kebingungan, yaitu setelah menemukan Tabut sebagai peninggalan keluarga Nabi Musa dan keluarga Harun (Q.S.2 : 248). Sunnatullah bagi Al-Hak, maka apapun yang sudah menimpa warga NII, persatuan pada akhirnya akan terwujud, jika sudah menemukan kembali alat pemersatunya, yakni merujuk kepada M.K.T. No.11 tahun 1959 mengenai estapeta Imam dalam Darurat Perang, yang merupakan peninggalan Dewan Imamah NII. Sebagai embriyonya, yaitu setelah Abdul Fattah Wirananggapati keluar dari penjara musuh tahun 1982, mengadakan penggalangan terhadap para mujahid untuk merujuk kepada perundang-undangan NII. Hasil dari penggalangan itu terjalinlah kepemimpinan NII dengan rujukan hukum yang jelas.
Solusi kembali kepada undang undang ini membuat kader kader mujahid bersikap demikian ketat dalam memelihara nilai hukum. Ketika Abdul Fattah Wirananggapati ditawan tahun 1991-1996, dan pada saat itu kepemimpinan atas perintah Abdul Fattah Wirananggapati beralih pada mujahid yang bebas di luar. Kepemimpinan ini atas kesepakatan Dewan Imamah dikembalikan padanya setelah Abdul Fattah bebas. Namun ketika belakangan terbukti bahwa dirinya yang telah diangkat sebagai Imam itu memberikan pernyataan pernyataan bernada negatif saat diwawancarai oleh wartawan dari Majalah Ummat . Dewan imamah menyidangkan kasus ini, kemudian memberhentikannya pada awal tahun 1997. Adanya badan usaha yang menopang perjuangan, maka penggalangan NII berkembang semakin pesat meliputi banyak propinsi. Kebingungan lenyap. Alhamdulillaah.

4 comments:

Anonymous said...

mau koreksi sedikit....di tulisan bapak tertulis bahwa "Dan amat sangat tidak suka kaum Yahudi dan Nasrani terhadap Umat Islam, sehingga Umat Islam mau tunduk, patuh dan setia mengikuti pola sistem yang telah mereka buat".( Al-Baqarah: 218).Kok di ur'an saya nggak gitu yah....di qur'an saya "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." mungkin maksud bapak adalah al baqoroh 120 ya??

Anonymous said...

Saya sangat suka artikel/berita yang Anda tulis

BTW, update-nya mana nih?

Anonymous said...

Saya sangat suka artikel/berita yang Anda tulis

BTW, update-nya mana nih?

insidewinme said...

Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu