Bab Lima
Basis Politik Pemikiran Islamic Nation-State Kartosoewirjo
Pada bulan Juni 1946, di Garut diadakan konferensi Masyumi Daerah Priangan dimana akan dipilih pengurus yang baru. Kartosoewirjo menunjuk K.H. Moechtar sebagai ketua umum dan dia sendiri menjadi wakil ketua. Sanusi Partawidjaja menjadi sekretaris badan pengurus, Isa Anshari dan K.H. Toha memimpin bidang informasi, sementara kepada Kamran diserahkan pimpinan Sabilillah. Pada konferensi tersebut Kartosoewirjo mengucapkan sebuah pidato tentang haluan politik Islam tentang pertanyaan siapa yang akan berkuasa di Indonesia. Masih juga ia menganjurkan persatuan dalam cita-cita perjuangan, ia memperingatkan para pendengarnya sekaligus pendukungnya bahwa konflik antara sesama bangsa Indonesia hanyalah akan menguntungkan Belanda, dan ia mendesak menghentikan perbedaan-perbedaan ideologi. Segera setelah tercapai kemerdekaan penuh, perbedaan-perbedaan ini dapat dicari penyelesaiannya secara demokratis, menurut kedaulatan rakyat. Bunyi pidatonya sebagai berikut:
“Dan oleh karena Repoeblik Indonesia berdasarkan koedaoelatan Ra’iat, maka seoara ra’iat jang terbanjak itoelah jang akan memegang kekoeasaan negara. Djika kommoenisme jang diikuti oleh sebagian besar daripada ra’iat, maka pemerintah Negara akan mengikoeti haloean politik, sepandjang adjaran kommoenis. Dan bila sosialisme atau nasionalismelah jang “menang soeara”, maka sosialisme atau nasionalismelah yang menentoekan haloean politik negara. Demikian poela, djika Islam jang mendapat koernia Toehan “menang dalam perdjoeangan politik” itoe, maka Islam poelalah jang akan memegang tampoek Pemerintah Negara. Sehingga pada waktoe itoe terbangoenlah doenia Islam atau Dar-oel-Islam, jang tidak menjimpang seramboet dibelah toejoeh sekalipoen daripada adjaran-adjaran Kitabuoellah dan Soennahtoen-Nabi Moehammad Çlm.
Namun yang sangat menonjol sekali ketika itu, bahwa yang sedang melangsungkan pertarungan politiknya adalah antara Nasionalisme sekuler dengan Komunisme. Adapun keterlibatan kalangan politisi Islam dalam percaturan politik tersebut, mereka hanyalah sebagai kambing hitam saja untuk menggolkan usaha-usaha mereka berdua yang sedang terlibat pertarungan. Untuk lebih mempersiapkan perjuangan di Suffah tetap dilatih kemiliteran oleh Ateng Djaelani seorang perwira PETA, karena dalam perhitungan Kartosoewirjo akan terjadi perjuangan senjata. Dan untuk mencapai koordinasi yang lebih baik dari lasykar-lasykar tersebut, maka pada tanggal 15 September 1946 didirikan di Bandung Markas Daerah Pertahanan Priangan (MDPP). Yang menjadi anggotanya adalah lasykar Hizbullah di bawah pimpinan Zainal Abidin, Kadar Solihat, dan Kamran. Juga lasykar dari Sabilillah di bawah pimpinan kalangan politikus Masjumi di antaranya Isa Anshari, Ajengan Toha, Kiai Jusuf Taudjiri, yang dulu bersama-sama dengan Kartosoewirjo mendirikan KPK-PSII.
Pada bulan Februari dan Maret 1947 di Malang, Kartosoewirjo ditunjuk sebagai salah seorang dari lima anggota Masyumi dalam komite Eksekutif, yang terdiri dari 47 anggota untuk mengikuti sidang KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), dalam sidang tersebut membahas apakah Persetujuan Linggarjati yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Republik dan Belanda pada bulan November 1946 akan disetujui atau tidak. Kepergian Kartosoewirjo disertai para pejuang Hizbullah dari Jawa Barat, karena dalam rapat tersebut kemungkinan ada dua kubu yang bertarung antara laskar sayap kiri (diwakili melalui partai Persindo), mereka ingin menyetujui hasil perundingan dengan laskar Hizbullah (diwakili lewat partai Masyumi dan PNI) yang hampir semua wakilnya tidak menyetujui hasil perundingan. Kartosoewirjo sendiri termasuk para politikus Masyumi yang menolak persetujuan Linggarjati tersebut tanpa kompromi. Karena memang jelas sekali bahwa dengan diadakannya perundingan Linggarjati itu sangat menguntungkan pihak Belanda dalam usaha-usahanya menancapkan kuku penjajahannya kembali. Ketika anggota KNIP yang anti Linggarjati benar-benar diancam gerilyawan Pesindo, Sutomo (Bung Tomo) meminta kepada Kartosoewirjo untuk mencegah pasukannya agar tidak menembaki satuan-satuan Pesindo. Terlihat sekali bahwa perjuangan politik umat Islam berada di tangan kelompok sayap kiri, yaitu PKI dan sosialisme.
Terbukti ketika Amir Syarifudin menjabat sebagai Menteri Pertahanan, dia berprogram mengharuskan setiap laki-laki yang berusia 15 tahun ke atas untuk masuk kedalam Inspektorat Perjuangan yang dikordinir oleh orang komunis, namun usaha yang dilakukannya ditentang oleh R. Oni selaku ketua Sabilillah yang dilantik pada bulan April 1947 dengan alasan bahwa usaha-usaha yang dilakukan oleh Amir Syarifudin tersebut untuk membuat umat Islam menjadi Sosialis, dan alasan yang lain bahwa semua tentara Republik adalah anggota sayap kiri. Maka kemungkinan Sabilillah dan Hizbullah diterima masuk TNI sangat tipis karena kekhawatiran lain bahwa TNI hanya akan mengambil senjatanya saja dari kedua laskar tersebut dan selanjutnya mereka segera dipulangkan ke tempat masing-masing.
Pada tanggal 21 Juni 1947, Belanda dengan karakter Yahudinya melanggar persetujuan Linggarjati yang mengakui pemerintah RI di Jawa, Madura dan Sumatera secara de facto. Belanda memang tidak akan pernah bermaksud untuk mematuhi perjanjian itu, mereka menjadikannya hanya sebagai upaya untuk mengulur waktu guna dapat memperkuat kontingen pasukannya. Ketika pasukan tersebut dirasa telah kuat mereka menyerang kembali daerah-daerah vital yang menjadi sarana perhubungan.
Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dia terpaksa dan bercampur malu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda, setelah terjadinya agresi militer I Belanda pada bulan Juli. Yang menggantikan kedudukan setelah pengunduran dirinya adalah Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia menggaet anggota PSII yang dulu untuk duduk dalam Kabinetnya. Termasuk menawarkan kepada Kartosoewirjo untuk turut serta duduk dalam kabinetnya menjadi Wakil Menteri Pertahanan kedua. Namun apa jawaban Kartosoewirjo? Seperti yang dijelaskan dalam sepucuk suratnya kepada Soekarno dan Amir Sjarifudin, dia menolak kursi menteri karena “ia belum terlibat dalam PSII dan masih merasa terikat kepada Masyumi”. Kartosoewirjo menolak tawaran itu bukan semata-mata karena loyalitasnya kepada Masyumi. Penolakan itu juga ditimbulkan oleh keinginannya untuk menarik diri dari gelanggang politik pusat. Akibat menyaksikan kondisi politik yang tidak menguntungkan bagi Bangsa Indonesia disebabkan berbagai perjanjian yang diadakan pemerintah RI dengan Belanda, di samping itu Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik Amir Sjarifudin yang kekiri-kirian. Kalau dilihat dari sepak terjang Amir Syarifudin selama manggung di percaturan politik Nasional dengan menjadi Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan sangat jelas terlihat, bahwa Amir Syarifudin membawa arah politik Indonesia kepada arah Komunisme.
Karena semua perhubungan lalulintas putus dan jembatan melalui sungai Serayu dibom dan dirusak oleh Belanda, Kartosoewirjo kini tidak dapat kembali ke Yogyakarta. Atas persetujuan pimpinan partai dia diangkat menjadi wakil Pengurus Besar Masjumi untuk Jawa Barat. Dalam jabatannya yang terakhir ini dia mulai menyusun kembali pasukan mujahidin Islam di daerah Jawa Barat. Reorganisasi perjuangan gerilya dirasakan perlu mengingat keadaan, dalam tiga minggu sesudah Belanda melancarkan aksi militer besarnya, apa yang disebut politionele actie (aksi polisionil) pertama, Belanda menduduki kota-kota utama di Priangan seperti Garut, Tasikmalaya dan Ciamis. Sementara para pemimpin seperti Soekarno dan tokoh-tokoh lainnya yang senantiasa setia menjaga necisnya pakaian dari kotoran dan debu perjuangan begitu liciknya mempengaruhi rakyat dengan kata-kata dan diplomasinya yang kosong dan menipu.
Pada tanggal 6 Agustus bom atom pertama dijatuhkan Amerika di Hiroshima sebagai balasan atas serangan Jepang terhadap pangkalan Pearl Harbour. Bom atom biadab hasil temuan ilmuwan hebat dan sebagai tanda kemajuan manusia dalam merusak alam ini menewaskan sedikitnya 78.000 orang Jepang tak berdosa. Mereka dibunuh tanpa memperhitungkan nilai kemanusiaan sedikitpun, layaknya seperti orang membakar sampah saja. Kenyataan ini memperlihatkan betapa peperangan di Asia sedang mendekati tahap akhir yang mengerikan. Kartosoewirjo mengetahui perkembangan ini dan segera menyusun rencana-rencana dan tahapan-tahapan menuju kepada sebuah "wajib suci". Namun, para elit "thoghut" yang kebanyakan adalah kaum nasionalis sekuler juga mulai membentuk barisan dan berancang-ancang. Hal ini dapat kita lihat pada sehari setelah jatuhnya bom di Hiroshima, keanggotaan sebuah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia diumumkan di Jakarta, dan berita-berita mengenai panitia ini disiarkan ke seluruh Indonesia. Koran pun lebih bersuka-cita memberikan kejadian-kejadian di perkotaan ketimbang apa yang sesungguhnya sedang bergolak di pedesaan, di dalam dada-dada orang-orang kampung dan dusun terpencil. PPKI lebih dilihat sebagai sosok sinar harapan masa depan, dan bangsa Indonesia tidak pernah tahu bahwa lembaga tersebut beranggotakan wakil-wakil dari Jawa maupun dari daerah-daerah luar Jawa, didominasi oleh generasi tua, dan dijadwalkan mengadakan pertemuan pada tanggal 19 Agustus yang akan memutuskan satu persoalan yang akan menjadi overwhelming force terhadap orang-orang kampung dan pedusunan. Wakil-wakil Jawa menjadi kekuatan penentang paling hebat dari ide Negara Islam Kartosoewirjo karena mereka memiliki the idea of power dalam kultur mereka sendiri yang sudah sangat mapan. Pada tanggal 7 Agustus beberapa anggota kepanitiaan PPKI dari pihak Jepang "mengambil keputusan-keputusan yang riil" untuk mengadakan pertemuan. Bangsa ini memang dibangun oleh serangkaian perjanjian-perjanjian, pertemuan-pertemuan dan perundingan-perundingan. Semua itu tidak satu pun yang ditepatinya, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi pihak lain. Tekanan terhadap Jepang juga diberikan oleh Uni Soviet yang mengumumkan perang terhadap Jepang pada tanggal 8 Agustus 1945. Pada hari berikutnya, 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki yang telah meluluh-lantakkan semangat bushido tentara Jepang di Indonesia. Tidak sedikit di antara mereka yang mengadakan hara-kiri atas kekalahan ini. Di samping itu, negara komunis Uni Soviet memanfaatkan kelemahan Jepang dengan cara menyerbu Manchuria. Suatu tindakan tidak fair dalam etika perang semesta. Jika lawan lemah, bukanlah saat yang tepat untuk menyatakan diri sebagai pemenang.
Pada hari sesudah itu, karena tampak tak terhindarkan lagi bahwa pihak Jepang akan menyerah secara definitif terhadap Amerika, maka Soekarno, Hatta, dan Radjiman terbang ke Saigon untuk menemui Panglima Wilayah Asia Tenggara, Terauchi, pada tanggal 11 Agustus 1945. Kepada mereka Terauchi menjanjikan kemerdekaan bagi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, tetapi memveto penggabungan Malaya dan wilayah-wilayah Inggris di Kalimantan. Soekarno, Hatta dan Radjiman sesungguh sangat yakin bahwa kemerdekaan Indonesia hanya mungkin didapat lewat serangkaian kompromi dan perundingan-perundingan seperti ini. Padahal bentuk kerjasama apapun dengan Jepang tidak akan membawa penyelesaian yang meyeluruh pada nasib bangsa Indonesia, bahkan dengan kerjasama tersebut telah membawa malapetaka. Mereka adalah pahlawan yang takut perang, tapi begitu perang usai, mereka naik ke atas mengibar-ngibarkan bendera dan mulai berpidato. Maka, wajarlah jika kemudian Soekarno ditunjuk sebagai Ketua Panitia Persiapan tersebut dan Hatta sebagai wakil ketua. Pada tanggal 14 Agustus Sukarno dan rekan-rekannya tiba kembali di Jakarta.
Pada tanggal 15 Agustus Jepang menyerah tanpa syarat, dan dengan demikian menghadapkan para pemimpin Indonesia pada suatu masalah yang berat. Karena pihak Sekutu tidak menaklukkan kembali Indonesia, maka kini terjadi suatu kekosongan politik: pihak Jepang masih tetap berkuasa namun telah menyerah, dan tidak tampak kehadiran pasukan Sekutu yang akan menggantikan mereka. Rencana-rencana bagi kemerdekaan yang disponsori pihak Jepang yang tertib kini tampaknya terhenti, dan pada hari berikutnya gunseikan telah mendapat perintah-perintah khusus supaya mempertahankan keadaan politik yang ada sampai kedatangan pasukan-pasukan Sekutu. Sukarno, Hatta, dan generasi tua ragu-ragu untuk berbuat suatu dan takut memancing konflik dengan pihak Jepang. Maeda ingin melihat pengalihan kekuasaan secara cepat kepada generasi tua, karena merasa khawatir terhadap kelompok-kelompok pemuda yang dianggapnya berbahaya maupun pasukan-pasukan Jepang yang kehilangan semangat. Para pemimpin pemuda menginginkan suatu pernyataan kemerdekaan secara dramatis di luar kerangka yang disusun oleh pihak Jepang, dan dalam hal ini mereka didukung oleh Sjahrir yang yang anti Jepang. Akan tetapi, tak seorang pun berani bergerak tanpa Sukarno dan Hatta.
Sebenarnya, sebelum hari-hari menjelang proklamasi RI tanggal 17 Agustus 1945, Kartosoewirjo telah lebih dulu menebar aroma deklarasi kemerdekaan Islam ketika kedatangannya pada awal bulan Agustus setelah mengetahui bahwa perseteruan antara Jepang dan Amerika memuncak dan menjadi bumerang bagi Jepang. Ia datang ke Jakarta bersama dengan beberapa orang pasukan Lasykar Hizbullah dan segera bertemu dengan beberapa elit pergerakan atau kaum nasionalis memperbincangkan peluang yang mesti diambil untuk mengakhiri dan sekaligus mengubah determinisme sejarah rakyat Indonesia. Untuk memahami mengapa pada tanggal 16 Agustus pagi Hatta dan Sukarno tidak dapat ditemukan di Jakarta, kiranya historical enquiry berikut ini perlu diajukan: Mengapa Soekarno dan Hatta meski menghindar begitu jauh ke Rengas Dengklok padahal Jepang memang sangat menyetujui persiapan kemerdekaan Indonesia? Mengapa ketika Soebardjo ditanya Soekarno, apakah kamu ingat pembukaan Piagam Jakarta? Mengapa jawaban yang diberikan dimulai dengan kami bangsa Indonesia....? Bukankah ini sesungguhnya adalah rancangan proklamasi yang sudah dipersiapkan oleh Kartosoewirjo pada tanggal 13 dan 14 Agustus 1945 kepada mereka? Pada malam harinya mereka telah dibawa oleh para pemimpin pemuda ke garnisun Peta di Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang terletak ke utara dari jalan raya ke Cirebon, dengan dalih melindungi mereka bilamana meletus suatu pemberontakan Peta dan Heiho. Ternyata tidak terjadi suatu pemberontakan pun, sehingga Sukarno dan Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini merupakan suatu usaha memaksa mereka supaya menyatakan kemerdekaan di luar rencana pihak Jepang; tujuan ini mereka tolak. Maeda mengirim kabar bahwa jika mereka dikembalikan dengan selamat maka dia dapat mengatur agar pihak Jepang tidak menghiraukan bilamana kemerdekaan dicanangkan. Pada malam itu Sukarno dan Hatta sudah berada di rumah Maeda di Jakarta. Pernyataan kemerdekaan dirancang sepanjang malam. Kaum aktivis muda menginginkan bahasa yang dramatis dan berapi-api, tetapi untuk menjaga supaya tidak melukai perasaan pihak Jepang atau mendorong terjadinya kekerasan maka disetujuilah suatu pernyataan yang tenang dan bersahaja yang dirancang oleh Sukarno.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 di pagi hari jam 10.00 Sukarno membacakan pernyataan kemerdekaan tersebut di hadapan sekelompok orang yang relatif sedikit jumlahnya di luar rumahnya sendiri:
Proklamasi:
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan, dll., diselengarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, 17-8-1945
Atas nama bangsa Indonesia,
(tertanda) Sukarno Hatta
Bendera merah-putih dikibarkan dan berkumandanglah lagu 'Indonesia Raya'.
Republik Indonesia telah lahir. Sementara itu, Sekutu sebagai pihak yang menang, yang hampir sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi di Indonesia selama berlangsungnya perang, dengan tergesa-gesa merencanakan kedatangan mereka untuk menerima penyerahan pihak Jepang dan memulihkan kembali rezim kolonial. Akan tetapi, zaman Jepang telah menciptakan kondisi yang begitu kacau, telah begitu mempolitisasikan rakyat, dan telah begitu mendorong para pemimpin dari generasi tua maupun muda untuk mengambil prakarsa, sehingga pihak Sekutu akan menghadap suatu perang kemerdekaan revolusioner.
Sekitar bulan Mei 1947 pihak Belanda sudah merencanakan bahwa mereka harus menyerang Republik secara langsung. Kalangan militer Belanda merasa yakin bahwa kota-kota yang dikuasai pihak Republik dapat ditaklukan dalam waktu dua minggu dan untuk menguasai seluruh wilayah Republik dalam waktu enam bulan. Namun mereka pun menyadari begitu besarnya biaya yang ditanggung untuk pemeliharaan suatu pasukan bersenjata sekitar 100.000 serdadu di Jawa, yang sebagian besar dari pasukan itu tidak aktif, merupakan pemborosan keuangan yang serius yang tidak mungkin dipikul oleh perekonomian negeri Belanda yang hancur diakbitkan perang. Oleh karena itu untuk mempertahankan pasukan ini maka pihak Belanda memerlukan komoditi dari Jawa (khususnya gula) dan Sumatera (khususnya minyak dan karet).
Pada tanggal 20 Juli 1947 tengah malam mulailah pihak Belanda melancarkan 'aksi polisional' mereka yang pertama. Aksi Belanda ini sudah sangat diperhitungkan sekali dimana mereka telah menempatkan pasukan-pasukannya di tempat yang strategis. Pasukan yang bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat (tidak termasuk Banten), dan dari Surabaya untuk menduduki Madura dan Ujung Timur. Gerakan-gerakan pasukan yang lebih kecil mengamankan wilayah Semarang. Dengan demikian, Belanda menguasai semua pelabuhan perairan-dalam di Jawa. Di Sumatera, perkebunan-perkebunan di sekitar Medan, instalasi-instalasi minyak dan batubara di sekitar Palembang, dan daerah Padang diamankan. Menghadapi aksi Belanda ini, bagi pasukan Republik hanya bisa bergerak mundur dalam kebingungan dan hanya menghancurkan apa yang dapat mereka hancurkan. Dan bagi Belanda, setelah melihat keberhasilan dalam aksi ini menimbulkan keinginan untuk melanjutkan aksinya kembali, dari beberapa orang Belanda, termasuk van Mook, berkeinginan merebut Yogyakarta dan membentuk suatu pemerintahan Republik yang lebih lunak, tetapi pihak Amerika dan Inggris yang menjadi sekutunya tidak menyukai 'aksi polisional' tersebut serta menggiring Belanda untuk segera menghentikan penaklukan sepenuhnya terhadap Republik.
Maka pada bulan Januari 1948 atas prakarsa pihak sekutu diadakanlah satu persetujuan bersama antara pemerintah Republik dengan Belanda di atas kapal Amerika USS Renville di pelabuhan Jakarta. Dimana persetujuan ini mengakui suatu gencatan senjata di sepanjang apa yang disebut sebagai 'garis van Mook'. Walaupun persetujuan ini tampaknya seperti kemenangan besar pihak Belanda dalam perundingan, namun tindakan yang dilakukan oleh pihak Republik dengan mengikuti perundingan itu memperlihatkan tidak mampunya pemerintah dalam mengadakan perundingan untuk tetap mempertahankan makna kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh rakyat Indonesia sehingga menyebabkan mereka memenangkan kemauan pihak Belanda yang sangat menentukan.
Dari adanya 'aksi polisional' pertama dengan hasil diadakannya persetujuan Renville menyebabkan jatuhnya pemerintahan Amir Sjarifuddin. Seluruh Anggota yang tergabung dalam kabinetnya yang terdiri dari anggota PNI dan Masyumi meletakkan jabatan ketika persetujuan Renville ditandatangani, disusul kemudian Amir sendiri meletakkan jabatannya sebagai Perdana Menteri pada tanggal 23 Januari 1948. Dengan pengunduran dirinnya ini dia mungkin mengharapkan akan tampilnya kabinet baru yang beraliran komunis untuk menggantikan posisinya. Harapan itu menjadi buyar ketika Sukarno berpaling ke arah lain dengan menunjuk Hatta untuk memimpin suatu 'kabinet presidentil' darurat (1948-9), dimana seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Sukarno sebagai Presiden. Dengan terpilihnya Hatta, dia menunjuk para anggota yang duduk dalam kabinetnya mengambil dari golongan tengah, terutama terdiri dari orang-orang PNI, Masyumi, dan tokoh-tokoh yang tidak berpartai. Dan langkah Amir dan Sayap Kirinya kini menjadi pihak oposisi. Dengan mengambil sikap sebagai oposisi membuat para pengikut Sjahrir mempertegas perpecahan mereka dengan pengikut-pengikut Amir dengan membentuk partai tersendiri yaitu Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada bulan Februari 1948, dan sekaligus memberikan dukungannya kepada pemerintah Hatta.
Pada bulan Februari 1948 koalisi Sayap Kiri Golongan kiri di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin yang berada di luar pemerintahan Republik kini memulai suatu usaha baru dengan menimbulkan bencana untuk mendapatkan kembali kekuasaan. Dengan merubah nama baru menjadi Front Demokrasi Rakyat (FDR) mencela persetujuan Renville yang sebetulnya dulu dirundingkan pada masa pemerintahannya. Usaha yang dilakukan oleh Front tersebut ialah dengan membentuk organisasi-organisasi petani dan buruh, tetapi usaha itu hanya mencapai sedikit keberhasilan. Untuk lebih mempertegas aksinya pada bulan Mei 1948 dimulailah suatu pemogokan pada sebuah pabrik tekstil milik negara di Delanggu (Jawa Tengah) yang dibarengi juga dengan aksi kekerasan. Kalau dikaji tindak kekerasan yang mengikutinya tampak jelas bahwa basis Front tersebut di wilayah pedesaan lebih merupakan soal identitas kemasyarakatan daripada masalah kelas sosial atau ideologi. Hal itu bisa terlihat pada buruh abangan yang mendukung Front itu mendapat serangan dari para santri pengikut Masyumi yang didukung oleh satuan-satuan Hizbullah. Sehingga aksi pemogokan tersebut pada bulan Juli berhasil diakhiri dengan syarat-syarat yang menguntungkan pihak yang melakukan pemogokan, tetapi kini terbukti bahwa siasat-siasat politik pusat sudah terlibat dalam ketegangan-ketegangan kemasyarakatan di desa-desa Jawa.
Sementara itu Belanda pada akhir bulan Agustus meluruskan garis depannya dengan apa yang disebut sebagai garis demarkasi “van Mook” yang telah merebut semua pelabuhan penting di Jawa serta daerah-daerah sumber hasil bumi di Jawa Barat dan Jawa Timur. Selain itu mereka masih mengadakan suatu blokade ekonomi terhadap Republik yang wilayahnya di Jawa hanya tinggal kira-kira sepertiga luas pulau tersebut. Pasukan-pasukan Republik mengundurkan diri ke luar kota-kota dan memulai perang gerilya secara besar-besaran di kedua belah garis van Mook. Pihak tentara membunuh Amir Sjarifuddin dan lebih dari lima puluh orang beraliran kiri yang ada di penjara ketika mereka bergerak mundur dari Yogyakarta pada tangal 19/20 Desember malam daripada mengambil risiko bahwa mereka akan dibebaskan oleh Belanda. Sampai akhir bulan Desember semua kota besar di Jawa dan Sumatera telah jatuh ke tangan Belanda. Satu-satunya wilayah besar yang tetap di bawah kekuasaan Republik adalah Aceh, di mana Daud Beureu'eh memegang pimpinan. Belanda masih merasa akan lebih bijaksana jika tidak mengutak-atik Aceh.
Situasi yang kacau pada saat itu yang diakibatkan oleh agresi militer Belanda membuat Kartosoewirjo lebih memfokuskan perjuangannya. Dalam suatu rapat Masjumi di Garut, yang dipimpin oleh Kartosoewirjo sendiri dan di mana semua organisasi yang bergabung dalam Masjumi harus mengirimkan wakilnya, diputuskan, bahwa Masjumi tjabang Garut diganti namanya menjadi Dewan Pertahanan Oemat Islam (DPOI). Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga DPOI sama seperti anggaran dasar Masjumi, hanya ditambahkan sebuah pasal baru yang berhubungan dengan pertahanan melawan tentara Belanda. Sebelum pembentukan DPOI di Garut, juga sudah dibentuk 2 Madjlis Pertahanan Oemmat Islam (MPOI) di Tasikmalaya dan di Ciamis. Untuk masalah pertahanan Sabilillah di bawah pimpinan R. Oni ditempatkan di bawah komando MPOI dan DPOI.
Dengan ditanda-tanganinya perjanjian Renville antara pemerintah Republik dengan Belanda. Dimana pada perjanjian tersebut berisi antara lain gencatan senjata dan pengakuan garis demarkasi van Mook. Sementara pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia, maka menjadi pil pahit bagi Republik adalah bahwa tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukannya di daerah-daerah yang dikuasai oleh pasukan Belanda harus dikosongkan, dan semua pasukan harus ditarik mundur ke Jawa Tengah. Karena persetujuan ini Tentara Republik resmi dalam Jawa Barat ialah Divisi Siliwangi mematuhi ketentuan-ketentuannya. Hal yang berbeda dengan pasukan gerilya Hizbullah dan Sabilillah bagian yang cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat, menolak untuk mematuhinya. Di antara satuan-satuan Hizbullah yang tetap tinggal, terdapat mereka yang dipimpin oleh Zainal Abidin di daerah Baluburlimbangan dan oleh Ateng Ku Jaelani Setiawan yang beroperasi sekitar Cicalengka, serta di daerah Cirebon di bawah pimpinan Agus Abdullah Sukunsari. Satuan-satuan Sabilillah yang tetap tinggal berada di bawah komando Enokh di daerah Wanaraja dan Garut, dan oleh Oni di daerah sekitar Gunung Cupu, sebelah Utara Tasikmalaya, dan satu batalyon lengkap untuk bergerilya di daerah Bandung Selatan, yaitu batalyon 22 Jaya Pangrengot di bawah pimpinan Soegih Arto.
Gerakan Siliwangi ke Jawa Tengah menimbulkan akibat-akibat di wilayah itu yang sangat penting artinya bagi pencapaian terakhir kemerdekaan. Nasution dan para pengikutnya, yang sebagian besar adalah orang Sunda, membentuk suatu pasukan yang setia kepada pemerintahan Hatta dan segera timbul pertentangan dengan satuan-satuan setempat, yang beranggotakan orang-orang Jawa, yang cenderung kepada pimpinan Soedirman atau Front Demokrasi Rakyat di bawah pimpinan Amir Sjarifuddin. Pemerintah Hatta ingin mengurangi jumlah anggota angkatan bersenjata yang sangat besar, secara kasar diperkirakan sebesar 350.000 tentara reguler dan 470.000 tentara tidak reguler, yang menjadi tanggung jawabnya. Nasution pun lebih menyukai suatu angkatan bersenjata yang jumlah anggotanya lebih sedikit tetapi memiliki standar-standar profesionalisme yang lebih tinggi. Tentu saja pihak yang akan kalah dalam rencana rasionalisasi seperti itu tak terelakkan lagi pasti akan menjadi pejuang-pejuang yang mendukung lawan-lawan pemerintahan. Dengan terpecah-pecahnya pihak militer menjadi kelompok-kelompok sebagai akibat diajukannya usaha-usaha rasionalisasi tersebut, maka mulai timbul penculikan-penculikan, pembunuhan-pembunuhan, dan bentrokan-bentrokan senjata di wilayah Yogyakarta - Surabaya. Pada akhir bulan Agustus 1948 tampaknya ada kemungkinan terjadinya lagi perang saudara. Kini berlangsung suasana panas yang merupakan campuran dari siasat-siasat politik kaum elite, politik pihak militer, dan ketegangan-ketegangan kemasyarakatan di Jawa Tengah, sementara pasukan-pasukan Belanda telah mengambil posisi di barat, utara, dan timur Republik. Wilayah ini Timur Indonesia ini menjadi penting karena wilayah Maluku adalah suatu wilayah di mana Islam sudah lama ada.
Adapun reaksi Kartosoewirjo dengan adanya perjanjian Renville itu membuat suatu pernyataan bahwa “Amir Sjarifoedin la’natoellah” dituduh telah berbuat khianat dan menjual Jawa Barat kepada Belanda dan mengangkut semua senjata ke daerah Republik “soepaya Oemat Islam khoesoesnja dan rakjat Djawa Barat semoeanja tidak dapat mengadakan perlawanan terhadap Belanda”.
Segera setelah persetujuan Renville, pada tanggal 30 Januari 1948 R. Oni berangkat ke Peuteuynunggal dekat Garut untuk berunding dengan Kartosoewirjo tentang masalah situasi politik dan militer dewasa itu. Keduanya sepakat, bahwa pasukan-pasukan Islam harus tetap berada di Jawa Barat untuk melanjutkan perjuangan bersama-sama dengan rakyat melawan Belanda dan “anggota-anggota Sabilillah dan Hizbullah yang turut mengundurkan diri harus dilucuti senjatanya dengan damai atau dengan paksa”. Keputusan lain yang sangat penting bahwa akan diadakan konferensi pada tanggal 10-11 Februari 1948 di desa Pangwedusan Distrik Cisayong, di mana harus hadir semua pemimpin Islam daerah Priangan.
Maka pada tanggal 10 Januari 1948, telah berkumpul 160 wakil-wakil organisasi Islam di Pangwedusan untuk mengadakan sebuah konferensi yang akan berlangsung dua hari. Di antara mereka hadir Kamran sebagai Komandan Teritorial Sabilillah, Sanusi Partawidjaja sebagai Ketua Masjumi Daerah Priangan, Raden Oni sebagai pemimpin Sabilillah Daerah Priangan, Dahlan Lukman sebagai ketua GPII, Siti Murtadji’ah sebagai ketua Poetri GPII dan Abdullah Ridwan sebagai ketua Hizbullah untuk Priangan. Sebagai ketua Masjumi cabang Garut hadir Saefullah, begitu juga 4 ketua DPOI yang lain. Dari Bandung dan Sumedang hadir juga masing-masing dua utusan dari cabang DPOI di sana, selain itu hadir juga dari Tasikmalaya dan Ciamis 3 orang anggota MPOI.
Dalam konferensi ini Kamran menuntut supaya pemerintah RI membatalkan perjanjian Renville dan “kalau pemerintah RI tidak sanggoep membatalkan Renville, lebih baik pemerintah kita ini kita boebarkan dan membentoek lagi pemerintahan baroe dengan tjorak baroe. Di Eropa doea aliran sedang berdjoeang dan besar kemoengkinan akan terjadi perang doenia III, ja’ni aliran Roesia lawan Amerika”. Kamran selanjutnya menerangkan “Kalau kita di sini mengikoeti Roesia, kita akan digempoer Amerika, begitoe joega sebaliknja. Dari itoe, kita haroes mendirikan negara baroe, ja’ni negara Islam. Timboelnja Negara Islam ini, jang akan menjelamatkan Negara”. Untuk itu menurut Kamran harus diadakan persiapan, antara lain harus dapat dikuasai satu daerah tertentu yang dapat dipertahankan sungguh-sungguh. Dahlan Lukman menerangkan, bahwa persatuan di masa lampau merupakan “persatuan ayam dan musang”, dan kini ummat Islam memerlukan pimpinan yang baru dan kuat, yaitu seorang Imam. Pimpinan ini harus meliputi seluruh Jawa Barat. Selanjutnya dia mengusulkan supaya Masjumi dan seorang organisasinya harus menghentikan kegiatannya.
Affan Ridhwan dari GPII mengusulkan supaya pemerintah di Yogyakarta didesak agar Jawa Barat diserahkan kepada ummat Islam. Dan dia usulkan kepada Pengurus Besar Masjumi di Yogyakarta “soepaja Soekarno ditoereonkan, baik sandiwara atau tidak kalau perloe “Coup d’etat.
Menanggapi hal tersebut Kartosoewirjo menjawab sebagai berikut, Jawa Barat bukanlah Shanghai, bukan negara internasional, dan kudeta hanya didjalankan oleh golongan ilegal, sedangkan Masjumi adalah sebuah partai yang legal. Sebuah negara berdiri hanyalah sebagai sarana tempat berkumpulnya komunitas manusia dalam pencarian identitas dan kebanggaan yang semu, di dalamnya juga terjadi fragmentasi berbagai manusia dengan segala simbol, atribut, dan karakter. Maka tidaklah salah jika dikaitkan dengan hal ini meminjam istilah Clifford Geertz menggambarkannya sebagai "Theatre State".
Keputusan terpenting yang diambil dalam konferensi di Cisayong adalah membekukan Masjumi di Jawa Barat dan semua cabangnya dan “membentuk pemerintah daerah dasar di Jawa Barat yang harus dita’ati oleh seluruh umat Islam di daerah tersebut”, serta mendirikan Tentara Islam Indonesia (TII). Dalam pemerintah dasar Jawa Barat yang diusulkan ini – Majelis Islam atau kadang-kadang disebut juga Majelis Umat Islam – organisasi-organisasi Islam yang ada harus bergabung. Ini akan menggantikan kedua Majelis Islam yang telah ada, yang didirikan di Garut dan Tasikmalaya pada tahun sebelumnya, yang sedikit banyak dibentuk atas garis yang sama. Ketua Majelis Islam ini adalah Kartosoewirjo sendiri yang juga bertanggung jawab dalam masalah pertahanan. Sebagai sekretaris diangkat Supradja, dan sebagai bendahara Sanusi Partawidjaja, sedangkan bidang penerangan dan kehakiman masing-masing dikepalai Toha Arsjad dan Abdul Kudus Gozali Tusi.
Beberapa hari sesudah konferensi Cisayong, tepatnya pada pertengahan bulan Februari 1948 dilangsungkan suatu pertemuan lain dengan tujuan memberikan bentuk yang kongkret kepada Tentara Islam Indonesia. Tidak hanya dibentuk Tentara Islam Indonesia yang sebenarnya, tetapi juga sejumlah korps khusus seperti Baris (Barisan Rakyat Islam) dan PADI (Pahlawan Darul Islam). Juga dibentuk Pasukan-pasukan Gestapu. Markas besarnya didirikan di Gunung Cupu, pangkalan pasukan Sabilillah yang dipimpin oleh R. Oni. Sedang R. Oni sendiri diangkat menjadi komandan daerah Tentara Islam Indonesia untuk Priangan. Dia juga menjadi komandan PADI, demikian pula menjadi kepala pasukan polisi rahasia Mahdiyin yang berarti terpimpin secara benar. Juga dibentuk korps polisi biasa. Mulanya badan ini disebut Badan Keamanan Negara, tetapi namanya diubah menjadi Polisi Islam Indonesia.
Setelah terbentuknya T.I.I.,--terbentuknya atas bantuan rakyat yang secara suka rela mendukung adanya aksi ini,-- sekarang T.I.I. telah memiliki kurang lebih 60 senjata ringan. Bahkan kondisi semakin lebih baik ketika dukungan diberikan oleh kesatuan di bawah pimpinan Zainal Abidin, Adah Djaelani Tirtapraja, Agus Abdullah, Danu Muhammad Hasan dan kelompok-kelompok kecil lainnya yang tidak ikut hijrah ke Jawa Tengah.
Kini R. Oni menempatkan batalyon-batalyon resimennya di lereng Gunung Cupu di daerah Gunung Mandaladatar, di antaranya untuk Batalyon I dikuasakan kepada S. Otong dari Bandung, Batalyon II dikuasakan kepada Zainal Abidin, Batalyon III dikuasakan kepada Adah Djaelani dari Singaparna. Seminggu setelah konferensi terjadilah pertempuran yang pertama dengan pasukan Belanda. Adapun Awal mula terjadinya peristiwa tersebut ketika sehari sebelumnya R. Oni mengintruksikan kepada Moh. Ta’at salah seorang pasukan TII untuk patroli ke Lapangan terbang untuk mengintai pasukan Belanda, namun tidak didapatinya pasukan Belanda. Kemudian pada tanggal 17 Februari 1948 satu regu pasukan TII sedang berpatroli di daerah Cirahung bertemu dengan pasukan Belanda yang sedang berjalan melewati daerah tersebut, maka tak dapat dihindarkan lagi terjadilah pertempuran. Yang kelak peristiwa ini diabadikan sebagai “Hari Angkatan Senjata”. Kejadian ini memang mempunyai arti politis besar bagi perjuangan, karena rakyat terutama para mujahidin Darul Islam memaklumi bahwa tujuan mereka adalah terutama untuk melawan tentara Belanda. Pertempuran dengan Belanda masih terus berlangsung hingga akhir April 1948, ketika pasukan TII meninggalkan daerah kantong gerilya awal Mei dan memencar di daerah Tasikmalaya-Ciamis-Garut-Indihiang,--di mana di daerah tersebut telah diduduki tentara Belanda-- secara sporadis mulai diserang kembali oleh TII.
Sebelum terjadinya peristiwa tersebut, tepatnya pada tanggal 1-2 Maret 1948 diadakan konferensi di Cipeundeuy/Banturujeg di daerah Cirebon yang dihadiri oleh semua pimpinan cabang-cabang Masjumi daerah Jawa Barat seperti dari Banten, Jakarta, Bogor, Priangan, Cirebon, dan juga para komandan TII. Selain Kartosoewirjo hadir juga Sanusi Partawidjaja, R. Oni, Toha Arsjad, Agus Abdullah, Djamil, Kiai Abdul Halim dan wakil cabang Masjumi Jakarta Gozali Tusi. Ketika semua peserta konferensi hadir Kamran membuka acara tersebut. Dalam acara itu Sanusi Partawidjaja menjelaskan keputusan-keputusan konferensi di Pangwedusan, Oni menerangkan Pengleburan Tentara Hizbullah dan Sabilillah menjadi Tentara Islam Indonesia.
Ketika konferensi dilanjutkan pada hari berikutnya, semua keputusan-keputusan Pangwedusan disetujui dan Kartosoewirjo ditetapkan sebagai Imam di Jawa Barat. Keputusan berikutnya adalah Hizbullah Cirebon dilebur menjadi TII dan Kamran diangkat menjadi panglima Divisi. Selanjutnya Kartosoewirjo selaku Imam di Jawa Barat mengangkat tujuh anggota pimpinan pusat. Pimpinan Pusat tersebut dibagi tiga dan susunannya adalah sebagai berikut:
1. Bagian agama terdiri dari Alim Ulama yang “modern”, yaitu Kiai Abdul Halim dan K.H. Gozali Tusi.
2. Bagian politik terdiri dari Sanusi Partawidjaja dan Toha Arsjad.
3. Bagian militer terdiri dari Kamran dan R. Oni.
Ketujuh orang ini diintruksikan melalui keputusan rapat tersebut untuk menjadi pemimpin yang bertanggungjawab di seluruh Jawa Barat “hingga di seluruh Indonesia kelak”. Kemudian dari hasil rapat tersebut juga ditetapkan suatu “Program Politik Umat Islam” yang terdiri dari butir-butir berikut ini:
1. Memboeat brosoer tentang pemetjahan politik pada dewasa ini ja’ni perloenja lahir satoe negara baroe, ja’ni Negara Islam. Pengarang Kartosoewirjo (oentoek disiarkan ke seloeroeh Indonesia).
2. Mendesak kepada pemerintah Poesat Repoeblik Indonesia agar membatalkan semoea peroendingan dengan Belanda. Kalau tida’ moengkin, lebih baik Pemerintah diboebarkan seloeroehnja dan dibentoek soeatoe pemerintah baroe dengan dasar Democratie jang sempoerna (Islam).
3. Mengadakan persiapan oentoek membentoek soeatoe Negara Islam jang akan dilahirkan, bilamana: Negara Djawa Barat a la Belanda lahir, atau Pemerintah Repoeblik Indonesia boebar.
4. Tiap-tiap daerah jang telah kita koeasai sedapat-dapat kita atoer dengan peratoeran Islam, dengan seidzin dan petoendjoek Imam.
Selain itu dibuat juga suatu “Daftar Oesaha Tjepat” yang harus menerangkan kepada rakyat bahwa perjanjian dengan Belanda tidak akan membawa kemerdekaan bagi Indonesia. Juga seluruh pegawai Republik dan semua Umat Islam yang bekerja untuk Belanda, begitu juga semua kepala desa yang berada atau tidak berada dibawa kekuasaan Belanda, supaya secepat mungkin “berjiwa Islam”.
Ditetapkan juga untuk memperhebat penerangan tentang tauhid, amal saleh dan semangat berkorban hingga rakyat patut menjadi “warga negara Islam”. Selain itu dengan segala daya upaya faham Jihad dan ‘amal saleh harus diperdalam dan dipertinggi.
Sampai pada saat itu Kartosoewirjo beserta umat Islam masih berharap untuk dapat merealisasikan cita-citanya, yaitu pendirian Negara Islam secara legal, walaupun belum diproklamasikan secara terang-terangan, namun tidak pernah lenyap dari rencana umat Islam Jawa Barat yang akan dipersiapkan kelahirannya. Struktur militer dan pemerintah yang disusun Kartosoewirjo dan Oni, jelas dimaksudkan sebagai sebuah pemerintahan Islam yang akan menggantikan Pemerintahan Republik jika kalah dalam perang melawan Belanda.
Pada tanggal 1-5 Mei 1948 kembali diadakan konferensi yang ketiga di Cijoho, hasil terpenting yang diputuskan dalam rapat tersebut adalah perubahan nama Madjelis Islam Pusat menjadi Madjlis Imamah (kabinet) di bawah pimpinan Kartosoewirjo sebagai Imam. Madjlis Imamah itu terdiri dari lima “kementerian” yang dipimpin oleh masing-masing seorang kepala Madjlis, kelima Madjlis tersebut adalah:
1. Madjlis Penerangan di bawah pimpinan: Toha Arsjad.
2. Madjlis Keuangan di bawah pimpinan: S. Partawidjaja.
3. Madjlis Kehakiman di bawah pimpinan: K.H. Gozali Tusi.
4. Madjlis Pertahanan di bawah pimpinan: S.M. Kartosoewirjo.
5. Madjlis Dalam Negeri di bawah pimpinan: S. Partawidjaja.
Anggota Madjlis Imamah adalah Kamran sebagai Komandan Divisi TII Syarif Hidajat dan Oni sebagai Komandan Resimen Sunan Rachmat. Di samping itu dibentuk pula Madjlis Fathwa yang dipimpin oleh seorang Mufti Besar, dan anggota-anggotanya terdiri dari para Mufthi. Tugas Madjlis Fathwa ini sebagai penasehat Imam. Keputusan penting lainnya adalah mendirikan dan menguasai satu “Ibu Daerah Negara Islam”, yaitu suatu daerah di mana berlaku “kekuasaan dan hukum-hukum agama Islam”, yang mana daerah ini dinamakan Daerah I (D.I), daerah di luar Daerah I dibagi-bagi menjadi Daerah II (D.II) yang hanya setengahnya dikuasai oleh umat Islam dan Daerah III (D.III), ialah daerah yang masih dikuasai oleh pihak bukan Islam (Belanda). Untuk lebih jelasnya lagi diberi keterangannya sebagai berikut:
Daerah I (D.I)
Daerah D-I ini merupakan daerah yang hukum-hukum Islam telah berlaku pada kalangan umat Islam baik di bidang hukum, ekonomi, sosial , dan budaya. Di daerah ini pulalah kedudukan Imam beserta apartur Negara dalam menjalankan roda pemerintahan negara dan mempertahankan daerah yang telah dikuasai. serta mengusahakan untuk meluaskan daerah itu dan berusaha menghubungkan Daerah I dengan Daerah II sehingga Daerah II menjadi Daerah I.
Untuk menjalankan roda perekonomian pemerintahan Negara, dalam hal ini yang berwenang adalah Madjlis Keuangan yang telah dibentuk dari pusat sampai ke desa mewajibkan para penduduk menyerahkan 2,5 % dari pendapatannya sebagai pajak (infaq) kepada instansi sipil dan militer (TII) yang nantinya didistribusikan oleh Madjlis keuangan untuk kepentingan tiap-tiap Komandemen yang ada. Jika sistem ekonomi Islam seperti yang diterapkan oleh orang-orang DI, maka Cina di Indonesia akan berkembang secara alamiah dan tanpa ada tekanan-tekanan politik yang mengakibatkan krisis bagi mereka sendiri. Selama Indonesia merdeka--ketika rezim Sukarno dan Suharto berkuasa--kaum etnis Cina sering jadi korban penggayangan dan kerusuhan serta pembakaran dan pemerkosaan. Tidak seperti di RI, hubungan sipil dan militer menempatkan kaum tentara sebagai penjajah yang bertindak semena-mena dan bertindak represif, suka menyiksa dan membunuh rakyatnya sendiri.
Menjadi bagian terpenting dalam perjuangan DI/TII adalah didirikannya di Daerah I Madjlis Doa bagi para ulama dan “orang-orang yang suci hidupnya”. Di Madjlis Doa itu siang-malam selalu mendoa sedikit-dikitnya 41 orang, di antaranya harus ada seorang pemimpin. Hal-hal yang harus dilakukan di markas doa ialah sholat Isti’anah (hajat), syukur, membaca ayat-ayat Al-Quran sebagai doa, terutama ayat-ayat yang bertalian dengan perang, dzikir dan sholat Tahajud. Di samping itu mereka juga dididik dalam bidang ideologi dan politik. Kepada mereka diberi penerangan tentang situasi perjuangan dan jalannya perang yang sedang berlangsung.
Tugas ketua Madjlis Doa ialah badan yang bertugas mengumpulkan berita yang diperoleh melalui “ilham dan karomah Allah” yang disampaikan kepada pembesar yang tertinggi di tempat itu, baik kepada pemimpin sipil atau pemimpin militer, selanjutnya disampaikan ke pusat”. Di samping itu manakala ada pemberangkatan pasukan TII ke medan perang, pemuka Madjlis Doa mengajak para penduduk untuk mengumandangkan shalawat badar untuk kepergian para pasukan supaya mereka “mati syahid” dalam setiap pertempuran.
Daerah II (D II)
Daerah D II merupakan daerah percampuran antara penduduk yang berwarga Negara Islam Indonesia dan penduduk yang berwarga negara Republik Indonesia, di mana lokasi teritorialnya adalah perbatasan kota dan desa. Di daerah ini tidak berlaku hukum Islam, namun manakala ada penduduk warga Negara Islam Indonesia yang melakukan kesalahan (berbuat dosa terhadap ajaran agama), mereka dibawa ke daerah D I untuk diputuskan permasalahannya. Di daerah (D. II) inilah sebagai tempat front perang antara pasukan TII dengan TNI. Kewajiban semua pemimpin di Daerah II adalah, mengusahakan dengan sungguh-sungguh dalam menggalang negara untuk menarik simpati semua penduduk setempat supaya mereka tergugah hatinya untuk bersama-sama berjuang membela kebenaran yang ditunjukkan oleh Negara Islam Indonesia, dan mengusahakan dengan sungguh-sungguh supaya D.II berubah menjadi D.I. Kewajiban infaq 2,5% dari penduduk diserahkan melalui petugas yang diangkat oleh Madjlis Keuangan kemudian diberikan kepada seorang kurir daerah D I untuk dibawa ke Pusat, sementara wajib dinasnya berlangsung selama seminggu.
Daerah III (D.III)
Di Daerah D.III adalah merupakan daerah musuh yang berlokasi di pusat-pusat kota, dan penduduk yang menjadi warga Negara Islam Indonesia di daerah D.III ini ditugaskan untuk mencari dana, senjata dan menjadi intel. Begitupun tentang kewajiban infaq 2,5% dari penduduk diserahkan kepada militer (TII).
Sistem perluasan pengaruh ini dapat berfungsi berdasarkan sebuah prinsip yang sederhana, tapi efisien, dan dalam prakteknya berjalan sebagai berikut:
Setelah sebuah daerah dimasukkan ke dalam Daerah I, menurut luas daerah tersebut ditempatkan seorang kepala desa, lurah atau camat. Pemimpin lokal tersebut sekarang berusaha memperluas daerahnya sesuai dengan kedudukannya, karena daerah yang dikuasai jarang seluas seperti yang diharapkan, dan dia juga berusaha untuk memperkuat pengaruh di daerahnya. Bila kepala desa, lurah atau camat yang bersangkutan yang sekarang – setelah komando sipil dan militer disatukan – juga bertanggung jawab terhadap operasi militer di daerahnya telah berhasil mengkonsolidasi kekuasaannya, maka selanjutnya dia berusaha untuk dapat mengontrol Daerah II yang berbatasan dengan daerahnya. Untuk mencapai tujuannya, digunakan TII, PADI dan Gestapo. Sistem ini memberikan motivasi yang cukup kuat kepada masing-masing penguasa lokal untuk memperluas daerah mereka, sebab bila mereka berhasi memperluas daerahnya, mereka akan naik satu tingkat dalam hirarki administrasi. Dengan demikian seorang kepala desa naik menjadi lurah, lurah menjadi camat dan camat menjadi bupati.
Konsep tentang pembagian daerah-daerah jelas dipengaruhi oleh hukum Islam, yang membagi dunia ke dalam Dar-al Islam, di mana hidup umat Islam dan di mana hukum Islam dipraktekkan sepenuhnya. Sedangkan Dar-al-harb adalah daerah yang dihuni pihak bukan Islam. Karena tugas sebuah Negara Islam ialah menjalankan hukum-hukum Islam dan menetapkan Islam sebagai ideologi yang dominan bagi setiap masyarakat, maka secara teoritis Dar-al-Islam berada dalam keadaan perang yang terus menerus dengan Dar-al-harb, di mana jihad merupakan alat bagi negara untuk mengubah Dar-al-harb menjadi Dar-al-Islam.
Untuk menjaga keutuhan dan menegakkan disiplin gerakan, maka melalui keputusan Konferensi Cijoho diputuskan bahwa setiap anggota haruslah mengangkat sumpah setia (bai’ah) terhadap pimpinannya. Dengan demikian diharapkan terjaminnya loyalitas umat terhadap pimpinannya. Berdasarkan peraturan tersebut di Daerah I (D-I) orang-orang berikut ini harus mengangkat sumpah dari dan kepada:
Imam terhadap Madjlis Imamah (kabinet)
Kepala Madjlis (menteri) terhadap Imam
Residen terhadap Imam
Staf Residen terhadap Residen
Bupati terhadap Imam
Staf Bupati terhadap Bupati
Camat terhadap Bupati
Staf Camat terhadap Camat
Kuwu (pemimpin lokal) terhadap Bupati
Artinya, semua jabatan memiliki garis pertanggung-jawaban yang jelas, antara satu menjadi imam bagi yang lain dan juga sebaliknya serta begitu seterusnya. Prinsip yang sama juga berlaku bagi Daerah II dan Daerah III. Dalam Daerah ini hanya pegawai tinggi langsung harus mengangkat sumpah terhadap Imam. Begitu juga bagi militer berlaku prinsip yang sama, mulai dari Komandan Divisi yang harus mengangkat sumpah terhadap Imam, hingga ke tentara bawahan yang harus mengangkat sumpah terhadap atasannya. Bunyi dari sumpah (mubay’ah) tersebut adalah:
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Bismillahi tawakkalna ‘alallah, lahaoela wala qoewwata illa billah.
Asjhadoe an-la ilaha illallah, wa asyhadoe anna Moehammadr Rasoeloellah.
Wallahi. Demi Allah!
Saja menjatakan bai’at ini kepada Allah, di hadapan dan dengan persaksian Komandan Tentara/Pemimpin Negara, jang bertanggoeng djawab.
Saja menjatakan Bai’at ini soenggoeh-soenggoeh karena ikhlas dan soetji hati, lillahi ta’ala semata-mata, dan tidak sekali-kali karena sesoeatoe di loear dan ke loear daripada kepentingan Agama Allah. Agama Islam dan Negara Islam Indonesia.
Saja sanggoep berkorban dengan djiwa, raga dan njawa saja serta apapoen jang ada pada saja, berdasarkan sebesar-besar taqwa dan sesempoerna-sempoerna tawakal ‘alallah, bagi:
mentegakkan kalimatillah, li-I’lai Kalimatillah --, dan
mempertahankan berdirinja Negara Islam Indonesia; hingga hoekoem Sjari’at Islam seloeroehnja berlakoe dengan seloeas-loeasnja dalam kalangan Oemmat Islam Bangsa Indonesia di Indonesia.
Saja akan tha’at sepenoehnja kepada perintah Allah, kepada perintah Rasoeloellah dan kepada perintah Oelil Amri saja, dan mendjaoehi segala larangannja, dengan toeloes dan setia-hati.
Saja tidak akan berkhianat kepada Allah, kepada Rasoeloellah dan kepada Komandan Tentara, serta Pemimpin Negara, dan tidak poela akan memboeat noda atas Oemmat Islam Bangsa Indonesia.
Saja sanggoep membela Komandan-komandan Tentara Islam Indonesia dan Pemimpin-pemimpin Negara Islam Indonesia, daripada bahaja, bentjana dan khijanat darimana dan apapoen djoega.
Saja sanggoep menerima hoekoeman dari Oelil-Amri saja, sepandjang ke’adilan hoekoem Islam, bila saja inkar daripada Bai’at jang saja njatakan ini.
Semoga Allah berkenan membenarkan pernjataan Bai’at saja ini, serta berkenan poela kiranja Ia melimpahkan Tolong dan Koernia-Nja atas saja sehingga saja dipandaikan-Nja melakoekan toegas soetji, ialah haq dan kewajiban tiap-tiap Moedjahid: menggalang Negara Koernia Allah, Negara Islam Indonesia! Amin.
Allahoe Akbar! Allahoe Akbar! Allahoe Akbar!
Dengan demikian, perjuangan Darul Islam adalah perjuangan kaum sufi yang sangat terkenal dalam bentuk-bentuk bai'at dan thariqat. Pada tanggal 8 Juli 1948 Kartosoewirjo mengutus para kurir di antaranya Abdul Hadi, Soelaiman dan Nanggadisoera untuk membawa pesan-pesan pribadi berupa rencana akan mendirikan Negara Islam kepada sejumlah politikus di Yogyakarta. Dua hari sebelumnya, Kartosoewirjo juga memberitahukan rencananya kepada Komandan Divisi I/TII Tjakrabuana (Kamran), bahwa ia akan menyampaikan pesan kepada Pengurus Besar Masjumi di Yogyakarta. Dalam pesan tersebut dia ingin menghindarkan timbulnya salah pengertian di masa yang akan datang. Pesan lisannya disampaikan kepada Anwar Tjokroaminoto, Ramlan, A.M. Soebakin, Soedardjo, Soemadhi dan Abikusno Tjokrosujoso. Dalam surat pengantarnya Kartosoewirjo meminta agar mereka datang ke Jawa Barat untuk bersama-sama membicarakan langkah-langkah selanjutnya. Surat pengantar yang singkat itu hanya berisi 6 butir:
Sedjak ditandatanganinja Renville kami Oemmat Islam di Djawa Barat telah menentoekan sikap jang tegas.
Akibat daripada sikap itoe, terdjadilah Perdjoeangan jang dahsjat, sehingga darah sjoehada teroes mengalir.
Tjita-tjita Perdjoeangan kami ini, tidak hanja meroepakan Perdjoeangan regional akan tetapi hendaknja merata keseloeroeh kepoelauan Indonesia.
Dari itoe oentoek mensatoekan bentoek dan langkah Perdjoeangan kita, di samping keterangan-keterangan jang disampaikan oleh oetoesan kami, diharap soepaja di antara saudara-saudara jang bertanggoeng djawab kepada Perdjoeangan oemmat di sini datang ketempat saja oentoek membitjarakan bentoek dan langkah Perdjoeangan oemmat pada dewasa ini.
Semoga dengan djalan ini, koernia Allah, lahirnja Negara Islam jang merdeka, akan datang dengan setjepat-tjepatnja.
Selesai
Dari surat Kartosoewirjo kepada Kamran juga dengan jelas dapat dilihat bahwa untuk suatu hubungan yang tidak terputus-putus dengan daerah Republik adalah penting sekali. Dia juga memberitahukan Kamran, bahwa dia telah mengirim surat kepada pemimpin-pemimpin di daerah Republik, di mana dia menjelaskan situasi politik dan militer agar supaya mereka “jangan salah paham dan dapat pula menghilangkan salah paham”. Kartosoewirjo menulis sebagai berikut:
“Djoega saja ingin sekali memperingatkan kepada soeatoe hal jang tampaknja ketjil, tapi amat penting sekali dalam perdjoeangan kemerdekaan dan perdjoeangan agama, ja’ni terbentuknja pos-pos di sepandjang djalan antara kita dengan daerah Repoeblik. Satoe djalan doeloe (reote) boleh dimoelai, asal sempoerna. Djangan poetoes-poetoes. Selain daripada itoe, djoega tentang bentoekan koerir jang tetap, jang berangkat dan datang pada waktoe jang tentoe. Saja harap, soepaja kita dengan kawan-kawan di daerah Repoeblik meroepakan rantai jang erat sekali. Insja Allah, iteolah salah sateo djalan dan oesaha, menoejoe kepada Revoloesi Islam Totaliter, di mana komando kita akan dihargakan oleh Oemmat dan Ra’iat seloeroehnja, dan berharga poela dalam pandangan doenia internasional seloeroehnja. Lebih-lebih lagi, di mana-mana tempat dan di tiap-tiap penjoeroe doenia soedah moelai tampak menjala-njala api, jang agaknja akan mendjadi pangkal timboelnja Perang Doenia Ketiga”.
Kemudian Kartosoewirjo merumuskan langkah-langkah menuju kepada suatu Revolusi Islam melanjutkan lagi:
“Oleh sebab itoe, soepaja dioesahakan meletoesnja Pemberontakan Ra’iat, atau Revoloesi Islam, baik jang meroepakan pentjoelikan, pemboenoehan, sabotasje, dan – di mana moengkin – pertempoeran”.
Pada tanggal 25 Agustus 1948 keluarlah Maklumat yang pertama dari Pemerintah Islam Indonesia yang isinya “mengingat bahwa keadaan dewasa ini adalah keadaan perang menghadapi keganasan dan kezaliman jang dilakoekan oleh tentara Belanda serta menimbang bahwa tiap-tiap Oemmat Islam wadjib melakoekan Djihad fi sabilillah, oentoek menolak tiap-tiap kedjahatan dan kezaliman dan menegakkan keadilan dan kebenaran maka memoetoeskan seloeroeh pimpinan sipil dari Residen sampai kepala desa, begitoe poela pimpinan oemmat di daerah sampai di desa diberi toegas sebagai Komandan Pertahanan di daerahnja masing-masing. Seloeroeh kepala ketentaraan di desa, Ketjamatan dan selandjoetnja, diberi toegas sebagai Komando dan Pertempoeran di tempatnja masing-masing”. Dan dua hari kemudian tepatnya pada tanggal 27 Agustus 1948 diadakan penyusunan “Qanun Asasi” yaitu Undang-undang Dasar Negara Islam Indonesia dan telah selesai.
Pada saat itu di Republik Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi yang amat sangat. Sebagai akibat bekumpulnya begitu banyak pasukan di wilayah Republik, maka situasi pangan di Jawa Tengah semakin memburuk, karena di daerah tersebut sudah terisolasi dari “gudang beras” Jawa Barat dan Jawa Timur, dan juga pelabuhan Semarang sudah dikuasai Belanda. Terjadilah kelaparan di sana sini, pengangguran, serta pemogokan kerja, sementara rencana demobilisasi yang direncanakan oleh Hatta menimbulkan kegelisahan dalam tubuh Angkatan Bersenjata. Melihat terjadinya krisis seperti ini, bagi setiap orang yang berjiwa revolusioner sebagai satu kesempatan baik untuk bergerak menjalankan aksinya. Peluang ini dipergunakan oleh PKI untuk menjatuhkan Pemerintahan Republik yang berdasarkan Pancasila, dan menggantinya dengan negara Komunis. Maka pada tanggal 18 September 1948 yang diarsiteki Muso dan Amir Sjarifudin mengumumkan berdirinya Sovyet Republik Indonesia di Madiun. Peristiwa yang serupa juga terulang pada tanggal 30 September 1965, dimana PKI yang berjiwa munafik itu memanfaatkan krisis ekonomi dan politik yang melanda tubuh Republik Indonesia untuk menggulingkan kekuasaan Sukarno. Kesaktian Pancasila yang dirancang oleh Sukarno ternyata tidak mampu membendung arus krisis, sehingga mendamparkan perahu Republik Indonesia untuk kesekian kalinya. Namun dari serangkaian peristiwa kudeta yang dilakukan oleh PKI dalam mengadakan revolusinya, meminjam istilah Herring Aborted Revolt , sebuah revolusi yang diaborsi, dimana setiap gerakannya tanpa persiapan matang sehingga setiap aksinya mengalami kegagalan, disamping itu dalam penumpasan pemberontakannya pun Pemerintah hanya memerlukan waktu sekejap.
Propaganda PKI kini menunjukkan bahwa partai ini telah menjadi benar-benar bersifat Indonesia. PKI kurang menekankan doktrin-doktrin teoritis Marx dan Lenin, melainkan lebih banyak berbicara dengan bahasa yang menarik bagi rakyat Indonesia, khususnya kaum abangan (kaum muslim nominal) Jawa. Masyarakat tanpa kelas dikemukakan sebagai penjelmaan kembali dari negara Majapahit yang diromantiskan, yang dipandang sebagai zaman persamaan derajat yang mulia sebelum datangnya bangsa Belanda dan secara berarti, sebelum Islam. Pahlawan-pahlawan PKI adalah Dipanagara, Kyai Maja, dan Sentot dari Perang Jawa. Ramalan-ramalan yang bersifat mesianistis mengenai Ratu Adil juga dimanfaatkan sebagai daya tarik PKI. Dan ada suatu versi lagi dari kesemuanya ini, yaitu Komunisme Islam. Antara pembebasannya dari penjara pada akhir tahun 1922 dan pengasingannya ke Irian pada bulan Juni 1924. Haji Misbach menyebarkan Komunisme Islam di wilayah Surakarta. Komunisme Islam juga tersebar di Minangkabau dan di Jawa Barat. Perlu dicatat bahwa walaupun murid-murid sekolah Islam Modern sering kali tertarik pada Komunisme Islam, gerakan itu kebanyakan dipimpin oleh guru-guru Sufi dan para tokoh lain dari bentuk-bentuk Islam yang lebih tradisional. Para pemimpin Islam Modern dengan dedikasi mereka pada keortodoksan berdasarkan atas Quran dan Hadist merupakan penentang utama terhadap Komunisme Islam. Selain itu ada juga pemikiran yang mencoba mengkonstruksi tradisi jawa dalam politik di Inoesia dengan mengemukakan pemikiran gotong-royong sebagai contoh teladan yang seakan-akan mengatasi ajaran Islam tentang ta'awuniyah (saling tolong-menolong dalam kebaikan). Bahkan politik Indonesia dimainkan oleh para penguasa Jawa dari dulu hingga Soekarno dan Soeharto adalah suatu permainan wayang (foreshadow play).
Kini terjadi pertikaian antara SI dan PKI. Suatu federasi dari serikat-serikat dagang mereka, yang terdiri dari dua puluh dua serikat dan 72.000 orang anggota di bawah pimpinan Semaun, didirikan pada bulan Desember 1919. Akan tetapi, pemimpin serikat sekerja dari CSI, Surjopranoto, yang dijuluki 'raja mogok', segera mempersoalkan Kepemimpinan Semaun sehingga hancurlah federasi tersebut. Kemudian pada bulan November 1920 surat kabar PKI yang berbahasa Belanda, Het vrije woord ('Kata yang Bebas'), menerbitkan tesis-tesis Lenin tentang masalah-masalah nasional dan penjajahan yang meliputi kecaman-kecaman terhadap Pan-Islam dan Pan-Asianisme. SI kini makin lama makin dipengaruhi oleh Haji Agus Salim dan orang-orang lain yang mendukung Pan-Islam. Akibatnya terjadi pertikaian secara terbuka yang sengit, dan tidak menjadi soal apakah langkah-langkah pemutarbalikan yang diusahakan PKI tidak dapat mengelakkan tuduhan bahwa organisasinya adalah anti-Islam. Persaingan-persaingan sengit yang bersifat pribadi yang memecah gerakan politik Indonesia kini telah mencapai definisi ideologis. Dengan menghebatnya pertikaian secara teruka yang berapi-api dalam pertemuan-pertemuan dan surat kabar-surat kabar, maka dasar keanggotaan rakyat yang katanya dimiliki SI bahkan lebih cenderung lagi keluar sama sekali dari organisasi-organisasi politik.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh beberapa orang pemimpin untuk menyelesaikan pertikaian-pertikaian tersebut mengalami kegagalan. 'Disiplin partai' disetujui dalam kongres SI pada bulan Oktober 1921. Dengan adanya disiplin partai tersebut maka seorang anggota SI tidak mungkin lagi menjadi anggota partai lain (walaupun ada beberapa pengecualian, misalnya, Muhammadiyah). Anggota-anggota PKI kini dikeluarkan dari CSI, tetapi pertikaian tetap harus diselesaikan di setiap cabang SI. Sebagai akibatnya SI terpecah dalam cabang-cabang 'SI Merah' dan 'SI Putih'. Semaun meninggalkan Indonesia menuju ke Uni Soviet, sedangkan Tjokroaminoto kini dipenjarakan. Dengan tidak adanya kedua tokoh itu, seorang Minangkabau yang bernama Tan Malaka (1897-1949) melakukan beberapa usaha untuk memulihkan kerja sama PKI-SI namun sia-sia saja. Pada tahun 1922 meletus pemogokan besar-besaran pertama di dalam serikat buruh pengadaian yang dipimpin oleh Abdul Muis dari CSI. PKI merasa wajib menyatakan dukungannya. Pemogokan tersebut dapat dipatahkan oleh pemerintah hanya dengan memecat para pegawai yang mogok, sedangkan Muis dan Tan Malaka kedua-duanya diasingkan.
Pada bulan Mei 1922 Semaun kembali memasuki kancah yang nyata-nyata merupakan malapetaka. Dia segera berusaha untuk mendirikan kembali serikat-serikat sekerja PKI serta menegakkan kembali pengaruh PKI pada cabang-cabang dan sekolah-sekolah SI. Tjokroaminoto dibebaskan dari penjara pada bulan Mei 1922 (dia secara esmi dibebaskan dari tuduhan melakukan sumpah palsu pada bulan Agustus); dia telah bertekad melepaskan diri untuk selama-lamanya dari PKI, yang antara lain telah menyebutnya sebagai seorang pemabuk yang tidak jujur. Dalam kongres SI pada bulan Februari 1923 dia mendirikan Partai Sarekat Islam yang memiliki disiplin partai dan bertekad akan mendirikan cabang partai ini di mana saja yang ada cabang 'SI Merah'. Cabang-cabang 'SI Merah' kini diberi nama baru Sarekat Rakyat, dan pertikaian dilanjutkan dengan lebih sengit lagi .
Pada pertengahan tahun 1923 Semaun dibuang ke Eropa setelah pemerintah berhasil menumpas suatu pemogokan yang dilancarkan oleh serikat buruh kereta api dan trem (VSTP) yang dipimpinnya. Darsono menjadi pimpinan PKI. Pengaruh Agus Salim di dalam CSI kini mendorong organisasi ini untuk menempuh kebijakan nonkooperasi (organisasi ini menarik mundur anggota-anggotanya yang duduk di dalam Volksraad), yang disebut hijrah untuk mengenang hijrah Nabi Muhammad dari Mekah ke Medinah pada tahun 622 M. CSI kini menjauhkan diri dari setiap aksi politik yang penting. Ketika CSI semakin lama menjadi semakin tidak aktif, maka PKI mulai melancarkan kampanyenya yang terakhir untuk mengabil alih kepemimpinan atas pergerakan rakyat yang nyaris padam. Kini kancah utama perjuangan berada di tangan apa yang tersisa dari cabang-cabang SI pedesaan yang seperti biasa sukar dikendalikan.
Sementara itu dalam maklumat berikutnya yang keluar pada tanggal 28 Oktober 1948, diumumkan perubahan susunan Dewan Imamah. Berhubung dengan perubahan suasana politik dunia dan pergeseran serta peralihan lapangan, sifat dan corak perjuangan politik militer di Indonesia pada dewasa ini, maka dengan secara referendum antara anggota-anggota Dewan Imamah pada tanggal 6 Oktober 1948 telah diambil beberapa keputusan, yang mengubah seluruh susunan Pimpinan Negara dan Pimpinan Tentara, serta siasat perjuangan kedepan, menuju kepada Mardhatillah, yang berwujudkan Dunia Islam (Darul Islam) di dunia yang fana ini dan Darussalam di Akhirat yang baqa kelak.
Adapun perubahan susunan Dewan Imamah sebagai berikut:
Sdr. Kalipaksi (Kartosoewirjo) diganti oleh Sdr. H.I.M. Tjokro.
Sdr. Tjakrabuana (Kamran) diganti oleh Sdr. H.S. Hidayatullah.
Sdr. K.H. Dajeuhluhur (K.H. Gozali Tusi) diganti oleh Sdr. Chodimudin.
Sdr. K.H. Mandaladatar (R. Oni) diganti oleh Sdr. S. Rahmat.
Sdr. Jogaswara (Toha Arsjad) diganti oleh Sdr. A. Hamami.
Sdr. K.H. Kalisari (S. Partawidjaja) diganti oleh Sdr. H.M. Ridho.
Juga dijelaskan dalam Maklumat No. 2 tersebut bahwa kedudukan Pemerintah Negara Islam Indonesia dan Pusat Pimpinan Majlis Islam beralih kesuatu tempat untuk mengamankan perjuangan. Di samping itu bahwa di ibu kota Republik telah diangkat wakil atau consul Negara Islam Indonesia, ialah Sdr. O. Ridjalullah, begitu pula di daerah lain di Indonesia sudah pula diangkat beberapa orang yang bertanggung jawab, di mana tempat tinggal mereka pada waktu itu belum perlu diumumkan.
Dalam Maklumat berikutnya yang dikeluarkan pada awal November 1948, Kartosoewirjo menerangkan bahwa,”Sitoeasi loear negeri pada dewasa ini, teroetama pertentangan antara blok Roesia dan blok Amerika (Komoenis dan Kapitalis) makin hari makin bertambah genting-roentjing, sehingga sewaktoe-waktoe boleh timboel mara bahaya doenia jang amat mendahsyatkan. Tingkat peroendingan antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda telah mendekati kepada poentjak batas kemoengkinan, sehingga kata poetoes dengan cara damai hampir-hampir tidak dapat diperoleh, mengingat kekejaman dan keganasan jang dilakoekan oleh pihak Belanda dan kaki-tangannja soedah amat djaoeh melaloei batas-batas hoekoem kemanoesiaan dan hoekoem Agama. Oentoek menghadapi kemoengkinan jang sewaktoe-waktoe boleh timboel daripada kepentingan doenia loear dan dalam (Internasional dan Nasional), maka wadjiblah tiap-tiap Moeslim dan Moeslimat khoesoesnja serta seloeroeh Oemmat Islam Bangsa Indonesia oemoemnja, menjelesaikan dan menjempoernakan segala kelengkapan dan kekoeatan, oentoek melakoekan wadjib soetji jang berwoedjoedkan “Perang Soetji Moethlaq” atau “Perang Totaliter” melawan dan mengenjahkan semoea moesoeh Agama dan moesoeh Negara, hingga Allah berkenan menegakkan kerajaan-Nja di tengah-tengah masjarakat Oemmat Islam Bangsa Indonesia.
Di dalam Maklumat itu Kartosoewirjo mengeluarkan “Komando Umum” berupa kebulatan tekad dan niat bersama-sama untuk melenyapkan segala angkara murka, mulai benih sampai akar-akarnya, bahwa hanya Allah sajalah Yang Maha Esa dan Maha Perkasa. Serta mengajak tiap-tiap masyarakat dan warga Negara mempersenjatai dirinya dengan alat apapun juga yang ada padanya. Saat pecahnya perang Dunia ketiga akan bersamaan dengan saat mulainya perang antara Republik dengan Belanda.
Kira-kira seminggu kemudian tepatnya pada tanggal 14 Desember 1948, benar-benar terjadi perang lagi antara Belanda dengan Republik. Pasukan Belanda menyerbu daerah Republik dan memulai Agresi Militer yang kedua. Dengan demikian Belanda sekarang juga melanggar perjanjian Renville yang telah disepakati bersama. Kota Yogyakarta diserang oleh Belanda dari darat dan udara, dalam waktu yang cepat Belanda telah berhasil pula menawan anggota kabinet Republik di antaranya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta yang kemudian ditawan ke Rantau-Prapat dan Bangka.
Adapun reaksi Kartosoewirjo terhadap perkembangan terbaru ini, dia mengumumkan Jihad Fi Sabilillah, sampai semua musuh-musuh Islam, rakyat dan Allah berhasil diusir dan Negara Kurnia Allah, “Negara Islam Indonesia (NII), dapat didirikan. Melalui maklumat No.5 yang isinya adalah:
Bismillahirrahmanirrahim.
Assa lamoe ‘alaikoem w.w.,
Mengingat:
Isi ma’loemat Imam No. 3, bertarich 1 Moeharram 1368 atau 2 Nopember 1948, tentang persiapan Perang Soeci, Perang Totaliter, Perang Ra’iat dan Revoloesi Ra’iat seloeroehnja, menghadapi pendjadjahan Belanda.
Serboean Belanda kedaerah Repoeblik Indonesia pada tanggal 18/19 Desember 1948. Dan
Ditangkap dan ditawannja beberapa Pemimpin besar, jang memegang tampoek Pemerintahan Repoeblik Indonesia, di antaranja: Presiden, Wk. Presiden, Ketoea KNIP, Menteri Loear Negeri, dll-nja lagi.
Berpendapat:
Bahwa kini telah tiba sa’atnja oentoek melakoekan :
PERANG SOETJI, PERANG TOTALITER, PERANG RA’IAT SELOEROEHNJA
Menghadapi Belanda.
Komando:
Diperintahkan kepada seloeroeh lapisan Oemmat Islam Bangsa Indonesia, oentoek moelai melakoekan Perang Soetji Moethlak, Perang Totaliter iteo, hingga pendjadjahan hilang moesna sama sekali. Dan
Diperintahkan kepada seloeroeh Angkatan Perang Negara Islam Inonesia, oentoek mempelopori dan membantoe ra’iat, hingga Revoloesi Islam selesai dan Negara Islam Indonesia berdiri dengan sempoernanja, di seloeroeh Indonesia.
Firman Allah:
Infiroe khifafan wa tsiqalan wa jahidoe bi amwalikoem wa anfoesikoem fi sabilillah!
Inna fatahna laka fat-han moebina…..!!!
Madinah, 19 Safar 1368.
20 Desember 1948.
Pemerintah Negara Islam Indonesia,
Imam:
S.M. Kartosoewirjo.
Dioemoemkan di Madinah,
Pada tanggal 19 Safar 1368/
20 Desember 1948
Sekr. Negara:
BINTANG-BOELAN.
Kartosoewirjo menyerukan pentingnya satu kesatuan komando dan kesatuan pimpinan untuk menghindarkan politik “Divide et impera” Belanda di masa yang akan datang. Dan dia menerangkan, bahwa dia sebagai pimpinan Negara Islam Indonesia yakin akan sanggup untuk memegang kesatuan komando itu.
Maka diumumkan kembali melalui maklumatnya No.6 tanggapan mengenai kejatuhan pemerintah Republik Indonesia yang isinya antara lain:
“Pada tanggal 18-19 Desember 1948, tentara Belanda telah moelai menjerboe daerah Repoeblik dan pada tanggal 19 Desember 1948 Pembesar-pembesar Pemerintah Repoeblik soedah djatoeh di tangan Belanda, ditangkap dan ditawan. Dengan adanja kedjadian dan peristiwa jang amat pahit itoe, maka djatoehlah Repoeblik sebagai Negara.
Djangan dikira, bahwa dengan djatoehnja Pemerintah Repoeblik (Soekarno-Hatta) dan ditandatanganinja soeatoe naskah keadaan akan aman dan tenteram, rakjat akan makmoer dan soeboer.
Tidak, sekali-kali tidak!
Melainkan djatoehnja Pemerintah Repoeblik Soekarno-Hatta dan pil-pahit jang terpaksa ditelan oleh rakjat itoe, insja Allah bagi Oemmat Islam, jang masih berideologi Islam, akan mendjadi sebab bangkit dan bergeraknja, mengangkat sendjata, menghadapi moesoeh djahanam.
Oleh sebab itoe, tiada djalan lain bagi Oemmat Islam Bangsa Indonesia, istimewa jang tinggal di daerah Repoeblik, melainkan: sanggoep menerima Koernia Allah, melakoekan Djihad fi Sabilillah, melakoekan Perang Soetji, bagi mengenjahkan segenap moesoeh Islam, moesoeh Negara dan moesoeh Allah, dan “last but not least” mendirikan Negara Koernia Allah, ialah Negara Islam Indonesia.
Seroean Kami: Boelatkanlah niat soetji, niat membela Agama, Negara dan Oemmat. Dengan tekad “Joeqtal aoe Jaghlib” dan dengan kejakinan jang tegoeh, bahwa Allah akan memberi perlindoengan kepada orang-orang dan Bangsa serta Oemmat jang memperdjoeangkan Agama-Nja Insja Allah.
Kepada saudara-saudara dan handai taulan daripada Bangsa Indonesia, jang masih mengalir darah “Repoeblikeinen” dalam toeboehnja dan masih berdjiwa perdjoeangan: Ketahoeilah ! Bahwa perdjoeangan jang kami oesahakan hingga berdirinja Negara Islam Indonesia itoe adalah kelandjoetan perdjoeangan kemerdekaan, menoeroet dan mengingat Proklamasi 17 Agoestoes 1945! Sekarang soedahlah tiba sa’atnja, segenap Bangsa Indonesia jang mengakoe tjinta Kemerdekaan, tjinta Bangsa tjinta tanah air, tjinta agama, menanggoeng wajib soetji, melakoekan perlawanan sekoeat moengkin terhadap kepada Belanda. Ketahoeilah poela! Bahwa tiada soeatoe Kemerdekaan jang dapat direboet, hanja dengan gojang-gojang kaki di atas koersi belaka. Kemerdekaan kita, kemerdekaan Negara dan Kemerdekaan Agama, haroes dan wadjib direboet kembali dengan darah!
Hai, Pemimpin-pemimpin Islam dan Oemmat Islam seloeroehnja! Anggaplah serboean Belanda dan djatoehnja Pemerintah Repoeblik Soekarno-Hatta itoe, sebagai Koernia Toehan, jang dengan itoe terboekalah kiranja lapangan baroe, lapangan djihad dan kesempatan jang seloeas-loeasnja oentoek menerima Koernia jang lebih besar lagi daripada Azza wa Jalla, ialah: Lahirnja Negara Islam Indonesia jang merdeka. Terimalah Koernia Allah itoe, walau agak pahit ditelannja sekalipoen.”
Dengan berakhirnya Republik di Yogyakarta -- dengan dikibarkannya bendera putih di Karesidenan Yogyakarta -- sebenarnya telah terdapat vakuum kekuasaan, yang oleh Kartosoewirjo dipandang sebagai saat yang tepat untuk memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Namun dia masih tetap mencoba untuk memperoleh pimpinan komando tertinggi secara legal. Dan Kartosoewirjo sendiri telah menyatakan bahwa perjuangannya adalah lanjutan dari proklamasi 17 Agustus 1945. Dan dia berharap agar Negara Islam Indonesia yang sudah dia bentuk akhirnya akan dilegalisir meskipun tanpa proklamasi.
Aksi militer Belanda kedua yang dilancarkan kepada pemerintah RI punya akibat lain. Tentara Republik menganggap ini sebagai pelanggaran persetujuan Renville. Karena itu, Pimpinan Tentara tidak lagi merasa terikat pada Renville, dan memberikan perintah kepada Divisi Siliwangi yang telah mengungsi untuk kembali ke Pangkalan asalnya, Jawa Barat.
Ketika setelah apa yang disebut Long March pasukan-pasukan Siliwangi akhirnya kembali ke Jawa Barat, mereka disambut dengan meriah. Kepada mereka dianjurkan untuk bersama-sama bergabung dengan Tentara Islam Indonesia dalam rangka mempertahankan daerah Jawa Barat dari ancaman militer Belanda dan negara bonekanya yaitu “Negara Pasundan”.
Semua usaha dari pihak TII yang mencoba untuk mengarahkan ke arah kerja sama melawan Belanda, mengalami kegagalan. Kepada kesatuan TNI diberitahukan bahwa mereka sebaiknya menempatkan diri di bawah komando Tentara Islam Indonesia. Dan diberitahukan pula bahwa semenjak kaburnya mereka ke Jawa Tengah dalam rangka melaksanakan perjanjian Renville, sesungguhnya yang memperjuangkan Jawa Barat adalah Tentara Islam Indonesia bersama-sama dengan rakyat Jawa Barat bahu membahu melaksanakan wajib sucinya mempertahankan bumi Indonesia dari kekerasan dan kezaliman tentara Belanda. Maka terjadilah peristiwa yang dicatat sebagai awal dari pertikaian yang berlangsung pada tanggal 25 Januari 1949 di Antarlina. Kejadian ini sekaligus merupakan awal dari permusuhan antara TII dengan TNI dan Belanda yang oleh Kartosoewirjo di sebut “Perang Segi Tiga Pertama di Indonesia”.
Kartosoewirjo menyatakan dalam Maklumat Militernya bahwa, “Pelarian TNI Divisi Siliwangi kedaerah Djawa Barat, dan jang diseboet sebagai “tentara liar” mempoenjai sifat, thabiat dan perboeatan jang amat memperkosa hak milik rakjat, dan bertindak selaloe kedjam dan kedji sekali terhadap rakjat, teroetama kepada Oemmat Islam, di samping itoe mereka tidak pandai menghargai dirinja sebagai tamoe, melainkan ingin mengoesai daerah dan rakjat Negara Islam Indonesia. Padahal hari-hari pertama pihak Negara Islam Indonesia soedah tjoekoep menoendjoekkan perboeatan-perboeatan dan samboetan-samboetan baik atas kedatangan mereka itoe. Ditambah lagi mereka teroes meneroes melakoekan pelanggaran atas hak-hak Negara Islam Indonesia, sehingga mereka melepaskan tembakan dan menyerang Tentara Islam Indonesia dengan membabi-boeta tanpa perikemanoesiaan”.
“Maka wadjib dan perloenja tiap-tiap warga-negara Oemat Islam Bangsa Indonesia, mengangkat sendjata menghadapi tiap-tiap kemoengkinan daripada moesoeh jang khianat itu baik moesoeh Agama maoepoen moesoeh Negara Islam Indonesia serta wadjiblah bagi tiap-tiap Tentara Islam Indonesia, PADI, B.K.N., dan lain-lain alat kelengkapan Negara Islam Indonesia, melakoekan tindakan atas tentara liar dan golongan serta gerombolan pengkhianat itoe, sesoeai dengan hoekoem Islam di masa perang”.
Kartosoewirjo menjelaskan pula dalam Lampiran Maklumat Militernya mengenai kedudukan Negara Islam Indonesia. Dengan keterangan sebagai berikut: “Sejak berdirinja Negara Islam Indonesia di Djawa Barat sebelah Barat, maka hanja dikenal doea golongan jang bermoesoehan jakni “Kekoeasaan Belanda, Tentara Belanda dan alat-alatnja” dan “Negara Islam Indonesia dan segala kelengkapannja”. Serta dijelaskan pula bahwa yang dikatakan Tentara Liar ialah semua kesatuan Tentara yang keluar dari Daerah Republik dan masuk ke Daerah pendudukan Jawa Barat sebelah Barat, terutama kesatuan-kesatuan lain di luar kesatuan Tentara Islam Indonesia. Oleh karena itu tindakan yang diambil kepada Tentara Liar tersebut berupa melucuti Tentara liar itu dan merampas harat-benda hak kesatuan mereka yang perlu, bagi kepentingan Negara Islam Indonesia. Dan apabila mereka melakukan perlawanan maka seluruh gerombolan itu dianggap dan diperlakukan sebagai musuh Negara Islam Indonesia dan Agama Islam tanpa memandang jenis, pangkat dan tingkatannya. Dilakukan pengawasan dan pemeriksaan yang teliti kepada mereka, dan bagi Tentara Islam Indonesia beserta unsur yang lain boleh melakukan segala tindakan, sesuai dengan hukum militer di masa revolusi.
Dengan adanya Maklumat Militer No 1 ini, Kartosoewirjo sudah tidak lagi mengizinkan di daerahnya ada kesatuan-kesatuan militer yang tidak menempatkan diri di bawah komandonya. Termasuk juga divisi Siliwangi yang dianggapnya telah menyerahkan Jawa Barat kepada Belanda. Oleh karena itu kesatuan-kesatuan ini tidak lagi punya hak untuk menduduki kembali daerah Jawa Barat.
Upaya TNI untuk menghindarkan terjadinya peristiwa seperti perlucutan senjata dan peperangan dengan TII. Maka mereka mengusahakan sebuah pertemuan dengan Kamran sebagai Komandan Divisi TII di Darma. Ketika Kamran menolak usul-usul yang disodorkan padanya, pihak TNI berkhianat dengan mencoba untuk menyergap Kamran dan rombongannya. Namun Kamran dapat meloloskan diri, hanya Hamid yang tertangkap. Dan pertengahan Februari seorang Komandan TII yang lain dari daerah Cirebon yang bernama Agus Abdullah ditangkap oleh TNI.
Pada tanggal 23 Februari 1949 TNI (diwakili oleh Adimertapraja) ingin mengadakan perundingan kembali dengan TII (diwakili oleh Agus Abdullah dan Abdul Hamid), di mana isi perjanjian tersebut mengenai pembagian daerah di sekitar Cirebon. Masing-masing kekuatan TNI dan TII mendapat sebuah daerah kekuasaan, begitu juga direncanakan pelaksanaan sebuah komando bersama. Akhirnya perjanjian itu tidak jadi ditandatangani, karena Pihak TII berpendapat perjanjian itu diadakan dalam keadaan terpaksa karena sebelumnya Agus Abdullah dan A. Hamid ditahan oleh TNI.
Pada tahun 1949 ini Keberadaan Darul Islam merupakan ancaman yang semakin gawat bagi Republik dan Negara Pasundan yang didukung Belanda. Terutama sekali Negara Pasundan, keadaan dirinya repot sekali. Negara ini tidak mempunyai tentara sendiri dan harus mengandalkan dari pada pasukan-pasukan Belanda dan Divisi Siliwangi untuk melindungi para warga negaranya. Keadaan menjadi begitu gawat bagi Pasundan ketika Tentara Belanda bersiap ditarik mundur sehubungan dengan pengakuan kemerdekaan mendatang. Posisi Belanda diambil alih pasukan Republik, yang akan menjadi inti Tentara federasi Indonesia yang merdeka. Untuk mencegah tercapainya persetujuan apapun yang merugikan eksistensi Negara Pasundan dan keutuhan wilayahnya, mereka mengusahakan kerja sama dengan kesatuan-kesatuan Siliwangi dalam melawan Darul Islam.
Ketika tekanan Internasional datang, terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan bantuannya kepada Belanda, akhirnya dengan terpaksa Belanda bersedia untuk kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949, maka ditandatanganilah Perjanjian Roem-Royen. Dalam perjanjian tersebut Belanda menjanjikan untuk mendirikan kembali pemerintahan Republik Indonesia dan menghentikan semua permusuhan. Sebaliknya, pihak Indonesia harus dapat menghentikan semua aksi gerilyanya terutama aksi yang dilakukan oleh Darul Islam. Dan harus bersedia pula mengikuti Konferensi Meja Bundar untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
Kini terdapat keresahan yang kian meningkat di dalam Negara Pasundan, di mana mereka harus menyandarkan diri benar-benar pada pasukan Republik untuk melawan pasukan Darul Islam, terutama di daerah-daerah yang pasukan-pasukan TII-nya paling kuat kedudukannya. Tidak seorang pun tahu apa yang akan terjadi sesudah Tentara Belanda ditarik mundur, dan rakyat meragukan apakah pasukan Republik yang menggantikannya akan cukup kuat memukul mundur serangan Darul Islam. Karena pada tahun 1949 dilaporkan bahwa kegiatan Darul Islam sudah membumi di hampir setiap pojok di Jawa Barat – tidak hanya di daerah-daerah operasi utama Darul Islam, bahkan sebelah timur laut dan tenggara Jawa Barat, terutama Kabupaten Bandung, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis, begitu juga di daerah-daerah murni Republik seperti daerah Banten.
Kartosoewirjo yang memang tidak pernah setuju dengan kedua perjanjian sebelumnya, menolak juga hasil perundingan Roem-Royen. Di bawah ini dikutipkan uraian Kartosoewirjo sekitar penilaiannya terhadap persetujuan Roem-Royen dan Konferensi Meja Bundar berdasarkan kajian konsep bernegara:
,,…. Tiap-tiap kali Revoloesi Nasional hendak menggelora dan hendak menjapoe sampah2 masjarakat, tiap kalinja itoe dihambat, dihalangi dan dirintangi oleh berbagai-bagai randjaoe dan penghalang, dari pihak Belanda pendjadjah, baik jang ada dalam toeboehnja Pemerintahan Belanda sendiri maoepoen jang soedah masoek meresap dalam darah daging dan djantoengnja Pemerintah Repoeblik Indonesia.
Dalam riwajat jang tragis, memiloekan dan menjedihkan itoe, maka berkali-kali ,,bachtera-Repoeblik” terdampar di atas batoe karang jang amat tjoeram sekali, ,,Berkat” oesaha diplomasi, jang dilakoekan oleh djago2 alias pemimpin2 Repoeblik…….!!!! Itoelah makanan jang disadjikan ,,Belanda”, jang berisi ratjoen bagi perdjoeangan kemerdekaan Indonesia. Istilah2 ,,internasional minded” mendjadi alasan jang maha penting, Hanja banteng Repoeblik Indonesia ,,marhoem” dan Masjoemi serta keloearganja jang berani terang2an menjatakan ,,tidak setoedjoe” kepada Naskah Linggardjati itoe, tapi tetap loyal.
Naskah Renville lebih tidak berharga lagi dari pada Naskah Linggardjati, jang memang soedah sangat merosot nilainja itoe. Baik dipandang dari soedoet politik, maoepoen ditindjaoe dari djoeroesan militer.
Daerah Repoeblik, jang sedjak Naskah Linggardjati hanja melipoeti Djawa dan Soematera sadja, maka dengan Naskah Renville lebih merosot lagi sampai batas ,,demarkasi van Mook”.
Loear daripada daerah itoe, meroepakan daerah pendoedoekan, alias persiapan djadjahan.
Taktik dan politik Belanda jang bernatidjahkan Naskah Renville, baik dengan memasoekkan ,, agen2nja” kedalam toeboeh Repoeblik, maoepoen dengan kekerasan dan keganasannja, jang meroepakan Aksi Polisionil Pertama, roepanja dianggap sebagai ,,pertjobaan” (steekproef) oentoek menentoekan sikap dan pendiriannja di masa jang mendatang.
Kedalam digali dengan penjakit, ,,pembangoenan” sedang dari loear diserang dengan poekoelan jang hebat, ialah Aksi Polisionil kedoea, maka dalam sekedjap mata Pemerintah Repoblik djatoeh di tangan Belanda. Setelah ditawan, dengan tjara jang haloes, Pemerintah Repoeblik Indonesia tidak djemoe2nja melagoekan lagi njanjian2nja jang soedah amat tidak aktoeil iteo, ialah: memboeat roendingan diplomasi. Maka maoe ataupoen tidak maoe, banteng Indonesia jang gagah perkasa itoe, karena kalah silatnja dengan singa Belanda terpaksa diikat lehernja dan kemoedian masoek dalam salah satoe kandang dalam keboen binatang modern, jang bernamakan: Negara Indonesia Serikat atau Repoeblik Indonesia Serikat”.
Inilah gambaran proses dan natidjah, jang toemboeh daripada Statement Roem-Roijen, jang dilangsoengkan pada tanggal 7 Mei 1949, djam 17.00 itoe.
Dengan adanja statement Roem-Roijen itoe, maka Roem telah menjelesaikan toegasnja:
Sebagai wakil Masjoemi, wakil Oemmat Islam………soenggoeh amat memaloekan sekali!
Kalau doeloe, zaman Naskah Linggardjati, Masjoemi mati-matian ,,anti Naskah Linggardjati”, sekarang : Wakil Masjumi dalam Kabinet dan Wakil Oemmat Islam sendiri jang mendapat giliran terachir: mendjoeal negara sampai habis ledis.
Walau kita Oemmat Islam Bangsa Indonesia, di tanah pendoedoekan sekarang Negara Islam Indonesia, tidak ikoet bertanggoeng djawab atas perboeatan Roem dalam oeroesan Statement Reoem-Roijen, tetapi semoenja itoe perhatikan djoega, dengan ikoet ,,bela soengkawa”.
Soenggoehpoen peristiwa jang tragis itoe amat memiloekan hati ra’iat bangsa kita, teroetama Oemmat Islam Bangsa Indonesia, tetapi di balik itoe wadjiblah kita sjoekoer kehadirat Ilahy:
bahwa di balik keroegian jang amat besar itoe, dalam pandangan nasional tetapi bagi Oemmat Islam Bangsa Indonesia adalah semoeanja itoe mendjadi salah satoe sjarat dan sebab akan toeroennja Koernia Ilahy jang maha besar ialah: Proklamasi berdirinja Negara Islam Indonesia.
Tegasnja kini: Repoeblik Indonesia telah kembali kepada deradjat sebeloem proklamasi, ja’ni: deradjat noel-besar.
Kartosoewirjo juga menentang pendapat, bahwa setelah pembentukan sebuah negara basis yang disebut sebagai ”Madinah Indonesia” berakhirlah revolusi Soekarno. Yang belum berakhir adalah "revolusi Islam Indonesia" yang sesungguhnya Revolusi masih harus dilanjutkan hingga negara kurnia Allah, Negara Islam Indonesia didirikan di atas bumi Indonesia.
“Seperti air dengan kopi tidak begitoe sadja laloe mendjadi air kopi, sehingga tiap-tiap anasir air bersatoe dengan anasir kopi, melainkan airnja dimasak hingga 100 graad Celcius. Maka tidak loepa moengkin Negara dan Agama, Manoesia dan Agama, dapat bersatoe dalam arti kata jang seloeas-loeas dan sesempoerna-sempoernanja, melainkan apabila Negara dan Masjarakat serta segenap anasir jang termasoek di dalamnja dapat dipanaskan sampai kepada tingkatan jang setinggi-tingginja.
Djadi, oentoek membina dan menggalang Negara Koernia Allah itoe, perloe dan wadjiblah bergeloranja Revoloesi, lebih-lebih lagi Revoloesi Islam jang akan memasak masjarakat sampai kepada tingkat mateng jang baik dalam arti kata politis, militer, agama maoepoen dalam arti kata jang lainnja. Djadi kalau kita menghendaki berdirinja Negara Koernia Allah itoe, djangan sekali-kali takoet terdjilat oleh api revoloesi. “Tiada baji jang lahir, melainkan disertai tjoerahan darah!” Inilah satoe-satoenja djalan menoedjoe kepada Mardhotillah doenia dan Mardhotillah achirat, kelak”.
Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi fisik (1945-1949). Menyusul kekalahan Jepang dengan tentara-tentara sekutu, Belanda berusaha kembali menduduki kepulauan Nusantara. Selama periode ini, tidak ada hambatan penting yang menghalangi hubungan politik antara pemimpin dan aktivitas Islam politik dengan kelompok nasionalis. Untuk menghadapi revolusi fisik dalam berhadapan dengan Belanda dan kekuatan sekutu, perdebatan-perdebatan di antara mereka mengenai corak hubungan antara Islam dan negara dihentikan sementara. Mereka, paling tidak untuk sementara, rela melupakan perbedaan-perbedaan ideologis di antara mereka. Dan tidak diragukan lagi, pada masa itu, para pendiri republik merasa bahwa mereka harus menguras seluruh energi dan kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru berdiri dan mencegah Belanda untuk kembali berkuasa.
Meskipun tidak tanpa benturan di sana-sini, kedua kelompok ini mampu mengembangkan hubungan politik yang relatif harmonis antara mereka. Perjuangan fisik memang wilayah peran kaum Muslim yang diperlihatkan oleh bergeraknya lasykar-lasykar Hizbullah, Sabilillah dan lasykar-lasykar lokal lainnya. Namun, kelompok nasionalis tetap memegang kemudi kepemimpinan. Sementara itu, menyusul diserahkannya kekuasan oleh pihak Belanda kepada Repulik Indonesia pada Desember 1949, kelompok Islam perlahan-lahan mulai memperlihatkan kekuatannya yang besar dalam diskursus politik nasional. Pembentukan partai Masyumi di Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945, melalui sebuah kongres umat Islam, tampaknya harus pula dipandang sebagai jawaban atas keperluan umat Islam untuk mempunyai suatu institusi politik yang mampu memperjuangkan aspirasi politik mereka di panggung nasional. Kongres umat Islam waktu itu sekaligus menghasilkan kesepakatan bahwa Masyumi merupakan satu-satunya institusi politik umat Islam. Karenanya, wadah lain, seperti MIAI dan Masyumi buatan Jepang, tidak lagi diakui sebagai institusi mereka. Pembentukan Masyumi ini didukung oleh seluruh umat Islam, baik dari kubu tradisionalis maupun modernis.
Pertentang Islam modern dan tradisional ini sesungguhnya sudah memakan waktu yang cukup lama. Para ulama Syafi'i di Jawa sudah cukup makan garam. Mereka membenci Modernisme yang mereka samakan dengan Wahhabisme (suatu gerakan pemurnian yang hanya mengakui kekuasaan mazhab Hanbali); mereka meremehkan Tjokroaminoto, dan mereka merasa akut bahwa kepentingan-kepentingan keempat mazhab tidak akan dikui di Mekkah dan Kairo seperti halnya mereka telah banyak dikecam di Indonesia. Oleh karena itulah, maka pada tahun 1926 Kyai Haji Hasjim Asjari (1871-1947), pemimpin suatu pesantren tradisional di Jombang, Jawa Timur, mendirikan Nahdatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama, NU) untuk mempertahankan kepentingan kaum muslim tradisional. Guru-guru (para kyai) tradisional pedesaan lainnya di Jawa Timur bergabung dengannya; para pemimpinnya terutama adalah orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan Hasjim Asjari. NU berkembang di daerah-daerah lain, etapi Jawa Timur tetap menjadi pusatnya. Organisasi ini mendukung kemajuan sekolah-sekolah Islam tradisional, pemeliharaan kaum fakir miskin, dan usaha-usaha ekonomi. Pada tahun 1942 organisasi ini mempunyai 120 cabang di Jawa dan Kalimantan Selatan, yang sebagian besar anggotanya adalah pedagang.
Dengan Masyumi sebagai wakil politik mereka satu-satunya, kelompok Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang besar. Untuk alasan itu, seawal 1946, Syahrir (pemimpin Partai Sosialis Indonesia dan tiga kali menjabat sebagai Perdana Menteri dalam beberapa kabinet semasa revolusi) memperkirakan bahwa “jika pemilihan umum diselenggarakan [di sekitar tahun itu], maka Masyumi —yang saat itu merupakan gabungan dari kalangan Muslim modernis [seperti Muhammadiyah, dengan jumlah anggota yang besar di wilayah perkotaan ] dan ortodoks [seperti NU, dengan jumlah anggotanya yang bahkan lebih besar lagi di wilayah-wilayah pedesaan]— akan memperoleh 80% suara.”
Dilihat dari komposisi personalia yang terlibat dalam kepengurusan Masyumi, tampak sekali bahwa partai ini melibatkan seluruh fungsionaris Islam pasca kemerdekaan. Kepengurusan dalam Majelis Syuro diketuai oleh Hasyim Asy'ari (wakil dari kalangan tradisionalis); sementara wakil-wakilnya adalah Wahid Hasyim (anaknya sendiri), Agus salim (PSII), Djamil Djambek (wakil dari golongan reformis dari Sumatera Barat) dan lain-lainnya. Sedangkan Pengurus Besar diketuai oleh Sukiman, Abikusno Tjokrosujoso, dan kemudian melibatkan M. Natsir, Muhammad Roem, dan juga Kartosoewirjo.
Sepanjang menyangkut gagasan terbentuknya negara Islam (Islam sebagai dasar negara dan ideologi negara), umat Islam telah berjuang bahu membahu meninggalkan perbedaan-perbedaan paham keagamaan antara mereka, terutama antara kalangan tradisionalis dan modernis. Sebagaimana telah disebutkan di awal, kerjasama yang tercermin dalam BPUPKI dan PPKI, kemudian dilanjutkan dalam Kongres Umat Islam di Yogyakarta, pada permukaan, memang memperlihatkan suatu bentuk persatuan umat yang dirindukan. Namun dalam perkembangannya, baik dalam teori maupun praktek, persatuan itu tidak bertahan lama. Artinya, benih-benih persatuan, yang mulai mereka rajut kembali, tidak mengesankan adanya bangunan kokoh persatuan. Alasan perpecahan yang mengancam persatuan umat ini, pada umumnya, tidak sulit ditemukan. Perpecahan datang karena mekanisme penjatahan kedudukan atau peran politik tidak berjalan, dalam pengertian tidak memuaskan masing-masing pihak yang membentuk fusi dalam Masyumi.Perpecahan yang diawali PSII (1947) dan kemudian NU (1952) merupakan indikasi awal perpecahan persatuan politik internal umat Islam Indonesia.
Akhirnya, pada saat peringatan hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan yang kelima pada tanggal 17 Agustus 1950 semua struktur konstitusional semasa tahun-tahun Revolusi secara resmi dihapuskan. Republik Indonesia Serikat, dengan Republik Indonesia sebagai unsur di dalamnya, serta negara-negara Sumatera Timur serta Indonesia Timur digantikan oleh suatu Republik Indonesia yang baru, yang memiliki konstitusi kesatuan (namun bersifat sementara). Jakarta dipilih sebagai ibu kota negara baru ini.
Namun demikian, adanya faktor lain yang menyebabkan, atau bahkan mempercepat munculnya perpecahan kemungkinan adalah karena faksionalisme tradisionalis-modernis, yang pada gilirannya membentuk watak keagamaan tertentu pada masing-msing pihak. Secara sederhana, kalangan tradisionalis, karena latar belakang pendidikan mereka, dipahami sebagai suatu kelompok yang buta politik dalam pengertian sangat luas. Artinya, mereka dianggap hanya mampu berfikir tentang persoalan-persoalan keagamaan murni. Sementara kalangan modernis, karena latar belakang pendidikan modern yang mereka terima, dianggap sebagai kalangan yang hanya sedikit memiliki pengetahuan keislaman, namun mempunyai kemampuan-kemampuan lebih untuk berbicara tentang persoalan-persoalan politik kenegaraan. Benih-benih perpecahan sesungguhnya merupakan implikasi alokasi peran yang telah dirancang sebelumnya. Misalnya, kalangan tradisionalis menduduki kubu Majelis Syuro, yang seringkali hanya bergelut dengan persoalan-persolan keagamaan murni, sehingga kurang mendapatkan peran politiknya, sementara kalangan modernis menduduki kubu Pengurus Eksekutif, yang sehari-hari menjalankan roda kepengurusan Masyumi.
Revolusi politik ini telah selesai, tetapi masih tetap ada banyak persoalan. Tahun-tahun Revolusi tampaknya telah memecahkan beberapa masalah. Layak untuk berpendapat bahwa Indonesia tidak akan menjadi: sebuah negara federal ataupun sebuah negara Islam, atau sebuah negara Komunis, ataupun terutama sekali suatu jajahan Belanda. Akan tetapi, tahun-tahun yang akan datang akan menunjukkan bahwa hal-hal itu tidak sama pastinya dengan yang terlihat pada tahun 1950. Apalagi, tidaklah jelas implikasi-implikasi apakah yang akan timbul dari kemerdekaan tersebut terhadap banyak masalah-masalah sosial, agama, kemasyarakatan, kesukuan, kebudayaan, dan ekonomi yang masih tetap ada. Masih terdapat masalah-masalah dasar yang pada masa anti-kolonialisme, perang, dan Revolusi belum pernah dihadapi oleh bangsa Indonesia karena tidak adanya waktu atau kesempatan. Ketika kini mereka mulai menghadapi masalah-masalah tersebut, maka menjadi jelas bahwa —di luar kemenangan atas Belanda— akhirnya, masih banyak permasalahan yang tidak dipecahkan oleh Revolusi.
No comments:
Post a Comment