20 December 2008

DITABUHNYA GENDERANG PERANG SEMESTA: MUNCULNYA DARUL ISLAM DI JAWA TENGAH, SULAWESI SELATAN, KALIMANTAN SELATAN DAN ACEH

Bab Tujuh

DITABUHNYA GENDERANG PERANG SEMESTA:
MUNCULNYA DARUL ISLAM DI JAWA TENGAH,
SULAWESI SELATAN, KALIMANTAN SELATAN
DAN ACEH



Darul Islam Jawa Tengah
Terjadinya perlawanan Darul Islam terhadap pemerintahan RI di Jawa Tengah, berasal dari tiga kelompok yang berbeda. Pertama, yang berasal dari wilayah barat berbatasan dengan Jawa Barat, terutama daerah Brebes dan Tegal yang merupakan basis gerakan Darul Islam untuk Jawa Tengah yang dipimpin Amir Fatah. Karena kedekatan daerah, kelompok ini mendapat pengawasan dari pusat gerakan yang ada di Jawa Barat. Kedua, yang dimotori oleh pergerakan Angkatan Umat Islam di Kebumen, di mana organisasi ini menjadi penentang Pemerintah Indonesia (Soekarno) karena keterlibatan pihak pemerintah pada masa pendudukan Jepang. Dan kelompok ketiga yang terbentuk dari pembelotan sebagian pasukan Tentara Republik dari kesatuan Divisi Diponegoro.
Perlawanan Darul Islam pimpinan Amir Fatah terjadi menyusul berakhirnya perlawanan rakyat pimpinan Kutil dan rekan-rekannya, yang mengikutsertakan satuan-satuan lokal seperti Barisan Pelopor. Peristiwa tersebut menimbulkan penangkapan besar-besaran dan pembalasan kejam dalam upaya "untuk memberikan pelajaran kepada rakyat" yang dilakukan Tentara Republik, dalam masa yang singkat. Lebih lanjut untuk menenangkan keadaan di daerah tersebut dilaksanakanlah suatu sikap yang lebih luwes. Sukarno, dengan didampingi Wakil Presiden Mohammad Hatta, Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan Panglima Tentara Republik Sudirman mengadakan kunjungan ke daerah itu. Di dalam kunjungan tersebut, Sukarno — pada suatu rapat umum yang dilangsungkan di Tegal — mendesak rakyat untuk tetap setia kepada Republik Indonesia dengan mengatakan, "Rakyat Tegal-Brebes-Pekalongan, janganlah membentuk republik kecil-kecilan, suatu Republik Talang, Republik Slawi, Republik Tegal". Peristiwa revolusi sosial yang terjadi sebelumnya di Jawa Tengah telah menimbulkan kesadaran rakyat akan hak-hak politiknya. Namun karena sikap pemerintah yang setengah hati dalam menangani setiap keinginannya telah membawa mereka kepada konflik yang semakin terbuka.
Sesungguhnya rakyat berkeinginan, bahwa kemerdekaan yang telah diraih dengan darah itu tidak dikhianati para pemimpin Republik yang hanya menyelesaikan masalah negerinya dari satu perundingan ke perundingan lain. Tentu saja hal ini sangat merugikan perjuangan rakyat seluruhnya, yang merasa tertipu dengan diplomasi RI-Belanda yang sering diingkari Belanda. Apalagi Belanda selalu mengadakan aksi-aksi militernya untuk menancapkan kembali penjajahannya di Republik Indonesia setelah perundingan dengan RI disepakati kedua belah pihak.
Agresi militer pertama yang dilakukan Belanda merupakan ancaman yang mengkhawatirkan bagi kedudukan wilayah RI, dimana wilayah pedesaan di sebagian besar wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah sebelah barat dapat diduduki Belanda. Disamping itu Belanda juga menduduki daerah yang mengelilingi pusat-pusat wilayah RI. Walau pasukan TNI mengadakan perlawanan di distrik-distrik luar wilayahnya, namun tidak membawa hasil yang memuaskan. Karena ketidakmampuan tersebut, pihak pemerintah yang diwakili Syahrir mengadakan perundingan dengan pihak Belanda. Dan berdasarkan hasil Perjanjian Renville pada bulan Januari 1948, Karesidenan Pekalongan menjadi daerah yang dikuasai Belanda. Dalam perjanjian Renville, seperti juga sebagian besar wilayah Jawa Barat, pasukan TNI harus meninggalkan daerah yang telah dikuasai Belanda. Baik pasukan TNI maupun pasukan lain yang bergerak di Karesidenan Pekalongan diperintahkan meninggalkan daerah ini. Kemudian kesatuan TNI menarik diri ke Desa Karangkobar di Banjarnegara, dan satuan pasukan lainnya, seperti Hizbullah dan BPRI, ke Wonosobo.
Berbeda di daerah Brebes. Ketika ada perintah untuk mengosongkan daerah kantong-kantong Republik, sebagaimana yang diisyaratkan sebagai hasil perundingan dengan Belanda, masih ada para pejuang yang tetap tinggal di daerah tersebut. Kemudian para pejuang itu melakukan operasi militernya, dengan membagi pasukannya dalam dua kelompok, masing-masing bernama Gerakan Antareja Republik Indonesia (GARI), dan Gerilya Republik Indonesia (GRI). Gerakan perlawanan yang diperlihatkan kedua kelompok pasukan ini, beberapa bulan kemudian diikuti juga satuan Hizbullah yang merasakan ketidakpuasan dengan hasil perundingan, walaupun pada permulaan penarikan mundur pasukan turut bersama TNI, namun kemudian kembali ke pangkalan asalnya. Adapun pemisahan diri yang dilakukan lasykar Hizbullah lebih banyak disebabkan adanya gelombang baru reorganisasi yang diprogramkan pemerintah di dalam TNI.
Adanya program pemerintah berupa rasionalisasi pasukan, menimbulkan kekecewaan dan kemarahan anggota satuan-satuan pasukan lain di luar TNI, baik satuan pasukan yang didemobilisasikan maupun yang tidak Peristiwa inilah yang menjadi dasar bagi satuan-satuan Hizbullah untuk menginfiltrasi ke daerah Brebes dan Tegal. Kelompok pertama yang kembali ke daerah ini dipimpin Abas Abdullah. Ketika Abas Abdullah kembali ke Brebes, ia mendirikan Majelis Islam, dan memberikan nama bagi pasukannya, Pasukan Mujahidin (Pejuang-pejuang di jalan Allah). Ia menganggap bahwa Majelis Islam yang didirikannya sebagai pemerintah daerah sementara yang sah, dan berusaha mencoba menaklukkan pasukan yang tergabung dalam GARI dan GRI dengan paksa.
Seperti yang terjadi di Jawa Barat, dimana terlihat ketidaksungguhan para elit pemerintah RI dalam menghadapi Belanda baik di meja perundingan maupun di medan perang untuk mengeksiskan Republik sendiri di mata dunia internasional, telah memberikan dorongan yang sangat kuat bagi timbulnya perjuangan jihad suci Darul Islam. Kelahiran perjuangan Darul Islam di Jawa Tengah pun dalam banyak hal ada persamaan dengan lahirnya perjuangan Darul Islam di Jawa Barat. Dimana adanya sejumlah satuan militer yang tergabung dalam setiap kelompok menolak mengundurkan diri dari daerahnya dan tetap tinggal di sana. Tambahan lagi terdapat rasa tidak senang akan cara Tentara Republik memperlakukan satuan-satuan pasukan tersebut.
Tetapi, suatu gerakan Islam merdeka yang baru lahir, setelah Amir Fatah muncul di gelanggang, gerakan ini memperoleh momentumnya hanya beberapa bulan kemudian. Amir Fatah yang menjadi komandannya adalah nama lengkap dari Amir Fatah Wijayakusuma, dia seorang pribumi Kroya di Banyumas. Dalam karir politiknya, dia pernah menjabat sebagai ketua Dewan Pembelaan Masyumi Pusat. Dan dia adalah seorang rekan akrab Kartosoewirjo, pernah juga memimpin pasukan Hizbullah untuk menyertai Kartosoewirjo ke Malang dalam rangka menghadiri sidang paripurna kelima Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai semacam pengawal, Februari 1947. Di Malang dia menjadi Kepala Staf Divisi 17 Agustus, yaitu campuran pasukan yang menentang Persetujuan Linggarjati — masalah inilah yang menjadi persoalan pokok dalam acara.
Banyak analisa yang sangsi sekitar kepindahan Amir Fatah dari Jawa Barat, dan juga status dan peranan Hizbullah. Namun melihat dari hasil Persetujuan Linggarjati yang dilakukan oleh pemerintah Republik telah banyak mempengaruhi pemikiran Amir Fatah untuk mengadakan perlawanan dalam upaya menentang Perjanjian tersebut. Usaha yang dilakukannya ialah dengan menggabungkan diri dengan pejuang mujahidin T.I.I. yang memang telah dipersiapkan oleh Kartosoewirjo dalam mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan mendatang ketika dia dan sebagian besar pasukan Hizubullah yang telah dipersiapkannya tidak turut serta hijrah dalam upayanya menentang Belanda. Disamping itu bukti yang menguatkannya adalah sekitar tahun 1948, Sudirman memerintahkan Amir Fatah untuk melanjutkan kegiatan gerilya melawan Belanda di Jawa Barat, dan dengan demikian mengisi kekosongan yang ditinggalkan Divisi Siliwangi. Walaupun pada saat itu Tentara Republik telah mengangkat Letnan Kolonel Sutoko sebagai koordinator operasi gerilya di Jawa Barat.
Ketika bergabungnya Amir Fatah dengan perjuangan jihad suci Kartosoerwirjo, oleh suatu sebab, Amir Fatah kemudian diinstruksikan untuk mengundurkan diri ke daerah Brebes dan Tegal, tempat asal sebagian besar anak buahnya. Dan seperti terlihat kemudian, keadaan yang terakhir ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan kegiatan gerilya Amir Fatah melawan Republik, sekitar tahun 1949. Dalam usaha menumpas kegiatan Darul Islam di Jawa Tengah ini, Tentara Republik menghadapi rintangan yang berat karena dukungan yang sangat besar diberikan rakyat Brebes dan Tegal kepada perjuangan jihad suci Amir Fatah, disamping itu banyak dari mereka ini yang punya hubungan kekerabatan dengan para pejuang mujahid.
Kemungkinan Amir Fatah memasuki Brebes dan Tegal lewat Wonosobo, sekitar Oktober 1948, ketika itu pun di daerah ini telah ditempatkan Batalyon 52 Hizbullah. Pada saat itu dia berhasil mengajak batalyon 52 Hizbullah ini kembali ke Brebes dan Tegal bersamanya, walaupun ditentang komandannya, Muh. Bakhrin. Ketika batalyon yang kini di bawah pimpinan Amir Fatah sendiri itu mencapai garis demarkasi, mereka dihadang pasukan Republik. Dengan siasat hendak kembali lagi, mereka lalu melintasi perbatasan di tempat lain. Sesudah memasuki zone yang dikuasai Belanda, dengan mengikuti contoh Abas Abdullah, Amir Fatah membentuk "sel Pemerintah Islam," dan mendirikan Majelis Islam. Pasukannya diberinya nama Mujahidin.
Dalam langkah Amir Fatah menuju pembentukan negara Islam ini, pada mulanya ia tidak menentang setiap kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Republik. Seperti kejadian yang dialami ketika pasukan Republik kembali sesudah aksi militer kedua Belanda dilancarkan, tidak terjadi konflik terbuka yang langsung antara pasukan Republik dan satuan Hizbullah seperti di Jawa Barat. Bahkan sebaliknya, Majelis Islam dan Pemerintah Republik setuju mengadakan kerja sama, dimana fungsi administratif dan militer yang tertinggi diserahkan kepada Pemerintah Republik. Selanjutnya Mayor Wongsoatmojo diangkat menjadi komandan pasukan Indonesia di daerah itu, termasuk menjadi komandan satuan Hizbullah.
Ketika sampai di daerah Brebes dan Tegal, Wongsoatmodjo membentuk Sub Wehrkreise III (SWKS III), sebagai divisi Pemerintah Militer yang berlaku di Jawa, dia telah menggabungkan fungsi administratif, militer, dan sipil. Biarpun tidak mengangkat personil militer pada Pemerintahan Sipil, tetapi personil sipil tetap tunduk kepada militer. Sebagai bagian dari struktur komando Tentara Republik, Sub Wehrkreise juga mempersatukan pasukan-pasukan biasa dan liar. Pada saat diadakan pembentukan, mereka bukan saja menghilangkan penggunaan nama-nama Batalyon 50, 51, atau 52, yang akan digantikan dengan nama singkatan TNI-SWKS-III, tetapi mereka juga melarang semua referensi dengan Hizbullah, Mujahidin, dan sebagainya. Seluruh pasukan yang disebut dengan nama-nama ini kini telah dilebur bersama Tentara Republik, dan hanya dapat disebut sebagai bagian dari Tentara Nasional Indonesia.
Bersamaan dengan kejadian di atas, Amir Fatah diangkat sebagai koordinator kepala keamanan Sub Wehrkreise. Dalam kedudukannya ini, salah satu tugasnya adalah mengawasi penggabungan satuan-satuan gerilyawan ke dalam Tentara Republik. Hubungan yang bersahabat antara Amir Fatah dan Tentara serta Pemerintah Republik hanya berlanjut dalam beberapa waktu. Tidak lama berselang hubungan ini menjadi macet karena baik Amir Fatah maupun Tentara Pemerintah sendiri masing-masing menganggap partnernya itu sebagai saingan. Ketidak harmonisan ini terjadi terutama mengenai pemerintah daerah. Dalam permasalahan ini antara Pemerintah Republik dan Majelis Islam masing-masing telah mempunyai personil yang akan dipersiapkan sebelumnya untuk menduduki kursi jabatan di pemerintah daerah. Tambahan lagi yang menjadi penyebab ketidak harmonisan itu ialah ketika Pemerintah Republik melakukan provokasi terhadap rakyat agar menerima para pamong praja yang mereka angkat, karena mereka merasa perlu, bahwa para fungsionaris yang disokong Majelis Islam harus berhenti. Usaha Pemerintah untuk merintangi turut-sertanya Majelis Islam dalam pemerintahan sebenarnya tidak membantu menciptakan suasana yang bersahabat. Segera situasi pun meningkat menjadi luar biasa tegang. Akhirnya keadaan menjadi begitu genting, hingga Tentara Republik terpaksa mengirimkan suatu kompi Brigade Mobil dan Angkatan Kepolisian untuk memperkuat pasukannya sendiri.
Pada akhir April, setelah terbentuknya Sub Wehrkreise Slamet 111, Amir Fatah keluar dari jabatan sebagai koordinator kepala keamanan Sub Wehrkreise. Adapun yang melatar belakangi pengunduran diri ini Menurut Jusmar Basri, setelah Amir Fatah mengadakan pembicaraan khusus dengan seorang utusan Kartosoewirjo yang bernama Kamran. Dan hasil dari pembicaraan tersebut adalah pengangkatan Amir Fatah. Pembicaraan antara mereka berdua berlangsung pada tanggal 22 dan 23 April 1949 di Desa Pengarasan, sebelah barat Bumiayu, dekat perbatasan selatan Kabupaten Brebes, Pranata, dalam melukiskan peristiwa-peristiwa di Pengarasan menjelang penggabungan Negara Islam Indonesia di Jawa Tengah, tidak menyebut Kamran. Tetapi, ia mengemukakan kehadiran Syarif Hidayat, seorang komandan Hizbullah Jawa Barat.
Disamping aksi pengunduran dirinya, Amir Fatah juga secara diam-diam menarik mundur para pejuang mujahid bekas Batalyon Hizbullah di Brebes dan Tegal ke Desa Pengarasan. Namun ketika hal ini diketahui oleh komandan militer Brebes, Kapten Prawoto, lalu ia mengirimkan kira-kira 50 orang untuk mengetahui maksud Amir Fatah. Dari hasil keterangan yang diperoleh mengenai pengalaman Amir Fatah ini yang diberikan Pranata, tampaknya adalah kemungkinan berhasilnya perundingan tentang pembentukan Republik Indonesia Serikat federal antara Pemerintah Republik dan Pemerintah Belanda yang menyebabkan Amir Fatah memutuskan hubungan dengan Republik.
Untuk memperjelas arah perjuangannya, Amir Fatah mengklasifikasikan perjuangan dengan tiga jenis: a) perjuangan Islam, b) perjuangan komunis, dan c) perjuangan federal. Menurutnya, dari ketiga jenis perjuangan tersebut, perjuangan Islamlah yang terunggul, alasan yang dikemukakan oleh Amir Fatah dalam menguatkan pernyataannya ialah, karena Republik telah mengkhianati cita-cita perjuangan kemerdekaan rakyat bangsa Indonesia. Yang kemudian Pemerintah Republik berpaling menggunakan perjuangan federal dengan menandatangani Persetujuan Renville dan Linggarjati, dengan mengubah haluan perjuangan ini, menurut Amir Fatah bahwa Pemerintah Republik telah menyerah kepada tuntutan-tuntutan Belanda yang menghendaki Republik Indonesia Serikat. Dengan demikian jelaslah faktor penyebab perjuangan jihad suci yang dilakukan oleh Amir Fatah, adalah: ”kemunafikan" yang setiap saat diperankan baik oleh pemerintah dan tentara Republik Indonesia terhadap para pejuang yang dengan kesetiaan dan keikhlasannya berperang melawan penjajah Belanda.
Aksi perjuangan jihad pertama yang diarahkan untuk menyerang posisi Republik dan merebut pos komando Sub Wehrkreise di Bentarsari, Amir Fatah dan pasukan mujahidinnya berhasil dengan baik, pos komando itu telah ditinggalkan pasukan Republik karena takut dikepung Tentara Islam yang jumlahnya lebih besar. Ketika terjadi pertempuran di daerah ini Tentara Islam dapat menangkap komandan distrik militer (KDM) Brebes yang bernama Abduljalil, yang karena suatu sebab tidak turut bersama Tentara Republik mengundurkan diri. Selanjutnya Amir Fatah dan pejuang mujahidin menyerang dan melucuti satuan Brigade Mobil milik tentara Pemerintah yang dikirim ke daerah ini beberapa bulan sebelumnya dengan maksud memperkuat pasukan Republik, mengingat adanya persoalan dengan Majelis Islam, lalu para pejuang mujahidin menangkap komandannya yang bernama R.M. Bambang Suprapto. Beberapa hari kemudian, dia bersama dengan Abduldjalil ditembak mati oleh pejuang mujahidin Darul Islam
Pemimpin pejuang mujahidin Darul Islam Amir Fatah, selanjutnya meluaskan pengaruh pada bulan-bulan berikutnya. Dengan memakai basis perjuangan sebagai bentengnya di daerah sekitar Bumiayu, Amir Fatah mengalihkan perjuangannya ke utara dengan memasuki daerah Pekalongan, dan di daerah ini pasukan pejuang mujahidin menyerang pos-pos tentara di berbagai tempat, seperti Margasari, Prupuk, Larangan, dan Tonjong. Pada tanggal 11 November pasukan pejuang mujahidin Darul Islam memasuki daerah Wonosari dan Siasem, dua desa di pinggiran Brebes. Serangan ini dipimpin langsung oleh Amir Fatah sendiri yang mengendalikan pasukannya dari sebuah tandu yang diusung prajurit-prajuritnya, karena kepalanya terluka dalam suatu pertempuran kecil sebelumnya dengan pasukan Republik. Langkah berikutnya yang direncanakan para pejuang mujahidin adalah menyerang Brebes sendiri. Sebagai ekspresi kekecewaan mereka terhadap "penyerahan kedaulatan", adapun tanggal yang sudah ditetapkan dalam penyerangan ini adalah 27 Desember. Karena rencana para pejuang mujahidin ini sudah terdengar oleh pasukan tentara Republik, maka tentara Republik dalam menghadang serangan Amir Fatah mendapat kemudahan sehingga memudahkannya untuk dipukul mundur. Namun perjuangan Amir Fatah dapat berhasil beberapa hari kemudian, pada hari Tahun Baru, ketika pasukannya akhirnya memasuki Brebes dan menduduki sebagian dari kota.

Kemudian tentara republik melancarkan serangan pula dengan pasukan yang diberi nama Gerakan Banteng Nasional di Tegal, Bumiayu, purwokerto, Majenang, dan Cilacap. Dalam operasi GBN ini, diikut sertakan pasukan infantri dari tiga divisi tentara Jawa -- Diponegoro, Brawijaya, dan Siliwangi. Tujuan gabungan operasi itu tidak lain adalah untuk mengisolasi pasukan Amir Fatah di Tegal dan Bumiayu, di sampin itu untuk mencegah para mujahidin Amir Fatah mngadakan kontak dengan pusat gerakan yang ada di Jawa Barat . Dalam operasi ini ada segi keberhasilan dan kegagalannya. Sebagian karena ada bujukan yang didukung oleh kekuatan militer sehingga sejumlah pemimpin NII wilayah Jawa Tengah jadi menyerah. Di pihak lain, tujuan untuk menutup batas propinsi, tidak tercapai. Mengakibatkan masih sering terdapat serangan oleh pasukan mujahidin dari Brebes dan Tegal ke Kabupaten Cirebon Jawa Barat. Dengan adanya serangan ini menunjukkan sebagian besar aktifitas tentara mujahidin di wilayah yang dikuasai pihak NII.
Amir Fatah bersama prajuritnya, diantar oleh Kamran berangkat menuju Jawa Barat untuk menjumpai Kartosoewirjo. Dalam perjalanan ke Tasikmalaya mengalami dua puluh satu kali pertempuran. Sesampainya di Ciamis, Amir Fatah bersama pasukannya, terpisah dari Kamran yang mengetahui keberadaannya Kartosoewirjo. Akibat keterpisahan itu Amir Fatah kehilangan jejak, gagal untuk bertemu dengan Kartosoewirjo, sehingga pasukannya tidak sempat bergabung dengan TII (Tentara Islam Indonesia) di Jawa Barat. Dalam kondisi sedemikian, Amir Fatah bersama sisa prajurit yang tinggal 150 orang lagi, terkepung oleh pasukan Republik yang jumlah kekuatannya berkali lipat daripada pasukan Amir Fatah. Akhirnya dalam kontak senjata dengan tentara Republik itu Amir Fatah tertangkap pada tanggal 22 Desember 1950. Sebagian dari prajuritnya silam dan sebagian lagi gugur menjadi Syuhaada, setelah jual beli dengan Allah (Qur’an.Surat 9:111), yakni berperang agar berlakunya hukum-hukum Islam di bumi Indonesia secara Kaffah (sempurna).
Di Surakarta timbul gerakan yang dilakukan Batalion 426. Motif para anggota Batalyon 426 untuk memberontak dan memihak Darul Islam sebagian adalah berdasarkan keagamaan. Sebagai pasukan Islam dan bekas pejuang Hizbullah mereka bersimpati dengan berdirinya Negara Islam Indonesia. Sehingga selanjutnya mereka berhubungan erat dengan rakyat Muslim tidak hanya yang dari Klaten, tetapi juga dari Surakarta kota. Karena itu di Klaten banyak sekali orang yang diinterogasi karena dicurigai membantu kaum pejuang mujahidin, dan di Surakarta pun banyak yang ditahan dalam hubungan ini. Dalam suatu gerakan di Surakarta pada malam tanggal 12 Desember saja tujuh puluh lima orang yang dimasukkan dalam tahanan. Pada 2 Januari 1952 ini diikuti lagi dengan penangkapan pemimpin-pemimpin Islam terkemuka di Kauman, Surakarta— pusat Islam — termasuk di dalamnya R.H. Adnan, Ketua Mahkamah Tinggi Islam.
Divisi Diponegoro melancarkan gerakan besar-besaran terhadap batalyon pejuang mujahidin dan melakukan pengejaran yang gencar. Berjam-jam, kadang-kadang bahkan berhari-hari pertempuran berlangsung, dan banyak penduduk yang tewas. Semua jalan raya sekitar Yogyakarta dan Surakarta ditutup selama operasi berlaku. Kaum pejuang mujahidin terlalu letih akhirnya karena terus-menerus terganggu. Seperti dilaporkan sebuah surat kabar pada awal April: "Sering kali korban-korban manusia didapati TNI yang sudah meninggal dunia atau keadaannya amat menyedihkan. Banyak senjata yang tak bisa dibawa harus disembunyikan dalam tanah".
Tidak selalu Tentara Republik bertindak sangat bijaksana dalam operasinya. Sebaliknya, sayangnya ada saja kelihaian khusus untuk menimbulkan kemarahan rakyat. Karena itu, Februari 1952 suatu pertanyaan tertulis diajukan Prawoto Mangkusasmito, seorang anggota Parlemen mewakili Masyumi,—suatu partai yang karena sifat Islamnya bukan tanpa simpati terhadap kaum pejuang mujahidin Islam—kepada Pemerintah. Contoh-contoh tindakan yang dinyatakan sebagai tingkah laku yang buruk di pihak prajurit Republik yang dikemukakan di sini melukiskan suatu tipe peri laku yang diperhitungkan untuk memperhebat dendam masyarakat Islam. Di Klaten, di Desa Kardirejo umpamanya, prajurit-prajurit Tentara Republik Indonesia dikatakan telah membakar masjid-masjid. Dalam daerah Surakarta mereka menodai masjid-masjid dengan memasukinya seraya memakai sepatu dan membawa anjing masuk ke dalam.
Prawoto Mangkusasmito minta perhatian akan perilaku sewenang-wenang terhadap rakyat setempat dan para tahanan. Dikatakannya, kadang-kadang rakyat dimasukkan dalam tahanan perlindungan begitu saja untuk mencegah mereka membantu kaum pejuang mujahidin, baik secara sukarela ataupun secara paksaan. Dalam hal-hal lain, orang ditangkap sebagai sandera para kerabat yang lari atau menghilang. Di samping itu ia menyebut laporan tentang pembunuhan atas tawanantawanan yang ditangkap tidak dalam pertempuran tetapi dalam operasi pembersihan. Semua ini, menurut Prawoto Mangkusasmito, telah membuat rakyat memihak pejuang mujahidin, sehingga sulitlah untuk menaklukkan Batalyon 426.

Mujahid dan Mujahidah yang Bertahan dari Jawa Tengah
Untuk menceritakan mujahidin yang bertahan, terlebih dulu renungkan Firman Allah S.W.T. : “Diantara orang-orang mu’min itu ada yang menepati apa yang sudah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (juga) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merobah (janjinya)”. Q.S.33 Al-Ahzaab 23).

Mujahid yang bertahan ialah mujahid yang tidak merobah janjinya kepada Allah untuk tetap menegakkan hukum-hukum-Nya selama mata bisa berkedip. Dirinya merasa dibayangi siksaan Api Jahannam, jika berhenti jihad. Sebab, ingatannya, apabila dirinya mundur dari jihad berarti maju ke Jahannam. Jiwanya merasa hina bilamana matinya dalam keadaan pengecut, sementara pelaksanaan hukum-hukum Al-Qur’an sedang dijegal oleh kaum Thogut. Hatinya akan sedih jika kalah berani daripada tentara Thoghut. Dari itu bahwa semboyan “Pilih hidup dalam keadaan mulia atau mati dalam keadaan Syahid”, bukanlah hanya dalam ungkapan lisan, melainkan juga berwujud perbuatan. Hal demikian dilakukan di antaranya oleh para mujahid yang dituturkan dalam sejarah di bawah ini.
Seorang mujahid pelaku sejarah dari daerah Brebes, Jawa Tengah menuturkan bahwa dirinya menyaksikan sekitar sebulan sebelum Imam S.M.Kartosoewirjo tertangkap 4 Juni 1962 ditemukan banyak pamplet yang melekat pada pohon-pohon di daerah Gunung Kembang. Isi pamplet-pamplet itu bahwa Kartosoewirjo di Jawa Barat sedang berunding, Darul Islam dalam keadaan Cease fire. Tetapi karena di daerah itu pimpinan yang paling tinggi hanya komandan tingkat kecamatan, maka tidak bisa menentukan sikap menanggapi banyaknya pamplet, karena sudah sering adanya propaganda pihak lawan, sehingga tidak diambil pusing oleh para mujahid.
Hanya kurang lebih dua bulan sesudah menerima pamplet, para mujahid di daerah itu didatangi rombongan dari Jawa Tengah ujung timur daerah Gunung Slamet yang kebetulan di antaranya ialah H.Ismail Pranoto (Hispran), Panglima Divisi NII Jawa Tengah. Datang ke daerah perbatasan Jawa Barat itu bermaksud mengecek pamlet-pamlet guna meyakinkan sebenarnya.
Sesudah dua bulan lamanya Hispran bersama mujahid di daerah itu, datang pula beberapa orang dari anak buah Hispran sendiri. Di antaranya, Miftah, Abu Kisno, Rakun, Sahwad, dan Saki. Sesampainya mereka di bukit Gunung Kumbang tepi Sungai Cigorek, menghadap kepada Hispran maksudnya memberi informasi bahwa pasukan pak Hispran yang di gunung Slamet sudah turun ke Tegal (maksudnya ke masyarakat). Beberapa macam informasi yang disampaikan oleh kawan-kawan mereka yang sudah menyerah di Jawa Barat, di antaranya Nasrun yang pertama kali datang. Satu kali, dua kali, dan ketiga kalinya ditembak, karena mengajak turun menyerah. Pasukan mujahidin memang siap menembak siapa saja yang memerintahkan menyerah. Walau begitu, beberapa lama kemudian Nasrun mengajak turun lagi merayu pasukan pak Hispran. Setelah tidak mempan dengan cara pamplet dan speker, akhirnya Nasrun itu datang waktu subuh, ia lolos dari tempat penjagaan. Kemudian setelah ia tiba di hadapan para mujahid ia bersumpah: ” Demi Allah saya datang ke sini lillaahi ta’alaa. Saya mau ditembak terserah, diapakan terserah, saya datang ke sini bahwa Kartosoewirjo dalam keadaan Cease Fire dan berunding. Mungkin Indonesia dalam perundingan bisa menjadi negara Islam, atau setidak-tidaknya indonesia dibagi dua, NII dan RI .
Sebagian mujahidin pada bingung, bimbang setelah mendengar persaksian ini. Akhirnya, mujahidin yang didatangi Nasrun itu, berijtihad. Setelah bermusyawarah akhirnya mengemukakan kepada Nasrun:’Kalau memang telah terjadi Cease Fire, coba buktikan: “Satu, kami minta dijemput oleh satu kompi TNI di Desa Kebantingan, Kecamatan Margasari, Kabupaten Tegal. Kedua, senjata TNI ujungnya kebawahkan sebagai ciri damai. Ketiga, Tidak ada tanda-tanda perampasan apapun. Dan keempat kami tidak dipisahkan, tidak dipencar-pencar”. Hal demikian dikabulkan oleh Nasrun.
Pada jam-jam yang sudah ditentukan di Desa Kebantingan Kecamatan Margasari itu pasukan TNI hanya satu kompi. Pasukan Hispran pada waktu itu ada satu resimen. Dan yang turun pada waktu itu, senjata brennya ada sepuluh, biasanya bila satu bren itu sepuluh senjata ringan. Pada waktu yang ditentukan, betul di Desa Kebantingan dijemput, ujung senjata dikebahwahkan dan tidak ada perampasan apapun. Kemudian pasukan tidak ada yang dipencar, laki-laki, wanita disamakan ke Tegal, ke Panggungan , asrama TNI. Setelah di sana selama satu minggu pasukan-pasukan tidak ada yang dilucuti senjatanya, anak-anak seperti saudara, Bajo yang tadinya dari Batalion 426, Marjuki dan Kholil ke pasar itu bawa senjata seperti TNI, belanja dan segala macam.

Demikianlah inti informasi yang disampaikan oleh lima orang anak buah Hispran sebagaimana yang telah disebutkan tadi di atas. Hispran, karena sebagai Panglima Divisi, lain lagi sinyalemennya, dia tidak menanyakan cara bertele-tele. Cukup dengan analisa bahwa mereka tidak melucuti senjata pasukan yang turun ke kota itu, karena merayu Panglima Divisi-nya (Hispran). Selama satu minggu pasukan yang sudah di kota Tegal itu belum mengetahui sebenarnya mau diapakan. Mereka mengutus lima orang untuk memberi informasi kepadanya bahwa pasukan sudah ada di kota Tegal.
Setelah menerima laporan itu Hispran mengumpulkan pasukan termasuk Kastolani, H. Anas, Komandan Batalyon merangkap Komandan kompi. Kemudian Hispran berpidato dihadapan pasukan,” Ini tipu muslihat musuh. Saya tidak diajak oleh Kartosoewiryo jihad bersama-sama kalau terdesak lalu damai, tidak pernah ! Jadi, kalian mau turun terserah, turun kembali, mau ikut saya terserah, saya cukup dengan Allah dan malaikat-Nya. Kalau kalian tidak mau ikut saya, kalian mau kembali silahkan”. Kemudian Hispran memberikan beberapa kalimat amanat atau nasihat-nasihat dari Kartosoewiryo, sewaktu Hispran dipanggil menghadap Imam pada tahun 1959, yang waktu dihadiri oleh para panglima lainnya. Adapun amanat Kartosoewiryo itu diantaranya ialah:
Kawan akan mendjadi lawan, dan lawan akan mendjadi kawan.
Panglima akan mendjadi Pradjurit, Pradjurit akan mendjadi Panglima.
Mudjahid djadi luar Mudjahid, luar Mudjahid djadi Mudjahid.
Djika mudjahid telah ingkar, ingatlah;”Itu lebih djahat dari iblis”, sebab dia mengetahui Strategi dan Rahasia perdjuangan kita, sedang musuh tidak mengetahui. Demi kelandjutan tetap berdirinja Negara Islam Indonesia, maka tembaklah dia.
Djika Imam berhalangan, dan kalian terputus hubungan dengan Panglima, dan jang tertinggal hanja Pradjurit petit sadja maka Pradjurit petit harus sanggup tampil djadi Imam.
Djika Imam menjerah tembaklah saja, sebab itu berarti iblis. Djika Imam memerintahkan terus berdjuang, ikutila saja sebagai hamba Alloh SWT.
Djika kalian kehilangan sjarat berdjuang, teruskanlah perdjuangan selama Pantja sila masih ada, walaupun gigi tinggal satu, dan gunakanlah gigi jang satu itu untuk menggigit.
Djika kalian masih dalam keadaan djihad, ingat rasa aman itu, sebagai ratjun.
Setelah Hispran menjawab demikian, dan menyampaikan sebagian amanat- amanat Imam S.M.Kartosoewirjo, maka pasukan yang lima orang yang tadi turun di kota Tegal itu akhirnya kembali lagi bersama Hispran. Tahun 1963-1964 di antara yang lima itu empat orang sudah Syahid. Washijat tersebut membangkitkan ruhul jihad, sehingga mereka yang sudah turunpun mengurungkan niatnya dan kembali berjihad, apalagi yang masih bertahan di gunung,mereka semakin teguh dalam perlawanannya.

Kemudian setelah nyata-nyata Hispran tidak mau menyerah, maka lain lagi bentuk kalimatnya, yakni bukan Sease Fire lagi, melainkan sifatnya sudah merupakan ancaman dari mereka yang sudah turun menyerah. Di antara yang menandatanganinya waktu itu kiayi Maskur yang dari Kebumen, bekas KW.- Ks-nya Hispran. Mereka memberikan ancaman: “Jika kalian tidak turun, kami akan kerahkan seluruh kekuatan kawan-kawan yang sudah turun dan segala alat negara akan kami kerahkan”. Maksud mereka untuk menghancurkan yang masih bertahan. Kurang lebih pasukan NII pada waktu kejadian itu ada seratus orang. Kemudian pasukan diatur, maksudnya mencari tempat yang lebar dan mengatur siasat. Mujahid yang seratus itu dibagi-bagi supaya menghilangkan jejak. Pasukan dibagi-bagi dalam grup-grup yang kecil, dan ada yang terdiri tiga orang. Secara kebetulan di antara yang terdiri dari tiga orang itu tatkala akan pergi ke perbatasan Jawa Barat, di perjalanan bertemu dengan “pagar betis”. Dalam pikiran yang tiga orang pada waktu itu jelas bahwa Cease Fire itu ada, nyatanya musuh hanya jarak dua meter dengan pasukan, mereka tidak menembak. Setelah musuh tidak menembak maka, pasukan pun tidak menembak, karena bawa rombongan di belakang, ditambah lagi dugaan barangkali itu itu Cease Fire, hanya pasukan ingin mencari kejernihan informasi dari Jawa Barat. Rombomgan para mujahid berpencar-pencar selama tiga bulan. Kemudian pasukan pulih kembali sesudah tahun 1963. Setelah terkoordinir kembali kemudian pasukan dipimpin oleh Kastolani, sebab Haji Anas dan Miftah telah gugur.

Mungkin karena keilmuannya belum masuk bagi salah seorang pasukan pada waktu itu, yang ingat pada dirinya cuma bai’at, bahwa dalam bai’at pada point tiga disebutkan ” Saya sanggup berkorban dengan jiwa, raga dan nyawa saya serta apapun yang ada pada saya, berdasarkan sebesar-besar taqwa dan sesempurna-sempurna tawakal ‘alallah, bagi mentegakkan Kalimatillah, li-I’lai Kalimatillah, dan mempertahankan berdirinya Negara Islam Indonesia; hingga hukum Syari’at Islam seluruhnya berlaku dengan seluas-luasnya dalam kalangan Umat Islam Bangsa Indonesia di Indonesia,: a. mentegakkan kalimatillah. Yang jika disimpulkan dengan Qur’an surat 8 ayat 39 yang bunyinya:”Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah (gangguan-gangguan terhadap Hukum-hukum Allah) dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah (tegaknya hukum Islam secara sempurna dan lenyapnya kebathilan), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan”. Maka Ridwan salah seorang dari mujahid yang pernah melihat Pagar Betis tidak menembak, bertanya kepada Abu Kisno,” Mana yang benar, apakah mereka yang mengatakan adanya Cease Fire ataukah kita”? Abu Kisno menjawabnya,”Kita yang benar !” Disambut oleh Ridwan,”Jika kita yang benar biar kita jadi ‘lutung’ dari pada turun gunung”, maksudnya apapun risikonya bertahan saja di hutan melanjutkan jihad jangan menyerah kepada musuh.
Sehingga pada waktu itu betul, ancaman ultimatum itu terbukti. Tidak ada tempat tanah yang bisa ditempati, semua kena operasi musuh. Mungkin karena kebodohan atau wallaahu’alam sehingga yang tadinya menjadi mujahid mengoperasi mujahid pula. Sehingga selama dua tahun itu dalam darurat sungguh berat, sulit air untuk bisa mandi, untuk minum saja sampai potong bogol pisang dan dilobangi. Memotong –motong areuy dan dedaunan, berbulan bulan tidak bertemu dengan nasi.
Disebabkan jihad mesti terus berlanjut, tetapi bagaimanapun harus mengurangi risiko, Para mujahid bemusyawarah untuk menghindari musuh, Hispran mencari basis ke Yogya, maksudnya akan selam, menyilamkan seluruh pasukan yang ada di Jabal, Hispran mengatur komunikasi antara pasukan yang dibawa ke Yogya dan pasukan yang ditinggalkan bersama Kastolani. Hispran membawa beberapa orang pengawal, di antaranya Hanif, Safri, Nahdhor, Sahwad dan Muhtar. Sesudah itu selama dua bulan di Yogya tidak ada komunikasi antara Jabal dan Hispran. Menerima informasi terakhir, bahwa Hispran sudah menemui beberapa orang kiayi, mereka sanggup menempatkan pasukan yang berada di Jabal itu. Kemudian Hispran mempunyai basis di daerah Klasan Kaliurang antara jalan yang ke Boyolali dan ke Kaliurang. Pasukan punya basis di sana sampai tahun 1964. Akan tetapi, kebetulan penghubung yang diutus menyampaikan informasi ke pasukan di Jabal, ada yang gugur dan ada yang menyerah memberikan informasi kepada musuh bahwa Hispran berada di Yogya, maka tempatnya digerebeg , dioperasi. Yang menyerah tadi itu Nahdhor bekas pengawal Hispran sendiri yang dari Kecamatan Bantar Kawung.
Pada waktu itu para mujahid tidak ketinggalan masalah penghubung untuk mengetahui keadaan lawan sampai dimana, sehingga Hispran bisa menyelamatkan diri, waktu digerebeg sudah ke Sumatera. Di Sumatera Hispran bergerak idhar, karena beda nama, terkenalnya ialah Kiayi Maksum, tidak diam operasi mencari basis hingga bertemu dengan Rivai yang dulunya pasukan Amir Fatah, Hispran tidak mengalami kesulitan. Setelah di sana putus dengan pasukan, karena ada yang menyerah. Tetapi, Alhadulillah, tutur seorang yang pernah mengikutinya, Hispran waspada sebelumnya dengan berpesan,”Kalau kalian putus hubungan dengan saya, tentukan gerakan menurut ijtihad kalian, tidak usah menunggu komando dari saya”. Sebab, tahun 65-an digambarkan olehnya akan ada probahan di RI. Nyatanya, betul tanggal 30 September ada gerakan PKI. Dan yang tidak lepas dari rombongan pasukan adalah radio meski beritanya dari musuh, tapi kebetulan ada suara dari Radio Suara Indonesia Bebas yang mungkin dari Aceh , dan Radio Suara Mujahid dari Sulawesi Selatan. Dengan situasi demikian menurut Kastolani dan pasukannya bahwa gerakan harus idhhar. Maka gerakan yang tadinya bersifat dipensif, bersembunyi, selam, akhirnya tahun 1965 itu idhar gerakan jadi menghancurkan PKI dengan rakyat-rakyat yang berada didaerah basis pasukan. Kastolani terbuka kepada masyarakat dan menyatakan,” Kami adalah pasukan Kastolani yang ada di Jabal”. Tapi tanggapan dari musuh untuk menyedikitkan atau melemahkan Kastolani, dipropagandakannya, ”bahwa itu PKI yang lari ke Jabal dan Kastolani sudah tidak ada”, dihadapan umum sambil TNI itu beroperasi. Namun, pada tahun 1965 itu beberapa daerah PKI yang tidak bisa dihancurkan oleh rakyat, pasukan Kastolani menghancurkannya. Mujahid pada waktu itu tinggal dua belas orang dari yang seratus orang pada tahun 1962, ada yang Syahid, meninggal dan macam-macam lainnya.
Dari gerakan idhar itu akhinya rakyat yang pernah putus kumunikasi pun daerahnya bisa dijadikan basis. Gerilya jarang di Jabal lagi. Gerilya kebanyakan di Masyarakat. Sehingga ukuran ekonomi boleh dikatakan jauh berbeda dari masa yang sudah lalu, baik itu dalam hal makan, maupun alat-alat, yang biasanya peluru untuk satu orang cuma 10 atau 15 butir, tetapi sewaktu idhar gerakan menjadi tidak kekurangan bahkan sampai tidak terbawa sehingga harus disembunyikan atau dititipkan kepada rakyat di daerah basis. Kemudian pasukan mujahid itu malah bisa menjamin rakyat yang lemah, dijadikan rahmat. Mujahid operasi kepada musuh, rakyat bisa mengenyam.

Kemudian pada tahun 1967 para mujahid itu kena tipu, karena kekurangan pemberitahuan sehingga tidak tahu informasi keadaan yang sesungguhnya. Pada tahun itu dihubungi oleh yang bernama Khairuddin, bekas Bupati NII Purwokerto yang istrinya orang Salem Sadiyah. Khairuddin bercerita,”Kalian harus tinggalkan ini Jabal, ini sudah tidak memungkinkan lagi. Bukan untuk menghentikan jihad. Jihad tetap, tetapi hanya ada tiga tempat yang kemungkinan kalian bisa tempati, bisa pilih apakah nanti ke Sulawesi, karena pasukan Kahar Muzakar pun masih punya daerah-daerah basis di masyarakat. Kemudian apakah ke Aceh, karena Daud Beureuh juga punya daerah otonomi. Kemudian apakah langsung dengan Siliwangi karena Siliwangi separohnya sudah NII”. Dengan kalimat-kalimat itu mungkin Kastolani dan Zaenal Asikin sebagai Camat Darul Islam itu kena rayu juga tidak kontrol, wallaahu’alam, kata seorang pasukan yang tidak diajak berunding. Dengan demikian itu diaturlah rombongan dari yang ada 12 orang itu, diberangkatkan dari Jawa Tengah menuju Bandung empat orang untuk mengetahui situasi. Sesampainya di Kota Bandung dijemput oleh Fajri, bekas Resimen Cilacap NII, dan dibawa olehnya ke rumah Kadar Solihat, Jalan Kancra XI No.13. Keempat orang itu yakni, Mumtahar, Ridwan, Zaenal Asikin dan Tarmunah, istrinya Zaenal Asikin. Mereka tidak mau keluar dari rumah, karena menyangka sekedar bersembunyi sebab sudah biasa bila dalam bergerilya di masyarakat harus demikian. Di tempat itu bertemu dengan Tahmid, putranya Kartosoewiryo, Djadja Sudjadi. Keempat mujahid dan mujahidah tidak tahu mau dibawa kemana. Akhirnya, setelah satu minggu mereka itu dibawa ke Brigif 13 Tasikmalaya oleh Kadar Solihat. Waktu itu komandan brigifnya Kolonel Suprapto, Komandan Camp-nya Mayor Ilyas, Kapten Siswadi. Ketika masih di rumah Kadar Solihat belum merasa ditipu. Merasa ditipu itu sesudah diserahkan ke Brigif 13 Galuh Tasikmalaya, dan dimasukkan ke sel , ketika mau ambil air wudhu dikawal dengan senjata otomatis, sampai mau shalat pun dikawal dengan geren. Hal itu terjadi pada bulan September 1967, artinya tidak semua mujahid menyerah (perhatikan Q.S.33: 23).
Sementara itu Kastolani di Jawa Tengah belum mengetahui hal yang menimpa keempat anak buahnya yang diutus ke Bandung. Kira-kira dua minggu sesudah kedatangan Abdullah dan Khairuddin atau seminggu sesudah empat mujahid dan mujahidah tadi ditangkap, datang lagi Khairuddin mengantar Kadar Sholihat bersama Sam’un, bekas komandan kompi TII di Jawa Barat, disertai tiga orang TNI yang menyamar dengan pakaian preman yang sebelumnya tidak diketahui oleh Kastolani pada masing-masing pinggangnya terselip pistol. Dalam pembicaran waktu itu Kastolani bertanya kepada Kadar Sholihat, apakah hal ini tidak menggunakan sarana musuh (maksudnya tidak diketahui musuh)? Kadar Solihat meyakinkan bahwa tugas mereka akan dimutasikan dalam rangka melanjutkan perjuangan. Kastolani mempercayainya, karena ingat pesan dari Ismail Pranoto (Hispran) yang berusaha menyediakan tempat di Sumatera, dan inilah dianggap hasilnya. Selain itu juga Kastolani pada waktu itu percaya bila Siliwangi separohnya sudah NII, sehingga tidak curiga ketika diperintahkan naik pickup oleh Kadar Solihat. Maka Kastolani,Tamdjid, Tami, Ahmad, Zaenudin, Rahmat, Rusmi (istrinya Rama, dan tiga mujahid lainnya naik ke atas pickup. Rombongan Kastolani, bersama kelima orang penjemput meninggalkan Brebes. Kastolani baru sadar dirinya ditipu takala pickup yang ditumpanginya itu masuk ke markas Brigif 13 Galuh Tasikmalaya.
Dari sekian mujahid yang diinterogasi adalah Kastolani dan Ridwan. Kastolani diinterogasi mungkin karena sebagai komandan keseluruhan. Sedangkan Ridwan diinterogasi mungkin dianggap yang paling bisa membuka rahasia, karena yang paling muda usianya. Maksud TNI menyudutkan para mujahid. Yang ditanyakan di antaranya:
Dasarnya apa kamu jadi Darul Islam?
Mengapa kamu tidak turun menyerah dan dimana saja?
Begitulah pokok pemeriksaan. “Tapi alhamdulillah, dengan pertolongan Allah, mujahid menjawab sebagaimana mestinya seorang kader. Betapapun beratnya siksaan ketiga diinterograsi tersebut, mereka tetap istiqamah, mereka berkeyakinan bahwa dalam tekanan bagaimanapun tetap harus bisa menyelamatkan tiga hal : Pertama, pemimpin sesuai dengan bai’at point ke 6. Kedua, perjuangan. Ketiga, kawan. Sebab, diselamatkan kawan, berarti menyelamatkan perjuangan. Demikian tutur dari seorang mujahid yang diperiksa pada waktu itu. Kemudian sesudah selama dua bulan di Tasikmalaya diperiksa, mungkin dianggap tidak selesai, maka dibawa ke Bandung ke Jalan Sumatera.

Bila di Jawa Barat jihad Islam itu hancur karena disusupi musuhnya, akibat membuka akses informasi terhadap orang yang telah menyerah. Tanpa proses hukum lebih dahulu langsung mengangkat Ali Murtado (lihat Bab VIII) sebagai penghubung di kota. Maka di Jawa tengah mujahid yang tersisa, pasukan perlawanan yang masih bertahan berhasil diangkut ke kota, tertipu oleh kemanisan mulut Nasrun, yang sebelumnya telah berkali kali meminta mujahidin untuk menyerah. Seharusnya sesuai dengan amanat Imam, mereka yang mengajak menyerah haruslah ditembak -sebab berarti dia iblis- bukan sekedar diancam mau ditembak tapi tidak jadi. Kekeliruan ini berlanjut dengan “menerima kesaksian” Nasrun, sang pengkhianat itu, bahwa keadaan sudah cease fire. Bukannya menyelidiki berita orang fasik ini (lihat Q.S. 49 : 6), malah mujahidin itu meminta sipengkhianat untuk membuktikannya. Terbukalah kesempatan bagi Nasrun untuk membuat sandiwara cease fire tadi, dan siasat licin ini berhasil dijalankan TNI untuk menghentikan perlawanan suci mereka.
Di sini pun kita melihat persekongkolan kotor orang orang yang telah menyerah, untuk membawa para mujahid yang masih istiqamah berjuang. Nyatalah washijat Imam tahun 1959, bahwa mujahid yang telah ingkar itu lebih berbahaya dari pada Iblis, sebab pengkhianat itu memiliki akses informasi ke jaringan Jihad, sedangkan musuh tidak. Dan akses ini bukannya disyukuri dan dimanfaatkan untuk mengkoordinasikan jihad, dasar mentalnya sudah busuk, malah digunakan untuk menggusur mereka yang masih berjihad. Na’udzubillah.
k
DARUL ISLAM SULAWESI SELATAN
Di Sulawesi Selatan meletus pula suatu perlawanan terhadap Republik Indonesia. Para mujahid di daerah itu menggabungkan diri ke dalam Negara Islam Indonesia dibawah pimpinan Kartosoewirjo. Perlawanan rakyat terhadap Republik di Sulawesi dipimpin oleh Kahar Muzzakar. Dengan dimulainya perlawanan di daerah ini sangat mempengaruhi bagian-bagian luas lainnya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara untuk mengadakan perlawanan selama bertahun-tahun.
Abdul Kahar Muzakkar lahir pada tanggal 24 Maret 1921 di Desa Lanipa dekat Palopo, Distrik Ponrang, Kabupaten Luwu, di pantai barat laut Teluk Bone. Pada saat kanak-kanaknya dia lebih dikenal oleh keluarga dan masyarakat di desanya dengan nama La Domeng. Adapun orang tuanya bernama Malinrang adalah seorang petani yang cukup mampu dan tergolong pada aristokrasi rendah. Dengan kedudukan dan kemampuan orang tuanya, ketika usianya sudah mencapai tujuh belas tahun ia dikirim ke Surakarta untuk belajar di sebuah sekolah Perguruan Islam (Kweekschool Muhammadiyah), dari tahun 1938 sampai tahun 1941. Pada masa-masa pendidikannya dia tergolong anak yang cerdas dan supel dalam pergaulan. Oleh karena itu dia begitu aktif di berbagai kegiatan organisasi yang dibuka oleh Perguruan Islam tersebut, diantaranya ialah menjadi salah seorang pemimpin lokal Pemuda Muhammadiyah di Hizbul Wathon, gerakan kepanduan Muhammadiyah. Kegiatan ini dilakukannya sampai mendaratnya Bala Tentara Kerajaan Jepang. Pada awal pendudukan Jepang dia bekerja sebagai pegawai Nippon Dohobu di Ujungpandang, namun tak lama kemudian ia berhenti.
Setelah menyelesaikan pendidikannya dan kembali ke daerah asalnya, Kahar Muzakkar bentrok dengan kepala-kepala adat setempat karena pengaruh faham modernisme Islam yang dibawanya. Dampak dari kritikan yang dilancarkan oleh Kahar itu telah membawa dirinya kepada satu pertentangan terbuka dengan pihak kepala adat. Akibatnya timbullah kemarahan pada sebagian kepala adat, dan dari kemarahan itu selanjutnya beralih kepada tuduhan kepada Kahar Mudzakkar yang mana telah menghasut terhadap kepala-kepala. Menurut kepala adat, Kahar telah "mengutuk sistem feodal yang berlaku di Sulawesi Selatan dan menganjurkan dihapuskannya aristokrasi". Oleh karena itu resiko yang diambil Kahar yakni dibuang dari pulau itu—atau secara lebih tepat diasingkan untuk seumur hidup — selanjutnya Kahar Muzakkar kembali ke Surakarta pada tahun 1943. Dan mulailah dia membuka hidup baru. Ia yang didampingi oleh isterinya membuka sebuah perusahaan yang diberinama "Usaha Semangat Muda", selanjutnya menjadikan Jawa sebagai tempat tinggalnya.
Ketika proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan oleh Sukarno, dimana memanggil segenap pejuang untuk membela dan mempertahankannya. Dia pun turut serta dalam perjuangan kemerdekaan tersebut, dan di dalam perjalanan perjuangannya itu dialah salah seorang barisan pengawal Soekarno, ketika Soekarno menyampaikan salah satu pidato rapat umumnya di lapangan Merdeka di Jakarta pada tanggal 19 September 1945. Tentang pertemuan ini Kahar Muzakkar sendiri membanggakan dirinya bahwa dia adalah satu-satunya orang — saat itu ia hanya bersenjatakan golok — yang siap melindungi Soekarno dan Mohammad Hatta — dengan melingkari mobil yang di kendarai oleh Soekarno dan Mohammad Hatta — terhadap bayonet serdadu Jepang yang berusaha membubarkan pertemuan.
Begitulah Kahar Muzakkar dengan darah Makasarnya telah muncul ke pentas nasional sebagai seorang tokoh yang berwatak pemberani dengan daya tarik pribadi yang besar. Pada dirinya terdapat "keberanian yang nekat dalam pertempuran, ketangkasan yang tiada taranya dalam menggunakan senjata dan dalam olahraga, dan kecerdasan yang tajam, disertai prakarsa cemerlang yang nyerempet-nyerempet", sedangkan "kemampuannya untuk menggerakkan massa oleh pidato-pidatonya bolehlah dibandingkan dengan kemampuan Soekarno ...."
Sesudah proklamasi kemerdekaan Kahar Muzakkar menjadi salah seorang pendiri suatu organisasi pemuda dari Sulawesi yang menetap di Jawa, Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi (Gepis). Selanjutnya pada tanggal 21 Oktober 1945 Gepis berfusi dengan suatu organisasi gerilya lain yang terdiri dari pemuda Sulawesi juga, yaitu Angkatan Pemuda Indonesia Sulawesi (APIS). Setelah penggabungan dua organisasi ini, maka dihasilkan satu kesepakatan untuk membuat nama baru yaitu Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS).
Dalam sebuah rapat yang diselenggarakan KRIS, Kahar Muzakkar diangkat menjadi sekretaris pertama KRIS, dan dalam kedudukannya ini dia ditugaskan untuk mendirikan cabang-cabang KRIS di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Harvey, mayoritas yang turut dalam KRIS adalah pemuda yang datang dari Minahasa, bagian timur laut Semenanjung Sulawesi. Dan sebagian besar rakyat dari Minahasa dan Manado tersebut beragama Kristen, dan tergolong salah satu kelompok etnis. Sebelum terjadinya Perang Dunia Kedua, di daerah Jawa inilah Tentara Kolonial Hindia Belanda (KNIL) banyak merekrut serdadunya yang didatangkan dari sana, karena pertautan dengan rezim kolonial Belanda ini pula orang Minahasa dan Manado dicurigai bersikap pro Belanda atau bekerja sebagai kaki tangan Belanda, sehingga mereka merasa dirinya dalam suatu lingkungan yang bermusuhan. Oleh karena itu, mereka bentuk KRIS dengan maksud untuk membela diri dan memperlihatkan kesediaan mereka bertempur melawan Belanda di berpihak kepada Republik. Organisasi yang serupa juga didirikan oleh orang dari Ambon yang berdiam di Jawa, seperti Angkatan Pemuda Indonesia (API) Ambon dan Pemuda Indonesia Maluku (PIM). Khusus untuk KRIS karena pertautan KNIL-nya memperoleh nama sebagai kesatuan militer yang terorganisasi baik dan berdisiplin.
Setelah lepas dari organisasi KRIS, Kahar Muzakkar mempunyai peranan sangat penting dalam membentuk Batalyon Kesatuan Indonesia (BKI) pada akhir bulan Desember 1945, selanjutnya aktif pula dalam mengatur penyusupan para pejuang ke Sulawesi—Belanda saat itu telah menegakkan kembali kekuasaannya di Sulawesi—dengan menggunakan perahu dari Jawa. Adapun pasukan yang tergabung dalam Batalyon Kesatuan Indonesia yang dipersiapkan oleh Kahar adalah terbentuk dari orang-orang yang berasal dari pulau-pulau seberang yang dipenjarakan di Nusakambangan Cilacap. Dengan melalui keterlibatannya para tahanan ini banyak yang dibebaskan dan selanjutnya kepada mereka diberi latihan militer secara singkat. Menurut beberapa sumber, awalnya batalyon ini ditugaskan sebagai pengawal Presiden Soekarno pada waktu Pemerintah Republik pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, namun kemudian ada perubahan nama menjadi "pasukan gerak cepat Penyelidik Militer Khusus (PMC)" yang dipimpin oleh Kolonel Zulkifli Lubis di Yogyakarta. Akan tetapi pembentukan pasukan ini hanya berlangsung beberapa bulan saja. Pada tanggal 24 Maret 1946 Kahar Muzakkar mendapat kuasa penuh dari Panglima Tentara Republik Jenderal Sudirman untuk membentuk Tentara Republik Indonesia Persiapan di Sulawesi (TRIPS). Adapun untuk membentuk pasukan tersebut Kahar Muzakkar banyak mengambil pasukannya dari yang telah tergabung sebelumnya dalam BKI.
Untuk menjalankan tugas ini Kahar Muzakkar mulai mengatur penyusupan ke Sulawesi Selatan dengan menggunakan perahu layar. Pada mulanya ekspedisi pasukan ini berjalan lancar, kurang lebih ada sepuluh ekspedisi dikirimkan dari Jawa oleh TRIPES dengan jumlah 1200 orang prajurit sudah dikirimkan selama tahun 1946 dan lebih terutama ekspedisi yang keempat dan keenam yang kelak menjadi bagian penting bagi perkembangan sejarah. Tetapi sesudah 1946, kegiatan penyusupan benar-benar terhenti. Yang menjadi penyebabnya adalah karena penyusupan digagalkan oleh taktik anti kekacauan Belanda yang digunakan Westerling oleh karenanya harapan bagi pasukan Republik di Sulawesi agak suram. Sebagian besar pejuang gerilya yang datang dari Jawa tertangkap atau terbunuh. Sisanya kembali ke Jawa. Begitu juga yang dialami para pejuang setempat yang tidak pernah meninggalkan Sulawesi pun menderita pukulan hebat karena aksi-aksi Westerling tersebut.
Sementara itu orang-orang Sulawesi yang berdomisili di Jawa, terus melakukan perlawanannya dalam bertempur dengan Belanda. Dan dalam masa perjuangan ini nama dan kedudukan TRIPES beberapa kali mengalami perubahan. Pada bulan November tidak lama sesudah diadakannya perjanjian Linggarjati, namanya berubah menjadi Lasykar Sulawesi. Bersamaan waktunya, ketika itu Kahar Muzakkar dan anak buahnya yang sedang berjuang di Madiun membentuk pasukan penggempurnya sendiri, Barisan Berani Mati (BBM), mereka diambil dari prajurit-prajurit TRIPES yang terbaik, dan dalam teori juga terdapat cabangnya di Sulawesi.
Pada bulan Juni 1947 Tentara Republik berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam kedudukan yang barunya, Kahar Muzakkar diberi tugas mengkoordinasi satuan-satuan gerilya di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara—sesungguhnya, seluruh daerah seberang. Disamping itu pula, dia ditugasi membina kader militer di daerah-daerah ini; usaha ini pada tahun-tahun 1946 dan 1947 gagal karena aksi-aksi Westerling. Kahar Muzakkar dalam hal ini memulai dengan awal yang baik dengan mengirimkan dua perwira stafnya—Saleh Sjahban (Saleh Syahban) dan Bahar Mattaliu—ke Sulawesi untuk mengadakan hubungan dengan pasukan-pasukan gerilya yang tersisa di sini bahkan sebelum pengangkatannya Oktober. Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1949, dibentuklah Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) oleh Saleh Sjahban dengan tujuan mempersatukan demikian banyaknya pejuang yang terpencar dan terpencil yang beroperasi sendiri-sendiri di daerah itu.
Kahar Muzakkar sendiri tiba di Ujungpandang 22 Juni 1950. Selama beberapa hari sesudah kedatangannya, dia melakukan wawancara dengan Kawilarang kemudian melakukan kunjungan singkat ke Sulawesi Selatan untuk berusaha meyakinkan para pejuang agar menerima syarat yang diusulkan Tentara Republik, "mereka diakui sebagai prajurit dulu, dan rasionalisasi seyogyanya barulah dijalankan sesudah itu". Syarat ini, menurut Harvey sejalan dengan kompromi yang sebelumnya diajukan para pemimpin KGSS sendiri. Tetapi sekembalinya dari perjalanannya, Kahar Muzakkar mengajukan usul balasan yang diinginkan oleh para pejuang . Mereka menghendaki agar jumlah pejuang yang akan diterima mencapai sedikit-dikitnya kekuatan satu brigade. Disamping itu, Kahar Muzakkar dan para pejuang ini menghendaki mereka membentuk brigade tersendiri, tidak terpencar dalam sejumlah satuan yang berbeda-beda.
Usul KGSS itu ditolak oleh Kawilarang dalam suatu pertemuan dengan Kahar Muzakkar pada tanggal 1 Juli 1950. Kemudian Kawilarang mengeluarkan pengumuman untuk membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan, dan pada hari yang sama melarang semua kegiatan yang berkaitan dengan pembentukan organisasi gerilya baru, menurut Kawilarang, karena masa integrasi pejuang ke dalam Tentara telah berakhir. Pada Agustus Kawilarang menyatakan, 70% pejuang telah memasuki Tentara, dan hanya 30% yang menolak melakukan demikian, kemudian dia memperingatkan terhadap yang belakangan ini Tentara akan bertindak.
Ketika mendengar reaksi Kawilarang atas usul-usul yang dibawanya, Kahar Muzakkar menyatakan mengundurkan diri dari Tentara dan menyerahkan lencananya kepada panglima. Beberapa hari kemudian dia masuk hutan. Dalam kenyataan yang sesungguhnya, dia diculik KGSS, atas prakarsa Andi Sose, walaupun mungkin sekali Andi Sose bertindak demikian berdasarkan perintah, atau setidak-tidaknya dengan persetujuan Kahar Muzakkar diam-diam.
Kahar Muzakkar mengintruksikan para pejuang lain untuk mengabaikan larangan yang dikeluarkan oleh Kawilarang tentang KGSS. Oleh karena itu KGSS terus berfungsi walaupun sekarang sebagai organisasi ilegal. Seluruh keadaan menjadi lebih ironis, beberapa bulan ketegangan berkelanjutan dengan pertempuran-pertempuran antara pasukan TNI dengan pasukan Kahar Muzakkar.
Berdasarkan keterangan resmi Tentara yang dikeluarkan oleh Letnan Kolonel Kosasih, Kepala Staf Tentara Republik untuk Sulawesi Selatan, Tentara memutuskan melancarkan serangan terhadap kaum pejuang karena barisan mereka telah disusupi penjahat-penjahat. Tudingan yang demikian kerap dilontarkan oleh Tentara Republik dengan maksud memojokkan setiap orang yang tidak setuju dengan kebijaksanaan Republik, dan terus menentangnya.
Setelah adanya sikap keras Tentara yang tidak kenal kompromi ini berbuntut panjang. Kini di kalangan sipil di Sulawesi Selatan sendiri maupun di Jakarta tidak sependapat dengan sikap yang diambil oleh Tentara. Mereka berpendapat, bahwa pada setiap pejuang ada sifat patriotismenya. Namun oleh kalangan Tentara dianggapnya sebagai gerombolan pengacau. Ditambahkannya, sesungguhnya di Sulawesi Selatan lebih banyak terdapat simpati terhadap kaum pejuang, dimana mereka banyak yang diberi makanan oleh penduduk desa, ketimbang terhadap Tentara Republik. Mengenai dukungan rakyat setempat ini Andaya menulis: "Sejak semula benar, Kahar dan para pejuang mendapat dukungan luar biasa dari rakyat setempat yang memperlihatkan simpati yang besar dengan penderitaan mereka ini", dan "mereka anggap kehadiran pasukan-pasukan orang Jawa, pemimpin-pemimpin pemerintah, dan unsur-unsur kebudayaan Jawa di pantai mereka, sebagai penghinaan terhadap rakyat Sulawesi, padahal rakyat Sulawesi telah demikian banyaknya menyumbang harta dan darah sehingga mengalami penderitaan yang amat sangat untuk memperoleh kemerdekaan dari Belanda".
Begitu juga ada indikasi kuat yang menyatakan bahwa, Tentara Republiklah yang menyebabkan terjadinya pertempuran karena menduduki pangkalan-pangkalan gerilya. Hal ini pula yang memperkuat kecurigaan para pejuang mujahidin. Dari pihak pejuang menyatakan, sesungguhnya mereka mengundurkan diri ke hutan untuk menghindarkan terjadinya pertumpahan darah, dan mereka hanya membalas dan bertempur dalam keadaan terpaksa. Para pejuang sendiri sebenarnya lebih menginginkan jalan kompromi dalam menyelesaikan kemelut yang ada. Pada bulan September Kahar Muzakkar memberitahukan, tuntutan menghendaki Brigade Hasanuddin dan dia sendiri yang menjadi komandannya bukanlah tuntutan yang mutlak. Dalam hal masuknya Kahar Muzakkar sendiri beserta anak buahnya kedalam Tentara, dia sama sekali bersedia menyerahkan kepada Tentara berapa jumlah tepatnya dan siapa yang tetap dan siapa yang akan di demobilisasikan. Pendirian sikap ini jelas-jelas dikatakan oleh seorang juru bicara pejuang pada akhir Oktober. Juru bicara ini menekankan, perbedaan antara Tentara Republik dan pejuang bukanlah perbedaan prinsip atau ideologi. Satu-satunya masalah yang tetap harus diselesaikan ialah masalah integrasi Brigade Hasanuddin ke dalam Tentara Republik. Begitu masalah ini dapat diselesaikan, demikian dikemukakannya, para pejuang bersedia memasuki batalyon "depot" dan akan mematuhi perintah para atasannya sebagai prajurit yang setia.
Bukti sebagai syarat yang jelas akan kesetiaan mereka bahwa para pejuang membantu Tentara dalam bulan Mei dan Agustus. Oleh karena itu ada permintaan dari banyak kalangan untuk berusaha mencari penyelesaiannya dengan cara damai. Suatu resolusi yang mendesak Pemerintah untuk tidak menggunakan kekerasan disampaikan oleh dua puluh dua partai politik dan organisasi Sulawesi Selatan, maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atas prakarsa fraksi Kerakyatan. Di samping itu, pada 18 Agustus, sebuah Panitia Jasa Baik dibentuk penduduk setempat yang terkemuka. Panitia ini diketuai Jusuf Bauti, anggota Dewan Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan, beserta seorang anggotanya yang paling aktif Nyonya Salawati Daud, istri seorang pejabat pemerintah di Maros, salah satu benteng pejuang mujahidin.
Pada tanggal 25 Maret 1951, akhirnya tibalah hari yang lama dinanti-nantikan: pembentukan resmi Persiapan Brigade Hasanuddin sebagai bagian dari Korps Cadangan Nasional Tentara Republik. Pada hari ini juga Kahar Muzakkar meninggalkan tempat persembunyiannya. Suatu upacara khusus untuk menyambutnya diadakan di Maros: sebanyak lima sampai enam ribu orang telah berkumpul untuk menyaksikan dia bersama prajurit-prajuritnya memasuki kota pukul tujuh malam hari. Salawati Daud dan Kahar Muzakkar sendiri yang bicara kepada pasukan. Kahar Muzakkar dalam pidatonya, yang berlangsung kira-kira setengah jam, secara panjang lebar membicarakan tuduhan-tuduhan yang dilemparkan kepadanya bahwa ia terlalu ambisius, ia masuk hutan semata-mata untuk melanjutkan tujuannya, dan ia sengaja melarut-larutkan perundingan agar terjamin pengukuhan pangkatnya sebagai letnan kolonel. Walaupun banyak orang yang percaya, dia dan Saleh Sjahban "haus pangkat dan kedudukan", disangkalnya tuduhan-tuduhan ini dengan mengemukakan, walaupun kenyataan membuktikan ia memiliki "kursi-kursi besar, meja-meja besar, dan telah menghadapi orang-orang penting "di masa lampau, semuanya ini bukanlah satu-satunya tujuan hidupnya. Saya dicurigai sangat mendambakan pangkat letnan kolonel, tetapi pangkat letnan kolonel ini yang didesakkan kepada saya", ditegaskannya, sambil menambahkan, bila ada orang yang menginginkan mengambil alih pimpinan Brigade Hasanuddin, mereka dipersilakan maju ke depan dan melakukan keinginan itu; hanya saja dia tidak sudi menyerahkan tugas ini kepada mereka yang telah membakari rumah-rumah rakyat yang tidak berdosa.
Namun amat disayangkan adanya pembentukan Korps Cadangan Nasional pada bulan Maret sama sekali tidak berarti, pejuang-pejuang muslim Kahar Muzakkar telah menjadi prajurit biasa dari Tentara Republik. Penggabungan resminya direncanakan pada bulan Agustus. Tetapi antara Maret dan Agustus 1951 terjadi serangkaian insiden yang mengakibatkan perpecahan baru lagi antara Tentara dan Kahar Muzakkar. Pertentangan baru ini pada akhirnya menuju keretakan terbuka dan tak terdamaikan.
Dalam minggu-minggu sebelum hari yang telah ditetapkan untuk integrasi resmi Korps Cadangan Nasional, pertentangan intern yang pertama di kalangan pengikut-pengikut Kahar Muzakkar terjadi ketika Andi Selle memihak Pemerintah dalam persoalan apakah integrasi Korps Cadangan Nasional Sulawesi Selatan akan dilakukan batalyon demi batalyon atau tidak.
Penggabungan Batalyon Bau Masseppe Andi Selle ke dalam Tentara sebagai Batalyon 719 pada 7 Agustus 1951 hanyalah memperbesar pertentangan antara Kahar Muzakkar dan Tentara, selanjutnya. Namun tidak seluruh Batalyon Bau Masseppe mengikuti komandannya, melainkan sebagian dari padanya dengan Hamid Gali dan Usman Balo sebagai pemimpin-pemimpin utamanya dan tetap setia kepada Kahar Muzakkar. Setelah terjadi sedikit pertempuran dengan para pengikut Andi Selle mereka mengundurkan diri ke bagian lain Pare-pare dan membentuk batalyon baru, yang dipimpin Hamid Gali. Tidak pula hubungan-hubungan antara Kahar Muzakkar dan Andi Selle putus sama sekali, dan pada waktunya hubungan antara keduanya membaik lagi. Bahar Mattaliu menyebut Andi Selle sebagai salah satu sumber pokok senjata Kahar Muzakkar, dan benar-benar dikatakannya: "Ini berarti, bahan-bahan mentah terus dikirimkan Kahar kepada Andi Selle yang membayarya dengan pelor, senjata berat dan ringan, dan dengan pakaian seragam tentara".
Dalam menghadapi perjuangan Kahar Muzakkar, Tentara Republik berusaha menghadapinya dengan melakukan serangkaian operasi militer. Terutama sekali pada tahun-tahun mula kerusuhan dengan mengajak kesatuan-kesatuan pejuang yang merasa tidak puas dengan Kahar Muzakkar untuk menyerah. Dan mengenai hal yang akhir ini, Tentara Republik mengambil sedikit keuntungan dari adanya perselisihan antar pejuang sendiri. Pertikaian ini bisa muncul karena sebagian ambisi dan dendam pribadi, sebagian lagi karena perbedaan ideologi mengenai jalan yang harus ditempuh dalam perlawanannya terhadap Pemerintah Republik.
Bertepatan waktunya dengan ketika Pemerintah menganjurkan penyelesaian "politik psikologis", Kahar Muzakkar memperkuat posisinya. Dalam masa inilah dilakukan pembaharuan hubungan antara dia dan Kartosoewirjo. Hubungan pertama antara mereka telah dilakukan Agustus tahun sebelumnya, ketika Kahar Muzakkar masuk hutan. Pada waktu itu Kahar Muzakkar didesak melalui perantaraan Bukhari, ketika itu wakil ketua Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan Abdullah Riau Soshby, salah seorang tampuk pimpinan Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat, untuk membentuk "Komandemen TII" untuk Sulawesi. Kartosoewirjo secara pribadi mengirimkan sepucuk surat kepada Kahar Muzakkar yang menawarkan kepadanya pimpinan Tentara Islam Indonesia di Sulawesi beberapa bulan kemudian.
Secara resmi tawaran ini diterima Kahar Muzakkar pada 20 Januari 1952. Demikianlah ia menjadi panglima Divisi IV Tentara Islam Indonesia, yang juga disebut Divisi Hasanuddin. Syamsul Bachri diangkat menjadi Gubernur Militer Sulawesi Selatan. Dalam sepucuk surat tanggal yang tersebut di atas yang ditulis Kahar Muzakkar dalam menerima pengangkatannya, dinyatakan bahwa ia sendiri merasa berterima kasih dan menjunjung tinggi kepercayaan yang diperlihatkan Kartosoewirjo kepadanya dengan keputusan mengangkatnya menjadi panglima Tentara Islam Indonesia untuk Sulawesi. Bersamaan dengan itu dinyatakannya, tak dapat sepenuhnya ia mengabdikan diri, karena berbagai keadaan yang mungkin merintanginya dalam setiap tindakan yang diambilnya sebagai panglima Tentara Islam. Selanjutnya dikemukakannya, dari lima batalyon yang dipimpinnya beberapa di antaranya meliputi kelompok bukan Muslim yang dipengaruhi ide-ide Komunis. Dilanjutkannya dengan menyatakan, dia ingin memulai suatu revolusi Islam sejak 16 Agustus 1951, dan segala sesuatunya telah direncanakan bersama komandan-komandan bawahan Saleh Sjahban dan Abdul Fatah, tetapi yang belakangan ini ternyata tidak teguh pendiriannya sehingga rencana itu gagal. Dia dirintangi, katanya, oleh kekuatan yang lebih perkasa dengan pengaruh yang lebih besar dalam masyarakat, yaitu "kaum feodalis dan rakyat banyak". Mengenai penduduk Islam di Sulawesi Selatan menurut pendapatnya "diperlukan waktu untuk menanamkan dan memupuk semangat Islam yang sejati dalam diri mereka". Dalam sebuah surat jawaban pada 27 Februari, Kartosoewirjo mendesak Kahar Muzakkar melakukan segala upaya untuk menjadikan rakyat "bersemangat Islam" dan "bersemangat Negara Islam", serta melanjutkan melakukan apa saja yang dianjurkan syariat Islam di masa perang.
Walaupun ada pengangkatannya sebagai panglima daerah Tentara Islam Indonesia Kahar Muzakkar untuk sementara tidak mau menggunakan nama ini bagi pasukan-pasukannya. Pada bulan Maret 1952 sesungguhnya pasukannya diberinya nama Tentara Kemerdekaan Rakyat (TKR). Baru pada 7 Agustus 1953, tepat empat tahun sesudah proklamasi Negara Islam Kartosoewirjo, Kahar Muzakkar mempermaklumkan bahwa daerah Sulawesi dan daerah-daerah sekitarnya (yaitu Indonesia Timur lainnya, termasuk Irian Barat) menyatakan bagian dari Negara Islam Indonesia. Bersamaan dengan ini ia menamakan pasukannya Tentara Islam Indonesia.
Kahar Muzakkar bahkan menjadi lebih terlibat dalam Negara Islam Indonesia dengan pengangkatannya pada 1 Januari 1955, sebagai Wakil Pertama Menteri Pertahanan Negara Islam Indonesia yang meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia.
Politik Kahar Muzakkar yang lebih agresif pada bulan-bulan awal 1952 oleh sementara pengamat dinyatakan, susungguhnya, karena hubungannya dengan gerakan Darul Islam Jawa Barat. Dia sendiri mendasarkan serangannya terhadap posisi Tentara dan Pemerintah Indonesia dengan menyatakannya sebagai pembalasan untuk aksi-aksi militer Tentara yang dilakukan terhadapnya. Yang demikian ini secara tegas dikemukakannya dalam perintah yang dikeluarkan 5 April 1952. Di dalamnya disebutnya moment operasi-nya, dengan memerintahkan pasukannya menerapkan taktik tabrak lari, yaitu, mengejutkan pasukan Republik dengan serangan mendadak dan mengundurkan diri sebelum tentara dapat memukul kembali, sebagai aksi balasan terhadap sweeps operasi (operasi pembersihan) Tentara. Taktik-taktik khas militer ini digabungkan dengan cara perang psikologis, yang sebagian besar mengungkapkan kejahatan-kejahatan Pemerintah Indonesia.
Pada konperensi pemimpin gerilya sebelum proklamasi Sulawesi sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia, disusun sebuah konstitusi Negara Republik Islam Indonesia, atau, disebut juga Republik Islam Indonesia. Konstitusi ini dikenal sebagai Piagam Makalua, menurut nama tempat konperensi.Di dalam dokumen tersebut Kahar Muzakkar memuat lebih banyak dan lebih teliti mengenai pasal-pasal yang mengatur kehidupan sosial dan ekonomi dibandingkan dengan perjuangan Darul Islam di Jawa Barat.
Butir kedua yang timbul dari bahan-bahan ini adalah bahwa Darul Islam bertujuan menciptakan ragam masyarakat sama derajat, dan dalam beberapa hal masyarakat puritan. Ingin menghilangkan semua sisa norma sosial tradisional, membayangkan land reform yang sederhana, dan bertujuan melenyapkan perbedaan-perbedaan dalam kekayaan pribadi pada umumnya.
Kedua kecenderungan pokok yang dikemukakan ini tidaklah sangat baru. Kahar Muzakkar sudah sejak lama musuh kaum penguasa tradisional dan telah lama bertentangan dengan pemimpin-pemimpin adat sejak 1943. Sebagian para pengikutnya pun di samping itu menginginkan perubahan sosial. Sikap kaum bangsawan yang pada mulanya menyokong proklamasi kemerdekaan Indonesia dan kehadiran militer Belanda yang kuat kemudian di daerah itu, mungkin yang mencegah meletusnya di sini suatu "revolusi sosial" sejenis yang terjadi di Pekalongan dan Aceh. Ada beberapa petunjuk tentang dasar-dasar mula revolusi sosial demikian pada 1950, sesudah Belanda berangkat dan sebelum Pemerintah Republik menegakkan kekuasaanya didaerah ini. Demikianlah Jusuf Bauti melihat pada akhir 1950 ada tanda-tanda ke arah "revolusi sosial" di Makale. Kelompok-kelompok yang menginginkan dihapuskannya pranata-pranata dan praktek tradisional kuat sekali menurut dia. Keadaan yang serupa dilaporkan tentang Mandar; disini para pejuang Republik berusaha melenyapkan para penguasa tradisional dengan paksa bahkan selama revolusi.Sejumlah mereka itu benar-benar terbunuh. Namun, kecenderungan yang relevan tak pernah memperoleh momentum, karena penguasa daerah itu, Maraddi dari Balanipa, mendukung perjuangan Republik. Dia jugalah yang menjadi kepala Pemerintahan Sipil dari distriknya yang dipilih rakyat pada 1950. Kecenderungan-kecenderungan yang sama ini terlihat dalam tujuan-tujuan Gukrindo, yang dibentuk Kahar Muzakkar, 1951. Seperti ternyata dari anggaran dasarnya, tujuannya termasuk melindungi rakyat terhadap kapitalisme monopoli, didirikannya lembaga-lembaga untuk mendidik rakyat dan poliklinik-poliklinik di desa-desa, dan penghapusan buta huruf dan pengangguran.
Kahar Muzakkar berusaha melenyapkan praktek-praktek tradisional di Sulawesi Selatan dengan menanggulangi jebakan-jebakan luarnya. Demikianlah Piagam Makalua berusaha menghapuskan penggunaan gelar atau kehormatan sengaja atau tidak sengaja. Sesuai dengan itu penggunaan gelar.gelar seperti andi, daeng, gede-bagus, teuku, dan raden dilarang. Dalam kegiatannya untuk menegakkan persamaan, dia juga melarang penggunaan gelar khas Islam seperti haji, demikian pula kata-kata umum yang digunakan untuk menghormat, seperti bapak atau ibu. Kata-kata ini juga dicap feodal. Selanjutnya Piagam Makalua menyatakan perang terhadap semua orang turunan bangsawan atau aristokrat yang tidak mau membuang gelarnya, demikian pula terhadap kelompok-kelompok mistik yang fanatik (pasal 15-16).
Bagian lain dari bab yang sama membicarakan pemilikan harta benda pribadi oleh "Pejuang-pejuang Islam revolusioner" dan keluarganya. Demikianlah mereka dilarang memiliki atau memakai emas dan permata, mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan mahal seperti wol atau sutera, menggunakan minyak rambut, pemerah bibir atau bedak, dan memakan makanan atau minuman yang dibeli di kota yang dikuasai musuh, seperti susu, coklat, mentega, keju, daging atau ikan kalengan, biskuit, gandum, gula tebu, dan teh (pasal 50). Bila barang-barang ini dengan sah telah dalam penguasaan pemilik yang sekarang, maka organisasi revolusioner akan membeli atau meminjamnya: bila sebaliknya barang-barang ini diperoleh melalui "penipuan moral", maka barang-barang ini akan disita (pasal 52).
Masih dalam hubungan ini, peraturan-peraturan yang lebih ketat ditetapkan dalam Catatan Bathin Pejuang Islam Revolusioner. Kahar Muzakkar di sini menganut pandangan revolusi moral dan spiritual. Di samping itu dia yakin, tidak mungkin terdapat perbaikan materiil tanpa perubahan revolusioner dalam pemikiran. Ketika mendengar keluhan-keluhan rakyat dan menyaksikan "krisis moral" dan "kecenderungan anak buahnya terhadap kesenangan dan hidup yang mewah", Kahar Muzakkar menempuh gerakan sosialisme primitif. Gerakannya mulai 1 Maret 1955, dan direncanakan berlangsung enam bulan, dan selama masa ini prajurit-prajurit Kahar Muzakkar dan keluarga mereka harus menyerahkan semua milik yang dianggap Kahar Muzakkar bersifat mewah atau berlebihan. Emas dan intan gosokan harus "dipinjamkan" kepada Pemerintah Militer, yang akan mengubah barang-barang ini menjadi uang tunai melalui pedagang-pedagang tepercaya di kota-kota. Dengan uang yang terkumpul lewat cara ini akan dibeli senjata dan keperluan yang lain-lain.
Dalam usahanya memberikan isi kepada gagasannya, Kahar Muzakkar mulai mendirikan poliklinik-poliklinik, sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, dan akademi ilmu sastra. Agar akademi ini memperoleh bahan-bahan yang diperlukannya, pasukannya menggedor perpustakaan di Majene, dan menurut laporan 2.500 judul. Diculiknya pula dokter-dokter untuk bekerja di poliklinik-polikliniknya.
Kahar Muzakkar juga seorang Muslim yang saleh. Walaupun ada kalanya orang-orang Kristen yang menjadi korban serangan yang dilakukan pasukannya, dan hal ini biasanya banyak dipersoalkan, tampaknya orang yang bersangkutan hanya dibunuh bila mereka melawan para pejuang mujahidin dan menolak memberikan makanan dan informasi kepada mereka. Pada umumnya orang-orang sipil—Muslim dan Kristen sama saja—diperlakukannya dengan baik. Demikianlah dilaporkan, "gerombolan-gerombolan di bawah pimpinan Kahar Muzakkar masih menghormati hak-hak kemanusiaan" ... dan ... "yang menjadi kenyataan ialah, para pejuang melakukan tekanan pada orang-orang Muslim agar mematuhi suruhan Tuhan dan sembahyang lima kali sehari"
Pada 1950 dan 1951 banyak orang yang karena memikirkan jasa-jasa pejuang mujahidin selama perjuangan kemerdekaan, terus juga mendesak adanya suatu penyelesaian lewat perundingan. Panglima Tentara Indonesia Timur mula-mula menganut sikap yang lunak, dan berhasil dalam paruh pertama 1952 memikat beberapa komandan bawahan Kahar Muzakkar. Tetapi sesudah Peristiwa Oktober, J. F Warouw mengambil alih pimpinan Tentara Republik, sikapnya tadi makin tidak kenal kompromi.
Sikap tidak kenal kompromi yang sama diperlihatkan Warouw dan komandonya pada Februari tahun berikutnya, ketika Presiden Soekarno mengunjungi Sulawesi Selatan dan minta Kahar Muzakkar menyerahkan diri—salah satu upaya pribadi Soekarno yang banyak untuk meyakinkan kelompok-kelompok yang memberontak agar menghentikan pertempuran. Kunjungan khusus Soekarno ini merupakan bagian dari jenis perjalanan ke daerah-daerah pusat kekacauan yang istimewa. Sebelum mengunjungi Sulawesi Selatan dia ke Kalimantan dulu. Di sini pun terjadi jihad bekas pejuang mujahidin, yang beberapa waktu kemudian turut gerakan Darul Islam. Perjalanan ini merupakan petunjuk ketegangan dan keresahan yang terdapat pada tahun-tahun mula sesudah 1949 ketika Pemerintah Republik dihadapkan pada segala macam resistensi politik Islam besar dan kecil serta kekacauan dan pertentangan dalam negeri.
Kahar Muzakkar menulis surat-suratnya tersebut di atas kepada Soekarno dan J.F. Warouw hanya dua bulan sebelum kunjungan Soekarno ke Sulawesi Selatan. Terdapat harapan akan tercapainya penyelesaian. Bahkan desas-desus beredar mengenai pertemuan Kahar Muzakkar dengan Soekarno pada kunjungan Soekarno ke Pare-pare. Soekarno sendiri tidak pula meniadakan kemungkinan penyelesaian damai. Dalam pidatonya di Pare-pare sesungguhnya secara tidak langsung diimbaunya Kahar Muzakkar agar keluar dari hutan dengan menyatakan, "Kemerdekaan Indonesia bukanlah miliknya Bung Karno atau rakyat di kota-kota saja, tetapi juga miliknya Kahar Muzakkar, miliknya Hamid Gali, miliknya yang lain-lain juga". Penekanan pada persatuan dan keinginan akan menguburkan perbedaan-perbedaan yang lampau juga jelas dalam suatu pesan tertulis yang ditinggalkan Soekarno di Pangkajene. Katanya dalam tulisan itu, "Rakyat Pangkajene, kemerdekaan Indonesia adalah buah hasil perjuangan kita bersama. Marilah kita waspada, agar jangan ada hal yang jadi ternoda oleh tindakan-tindakan kita sendiri".
Pada bulan Oktober, pada kunjungan singkat yang kedua ke Sulawesi, Soekarno mengulangi himbauannya kepada kaum pejuang mujahidin dan sekali lagi meminta dengan sangat kepada Kahar Muzakkar agar kembali ke jalan yang benar dan menyerukan kekacauan di pulau itu diakhiri. Walaupun Tentara menentang, imbauan Soekarno yang diperbaharui ini berarti kesempatan baru bagi para pejuang mujahidin untuk menyerah. Mei tahun berikutnya Soekarno menyampaikan; imbauannya yang ketiga. Kali ini diperingatkannya, tidak mungkin terus-menerus dia meminta kaum pejuang mujahidin agar meletakkan senjatanya, dan bahwa kesabarannya dapat berakhir. Dalam hal demikian akan diperintahkannya semua cabang-Angkatan Bersenjata menumpas kaum mujahidin Darul Islam. Lagi-lagi imbauan ini gagal. Walaupun Perdana Menteri ketika itu, Wongsonegoro, melaporkan menyerahnya dua pertiga kaum pejuang mujahidin, keterangannya jauh dari kebenaran dan tidak jelas dari mana informasinya diperoleh. Pemerintah Pusat, yang percaya bahwa setidak-tidaknya terdapat ribuan orang, mengirimkan sebuah tim ke Sulawesi Selatan untuk mengatur penerimaan. Ketika tiba di sana tim ini terheran-heran sekali karena hanya beberapa orang ternyata yang menyerah, bahkan disebut angka hanya sembilan orang.
Salah satu sebab tidak berhasilnya Tentara Republik di daerah itu adalah, kesatuan-kesatuan yang sebagian terdiri dari orang Jawa Timur harus bertempur dalam medan yang tidak dikenal dan lingkungan yang tidak bersahabat. Hal ini sangat merugikan mereka, apalagi karena topografi daerah menyulitkan bagi mereka untuk memanfaatkan senjata-senjata mereka yang unggul. Ada kalanya tidak mungkin memberikan dukungan artileri kepada para prajurit yqng melakukan patroli medan. Karena kurangnya perhubungan, dukungan artileri atau udara biasanya terlambat datang atau tidak datang sama sekali.
Di samping itu pejuang mujahidin Kahar Muzakkar, yang berpegang pada prinsip moment operasi pemimpin mereka, menghindarkan pertempuran sedapat-dapatnya bila keadaan tidak menguntungkan mereka. Bertahun-tahun barulah pasukan Republik mendapatkan metode menghadapi taktik gerilya ini. Celakanya lagi bagi Tentara, koordinasi antara satuan-satuan gerilya yang tersendiri berangsur-angsur membaik, sementara Kahar Muzakkar pun berhasil meningkatkan kapasitas tempur pasukannya, Yang akhir ini dicapainya dengan membentuk empat satuan kawakan, sebagian dengan maksud untuk menumpas Tentara Kemerdekaan Rakyat Usman Balo. Satuan-satuan ini diberinya nama Momok (Moment Mobile Komando). Keempat satuan Momok ini masing-masing mempunyai ukurannya sendiri menurut warna yang dinyatakan oleh namanya—merah, hitam, hijau, dan putih—dengan bulan bintang dicat di atasnya. Menurut laporan inteligen Batalyon 711 sejak awal 1957 Kahar Muzakkar pribadi memimpin satuan yang putih, sedangkan Momok yang hijau, hitam, dan merah dipimpin masing-masing oleh Partawari, Sjamsul Bachri, dan Andi Masse.
Disamping itu Kahar Muzakkar sendiri menolak setiap tawaran perdamaian. Dengan penuh Istiqomah terhadap keislaman dia benar-benar sepenuhnya mengabdikan diri kepada perjuangan Darul Islam dan tidak mau tahu tentang setiap perundingan selain pengakuannya terhadap Negara Islam Indonesia. Keadaan masih baik sekali baginya, dan di samping menguasai bagian Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, dia berusaha meluaskan pengaruhnya ke daerah-daerah di 1uar Sulawesi. Demikianlah dikirimnya pasukan ke Kalimantan Selatan untuk membantu pejuang mujahidin Ibnu Hadjar, dan ke Halmahera serta Maluku untuk melakukan resistensi politik gerakan Darul Islam di bagian-bagian ini. Walaupun ada berita-berita tentang kegiatan Darul Islam di dua daerah yang terakhir, ini tidaklah banyak jumlahnya. Di Maluku Kahar Muzakkar berusaha memperoleh kerja sama dari apa yang tersisa dari RMS. Sesungguhnya ada rencana untuk memproklamasikan Maluku sebagai bagian dari wilayah Negara Islam Indonesia pada 1 Februari 1955. Tetapi sebelum rencana ini dapat terlaksana, bakal panglima Tentara Islam Maluku, Latang, ditangkap.
Demikianlah tentara Kahar Muzakkar pada tahun-tahun kemudian terdiri dari tiga pasukan yang berlainan: Momok, Tentara Islam Indonesia (sekarang terdiri hanya dari dua "divisi", yaitu Divisi 40.000 yang dipimpin Bahar Mattaliu dan Divisi Hasanuddin pimpinan Sjamsul Bachri), dan suatu Kesatuan Permesta. Pada masa pemberontakan PRRI/Permesta diadakannya reorganisasi lagi, dengan membentuk Momok baru, Momok Ansharullah (pembantu-pembantu Allah); rupanya Kahar Muzakkar ingin mengintegrasikan ke dalamnya tidak hanya Momok lama, tetapi juga bagian terbesar kedua divisi TII yang tersisa. Rencana ini menimbulkan pertentangan antara dia dan beberapa komandan bawahannya, terutama dua wakilnya yang terpenting ketika itu — Bahar Mattaliu dan Sjamsul Bachri. Bahar Mattaliu menuduhnya bermaksud menghancurkan Tentara Islam Indonesia di Sulawesi, dan kemudian menulis, mengenai Momok Ansharullah: "Baru sesudah Momok Ansharullah dibentuk mulai ketahuan, gagasan Kahar Muzakkar untuk membentuk Momok ini tidak lain daripada pendahuluan rasionalisasi TII besar-besaran atau bahkan menghapuskannya seluruhnya, karena TII telah ketularan panyakit krisis moral yang menyebabkan merosotnya sama sekali daya tempurnya". Akibat perlawanan komandan-komandan ini TII tetap dipertahankan hidup, walapun kurang mutunya. Momok berfungsi sebagai pasukan gerak cepat, dan jauh lebih baik persenjataannya ketimbang yang lain. Dalam konfrontasi dengan pasukan Republik biasanya TII yang menyerang lebih dulu, bersama-sama dengan satuan-satuan yang hanya bersenjatakan golok dan pisau. Sesudah mereka kena pukulan pertama, satuan-satuan Momok pun mulai digerakkan, maju "besar-besaran, gelombang demi gelombang".
Dengan adanya pertentangan tersebut hampir saja terjadi konflik bersenjata antara kedua pihak, yaitu Kahar Muzakkar yang memimpin pasukannya melawan Bahar Mattaliu dan komandan-komandan divisi 40.000 yang menolak dimasukkan dalam Momok Ansharullah. Pada akhirnya Kahar Muzakkar memberikan Bahar Mattaliu pilihan menjadi Wakil Menteri Pertahanan Negara Islam Indonesia—mestinya dia sendiri—, atau pergi ke luar negeri melakukan wisata studi. Menurut Bahar Mattaliu dia memilih alternatif yang kedua karena takut dituduh menyaingi Kahar Muzakkar.
Dalam kenyataan yang sesungguhnya dia mempersiapkan diri untuk menyerah. Pada 5 September 1959 seorang utusannya mengunjungi Pimpinan Militer Sulawesi Selatan dan Tenggara. Pada sat mendengar maksud Bahar Mattaliu akan menyerah, Pimpinan Militer lalu mengumumkan amnesti. Pada 12 September, Bahar Mattaliu yang menyebut dirinya Panglima DI/TII Sulawesi Selatan dan Tenggara, secara resmi menyerahkan diri dan mengimbau kepada anggota-anggota Tentara Islam lainnya untuk berbuat demikian pula. Di samping itu surat-surat selebaran dijatuhkan pesawat-pesawat Tentara Republik. Di dalamnya Bahar Mattaliu dalam dengan memanpaatkan jabatan yang telah dikhianatinya sendiri, bahkan mengaku ngaku sebagai Panglima Divisi IV, atau Divisi Hasanuddin DI/TII memerintahkan semua perwira militer dan pejabat sipil Negara Islam di Sulawesi Selatan menyerah kepada Republik. Selanjutnya dilarangnya anggota-anggota DI/III masuk ke dalam Momok Ansharullah atau Permesta karena, katanya menegaskan, kegiatan kedua kelompok pemberontak ini bertanggung jawab akan kehancuran Sulawesi Selatan. Sebuah perintah bathil dibungkus keindahan kata yang menipu (lihat Q.S. 6:112)
Momok Ansharullah juga menjadi sasaran serangan dalam suatu pamflet yang ditulis Bahar Mattaliu dengan judul Manifesto Tahun 1379 H yang di dalamnya dikemukakan, "langkah-langkah Kahar Muzakkar semuanya bertentangan dengan Islam". Pamflet ini, walaupun pengantarnya diberi bertanggal 25 September 1950 (1959), yaitu dua minggu sesudah penulisnya menyerah, namun Bahar mattaliu berusaha menimbulkan kesan seakan akan pamflet itu ditulis ketika ia masih di hutan. Di dalamnya disebutkan sejumlah faktor yang merugikan revolusi Islam, antara lain berkembangnya Momok Ansharullah menjadi sesuatu yang sangat berbeda dari apa yang semula dimaksudkan atau yang disepakati, yaitu suatu kesatuan khusus yang bergerak bahu membahu dengan Tentara Islam dan berfungsi juga sebagai pengawal Kahar Muzakkar. Ia menyesalkan kebijaksanaan Kahar Muzakkar yang memberikan senjata yang terbaik ini selalu kepada Momok dan upayanya untuk memasukkan kesatuan-kesatuan militer yang lain ke dalamnya. Faktor merugikan kedua, demikian yang disebutnya, ialah kegagalan untuk mengubah pasukan Permesta Gerungan menjadi pasukan pembantu mendukung TII dalam memperjuangkan negara Islam.
Pada 28 November Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang memberikan amnesti kepada semua yang berada di Sulawesi Selatan, yang telah menyerah antara 12 September dan 28 November. Bahar Mattaliu karena itu diperlakukan dengan amat bermurah hati oleh Pemerintah Republik. Penyerahannya dihubungkan dengan keberhasilan operasi-operasi militer Tentara Republik dan karena itu digunakan untuk tujuan propaganda. Sebaliknya, kaum pejuang mujahidin menuduhnya berkhianat serta kena suap dan berusahaa mengecilkan pengaruh pembelotannya. Menurut pandangan mereka, seperti dinyatakan majalah PRRI Information ".... Bahar Mattaliu dan sebagian kecil dari kesatuannya, tetapi bersama beberapa puluh ribu penduduk desa dari sekitarnya yang tidak sanggup lebih lama lagi menahan tekanan ekonomi dewasa ini, "menyeberang" ke pihak Pemerintah dan diterima dengan tangan terbuka serta dijanjikan mendapat tunjangan Rp 250.000",
Bahar Mattaliu sendiri menyombong, pada masa segera sesudah dia menyerah Kahar Muzakkar kehilangan kira-kira tujuh puluh persen pengikutnya. Pembelotannya memang merupakan kemerosotan bagi Kahar Muzakkar. Untuk kedua kalinya dalam masa resistensi politik harakah Darul Islam-nya dia kehilangan sebagian pengikutnya karena perselisihan intern. Di pihak lain, hal ini membebaskannya dari salah seorang saingannya, yang seperti telah kita lihat di atas, telah dipikirkannya akan mengambil langkah untuk menggesernya dari komandonya. Dengan tersingkirnya Bahar Mattaliu dan Sjamsul Bachri —yang telah dikirimnya ke luar negeri —dia telah melepaskan dirinya dari dua lawan utamanya yang potensial. Tetapi sebelum dia dapat berkuasa lagi dengan kukuh, dia harus pula menyelesaikan persoalannya dengan pasukan Gerungan. Pasukan yang sebagian besarnya beragama Kristen ini juga bermaksud membelot dan harus dengan paksa ditundukkan. Terjadi pertempuran antara kedua kekuatan yang bertentangan ini pada awal 1960, dengan kemenangan di pihak Kahar Muzakkar. Dia lalu menangkap Gerugan bersama 150 pengikutnya, yang kemudian beralih menganut agama Islam. Sesudah ini Gerungan menjadi salah seorang pengikut Kahar Muzakkar "yang paling tepercaya" dan akhirnya malahan menjadi Menteri Pertahanannya.
Pada tahun-tahun ini operasi-operasi militer yang kini lebih baik terorganisasi dan terkoordinasi, akhirnya membuahkan hasil. Berangsur-angsur jalan raya di bagian paling selatan dibersihkan, dan jalan yang menghubungkan Bone dengan Camba melalui Maros dapat lagi normal digunakan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun. Kahar Muzakkar kian lama kian terdesak ke pedalaman dan harus mundur ke dua benteng pertahanannya tahun-tahun awal perjuangannya, yang satu tempatnya di Sulawesi Tenggara, di pegunungan sebelah utara Kolaka, yang lain di daerah Latumojang, dekat Palopo, yang sejak dulu merupakan tempat perlindungan bagi rakyat yang melarikan diri dari pengejaran karena melanggar hukum adat.
Kepastian akhir gerakan Darul Islam menyusul pada 1964 dan 1965. Dalam operasi militer berurut-turut yang mendahuluinya Kahar Muzakkar berangsur-angsur makin mengalami kemunduran. Sebagian berkat kenyataan kini mampu menggerakkan lebih banyak pasukan dalam aksi, tetapi sebagian juga berkat keadaan bahwa prajurit-prajurit yang berasal Sulawesi Selatan kian memainkan peranan penting dalam perencanaan dan pelaksanaan operasi-operasi ini, Tentara Republik kini berhasil. Dalam hal yang akhir ini termasuk panglima militer Sulawesi Selatan dan Tenggara yang tersebut di atas, Jusuf, seorang putra asli Bone, dan kawan-kawan seperjuangan lama Kahar Muzakkar, Andi Sose dan Azis Taba. Sebagai panglima militer daerah, M.Jusuf pribadi memimpin operasi-operasi terakhir terhadap Darul Islam Kahar Muzakkar, Operasi Tumpas dan Operasi Kilat, dengan Solihin sebagai kepala staf, yang sebagai panglima Divisi Siliwangi telah banyak pengalamannya dalam aksi-aksi membasmi berbagai perjuangan politik Islam dan berbagai harakah politik Islam. Walaupun pada mulanya Andi Sose juga turut aktif ambil bagian dalam gerakan terhadap Kahar Muzakkar, malahan pada suatu waktu sempat memimpin operasi-operasi pokok terhadapnya, Pimpinan Tentara tetap tidak mempercayainya sebagai bekas komandan KGSS yang masih mempunyai banyak dukungan di kalangan para prajuritnya dan di kalangan rakyat setempat, dan yang mau bertindak menurut keinginannya sendiri. Akhirnya ia dipindahkan dari kesatuannya, dan pada 1964 ia ditangkap.
Seorang bekas komandan batalyon KGSS lain yang menjadi korban kebijaksanaan Komando Tentara Sulawesi Selatan dan Tenggara yang mengetatkan pengawasannya atas komandan-komandan militernya dan —seperti Andi Sose—kehilangan kekuasaannya, ialah Andi Selle. Penyelesaian kasusnya terjadi pada 1964. Dia masuk hutan dan guna membicarakan perbedaan-perbedaan-antara mereka secara tuntas, diundangnya Jusuf untuk mengunjunginya dekat Pinrang. Pada pertemuan ini tampaknya semua berjalan lancar dan telah tercatat persetujuan. Tetapi kemudian, ketika Andi Selle menyertai Jusuf dalam mobilnya menuju Pare-pare untuk menunjukkan kepada rakyat "bahwa ia benar-benar bersedia bekerja sama", beberapa orang anak buahnya yang turut serta dalam mobil-mobil tersendiri memotong jalan mobil yang dikendarai Andi Selle dan Jusuf. Kemudian Jusuf dan Andi Selle keluar, dan Andi Selle memerintahkan anak buahnya menembak Jusuf. Jusuf tidak kena, tetapi dalam tembak-menembak yang terjadi Andi Selle, yang berhasil melarikan diri tertembak bahunya. Lalu ia pun dinyatakan sebagai pejuang mujahidin. Sejak itu aksi militer Republik tidak hanya ditujukan terhadap Kahar Muzakkar, tetapi juga terhadap Andi Selle yang bergerak di jajaran Gunung Sawitto dekat Pinrang. Tetapi perjuangan Andi Selle tidak panjang usianya. Dikhianati salah seorang pengikutnya sendiri, Andi Selle diserang pasukan Republik pada akhir Agustus. Dia sendiri sempat lolos, tetapi ketika melarikan diri dia terjatuh ke dalam jurang, luka-luka dan meninggal keesokan harinya, 1 September 1964. Kini Tentara dapat memusatkan perhatiannya seluruhnya pada Kahar Muzakkar. Pertama-tama mereka mengadakan pembersihan di daerah Latumojang, dengan memaksa Kahar Muzakkar mengundurkan diri ke Sulawesi Tenggara. Di sini dia dikejar oleh pasukan Republik yang—seperti juga yang dihadapi kesatuan-kesatuan yang digerakkan terhadap Andi Selle—mendapat perintah tidak boleh kembali sebelum mereka menangkap si pemimpin pejuang mujahidin hidup atau mati. Pada 1 Februari 1965 akhirnya mereka menemukan tempat persembunyiannya di Sungai Lasolo yang pada 3 Agustus terus mulai mereka serang. Gubuk yang diduga tempat Kahar berlindung habis berlubang-lubang ditembaki peluru, sehingga terpaksa dia keluar. Dia ditembak dan tewas sebelum sempat lima meter melangkah
Dengan meninggalnya Kahar Muzakkar pejuang mujahidin Darul Islam di Sulawesi Selatan benar-benar berakhir. Menteri Pertahanannya, Gerungan, ditangkap pada bulan Juli, dan kemudian diadili serta ditembak mati. Sesudah itu Pemerintah tetap waspada terhadap sisa-sisa pejuang mujahidin sampai akhir 1960-an. Ketika kunjungan Soeharto ke Sulawesi Selatan pada 1969 kemungkinan kegiatan-kegiatan Darul Islam sekitar Kolaka dan Kendari masih merupakan pertimbangan keamanan, walaupun bersamaan dengan itu diumumkan, mereka tidak lagi merupakan ancaman yang nyata bagi keamanan umum daerah itu.
Bila di Jawa Barat kehancuran jihad diawali dengan memposisikan Ali Murtado yang jelas jelas telah turun gunung menjadi wakil pemerintah NII di Jakarta, maka di Sulawesi selatan kita melihat betapa akibat akibat yang bisa ditimbulkan oleh pengkhianat perjuangan Islam. Dalam sebuah perumpamaan dikatakan bahwa sebuah pohon kayu yang besar mengeluhkan deritanya kepada kampak yang terus menerus dihantamkan penebang kayu untuk menumbangkannya. Kampak mengatakan bahwa dirinya memjadi mampu digunakan orang untuk menumbangkannya, karena ada kawanmu juga (sesama kayu) yang mau menjadi gagang kampak ini. Alloh tidak pernah membuka jalan bagi orang orang kafir untuk mengalahkan orang orang yang beriman, kekalahan itu dibuka oleh kalangan muslimin sendiri yang telah mengkhianati keimanannya .

DARUL ISLAM KALIMANTAN SELATAN
Sebagaimana halnya peristiwa yang terjadi di Sulawesi, perlawanan terhadap Pemerintah Republik meletus di Kalimantan, dimana kejadiannya baru saja setelah pengakuan resmi kedaulatan Indonesia, akhir tahun 1949. Adapun yang menjadi daerah utama yang dipengaruhi oleh gerakan perlawanan yang bergabung dengan Darul Islam ini adalah bagian tenggara Kalimantan, kira-kira bersamaan dengan provinsi Kalimantan Selatan yang sekarang. Pusatnya ialah Kabupaten Hulusungai, khususnya daerah antara Barabai dan Kandangan. Di samping itu daerah sebelah timur ini, terdiri dari Kabupaten Kota Baru, dan ke selatannya, yaitu Kabupaten Banjar.
Sesudah dibentuk Tentara dan Territorium Kalimantan dan subdivisinya nama Divisi Lambung Mangkurat berangsur-angsur kurang dipakai, akhirnya-hilang sama sekali, dan sebagian anggotanya ditempatkan di bagian-bagian lain Indonesia. Karena itu pasukan Hassan Basry hanya disebut pasukan Subwilayah Tiga saja. Satuan-satuannya yang terdiri dari bekas pejuang ALRI Divisi IV dikirim ke Kalimantan Timur, Tenggara, dan Barat. Yang lain-lainnya dikirim guna membantu menumpas perjuangan suci Darul Islam di Jawa Barat. Selanjutnya Divisi ini banyak kehilangan perwiranya, ketika empat puluh sampai lima puluh orang dari mereka ini dikirim ke Yogyakarta untuk mengikuti kursus khusus untuk para perwira di Akademi Militer Nasional. Barangkali karena kesalahan komunikasi— bukan terutama karena maksud-maksud buruk—para perwira ini tiba di Yogyakarta hanya untuk mengetahui, Akademi Militer Nasional telah ditutup lebih dari setahun, sudah sejak didudukinya kota itu oleh pasukan Belanda sejak "aksi militer" kedua. Sejumlah dari mereka itu lalu terus berangkat ke Surabaya; memang di sini terdapat pusat pendidikan militer. Hanya satu orang dari mereka itu akhirnya menyelesaikan pelajarannya. Yang lain-lainnya kembali ke Kalimantan; tak lama kemudian mereka yang menolak masuk Tentara Republik atau tidak mau didemobilisasikan, turut bersama pejuang mujahidin masuk hutan. Tetapi kali ini mereka masuk hutan untuk menentang Tentara Republik.
Dalam golongan yang akhir ini termasuk Ibnu Hadjar, nama aslinya Haderi. Lahir di Kandangan, April 1920, kata orang wataknya keras dan suka berkelahi sejak kanak-kanak, dan benar-benar jadi kepala jagoan dalam setiap percekcokan. Haderi menggunakan nama Ibnu Hadjar ketika turut berjuang untuk kemerdekaan melawan Belanda. Kelak dia menjadi perwira dalam ALRI Divisi IV dengan pangkat letnan dua, memimpin satuan-satuan gerilya sekitar Kandangan.
Pada masa mula sejak pembelotannya dalam triwulan pertama 1950, pengikutnya hanyalah kira-kira enam puluh orang. Selama kira-kira tiga bulan pertama mereka berdiam diri dan tidak melakukan sesuatu. Serangan pertama terhadap pasukan Republik dilancarkan pada pertengahan 1950. Pada waktu itu kekuatan Ibnu Hadjar telah membesar sampai kira-kira dua ratus orang bersenjata dengan kira-kira lima puluh bedil. Walaupun cepat pertumbuhannya karena kian banyak bekas pejuang mujahidin yang tidak puas masuk pasukannya, kemungkinan akan tercapainya persetujuan masih belum tertutup. Pada awal Oktober, dalam menyambut upaya Republik Indonesia mencari penyelesaian damai terhadap masalah ini, Ibnu Hadjar melapor kepada penguasa di Kandangan. Sesudah dibebaskan agar berusaha membujuk pengikutnya untuk menyerah pula, dia pun menghilang ke dalam hutan untuk selama-lamanya.
Ibnu Hadjar menemukan organisasi gerilya baru yang dipimpinnya Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT). Nama ini diambil untuk menyatakan solidaritas nasib para bekas pejuang mujahidin. Dalam hal ini Pemerintah Republik menyalahkan mereka sebagai penyebab kerusuhan yang terjadi di Kalimantan, tetapi dari pihak pejuang mujahidin menuduh Pemerintahlah yang melakukan pengkhianatan dan penindasan. Ada dua penyebab yang menambahi perasaan ini timbul yaitu: tentang cara menangani demobilisasi bekas pejuang gerilya di Kalimantan, dan perlakuan Pemerintah dan Tentara Republik terhadap rakyat pedesaan di daerah ini.

Tugas untuk menyelesaikan masalah ini diserahkan kepada orang yang paling memenuhi syarat untuk ini: Hassan Basry, bekas komandan gerilya. Pada 20 September 1950 dia diserahi pimpinan Komando Penyelesaian Hulusungai. Bulan berikutnya daerah itu diberi Bantuan Militer (Militaire Bijstand), dan satuan-satuan Tentara Republik masuk lagi untuk memulihkan keamanan. Pertama-tama Hassan Basry mencari penyelesaian damai. Karena itu ia mengeluarkan perintah kepada semua pejuang yang belum menyerah untuk berbuat demikian sebelum 10 Oktober, dan dia berusaha berhubungan dengan pemimpin-pemimpin gerilya untuk berusaha mengetahui kehendak mereka.
Seperti terlihat di atas, Ibnu Hadjar termasuk mereka yang mematuhinya. Tetapi dia menghilang, untuk tidak kembali lagi untuk selama-lamanya, ketika diberi kesempatan kembali ke hutan untuk berhubungan dengan para pengikutnya dan membujuk mereka supaya menyerah pula.
Ketika pejuang di hutan tetap menolak untuk menyerah dan melanjutkan tindakan mereka, mula-mula di daerah Barabai, Birayang, Batumandi, dan Paringin kemudian juga sekitar Kelua dan Kandangan, habislah kesabaran Hassan Basry. Walaupun pasti dia menaruh simpati akan tuntutan mereka, diputuskannya melakukan tindakan militer terhadap mereka. Karena itu pada 16 Oktober Komando Penyelesaian Hulusungai mengumumkan, penyelesaian secara damai kini sudah tidak mungkin, Tentara dan Polisi memulai pembersihan daerah itu. Bersamaan dengan itu diadakan jam malam—di Hulusungai Utara dari pukul 2 pagi sampai 5 pagi, dan di Hulusungai Selatan, yang keadaannya dianggap paling berbahaya, dari pukul 8 malam sampai pukul 5 pagi.
Ibnu Hadjar membalas pembersihan yang dilancarkan Pemerintah dengan meningkatkan kegiatan-kegiatannya sendiri. Dalam waktu sepuluh hari sesudah gerakan Tentara dan Polisi dimulai, kaum pejuang mujahidin menyerang Kota Kandangan tiga kali. Namun Bantuan Militer untuk Hulusungai, yang baru saja berlangsung sebulan, ditarik pada awal November.
Demikianlah usaha-usaha Komando Penyelesaian Hulusungai tak berhasil apa-apa. Pada 11 November komando ini dibubarkan, dan cara-caranya, terutama penggunaan paksaan oleh Hassan Basry, ditolak penguasa. Alasan mereka untuk membenarkan langkah membubarkan komando ini ialah, yang diperlukan ialah penyelesaian secara damai. Tanggung jawab untuk ketenteraman dan ketertiban kini dipercayakan kepada Komando Petak Pertahanan Utara, yang terdiri dari Hulusungai dan Barito. Tak lama sesudah itu Hassan Basry menyerahkan pimpinan pasukan Republik di Kalimantan Selatan— kini disebut Brigade F—yang diambil alih oleh Mayor H.T. Sitompul.
Keputusan untuk membubarkan Komando Penyelesaian Hulusungai dan untuk berusaha lagi membujuk pejuang meletakkan senjata mereka melalui perundingan diambil hanya beberapa hari sebelum pengumuman Pemerintah Pusat tentang tawaran amnesti, November 1950. Seperti terlihat di atas, tawaran ini tidak berlaku bagi Sulawesi Selatan dan Kalimantan; untuk daerah-daerah ini diusahakan penyelesaian tersendiri. Jangka waktu bagi kaum pejuang mujahidin untuk menyerah di Kalimantan berlaku dari 5 Desember 1950 sampai 15 Januari 1951. Pejuang yang menyerahkan diri pertama-tama diperiksa daftar kejahatannya. Bila daftar ini bersih, mereka diberi pilihan masuk Angkatan Bersenjata atau menjadi pegawai negeri, atau kembali ke kehidupan sipil.
Tetapi hasil imbauan ini mengecewakan. Walaupun ada kabar-kabar Ibnu Hadjar bersedia menyerah, hal ini tidak terjadi. Zafry Zamzam, yang ketika itu menjadi ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Hulusungai, diutus untuk berunding dengan dia. Dia memang bertemu dengan Ibnu Hadjar dan dijelaskannya syarat-syarat Pemerintah yang ditawarkan kepadanya, tetapi tak berhasil dia membujuknya agar menyerah.
Hanya sebagian kecil pejuang yang menyerah minggu-minggu sebelumnya. Di Kandangan hanya delapan, tak seorang pun membawa senjata. Di luar Kandangan, hasilnya sedikit lebih baik, dengan 1.063 pejuang menyerah. Tetapi jumlah senjata api yang diserahkan masih mengecewakan sedikitnya, yaitu hanya kira-kira tiga puluh. Mayoritas mereka yang menyerah (kira-kira 400) tergolong pada kelompok yang menamakan dirinya Perkumpulan Banteng Borneo.
Dengan dimulainya aksi-aksi militer yang baru, Kandangan dinyatakan sebagai daerah militer, dan pos-pos tentara didirikan di seluruh daerah. Pada 26 Februari terjadi pertempuran pertama secara besar besaran dengan suatu kelompok kira-kira seratus pejuang yang berlangsung kira-kira tiga jam.
Dalam suasana tegang di Kalimantan Selatan, kehadiran Hassan Basry, yang masih tinggi dalam pandangan kaum pejuang , dianggap terlalu berbahaya. Karena itu Kementerian Pertahanan memberikannya beasiswa untuk belajar ke luar negeri. Maka Hassan Basry pun meninggalkan Kalimantan, pertama-tama menuju Jakarta dan kemudian menuju Mesir, Februari 1951. Keberangkatannya didorong pihak penguasa, karena mereka khawatir akan pengaruhnya di kalangan prajurit yang kecewa dan pejuang gerilya yang didemobilisasikan dan menganggapnya sebagai bahaya keamanan. Walaupun Hassan Basry harus tinggal di Mesir lebih dari empat tahun, perjalanannya tidak berhasil baik. Dia tak diterima sebagai mahasiswa di Mesir, dan harus melanjutkan pelajarannya pada tingkatan yang lebih rendah, mengikuti kursus dalam agama dan ilmu kemiliteran.
Keberangkatan Hassan Basry—yang tidak akan berada di Banjarmasin sampai Desember 1955 — memperkuat kecurigaan, kalangan penguasa militer berusaha menggerogoti pengaruh bekas ALRI Divisi IV dengan mencerai-beraikan anggotanya. Selanjutnya hal ini mengukuhkan Ibnu Hadjar dan pejuang mujahidin-pejuang mujahidinnya dalam keyakinan, mereka yang telah mengorbankan diri untuk perjuangan Republik Indonesia di Kalimantan selama revolusi kini ditempatkan di kedudukan bawahan. Semua ini menimbulkan yang disebut "gerakan anti-Jawa". Kalangan penguasa menyangkal, gerakan ini terjadi spontan, dan menyalahkan unsur-unsur tertentu yang berambisi hendak berkuasalah yang menimbulkan perasaan anti-Jawa. Rakyat daerah ini sendiri tidak menaruh dendam kepada orang Jawa, demikian Inspektur Polisi Banjar, Mahmud, menegaskan.
Dalam iklim ini Ibnu Hadjar dengan Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindasnya jadi menonjol. Dibandingkan dengan perjuangan harakah Darul Islam di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh, gerakan ini hanyalah gerakan kecil. Dengan jumlah pengikut mula hanya kurang dari seratus orang. Pada umumnya mereka hanya terdiri dari lima sampai lima puluh pejuang . Di samping itu, persenjataan mereka sangat kurang dan terus-menerus mereka dikejar pasukan Republik dan Polisi. Pada waktu Ibnu Hadjar masuk hutan, para pejuang mujahidin ditaksir memiliki empat bren dan enam sten gun dan satu-dua kodi bedil. Taksiran akhir 1953 mengatakan masing-masing lima puluh dan 148 senjata api seluruhnya selama masa mula, tetapi ini masih angka rendah juga. Sisa anak buah Ibnu Hadjar lainnya menggunakan senjata seperti pisau, pedang, tombak, dan sebagainya.
Karena kelompok-kelompok KRIyT kurang sekali persenjataannya dan begitu kecil jumlah anggotanya, gerakan Tentara Republik mula-mula berhasil. Sebagian besar senjata pejuang mujahidin yang sedikit itu dirampas, sehingga kelihatannya seolah-olah KRIyT tidak dapat bertahan. Taktik Tentara Republik bertujuan mengisolasikan musuh di pegunungan dan membiarkan mereka kelaparan sampai menyerah. Karena itu, mereka menutup semua jalan menuju ke daerah-daerah tempat pejuang mengundurkan diri, dengan hanya memperbolehkan orang yang ingin melaluinya membawa makanan cukup untuk satu hari saja. Akibatnya, banya.k pejuang mujahidin yang menyerah karena kekurangan makanan. Yang lain-lainnya ditangkap rakyat setempat, yang dijanjikan akan diberi hadiah untuk setiap pejuang yang mereka serahkan. Ini merupakan sumber pendapatan tambahan yang baik dan juga mengakibatkan orang berusaha menyimpan sendiri rahasia tempat persembunyian para pejuang . Ada perkelahian, karena seorang tertangkap dan masing-masing ingin mengakui dialah yang menangkapnya dan dengan demikian menerima hadiah. Dengan alasan yang bisa dimengerti, permintaan agar dibagikan senjata kepada penduduk dalam perlawanannya terhadap KRIyT ditolak. Hanya di Rantau dibagikan beberapa senjata. Ketika pada akhir 1952 rakyat Riam Kanan mengajukan permohonan memperoleh senjata, hal ini ditolak dengan keterangan, bila dalam masa revolusi mungkin mengalahkan Belanda dengan senjata tidak lebih dari bambu runcing, mengapa pejuang mujahidin, yang (dianggap oleh Pemerintah RI, pen.) adalah penjahat, tidak bisa dikalahkan dengan senjata demikian.
Pada akhir 1951 Pemerintah punya alasan untuk percaya, para gerilyawan KRIyT terisolasi di Hulusungai. Kalimantan Timur dan Barat — daerah yang akhir ini dengan pengecualian Ketapang — dianggap aman dan bebas dari pejuang dan penjahat. Maka, tanggung jawab mempertahankan hukum dan ketertiban di sini diserahkan kepada Polisi dan Pemerintahan Sipil oleh Tentara Republik. Di Hulusungai, di pihak lain, keadaan masih terasa kritis. Staat van Oorlog en Beleg atau Keadaan Darurat Perang dinyatakan berlaku untuk seluruh daerah ini, 1 November 1951. Kabupaten-kabupaten yang lain di Kalimantan Selatan, terutama Kotabaru, dianggap dalam keadaan pertengahan. Ada pula pejuang beroperasi di sini, tetapi lebih kecil ketimbang di Hulusungai. Selama bertahun-tahun Kotabaru mendapat perhatian khusus penguasa karena di sini mendarat bala bantuan untuk Ibnu Hadjar yang dikirim Kahar Muzakkar.
Namun, KRIyT selamat dari gerakan pengamanan, dan sesudah SOB dicabut Juli 1952 berangsur-angsur mereka pulih dari pukulan-pukulan pertama. Ini sebagian karena-pihak penguasa salah perhitungan. Pada waktu SOB berakhir mereka memutuskan — mengingat kegiatan gerilya yang berkelanjutan—Tentara Republik harus terus memberikan bantuan militer. Tetapi enam bulan kemudian mereka mencabut putusan ini. Bencana yang diakibatkan KRIyT dalam dua setengah tahun bergeraknya sampai ketika itu banyak sekali, walaupun tampaknya tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan bencana di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.
Pemerintahan sipil—yang sesudah bantuan militer berakhir seluruhnya bertanggung jawab memelihara hukum dan ketertiban—memulai tugasnya dengan gairah. Gubernur Kalimantan, Dr. Murdjani, segera memulai serangkaian pembicaraan dengan anggota-anggota yang terpenting dari kalangan pamong praja dan Angkatan Kepolisian, alimulama, wakil partai-partai politik, dan pemimpin-pemimpin masyarakat lainnya di Kalimantan Selatan. Selama pembicaraan ini diyakinkannya para pemimpin agama agar mengeluarkan fatwa kepada para pengikutnya untuk melawan KRIyT, dan diumumkannya, ia tengah menyusun suatu rencana perang melawan kaum pejuang mujahidin. Menyinggung kurangnya komunikasi dan pengertian antara Tentara Republik, Polisi, dan Pemerintahan Sipil dalam operasi-operasi yang lalu, Murdjani menyatakan, dia pribadi akan memimpin semua operasi pada masa depan. Akhirnya ia menguraikan rencananya sesudah berhari-hari pembicaraan, 24 Februari 1953.
Ibnu Hadjar beroperasi antara Kandangan dan Barabai. Markas besarnya dibuatnya di sebuah gunung tidak jauh dari Kandangan, di Desa Datar Laga. Biasanya juga disebut, karena bentuknya dan mungkin pula karena di situ tempat markas besar KRIyT, Gunung Hantu. Ini merupakan tempat persembunyian yang ideal, hanya dapat dimasuki dari satu jurusan: lagi pula, dari sini musuh yang mendekat harus menempuh tiga kilometer rumput panjang, jadi mudah terlihat. Dari Jurusan lain mana pun tempat ini hanya dapat didekati melalui daerah pegunungan yang di dalamnya terdapat banyak kubu KRIyT. Dari markas besar ini Ibnu Hadjar menjalani seluruh Hulusungai untuk bermusyawarah dengan para komandannya atau memimpin sendiri serangan, dan sering dia menyerbu ke Kabupaten Kotabaru.
Lebih jauh ke utara, sekitar Tanjung, terdapat suatu kelompok yang dipimpin Kartolo yang bergerak sejak awal 1950. Kartolo, nama sebenarnya ialah Asmuni, pangkalannya di Tanjung tetapi juga menggerayangi ke dalam Hulusungai dan jangkauannya sampai ke selatan seperti Alabio. Dia tertangkap sesudah dilakukan operasi bersama oleh satuan-satuan Tentara dan rakyat setempat, Januari 1953. Di daerah Sungai Bulungan pemimpin KRIyT yang utama ialah Utuh Tjilik (Utuh Cilik), sedangkan ke sebelah selatannya, di daerah Batumandi, beroperasi Kurdi, alias Subrata, dan Dahlan.
Komandan-komandan gerilya lainnya dari tahun-tahun mula ini adalah Daeng Matelo, yang bergerak di daerah Sungai Amandit, Rasjaidi dan Mardjajana di Rantau, Tamberani di Sei Pinang, Chairul Muis (Khairul Muis, sesudah meninggal 1954 digantikan A.K. Munsi), dan Gusti Surjah (Gusti Suryah), yang seperti halnya dengan banyak lainnya juga "tertembak ketika berusaha melarikan diri" Agustus 1954 di Banjar, dan Mawardi dan wakilnya Raden Mochtar Djaja (Mokhtar Jaya) antara Martapura dan Pleihari. Tamberani tertembak pada akhir 1953 dan digantikan wakilnya, Ipul, yang selanjutnya tak lama kemudian ditembak mati salah seorang pembantu Ibnu Hadjar Djumberi (Jumberi), karena dinyatakan menteror rakyat. Mawardi terbunuh pada 1954.
Peningkatan kegiatan-kegiatan pejuang mujahidin pada 1953 mungkin dimaksudkan KRIyT sebagai petunjuk bahwa mereka masih ada. Kaum pejuang mujahidin dalam hal ini didorong bukan saja karena diakhirinya bantuan militer, yang dapat ditafsirkan sebagai tanda, dalam pandangan penguasa masalah keamanan di Kalimantan Selatan telah beres, tetapi mungkin juga ada faktor lain. Yang pertama adalah perselisihan intern, yang kedua kunjungan sial Soekarno ke Kalimantan.
Akibat imbauan-imbauan baru pemerintah RI kepada kaum pejuang untuk menyerah, dan karena kedudukan satuan-satuan KRIyT yang sulit akibat aksi-aksi militer Republik, pihak gerilya jadi terpecah-belah. Satu kelompok—sesudah gagal bertempur selama lebih dari dua tahun —yang menghendaki menyerah, termasuk salah seorang komandan gerilya tertinggi, Haji Machfudz Siddik (Makhfudz Siddik). Pada awal perjuangan dia adalah salah seorang pembantu Ibnu Hadjar yang paling tepercaya dan dianggap hampir sama berkuasanya sebagai Ibnu Hadjar sendiri. Desember 1950, ketika berlangsung perundingan Zafry Zamzam dengan Ibnu Hadjar, Hadji Machfudz Siddik-lah dan bukan Ibnu Hadjar yang mengeluarkan perintah kepada para prajurit KRIyT untuk tidak menyerah. Tetapi, dua tahun kemudian, ketika kehilangan pengaruh dalam KRIyT, dia menjadi penganjur utama untuk menyerah. Akibatnya, dia ditembak salah seorang anak buah Ibnu Hadjar atas perintah yang akhir ini ketika sedang mandi, 16 Februari 1953. Kemudian, dia digantikan Dardiansjah (Dardiansyah), adik laki-laki Ibnu Hadjar, yang dalam kedudukannya sebagai wakil komandan KRIyT kadang-kadang memimpin pasukan KRIyT di Hulusungai bila Ibnu Hadjar pergi ke Kabupaten Kotabaru.
Dengan menyerang pos-pos Polisi yang terpencil dan terlibat dalam pertempuran kecil dengan satuan-satuan Polisi, KRIyT, dan ini yang lebih penting, memperoleh beberapa senjata lagi. Dengan bertambah kekuatannya, ia pun lebih berani. Para gerilyawan KRIyT berkeliaran keluar dari pegunungan dan mulai menyerang kota-kota yang terpencil yang hanya memiliki ada detasemen Polisi kecil-kecil atau tidak ada sama sekali. Demikianlah, pada September pos-pos polisi yang kekurangan orang di Pengaron dan Karang Intan diserang kira-kira seratus pejuang . Kota-kota yang lebih besar tidak aman pula. Pada September, Rantau dan Pengaron diserang pada hari yang sama; pada November Negara dapat giliran, sementara Kotabaru juga diduduki kaum pejuang mujahidin sebentar. Pada 12 Desember 1953 malam7 Kandangan diserang dari empat jurusan. Dari suara teriakan komando disimpulkan, serangan ini kiranya dipimpin sendiri oleh Ibnu Hadjar.
Karena kegiatan KRIyT yang meningkat, diminta lagi bantuan Tentara, sedangkan Brigade Mobil diperkuat dengan suatu kompi dari Jawa Timur. Bahkan dipikirkan untuk membentuk korps sukarelawan. Tetapi gagasan ini pada umumnya diterima dengan sikap hati-hati karena mereka yang menentang khawatir, korps sukarelawan demikian dapat menjadi alat bagi bekas pejuang untuk memaksakan tuntutan mereka agar diakui sebagai prajurit Tentara Republik.
Salah satu gejala menonjol yang menjadi ciri ALRI Divisi IV selama perjuangan kemerdekaan ialah teguhnya mereka berpegang pada ajaran-ajaran Islam. Pemerintah Militer, selain bertujuan melakukan perubahan sosial dan ekonomi yang radikal di daerah-daeTah pedesaan, melakukan banyak usaha untuk memajukan Islam dan pelaksanaan syariahnya. Dengan bangga mereka mengemukakan, selama pemerintahan mereka Islam berkembang. Pendidikan agama dan pengajian Quran mengalami kebangkitan kembali, kata mereka, sementara terdapat pula kemajuan yang nyata dalam kalangan rakyat yang melaksanakan kewajiban-kewajiban agamanya dan meningkatnya jumlah mereka yang mengunjungi masjid-masjid dan pusat-pusat pendidikan agama. Selanjutnya dikatakan, akibat semuanya ini pencurian, judi perzinaan, dan pelacuran lenyap.
Juga KRIyT, yang di dalamnya terdapat banyak pejuang dari ALRI Divisi IV, mengakui bertindak demi kepentingan Islam. Di samping Departemen Penerangan yang umum, segera mereka bentuk suatu badan khusus guna penyebaran penerangan agama. Para pejuang KRIyT dinyatakan sangat bersungguh-sungguh dalam melakukan sembahyang sehari-hari, sedangkan Ibnu Hadjar menurut cerita marah sekali bila para prajuritnya lalai dalam hal ini.
Bilamana prajurit KRIyT mengunjungi sebuah desa, mereka desak rakyat untuk mematuhi syariat Islam, sembahyang lima waktu sehari, dan sering mengunjungi masjid. Mereka yang lalai dalam hal ini diancam, dan kadang-kadang didenda. Demikianlah ada laporan pada 1953 tentang orang-orang desa yang mengabaikan sembahyang seharihari didenda Rp. 900,—sampai Rp. 1.000. Pada kesempatan lain pejuang mujahidin KRIyT khusus menyerang orang-orang yang tidak membayar zakat atau membayar tidak sesuai dengan ketentuan hukum. Dalam suatu seruan untuk syariat Islam, diperingatkan bahwa mereka yang didapati bersalah mencuri akan dipotong tangannya, penjudi akan dipotong sebuah telinganya, dan pezina akan dilempari batu sampai mati.
Pemerintah Daerah Kalimantan, dalam menyambut seruan gerilyawan pejuang mujahidin terhadap agama, melakukan usaha untuk memperoleh dukungan para ulama dan pemimpin agama Islam lainnya dalam gerakannya melawan KRIyT.
Melihat kenyataan ini maka TNI meminta kepada semua pemimpin agama yang bersimpati dengan Republik diminta secara umum mengutuk KRIyT dan kegiatan-kegiatannya, dan untuk mengeluarkan fatwa yang menyatakan demikian. Pemerintah agak berhasil dalam hal ini. Pada 16 November 1952 sekelompok pemimpin Islam Hulusungai mengeluarkan sebuah pernyataan di Amuntai.. Menentang KRIyT. dengan tegas demikian bukan tanpa bahaya. Pada Maret 1953 dua dari para ulama yang mendukung pernyataan ini, Haji Fadhli dari Kandangan dan Haji Kusan dari Rantau, dibunuh.
Mengingat dasar Islam organisasi pejuang mujahidin setempat ini, tidaklah mengherankan sejak mulanya terdapat desas-desus dan dugaan tentang infiltrasi Darul Islam di Kalimantan, khususnya daerah-daerah selatan, tempat beroperasi KRIyT dan tempat selama perjuangan untuk kemerdekaan ALRI Divisi IV sangat berpengaruh. Desas-desus ini berlangsung terus sesudah orang-orang tertentu dengan latar belakang Darul Islam ditangkap dan setelah pamflet-pamflet dan surat-surat Darul Islam mulai beredar, walaupun secara kecil-kecilan.
Pada Juni 1952 umpamanya, seorang yang bernama Anang Sulaiman ditangkap karena dituduh melakukan hubungan dengan pemimpin-pemimpin Negara Islam Indonesia di Jawa Barat. Pada akhir tahun itu seorang buron dari Angkatan Umat Islam Jawa Tengah, yang lari ke Kalimantan sesudah penumpasan organisasi itu, tertangkap di Kalimantan Barat. Pelariannya ke Kalimantan diduga diatur penduduk Kalimantan yang terkemuka, yang bersimpati dengan gerakan Darul Islam di Jawa. Tetapi semua ini masih kecil saja artinya, dan berita-berita yang sedikit tentang kegiatan Darul Islam yang mencapai daerah ini berasal dari luar Kalimantan Selatan dan Hulusungai.
Februari 1953 ada berita radio PJC (Siaran Dunia Belanda) bahwa Kalimantan akan segera menjadi Jawa kedua. Mengingat keadaan yang sesungguhnya, berita ini—dan khususnya keterangan bahwa pedalaman Kalimantan merupakan sarang simpatisan Darul Islam—sangat dibesar-besarkan. Demikian juga halnya tentang tuntutan untuk menumpas Darul Islam di Kalimantan Selatan, yang sering terdengar pada pertengahan 1953. Rakyat di Kalimantan benar-benar diresahkan protes-protes di Jawa Barat yang dipimpin kalangan nasionalis dan komunis untuk turut berteriak menuntut keputusan yang melarang Darul Islam sebagai suatu gerakan yang berbahaya untuk negara.
Untuk mewujudkan usaha ini di Banjarmasin dibentuk suatu panitia "untuk keamanan Kalimantan". Panitia ini menyelenggarakan rapat-rapat yang menonjolkan slogan-slogan seperti "DI-TII dan perjuangan resistensi politik Islam lain adalah musuh Negara dan Rakyat", "Kaum pejuang pemberontak bertanggung jawab akan bertambahnya pengangguran", "Ganyang kaum gerombolan, tukang catut, dan koruptor". Seperti dengan tepat diucapkan Zafry Zamzam, aneh sekali para demonstran tidak menuntut penumpasan KRIyT, malahan lebih menuntut menumpas Darul Islam yang pada waktu itu hampir-hampir belum terdapat di Kalimantan. Namun, ada petunjuk bahwa pikiran untuk masuk ke dalam Negara Islam Indonesia mulai digunakan di Kalimantan, khususnya sesudah Kahar Muzakkar melakukannya di Sulawesi. Segera sesudah pernyataan Kahar Muzakkar bahwa Sulawesi merupakan bagian dari wilayah Negara Islam Indonesia, ditemukan di Hulusungai pamflet-pamflet yang menyatakan daerah-daerah yang dikuasai KRIyT telah masuk ke dalam wilayah Darul Islam.
Juga terdapat beberapa tanda kegiatan Darul Islam di pantai timur Kalimantan. Di sini Imbran Kamarullah yang menamakan dirinya Kepala Staf Divisi Panglima Batur KRIyT, telah membentuk cabang Darul Islam. Semua perintahnya ditandatanganinya atas nama KRIyT dan Tentara Islam Indonesia, dengan menggunakan cap bujur telur yang memperlihatkan bulan sabit dan bintang. Tetapi cabang Darul Islam ini sama sekali tak sempat mempunyai arti. Imbran Abdullah segera ditangkap (Agustus 1953), dan dalam rangka persidangan perkaranya menjadi jelas bahwa kekuatannya tahap penyusunan. Pada saat penangkapannya yang telah dilakukannya hanyalah memilih anggota-anggota stafnya.
Sementara itu, di Jawa Kartosoewirjo masih menganggap Ibnu Hadjar dan KRIyT sebagai sekutu yang potensial. Karena itu diperintahkannya pembantu pertamanya, Sanusi Partawidjaja Februari 1954 meningkatkan usaha-usaha untuk memasukkan Kalimantan ke dalam wilayah de facto Negara Islam dan membentuk Komando Teritorial VI Tentara Islam Indonesia di sini.
Ibnu Hadjar sendiri barulah membulatkan pikirannya untuk masuk Negara Islam pada akhir 1954. Ini sesudah Kartosoewirjo mengajaknya untuk berperan serta dalam mempertahankan Negara Islam ini, masuk dalam struktur pemerintahan NII bersama sama dengan tokoh lain dari gerakan-gerakan pejuang mujahidin di Jawa Barat, Aceh, Sulawesi, dan Kalimantan. Relatif kecilnya cakupan resistensi politik Islam KRIyT di Kalimantan dibandingkan dengan perlawanan di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi tecermin dalam komposisi Kabinet ini. Tidak diberikan portfolio penuh untuk Ibnu Hadjar, tetapi hanyalah pengangkatan sebagai menteri negara. Ia diangkat pula menjadi Panglima TII untuk Kalimantan.
Kemudian Ibnu Hadjar lalu mereorganisasi pasukannya. Mulailah ia menamakan dirinya "ulul amri". Demikian pula diberinya nama markas besarnya, dengan dijuluki nama hebat-hebat seperti Istana Islam Merdeka atau Istana Agama Islam Agung. Pasukannya berangsur-angsur diberi nama Angkatan Perang Tentara Islam (APTI), sementara kadang-kadang disebut juga Pasukan Islam, kedua nama dengan atau tanpa dibubuhi KRIyT. Kepala Pasukan Islam (Kapai) adalah Paduka yang Mulia Ibnu Hadjar. Untuk menggarisbawahi perpecahannya dengan Republik sekuler, selanjutnya Ibnu Hadjar menggubah versi lain dari lagu kebangsaan. Untuk ini Indonesia Raya diubah dan disesuaikan dengan cita-cita Islam perjuangan bersenjata KRIyT.
Tetapi selain dari nama-nama baru ini, tak ada lagi yang berubah. Tak dilancarkan serangan baru. Bahkan pemilihan umum 1955 tidak digunakan KRIyT untuk meningkatkan kegiatannya. KRIyT tidak menyerang desa-desa, dan tidak menghalangi petugas-petugas atau para pemilih. Mereka tidak merintangi pemilihan umum walaupun pernah menyatakannya akan melakukan yang demikian pada awal 1955, dan turut bertarung sendiri dengan mendesak rakyat agar memberikan suara untuk partai Islam.
Sesudah pasukan Ibnu Hadjar masuk gerakan Darul Islam KRIyT, demikian masih disebut namanya, atau APTI, sebagai namanya yang baru, terus juga beroperasi dalam kelompok yang kecil-kecil. Serangan dilakukan oleh bagian gerilyawan yang sangat kecil, yang terdiri dari paling banyak dua puluh orang. Namun, pada 1955, terdapat struktur pimpinan yang lebih tegas pembatasannya. Maka, diangkat komandan-komandan daerah yang merangkap sebagai kepala Pemerintahan Daerah pejuang mujahidin dan masing-masing mempunyai daerah operasi khusus.
Di Hulusungai Utara, misalnya, Bahranu adalah kepala Komando Pertahanan Paringin dan Batumandi. Di Amandit Utara, selain dari Balhum yang disebut terdahulu, Aman dan Samsi, Dardiansyah, adik laki-laki Ibnu Hadjar, yang menjadi komandan KRIyT paling terkemuka. Di Amandit Selatan Djohansjah (Johansyah), nama sebenarnya ialah Djahri bin Bako (Jahri bin Bako), komandan, sampai ia tertangkap pada 1954. Seorang komandan KRIyT yang sangat terkenal masa itu adalah Djarman (Jarman) di Pleihari. Riam Kanan merupakan basis operasi Guru Budjanab (Guru Bujanab) dan Djenggot (Jenggot).
Jauh lebih terkenal dahsyat ketimbang pemimpin-pemimpin yang tersebut di atas adalah dua orang komandan KRIyT Djumberi dan Raden Mochtar Djaja. Djumberi, yang menjadi Komandan Batalyon Garuda Putih, beroperasi sekitar Riam Kiwa dan gugur dalam aksi Agustus 1955. Raden Mochtar Djaja, yang memulai kariernya dalam KRIyT sebagai pembantu Mawardi, beroperasi sekitar Martapura, pada waktunya menjadi komandan KRIyT untuk seluruh Kabupaten Banjar, dengan memimpin pasukan KRIyT Mobil. Dalam kedudukannya yang akhir ini ia adalah salah seorang pemimpin gerilya yang dicari dan salah satu sasaran pokok operasi keamanan Pemerintah. Sekali pada 1952 dia tertangkap, tetapi berhasil lolos lagi. Tahun berikutnya hampir dia tertangkap untuk kedua kalinya, sementara turut dalam suatu pertandingan bola di Desa Sungai Ulin. Ketika pasukan Tentara mendatangi lapangan bola, tepat pada waktunya benar dia berhasil lolos.
Kalangan sipil sementara itu terus juga mendesak diadakannya amnesti umum. Pada akhir 1953 PNI cabang Amandit mendesak Presiden Soekarno agar di depan umum meminta Ibnu Hadjar menghentikan perlawanannya. Semua mereka yang menyerah akan diberi kesempatan memasuki Angkatan Bersenjata atau suatu badan Pemerintah lain. Cabang Amandit selanjutnya mendesak digantinya Murdjani sebagai gubernur oleh Burhanuddin, bekas perunding ALRI Divisi IV.
Lama Soekarno baru berbuat demikian. Baru pada kunjungan lain ke Banjarmasin pada akhir 1955 dia mengimbau Ibnu Hadjar dalam salah satu pidatonya untuk meletakkan senjatanya. Tetapi tak ada jawaban yang positif terhadap ini dari pihak pejuang mujahidin, dan kegiatan-kegiatan KRIyT tidak juga berkurang. Sebaliknya, tahun berikutnya bantuan militer diperlukan lagi untuk Kalimantan Selatan. Untuk menambah peluang berhasilnya operasi, tentara Hassan Basry dipanggil lagi dalam dinas aktif untuk memimpin operasi-operasi ini. Diharapkan agar dia memanfaatkan pengaruhnya yang masih terdapat di kalangan gerilyawan untuk menumpas perjuangan Islam untuk selama-lamanya. Hassan Basry sendiri pun optimistis tentang keberhasilan tugasnya; dia diberi waktu setahun seluruhnya. Operasi sesungguhnya berlangsung dari Mei sampai akhir tahun itu.
Langkah Hassan Basry yang pertama ialah melancarkan "gerakan dari mulut ke mulut" untuk meyakinkan kaum pejuang mujahidin bahwa mereka akan diperlakukan dengan baik sesuai dengan hukum yang berlaku bila mereka menyerah. Di samping itu ia mengimbau mereka agar menyerah dengan menggunakan selebaran dan siaran radio. Untuk menambah tekan moril, diatur kunjungan ke Kalimantan Selatan yang dilakukan "dua orang putra daerah" lainnya—Firmansjah, bekas Kepala Staf Pesindo Kalimantan, dan Idham Chalid (Idham Khalid), seorang politikus Nahdatul Ulama terkenal. Idham Chalid berusaha memperoleh dukungan pemimpin-pemimpin agama untuk usaha-usaha Pemerintah mengakhiri perjuangan Islam. Pemimpin-pemimpin ini menyambut dengan menyampaikan permintaan kepada para pejuang mujahidin agar menyerahkan diri.
Sambutan luar biasa besarnya. Dalam waktu satu bulan kira-kira empat ratus orang melapor kepada penguasa, di antara mereka terdapat beberapa pemimpin gerilya yang terkenal seperti Raden Mochtar Djaja. Pada Agustus menyusul pula Dardiansjah, adik laki-laki Ibnu Hadjar, dan Tjinaby (Cinaby), Kepala Staf dan Jaksa Agung pejuang mujahidin. Keduanya dikirim ke Jakarta untuk mengadakan pembicaraan dengan Kepala Staf Angkatan Darat, Mayor Jenderal Nasution, tentang cara untuk menyelesaikan pertikaian ini secara tuntas. Beberapa hari sebelumnya, Dardiansjah, ketika masih di Banjarmasin, bicara melalui siaran radio memuji maksud Pemerintah Pusat dalam mengakhiri perjuangan politik Negara Islam ini.
Sejenak tampaknya perjuangan Negara Islam di Kalimantan seolah-olah berakhir. Ibnu Hadjar kehilangan rekan-rekannya yang paling tepercaya, seperti Dardiansjah dan Tjinaby, dan terdapat kabar-kabar yang meyakinkan, didorong oleh kenyataan-kenyataan ini bahwa ia pun sungguh-sungguh memikirkan untuk menyerah. Pada September Hassan Basry bahkan berangkat ke Pegatan, di pantai Kotabaru, untuk berunding pribadi dengan dia mengenai penyerahan.
Pada akhirnya ternyata harapan tentang menyerahnya Ibnu Hadjar lenyap. Dan ia terus memberikan perlawanan selama tujuh tahun lagi. Bahkan dia bisa menarik manfaat dari gejolak umum dalam sentimen kedaerahan di luar Jawa pada akhir 1950-an. Walaupun di Kalimantan hal ini tidak sampai memuncak menjadi perjuangan terang-terangan seperti di Sumatera dan Sulawesi, orang-orang yang tidak puas di sini lalu membentuk dewan daerah, Dewan Lambung Mangkurat diketuai oleh panglima daerah. Akibatnya, kalangan militer di daerah ini lebih banyak mengarahkan waktu serta daya-upayanya kepada perselisihan mereka dengan Pemerintah Pusat dan Pimpinan Tentara ketimbang kepada penumpasan gerakan Darul Islam. Dengan demikian Ibnu Hadjar memperoleh kesempatan meningkatkan kegiatannya sekali lagi.
Gerakan perlawanan baru berakhir Juli 1963. Pada akhir bulan ini Ibnu Hadjar dan anak buahnya dengan resmi menyerah kepada pejabat dalam suatu upacara singkat di Desa Ambun di Hulusungai Selatan. Pada awal September dia ditangkap. Pada Maret 1965 dia diadili sebuah pengadilan militer khusus dan dijatuhi hukuman mati. Pada ketika persidangan perkaranya, Ibnu Hadjar mengenakan pakaian seragam tentara dengan tanda pangkat letnan dua.

DARUL ISLAM ACEH
Daerah yang terakhir dalam pembelaannya terhadap Islam dari penjajahan Republik Indonesia adalah daerah Aceh. Disana para pejuang mujahidin masuk dalam Negara Islam Indonesia Kartosoewirjo. Permaklumannya dalam perjuangan membela Negara Islam Indonesia ini pada bulan September 1953. Ketika salah seorang pemimpin Islam yang sangat berpengaruh di daerah itu, Daud Beureueh menyatakan bahwa Aceh dan daerah-daerahnya yang berbatasan dengannya menjadi bagian Negara Islam Indonesia.
Perjuangan politik Negara Islam yang diilhami oleh Darul Islam di Aceh ini berakhir secara damai melalui musyawarah sesudah Pemerintah Pusat pada tahun 1959, akhirnya memenuhi juga beberapa tuntutan dari rakyat Aceh dengan memberikan status Provinsi Istimewa untuk daerah Aceh, dengan otonomi di bidang agama, hukum adat, dan pendidikan. Di samping itu, Daud Beureueh merupakan salah seorang pejuang mujahidin terakhir yang kembali dari hutan pada tahun 1962. Dia tidak tewas dalam pertempuran atau dihukum mati, tetapi diberi ampun.
Nama-nama yang paling sering muncul sehubungan dengan persiapan-persiapan perjuangan jihad suci dalam masa ini adalah Daud Beureueh, Hasan Aly, Husin Jusuf, dan Amir Husin al Mudjahid. Dalam awal perjuangannya, kaum pejuang mujahidin menguasai hampir seluruh Aceh. Hanya kota-kota besar yang utama saja yang belum dikuasainya, seperti Banda Aceh (atau Kutaradja, demikian namanya ketika itu), Sigli dan Langsa di utara, dan Meulaboh di pantai selatan, daerah tersebut masih tetap dalam tangan Republik. Setelah dalam beberapa minggu di awal perjuangan tersebut, kaum pejuang mujahidin Darul Islam dapat dihalau keluar pusat-pusat perkotaan lagi. Oleh karena itu, untuk melanjutkan perjuangan, mereka mengalihkan basis perjuangannya ke daerah-daerah pedesaan. Dan terbukti kemudian, bahwa setelah pengalihan tersebut para kaum pejuang mujahidin dapat bertahan selama bertahun-tahun, terutama di bagian utara mereka sangat kuat sekali, begitu juga di Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, dan Kabupaten Aceh Utara.
Sebelum bulan September 1953, bahwa sudah terdapat hubungan antara Daud Beureueh dan gerakan Darul Islam. Tetapi kurang dapat dipastikan, siapa yang mengambil prakarsa: para pejuang mujahidin di Aceh atau Kartosoewirjo. Menurut sebuah laporan rahasia, Daud Beureueh dan Amir Husin al Mudjahid dikatakan telah pergi ke Jawa untuk berunding dengan Kartosoewirjo di Bandung sesudah suatu pertemuan rahasia yang diadakan Daud Beureueh pada tanggal 13 Maret 1953, yang dalam pertemuan tersebut juga dihadiri oleh Amir Husin al Mudjahid, Husin Jusuf, Sulaiman Daud, Hasan Aly (Kepala Kejaksaan di Aceh, ketika itu sedang cuti resmi), Said Abubakar, dan A.R. Hanafiah (pegawai Kantor Agama Aceh Timur). Dalam pertemuan ini telah mengutus dua orang untuk pergi ke Jawa untuk melakukan hubungan dengan pemimpin-pemimpin Darul Islam di sini. Menurut laporan yang sama, sekembalinya dari Jawa, Amir Husin al Mudjahid tinggal beberapa hari di Medan untuk menemui wakil organisasi-organisasi lainnya di sana, seperti Masyumi dan cabang pemudanya, GPII.
Oleh karena itu dapat dipastikan antara Daud Beureueh dan Kartosoewirjo saling mengadakan kontak hubungan melalui para utusan. Pada bulan Mei 1953, Kartosoewirjo pernah mengirim utusannya yang bernama Abdul Fattah Wirananggapati dengan nama samarannya Mustafa Rasjid sebagai K.U.K.T.(Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi ) Negara Islam Indonesia ke Aceh untuk membicarakan penggabungan wilayah Aceh ke dalam Negara Islam Indonesia sekaligus untuk mengangkat Daud Beureueh sebagai Panglima Wilayah V TII (Tentara Islam Indonesia) Chik Di Tiro. Namun nasib kurang baik menimpa utusan itu, ketika kembali ke Jawa ia tertangkap oleh Tentara Republik. Pada saat kejadian itu pun juga tertangkap seorang utusan Daud Beureueh. Dengan adanya peristiwa tersebut, pihak Pemerintah Pusat tidak cepat mengambil reaksi, namun berusaha merahasiakan penangkapan terhadap dua utusan itu, dan juga tidak langsung mengadakan penangkapan terhadap Daud Beureueh, hanya saja pihak Pemerintah menambah jumlah satuan Brigade Mobil di Aceh.
Dalam pada itu sebelumnya, pada bulan April 1953 ada dua peristiwa penting yang sedang berlangsung di Aceh, yaitu telah berlangsungnya dua kongres. Pertama diadakannya kongres alim ulama di Medan dari 11 sampai 15 April. Kedua, kongres untuk menilai hasil-hasil kongres Medan diadakan PUSA di Langsa dari 15 sampai 29 April. Kedua pertemuan ini diketuai Daud Beureueh, yang dengan demikian mendapat kesempatan yang baik sekali untuk menyampaikan kepada para peserta rencananya dan membicarakan bersama mereka kemungkinan mengadakan resistensi politik dan jihad suci.
Kedua kongres ini merupakan titik awal dari suatu gerakan luas yang meliputi seluruh Aceh, yang digunakan pemimpin-pemimpin Islam untuk mendesak rakyat memberikan suara untuk partai Islam dalam pemilihan umum yang akan datang (yang ketika itu tampaknya sudah dekat), dan untuk Islam sebagai dasar konstitusional Negara Indonesia. Di samping itu mereka mengemukakan sejumlah persoalan yang sejak lama telah menimbulkan kemarahan sebagian besar rakyat Aceh, yaitu sikap Pemerintah Indonesia yang dinyatakan anti-atau bukan-Islam, kelalaian Pemerintah terhadap Aceh, dan penggantian orang Aceh dengan orang dari luar daerah dalam pemerintahan daerah dan tentara. Dalam rapat-rapat umum dan khotbah-khotbah mereka selanjutnya menuduh orang Jawa dan orang Batak mengandung maksud untuk mengambil alih Aceh. Menurut mereka, pasukan Angkatan Darat yang dikirim ke Aceh terdiri dari bekas serdadu-serdadu KNIL dan orang-orang kafir, dan mereka menyerang Soekarno karena ingin memajukan agama Hindu. Sebuah monografi tentang perjuangan jihad suci Aceh menyatakan, para alim ulama "dengan tegas bersumpah ... bahwa sekembalinya mereka ke daerah mereka, mereka akan mengusahakan dengan sekuat tenaga untuk meyakinkan rakyat memperjuangkan Negara Islam dalam pemilihan umum yang akan datang untuk DPR dan Konstituante, dan bahwa bila kemenangan tidak tercapai dengan jalan ini, mereka tidak akan ragu-ragu menggunakan cara-cara yang melanggar hukum Pemerintah RI guna mencapai tujuan ini".
Kedua kongres ini tidak hanya memberikan titik awal untuk gerakan seluruh Aceh guna menjelaskan pandangan pemimpin-pemimpin Islam tentang Negara Islam dan menghasut rakyat memberontak terhadap Pemerintah Pusat. Juga memberikan dorongan guna memperbaharui usaha meluaskan pengaruh PUSA dalam masyarakat. Struktur organisasi PUSA diperkukuh dengan dibentuknya organisasi-organisasi massa untuk mengerahkan para pendukung. Demikianlah cabang Pemuda PUSA yang selama bertahun-tahun tidak aktif dihidupkan kembali, didirikan Persatuan Bekas Pejuang Mujahidin Islam yang tersebut di atas, dan PUSA memperkuat penguasaannya atas gerakan Pandu Aceh, Pandu Islam, dengan mengangkat A.G. Mutiara sebagai pemimpinnya. Ketiga organisasi ini memainkan peranan penting dalam persiapan-persiapan militer bagi perjuangan Negara Islam yang akan datang. Di samping memberikan Darul Islam Aceh bagian terbesar pasukannya, mereka barsyak memudahkan perencanaan untuk aksi-aksi yang terkoordinasi pada saat resistensi politik meletus dengan menyerang kota-kota utama Aceh sekaligus. Para bekas gerilyawan yang dipersatukan dalam Persatuan Bekas Pejuang Islam Aceh merupakan pasukan tempur pokok, disokong para pemuda dari Pemuda PUSA dan Pandu Islam sebagai pembantunya.
Pandu Islam ini tidak hanya sebagai gerakan Pandu biasa. Di samping latihan militer-militeran, kepada para anggota yang tergabung di dalamnya diberikan latihan dasar militer sesungguhnya. "Pandu Islam hari demi hari bertambah sehat dan pengikutnya makin bertambah banyak. Kemudian ternyata, para anggotanya menerima latihan militer dari prajurit-prajurit berpengalaman pilihan khusus dan diajarkan metode menyerang dan menyerbu. Latihan ini mereka terima tidak hanya siang tetapi juga malam hari". Menurut taksiran Pemerintah, sebagian dari Pandu yang jumlahnya adalah 4.000 orang, juga bekas para gerilyawan .
Setelah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, maka tibalah saatnya menentukan hari dimulainya jihad suci. Dari titik pandangan ideologis hari yang paling cocok mestinya adalah 7 Agustus, hari Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia. Sebenarnya ada tanda-tanda, para pemimpin Darul Islam menganggap ini sebagai hari yang layak. Sebagaimana yang dituturkan dalam majalah Singapura Asia Newsletter, "Pada mulanya kaum pejuang mujahidin memutuskan akan mulai jihad suci pada 7 Agustus, tetapi rencana mereka berubah sesudah Pemerintah Pusat mengetahui informasi ini. Yang kemudian Wakil Presiden Mohammad Hatta mendesak pemimpin-pemimpin pejuang mujahidin untuk membatalkan rencananya". Tanggal kemungkinan yang lain disebut adalah 17 Agustus, hari ulang tahun pernyataan kemerdekaan Indonesia. Menurut laporan rahasia tersebut, tanggal 17 Agustus telah diputuskan pada suatu rapat 1 Agustus. Pada rapat ini dua belas orang, termasuk Amir Husin al Mudjahid tetapi Daud Beureueh tidak berkumpul di rumah Zainy Bakri, bupati di Langsa. Juga telah disetujui pada pertemuan ini, yaitu untuk mengundurkan awal jihad suci sampai selambat-lambatnya pertengahan September, bila persiapan-persiapan masih belum selesai pada tanggal 17 Agustus.
Upaya Pemerintah Pusat untuk meredakan situasi di Aceh, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta melakukan kunjungan ke daerah ini. Kunjungan yang pertama berlangsung Maret 1953. Tetapi dengan adanya kunjungannya ini tidak banyak mengurangi ketegangan daerah Aceh, yang menjadi sebab adalah karena rakyat Aceh terlalu banyak dikuasai pidatonya Sukarno di Amuntai, yang juga telah menimbulkan amarah umat Muslim yang saleh di Aceh. Kedatang Soekarno ke Aceh disambut dengan tulisan-tulisan slogan seperti "Kami cinta presiden, tetapi kami lebih mencintai agama". Yang nampak berhasil dalam kunjungan itu adalah usaha Hatta. Selama kunjungannya — yang berlangsung pada bulan Juli — dia dapat berunding dengan Daud Beureueh. Setelah mengadakan perundingan, Hatta kembali ke Jakarta dengan kerangka pikiran yang optimistis, bahwa ia merasa yakin suatu persoalan telah dipecahkan dan bahwa keadaan masih dapat dikendalikan. Namun belakangan timbul kecaman dari berbagai kalangan. Termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI) — partai politik yang paling mengecam jihad suci ini — mereka menyalahkan Hatta karena secara pribadi telah mencampuri urusan Pemerintah dengan memerintahkan Perdana Menteri Wilopo agar tidak mengambil tindakan pencegahan di Aceh. Menurut para juru bicara PKI, tidak berbeda sikap Hatta sebelum dan sesudah kunjungannya ke Aceh. Sebelum berangkat dia merasa yakin akan sanggup menghadapi masalah-masalah di Aceh. Sekembalinya, ia memberi tahu Wilopo bahwa tak akan terjadi apa-apa dan ia merasa pasti, keamanan dan ketenteraman dapat dipelihara.
Melihat sikap Pemerintah yang lunak terhadap perjuangan para mujahid. Kalangan penguasa Pemerintah Daerah di Sumatera Utara dan Aceh mengikuti garis Pemerintah Pusat di Jakarta dan berusaha sungguh-sungguh menghilangkan kesan bahwa suatu jihad sedang bergolak. Berulang kali mereka menyangkal bahwa keadaan gawat atau bahwa terjadi suatu gerakan Negara Islam. Dalam beberapa hal pernyataan ini memang dibuat karena benar-benar tidak tahu, dalam hal-hal yang lain disebabkan keinginan menenangkan pikiran rakyat.
Pada tanggal 14 September 1952, diadakan rapat resmi — tepatnya seminggu sebelum jihad suci Negara Islam pecah — untuk membicarakan situasi keamanan di Aceh. Dalam rapat ini dihadiri bupati Aceh Timur, Zainy Bakri, bupati Pidie, T.A. Hasan, dan bupati Aceh Utara, Usman Azis, dalam rapat tersebut mereka menguraikan secara singkat kepada gubernur Sumatera Utara, Abdul Hakim, tentang keadaan dalam daerahnya masing-masing dan memberi jaminan kepadanya bahwa segalanya beres dan tidak terdapat ancaman langsung bagi keamanan. Rapat ini juga dihadiri Sulaiman Daud, pejabat residen-koordinator Aceh, Dalam rapat itu terjadi silang pendapat tentang situasi yang sedang terjadi di Aceh. Menurut berita yang disampaikan oleh Nya' Umar, koordinator Polisi untuk Aceh, bahwa keadaan di Aceh demikian gawat hingga ia memerintahkan penempatan pengawal di gedung-gedung pemerintah yang penting. Tentu saja Abdul Hakim juga menerima informasi yang bertentangan dengan pandangan yang dikemukakan para bupati. Dalam informasi yang berbeda ini, Posisi Abdul Hakim lebih percaya kepada jenis informasi yang belakangan ini. Pada akhir September, ketika bebas untuk mengungkapkan keadaan yang sebenarnya, ia mengakui, suasana memang "hangat" pada Agustus, lalu keadaan menenang kembali, namun mencapai klimaks baru pada pertengahan September, ketika jihad suci mempertahankan Negara Islam meletus.
Pada bula Agustus situasi di Aceh semakin tidak menentu. Oleh karenanya, rakyat mulai mempersiapkan diri untuk meninggalkan daerah Aceh menuju Medan dan Sumatera Timur dalam jumlah yang besar. Kebanyakan mereka ini adalah keluarga uleebalang dan anggota atau simpatisan partai-partai sekuler, terutama PKI, para pimpinan yang tergabung dalam PUSA juga merasa tidak aman. Para pimpinan PUSA merasa khawatir akan tindakan yang akan dilakukan oleh Angkatan Darat dalam usahanya menghentikan setiap aksi perlawanan di daerah,— seperti yang mereka saksikan pada Agustus 1951—ketika tersebar kabar, bahwa Pemerintah telah menyusun daftar nama orang Aceh terkemuka yang dinyatakan akan ditangkap. Menurut sementara orang, daftar ini memuat tiga ratus, menurut yang lain-lain, seratus sembilan puluh nama.
Beberapa penulis menyatakan, daftar inilah yang menjadi penyebab langsung resistensi politik umat Islam. Boland menulis, "Menurut informasi yang diperoleh di Aceh, para kaum politisi sayap kiri di Jakarta telah menyebarkan isu bahwa Aceh benar-benar mengatur suatu perlawanan politik berdasarkan Islam. Akibatnya "Djakarta" mencantumkan dalam daftar 190 orang Aceh terkemuka yang harus ditangkap. Hal ini diketahui di Aceh pada Juli 1953, belakangan ternyata bahwa daftar nama ini barangkali sengaja dibocorkan dengan tujuan tertentu. Karena orang-orang Aceh terkemuka ini merasa bahwa mereka mungkin akan ditangkap, mereka memutuskan lari ke gunung pada 19 September 1953. Kejadian ini merupakan pemutusan resmi dengan "Djakarta", dan awal dari apa yang disebut pemberontakan Darul Islam di Aceh."
Dalam persoalan yang sama juga dikemukan oleh Amelz, dia memberikan pandangannya dalam suatu perdebatan parlemen ketika meletus jihad suci menegakkan Negara Islam. Amlez menyatakan, bahwa kebocoran daftar itu pada tanggal lebih belakangan, yaitu sesudah terjadi tindakan jihad suci menegakkan Negara Islam pertama pada 20 dan 21 September. Tetapi dia menyetujui pendapat Boland bahwa hadirnya nama mereka di daftar menyebabkan sejumlah pemimpin mengikuti jihad suci menegakkan Negara Islam. Mereka yang bermaksud tidak akan bertindak sebelum Pemerintah lebih dulu bertindak, kini sesudah diberitahu tentang daftar itu, menurut Amelz, mereka memutuskan untuk membelot.
Dalam dua minggu pertama melaksanakan jihad suci menegakkan Negara Islam berbagai kota kecil dan kota besar diserang, termasuk Banda Aceh. Rencana penyerang kota ini belakangan baru diketahui Polisi sehari sebelum malam jihad suci menegakkan Negara Islam dimulai, yaitu 19 September. Di pantai timur serangan dipusatkan pada kota-kota yang tempatnya pada jalan kereta api dari Banda Aceh, lewat Seulimeum di Aceh Besar, Sigli dan Meureudu di Pidie, Bireuen dan Lhokseumawe di Aceh Utara, dan Idi, Peureulak dan Langsa di Aceh Timur ke Medan.
Di Peureulak penyerangan pertama dilakukan terhadap Pos Polisi kecil yang anggotanya kira-kira sepuluh petugas. Karena tidak ada perlawanan yang diperlihatkan oleh pasukan polisi setempat, maka baik pos polisi maupun kota Peureulak diduduki pasukan pejuang mujahidin yang dipimpin Ghazali Idris tanpa suatu perlawanan pun dalam waktu dua jam. Pada tempat-tempat yang strategis diadakan penjagaan dan bendera Darul Islam pun dikibarkan dari gedung-gedung penting di kota itu. Sesudah itu dalam beberapa hari berikutnya kota-kota yang berdekatan, Idi dan Bayeuen, pun direbut lagi-lagi tanpa perlawanan sedikit pun. Pendudukan semua kota ini banyak dipermudah karena adanya dukungan yang diperolehnya kaum pejuang mujahidin dari sejumlah pegawai negeri setempat. Di Peureulak yang membantu kaum pejuang mujahidin adalah asisten wedana A.R. Hasan, dan di Idi inspektur polisi Aminuddin Ali.
Sesudah merebut Idi, Bayeuen, dan Peureulak dan menghentikan semua lalu lintas kereta api, pasukan pejuang mujahidin bergabung menuju Langsa, ibukota Aceh Timur. Untuk tujuan ini semua bus dan mobil pribadi disita untuk mengangkut pasukan. Sampai pada saat itu kaum pejuang mujahidin hanya sedikit mendapat perlawanan dan tanpa mengalami kesulitan sama sekali. Sejenak tampaknya seolah-olah mungkin pula Langsa mereka rebut tanpa melepaskan sekali tembakan pun. Karena penduduk kota ini, dengan tidak adanya bupati Aceh Timur (yang bagaimana pun memihak kaum pejuang mujahidin) dan kepala Polisi, yang kedua-duanya masih berada di Medan, sangat ingin menyerah. Karena itu dikirimkanlah utusan ke Peureulak dan Bayeuen untuk menyampaikan kepada kaum pejuang mujahidin maksud keinginan mereka dan membicarakan syarat-syarat penyerahan dengan mereka. Mereka ini kembali dengan pesan, pasukan Darul Islam bagaimana pun akan menuju Langsa untuk mengumpulkan senjata Tentara dan Polisi yang ditempatkan di sana. Rencana menyerah ini dihalangi kepala Polisi ketika kembali dari Medan yang sebaliknya menyodorkan ultimatum kepada kaum pejuang mujahidin untuk menyerahkan senjata mereka. Pasukan Darul Islam mendekati Langsa dari barat dan utara serta melancarkan serangan bersama terhadap asrama Polisi Militer dan Brigade Mobil pada 21 September. Tentara Republik yang telah mendapat bala bantuan baru dari Medan dapat memukul serangan ini. Kekalahan kaum pejuang mujahidin di Langsa merupakan titik balik dalam pertempuran di Aceh Timur. Pada 23 September pasukan Republik merebut kembali Bayeuen, dan dalam dua hari berikutnya Idi dan Peureulak.
Dalam pertempuran di Aceh Utara ibukota daerah Lhokseumawe, pagi hari 21 September pasukan pejuang mujahid mengadakan aksinya, namun menghadapi perlawanan yang berarti dari pasukan Republik. Oleh karena itu serangan pasukan mujahidin mengalami kegagalan. Dengan kegagalannya itu pasukan pejuang mujahidin mengundurkan diri sesudah bertempur kira-kira empat jam. Mereka perbaharui lagi siasat dalam penggempurannya, tetapi karena kuatnya pertahanan yang diperlihatkan oleh pasukan Republik lagi-lagi tanpa hasil. Walaupun pada satu saat keadaan menjadi begitu gawat hingga dipertimbangkan untuk mengungsikan penduduk. Sebuah kota lain di Aceh Utara, Bireuen, mereka duduki sebentar. Demikian pula Seulimeum di Aceh Besar, yang direbut pada 21 September. Ketika kaum pejuang mujahidin menyerangnya, garnisun Polisi Republik tidak memberikan perlawanan.
Di daerah Pidie Aceh Barat, kaum pejuang mujahidin gagal merebut Sigli. Mereka lebih berhasil di Tangse, Geumpang, dan Meureudu, tetapi kota yang terakhir ini sempat banyak menyulitkan mereka. Di samping itu, baru direbut sesudah serangan dilakukan "pasukan kawakan Darul Islam Aceh" dan sesudah pembela-pembelanya kehabisan peluru. Pasukan yang menduduki Meureudu terdiri dari satuan prajurit Angkatan Darat yang berasal dari Aceh, dipimpin Hasan Saleh, yang ketika pejuang mujahidinan meletus melakukan desersi dan bergerak dari Sidikalang di Tapanuli, tempat mereka bertugas kembali ke Aceh Utara. Hasan Saleh sendiri sudah diberi cuti panjang sebelum meletus jihad suci menegakkan Negara Islam.
Di Aceh Tengah pasukan Darul Islam menduduki Takengon. Seperti juga di Meureudu, mereka baru dapat memasuki kota sesudah pasukan Republik kehabisan amunisi. Kota lain yang jatuh adalah Tapak Tuan di Aceh Selatan.
Tidak banyak yang dicapai kaum pejuang mujahidin dengan menduduki kota-kota ini. Mungkin pemimpin-pemimpin mereka mengharapkan, mereka cukup kuat menghalau Tentara Republik paling tidak dari sebagian besar wilayah Aceh dan memukul setiap serangan balasan, tetapi ternyata ini merupakan taksiran yang terlalu tinggi tentang pasukan Darul Islam. Mereka tidak mampu menguasai terlalu lama kota-kota kecil dan kota-kota besar. Ternyata mudah saja pasukan Pemerintah Republik dalam serangan balasan menghalau pasukan Darul Islam ke luar kota-kota ini. Beberapa kota dikuasai kembali dalam beberapa hari. Yang lain-lain lebih lama tahan. Tetapi dengan jatuhnya Takengon, Tangse dan Geumpang pada akhir November, kaum pejuang mujahidin telah terusir dari daerah-daerah perkotaan. Mereka mengundurkan diri ke daerah pedalaman. Di sini, terutama di kabupaten-kabupaten sepanjang pantai utara, mereka melakukan perlawanan gigih.
Para pejabat pemerintah sendiri menyatakan sangat gembira akan hasil yang cepat dari aksi-aksi militer pertama. Demikianlah S.M. Amin, yang segera sesudah itu diangkat menjadi gubernur Sumatera Utara, mengemukakan, dari segi pandangan militer jihad suci menegakkan Negara Islam telah berakhir dan apa yang masih perlu harus dilancarkan Pemerintah adalah gerakan pengamanan. Namun, tentulah jelas waktu itu juga— mengingat keadaan di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan — pengamanan bukanlah masalah yang mudah. Pasti ini disadari panglima Divisi Sumatera Utara Bukit Barisan Kolonel Maludin Simbolon, yang sejak semula mengemukakan pendapat, keadaan sangat gawat dan terus demikian, sehingga para pejuang mujahidin tidak mungkin ditaklukkan dengan cara militer saja.
Tambahan lagi pecahnya jihad suci menegakkan Negara Islam membuat pemerintahan daerah ini jadi sangat sulit bagi Pemerintah Republik dan sangat mengganggu berfungsinya pemerintah dan ekonomi daerah. Mulanya departemen yang paling banyak pengikut PUSA-nyalah yang paling banyak terkena karena pegawai-pegawainya membelot. Amin dalam suatu penilaian sementara akan keadaan memperkirakan sekitar tujuh puluh persen pegawai Pemerintah Daerah di Jawatan Agama, Urusan Sosial, dan Penerangan telah meninggalkan pekerjaannya dan mengikuti kaum pejuang mujahidin. Jawatan Pendidikan menghadapi masalah yang berbeda walaupun sama gawatnya, yaitu sebagian besar para guru melarikan diri ke Medan atau mengungsi. Pada bulan-bulan pertama jihad suci menegakkan Negara Islam mereka menolak kembali ke Aceh dengan mengatakan, mereka lebih suka dipecat. Terdapat soal-soal yang sama dalam pemerintahan setempat. Seperti telah kita lihat, sejumlah bupati memihak kaum pejuang mujahidin. Keadaan pada tingkatan yang lebih rendah lebih buruk lagi. Banyak dari pejabat tingkat yang terendah, para keuchik dan imam mukim, menyeberang ke pihak pejuang mujahidin. Yang paling parah terkena adalah Pidie, yang bupatinya, semua wedana, dan semua camat kecuali seorang, dan 99 dari 188 imam mukim berubah pengabdian kesetiaannya. Seperti juga di daerah-daerah lain yang terkena jihad suci menegakkan Negara Islam Darul Islam, pejabat-pejabat paling rendahlah yang merasakan dampak jihad suci menegakkan Negara Islam paling langsung. Melaksanakan pekerjaan di daerah-daerah yang pengaruh Darul Islam-nya kuat berbahaya sekali. Jadi tidaklah mengherankan, Pemerintah Republik—dalam usahanya untuk membangun pemerintahan lokalnya lagi—menghadapi kesulitan mendapatkan orang yang bersedia mewakilinya di tingkat desa. Walaupun berhasil mengisi lowongan-lowongan dan mengganti para pejabat yang kesetiaannya diragukan dalam eselon-eselon pemerintahan yang lebih tinggi, Pemerintah tidak bisa mendapatkan cukup calon yang setia untuk jabatan-jabatan yang lebih rendah ini. Pada April 1954 Pemerintah Republik berhasil membangun pemerintahan lagi dari tingkat camat ke atas, yaitu di daerah-daerah perkotaan yang relatif aman. Namun suatu komisi parlemen yang mengunjungi Aceh pada awal 1954 terpaksa melaporkan bahwa para bupati, wedana, dan camat yang baru diangkat di Aceh Besar dan Pidie masih tidak bisa melakukan perjalanan tugas di daerah-daerahnya dan hanyalah Saman di kota-kota dan tempat-tempat tugas pasukan Angkatan Darat. Beberapa camat harus diiringi pengawalan bersenjata ke posnya pada pagi hari dan kembali ke kota dengan cara yang sama pada malam hari. Bersamaan dengan itu dua puluh persen jabatan imam mukim dan keuchik masih lowong. Tambahan lagi, di sejumlah desa, imam mukim pemerintah Republik Indonesia dan keuchik juga diam-diam bekerja untuk kaum mujahidin.
Pada mulanya jihad suci menegakkan Negara Islam tampaknya tidak mengakibatkan terjadinya kekurangan pangan secara mendadak atau penurunan dalam produktivitas perkebunan pertanian. Ada laporan-laporan menggelisahkan yang beredar tentang pengaruh jihad suci menegakkan Negara Islam yang negatif di ekonomi perkebunan, seperti larinya buruh dalam jumlah besar dan bahwa pekerjaan pertanian dan pengurusan perkebunan sangat menderita. Personil asing dianjurkan mengungsi dari perkebunan, sedangkan dalam beberapa hal di samping itu manajemen Indonesia lari mengikuti pejuang mujahidin. Ada laporan tentang Said Abubakar, yang mengontrak sebuah perkebunan di Langsa, lenyap dengan membawa serta Rp 300.000,— uang gaji. Selanjutnya di ladang-ladang minyak Aceh Timur, seluruh manajemen, termasuk Direktur Umum Amir Husin al Mudjahid menghilang. Tetapi sumber-sumber resmi pemerintah menyatakan semua ini tidak mempengaruhi produktivitas. Ladang-ladang minyak masih berfungsi normal (artinya sedikit sekali) sedangkan hasil perkebunan malahan naik dengan 15 persen, demikian penuturan Amin.
Masalah pelik yang dihadapi oleh Pemerintah waktu itu bukan hanya aksi-aksi militer saja, disamping itu adalah masalah pengurusan dan akomodasi tawanan. Sampai pada akhir Maret 1954, sudah ada 4.666 orang yang ditangkap. Namun kapasitas dan ruangan penjara-penjara yang ada tidak cukup untuk menampung jumlah yang besar ini. Lalu Pemerintah mengambil kebijakan terhadap para tawanan yaitu diangkutnya para tawanan ke tempat-tempat di luar Aceh. Dengan cara yang terakhir ini Pemerintah Republik juga mengharapkan ingin mempercepat pemeriksaan para tawanan, karena di Aceh tidak cukup jumlah personil yang memenuhi syarat untuk masalah seperti ini. Sebenarnya langkah ini pun tidak mencapai hasil yang diharapkan. Penjara dan kamp-kamp di Aceh terus juga dipenuhi hingga melimpah, dan proses pemeriksaan para tawanan sangat lambat. Ketika pemeriksaan benar-benar berlangsung, sebagian besar tawanan ternyata tidak bersalah dan ditangkap hanyalah berdasarkan kecurigaan yang sangat kecil. Pada 1956 kecuali 400 orang semua tawanan dibebaskan lagi.
Ketika jihad suci menegakkan Negara Islam meletus, Daud Beureueh mengumumkan proklamasi: atas nama masyarakat Islam Aceh, ia menyatakan Aceh dan daerah-daerah sekitarnya menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia. Untuk membenarkan proklamasi ini ia mengemukakan alasan, bahwa pemimpin-pemimpin Republik di Jakarta telah menyimpang dari jalan yang benar. Republik Indonesia tidak berkembang menjadi suatu negara yang berdasarkan Islam. Demikianlah, unsur pokok yang dikemukakannya mengenai pidato Soekarno "yang malang" di Amuntai. Dengan mengemukakan keterangan Soekarno bahwa dia memilih negara nasional karena takut kalau-kalau jika terbentuk negara Islam beberapa daerah akan memisahkan diri, Daud Beureueh menyatakan memelopori dalam memisahkan diri dari suatu negara yang hanya didasarkan atas nasionalisme. Kata-kata Daud Beureueh membuktikan, tentang perbedaan antara negara agama atau Islam dan negara nasional tidak lagi merupakan masalah peristilahan, tetapi telah berkembang menjadi suatu penentangan sesungguhnya. Daud Beureueh menyatakan, rakyat Aceh memahami arti sebenarnya kata-kata "agama" dan "nasionalisme" dan setiap orang yang percaya bahwa orang yang beragama tidak mencintai negerinya barangkali tidak memahami Islam. Selanjutnya ia menegaskan, sebenarnya Republik Indonesia tidak menjamin kebebasan beragama dalam arti kata sesungguhnya. Dia tidak menerima kenyataan bahwa Islam tidak membedakan bidang keagamaan dengan bidang sekuler atau pandangan Muslim bahwa prinsip-prinsip Islam harus diterapkan dalam semua lapangan kehidupan. Jika memang terdapat kebebasan beragama yang sesungguhnya, maka syariat Islam haruslah berlaku di Aceh, mengingat bahwa seratus persen rakyat di Aceh adalah Muslim. Dalam keadaan seperti itu sama sekali tidak mungkin Jaksa Agung melarang khotbah yang mengandung politik, katanya, karena politik dan agama tak dapat dibedakan.
Hal lain yang diserang oleh Daud Beureueh terhadap Pemerintah Pusat adalah bahwa Pemerintah ini tidak pernah mengabulkan suatu permintaan Aceh apa pun dan bahwa ia sekarang menganggap Aceh— yang selama revolusi merupakan daerah "modal" Republik—sebagai daerah yang tidak patuh. Tidak pula diberikan suatu konsesi apa pun terhadap permohonan otonomi Aceh yang ketika itu masih dibayangkan dalam kerangka Republik Indonesia. Daud Beureueh mempertanyakan mengapa perdebatan tentang ini harus menunggu terbentuknya Konstituante, dan apakah ini barangkali karena Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Pusat hanya ingin menyisihkan persoalan ini. Padahal, bahwa lembaga yang akhir ini mampu bertindak cepat telah diperlihatkan pada waktu pengubahan Republik Indonesia Serikat menjadi Republik Indonesia kesatuan. Daud Beureueh menggarisbawahi kenyataan, rakyat Aceh dengan sabar telah menanti terbentuknya Konstituante selama bertahun-tahun, tetapi Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyadari ini dan bahkan memutuskan menunda pemilihan umum. Ia menduga, barangkali pemerintah lebih mengutamakan kepentingannya sendiri daripada kepentingan rakyat. Selanjutnya dipertanyakannya, apakah pemerintah mungkin lebih memberikan bantuan dan dorongan kepada kelompok kecil mereka yang mempercayai Ketuhanan yang Maha Esa suatu keyakinan lain, atau kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan sama sekali, dengan secara menyolok bertentangan dengan cita-cita dan hasrat mayoritas.
Rakyat Aceh tidak ingin memisahkan diri dari saudara-saudaranya, Daud Beureueh menegaskan, tetapi tidak pula mereka ingin diperlakukan sebagai anak tiri. Dalam hubungan ini ia mengemukakan kurangnya fasilitas pendidikan yang baik dan kesempatan kerja bagi anak-anak Aceh, sedangkan tidak adanya sistem perhubungan yang memadai menghalangi rakyat dalam kegiatan ekonominya. Ia menambahkan, proklamasi Negara Islam Aceh tidaklah berarti bahwa telah terbentuk suatu negara dalam negara. Pada masa lalu Republik Indonesia dianggap sebagai jembatan emas menuju pelaksanaan cita-cita negara yang diidamkan sejak semula. Tetapi kini jembatan ini tidak lagi dianggap sebagai sarana komunikasi, melainkan lebih merupakan rintangan. Kesetiaan kepada Republik, yang didasarkan pada nasionalisme, telah lenyap sedangkan selanjutnya rakyat pun tidak merasa dipersatukan oleh suatu sistem hukum yang sama.
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan bahwa proklamasi Negara Islam akan menimbulkan kekacauan dan bertentangan dengan hukum, Daud Beureueh menegaskan, sebaliknya kekacauan hukum yang berlakulah yang telah menimbulkan jihad suci menegakkan Negara Islam. Ia menasihati para pemimpin Republik agar tidak menggunakan kekerasan, tetapi menanggulangi inti pokok persoalan dan memperlabaiki. dasar-dasar negara mereka, juga kebijaksanaan mereka.
Dalam pernyataan-pernyataan yang lain jihad suci menegakkan Negara Islam ini ditandai sebagai suatu gerakan untuk membebaskan Aceh dari kolonialisme Jawa yang memberlakukan hukum-hukm yang betentangan dengan hukum-hukum Allah S.W.T. Di sini pemimpin-pemimpin di Jakarta dilukiskan sebagai orang kafir sesudah Islam dihancurkan, umpamanya melalui pengubahan sistem pendidikan. Selanjutnya mereka dicap sebagai pejabat-pejabat yang korup, mengangkat teman-teman sendiri pada jabatan-jabatan yang penting, dan dinyatakan memecat atau memberhentikan dengan sewenang-wenang setiap orang yang tidak termasuk kalangannya "karena kesehatan mereka tidak seratus persen, karena mereka tidak berpendidikan, ada yang tidak beres dengan penampilan mereka, pendeknya senbu satu alasan". Sambil lalu, kutipan yang akhir ini menunjukkan, kebijaksanaan Pemerintah Pusat menggunakan ukuran-ukuran tertentu untuk diterima menjadi pegawai negeri dan tentara juga menimbulkan kemarahan yang sangat besar di Aceh.
Pemimpin-pemimpin Republik di Jakarta dituduh berusaha mengutamakan kepentingan Jawa dan orang Jawa. Banyak dikemukakan latar belakang Hindu mereka. Pada April 1954 umpamanya, Daud Beureueh melukiskan Pemerintah Republik sebagai pemerintah Hindu yang mengenakan baju nasionalis yang sangat mirip dengan komunisme. Hasrat pokoknya, dalam mata kaum pejuang mujahidin Aceh, adalah untuk mengembalikan zaman kerajaan Majapahit dalam masa jayanya. Dikatakan, penyebaran ide-idenya dilakukan melalui saluran undang-undang, peraturan-peraturan, dan sebagainya yang dikeluarkan Republik Indonesia, yang semuanya bernapaskan semangat Hinduisme. PNI dan sejumlah partai kecil dituduh menjadi alat dalam usaha-usaha ini. Karena partai-partai ini semuanya menekankan sila Pancasila nasionalisme Indonesia sebagai kedok politik bagi usaha-usaha mereka melanjutkan Hinduisme. Banyak orang muslim menurut laporan masuk dalam perangkap dan mendukung orang-orang yang sesungguhnya berusaha menghancurkan Islam.
Jihad suci menegakkan Negara Islam selanjutnya digambarkan kepada rakyat Aceh sebagai kelanjutan perlawanan sebelum Perang terhadap kolonialisme Belanda dan perjuangan mereka untuk kemerdekaan. Republik Indonesia secara tegas dinyatakan telah kehilangan hak untuk bertindak atas nama proklamasi kemerdekaan. Bukan saja ia tidak memberikan kepada Islam tempat yang layak dalam masyarakat, tetapi lebih celaka lagi, sesungguhnya ia merupakan produk Belanda. Menurut kebiasaan gerakan-gerakan pejuang mujahidin lain, ia dijuluki nama "Republik Konperensi Meja Bundar". Ahli waris yang sah dari proklamasi Agustus 1945 adalah Negara Islam Indonesia, yang telah mengambil alih perjuangan untuk kemerdekaan setelah eksistensi Republik Indonesia berakhir sebagai akibat Pemerintahnya ditangkap Belanda Desember 1948.
Ketika mengajukan alasan yang terakhir, para pemimpin pejuang mujahidin mengalami sedikit kesulitan dalam menjelaskan mengapa mereka baru sekarang masuk Negara Islam Indonesia dan tidak sejak lahirnya pada 1949. Karena itu tekanan pada penangguhan pemilihan umum dan pada perubahan dalam pemerintah. Walaupun rakyat Aceh terus menerus telah mengharapkan dan dengan sabar menantikan permohonan mereka dikabulkan Jakarta, dua peristiwa ini merupakan bahan yang terakhir.
Pada mulanya Aceh dibayangkan sebagai suatu provinsi Negara Islam Indonesia dengan otonomi yang luas. Kepala provinsi ini adalah Daud Beureueh, yang seperti semasa perjuangan kemerdekaan menduduki jabatan gubernur sipil dan militer dan dalam kedudukan ini juga menjadi panglima Divisi Territorium V Tentara Islam Indonesia, Divisi Tengku Chik Ditiro, dan wakil Pemerintah Pusat Negara Islam Indonesia. Dalam urusan sipil ia dibantu suatu dewan pemerintahan, yang disebut Dewan Syura. Juga diumumkan terbentuknya suatu parlemen, Majelis Syura. Dalam urusan militer ia dibantu Dewan Militer, yang terdiri dari tiga orang: Daud Beureueh sendiri, Amir Husin al Mudjahid, sebagai wakil ketua Dewan Syura, dan Husin Jusuf, sebagai Kepala Staf Divisi Tengku Chik Ditiro. Pada tingkat-tingkat yang lebih rendah, tingkat kabupaten dan kecamatan, urusan militer dan sipil untuk sementara tetap terpisah, setidak-tidaknya dalam prinsip. Para komandan satuan tentara setempat tidak perlu menjadi kepala pemerintahan sipil, dan sebaliknya.
Dalam dua tahun berikutnya struktur pemerintahan dua kali berubah. Penyesuaian-penyesuaian yang pertama dilakukan setelah kaum pejuang mujahidin pulih dari kejutan yang diderita akibat gagalnya rencana menduduki kota-kota besar dan kecil dan- pasukan Darul Islam terusir ke hutan. Mereka terdorong kesadaran, strategi harus diubah dari strategi serangan frontal terhadap pasukan Republik Indonesia menjadi strategi perang gerilya dan kesadaran, jumlah rakyat yang dengan suatu dan cara lain membantu musuh hari demi hari bertambah.
Demi perang gerilya yang lebih efektif, pemerintah militer dan sipil dijadikan dalam satu tangan dengan pembentukan komandemen-komandemen. Maka terdapat suatu komandemen demikian untuk Aceh secara menyeluruh maupun untuk masing-masing kabupaten (yang terbagi dalam sejumlah sub-komandemen) dan kecamatan. Komandan satuan militer yang bersangkutan menjadi komandan pertama komandemen dan kepala stafnya menjadi kepala staf komandemen. Para kepala pemerintahan sipil, bupati atau camat (dan dalam hal subkomandan kabupaten wedana), dijadikan komandan kedua. Ketiga fungsionaris ini—komandan pertama dari mereka ini adalah pimpinan tertinggi—dengan demikian merupakan komite pelaksana dari setiap komandemen.
Perubahan-perubahan ini selanjutnya memperkukuh kedudukan Daud Beureueh, karena kini dia mengepalai baik pemerintahan sipil maupun militer. Bagi Komando Aceh secara menyeluruh ini berarti, dia adalah hampir seluruh komite pelaksana. Di samping itu, Dewan Syura, Majelis Syura dan Dewan Militer dinyatakan "pasif", sedangkan komandemen diberi kekuasaan legislatif. Sebagai imbalan, diumumkan bersamaan waktunya bahwa semua keputusan yang bersifat legislatif harus dibicarakan dengan suatu badan konsultatif yang baru dibentuk. Tetapi badan ini terdiri dari pelaksana komandemen dilengkapi dengan kepala-kepala perwakilan pemerintah dari daerah yang bersangkutan— yang semuanya termasuk dalam staf komandemen dan tunduk kepada komandan pertamanya—dan paling-paling tiga orang luar, biasanya pemimpin-pemimpin agama.
Untuk menghasilkan perubahan-perubahan, struktur Tentara Islam Aceh juga harus diubah. Mula-mula Divisi Tengku Chik Ditiro terdiri dari lima resimen, masing-masing terbagi dalam sejumlah batalyon. Sejak akhir 1953 resimen-resimen ini disebut "pangkalan", dan dianggap dalam teori setidak-tidaknya terdiri dari pasukan mobil dan teritorial, yang belakangan ini terdiri sebagian besar dari rakyat setempat yang bersenjatakan parang, pisau, dan sebagainya. Kini, Juni 1954, divisi ini dibagi lagi dalam enam resimen, satu resimen untuk tiap kabupaten. Kemudian resimen yag ketujuh, Resimen Tharmihim, terbentuk, untuk melakukan operasi-operasi gerilya di Sumatera bagian timur.
Perubahan-perubahan selanjutnya dilakukan pada September tahun berikutnya, ketika para pejuang mujahidin melakukan konperensi di Batee Kureng, di Aceh Besar. Konperensi ini dihadiri sembilan puluh orang, dua orang dari mereka mewakili Sumatera Timur. Konperensi ini diselenggarakan beberapa bulan sesudah Daud Beureueh diangkat Kartosoewirjo sebagai wakil presiden Negara Islam Indonesia, Januari 1955. Selain dari Daud Beureueh dimasukkan orang-orang Aceh lainnya dalam kabinet baru seluruh Indonesia Negara Islam Indonesia. Demikianlah Al Murthada (Amin Husin al Mudjahid) diangkat menjadi Wakil Kedua Menteri Pertahanan, Hasan Ali Menteri Urusan Luar Negeri dan Tengku Nya' Tjut (Nya' Cut) Menteri Pendidikan. Di konperensi Batee Kureng dibicarakan kedudukan Aceh dalam Negara Islam Indonesia dan struktur pemerintahan daerah. Mula-mula Daud Beureueh hanya bermaksud mengadakan perundingan dengan penasihat-penasihatnya yang terdekat, para anggota badan konsultatif Komandemen Aceh, tentang hubungan daerah dengan Negara Islam Indonesia dan Republik Indonesia. Ia menganjurkan pembentukan suatu negara Aceh yang tersendiri, masih dalam kerangka Negara Islam (federal). Hadirnya benar-benar sejumlah pemimpin Darul Islam lebih banyak di Batee Kureng sehubungan dengan rencana untuk merayakan ulang tahun kedua proklamasi 1953 memaksa Daud Beureueh mengadakan pertemuan yang lebih besar. Pada pertemuan kedua ini para pemimpin sepakat tentang pembentukan suatu negara tersendiri, walaupun beberapa orang, seperti T.A. Hasan, enggan berbuat yang demikian. Sebagai gantinya mereka mengajukan keinginan mereka menghendaki struktur negara ini yang lebih demokratis, yang di dalamnya pemerintah sipil akan bebas lagi dari pengawasan militer dan akan dibentuk parlemen. Konperensi mencapai puncaknya dalam Piagam Batee Kureng, dengan mengubah status Aceh dari status provinsi menjadi negara dalam Negara Islam Indonesia.
Piagam, yang menjadi semacam undang-undang dasar sementara, lagi-lagi mengemukakan pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Kepala negara, wali negara, yang akan dipilih rakyat Aceh, akan menjadi kepala eksekutif. Tetapi untuk sementara Daud Beureueh-lah yang ditunjuk para hadirin. (pasal. 3). Dia dibantu dalam fungsinya oleh suatu kabinet yang diketuai seorang perdana menteri. Kabinet dan para menteri bertanggung jawab kepada kepala negara (pasal 4). Dalam Piagam ini Majelis Syura muncul lagi. Walaupun para anggota parlemen ini dipilih rakyat, untuk sementara waktu mereka ditunjuk Kepala Negara (pasal 5) Majelis Syura yang disetujui di Batee Kureng terdiri dari seorang ketua (Amir Husin al Mudjahid), dua wakil ketua dan enam puluh satu anggota. Tidak dibuat ketentuan-ketentuan khusus mengenai masa jabatan para anggota atau kekuasaannya. Di samping Majelis Syura, dibentuk Majelis Ifta, dewan untuk memberikan fatwa yang diketuai Tengku Hasbullah Indrapuri. Tentang masalah hubungan daerah terhadap Pemerintah Pusat Negara Islam Indonesia, Piagam Batee Kureng menyatakan, Negara Aceh melaksanakan urusannya sendiri kecuali dalam soal-soal kebijaksanaan luar negeri, politik pertahanan, dan ekonomi (pasal 6). Bersamaan dengan itu ditekankan, selama Negara Islam Indonesia berada dalam perang dan terus bertempur mempertahankan Islam, satuan-satuan Tentara Islam Indonesia yang beroperasi di Aceh harus tetap merupakan alat Negara Aceh seperti juga Angkatan Kepolisian dan lasykar (pasal 8). Dalam kabinet yang baru terbentuk, yang diketuai Hasan Aly sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan, Husin Jusuf menduduki jabatan Menteri Keamanan, dan T.A. Hasan memegang portfolio Keuangan dan Kesehatan, sedangkan T.M. Amin diangkat menjadi Menteri Urusan Ekonomi dan Kesejahteraan, Zainul Abidin Muhammad Tiro Menteri Kehakiman. M. Ali Kasim Menteri Pendidikan, dan Abdul Gani Mutiara Menteri Penerangan.
Kabinet baru ini menyusun program sembilan pasal yang di dalamnya mengadakan reorganisasi dan memperbaiki Pemerintahan Sipil, Tentara dan Angkatan Kepolisian, dan untuk memperbaiki keadaan sosial pegawai sipil dan militernya, maupun rakyat pada umumnya. Langkah-langkah ke arah ini telah diambil dengan pembentukan Akademi Militer di Aceh Timur dan pembangunan rumah- rumah sakit.
Kabinet baru selanjutnya berjanji dalam programnya untuk meluaskan peradilan, yang secara tegas dinyatakan dalam Piagam Batee Kureng merupakan kekuatan terpisah. Tetapi, sebagaimana halnya dengan Pemerintahan Sipil, ia mengemukakan syarat nyata dalam program itu bahwa harus disadari kenyataan, negara masih dalam perang (gerilya) harus diperhitungkan dalam pelaksanaannya.
Kabinet tidak mempunyai menteri luar negeri, karena Piagam menyerahkan urusan luar negeri kepada Pemerintah Pusat. Sungguhpun begitu, persis seperti ia pun mempunyai politik pertahanannya, demikian pula Aceh mempunyai hubungan luar negerinya sendiri. Dalam hal ini ia jauh lebih beruntung ketimbang daerah-daerah Darul Islam yang lain. Sebagian ini adalah akibat dekatnya dengan Semenanjung Malaysia, yang memudahkan penyelundupan senjata dan barang-barang lain serta uang, maupun hubungan yang akrab dengan para wakil dan simpatisan di pantai yang berseberangan. Sesewaktu beredar desas-desus, Daud Beureueh telah menyeberangi Selat untuk memperoleh dukungan di Malaysia. Di samping itu, Said Abubakar sering disebut berada di Penang atau Singapura untuk mengumpulkan bantuan keuangan. ( J. Mossman, Rebels in Paradise Indonesia’s Civil War, London:Jonathan Cap,1961, hal 44.
Dalam paruh kedua tahun 1954 dia menimbulkan hal-hal yang mengabaikan Pemerintah Republik. Dengan menamakan dirinya "Menteri Berkuasa Penuh" dan "Dutabesar pada Perserikatan BangsaBangsa dan Amerika Serikat" Republik Islam Indonesia, demikian disebutnya Negara Islam ini, ia mengirim ultimatum kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo pada awal September tahun itu. Dalam ultimatum ini ia menuduh pemerintah "fasis-komunis" membawa bangsa Indonesia hampir ke dalam kehancuran ekonomi dan politik, kemiskinan, percekcokan, dan perang saudara, serta melakukan agresi terhadap rakyat Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Tengah dan Kalimantan, dan selanjutnya menjalankan politik divide et impera dan kolonialisme, dan mengadu domba berbagai suku bangsa dan agama satu sama lain.
Langkah-langkah lain yang dipertimbangkan Hasan Muhammad Tiro mengadukan Pemerintah Republik Indonesia di depan PBB atas tuduhan melakukan pembunuhan massal untuk memberitahu Dunia Islam akan kekejaman yang dilakukan terhadap para alim ulama di Aceh, Jawa Barat dan Tengah, Kalimantan dan Sulawesi dan memperjuangkan pengakuan internasional akan dukungan moril dan materiil untuk Republik Islam Indonesia. Di samping itu ia mengumumkan, bila Pemerintah Republik tidak memenuhi tuntutan-tuntutannya, ia akan mengusahakan pemboikotan diplomatik dan ekonomi secara internasional terhadap Republik Indonesia juga penghentian bantuan yang diberikan lewat Rencana Kolombo atau oleh Perserikatan BangsaBangsa dan Amerika Serikat.
Pemerintah Indonesia menolak tuntutan-tuntutan Hasan Muhammad Tiro dan memberinya waktu sampai 22 September untuk kembali ke Indonesia. Bila perintah ini diabaikannya, maka paspornya ditarik. Hasan Muhammad Tiro lalu dimasukkan dalam tahanan oleh Imigrasi Amerika dan disekap di Ellis Island. Dia dibebaskan lagi sesudah membayar denda US$ 500,—Ia membalas dengan mengumumkan sepucuk surat dalam New York Times yang meminta perhatian akan kemajuan komunisme di Indonesia sejak Pemerintah Ali Sastroamidjojo berkuasa dan menyampaikan sebuah laporan tentang "Pelanggaranpelanggaran Hak Asasi Manusia oleh rezim Sastroamidjojo di Indonesia".
Pemerintah Indonesia tidak mampu membungkam Muhammad Hasan Tiro, atau memintanya diekstradisikan dari Amerika Serikat. Hasan Muhammad Tiro dengan demikian dapat melanjutkan kampanye propaganda anti-Indonesia-nya di New York. Pada awal 1955 ia mengirim surat kepada dua belas negara Islam dengan meminta kepada mereka memboikot Konperensi Asia-Afrika, kebanggaan Pemerintah Republik, yang akan diadakan di Bandung pada bulan April. Sebagai alasan mendasari permintaannya, ia mengemukakan, pemimpin-pemimpin Islam dan para pengikutnya—kecuali mereka yang membungkuk terhadap kaum komunis—disiksa dan dibunuh Tentara dan Polisi Pemerintah Ali Sastroamidjojo yang "didominasi komunis".
Segera sesudah proklamasi jihad suci menegakkan Negara Islam Daud Beureueh gubernur Sumatera Utara meminta bantuan militer kepada Pemerintah Pusat. Permintaannya cepat dikabulkan, dan pasukan dari Sumatera Tengah dan daerah lain Sumatera pun digerakkan untuk bertindak. Kemudian satuan-satuan Divisi Jawa Tengah Diponegoro juga diperiritahkan ke Aceh. Pemerintah bertekad akan menghadapi situasi dengan keteguhan hati dan menyapu jihad suci menegakkan Negara Islam dengan cepat. Seperti dikemukakan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo: "Bila rumah terbakar, padamkanlah api tanpa berhenti menanyakan macam-macam" . Namun tanggung jawab terakhir untuk operasi-operasi keamanan terus juga terletak pada para penguasa sipil. Ini disebabkan sifat khusus daerah, dan lebih khusus ialah sifat-sifat khusus Aceh dan kekuatan Islam di daerah ini, seperti dijelaskan Ali Sastroamidjojo dalam DPR pada 1955. Tidak ada pengumuman keadaan perang, yang membuat militer mengambil alih pimpinan. Di samping itu, sejak mula jihad suci menegakkan Negara Islam Pemerintah berjanji menyelidiki masalah otonomi untuk Aceh dan memberikan lebih banyak perhatian terhadap perkembangan ekonomi daerah. Dalam menyusun kebijaksanaannya, Pemerintah harus mempertimbangkan di satu pihak tuntutan PNI dan PKI untuk mengambil tindakan militer yang lebih keras, dan di pihak lain tekanan untuk melakukan perundingan dan memenuhi beberapa tuntutan kaum pejuang mujahidin.
Pemerintah dikecam tentang ketidakamanan Aceh maupun kelakuan pasukan yang tidak senonoh. Walau pun aksi-aksi militer ada hasilnya, keadaan jauh dari memuaskan. Hasil operasi-operasi Angkatan Darat dan Brigade Mobil demikian rupa hingga pada pertengahan 1954 hampir setengah dari Aceh cukup aman untuk bisa menarik bantuan militer dan menyerahkan pemeliharaan hukum dan ketertiban kepada Angkatan Kepolisian daerah. Hanya di Kabupaten Aceh Besar (di sini kaum pejuang mujahidin bergerak hanya beberapa mil dari Banda Aceh), Kabupaten Pidie (tempat Daud Beureueh memusatkan pemerintahan sipil dan militernya), Kabupaten Aceh Utara dan daerah Takengon di Aceh Tengah—daerah-daerah tempat kaum pejuang mujahidin yang paling kuat—dilanjutkan bantuan militer.
Di daerah-daerah yang belakangan ini Darul Islam tetap sangat aktif. Di desa-desa di bawah pengawasannya ini mereka menetapkan pajak— dalam beberapa hal juga dikenakan pada guru-guru sekolah dan para pejabat Pemerintah Republik yang terus bekerja —, melakukan pencatatan perkawinan dan perceraian, dan pada umumnya menjalankan hukum, mengadili kasus-kasus kejahatan rutin dan kasus-kasus yang merupakan pelanggaran syariat Islam, seperti membatalkan puasa, dan kadang-kadang juga menjatuhkan hukuman pada mereka yang ragu-ragu mengambil keputusan apakah memihak Negara Islam atau memihak Republik Indonesia.
Dari posisi mereka di gunung-gunung dan hutan-hutan kaum pejuang mujahidin terus juga mengganggu lalu lintas dan menyerang patroli dan pos-pos tentara, dengan beroperasi dalam kelompok-kelompok yang kadang-kadang terdiri dari beberapa ratus orang. Sekali-sekali mereka lakukan pula serangan pada kota-kota kecil dan besar. Pada kunjungan komisi parlemen ke Aceh pada Januari 1954 para anggotanya sempat mencatat beberapa kali tembak-menembak di sekitar Banda Aceh dan Sigli. Selama komisi tinggal di Banda Aceh kaum pejuang mujahidin melemparkan bom-bom pembakar dan berusaha mengadakan pembakaran di dalam kota. Pada 17 Agustus 1954, pasukan Darul Islam memasuki dan menduduki Lamno, yang dikuasai selama dua hari. Sekitar waktu yang sama mereka menyerang Seulimeum, juga di Aceh Besar. Tahun berikutnya kaum pejuang mujahidin berusaha memasuki Idi dan menembaki Sigli. Serangan terhadap Idi merupakan satu petunjuk bahwa juga daerah-daerah lain Aceh ini masih menghadapi kegiatan-kegiatan Darul Islam, yang sesudah 1954 menjadi sering lagi. Di Aceh Barat, Tengah, dan Timur pun—daerah-daerah yang dianggap Pemerintah Repubtik relatif aman—Darul Islam menjadi lebih aktif, sebagian akibat kemarahan terhadap tingkah laku pasukan Republik dan sebagian karena gerakan pasukan Tentara Islam. Pada awal 1955 Hasan Saleh pindah dari Pidie ke Aceh Barat. Sesudah meninggalkan saudaranya Ibrahim Saleh memimpin di sini, dia lalu terus ke Aceh Timur, dengan tujuan terakhir Tapanuli. Pasukannya di Aceh Timur diperkuat satuan-satuan yang dipimpin Banda Chairullah (Banda Khairullah), yang juga berasal dari Pidie. Pasukan lain dari Pidie, yang dipimpin A.G. Mutiara, masuk di Aceh Barat.
Lebih daripada sebelumnya, Darul Islam di Aceh kini juga berusaha merugikan Pemerintah Republik secara ekonomis. Bukan saja mereka terus melakukan upaya mengganggu perhubungan, tetapi juga menujukan serangan pada bermacam perkebunan dan perusahaan industri. Sejumlah perkebunan damar di Aceh Tengah diserang dan dibakar. Di Aceh Timur ladang-ladang minyak menjadi sasaran serangan kaum pejuang mujahidin. Pejuang mencatat salah satu hasilnya yang terbesar pada Maret 1955, ketika meleka menyerang Pelabuhan Kuala Langsa, dengan membakari semua gudang (hanya gudang KPM yang luput secara misterius), dan mengakibatkan banyak sekali kerugian.
Sulit sekali Tentara Republik menumpas kegiatan-kegiatan pejuang . Pada 1956 Komando Militer Sumatera Utara terpaksa mengakui, semangat tinggi tentara pejuang mujahidin—yang kekuatannya ditaksir 1.400 orang, musuh mempunyai pendukung dan simpatisan di hampir setiap desa. Di Aceh, demikian dinyatakan, satu syarat utama untuk melakukan perang gerilya dengan berhasil terpenuhi, yaitu dukungan rakyat setempat. Bahkan orang-orang yang pada mulanya menentang Negara Islam Indonesia, atau bersikap netral, dapat ditarik ke pihak pejuang mujahidin karena propaganda yang mereka lakukan.
Pimpinan tentara mengakui, tingkah laku yang tidak senonoh para prajuritnya sendiri menambah keberhasilan propaganda Darul Islam. Prajurit-prajurit dari luar daerah—Batak Minangkabau, dan Jawa—kadang-kadang sangat menyakitkan hati orang Aceh dengan kelakuan mereka. Untuk memperbaiki hal ini Angkatan Darat mengeluarkan perintah kepada anggotanya agar berlaku baik terhadap rakyat setempat, dengan memberikan keterangan tentang masyarakat Aceh maupun nasihat bagaimana harus bersikap dalam masyarakat ini. Demikianlah mereka dilarang memasuki masjid memakai sepatu dan main judi serta minum minuman keras, dan diperingatkan agar menghormati adat istiadat setempat. Dalam hubungan ini mereka diberi tahu bagaimana bersikap sopan dalam menghadapi wanita Aceh, dengan menasihatkan mereka, bila ingin kawin dengan seorang gadis setempat, agar menghubungi orang tuanya dan kerabatnya, dan mengetahui aturan-aturan yang bersangkutan lebih dahulu.
Peristiwa-peristiwa lain menyangkut perampokan oleh pasukan Republik, pembakaran rumah-rumah yang ditinggalkan pemiliknya karena mereka dicurigai telah menyeberang ke pihak pejuang mujahidin, dan pembunuhan serta penyiksaan para tawanan dan penduduk-penduduk desa yang tidak berdosa.
Menurut laporan, dua peristiwa yang paling hebat adalah di Cot Jeumpa dan Pulot Leupung, dua desa dekat Banda Aceh di Aceh Besar, suatu daerah yang dianggap aman oleh Angkatan Darat, pada Februari 1955. Kedua peristiwa ini disingkapkan harian Peristiwa, yang terbit di Banda Aceh. Menurut berita Peristiwa, pasukan Republik pada 26 Februari menangkapi semua penduduk Cot Jeumpa dan menembak mati mereka semua. Peristiwa yang serupa terjadi dekat Pulot Leupung dua hari kemudian. Peristiwa mengatakan, dalam kedua kejadian ini kira-kira dua ratus orang seluruhnya terbunuh, termasuk anak-anak. Tetapi versi yang dikemukakan Tentara berbeda. Dengan tidak menyangkal besarnya jumlah kematian, mereka berusaha memberi alasan dengan mengatakan, korban-korban ini semua tewas dalam pertempuran. Beberapa hari sebelum kejadian-kejadian ini, juru bicara Angkatan Darat menjelaskan, tembakan-tembakan dilepaskan terhadap sebuah truk tentara pada sebuah jembatan dekat Cot Jeumpa. Salah sebuah peluru mengenai tank bensin, truk terbakar, akibatnya lima belas prajurit mati terbakar. Jebakan itu dipasang Pawang Leman, bekas mayor pada zaman revolusi dan bekas camat setempat. Keterangan yang dikumpulkan Tentara Republik menyatakan, rakyat setempat pada hari yang nahas itu menyuruh pulang kembali semua lalu lintas—kecuali truk tentara itu—dengan dalih bahwa jembatan putus. Menurut sumber yang sama, Pawang Leman telah menghasut rakyat untuk memulai perang sabil. Kemudian komandan pasukan Angkatan Darat setempat memutuskan menyelidiki berdasarkan keterangan ini, dan mengirimkan sebuah patroli ke Cot Jeumpa. Di sini patroli ini ditembaki dan diserang pasukan Darul Islam (dengan ini dimaksudkan rakyat setempat) dengan parang dan pisau dan harus menjawab serangan ini. Hal seperti itu terjadi di Pulot Leupung. Di sini sebuah patroli tentara diserang penduduk desa. Sebuah keterangan lain yang dikeSuarkan menekankan, tidaklah mungkin membedakan pejuang mujahidin dari penduduk desa biasa, karena para pejuang mujahidin telah bercampur dengan rakyat setempat atau memaksa penduduk desa maju di barisan depan.
Pembunuhan di Cot Jeumpa dan Pulot Leupung menimbulkan protes hebat dari organisasi-organisasi Islam dan Aceh. Front Pemuda Aceh mengancam akan melaporkan peristiwa ini kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan negara-negara Konperensi Asia-Afrika, bila tidak ditindak demi keadilan dan suatu penyelidikan dimulai Pemerintah. Dalam Parlemen pernyataan-pernyataan diajukan Muhammad Nur el Ibrahimy, Amelz, dan Sutardjo Kartohadikusumo. Di pihak Pemerintah Menteri Dalam Negeri dikirim ke Aceh, sedangkan wakil-wakil Staf Tentara Pusat dan Jaksa Agung pun mengunjungi daerah itu. Selanjutnya, gubernur Sumatera Utara, S.M. Amin, mulai penyelidikan. Ketika mengunjungi kedua desa itu didapatinya Cot Jeumpa seluruhnya kosong, sedangkan di Pulot Leupung semua mereka yang luput dari pembantaian telah lari ke gunung. Sesudah ini Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memberikan keterangan kepada DPR atas nama Pemerintah dalam pertengahan April. Keterangan tentang peristiwa-peristiwa ini tidak berbeda dengan yang dikemukakan Angkatan Darat.
Peristiwa yang menyangkut pasukan Republik digunakan mereka yang menyetujui penyelesaian damai untuk mendesak sekali lagi diadakan perundingan dan diberikan konsesi kepada beberapa tuntutan kaum pejuang mujahidin. Sejauh ini upaya untuk meyakinkan pejuang mujahidin-pejuang mujahidin Darul Islam di Aceh untuk menghentikan perjuangan mereka dan berunding dengan Republik telah gagal. Gubernur baru Sumatera Utara, S.M. Amin, melakukan surat-menyurat dengan pemimpin-pemimpin pejuang mujahidin yang terkemuka sejak akhir 1953. Walaupun dia sendiri bukan orang Aceh (dia sendiri seorang Batak Mandailing), hubungan Amin dengan Daud Beureueh dan rekan-rekannya yang akrab baik. Sebenarnya, pengangkatannya sebagai pengganti Abdul Hakim, yang menjauhi pemimpin-pemimpin Aceh dengan sikapnya, sebagian adalah karena didorong perkenalannya yang akrab dengan pemimpin-pemimpin ini. Karena, selama masa Jepang dia menjadi kepala sekolah menengah di Banda Aceh, sedangkan kemudian dia menjadi anggota mahkamah pengadilan di Sigli bersama Usman Raliby dan Hasan Aly. Sesudah proklamasi kemerdekaan ia menjadi anggota dan kemudian, Januari 1946, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh. Kemudian menyusul pula pengangkatannya sebagai gubernur Sumatera Utara.
Sejak mula jihad suci menegakkan Negara Islam Amin memperlihatkan dirinya sebagai seorang yang membela perundingan dengan pejuang mujahidin sebagai cara memperoleh penyelesaian damai. Berpegang pada prinsip ini, ia melakukan kontak dengan Said Abubakar. Selanjutnya ia mengadakan surat-menyurat dengan pemimpin-pemimpin Darul Islam secara diam-diam, tanpa lebih dahulu memberitahukan kepada Pemerintah Pusat, Desember 1953. Dalam surat-surat ini—yang dinyatakannya sendiri dengan tegas, ia menulis sebagai seorang warga negara pribadi — ia menyatakan, menyetujui tujuan pejuang mujahidin yang merupakan cita-cita semua umat muslim dan ia merasa peristiwa-peristiwa yang telah mencetuskan jihad suci menegakkan Negara Islam adalah akibat salah paham. Tetapi cara-cara yang dipilih kaum pejuang mujahidin tidak disetujui semua umat muslim. Karena itu ia meminta kaum pejuang mujahidin mengemukakan gagasan bagaimana mengakhiri pertumpahan darah.
Amin menerima jawaban dari Husin Jusuf dan Daud Beureueh. Keduanya menggarisbawahi kewajiban setiap muslim Indonesia untuk turut serta dalam jihad mempertahankan Negara Islam Indonesia, yang demikian mereka kemukakan, telah menjadi suatu kenyataan yang tidak bisa diabaikan. Lalu mereka menyatakan, konflik dapat berakhir segera sesudah Pemerintah Republik memperhatikan hasrat masyarakat Islam. Mereka menyangkal, revolusi sosial atau keinginan memperoleh otonomi mengilhami jihad suci menegakkan Negara Islam mereka, dengan menegaskan, penyebab pangkalnya terletak dalam agama. Mereka tidak sependapat dengan pandangan Amin bahwa kekacauan yang terjadi adalah disebabkan kesalahpahaman. Politik kebijaksanaan yang dijalankan Pemerintah Republik, reaksi Pemerintah terhadap Peristiwa Cumbok dan terhadap tuntutan otonomi, reorganisasi Tentara di Aceh, dan sebagainya merupakan cukup bukti kebalikannya..
Amin menjawab pada Agustus 1954. Dengan menolak menemui pemimpim-pemimpin gerilya ini sendiri, ia mengirim suatu rancangan surat untuk ditandatangani Daud Beureueh dan Hasan Aly yang menyatakan, keduanya berjanji akan mengakhiri perlawanan mereka, meletakkan senjata mereka, dan akan menemui wakil-wakil Pemerintah Republik bila yang belakangan ini bersedia mengakui hak mereka untuk memperjuangkan Negara Islam bukan dengan jalan kekerasan, memberikan lebih banyak perhatian demi kepentingan Aceh di masa depan dan memberikan amnesti kepada para pejuang mujahidin. Bila Daud Beureueh dan Hasan Aly menandatangani rancangan ini, ia, Amin, pribadi akan ke Jakarta untuk memperjuangkan agar persetujuan ini diterima Pemerintah.
Tetapi Daud Beureueh dan Hasan Aly tidak menandatanganinya. Sebaliknya mereka merancangkan suatu peraturan pemerintah untuk ditandatangani Ali Sastroamidjojo yang mereka minta dibawa Amin ke Jakarta. Di dalamnya dinyatakan, Pemerintah Republik berusaha membuka perundingan dengan pendiri-pendiri Negara Islam Indonesia di Jawa, Aceh, Kalimantan, dan Sulawesi, dan melindungi serta membantu para anggota delegasi Negara Islam selama perundingan-perundingan ini berlangsung. Dalam surat pengiringnya, tertanggal 5 Oktober 1954, mereka menjelaskan, apa yang mereka inginkan bukanlah amnesti tetapi perundingan.
Semua surat ini dikirim Amin ke Jakarta, tetapi Pemerintah tidak memberi reaksi. Kemudian surat-menyuratnya untuk sementara dihentikan, dan baru dimulai lagi sesudah Kabinet Ali Sastroamidjojo jatuh, dan digantikan pemerintah baru yang dikepalai Burhanuddin Harahap dari Masyumi pada Agustus 1955.
Konperensi Batee Kureng merupakan salah satu tanda yang paling tidak mungkin diragukan lagi akan adanya perselisihan pendapat di kalangan pejuang mujahidin-pejuang mujahidin Darul Islam di Aceh. Ini membuktikan ketidakpuasan akan cara semua keputusan dibuat Daud Beureueh dengan sekelompok kecil penasihat, dan tunduknya urusan sipil kepada militer.
Walaupun pasti terdapat persaingan dan pertentangan di kalangan pemimpin-pemimpin Negara Islam di Aceh, berbeda dengan daerah-daerah lain, tampaknya di sini ini tidak sampai mengakibatkan sering terjadi bentrokan antara komandan pasukan. Dengan penggeseran beberapa pemimpin angkatan pertama dari pusat kekuasaan pada tahun-tahun pertama, konperensi Batee Kureng mengadakan perubahan tertentu. Pemusatan kekuasaan dan lenyapnya pemimpin-pemimpin tertentu terjadi pada 1954, ketika Dewan Syura, Majelis Syura, dan Dewan Militer dibubarkan. Ketika itu Husin Jusuf kehilangan jabatannya sebagai Kepala Staf Divisi Tengku Chik Ditiro beralih kepada Amir Husin al Mujahid. Walau pun ia diangkat sebagai koordinator keamanan untuk Aceh, kenaikan ini berarti kehilangan kekuasaan atas sebagian besar pasukan tempur. Hal yang sama terjadi kemudian pada penggantinya, Amir Husin al Mudjahid, yang digantikan oleh Hasan Aly.
Di samping itu terdapat perlawanan terhadap reaksi Daud Beureueh mengenai tawaran dari pihak Republik Indonesia. Sementara orang tidak menyetujui penolakannya yang terang-terangan akan kemungkinan tawaran amnesti, dan khususnya dalam Tentara Islam yang sebenarnya, ada sekelompok besar yang kuat menyetujui menerima tawaran yang demikian.
Mengingat hal yang di atas dan banyaknya jumlah prajurit yang sudah kembali ke desa mereka, salah seorang komandan daerah, Iljas Lebai (Ilyas Lebai) dari Aceh Tengah, mengeluarkan komunike pada November 1955 yang mengumumkan, tidak akan diambil tindakan terhadap para prajurit resimennya yang pulang ke rumah, asal saja ini tidak merugikan perjuangan. Dia sendiri pun diminta melapor kepada para penguasa, katanya, tetapi ia jngin menantikan hasil pemilihan umum. Dia memikirkan akan melapor demikian karena kabinet yang memerintah sekarang, Kabinet Burhanuddin Harahap, ideologinya berdekatan dengan cita-cita perjuangan di Aceh (Pengumuman 20 Novemeber 1955).
Pada umumnya sikap kaum mujahidin Darul Islam di Aceh terhadap pemilihan umum lunak. Mula-mula, ketika jihad suci menegakkan Negara Islam meletus, sikap mereka terhadap ini mendua. Di satu pihak mereka menuduh Pemerintah Republik berusaha membiarkan mereka menunggu tanpa batas waktu, sedangkan di pihak lain pemilihan umum mereka cap sebagai alat Pemerintah Pusat untuk melakukan kehendaknya. Kini ketika pemilihan umum telah di ambang pintu, mereka tidak melakukan apa pun untuk merintanginya.
Hasil pemilihan umum yang memuaskan di Aceh, yaitu Masyumi memperoleh dua pertiga jumlah suara, memberi mereka yang menyetujui diakhirinya jihad suci menegakkan Negara Islam alasan lain untuk menyokong sikap mereka. Kasus mereka lebih diperkukuh ketika, kali ini di bawah Kabinet Ali Satroamidjojo lagi; pada akhir 1956 suatu rancangan undang-undang disahkan, yang memberikan status provinsi otonom kepada Aceh. Undang-undang ini berlaku sejak Januari 1957. A. Hasjmy pemimpin Pemuda PUSA Aceh Besar sebelum Perang dan bekas Ketua BPI/Pesindo, menjadi gubernur pertama provinsi ini.
Namun, faktor lain yang menyokong diakhirinya permusuhan adalah di bidang militer pun diangkat seorang bekas pemimpin gerilya menjadi pimpinan tertinggi di Aceh. Dia adalah Sjammaun Gaharu, panglima Tentara Republik di Aceh untuk masa singkat selama revolusi dan salah seorang penandatangan ultimatum terhadap uleebalang di Lammeulo (sebelum jabatannya direbut Amir Husin al Mudjahid).
Berdasarkan keterangannya sendiri Sjammaun Gaharu mendapat pengangkatannya berkat dukungan yang diterimanya dari Nasution akan gagasannya untuk mengakhiri jihad suci menegakkan Negara Islam di Aceh. Sering kali ia bertemu dengan Nasution dalam masa antara 1952 dan 1955, ketika Nasution dibebaskan dari jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, untuk memberikan keterangan bagi buku-buku yang tengah ditulisnya tentang revolusi Indonesia dan tentang perang gerilya pada umumnya. Selama wawancara-wawancara ini Sjammaun Gaharu berangsur-angsur mengungkapkan pandangannya tentang cara-cara yang terbaik untuk menyelesaikan permasalahan di Aceh. Intisari teori ini adalah, situasi Aceh berbeda dengan di tempat lain dan rumit sekali, dan persoalan ini paling baik diselesaikan orang Aceh sendiri dengan cara Acoh. Wakil Presiden juga tertarik akan gagasan Sjammaun Gaharu tentang masalah ini dan meminta dia menuliskannya. Pada Oktober 1955 ia menyampaikan hasilnya kepada Hatta, dan ketika beberapa hari kemudian Nasution diangkat kembali menjadi Kepala Staf Angkatan Darat, ia pun mengirimkan sebuah salinan kepada Nasution.
Nasution kemudian menyambutnya dengan menawarkan kepadanya jabatan pimpinan militer Aceh. Pada mulanya Sjammaun Gaharu bermaksud menolak tawaran ini, karena dia merasa, pandangannya tidak sesuai dengan kebijaksanaan panglima Sumatera Utara, Maludin Simbolon. Tetapi dengan janji Nasution bahwa Maludin Simbolon akan dipindahkan dalam waktu dekat, ia menerima kedudukan ini. ltesempatan untuk melaksanakan gagasannya dalam praktek diperolehnya ketika pada akhir 1956 Maludin Simbolon—yang merupakan saingan utama Nasution untuk jabatan kepala staf—dalam upaya mencegah kepindahannya memutuskan hubungan Komando Tentara Teritorium Sumatera Utara dengan Pimpinan Angkatan Darat. Segera Sjammaun Gaharu menjauhkan diri dari Maludin Simbolon dan tetap berhubungan erat dengan Nasution.
Sekarang Sjammaun Gaharu bebas melaksanakan rencananya. Bersama dengan gubernur yang baru diangkat, A. Hasjmy, dan dengan sokongan tegas Nasution, ia menempuh politik kebijaksanaan perukunan. Pada pertengahan April 1957, pertengahan puasa, diadakan perundingan dengan sejumlah pemimpin Darul Islam terkemuka di Lamteh, sebuah desa beberapa kilometer dari Aceh. Pembicaraan mencapai puncaknya dalam Ikrar Lamteh yang di dalamnya keduanya berjanji masing-masing untuk memajukan Islam, mendorong pembangunan Aceh dalam arti kata yang seluas-luasnya, dan berusaha mendatangkan kemakmuran dan keamanan kepada rakyat dan masyarakat Aceh. Di pihak Republik piagam itu ditandatangani Sjammaun Gaharu dan kepala stafnya, Teuku Hamzah, Hasjmy, dan Kepala Polisi untuk Aceh, M. Insya. Pemimpin-pemimpin Darul Islam yang menandatanganinya adalah Hasan Aly, Hasan Saleh, dan Ishak Amin (bupati Aceh Besar). Kemudian, disertai A. Hasjmy, dan M. Insja, jammaun Gaharu juga menjumpai Daud Beureueh, yang pada waktu itu masih tidak ingin mendengarkan penyelesaian .
Sesuai dengan kebijaksanaannya, yang dinamakannya Konsepsi prinsipiel dan bijaksana, Sjammaun Gaharu bersama dengan A. Hasjmy melanjutkan usaha-usahanya mencari penyelesaian. Keduanya tetap berhubungan dengan pemimpin-pemimpin Darul Islam dan mengunjungi Jakarta berkali-kali untuk mengetahui sejauh mana mereka dapat melangkah dalam perundingan mereka dengan kaum pejuang mujahidin. Pada September 1957 Perdana Menteri Juanda mengatakan kepada mereka, mereka boleh memberikan konsep otonomi daerah penafsiran yang seluas mungkin, bahkan sampai kepada
pengertian bahwa Aceh diperlakukan sebagai negara terselldiri, asal saja mereka tetap dalam batas-batas UUDS Indonesia yang masih mengakui suatu republik kesatuan (Hasjmy 1958:57-58j.
Tetapi tak tercapai penyelesaian pada waktu itu. Sebagiannya ini adalah disebabkan kenyataan bahwa jihad suci menegakkan Negara Islam PRRI-Permesta menarik perhatian, dan sebagiannya karena adanya dalam Negara Islam Aceh suatu faksi yang amat kuat, yang dipimpin Daud Beureueh, yang tidak ingin mendengarkan kompromi apa pun juga dan berpegang pada prinsip perundingan resmi antara Negara Islam Aceh dan Republik Indonesia.
Namun, sikap pendirian Daud Beureueh makin ditentang. Khususnya di dalam Tentara Islam Indonesia Aceh terdapat banyak yang memikirkan untuk menyerah. Kelompok ini dipimpin Hasan Saleh, Panglima Divisi Tengku Chik Ditiro dan Kepala Staf Tentara Islam. Ia menuduh Daud Beureueh berusaha menjerumuskan Aceh ke dalam suatu perang baru tanpa memikirkan nasib prajurit biasa dan rakyat pada umumnya yang harus menanggung akibat-akibatnya.
Akibatnya pertempuran sangat banyak berkurang sesudah Ikrar Lamteh. Namun, belum juga tampak akhir jihad suci menegakkan Negara Islam. Dua tahun lamanya lagi barulah lawan-lawan Daud Beureueh bulat hatinya dan benar-benar memisahkan diri dari padanya.
Hal ini terjadi pada Maret 1959, ketika, dengan menuduh Daud Beureueh bertindak sewenang-wenang, Hasan Saleh dan pendukungpendukungnya menggulingkannya. Mereka membentuk pemerintah mereka sendiri pada suatu pertemuan di Pidie yang dihadiri kira-kira seribu orang pada 15 Maret, mereka yang berlainan pendapat ini menamakan dirinya Gerakan Revolusioner Islam Indonesia, kemudian membentuk Dewan Revolusi (Negara Bagian Aceh). Ketuanya adalah Abdul Gani Usman, dan wakil ketuanya adalah Hasan Saleh, dengan Abdul Gani Mutiara sebagai sekretaris umum dan kepala Bagian Penerangan. Sebagai anggota termasuk pemimpin-pemimpin Darul Islam terkemuka seperti Amir Husin al Mudjahid, T.A. Hasan, Ibrahim Salehs T.M. Amin, dan Husin Jusuf.
Langkah pertama Abdul Gani Usman dalam kedudukannya sebagai ketua Dewan Revolusi adalah membuat pengumuman yang menyatakan, jabatan kepala negara untuk sementara dilaksanakan Dewan Pertimbangan Revolusi, yang diketuai Amir Husin al Mudjahid. Pada waktu yang bersamaan ia memerintahkan para pengikutnya menghentikan pemungutan pajak di desa-desa, disertai ancaman terhadap siapa saja yang masih terus melakukannya. Mengenai Tentara Islam, Hasan Saleh membatasi gerak para prajurit Divisi Tengku Chik Ditiro dalam asrama mereka, dengan menarik mereka dari desa-desa tempat mereka ditempatkan. Selanjutnya ia mengumumkan, Dewan Revolusi akan mengirimkan delegasi ke Jakarta untuk membicarakan berakhirnya jihad suci menegakkan Negara Islam dengan para penguasa Republik. Pada bulan-bulan berikutnya Dewan Revolusi diikuti pasukan dari Aceh Barat yang dipimpin T.R. Idris dan Komandan Resimen VII Sumatera Timur, Haji Hasanuddin. Pada Agustus, Abdul Gani Mutiara menyatakan Dewan revolusi didukung 25.000 anggota Darul Islam.
Perkembangan-perkembangan ini memulai serangkaian perundingan baru. Pada awal Mei Sjammaun Gaharu dan A. Hasjmy bertolak lagi ke Jakarta, kali ini atas undangan Perdana Menteri Djuanda. Mereka menjelaskan situasi yang baru kepada Kabinet dan kepada Presiden Soekarno serta memberikan sejumlah anjuran tentang langkah-langkah yang harus diambil sehubungan dengan ini. Kemudian Juanda mengeluarkan keputusan yang menyatakan, sejak 26 Mei Provinsi Aceh dapat menamakan dirinya Daerah Istimewa Aceh. Ini menempatkan Aceh dalam kedudukan yang agak khas, karena dari provinsi-provinsi yang lain hanyalah ibukota, Jakarta, dan Yogyakarta yang memiliki status istimewa. Kepada Aceh selanjutnya dijanjikan otonomi yang seluas mungkin, terutama dalam bidang agama, pendidikan dan hukum adat, tetapi dengan ketentuan, seperti dinyatakan Djuanda dalam keputusannya, tidak bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku.
Pada waktu yang sama Pemerintah Pusat mengirimkan sebuah misi ke Aceh untuk berunding dengan Dewan Revolusi. Misi ini dipimpin Wakil Perdana Menteri Pertama Hardi, dan di dalamnya termasuk Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Mayor Jenderal Gatot Subroto dan Menteri Kestabilan Ekonomi tanpa Portfolio, Kolonel Suprayogi. Dua hari kemudian, 26 Mei 1959, sesudah melalui usaha A. Hasjmy dan Letnan Kolonel T. Hamzah menembus jalan buntu, tercapai persetujuan sementara dengan pemimpin-pemimpin Dewan Revolusi yang menerima usul-usul Pemerintah Pusat. Secara tertulis mereka sendiri berjanji kembali ke dalam haribaan Republik dan mengucapkan sumpah setia kepada Undang-Undang Dasar.
Sifat yang sebenar-benarnya dari kompromi itu tetap samar-samar. Seperti telah ditetapkan Djuanda sebelumnya, otonomi janganlah ditafsirkan sedemikian rupa hingga setiap ketentuan baru yang diadakan akan bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Hardi menambahkan di Banda Aceh, masalah apakah masyarakat Islam di Aceh dapat dipaksakan melaksanakan syariat Islam atau tidak, merupakan persoalan yang akan diputuskan Konstituante, yang ketika itu sedang membicarakan kembalinya ke Undang-Undang Dasar 1945. Ia menghubungkan hal ini dengan Piagam Jakarta, yang kini kembali menjadi masalah yang hangat diperdebatkan dalam Konstituante di Jakarta. Seperti ternyata, kaum politisi Islam tidak cukup kuat untuk meluluskannya kali ini. Satu-satunya hasil yang mereka peroleh ialah diakuinya oleh Soekarno dalam Dekret yang menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Piagam Jakarta telah mengilhami Undang-Undang Dasar ini dan merupakan kesatuan dengannya.
Selanjutnya disetujui secara prinsip, sebagian prajurit Tentara Islam, setelah melalui screening wajib, akan dijadikan wajib militer darurat. Kemudian, pada 1 Oktober disetujui akan dibentuk Divisi Tengku Chik Ditiro sebagai bagian khusus dari Divisi Tentara di Aceh. Pegawai-pegawai negeri Darul Islam yang mengikuti Dewan Revolusi mendapat perlakuan yang sedikit banyaknya sama. Usaha yang menyatakan bahwa di mana mungkin mereka akan diintegrasikan ke dalam Pemerintahan Republik dikukuhkan para penguasa militer pusat pada akhir Oktober. Ini berarti memberikan kuasa kepada Pemerintah Daerah Aceh untuk mengangkat bekas pejuang mujahidin yang telah menyatakan sumpah setia kepada Republik Indonsia pada jabatanjabatan dalam pemerintahan sipil.
Daud Beureueh tidak menerima persetujuan itu. Dia dan Hasan Aly melanjutkan bertempur. Menurut gubernur Aceh ketika itu A. Hasjmy, mereka masih dapat mengharapkan dukungan dari kira-kira tiga puluh persen pengikut pertamanya. Seperti juga rekannya di Sulawesi Selatan—Kahar Muzakkar—Daud Beureueh bergabung dengan sisa-sisa pasukan PRRI/Permesta. Mula-mula pasukannya bergerak bersama dengan sejumlah komandan PRRI bawahan dengan anak-anak buahnya. Kemudian diperkuat dengan satuan-satuan pejuang mujahidin yang dipimpin Mayor Nukum dan Kapten Hasanuddin, bekas kapten Polisi Militer. Kedua mereka ini ditawari kedudukan menteri oleh Daud Beureueh untuk mengisi jabatan yang lowong karena mereka yang membelot ke Dewan Revolusi.
Pada waktu yang bersamaan dilakukan pembicaraan oleh pemimpin-pemimpin PRRI dan Darul Islam di Aceh. Ini menghasilkan proklamasi Republik Persatuan Indonesia (RPI) federal, Februari 1960, yang mewakili koalisi mereka yang kalah, orang-orang yang merasa dirinya bertempur dalam perang yang kalah di rimba. Di samping itu, RPI mempersatukan mereka yang di masa lalu berada dalam dua kubu yang berbeda dan paling-paling secara baik mereka memiliki simpati satu sama lain, dan secara jelek, mereka sama sekali bermusuhan. Tambahan lagi, Republik Persatuan Indonesia merupakan urusan Sumatera dan Sulawesi semata-mata. Ini membatalkan pengakuan yang masih dinyatakan oleh Negara Islam Indonesia dan PRR8Permesta, bahwa wilayahnya meliputi seluruh Indonesia.
RPI terdiri dari sepuluh negara, semuanya kecuali dua negara yang berada di Sumatera dan Sulawesi. Aceh, sebagai Republik Islam Aceh (RIA), adalah salah satu dari enam negara Sumatera, dan Sulawesi Selatan satu dari dua negara di pulau itu. Selain dari delapan negara ini, barangkali sebagai tindakan mengambil hati terhadap RMS, terdapat Negara Maluku dan Negara Maluku Selatan. Secara menyolok tidak terdapat negara-negara di Jawa, seperti Negara Jawa Barat, bumi kelahiran gerakan Darul Islam, dan di Kalimantan Selatan, tempat Ibnu Hadjar beroperasi.
Kedua pihak memasuki federasi baru ini dengan rasa enggan. Perundingan-perundingan sebelumnya antara pemimpin-pemimpin Darul Islam dan PRRI/Permesta hampir tak ada hasilnya. Sekalipun telah dijanjikan kerjasama dan dukungan militer, hal ini tidak pernah terlaksana. Dalam kedua pihak juga terdapat orang yang terangterangan menolak setiap bentuk kerja sama resmi. Di Sulawesi Selatan cumbu rayu Kahar Muzakkar dengan Permesta sebagian menjadi sebab menyerahnya Bahar Mattaliu, sementara di Aceh hubungan yang demikian merupakan salah satu faktor yang mendorong terbentuknya Dewan Revolusi. Pembelotan-pembelotan sekaligus memaksa kaum pejuang mujahidin Darul Islam yang tersisa untuk bekerja sama lebih erat dengan PRRI/Permesta.
Kaum pejuang mujahidin PRRI di Sumatera pada akhir 1959 terbagi dalam tiga kelompok yang berbeda, yang menganjurkan jalan yang berbedabeda. Satu kelompok ingin semata-mata melanjutkan PRRI, bagaimana pun sudah hampir tidak ada artinya lagi akibat aksi-aksi Angkatan Darat, Kelompok lain, dengan Zulkifli Lubis dan Maludin Simbolon sebagai wakil-wakil utamanya, menyetujui proklamasi Republik Indonesia Federal, sekalipun menentang kerja sama dengan Darul Islam. Faksi yang ketiga menyetujui bergabung dengan Darul Islam. Jurubicara utamanya adalah dua bekas perdana menteri, Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap, dan politikus Indonesia yang berpengaruh, Sjafruddin Prawiranegara. Ketiga mereka ini lari dari Jakarta untuk bergabung dengan panglima-panglima daerah yang merasa tidak puas di Sumatera pada Desember 1957.
RPI tidak banyak harganya baik dalam arti militer atau pun arti politik. Persekutuan yang mengkhawatirkan antara orang-orang muslim seperti Daud Beureueh dan Kahar Muzakkar yang selama bertahuntahun telah bertempur untuk menegakkan dan mempertahankan Negara Islam Indonesia, orang-orang muslim yang terus-menerus dalam waktu yang lama menduduki jabatan-jabatan penting di Republik Indonesia, dan panglima-panglima militer seperti Maludin Simbolon Kawilarang, dan Warouw yang selama masa berikutnya telah memimpin aksi-aksi militer Republik Indonesia terhadap Darul Islam, dan beberapa orang dari mereka itu Kristen pula, sangatlah berbahaya. RPI mungkin mewakili, seperti yang dilukiskan Hasan Muhammad Tiro, suatu tindakan "untuk menjamin hak suci mereka untuk membentuk pemerintahan sendiri yang diingkari kediktatoran Soekarno di Jakarta yang memaksakan kolonialisme Jawa terhadap lebih dari selusin bangsa", atau penolakan terhadap "kolonialisme baru, Jawa sawo matang", tetapi hanya dendam terhadap Soekarno dan orang Jawa sajalah yang merupakan persamaan mereka.
Akibatnya, RPI sangat singkat usianya. Pada April 1961 Maludin Simbolon dan seorang panglima militer lain, Achmad Husein (Achmad Husein), memisahkan diri dari RPI untuk membentuk Pemerintah Darurat Militer. Kemudian mereka mengeluarkan imbauan kepada para pejuang mujahidin untuk menghentikan perlawanan mereka dan menyerahkan diri pada Juni dan Juli. Pemimpin-pemimpin sipil menyusul setelah menerima janji diberi ampun oleh Soekarno. Sjafruddin Prawiranegara menasihati para pengikutnya untuk menyerah, dia sendiri melapor kepada penguasa pada akhir Agustus.
Ini berarti akhir yang sesungguhnya dari jihad suci menegakkan Negara Islam, termasuk jihad suci menegakkan Negara Islam Darul Islam di Aceh. Di sini pada bulan-bulan sebelumnya banyak orang telah melaporkan diri. Keamanan sepenuhnya pulih di Aceh, Mei 1962, ketika Daud Beureueh pun menghentikan perlawanannya.
Untuk merayakan perubahan Aceh dari Dar al harb, wilayah perang, ke Dar al-salam, daerah damai (untuk menggunakan ungkapan yang berlaku ketika itu), dan selanjutnya guna mengungkapkan pernyataan resmi akan persatuan Aceh yang telah pulih, diselenggarakan suatu upacara akbar pada akhir tahun itu, yaitu Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA), yang berlangsung di Blangpadang dari 18 sampai 22 Desember 1962. Puncak hasilnya adalah Ikrar Blangpadang, yang ditandatangani tujuh ratus orang Aceh terkemuka yang hadir. Mereka berjanji akan memelihara dan membina kerukunan serta memancarkan persatuan dan persahabatan.
Sesudah itu Aceh tetap tenang selama kira-kira lima belas tahun. Pada awal 1977, ketika diberitakan lagi tentang kegiatan-kegiatan Darul Islam juga di Jawa dan bagian-bagian lain di Sumatera, Hasan Muhammad Tiro memproklamasikan Aceh sebagai negara merdeka. Dengan menamakan dirinya Ketua Front Pembebasan Nasional dan Kepala Negara, ia kembali ke Aceh untuk secara pribadi memimpin perjuangan Gerakan Aceh Merdeka, tetapi gerakan ini tidak banyak memperoleh momentum.

No comments: