Bab Satu
JAWA PADA AWAL ABAD XX
Untuk memahami sosok dan pemikiran S.M. Kartosoewirjo sebagai seorang tokoh gerakan Islam, harus dipahami bagaimana lingkungan sosial-budaya dan masyarakat tempat ia berasal, yang membentuk pribadi dan mempengaruhi pemikirannya. Sebagai seorang yang dilahirkan dari lingkungan masyarakat Jawa pesisiran, Kartosoewirjo sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial-budaya dan tradisi Jawa, yang kemudian membentuk nilai-nilai bagi gerakan dan pemikirannya, sebagaimana ia memahami dan menerjemahkan ajaran-ajaran Islam ke dalam gerakannya, untuk itu harus dilihat situasi sosial masyarakat dan kondisi politik pada masa ia lahir dan tumbuh menjadi sosok proklamtor Negara Islam Indonesia.
Sudah sejak lama pulau Jawa merupakan pulau yang paling padat populasi penduduknya dibandingkan dengan pulau lainnya yang ada di kepulauan Indonesia. Di samping itu, pulau Jawa sangat strategis letaknya sebagai jalur lintas antar-pulau dan perdagangan di Nusantara. Maka tidak mengherankan jika pada abad ke-6 dan ke-7, telah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu yang dibawa orang-orang India yang menandai perkembangan awal sejarah kerajaan Hindu di Nusantara. Disamping itu, pulau Jawa memiliki kesuburan tanah yang sangat baik bagi pengembangan pertanian. Tanahnya yang subur juga mempengaruhi suburnya gerakan-gerakan pemikiran. Meskipun agama Hindu telah memberi kontribusi yang banyak terhadap perkembangan masyarakat Indonesia, ditambah dengan inkulturasi budaya Islam dan Indo-Eropa, telah menghasilkan suatu "affinities and extreme" bagi perkembangan Indonesia modern kelak, namun Islamlah yang paling dinamis memberikan bentuk bulat-lonjongnya sejarah Indonesia hingga kini. Bulat-lonjongnya Indonesia terutama sangat dipengaruhi gerak dinamika kehidupan orang-orang di Jawa.
Dengan gemah-ripah-nya pulau Jawa membangkitkan semangat para imperialis Barat untuk menjadikan Indonesia khususnya pulau Jawa sebagai garden continuum untuk menyokong perekonomian negerinya. Para pedagang Belanda datang ke Hindia dengan maksud hendak menguasai perdagangan yang menguntungkan dari daerah ini, khususnya perdagangan rempah-rempah. Daya upaya untuk itu, telah mendorong hasrat untuk bersaing diantara negara-negara Eropa, seperti Portugis di wilayah perairan timur Indonesia ; Belanda, yang umumnya dilakukan Persekutuan Dagang Hindia Timur (Verenigde Oost-Indische Compagnie, disingkat VOC); dan Inggris di wilayah barat. Semenjak berdirinya VOC pada tahun 1602, Belanda menjadi empirium dagang yang kuat. Tahun 1619 Belanda memperkuat tempat pijakannya bagi perdagangan di Jawa Barat, dan berlanjut pada tahun 1620-an dengan mengusir pesaing-pesaingnya —Portugis dan Inggris — keluar dari Kepulauan Maluku, untuk mendapatkan basis kekuasaannya di kawasan ini.
Dengan daya pikat yang demikian besar dari Jawa atau Nusantara ini, maka kita melihat selama paruh pertama abad ke-18, Belanda sudah ikut campur tangan dalam kekuasaan para raja Jawa dengan serangkaian perang dalam suksesi di masa keruntuhan kerajaan Mataram. Dengan demikian, persaingan diantara penguasa Jawa ini telah menggugah Belanda untuk terlibat jauh dalam urusan politik di Jawa, tidak terkecuali persoalan intern di tubuh kerajaan-kerajaan Jawa. Upaya yang dilakukan Belanda dalam hal ini adalah dengan melindungi salah seorang diantara penuntut tahta kekuasaan yang saling bersaing. Begitu pula dalam usahanya mengembangkan perdagangannya, Belanda melalui VOC melibatkan diri dalam usaha-usaha "menentramkan" daerah pantai, yang berlanjut ke daerah pedalaman Jawa. Penentraman ini dimaksudkan untuk mengatur masyarakat dan penguasa Jawa dengan pola politik mereka. Selama bertahun-tahun Belanda menjalankan pengaruh terhadap penguasa-penguasa di Jawa dan perdagangan dikuasainya. Sampai kemudian pemerintah Belanda mengambil alih utang-piutang VOC yang bangkrut pada akhir abad ke-18, Belanda telah menjalankan kekuasaan politik yang luas atas Jawa. Semua orang yang hidup, beranak dan mati di Jawa sekecil apapun merasakan pengaruh kekuasaan Belanda ini. Dan, Kartosoewirjo adalah salah satu di antara mereka.
Tiga dasawarsa menjelang berakhirnya abad ke-19, politik liberal sudah mulai menggejala dan berpengaruh dalam perekonomian Indonesia. Di tengah-tengah sistem ekonomi yang tradisional, kondisi ekonomi Belanda mulai menampakkan perbedaannya yang mencolok. Keberadaan "pembangunan ekonomi" Barat ala Belanda belum mengangkat taraf hidup masyarakat pribumi di Jawa. Pengejaran keuntungan pengusaha-pengusaha Eropa membawa dampak yang sangat buruk dan memporak-poranda sendi-sendi perekonomian. Perkebunan dan pabrik muncul di mana-mana dan semuanya dikelola Belanda. Di pihak lain, usaha pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sangat jauh tertinggal dari percepatan perkembangan penduduk Jawa. Melihat kenyataan pengusaha-pengusaha swasta Belanda yang tidak mau memberi keuntungan dan kemakmuran bagi penduduk pribumi, telah menyadarkan para politikus yang dipengaruhi pemikiran humanisme liberal dan Marxisme yang sedang melanda daratan Eropa pada saat itu, bahwa kemiskinan pribumi harus diatasi terlebih dahulu, sebelum menumbuhkan tanah jajahan menjadi sebuah pasar yang lebih menggembirakan.
Melihat kebijakan kolonial Belanda yang tidak ada keberpihakannya terhadap kaum pribumi di Hindia, beberapa tokoh humanis memberikan reaksi yang sangat keras, bahkan dari orang-orang Belanda sendiri. C. Th. Van Deventer, seorang pengacara dan bekas pejabat peradilan kolonial kemudian anggota parlemen Negeri Belanda, menuliskan cerita-cerita nasib rakyat jajahan di dalam sebuah bukunya di tahun 1899, tentang kebiadaban dan kesewenang-wenangan yang dilakukan para pengusaha Belanda. Kritik ini, sekecil apapun telah sangat berpengaruh yang menentukan bagi perubahan politik kolonial. Desakan ini membuat Ratu Wilhelmina mengubah kebijakan Kerajaan Belanda dalam menghadapi persoalan tanah jajahan dan rakyat pribumi. Di tahun 1901 Ratu Wilhelmina menyerukan perubahan kebijakan politik tanah jajahan, yang merupakan bermulanya zaman baru dalam politik kolonial Belanda, yang kemudian disebut sebagai "Politik Etis" Belanda. Inilah pidato yang diucapkannya dari atas tahta Kerajaan Belanda:
"Sebagai negara Kristen, Negeri Belanda wajib memperbaiki kedudukan hukum orang-orang Kristen pribumi di Kepulauan Hindia, memberikan dukungan kuat pada misi Kristen, dan menanamkan pada seluruh sistem pemerintahan dengan kesadaran bahwa Negeri Belanda mempunyai kewajiban moral terhadap penduduk di kawasan ini. Walaupun pada awalnya, sasaran yang diharapkan dari pidato Ratu tersebut lebih menekankan kepada kesejahteraan pribumi Kristen, namun perhatian itu kemudian meluas meliputi juga seluruh penduduk pribumi, tanpa pandang agama. Tetapi sangatlah penting untuk diperhatikan, bahwa sikap politik etis ini didasari oleh suatu keyakinan yang mendalam tentang keunggulan budaya Barat. Dengan perkataan lain pembaharuan harus dilaksanakan dari atas; modernisasi dipersamakan dengan pem-Barat-an atau lebih tegas lagi pem-Belanda-an."
Maka, dengan segala "keinsyafannya", meskipun dangkal di mata pribumi negeri jajahan, dibangunlah institusi-institusi pendidikan modern di Nusantara. Jawa mendapat prioritas karena pulau ini memiliki masyarakat pasifis dalam jumlah yang besar. Perangkat-perangkat keras berdatangan dari Eropa, memasuki masyarakat agraris tradisional dan berpola pikir sederhana. Perangkat ideologis pun ikut serta di dalamnya secara bersamaan. Yang terlihat kemudian adalah sebuah potret yang berubah dari wajah-wajah Jawa dan pribumi lainnya. Kalaulah disimak lebih jauh lagi, sikap politik etis itu mempunyai sifat yang ganda, diantaranya: (1) ingin meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi; dan (2) berangsur-angsur ingin menumbuhkan otonomi dan desentralisasi politik di Hindia Timur Belanda. Dalam hal ini pemerintah kolonial Belanda amat menyadari bahwa dua tujuan ini tidak dipisahkan, dan bahwa tujuan yang pertama hanya bisa diwujudkan apabila pemerintahan lokal benar-benar mau bertanggung jawab terhadap penduduk pribumi. Oleh Karena itu, walaupun masalah kesejahteraan yang lebih penting, namun langkah pertama yang diambil oleh pemerintah adalah masalah desentralisasi. Adapun yang menjadi alasannya ialah bahwa: kekuasaan pemerintahan harus dialihkan (1) dari Negeri Belanda ke Hindia, (2) dari Batavia ke daerah-daerah lain, dan (3) dari bangsa Eropa ke penduduk pribumi. Politik kolonial kali ini berbelok ke arah menumbuhkan otonomi pemerintahan, tetapi Belanda tidak bermaksud memberikan kemerdekaan politik kepada Hindia.
Namun dalam kenyataannya, peralihan kekuasaan dari Negeri Belanda ke Hindia tidak pernah dapat dilaksanakan. Mereka hanya "memindahkan" tradisi dan ideologi mereka di Barat untuk bisa hidup di tanah-tanah yang tadinya dikuasai oleh orang-orang Timur. Pemerintah Belanda mengadakan desentralisasi dan ekspansi birokrasi kolonial ke dalam lapangan-lapangan baru, yaitu menciptakan tuntutan sejumlah besar orang Jawa terpelajar untuk mengabdikan diri di dalam tubuh pemerintahan. Ayahanda S.M. Kartosoewirjo adalah salah seorang dari ratusan ribu kaum birokrat kolonial yang menghirup suasana ini, menghirup harapan-harapan baru yang tumbuh di tanah ini. Dengan harapan bahwa Pemerintah kolonial dapat mengisi jabatan itu bekerjasama dengan para pembesar pribumi dan bawahan mereka yang masih bekerja, alasan mereka adalah karena hanya merekalah orang-orang di Jawa yang benar-benar bisa menjalankan pekerjaan birokrasi. Kaum tani yang berwawasan animisme pada umumnya tidak terdidik secara teknis, demikian juga secara psikologis tidak siap untuk pekerjaan semacam itu. Pedagang dan petani yang berwawasan Islam agaknya enggan memangku jabatan demi "sesuatu" dengan pemerintahan asing dan sekuler. Maka, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa perkembangan masyarakat Indonesia banyak dilihat dari mula kedatangan Islam di Indonesia. C. Snouck Hurgronje, salah seorang sarjana Politis Etis yang paling berpengaruh, menyimpulkan bahwa pem-Barat-an Hindia Timur Belanda hanya bisa dilakukan dengan dukungan bangsawan Jawa oleh karena kecanggihan budaya mereka, hubungan mereka dengan pengaruh Barat, dan kerenggangan sikap tradisional mereka terhadap Islam. Maka yang terjadi kemudian adalah timbulnya arogansi di kalangan kaum terpelajar Indonesia saat itu yang telah mengikuti pendidikannya di luar negeri. Pengaruh budaya Barat teradopsi dalam alam pikiran mereka sehingga tidak ada lagi dalam otak mereka untuk memperjuangkan Islam.
Kendatipun Politik Etis secara resmi dimulai tahun 1901, namun politik tersebut masih belum sepenuhnya bisa mengganti liberalisme laissez-faire dengan campur tangan negara di dalam masalah-masalah ekonomi dan suatu program legislasi kesejahteraan yang ambisius. Swasta, yang terwakili oleh kalangan pedagang dan usahawan pribumi Islam, adalah bagian dari gerakan laissez-faire yang mulai menggeliat di jantung Nusantara: Jawa. Fungsi kelas pedagang Islam ini adalah untuk menciptakan kondisi-kondisi sosial dan politik yang langgeng di negeri jajahan sehingga bisa mengimbangi efek-efek disintegrasi dari pengaruh Barat terhadap Indonesia. Kemakmuran haruslah menggantikan eksploitasi, dan pembaharuan haruslah menggantikan regimentasi yang merupakan kata kunci penjajahan Belanda abad keduapuluh. Karena dengan menjalankan politik eksploitasinya penjajah Belanda telah menguras habis kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, sehingga bukan hanya ekonomi yang dimatikan sampai kepada politik pun dihapuskan. Maka, Jawa adalah wilayah pertumbuhan ekonomi yang sangat subur, sekaligus juga tanah yang membesarkan banyak pembangkang dan penerobos zaman yang brilian dan para penentang kemapanan serta arogansi kekuasaan.
Politik Etis juga merupakan suatu reformasi politik dalam rangka mengukuhkan status-quo dengan jalan mengelola perubahan dalam suatu siklus konjungtur yang teratur dan sedapat mungkin diatur. Secara administratif, Zaman Etis membawa langkah-langkah otonomi dari negara induk, penyerahan tanggung jawab sebagian dari pemerintahan pusat di Batavia kepada pejabat-pejabat daerah, dari korps administratif pribumi dan dari penjagaan yang ketat oleh pejabat Belanda. Reformasi politik difokuskan pada pembentukan dewan-dewan perwakilan untuk penduduk Jawa. Reformasi politik ini, sebagaimana reformasi politik Indonesia di bawah Habibie sekarang ini, hanyalah semata-mata membuat sebuah perubahan bagi mapannya sebuah situasi yang kembali statis. Ini termasuk dewan-dewan walikota dengan keanggotaan terbanyak pada orang-orang Eropa, Dewan-dewan Propinsi dan, yang terpenting dari semuanya, Dewan Kabupaten di wilayah-wilayah pedesaan, yang direncanakan sebagai pengontrol yang kuasi-demokratik terhadap otoritarianisme tradisional kelas yang memerintah, para priyayi. Kartosoewirjo sesungguhnya adalah seorang priyayi, namun karena pengaruh Islam, ia lebih merasakan dirinya sebagai seorang rakyat biasa.
Dan tidaklah mengherankan bahwa respons organisatoris yang pertama terhadap Politik Etis itu terjadi di kalangan para anggota kelas priyayi, di mana mereka merasa telah diuntungkan dengan diadakannya pendidikan Barat. Organisasi Budi Utomo yang dibentuk sebagai suatu persekutuan kebudayaan pada tahun 1908, memperlihatkan usahanya dengan menggelar sebuah program pengembangan diri sendiri --organisasi Budi Oetomo banyak merangkul pengikutnya yang berpendidikan Barat, orang-orang Indonesia profesional-- yang didasarkan atas gabungan antara nilai-nilai Barat dan nilai-nilai Jawa. Organisasi ini menghargai orang berdasarkan derajat keterpengaruhan sistem Barat dan darah priyayi Jawa. Di sini bisa terlihat bahwa mereka berusaha untuk mempertahankan harapan-harapan tinggi kaum pembaharu asosiasionis. Beruntung Kartosoewirjo tidak pernah masuk organisasi "sesat" ini.
Begitupun partai politik pertama Indische Partij (Partai Hindia) dari Douwes Dekker, yang secara eksplisit berdasarkan prinsip asosiasi dan dipimpin oleh orang-orang Indo-Eropa dan orang-orang Indonesia, namun masih menghitung orang berdasarkan latar-belakang derajat pendidikannya. Maka, hanya mereka yang berpendidikan saja yang "dianggap orang" oleh tokoh-tokoh the founding father kita ini. Namun, organisasi ini dengan intelektualitasnya yang tinggi menggaruk langit itu adalah kelompok orang-orang yang paling banyak menuntut. Tuntutan-tuntutannya itulah yang telah memberi banyak pengaruh bagi kemajuan bangsa, meski dengan jalan yang penuh liku dan curam sehingga banyak biaya dan kurban yang hilang. Dengan tuntutan-tuntutan otonominya demi kebaikan semua kelompok-kelompok ras yang berdomisili tetap di tanah jajahan tersebut, maka dibentuklah dewan penasehat yang dinamakan Volksraad.
Semua kalangan, tak terkecuali Islam maupun sekuler, menghabiskan banyak energinya untuk "rumah rakyat" yang diciptakan sebagai arena bermain baru bagi pribumi yang mulai bisa berpikir ini. Yang sangat pesat dalam gerakan politik Indonesia, hanya partai Sarekat Islam (SI), yang mana organisasi ini tidak berjalan di atas jalan asosiasionis. Partai Sarekat Islam ini lahir di perkotaan sebagaimana Budi Oetomo dan Indische Partij sama-sama berasal dari kota, begitu juga latar belakang sosial dan pendidikan pemimpin-pemimpinnya yang utama, seperti Haji Oemar Said Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim; kedua-duanya dididik dalam sekolah-sekolah Barat dan masing-masing adalah elite Indonesia tradisional di Jawa dan Sumatra. Yang sangat menarik dari organisasi ini adalah rekrutmen anggotanya, di mana tidak terbatas kepada anggota-anggotanya yang mendapat pendidikan Barat saja sebagaimana yang dilakukan oleh Organisasi Budi Oetomo. Maka tidak heran partai ini mendapatkan pengikut-pengikutnya dari semua kelas, baik di kota maupun di desa. Bahkan para pimpinannya mengambil inspirasi dari sumber-sumber yang berbeda-beda termasuk sumber Islam. Sebagai alasan lain, bahwa daya tarik yang ditimbulkan oleh organisasi Sarekat Islam ini lebih jauh jangkauannya daripada sekedar mencapai sekelompok penduduk kota yang berorientasi Barat. Karena partai Sarekat Islam memusatkan perhatiannya secara eksklusif bagi orang-orang Indonesia, para pedagang Muslim, para pekerja di kota-kota, para kiai dan ulama, dan bahkan beberapa priyayi. Kartosoewirjo pun terlibat di dalam partai ini.
Sarekat Islam menempati suatu tempat yang unik namun kompleks, baik di dalam sejarah nasionalisme Indonesia maupun sejarah Islam Indonesia. Sejarah Indonesia masa lalu yang penuh dengan dinamika telah mengilhami para elit politik SI untuk membuat perencanaan yang lebih representatif terhadap perkembangan politik Indonesia yang sedang tumbuh. Jawa adalah tempat pertama di mana organisasi diperkenalkan sebagai wadah modern bagi misi dan idealisme bergerak. Maka organisasi pertama, SI, secara ideologis, dia mendahului suatu nasionalisme yang programatik sebagaimana kemudian diungkapkan dalam istilah kebangsaan yang merdeka. Secara religius, dia juga mendahului formulasi program pembaharuan Islam sebagaimana kemudian secara khusus diungkapkan di dalam nilai-nilai sosial dan politik Islam. Namun protes-protesnya yang keras melawan status quo kolonial, keluhan-keluhannya yang lantang di bidang ekonomi dan sosial, dan tuntutan-tuntutannya yang tidak sabar lagi bagi otonomi yang lebih besar, menggabungkan aspirasi-aspirasi nasionalis dan Islam, betapa pun tidak jelasnya diterangkan, ke dalam suatu program politik yang menjadi semakin militan dan khas Indonesia.
Akan tetapi radikalisme program ini bukanlah pantulan ideologis para pemimpinnya yang oleh kebanyakan pengikutnya, terutama sebagian besar orang-orang desa, dianggap terjelma di dalam Sarekat Islam. Para pengikut partai Islam ini, terutama di desa, berhimpun di sekeliling panjinya bukan karena perjuangannya untuk otonomi atau pembaharuan sosial dan ekonomi, akan tetapi karena dia tampak mengekspresikan kegelisahan dan keinginan berontak kaum tani yang selama ini tertahan melawan perubahan jaman. Para petani Jawa hanya membutuhkan pemimpin sebagai ujung, sedangkan mereka sendiri adalah batang dan tiang penegak. Sarekat Islam yang berdiri jauh lebih awal ketimbang Boedi Oetomo adalah pendingin kegelisahan dan sekaligus penghangat darah untuk memberontak. Dengan membuat aksi seperti itu, Sarekat Islam berada dalam kerangka konservatisme Islam yang selama berpuluh tahun memberikan inspirasi kepada keresahan di desa. Ini berarti bahwa di tingkat desa, "keanggotaan" partai tersebut tidak dengan sendirinya menjadi indikasi tentang sesuatu yang baru—misalnya sebagai kekuatan organisatoris yang real—akan tetapi lebih sebagai penegasan kembali tentang sesuatu yang tradisional. Ketidakpuasan berpusat di sekeliling pujaan atau pahlawan jaman lalu (laudatores temporis acti) yaitu para kiai dan para ulama yang bertempur melawan pemerintahan "kafir" dan terutama melawan para pegawai-priyayi Indonesia dari pemerintah itu, yang di mata kaum tani adalah wakil par excellence dari suatu perubahan sosial yang tidak diingini.
Dengan demikian Sarekat Islam membawa sebuah perubahan kuantitatif, bukannya kualitatif di dalam hakekat Islam di desa di Jawa. Untuk beberapa tahun, dia merangkaikan insiden-insiden lokal karena ketidakpuasan di bawah pimpinan orang-orang Islam ke dalam suatu fenomena nasional di bawah pimpinan orang-orang kota. Akan tetapi hal ini dibuatnya tanpa mengarahkan baik kepercayaan abangan atau keyakinan ortodoks yang militan ke jalan-jalan yang positif dan modern. Oleh karena itu, Sarekat Islam lebih banyak mempunyai makna sosial daripada ideologi. Dengan memanfaatkan kontrol administratif Belanda yang tidak terlalu ketat dan prestise priyayi yang semakin melemah, para pemimpin Sarekat Islam telah menerobos desa-desa di Jawa yang terpencil dan membuatnya menjadi juru bicara malaise sosial yang lantang dari penduduk tani Jawa dan menghasutnya melewati para pemimpin agama yang tradisional, untuk memberontak melawan kekuasaan yang sedang berlangsung, walaupun pemberontakan tersebut sifatnya abortif dan bunuh diri.
Begitu Sarekat Islam muncul sebagai simbol keberanian dan vatalisme serta menjadi pelepas ketegangan-ketegangan yang berakumulasi sepanjang satu dasawarsa, yang lahir dalam bentuk ledakan pergolakan-pergolakan di desa-desa dan pemogokan di kalangan proletar di kota, perpecahan di dalam dirinya sendiri dan tindakan tegas pemerintah kolonial — sebagian besar dalam bentuk tindakan-tindakan represif dan memperkuat kekuasaan kaum priyayi—bergabung dan meruntuhkan Sarekat Islam dalam tempo singkat pada awal tahun 1920. Para pemimpin Islam akhirnya memutuskan aliansinya dengan komunisme pada tahun 1924 dan sejak itu beralih menjadi propaganda pan-Islam. Sisa-sisa keresahan di desa yang berkobar-kobar diperbesar menjadi suatu pemberontakan terakhir dan besar-besaran di Jawa Barat di bawah hasutan orang-orang komunis pada akhir tahun 1926 - disusul juga oleh pemberontakan yang serupa di Pantai Barat Sumatra pada permulaan tahun berikutnya—yang tanpa kesulitan sedikit pun dipadamkan oleh pemerintah kolonial dengan kekerasan.
Dengan padamnya pemberontakan-pemberontakan ini, maka panggung jaman pertama yang penuh pergolakan berakhir dan bersamanya massa aksi politik yang berbasiskan dukungan para petani berakhir pula, untuk memberikan jalan kepada perkembangan baru di dalam nasionalisme Indonesia dan Islam Indonesia. Karena kedua-duanya menjadi lebih jelas mengkristal di dalam kelompok-kelompok ideologis dan organisatoris, maka kerangka persatuan dan perbedaan di dalam masyarakat Indonesia diberikan batasan-batasan yang jelas. Di satu pihak, tampil kekuatan-kekuatan yang berusaha menuju realisasi peradaban Islam yang modern, sambil merangkul dan pada saat yang sama melampaui pusat-pusat santri abad-yang lalu. Di pihak lain, nasionalisme yang berorientasi Barat dan berpusat di kota-kota tampil ke depan, sebagian sekurang-kurangnya berakar di sekitar lingkungan para priyayi yang ditolaknya dan di saat yang sama digantinya. Memang benar, bahwa golongan Muslim dan kaum nasionalis sama-sama menolak pemerintahan kolonial. Akan tetapi oposisi bersama terhadap pemerintahan Belanda itu jauh daripada berhasil menempa aliansi yang bertahan lama, namun hanya sekedar mengaburkan jurang yang semakin melebar antara nasionalisme 'sekuler' dan lslam Indonesia yang sebagian besar tujuan akhirnya tidak dapat bertemu satu sama lain. Adalah penting bahwa Sarekat Islam, yang merupakan bayangan. awal dari dan sebagian mengandung benih nasionalisme dan Islam modern, mendapatkan dirinya semakin terpenjara antara kedua pergerakan itu, dan kemudian ditakdirkan bertahan sebagai suatu kekuatan militan yang berada di tepi-tepi selama bertahun-tahun berikutnya.
Sebagaimana disebutkan oleh Benda, aliran-aliran ideologis politis yang mempengaruhi Indonesia di awal abad keduapuluh berasal mula di luar negeri maka renesans Islam Indonesia pun bermula dari perkembangan-perkembangan Islam di luar negeri. Seperti Muslimin Cina, Jepang, Turki, Timur Tengah, dan India berada di dalam genggaman reaksi yang kurang lebih keras terhadap pengaruh Barat. Ragi politik dan agama segera meluas ke dunia Muslim lainnya. Kemudian Islam menjadi salah satu kekuatan dalam peta kekuatan politik dalam sejarah. Pemberontakan Turki Muda terhadap kekaisaran Ottoman tahun 1908 disusul oleh kejatuhan Sultan dan Khalifah satu dasawarsa kemudian. Kekalahan Turki dalam Perang Dunia pertama menyebabkan perluasan. dan konsolidasi kekuasaan Perancis dan Inggris di wilayah-wilayah seperti Mesir, Palestina, Syria, dan Lebanon. Kemenangan kaum Wahabi di Mekkah pada pertengahan tahun 1920-an menandakan juga suatu perubahan penting lainnya di pusat Islam itu sendiri. Maka perang-perang yang kemudian dibawa oleh Belanda dan penjajah lainnya ke Indonesia adalah suatu "war without mercy" yang paling keji dan biadab. Semua ini untuk menghancurkan Islam dan merupakan kelanjutan dari Perang Salib di dunai Barat terhadap Islam.
Perkembangan-perkembangan politik ini pun paralel dengan kebangkitan reformisme Islam, yang dilahirkan dalam pertukaran abad ini di Timur Tengah dan India, dan Wahabisme yang puritan di Arab. Dibukanya Terusan Suez tahun 1869 memungkinkan peningkatan hubungan dan semakin dekatnya hubungan antara Indonesia dan Timur Tengah. Dari Mekkah dan Universitas Al-Azhar Kairo—dalam ukuran yang tidak terlalu besar dari pusat-pusat Islam di India seperti Lahore, Qadian, dan Perguruan Tinggi Islam di Aligarh.
Ketiga, kaum reformis Indonesia berusaha untuk membendung gelombang Westernisasi dengan mengidentifikasikan Islam dengan keterpisahan yang berpusatkan Indonesia, bertentangan dengan penyerahan bulat-bulat kepada nilai-nilai dan norma-norma Barat —baik yang Kristen maupun yang sekuler. Meskipun pendidikan Barat terbatas dalam jangkauan, dan terpisah dari kebijakssnaan-kebijaksanaan asosiasionis di pihak para penguasa Barat, kaum reformis melihat kaum intelektual yang berpendidikan Barat, apa pun orientasi politiknya terhadap pemerintahan Belanda, sebagai musuh-musuh Islam yang paling mengkhawatirkan. Lagi-lagi mereka menganut pendapat yang sama dalam kecurigaan yang mendalam ini bersama kaum ortodoks. Akan tetapi berbeda dengan kaum ulama, mereka berusaha melawan ideologi Westernisasi dengan mempergunakan senjata organisasi Barat itu sendiri. Jong Islamieten Bond (Liga Pemuda Islam) yang didirikan Haji Agus Salim di ibukota Batavia pada akhir tahun 1925, menjadi suatu organisasi yang secara politik amat penting dalam serangan balasan kaum reformis terhadap alienasi di kalangan mahasiswa yang terdidik secara Belanda. Dia bertumbuh menjadi pusat latihan bagi kepemimpinan Islam yang berbeda dari intelektual Indonesia 'sekuler' yang berorientasi ke Barat.
Kedatangan perangkat-perang teknologi, pendidikan dan ideologi Barat telah menyebabkan Islam dan non-Islam masing-masing terbelah dua; yang satu reformis dan lainnya ortodoks. Kemudian di Jawa juga terjadi suatu keadaan di mana reformisme Indonesia terpaksa berbenturan dengan status quo kolonial itu sendiri. Ini adalah suatu konsekuensi yang hampir tidak terelakkan bukan saja dari kesadaran Islam yang mendalam yang timbul dari aktivitas-aktivitas yang beragam-ragam itu di kalangan orang-orang kota dan di kalangan orang-orang desa yang lebih makmur yang berada dalam wilayah pengaruhnya, akan tetapi juga dari kebijaksanaan Belanda yang mendukung lembaga-lembaga adat —sebagaimana akan dilihat dalam bab berikut— ke mana pemerintahan kolonial berpaling di akhir tahun 1920-an dan selanjutnya. Tampaknya segala hal mungkin terjadi di "Pulau Jahiliyah" ini.
Di Jawa perbedaan gaya hidup Barat dan Islam, juga antara Islam modern Islam ortodoks, sudah mulai memperlihatkan dampak disintegratifnya. Kebangkitan kaum reformisme Islam, dengan semangat pertentangannya yang sekaligus diarahkan kepada Islam ortodoks, adat, orang-orang Indonesia bergaya Barat, membangkitkan dendam dan permusuhan di kalangan Islam Indonesia dan dalam masyarakat Indonesia pada umumnya. Kaum ortodoks menggalang kekuatannya melawan kaum reformisme, dan untuk beberapa tahun bahkan mengundang dukungan musuh-musuh tradisionalnya, para kepala adat dan elite priyayi - dan bahkan pemerintah kolonial itu sendiri—untuk melawan pendatang baru yang terlalu bersemangat tersebut. Sama halnya, kaum reformis mengalami konflik yang semakin meningkat dengan kaum elite yang dididik secara Barat; pada mulanya berpusat pada ketidaksetujuannya terhadap jalanjalan organisasi --yang bersifat politis atau religius sosial-- yang paling sesuai untuk meningkatkan penemuan diri (self realization) Indonesia itu sendiri, akan tetapi tidak lama berselang bergeser kepada perpecahan yang semakin mendalam tentang tujuan perkembangan sosial Indonesia itu sendiri. Tambahan pula kebijaksanaan kolonial Belanda yang memberikan reaksinya terhadap ketegangan-ketegangan yang semakin meningkat yang diciptakan oleh penyebaran reformisme, maupun terhadap kekhawatiran yang baru terhadap perkembangan Islam di luar negeri, untuk beberapa waktu cenderung untuk semakin mempertajam perpecahan di dalam kalangan Islam itu sendiri. Namun pada saat yang sama setting kolonial sendiri cenderung untuk mengaburkan perpecahan-perpecahan tertentu yang memisahkan orang-orang Islam dari nasionalis-nasionalis 'sekuler' sampai akhir pemerintahan Belanda. Berhadapan dengan rintangan-rintangan inilah, bangkitnya reformisme Islam sebagai suatu gerakan organisatoris yang terkuat di tanah jajahan Indonesia adalah suatu fenomena yang patut dicatat.
Jawa, sejak dulu hingga sekarang, adalah pusat bagi bentrokan ideologis: sekuler dan Islam; lebih dinamis dari tempat lain di manapun di dunia ini. Bangkitnya nasionalisme 'sekuler' tidak saja mempengaruhi Sarekat Islam; dia membangkitkan masalah yang serius bagi segenap gerakan Islam di Jawa. Dihadapkan dengan tantangan yang kuat ini, kaum reformis dan ortodoks dipaksa merapatkan barisannya untuk bertahan. Yang lebih penting adalah, terkesan oleh kemunduran Sarekat Islam secara spektakuler dan takut akan kekejian pemerintah maka Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama mengambil jalan yang secara sadar non-politis, dan meninggalkan aksi-aksi politik Islam kepada Sarekat Islam yang semakin lumpuh dan kepada sekelompok kecil orang-orang muda yang terorganisasikan dalam Jong Islamieten Bond. Tidaklah terhindarkan bahwa pemisahan secara sadar antara aliran ortodoks yang utama dan organisasi-organisasi reformis Islam dari politik — kelihatannya sesuai dengan diktum Snouck Hurgronje — akan menciptakan jurang antara nasionalisme dan Islam, antara kebudayaan Indonesia yang berorientasi ke Barat dan kebudayaan santri.
Jawa adalah juga tempat munculnya beragam polah para pemimpin dan para pendukung atau pengikutnya. Keseganan pemimpin-pemimpin Islam untuk melibatkan organisasi-organisasinya secara terbuka di dalam gerakan nasionalis Indonesia, dan yang lebih buruk lagi, kesediaannya secara malu-malu untuk menerima sedikit bantuan dari pemerintah kolonial, bisalah dimengerti bilamana ditafsirkan sebagai tindakan-tindakan pengkhianatan baik oleh kaum nasional 'sekuler' dan oleh juru bicara Sarekat. Akan tetapi, cukup paradoks, perpecahan antara agama dan politik dalam hal-hal tertentu lebih artifisial daripada real - dan karena itu untuk sebagian sifatnya lokal dan sementara daripada universal dan bertahan lama - sedangkan dalam hal-hal tertentu dia berakar di dalam alasan-alasan yang lebih fundamental yang menghalangi perkembangan kekuatan-kekuatan politik Islam yang langgeng untuk dasawarsa-dasawarsa mendatang. Maka secara politik Jawa sangat penting artinya dibandingkan secara ekonomi.
Di luar Jawa pembagian antara politik dan tidak begitu terlihat seperti dalam bidang ekonomi. Terutama di Sumatra, reformisme Islam hampir sejak semula terlibat dalam politik, dan beberapa kali malah menjadi gerakan-gerakan radikal keras, meskipun hal itu menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemimpin-pemimpin pusat di Jawa. Hal ini bukanlah karena kenyataan bahwa reformisme Sumatra itu ada dalam dirinya (sui generis) tapi lebih disebabkan oleh lingkungan sosial tempat dia bergerak. Di Sumatra, terutama di daerah Minangkabau di pantai barat pulau tersebut, telah bangkit sebuah kelas menengah baru yang hampir secara eksklusif berasal dari diperkenalkannya tanaman-tanaman ekspor —terutama karet—di daerah tersebut. Sementara di Jawa hal ini tidak terlihat. Daya respon orang-orang Sumatera lebih tinggi dibandingkan orang-orang di Jawa. Kalau sekiranya di Jawa ada 'kelas menengah' maka itu adalah terutama fenomena sosial, dan bukannya ekonomi, di Sumatra dia berakar di dalam perubahan ekonomi. Bilamana di Jawa kaum inteligensia yang memperoleh pendidikan Barat lebih berkuasa daripada masyarakat dagang yang berorientasi kepada Islam, maka di Sumatra yang terjadi adalah sebaliknya. Dengan demikian arti penting reformisme Sumatra secara politis sebagian besar adalah akibat dari ketiadaan elite politik di pulau tersebut yang memperoleh pendidikan Barat dan berorientasi kepada Barat. Memang benar orang-orang Sumatra, mengambil manfaat dari sekolah Belanda sama besarnya, kalau relatif tidak lebih besar, dengan orangorang Jawa dan orang Sunda. Akan tetapi karena pendidikan tinggi, maupun lowongan menjadi pegawai pemerintah lebih bisa diperoleh di Jawa, maka orang-orang Sumatra yang telah memperoleh pendidikan Barat bukannya kembali ke daerahnya akan tetapi menetap di Jawa, di mana mereka memainkan peranan yang penting dalam gerakan nasionalisme 'sekuler' yang berpusat di Jawa. Maka, Jawa awal abad ke-20 adalah wilayah yang sangat heterogen, tapi juga sangat berwarna-warni, penuh dengan spektrum keanehan dan keganjilan.
Di Jawa terlihat banyak ketidakadilan dan menciptakan banyak kubu-kubu yang berbeda: yang mendapatkan fasilitas dan yang dianaktirikan oleh penguasa. Kaum elite Indonesia yang memperoleh pendidikan Barat bisa berbuat lebih banyak karena akomodasi yang disediakan oleh pemerintah kolonial terhadap kaum pelajar berpendidikan Barat. Di Jawa juga gaya hidup Jahiliyah pertama dimulai di Nusantara ini. Berbeda dengan kepemimpinan agama, yang mempunyai kubu-kubunya di pusat-pusat kediaman orang-orang Indonesia, kebanyakan pemimpin-pemimpin nasionalis berkelompok di seputar kota-kota bergaya Barat, terutama di ibukota Batavia, tempat kediaman pemerintahan kolonial dan Volksraad, yang menjadi titik tumpu politik nasional. Gaya orang-orang beragama menjadi ejekan dan gaya Barat menjadi pujaan. Orang pribumi sekuler mempunyai kemampuan mengungkapkan dirinya secara baik bukan saja di dalam warisan tradisi politik liberalisme dan sosialisme Barat, akan tetapi juga di dalam permainan politik parlementer di dalam lembaga-lembaga perwakilan di pusat dan di propinsi, kaum nasionalis 'sekuler' dengan demikian memberi dampak semacam keahlian yang bagi kebanyakan pemimpin Islam.
Jawa adalah tempat di mana pertimbangan pendidikan telah menghilangkan pertimbangan agama untuk loyalitas kepada pemimpin. Bilamana ini benar bagi para pemimpinnya maka ini pun sama benarnya bagi anggota-anggota eselon kedua para pengikutnya masing-masing. Karena pendidikan gaya Barat merupakan prasyarat bagi pegawai negeri dan bagi pekerjaan-pekerjaan di perusahaan-perusahaan Barat, beberapa orang Indonesia yang mengambil manfaat dari pendidikan Barat mulai berkenalan dengan metode-metode administrasi Barat dan, sebagian kecil, metode-metode kewiraswastaan Barat, dari mana kebanyakan tamatan sekolah-sekolah Islam ipso facto tersingkirkan.
Di Jawa pula, oleh karena pengaruh Barat yang demikian hebat, agama menjadi sesuatu yang tidak rasional lagi di tengah-tengah masyarakatnya. Dibandingkan dengan tujuan-tujuan politik Islam, nasionalisme Indonesia menawarkan kritik yang masuk akal terhadap kolonialisme dan sebuah program bagi negara Indonesia yang sekuler, yang berdasarkan lembaga-lembaga perwakilan, yang berdedikasi kepada prinsip-prinsip nasionalisme dan demokrasi maupun tugas-tugas perencanaan ekonomi dan sosial —kalau bukan sosialis — atau singkatnya reproduksi sistem politik Barat di bawah naungan paham Barat yang secara paradoks anti Barat (anti-Westernism) yang begitu khas bagi kebanyakan negara-negara bukan Barat. Paradoks ini hanya terdapat di Jawa, tidak di Aceh atau wilayah lainnya. Maka kondisi yang demikian inilah yang menggambarkan betapa jahiliyahnya penduduk Jawa di awal abad ke-20 ini.
Di Jawa awal abad ke-20 inilah terlihat arogansi orang-orang yang mengaku intelektual; mereka memandang rendah terhadap agama. Meskipun ada beberapa orang Indonesia yang memperoleh pendidikan Barat yang berhasil membangun jembatan antara kebudayaan Barat dengan reformisme Islam, mayoritas kaum nasionalis yang secara politis sadar, menganut sikap angkuh dan menghina terhadap Islam, suatu sikap yang jelas-jelas diambil dari Barat, dan sangat serupa dengan sikap-sikap yang ada di kalangan-kalangan orang Barat. Negara sekuler dan modern yang diidamkannya hanya sedikit saja gunanya bagi para santri dan ulama demikian pula bagi adat dan priyayi. Kedua-duanya, di dalam pandangannya mewakili elemen-elemen yang secara intrinsik konservatif yang telah ditakdirkan untuk hancur di dalam evolusi politik negaranya. Bahkan mereka mulai mengejek dan menuduh agama (Islam) dengan macam-macam istilah yang tidak masuk akal. Beberapa pemimpinnya malah melihat di dalam Islam sebuah unsur perusak historik persatuan Indonesia yang lebih besar di masa lalu, sambil memuja kebesaran kerajaan pra-Islam seperti Sriwijaya dan Majapahit, sebagai model-model ideal tentang Indonesia Raya menurut aspirasi-aspirasi politiknya. Padahal Islamlah yang telah menyatukan semua hati mereka pada awal dan akhirnya.
Maka di pulau Jawa mulai terjadi perang logika tingkat tinggi. Kaum Muslimin melihat kaum intelegensia berpendidikan Barat sebagai produk Barat tanpa Allah serta materialistik, yang secara licik meremehkan justru dasar identitas Indonesia, yang menurut anggapannya serupa dengan Islam. Khususnya, juru bicara kaum ortodoks melawan ide nasionalisme dengan kosmopolitanisme Islam sebagai suatu budaya dunia. Dan bahkan kaum reformis, yang lebih bersimpati kepada ide negara nasional, mengatakan bahwa negara Indonesia merdeka, sejauh dia menjadi negara sekuler, akan menjadi musuh besar Islam sebagaimana kekuasaan penjajahan orang-orang 'kafir'. Perang logika tingkat tinggi ini kemudian diturunkan ke tingkat yang lebih rendah. Mereka mulai membenci kenyataan bahwa inspirasi ideologis nasionalisme lndonesia datang dari sumber-sumber asing, sedangkan Nabi sendiri, di dalam pesannya, mempersiapkan norma-norma etis yang mengandung dan melebihi semua spekulasi politis tandus milik pemikir-pemikir Barat.
Kaum intelektual dan semua orang yang bukan intelektual serta berpikiran waras di Jawa adalah orang-orang yang "sabar" dan perlahan-lahan. Namun ketika suasana ini sudah demikian mengendap di dasar alam bawah sadar, maka pemberontakan terhadap situasi statis mulai muncul. Awal pemberontakan adalah konflik. Kaum nasionalis sekuler dan nasionalis Muslim berada dalam suasana konflik yang semakin meningkat di dalam masa pemerintahan kolonial, dalam hal kaum nasionalis ini terjadi karena mereka semakin tidak sabar terhadap perubahan kekuasaan kolonial yang begitu perlahan-lahan dan menjengkelkan, sedangkan dalam hal kaum Muslim terutama karena arah yang diambil oleh perubahan tersebut. Perbedaan-perbedaan yang menentukan ini tetap membekas dalam sejarah Indonesia selanjutnya, sebuah sejarah, yang karena masalah itu, tetap dalam proses yang tak kunjung mencapai akhir. Semua orang di Indonesia hampir gila menanti kapan berakhirnya semua drama kemanusiaan ini, kapan Negara Islam berkesempatan mengatur semua ketidakteraturan ini.
No comments:
Post a Comment