20 December 2008

Masa Kecil SM Kartosoewirjo

Bab Dua

Masa Kecil SM Kartosoewirjo

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo demikian nama lengkap dari S.M. Kartosoewirjo, yang dilahirkan pada tanggal 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Kota Cepu ini menjadi tempat di mana budaya Jawa bagian timur dan bagian tengah bertemu dalam suatu garis budaya yang unik. Untuk memahami dalam konteks yang bagaimana ia lahir dan tumbuh besar, kita perlu melihat bagaimana setting sejarah Indonesia di awal abad ke-20 ini. Mungkin gaya pendekatan sejarah alternatif (alternative hiostory) akan cocok untuk memahami sosok Kartosoewirjo sebenarnya. Pada awal abad ini dimulai suatu perubahan besar di Hindia Belanda (nama Indonesia ketika itu). Pada bulan Januari 1901 Ratu Wilhelmina di depan Parlemen yang anggota-anggotanya ketika itu baru terpilih, mengumumkan sebuah kebijakan program Pemerintah Belanda tentang negeri jajahan yang nantinya akan berpengaruh besar terhadap perkembangan situasi dan kondisi Indonesia selanjutnya. Ketika Pemerintah Kerajaan Belanda sangat menyadari betul bahwa di masa lalu sudah banyak perusahaan milik orang-orang Belanda dalam menjalankan roda perekonomiannya telah memperoleh keuntungan materi yang berlimpah ruah dari Hindia Belanda, sementara itu mereka melihat banyak sekali dari penduduk di tanah jajahan Hindia Belanda mengalami dampak eksploitasi ekonomi besar-besaran tersebut berupa kemiskinan di mana-mana. Sejarah ekonomi Indonesia masa kolonial Belanda telah menghasilkan banyak kemelaratan di tengah gemerlapannya kemodernan ekonomi yang dibawa penjajah kafir ini. Maka timbul niat untuk sedikit mengubah kondisi yang ada. Kesadaran ini menjadikan tujuan utama pemerintah jajahan di masa mendatang, adalah bagaimana dari program itu mampu merubah dan memperbaiki kesejahteraan rakyat. Dan memang haruslah mereka fahami bahwa selama ini bangsa Belanda “telah berhutang budi” kepada rakyat Hindia Belanda.
Dengan bernaung di bawah apa yang kemudian dikenal dengan politik etis (Etische Politiek), pemerintah Hindia Belanda mencoba perlahan demi perlahan menjalankan programnya membuka kesempatan bagi anak-anak Indonesia dari golongan atas untuk mengikuti sekolah-sekolah berbahasa Belanda tingkat dasar dan menengah. Maka enlightened elit modern kolonial mulai terbentuk di Indonesia setelah pegawai-pegawai negeri pemerintah kolonial Hindia Belanda melahirkan generasi pertamanya. Seiring dengan dibukanya kesempatan bagi rakyat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang lebih maju, maka terjadilah proses transisi masyarakat Indonesia dari tradisional ke modern. Dari Generasi terdidik inilah yang nantinya sebagai tonggak awal kebangkitan bangsa Hindia Belanda dimana kesadaran nasionalisme telah muncul di dalam hati sanubari mereka yang paling dalam.
Begitulah Kartosoewirjo, dia lahir dalam situasi yang sedemikian menguntungkan sehingga —karena kedudukan "istimewa" orang-tuanya— ia termasuk dalam salah seorang anak-anak negeri ini yang berkesempatan mengecap pendidikan modern kolonial Belanda yang sangat maju di zamannya. Maka, Belanda tidak hanya menggunakan kekuatan senjata untuk "menjinakkan" Indonesia. Selama ini tentara marsose sering sekali dipakai sebagai kekuatan represif yang ampuh untuk menentramkan Indonesia.
Politik Etis telah memberikan perhatian yang cukup besar pada pendidikan Barat bagi penduduk Indonesia, dengan dibangunnya sejumlah sarana pendidikan di beberapa tempat. Namun sayangnya kebanyakan dari sekolah-sekolah ini menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya, sedikit sekali dari sekolah-sekolah tersebut yang menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar, kalaupun ada itupun yang prestigious, yang para tamatannya kemudian mendapat pekerjaan orang-orang berdasi (white collar jobs), yang memang banyak dicari, atau meneruskan pelajarannya ke perguruan tinggi di daerah jajahan ataupun di negeri Belanda. Semangat penggalian akan pendidikan Barat oleh kebanyakan pelajar Indonesia ternyata jauh lebih besar dari yang diantisipasi atau diinginkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Kebutuhan ini disambut dengan pertumbuhan pesat sekolah-sekolah swasta pada tahun 1920-an dan 1931-an, khususnya di Jawa dan di daerah Minangkabau, Sumatera Barat. Sangat disayangkan sekolah-sekolah swasta ini yang umumnya kecil-kecil, tidak mempunyai perlengkapan dan gedung yang memadai, serta kurikulumnya seringkali tidak sama dengan kurikulum sekolah pemerintah, Atau istilahnya sekolah yang didirikan ini dikenal sebagai "sekolah liar" dan bervariasi yang dibuat dari sistem yang longgar, dimana sekolah ini dikelola oleh Taman Siswa dan Muhammadiyah hingga ke sejumlah sekolah perorangan yang didirikan oleh organisasi-organisasi keagamaan dan partai-partai politik. Namun di Minang berkembang suatu kesadaran historis dan pendidikan yang luar biasa bagi dunia gerakan penyadaran bangsa lewat usaha swasta.
Organisasi Islam modern Muhammadiyah merupakan organisasi paling penting di Indonesia ketika itu. Berdiri di Yogyakarta pada tahun 1912. Didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868-1923) yang berasal dari elite agama kesultanan Yogyakarta. Ahmad Dahlan ini pada dasarnya adalah seorang tokoh aristokrat, namun karena keberpihakannya pada rakyat Muslim menjadikan ia dikenal sebagai tokoh populis. Selain itu, sesuai dengan semangat pada masa itu, ia juga adalah seorang peletak dasar pendidikan Islam modern. Sebagai pendidik, ia memulai karir intelektualnya pada tahun 1890 ketika ia naik haji ke Mekah sekaligus belajar bersama-sama Ahmad Khatib dan yang lain-lain. Haji merupakan simbol pengakuan agamis terhadap seseorang, sedangkan belajar atau berguru pada beberapa syech di sana merupakan simbol pengakuan dunia pendidikan yang relatif sekuler. Usai pengembaraan intelektualnya, ia kembali pulang dengan tekad bulat untuk memperbaharui Islam dan menentang usaha-usaha kristenisasi yang dilakukan oleh kaum misionaris Barat. Tahun 1909 ia masuk ke dalam organisasi Budi Utomo dengan harapan dapat berkhotbah tentang pembaharuan di kalangan anggotanya, namun para pendukungnya yang telah mengenal pemikiran-pemikirannya berusaha mendesak Ahmad Dahlan untuk mendirikan sebuah organisasi sendiri. Akhirnya pada tahun 1912 didirikanlah organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta. Berbeda dengan Budi Utomo, Muhammadiyah di sebagian besar programnya sangat mencurahkan pada usaha-usaha pendidikan serta kesejahteraan sekaligus gencar melakukan kegiatan program dakwah guna melawan usaha-usaha kristenisasi yang mulai menjamur di daerah Jawa, juga memberantas 'ketakhyulan-ketakhyulan' lokal yang memang sudah menjadi kepercayaan dikalangan rakyat.
Dengan semangat pembaharuan pemikiran yang dilaksanakan oleh Organisasi Muhamadiyah ini banyak sekali mengalami hambatan, sehingga pada awal berjalannya, Muhamadiyah berkembang secara lamban. Organisasi ini ditentang atau diabaikan oleh para pejabat, guru-guru Islam gaya lama di desa-desa, hierarki-hierarki keagamaan yang diakui pemerintah, dan oleh komunitas-komunitas orang saleh yang menolak ide-ide Islam Modern. Dalam rangka upaya-upaya pemurniannya, organisasi ini mengecam kebiasaan-kebiasaan yang telah diyakini oleh orang-orang saleh Jawa selama berabad-abad sebagai Islam yang sebenarnya, seperti selamatan, ziarah ke kubur. Dengan demikian, maka kehadiran Muhammadiyah dianggap mengancam kelanggengan tradisi masyarakat sehingga menimbulkan banyak permusuhan dan kebencian di dalam komunitas agama di Jawa.
Bersamaan dengan itu, lingkungan politik berbalik arus menentang radikalisme, tetapi ironisnya keadaan ini malah menempatkan ISDV (Indische Social-Democratische Vereniging) dalam posisi untuk memimpin gerakan politik rakyat. ISDV saat itu berada di tangan Semaun dan seorang pemuda bangsawan Jawa yang bernama Darsono (lahir tahun 1897). Pada awal perjalanannya, dengan jumlah anggotanya hanya 269 orang pada tahun 1920, organisasi ini memang masih sangat kecil dan juga sangat terbatas, tetapi kemudian sebagian besar anggotanya adalah orang Indonesia. Maka organisasi ini menjadi organisasi pribumi yang meraup banyak pengikut. Inilah cikal-bakal organisasi yang menggerogoti Islam secara sangat kejam hingga ke PKI dan gerakan-gerakan kiri lainnya di era reformasi sekarang ini. Pada bulan Mei 1920 organisasi ini mengalami pergantian nama menjadi Perserikatan Komunis di Hindia dan pada tahun 1924 berganti nama lagi menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Organisasi inilah yang paling banyak berperang dengan kalangan ideolog Islam, secara fisik maupun psywar. Dengan pasang naiknya paham-paham Barat non-agama, maka PKI dan organisasi-organisasi yang bergerak dengan kesadaran kiri ini kemudian banyak diuntungkan, sementara Islam mulai memasuki pasang surut yang semakin hari semakin "kurang darah".
Untuk melihat kondisi Islam Indonesia pada masa-masa awal sebelum the formative age yang dialami Kartosoewirjo, kita harus melihat Islam yang mulai berubah pada tingkat dunia. Menjelang tahun 1925, di dunia internasional Islam mengalami sebuah perubahan besar. Ketika pada tahun 1924 negara Turki telah menghapus jabatan khalifah, pemimpin agama semua kaum muslim, yang telah dituntut sebagai haknya oleh sultan-sultan Usmani selama sekitar enam dasawarsa. Mesir bermaksud menyelenggarakan suatu konferensi Islam Internasional guna membahas masalah kekhalifahan tersebut. Perpecahan ini tidak hanya memperlihat betap barbariannya para penguasa-penguasa negeri yang dulunya pernah menjadi negeri Islam. Akan tetapi, terjadi kekacauan lagi ketika pada tahun 1924 Ibn Sa'ud merebut Mekah, dan menyebarkan ide-ide pembaharuan Wahabi serta menyatakan bahwa dirinya adalah khalifah. Dia juga menghimbau seluruh kaum muslim supaya menghadiri konferensi-konferensi tersebut, tetapi wakil-wakilnya sebagian besar berasal dari kalangan Islam Modernis, dan ketika itu tokoh Tjokroaminoto sangat menonjol dalam konferensi tersebut. Di Timur Tengah sedang terjadi kemerosotan Islam, maka di Nusantara Islam mengalami titik awal kebangkitan yang baru terlihat seperti seberkas sinar lampu kecil.
Sinar lampu Islam juga terlihat dengan bangkitnya umat Islam melalui pergerakan-pergerakan yang mewarnai gerakan-gerakan lainnya. Muhammadiyah, SI, NU, Al-Irsyad dan lain-lain bermunculan. Namun tak lama kemudian mengalami kekurangan darah semangat kembali. Seiring dengan telah wafatnya Ahmad Dahlan sebagai orang nomor satu di Muhamadiyah, organisasi ini mengalami penyusutan anggota dengan hanya beranggotakan 4.000 orang saja pada tahun 1925, tetapi organisasi ini telah mendirikan lima puluh lima sekolah dengan 4.000 orang murid, dua balai pengobatan di Yogyakarta dan Surabaya, sebuah panti asuhan, dan sebuah rumah miskin. Organisasi Islam Jawa modern ini adalah organisasi yang bisa menyatukan antara orang-orang beriman di Jawa dengan di tempat-tempat lain di Nusantara. Organisasi ini diperkenalkan di Minangkabau oleh Haji Rasul pada tahun 1925 dan mendapatkan sambutan yang luar biasa oleh kalangan agamawan Islam di sana. Sesaat setelah berhubungan dengan dunia Islam yang dinamis di Minangkabau, maka organisasi ini berkembang dengan pesat. Minang adalah sumber darah segar bagi perkembangan organisasi Islam yang dilahirkan dan dibidani di Jawa. Pada tahun 1930, menurut catatan M.C. Ricklefs, jumlah anggota organisasi ini sebanyak 24.000 orang, pada tahun 1935 berjumlah 43.000 orang, dan pada tahun 1938 organisasi ini mengklaim mempunyai anggota yang luar biasa banyaknya, yaitu 250.000 orang. Pada tahun 1938 organisasi ini telah menyebar di semua pulau utama di Indonesia, mengelola 834 mesjid dan langgar, 31 perpustakaan umum dan 1.774 sekolah, serta memiliki 5.516 orang mubalig pria dan 2.114 orang mubalig wanita. Perkembangan yang pesat ini tampaknya tidak diikuti oleh organisasi Islam modern lainnya, karena itu, menuriut Dengel, bisa dikatakan bahwa sejarah Islam Modern di Indonesia sesudah tahun 1925 adalah sejarah Muhammadiyah. Namun, kemerosotan Muhammadiyah setelah tahun-tahun kejayaannya itu dimulai justru di Pulau Jawa, Pulau Penggembosan.
Demikianlah sekilas setting sejarah yang mengitari saat-saat S.M. Kartosoewirjo lahir. Ia lahir dan mengalami masa-masa kecilnya pada saat gerakan-gerakan Islam mengalami pasang naik dan pasang surut secara bersamaan. Maka orang tuanya bukanlah orang yang dikenal fanatik atau anti-Islam; melainkan orang tua yang biasa-biasa saja, yang menyerahkan anaknya pada perputaran zaman. Ayahnya, yang bernama Kartosoewirjo, bekerja sebagai mantri yang bekerja pada kantor yang mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan dekat Rembang. Di bawah sistem administrasi pemerintahan Hindia Belanda, profesi pedagang candu memiliki kedudukan istimewa. Karena itu pedagang candu diangkat menjadi pegawai oleh pemerintah kolonial Belanda di bidang distribusi perdagangan candu yang dikontrol oleh pemerintah. Candu, ketika itu, tidak pernah masuk ke dalam persoalan yang dianggap penting oleh organisasi-organisasi Islam. Namun, juga karena ketidakperhatiannya organisasi-organisasi Islam ketika itu, bagi pemerintah Hindia Belanda adalah sesuatu yang sangat penting. Ekonomi Hindia Belanda hampir seperempatnya disokong oleh perdagangan candu ini. Sedemikian pentingnya perdagangan candu di mata penguasa kolonial Belanda, maka jabatan mantri candu pun disamakan dengan Sekretaris Distrik. Dalam posisi inilah, ayah S.M. Kartosoewirjo mempunyai kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu. Kedudukan orang tua berpengaruh terhadap pembentukan dan garis sejarah anaknya. Maka Kartosoewirjo pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini hingga pada usia-usia remajanya.
Dengan kedudukan istimewa inilah serta makin mapannya "gerakan pencerahan Indonesia", S.M.Kartosoewirjo dibesarkan dan berkembang. Ia terasuh di bawah sistem rasional Barat yang mulai dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia. Suasana politis ini juga mewarnai pola asuh orang tuanya yang berusaha menghidupkan suasana kehidupan keluarga yang liberal. Masing-masing anggota keluarganya mengembangkan visi dan arah pemikirannya ke berbagai orientasi. Ia mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di Surakarta pada tahun 50-an yang hidup dengan penuh keguyuban, dan seorang kakak laki-laki yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api pada tahun 20-an, ketika di Indonesia terbentuk berbagai Serikat Buruh. Gerakan buruh kemudian banyak dipengaruhi oleh konsepsi-konsepsi Karl Marx tentang "ideologi kaum buruh".
Pada masa sekitar tahun 1909, di seluruh Indonesia banyak bermunculan organisasi-organisasi baru di kalangan elite terpelajar, yang sebagian besar didasarkan atas identitas-identitas kesukuan. Sarekat Ambon (1920) dan organisasi-organisasi pendahulunya sejak tahun 1909 bertujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan orang Ambon; Jong Java (Pemuda Jawa, 1918) merupakan lembaga para mahasiswa yang pertama; Jong Pasundan (1914) merupakan organisasi semacam Budi Utomo untuk orang Sunda; Sarekat Sumatra (Sumatranen Bond, 1918) merupakan kelompok mahasiswa Sumatera; Jong Minahasa (Pemuda Minahasa, 1918) adalah untuk orang-orang Minahasa; Timorsch Verbond (Persekutuan Orang-orang Timor, 1921) didirikan oleh orang-orang Timor yang keluarga-keluarganya berasal dari Roti dan Savu untuk melindungi kepentingan-kepentingan rakyat Timor; Kaum Betawi (1923) giat berusaha memajukan hak-hak warga Indonesia 'asli' dari Batavia; Pakempalan Politik Katolik Jawa (Persatuan Politik Orang-orang Jawa yang Beragama Katolik, 1925) mengabdi kepada kepentingan-kepentingan kelompok minoritas itu. Organisasi-organisasi tersebut dan masih banyak kelompok lainnya tidak hanya mencerminkan adanya euphoria atau kegairahan baru untuk berorganisasi namun juga mencerminkan masih kuatnya identitas-identitas kesukuan dan kemasyarakatan yang terus berlangsung. Organisasi yang mempunyai konsep tentang suatu identitas untuk seluruh Indonesia masih belum mempunyai pendukung yang berarti. Pembelahan organisasi selain karena masalah kedaerahan, juga masalah ideologi.
Organisasi yang menanamkan ideologi hanya dari kalangan pemikir dan tokoh-tokoh pergerakan Islam dan gerakan kiri. Maka Organisasi yang memperoleh kemajuan adalah organisasi-organisasi Islam dan organisasi sosialis maupun komunis. Islam tidak ketinggalan dalam soal pendidikan, maka tidak ketinggalan juga para buruh dan pegawai yang tergabung dalam serikat-serikat pekerja kiri pun berdiri di Indonesia ketika masa ramai-ramainya pembentukan organisasi ini. Antara tahun 1908 dan 1918 berdiri serikat-serikat bagi para guru di sekolah-sekolah pemerintah, para petugas pabean, para pegawai pegadaian pemerintah, para pegawai monopoli candu pemerintah, para pegawai pekerjaan umum, para pekerja perbendaharaan, para buruh pabrik gula, serta untuk kaum tani dan kaum buruh pada umumnya. Kehadiran pabrik gula ini telah menghasilkan banyak perubahan dalam kehidupan ekonomi petani pedesaan Jawa. Akan tetapi, yang mengambil manfaat dari kehadiran industri gula ini adalah kaum politisi yang menggerakkan buruh untuk kepentingan politik mereka sendiri. Akan tetapi, organisasi serikat buruh pada umumnya lemah karena adanya tenaga kerja yang berlebihan dan tekanan para majikan (pemerintah maupun swasta) yang tidak dilarang secara hukum maupun sentimen untuk memanfaatkan segala alat yang ada guna mematahkan pemogokan-pemogokan.
Pada bulan 1918 gairah politik masa Perang Dunia I mencapai puncaknya ketika revolusi sosial demokrat di Jerman seolah-olah akan juga berpengaruh ke negeri Belanda. Namun ternyata upaya tersebut mengalami kegagalan. Walaupun hasilnya yang pasti belum diketahui di Indonesia, van Limburg Stirum, yang barangkali juga sudah tahu bahwa kerajaan Belanda selamat dan ssemata-mata memanfaatkan kesempatan itu untuk mendukung pembaharuan lebih lanjut, memberikan 'janji-janji November'-nya yang menyetujui pengalihan wewenang selanjutnya kepada Volksraad dan perbaikan-perbaikan sosial lainnya yang tidak terinci. Bagi para aktivis pergerakan tampaknya Volksraad semakin memberi harapan.
Dua aliran yang bertentangan telah muncul sebagai dasar bagi dilakukannya peremajaan secara nasional, dan kini ditambah aliran pemikiran yang ketiga. Aliran kalangan atas yang mencari modernisasi secara Barat (dan setidak-tidaknya mempunyai unsur-unsur anti Islam) paling jelas diwakili oleh Budi Utomo dan aliran Islam Modern diwakili oleh Muhammadiyah, kini ditambah dengan ide-ide sosialis yang radikal. Namun, perkembangan revivalisme Islam paling hebat justru didukung oleh massa petani di pedesaan. Pada tahun 1911 suatu partai politik yang bernama Indische Partij (Partai Hindia) didirikan oleh seorang Indo-Eropa yang radikal bernama E.F.E. Douwes Dekker (Setiabudi, 1879-1850), seorang keluarga jauh E. Douwes Dekker (Multatuli). Partai ini mempermaklumkan suatu nasionalisme 'Hindia' dan menuntut kemerdekaan. Dua orang Jawa yang terkemuka, Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Surjaningrat (kemudian disebut Ki Hajar Dewantara, 1889-1959), bergabung dengan Douwes Dekker. Pemerintah tidak mau mengakui partai ini, dan pada tahun 1913 ketiga pemimpin tersebut diasingkan ke negeri Belanda (Tjipto sampai tahun 1914, Douwes Dekker sampai tahun 1918, dan Suwardi sampai tahun 1919). Organisasi-oraganisasi kaum nasionalis ini seperti organisasi KNPI, AMPI atau HMI sekarang yang hanya bisa berdiskusi dan tak berbuat banyak. Yang sebenarnya berbuat adalah para petani di pedesaan yang habis-habisan berontak dan mengadakan resistensi politik sehebat mungkin bahkan tak pernah ada suatu pemberontakan yang lebih hebat dari pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan petani. Dalam dunia ekonomi yang berubah, kaum tanilah yang paling kena getahnya dari sistem baru yang dibawa Belanda.
Pada tahun 1909 seorang lulusan OSVIA bernama Tirtoadisurjo yang telah meninggalkan dinas pemerintahan dan menjadi wartawan, mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia. Pada tahun 1911, dia mendirikan suatu organisasi semacam itu lagi di Buitenzorg (Bogor). Kedua organisasi tersebut dimaksudkan untuk membantu pedagang-pedagang bangsa Indonesia dalam menghadapi saingan orang-orang Cina. Pada tahun 1911 dia mendorong seorang pedagang batik yang berhasil di Surakarta bernama Haji Samanhudi (1868-1956) untuk mendirikan Sarekat Dagang Islam sebagai suatu koperasi pedagang batik anti-Cina. Di daerah Jawa Timur juga didirikan cabang-cabang lainnya, adapun sasaran yang ingin dicapai adalah bagaimana mempungsikan peranan Islam dalam masyarakat desa, disamping itu memberikan pendidikan politik terhadap mereka sehingga bisa berperan aktif dalam setiap perjuangan kemerdekaan. Di Surabaya HOS Tjokroaminoto (1882-1934) menjadi pimpinan organisasi itu, ia juga seorang lulusan OSVIA yang telah mengundurkan diri dari dinas pemerintahan. HOS Tjokroaminoto adalah seorang tokoh yang memiliki kharisma yang menjadi terkenal karena sikapnya yang memusuhi orang-orang yang memegang kekuasaan, baik yang berkebangsaan Belanda maupun Indonesia, dan dengan cepat menjadi pemimpin yang paling terkemuka dari gerakan rakyat yang pertama itu. Sejak tahun 1912, SI berkembang dengan pesat, dan untuk pertama kalinya tampak adanya asas rakyat walaupun sukar dikendalikan dan hanya berlangsung sebentar. Pada tahun 1919, SI menyatakan mempunyai anggota 2 juta orang, tetapi jumlah yang sesungguhnya mungkin tidak pernah lebih dari setengah juta orang. Tidak seperti Budi Oetomo, SI berkembang dari Jawa ke daerah-daerah luar Jawa, tetapi Jawa tetap menjadi pusat dari kegiatan-kegiatannya. Anggota-anggotanya harus mengangkat sumpah rahasia dan memiliki kartu anggota yang sering kali dianggap sebagai jimat oleh orang-orang desa. Tjokroaminoto kadang-kadang dianggap sebagai Ratu Adil, 'raja yang adil' yang diramalkan oleh tradisi-tadisi Jawa yang bersifat mesianistis, dan yang disebut Eru Cakra (yaitu nama yang sama dengan Cakra-aminata, Tjokroaminoto).
SI menyatakan setia kepada rezim Belanda, tetapi ketika organisasi tersebut berkembang di desa-desa maka meletuslah tindak kekerasan. Rakyat pedesaan tampaknya lebih menganggap SI sebagai alat bela diri dalam melawan struktur kekuasaan lokal yang kelihatannya monolitis, yang tidak sanggup mereka hadapi, daripada sebagai gerakan politik modern. Oleh karena itulah, maka organisasi tersebut menjadi lambang kesetiakawanan kelompok yang dipersatukan dan tampaknya didorong oleh perasaan tidak suka kepada orang-orang Cina, pejabat-pejabat priyayi, mereka yang tidak menjadi anggota SI, dan orang-orang Belanda, kira-kira dengan urutan seperti itu. Di beberapa daerah SI benar-benar menjadi pemerintahan bayangan dan para pejabat priyayi harus menyesuaikan diri. Aksi boikot yang dilakukan terhadap pedagang batik Cina di Surakarta dengan cepat meningkat menjadi aksi saling menghina antara Cina-Indonesia dan tindak kekerasan di seluruh Jawa. Pada tahun 1913-1914 terjadi letupan tindak kekerasan yang sangat hebat di kota-kota dan desa-desa; dalam hal ini cabang-cabang Sarekat Islam lokal memainkan peranan penting. Inilah gerakan nasionalis Islam yang kelahirannya mendahului gerakan Boedi Oetomo pada tahun 1908.
Ketika lahirnya Boedi Oetomo, Gubernur Jenderal van Heutsz menyambut baik Budi Utomo sebagai tanda keberhasilan Politik Etis. Memang itulah yang dikehendakinya: suatu organisasi pribumi yang progresif-moderat yang dikendalikan oleh para pejabat yang maju. Pejabat-pejabat Belanda lainnya mencurigai Budi Utomo dan menganggapnya sebagai gangguan yang potensial. Akan tetapi, pada bulan Desember 1909 organisasi tersebut dinyatakan sebagai organisasi yang sah. Adanya sambutan yang hangat dari Batavia menyebabkan banyak orang Indonesia yang merasa tidak puas dengan pemerintah untuk mencurigai Budi Oetomo itu. Sepanjang sejarahnya (organisasi ini secara resmi dibubarkan pada tahun 1935) sebenarnya Budi Utomo sering kali tampak sebagai partai pemerintah yang resmi. Organisasi-organisasi yang lebih aktif dan penting segera berdiri. Beberapa di antaranya bersifat keagamaan, kebudayaan, dan pendidikan, dan beberapa lagi bersifat politik, ada pula yang bersifat keduanya. Organisasi-organisasi itu bergerak di kalangan masyarakat bawah dan untuk pertama kalinya terjalin hubungan antara rakyat desa dan elite-elite baru. Golongan priyayi rendah merupakan lapisan anggota dan pengurus yang paling penting di dalam beberapa gerakan tersebut, tetapi golongan ini merupakan cabang priyayi rendah yang berbeda dari priyayi yang aktif di dalam Budi Oetomo. Kalau anggota-anggota Budi Oetomo sebagian besar mencetak karir mereka dalam dinas pemerintahan, maka mereka yang memimpin gerakan-gerakan yang lebih aktif tersebut hampir semuanya merupakan orang-orang yang telah berhasil menyelesaikan sekolah-sekolah Belanda, namun kemudian mengundurkan diri atau diberhentikan dari pekerjaan-pekerjaan pemerintahan. Muncul pula suatu kepemimpinan agama yang baru ketika Islam Indonesia diterapkan pada periode pembaharuan yang paling penting dalam sejarahnya.
Dalam masyarakat Jawa, kelompok minoritas yang berusaha benar-benar mentaati kewajiban-kewajiban Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka disebut silih berganti wong muslimin (kaum muslim), putihan (golongan putih), atau santri (murid sekolah agama). Ada dua kelompok yang dapat dibedakan dalam golongan masyarakat ini: kaum muslim pedesaan yang mengelompok di sekeliling para guru agama Islam (kyai) dan sekolah-sekolah agama mereka (pesantren, tempat para santri) dan, di lain pihak kelompok-kelompok muslim perkotaan yang sering kali melibatkan diri di bidang perdagangan. Kelompok-kelompok muslim perkotaan ini tinggal di daerah-daerah yang terpisah di kota-kota Jawa yang disebut kauman (tempat orang-orang yang saleh), biasanya di dekat masjid utama. Pada awal abad XX kaum muslim perkotaan ini merasakan bahwa kegiatan-kegiatan dagang mereka semakin terancam oleh saingan orang-orang Cina. Cina adalah kelompok "luar" yang sangat berpengaruh dalam ekonomi yang sangat fluktuatif ketika itu.
Maka pada tahun 1911, saat para aktivis ramai-ramai mendirikan organisasi, saat itu Kartosoewirjo berusia enam tahun dan masuk Sekolah ISTK (Inlandsche School der Tweede Klasse) atau Sekolah "kelas dua" untuk kaum Bumiputra di Pamotan. Empat tahun kemudian, ia melanjutkan sekolah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Rembang. Tahun 1919 ketika orang tuanya pindah ke Bojonegoro, mereka memasukkan Kartosoewirjo ke sekolah ELS (Europeesche Lagere School). Bagi seorang putra “pribumi” HIS dan ELS merupakan sekolah elite, hanya dengan kecerdasan dan bakat yang khusus yang dimiliki Kartosoewirjo maka dia bisa masuk sekolah yang direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan kalangan masyarakat Indo-Eropa. Semasa remajanya di Bojonegoro inilah Kartosoewirjo mendapatkan pendidikan agama dari seorang tokoh bernama Notodihardjo yang menjadi "guru" agamanya. Notodihardjo adalah tokoh Islam modern yang mengikuti Muhammadiyah dan pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi bagaimana Kartosoewirjo bersikap dalam merespon ajaran-ajaran agama Islam. Notodihardjo ini kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam pikir Kartosoewirjo remaja, dalam masa-masa yang bisa kita sebuat sebagai the formative age-nya.
Ketika Kartosoewirjo mulai memasuki pintu gerbang kedewasaan, ia mulai berkenalan dengan organisasi Islam modern yang lebih jelas garis politiknya ketimbang Muhammadiyah yaitu Sarekat Islam. Pada tahun 1912 organisasi SDI merubah namanya menjadi Sarekat Islam (SI). Ketika itu terjadi percekcokan antara Tirtoadisurjo dan Samanhudi, sehingga Samanhudi yang sebagian besar waktunya tersita untuk urusan-urusan dagang, meminta bantuan Tjokroaminoto untuk memimpin organisasi itu. Asal-usul organisasi yang bersifat Islam dan dagang segera menjadi kabur, dan istilah Islam pada namanya kini sedikit banyak lebih mencerminkan adanya kesadaran umum bahwa anggota-anggotanya yang berkebangsaan Indonesia adalah kaum muslim, sedangkan orang-orang Cina dan Belanda adalah bukan muslim. Tjokroaminoto sendiri tampaknya tidak mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang Islam, setidak-tidaknya jika dibandingkan dengan para ulama yang mendirikan gerakan pembaharuan agama yang sebenarnya. Tokoh Tjokroaminoto inilah yang kemudian banyak mempengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi politik Kartosoewirjo.

No comments: