Bab Delapan
Kartosoewirjo Tertangkap
Kekuatan perjuangan Darul Islam yang diproklamasikan oleh Kartosoewirjo sesungguhnya terletak dalam kemampuan untuk mengatur, menyusun dan menyelenggarakan susunan ketentaraan dan susunan organisasi kenegaraan NII. Pergerakan menuju berdirinya Negara Islam Indonesia sejak tahun 1939 telah dirumuskan dengan langkah langkah yang jelas, namun mengapa pada akhirnya mujahid besar ini ditangkap lawan dan ditinggalkan para pengawalnya sendiri, ini merupakan hal yang menarik untuk dicermati. Bila kita lakukan kilas balik, maka dalam sebuah konferensi di Cisayong, bersama para Ulama dalam Majlis Islam, telah disepakati bahwa langkah perjuangan haruslah melalui langkah langkah berikut :
1. Mendidik rakyat agar cocok menjadi warga negara Islam.
2. Memberikan penjelasan kepada rakyat bahwa Islam tidak bisa dimenangkan dengan Feblisit (referendum)
3. Membangun daerah daerah basis.
4. Memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia.
5. Membangun Negara Islam Indonesia sehingga kokoh ke luar dan ke dalam, dalam arti, di dalam negeri bisa melaksanakan syari’at Islam seluas luasnya dan sesempurna sempurnanya, sedang keluar, sanggup berdiri sejajar dengan negara negara lain.
6. Membantu perjuangan muslimin di negeri negeri lain sehingga cepat bisa melaksanakan wajib sucinya.
7. Bersama negara negara Islam membentuk Dewan Imamah Dunia untuk mengangkat Kholifah dunia.
Tahapan tahapan di atas demikian realistis, jauh dari kesan tergesa gesa, atau perlawanan sekedar karena tidak kebagian jatah kekuasaan, tetapi muncul dari kebeningan hati, keteguhan jiwa dan langkah langkah yang istiqomah dalam tahapan yang demikian sistematik.
Namun pada dataran praktis, kita lihat rencana tadi tidak berjalan dengan mulus, tragedi “Nabi Musa AS” dan kepedihan yang menimpa “Nabi Isa AS” dialami secara berbarengan. Jika Nabi Isa adalah sosok pembawa risalah, namun sayang didukung oleh Anshorulloh yang sangat sedikit. Dan bila Nabi Musa walaupun memiliki ummat banyak, namun kualitasnya demikian payah, sehingga banyaknya ummat bukannya membantu malah jadi beban dan membuat kinerja menjadi lambat. Maka demikian pula yang dialami Imam Kartosoewirjo dalam meneratas jalan jihadnya. Beliau berhasil mengkader sosok sosok pilihan dalam Institut Suffah, figur figur yang memiliki sebersih bersih tauhid, setinggi tinggi ilmu dan sepandai pandai siasat. Namun sayang jumlahnya tidak banyak, dan sebagai pejuang, para pemimpin mujahidin tampil di gelanggang terdepan perjuangan, sehingga satu demi satu bunga Negara Islam Indonesia ini gugur sebagai Syuhada. Dan pada giliran berikutnya, ketika perang Totaliter terus berlanjut, rakyat banyak yang bersimpati pada Negara Islam ini, bahkan berbondong bondong menjadi warga dan tentara Islam, namun pengkaderan berbobot semacam Institut Suffah tidak sempat lagi dilakukan. Pada akhirnya mereka yang berduyun duyun meninggalkan Republik Indonesia di saat perjuangan bersenjata NII tengah naik daun ini, mereka itu pula yang berbondong bondong kembali ke pangkuan ibu pertiwi mereka, di saat kekuatan NII terdesak.
Disamping itu Kartosoewirjo juga pandai menggunakan situasi kondisi politik dan militer dalam menyusun dan mengatur administrasi pemerintah NII yang dia selalu sesuaikan dengan keadaan yang berlaku atau dengan perubahan-perubahan keadaan di dalam maupun di luar negeri. Setiap perubahan dan perkembangan politik telah dijadikan dasar pertimbangannya dalam mengatur dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
Tentara Nasional Indonesia, sebagai tulang punggung Republik Indonesia mempersiapkan rencana operasi untuk menghancurkan Negara Islam Indonesia ini, peperangan antara RI dan NII benar benar total meliputi segala aspek kehidupan, mulai dari perang propaganda, perang intellijen sampai penghancuran satuan satuan militer TII. Keberhasilan TNI menghancurkan TII didahului dengan keberhasilan operasi intellijen.
Pada tahun 1951 Sersan Mayor Ukon Sukandi yang bertugas sebagai intel dengan nama samaran Sukarta, memperoleh informasi adanya bekas komandan/tokoh TII, dari Batalyon Kalipaksi yang berkedudukan di Garut, bernama Ali Murtado, telah melemah semangat tempurnya dan kembali ke kota. Ukon Sukandi mendatanginya dan berusaha merebut simpati bekas komandan ini dengan berbagai kebaikan. Ali Murtado tertarik dengan segala kebaikan Ukon Sukandi tadi bahkan Ali Murtado melaporkan pada pimpinan TII di atasnya –pamannya sendiri- Bapak Sujai bahwa Ukon Sukandi ini pantas untuk direkrut demi kepentingan TII dalam menjalankan aksi intellijen di kota.
Sebaliknya Sersan Mayor Ukon Sukandi pun melaporkan pada atasannya bahwa Ali Murtado berhasil didekati dan bisa diperalat, diserap informasinya bahkan bisa menjadi jalan bagi masuknya operasi intellijen TNI ke dalam tubuh TII. Lewat Ali Murtado inilah Ukon Sukandi berhasil menipu Bapak Sudjai, ia memberikan banyak bantuan kepada komandan TII tersebut, baik berupa uang, pakaian. Alat alat tulis, surat kabar, dan surat pribadinya yang menunjukan rasa simpati terhadap perjuangan Negara Islam. Bapak Sudjai terkecoh dengan kemurahan ini, kemudian ia mengirim surat balasan pada Ukon Sukandi bahkan dalam surat itu ia menjelaskan dirinya sudah mengusulkan kepada Panglima Wilayah Divisi I Sunan Rahmat TII, Agus Abdullah agar mengangkat Ali Murtado sebagai petugas khusus di Jakarta, yang setiap saat bisa dihubungi oleh Ukon Sukandi.
Dua hari kemudian datang surat penetapan dari Komandan Divisi I Sunan Rahmat TII, Agus Abdullah yang menetapkan dan mengangkat Ali Murtado sebagai Kepala Pos Hubungan Wilayah I dan berkedudukan di Jakarta. Penugasan ini terasa membawa dampak positif bagi lalu lintas surat menyurat untuk kepentingan perjuangan NII, dan Agus Abdullah melaporkan hal positif ini kepada Imam Kartosoewirjo, yang selanjutnya Imam memerintahkan Agus Abdullah untuk meningkatkan hubungan dan kegiatan di Jakarta, bahkan kalau memungkinkan dibentuk perwakilan pemerintah NII di Jakarta. Akhirnya Agus Abdullah memerintahkan kepada Ali Murtado untuk menyusun personalia guna mengisi jabatan dalam perwakilan Pemerintah NII di Jakarta. Kartosoewirjo mempercayai Ali Murtado, karena usulan ini datang dari orang kepercayaan Kartosoewirjo sendiri di Jawa Barat (Komandan Divisi).
Ali Murtado menyampaikan surat ini kepada Ukon Sukandi, segera saja ia membahasnya bersama Komandan Intellijen TNI, Letnan Muda Satiri dan Kepala seksi I KMKB – DR (Komando Militer Kota Besar Djakarta raya) , Lettu Suhadi. Dengan persetujuan Seksi I KMKB – DR, setelah berhasil menyusupkan anggota kepolisian dari seksi Djatinegara, segera Ukon Sukandi dan Ali Murtado menyusun personalia perwakilan Pemerintah NII sebagai berikut :
Komandan : Ali Murtado
Wakil Komandan : Sukarta (nama samaran Sersan Mayor TNI Ukon Sukandi)
Kepala Kepolisian : Among (Anggota POLRI sesksi Djatinegara)
Perwakilan pemerintahan ini menunjukkan keberhasilan kerja yang lumayan (maklum karena memang disponsori oleh agen intellijen RI), ketika Sukarta berhasil meluluskan transaksi jual beli senjata. Walaupun akhirnya senjata yang telah berhasil dibeli NII itu berhasil dirampas kembali dalam sebuah pemeriksaan truk di jalan Karawang – Purwakarta. Terbongkarnya truk yang membawa senjata ini bukanlah kebetulan, namun demikianlah rencana TNI untuk menjebak aparat NII yang telah berhasil disusupinya.
Meskipun senjata yang berhasil dibeli NII itu gagal tiba di tempat tujuan, namun kepercayaan pemerintah pusat terhadap perwakilan pemerintah NII di Jakarta tidak hilang, karena pihak intellijen RI berhasil membuat alibi, seakan akan kebocoran itu bukan disebabkan adanya unsur kontra intellijen RI di tubuh NII tetapi karena kecerobahan para prajurit TII sendiri di Karawang. Pada tahun itu juga Agus Abdullah memberitahukan Ali Murtado dan Sukarta bahwa Kolonel TII, wakil Komandan wilayah I Sunan Rahmat akan datang mengontrol pasukan ke Jakarta, sebab sebelumnya Sukarta berhasil menipu Ali Murtado dengan mengatakan bahwa dirinya berhasil menyusun satuan satuan rakyat terlatih yang mendukung perjuangan NII.
Ketika Kolonel TII Sohby datang ke Jakarta dan menyatakan keinginannya untuk menginspeksi pasukan, Sukarta menyampaikan alasan bahwa para prajurit yang dilatihnya tersebar di berbagai wilayah Jakarta, dan ia minta waktu dua hari saja untuk mengumpulkan mereka. Untuk memenuhi keinginan ini dan demi memperkuat rasa percaya pemerintah NII terhadap dirinya, maka “simunafiq” Ukon Sukandi ini mengontak pimpinan intel Jakarta untuk meminjam beberapa puluh karaben dari Detasemen Markas. Bersamaan dengan itu juga dikumpulkan 40 orang intel yang secara kilat dilatih tatacara upacara militer TII oleh Ali Murtadho. untuk hadir di sekitar Rawa Buaya daerah Tangerang, berpura pura sebagai pasukan TII yang siap menyambut kedatangan komandannya.
Kolonel TII Sohby menyatakan kepuasaannya melihat kesigapan ‘para prajurit’ itu, bahkan mengomentari, “sekalipun berada di daerah jantung musuh, namu semangat dan disiplinnya melibihi pasukan TII yang kini beroperasi di gunung gunung.” Selama seminggu di Jakarta Sohby menyuruh Ali Murtado untuk mengetik surat buat Imam Kartosoewirjo dan kepada Agus Abdullah dan ditembuskan kepada semua panglima wilayah TII, bahwa setelah mendapat restu dari Imam NII ia (Kolonel TII Sohby) akan melanjutkan tugasnya sebagai Duta Keliling di luar negeri .
Berita ini tentu saja amat bernilai di mata intellijen RI, Sersan Mayoor Ukon Sukandi segera saja melaporkan hal ini kepada Kepala Seksi I Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya. Si munafik Ukon Sukandi mengusulkan agar Sohby tidak ditangkap di Jakarta, sebab itu akan menimbulkan kecurigaan pemerintah pusat NII kepadanya. Akhirnya Sohby dijebak di Bogor, sekaligus Ukon Sukandi memfitnah, melaporkan pada pemerintah pusat, bahwa tertangkapnya Duta besar keliling NII ini disebabkan pengkhianatan A.M Firdaus. Dengan demikian pihak TNI berhasil menghancurkan dua orang sosok pilihan Negara Islam sekaligus. Sohby ditangkapnya, sedang tentara Islam yang asli A.M. Firdaus dihukum mati oleh kawannya sendiri.
Ukon Sukandi sendiri semakin dipercaya oleh Komandan Divisi I TII Sunan Rahmat, ketika ia menyatakan kesiapannya untuk membujuk dan menyogok perwira TNI untuk membebaskan Kolonel TII Sohby yang tertangkap itu. Agus Abdullah menyetujui rencana itu, bahkan sekalian meminta Ukon Sukandi untuk membeli beberapa peti peluru untuk pasukan TII yang dipimpin Letkol TII Ahmad Sungkawa. Ukon Sukandi berhasil membobol keuangan NII dengan cara menjual peluru jelek yang bisa membuat senjata rusak, disamping itu Sohby pun sengaja dilepaskan, dengan skenario melarikan diri loncat dari pickup di tikungan Jalan Setiabudi, tanjakan Lembang Bandung. Dan dalam upaya melarikan diri itulah Sohby ditembak dengan penembakan yang sudah dipersiapkan, sehingga terjangan peluru sulit dihindarkan. Licin sekali siasat ini, Ukon Sukandi sempurna melaksanakan tugasnya. Tanpa curiga karir si munafik ini terus menanjak, ia berhasil menguasai KBW I NII (Kantor Berita Wilayah) yang berdasarkan keputusan Kartosoewirjo semua surat keluar masuk pulau Jawa harus melalui Jakarta.
Demikian strategisnya posisi yang berhasil dicaplok Ukon Sukandi sehingga seluruh jaringan Koordinasi Pemerintah Pusat NII dengan wilayah lainnya berhasil d lacak lewat KBW I Jakarta ini. Tidak Heran bila pada tahun 1953 KUKT APNII Abdul Fatah Tanu Wirananggapati yang baru saja pulang menggalang wilayah Aceh menjadi bagian dari NII, tertangkap di Jakarta.
Penyusupan yang dilakukan lewat Ukon Sukandi dengan memperalat Ali Murtado ini, terus berkembang, sehingga pada tahun 1955, di Bandung saja, antara pejuang TII asli dengan pasukan Intellijen RI yang berhasil disusupkan sudah fifty-fifty . Akibatnya mudah diduga, apapun perintah Kartosoewirjo dalam mengatur strategi perang, dengan mudah digagalkan oleh TNI. Ini diakibatkan oleh kecerobohan aparat TII yang dengan mudahnya menerima kembali seorang yang telah berhenti berjuang dan kembali ke kota (Ali Murtado), yang kemudian hanya karena dianggap berhasil merekrut seorang kader potensial, langsung diangkat kembali untuk menjabat posisi penting, tanpa memproses pelanggarannya.
Kartosoewirjo semakin terdesak , secara militer digerogoti oleh agen agen kontra intellijen RI, dan secara politik dengan semakin menancapnya kuku kekuasaan Presiden Sukarno. Dekrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959 di mana Presiden Soekarno mengemukakan dasar-dasar yang akan dijadikan GBHN, dan kemudian terkenal sebagai Manipol USDEK. Pada waktu itu bagi Kartosoewirjo sudah jelas, bahwa setelah Soekarno dapat memegang kembali kekuasaan di tangannya, bagi Negara Islam Indonesia akan timbul masa-masa yang sulit.
Dalang peperangan strategi pertempuran masing masing negara bisa berbah sesuai keperluan, pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada tahun 1958 merevisi doktrin militer yang selama itu dipraktekkan . Hasilnya adalah konsep Perang Wilayah dengan dasar pemikiran, bahwa tanpa adanya bantuan aktif dari masyarakat, perjuangan suci tidak akan dapat ditumpas. Untuk itu keadaan masyarakat harus distabilisasikan dan cara berpikir yang konstruktif serta integrasi nasional perlu didukung untuk mencapai partisipasi yang aktif dari rakyat dalam tugas-tugas pertahanan. Yang bertanggung jawab atas pelaksanaan doktrin Perang Wilayah adalah Pangdam Siliwangi, Ibrahim Adjie, yang pernah menjabat sebagai atase militer di Beograd. Rupanya Ibrahim Adjie berorientasi pada pengalaman perang gerilya Jugoslavia selama perang dunia kedua. Kemudian konsep Perang Wilayah disyahkan oleh Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960.
Namun sebelumnya, pada bulan Februari 1959 telah disusun “Petunjuk Pokok Pelaksanaan Pemulihan Keamanan (P4K) yang bersandar pada konsep Perang Wilayah dan yang merupakan suatu petunjuk untuk penggunaan seluruh sarana militer seefisien mungkin. Akhirnya lahirlah Rencana Pokok 2.1. (RP 2.1.) untuk membatasi kebebasan bergerak lawan sehingga lawan terdorong ke dalam daerah-daerah tertentu yang kemudian diselesaikan satu per satu. Untuk melaksanakan rencana tersebut, pada bulan Desember 1959 disusun Rencana Operasi 2.1.2. dan kemudian pada bulan Februari 1961 dikeluarkan RO 2.1.2.1. yang merupakan percepatan dari Rencana Operasi 2.1.2. Kalau dalam RO 2.1.2. pemulihan keamanan wilayah Jawa Barat direncanakan dalam waktu 5 tahun, yaitu sampai tahun 1965, dalam RO 2.1.2.1. waktu dipercepat sampai akhir tahun 1962.
Tak lama setelah Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit kembali ke Undang-Undang Dasar 45, di seluruh Jawa Barat serempak Operasi Wilayah GERAK, TANAH dan GODAM. Sesuai dengan Rencana Pokok 2.1.2. wilayah Jawa Barat dibagi menjadi tiga daerah operasi, Daerah Operasi A (DO-A), dimana telah tercapai normalisasi keadaan, Daerah Operasi B (DO-B) yang sudah dikontrol oleh TNI tetapi belum 100 % bersih dari pemberontak Darul Islam dan Daerah Operasi C (DO-C) yang masih sepenuhnya dikontrol oleh perjuangan suci Darul Islam. Pihak militer dengan demikian menjiplak sistem D.I/D.II/D.III yang dipraktekkan perjuangan suci Darul Islam. Penumpasan dan pengisolasian perjuangan suci Darul Islam dimulai pada pertengahan tahun 1960 di Kabupaten Lebak (DO-C 19) yang termasuk Korem Banten, untuk menutup kemungkinan adanya anggota pejuang mujahid Darul Islam dapat menyeberang ke Sumatra. Di daerah Banten ini juga untuk pertama kali penduduk setempat diikut sertakan dalam operasi militer yang mula-mula dinamakan sebagai “Perang Bedok” dan kemudian terkenal sebagai sistem “Pagar Betis”. Pada mulanya sistem ini kurang berhasil, namun setelah ada perbaikan maka sistem Pagar Betis merupakan salah satu syarat untuk berhasil dalam peningkatan dan pengisolasian Tentara Islam Indonesia, terutama di daerah Banten dan Priangan.
Situasi yang demikian menjepit, dimana rakyat yang semula berpartisifasi aktif dalam mempertahankan berdirinya negara Islam Indonesia, perlahan lahan menarik bantuannya. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama, akibat adanya usaha usaha musuh NII yang membuat satuan satuan TII palsu yang melakukan tindakan tindakan kejam terhadap rakyat, dimana mereka membunuh, membakar dan merampok, sedang pada saat melakukan tindakan keji itu mereka menggunakan tanda tanda yang membuat mereka dikenal sebagai gerilyawan NII. Ke dua, akibat tekanan TNI, dimana seluruh rakyat harus terlibat dalam gerakan “Pagar Betis”, jika menolak, maka langsung dituduh sebagai pendukung NII. Pada saat saat genting itu Imam Kartosoewirjo mengeluarkan sebuah “washijat” sebagai berikut. :
WASHIJAT IMAM NEGARA ISLAM INDONESIA S.M. KARTOSOEWIRJO
Bismillaahirrohmaanirrohiem
Washijat Imam pada pertemuan dengan para Panglima/Pradjurit (Mudjahid) pada tahun 1959 diantaranja berbunyi begini : “saja (Imam) melihat tanda tanda bentjana angin jang akan menjapu bersih seluruh mudjahid ketjuali jang tertinggal hanya serah/bidji mudjahid yang benar2 memperdjuangkan/mempertahankan tetap tegaknja Negara islam Indonesia sebagaimana diproklamasikan tanggal 7 Agustus 1949. Disa’at terdjadinja bentjana angin tersebut ingatlah akan semua Washijat saja ini :
1. Kawan akan mendjadi lawan, dan lawan akan mendjadi kawan.
2. Panglima akan mendjadi Pradjurit, Pradjurit akan mendjadi Panglima.
3. Mudjahid djadi luar Mudjahid, luar Mudjahid djadi Mudjahid.
4. Djika mudjahid telah ingkar, ingatlah;”Itu lebih djahat dari iblis”, sebab dia mengetahui Strategi dan Rahasia perdjuangan kita, sedang musuh tidak mengetahui. Demi kelandjutan tetap berdirinja Negara Islam Indonesia, maka tembaklah dia.
5. Djika Imam berhalangan, dan kalian terputus hubungan dengan Panglima, dan jang tertinggal hanja Pradjurit petit sadja maka Pradjurit petit harus sanggup tampil djadi Imam.
6. Djika Imam menjerah tembaklah saja, sebab itu berarti iblis. Djika Imam memerintahkan terus berdjuang, ikutila saja sebagai hamba Alloh SWT.
7. Djika kalian kehilangan sjarat berdjuang, teruskanlah perdjuangan selama Pantja sila masih ada, walaupun gigi tinggal satu, dan gunakanlah gigi jang stu itu untuk mengigit.
8. Djika kalian masih dalam keadaan djihad, ingat rasa aman itu, sebagai ratjun.
Washijat di atas seharusnya dipegang oleh setiap Tentara Islam, sebagai amanat perpisahan, dimana sekalipun setelah ini mereka tidak lagi bertemu dengan Imam. Perjuangan tidak boleh terhenti apalagi menyerah, sebab selama kebathilan masih tegak, maka selama itu perlawanan harus dilanjutkan, sekalipun yang tersisa tinggal satu gigi, maka gunakanlah gigi yang tinggal satu itu untuk menggigit !
Di pihak lain TNI dalam merealisasikan Konsep Perang wilayah tersebut, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ini merencanakan Operasi Cepat I-XII dari tanggal 1 Januari 1961 sampai 31 Januari 1962, Operasi Brata Yudha I-IV dari bulan Maret sampai bulan Juni 1962 dan Operasi Pamungkas dari bulan Agustus 1962 sampai bulan Januari 1963, yang akan merupakan operasi militer terakhir.
Dalam keadaan terdesak pihak pejuang mujahid Darul Islam pada tanggal 11 Juni 1961 mengeluarkan “Perintah Perang Semesta” (PPS) yang tidak ditandatangani oleh Kartosoewirjo, melainkan oleh Taruna, seorang sekretaris pribadi Kartosoewirjo. Tapi tanpa melihat siapa yang mengeluarkan perintah tersebut, PPS tidak dapat lagi mencegah berakhirnya perjuangan suci Darul Islam. Sebab sementara itu kesatuan-kesatuan TII di daerah Banten, Pangrango-Gede, Burangrang dan Tangkuban Perahu telah dapat ditumpas atau mereka menyerah kepada pasukan pemerintah dalam rangka pemberian amnesti yang berlaku sampai bulan Oktober 1961. Juga peningkatan perjuangan suci Darul Islam yang dilakukan terus menerus oleh pasukan TNI menyulitkan komunikasi antara masing-masing kelompok kesatuan TII.
Sebagai akibat “Perintah Perang Semesta” yang merupakan reaksi terhadap penumpasan perjuangan suci Darul Islam di daerah Banten, kini TII melakukan tindakan balasan terhadap TNI dimana banyak jumlah korban dari pihak TNI ketika kesatuan-kesatuan TNI di pedalaman dihadang oleh pejuang mujahidin TII atau perkemahan mereka diserang pada malam hari. Pada bulan September 1961 Menteri Keamanan Nasional A.H. Nasution mengeluarkan suatu instruksi tentang pelaksanaan kebijaksanaan terhadap pejuang mujahidin TII yang menyerang dalam rangka amnesti yang dikeluarkan pemerintah. Mereka dibagi ke dalam lima golongan, yaitu golongan A yang terdiri dari pemikir, pejabat dan menteri; golongan B terdiri dari perwira; golongan C hanya terdiri dari para pengikut saja dan golongan D adalah mereka yang tidak tercantum dalam A-C golongan terakhir yaitu golongan X adalah warga asing. Untuk golongan A ditetapkan, bahwa mereka dipulangkan ke tempat asalnya dan diberi lapangan kerja. Juga mereka yang termasuk golongan B di bagikan lapangan kerja atau mereka dipekerjakan di perusahaan negara asal mereka memenuhi syarat. Sebaliknya mereka yang termasuk golongan C ditransmigrasikan. Bagi semua yang termasuk dalam kelima golongan tersebut di atas dikenakan “karantina politik” dan mereka tidak boleh turut lagi dalam kegiatan politik. Pada bulan November A.H. Nasution mengeluarkan suatu instruksi lagi “tentang petunjuk persoalan khusus dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan terhadap pejuangan mujahidin Darul Islam yang menyerah”. Berdasarkan instruksi tersebut masing-masing golongan A sampai D dibagi-bagi lagi kedalam golongan-golongan yang lebih kecil. Dengan demikian Kartosoewirjo sekarang termasuk golongan A1.
Tetapi Kartosoewirjo tidak menyerah, meskipun dia sadar bahwa akhir perjuangan sucinya telah dekat. Bahkan dengan semangat juang yang tinggi Kartosoewirjo masih berpidato di markasnya di daerah gunung Galunggung untuk meneguhkan moral para pejuang mujahidin, dan dia mengatakan antara lain bahwa “untuk memasuki gedung Darul Islam itu tidak tanpa melalui proses pengaliran darah secara besar-besaran”. Dalam sindiran terhadap tauhid, Kartosoewirjo mengatakan bahwa kalau di dalam suatu negeri terdapat dua kepala negara, maka salah satu dari mereka, Soekarno atau dia harus menyingkir.
Pada tanggal 2 Januari 1962 Panglima Siliwangi Ibrahim Adjie mengeluarkan perintah harian kepada pasukannya. Sementara itu kesatuan-kesatuan Darul Islam yang bermarkas di Cakrabuana dan Galunggung, dimana diperkirakan juga terdapat markas Kartosoewirjo, menghadapi pengepungan total. Pengepungan terhadap para pejuang mujahidin TII hanya dimungkinkan berdasarkan partisipasi rakyat dalam sistem Pagar Betis. Dengan demikian di Kecamatan Ciawi dikerahkan 5653 orang yang dibagi atas 1127 pos penjagaan. Sementara itu pemimpin-pemimpin Darul Islam, diantaranya Zainal Abidin dan Ateng Djaelani telah menyerah kepada pasukan pemerintah RI.
Pada tanggal 1 April 1962 mulai dilancarkan Operasi Brata Yudha I. Dalam operasi ini daerah operasi dibagi menjadi 4 Kuru Setra, suatu istilah yang diambil dari epos Brata Yudha. Yakni: Kuru Setra I (DO-C-5) yang meliputi seluruh kompleks Gunung Galunggung; Kuru Setra II (DO-C 8-9) meliputi kompleks Guntur dan Batara Guru; dalam Kuru Setra III (DO-C 6) termasuk Rangas dan Baroko dan Kuru Setra IV (DO-C 12) meliputi kompleks Cimareme. Pada tanggal 24 April 1962 terjadi pertempuran antara pasukan TII dengan pasukan TNI di daerah Bandung Selatan tepatnya di Gunung Pedang dekat desa Cipaku. Dalam pertempuran tersebut Kartosoewirjo tertembak di pantatnya. Perjuangan yang penuh dengan segala resiko tetap diperlihatkan Kartosoewirjo dengan para pejuang mujahidin TII untuk mempertahankan cita-cita bersama, agar tetap tegaknya negara yang sudah diproklamasikan.
Pada bulan Mei 1962 Toha Machfoed dan Danoe Moehammad Hasan —yang sementara itu telah meletakkan senjata— menyerukan kepada Kartosoewirjo, Agus Abdullah dan Adah Djaelani Tirtapradja agar mereka menghentikan perlawanannya setelah banyak pemimpin pejuang mujahidin Darul Islam bersama-sama dengan pasukannya menyerahkan diri kepada tentara RI. Satu-satu pejuang Islam turun dan menyerahkan diri, lebih memilih menjadi murtad, fasiq dan dzhalim ketimbang menghadapi kenyataan "terbunuh" atau "menang". Spirit untuk menang begitu terbatas sehingga satu-per-satu pejuang-pejuang itu berusaha untuk melepaskan diri dari tali Allah dan mulai meyakini tali RI yang dirajut oleh Soekarno dan tokoh-tokoh jahilayah lainnya. Pada akhir bulan Mei, Adah Djaelani Tirtapradja, seorang Komandan Wilayah dari pejuang Darul Islam, menyerahkan diri kepada Pos Pagar Betis di Gunung Cibitung. Maka dengan menyerahnya Adah Djaelani, tokoh-tokoh pejuang mujahid Darul Islam yang masih tinggal di hutan hanyalah Kartosoewirjo dan Agus Abdullah, “Panglima APNII untuk Jawa dan Madura”. Tidak ada istilah menyerah terhadap musuh, juga tidak ada istilah bunuh diri jika menghadapi musuh dengan kekuatan besar. Yang ada hanya maju terus untuk mati atau tertawan untuk masuk penjara dan tetap konsisten mempertahankan keyakinan hingga ajal merenggut. Itulah kemenangan terbesar bagi mujahidin yang berperang di jalan Allah. Inilah pilihan-pilihan yang sangat terbatas dalam etika perang Islam.
Setelah Negara Islam Indonesia kehilangan ideolog ideolog nya, ummat satu persatu luntur daya tahan juangnya. Warga Negara Islam Berjuang yang tadinya telah berjanji, “sungguh sungguh dan setia hati akan membela pimpinan dan komandan tentara Islam daripada bencana dan khianat dari mana dan apapun juga” satu demi satu melupakan janjinya, dan turun meninggalkan Imam. Mereka seakan akan Ummat Nabi Musa AS yang berkata kepada nabi mereka : “.. Pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” Apa yang dialami Cucu Rasululloh SAW terulang pada dirinya. Ribuan orang berbai’at pada saat perjuangan hendak dimulai, tapi ribuan orang pula melepas bai’atnya ketika ancaman kematian telah di depan mata. Namun sebagai pejuang yang istiqomah, yang ditempa oleh tekad yang bulat, bukan sekedar terombang ambing keadaan. Kita akan melihat nanti, dalam kesendiriannya pun Kartosoewirjo tetap kukuh dengan prinsip prinsipnya.
Pasukan tentara "Jalut" RI dengan segala kebenciannya yang menggumpal di dada berusaha dengan segala cara untuk memojokkan dan mempersempit ruang gerak kaum gerilyawan mujahidin Darul Islam. Menjelang hari-hari pertama bulan Juni, Kompi C Batalyon Kujang II Siliwangi mengejar satu kelompok pasukan Darul Islam yang sedang berjalan pulang ke markas mereka. Tidak hanya tentara mujahidin Darul Islam yang diserang, rakyat sipil kampung pun disikat habis oleh tentara RI sehingga para mujahin tidak ada lagi yang mensuplai makanan dan logistik lainnya. Sudah sejak akhir bulan April Letda Suhanda Komandan Kompi tersebut mengetahui bahwa markas Kartosoewirjo berada di daerah dimana sedang diadakan gerakan operasi. Keadaan pasukan Darul Islam yang lapar selama tiga bulan hanya makan dedaunan, menjadikan semua daunan di hutan sebagai lahapan segar para mujahid agung. Tentara RI semakin yakin bahwa pasukan-pasukan Darul Islam tinggal menunggu ajalnya dan terus-menerus digempur dengan segala kekuatan. Kejakinan tersebut diperolehnya dari benda-benda yang ditinggalkan anggota pejuang suci Darul Islam sewaktu mereka melarikan diri dan yang mengandung petunjuk tentang kehadiran Kartosoewirjo di daerah ini. Maka jelaslah pula bagi Komandan Kompi Suhanda, bahwa di depan mereka terdapat sebuah pasukan TII yang kuat. Karena telah kehilangan jejak-jejak pasukan TII tersebut, Suhanda membagi kesatuannya menjadi tiga Peleton yang masing-masing terdiri dari 45 anggota tentara, agar secara terpisah dapat melanjutkan pencarian. Pada tanggal 4 Juni anggota pengintai dari pasukan Suhanda menemukan pada waktu turun hujan deras yang disertai angin kencang, sebuah tempat persembunyian TII yang terdapat di sebuah lembah antara Gunung Sangkar dan Gunung Geber. Pos-pos penjagaan DI yang ditempatkan di bukit-bukit tidak dapat mendengar apa-apa karena hujan yang deras dan dengan demikian pasukan Suhanda dapat melangkah maju sampai sebuah pohon yang roboh. Dari tempat itu dalam kejauhan kurang-lebih 50 meter mereka dapat melihat sebuah gubuk yang dibangun secara darurat di bawah sebuah pohon rimba, yang cabang-cabangnya hampir menyentuh tanah. Ketika Suhanda memerintahkan pasukannya untuk melepaskan tembakan serbuan, kesatuannya juga ditembak dari arah bukit-bukit, namun anggota pasukannya yang lain dapat mematahkan perlawanan pasukan Darul Islam yang ditempatkan di situ. Setelah dari arah gubuk itu tidak ada lagi perlawanan karena memang sudah tidak adanya amunisi, Suhanda mendekati gubuk itu dan bertanya, "Siapa komandannya di situ?". Kepadanya ditunjukkan sebuah gubuk berikutnya yang terletak di belakang gubuk pertama. Di gubuk tersebut mereka menemukan Kartosoewirjo, putranya Darda dan Atjeng Kurnia; seluruhnya yang menyerah berjumlah 46 orang. Kartosoewirjo menanyakan nama Suhanda, dan Suhanda bertanya, apakah Kartosoewirjo masih dapat berjalan kaki, tetapi Kartosoewirjo menyatakan tidak. Dia dalam keadaan sakit payah terbaring di lantai gubuk itu dan mengenakan sebuah jaket militer dan sebuah sarung. Pada saat itu usia Kartosoewirjo sudah 57 tahun. Suhanda menyuruh anggota pasukannya untuk membuat sebuah tandu untuk Kartosoewirjo yang dibikin dari cabang-cabang pohon, rotan dan mantel. Sejam setelah dia memerintahkan kelompok pertama pasukannya untuk turun, Suhanda menyusul dengan Kartosoewirjo, dengan membawa sisa tawanan dan semua dokumen. Untuk melewati danau Petalengan, Kartosoewirjo minta istirahat. Suhanda mengabulkan permintaan Kartosoewirjo. Barulah menjelang malam hari pasukan ini sampai pada desa terdekat di mana ratusan penduduk desa dengan membawa obor yang menyala menyambut kedatangan Kartosoewirjo yang selanjutnya Kartosoewirjo, putranya Darda dan Atjeng Kurnia dari desa tersebut dibawa ke Cicalengka. Dari kota itu Kartosoewirjo dengan mobil ambulans dibawa ke markas Ibrahim Adjie dan seterusnya ke Garut. Dan pada tanggal 7 Agustus Kartosoewirjo dibawa dari Bandung ke Jakarta.
Setelah tertawan, Kartosoewirjo dipaksa untuk mencabut proklamasi, membatalkan jihad dan menyatakan menyerah. Namun ketiga hal ini ditolak oleh Kartosoewirjo. Akhirnya pihak TNI berhasil mengintimidasi anak Kartosoewirjo untuk menyusun sebuah perintah harian yang diatasnamakan ayahnya, sebagai berikut :
“Kepada seluruh anggota APNII dan Jama’atul Mujahidin di manapun mereka berada untuk menghentikan tembak menembak dan permusuhan antara APNII dan TNI/APRI dan melaporkan diri kepada pos-pos TNI yang terdekat dengan membawa segala alat perang dan dokumen-dokumen”. “Segala pertanggung jawab dlohir-bathin dan dunia achirat yang boleh tumbuh daripada perintah Harian ini menjadi pikulan kami selaku Imam-Plm T.- APNII sepenuhnja”.
Perintah harian yang dikeluarkan atas nama Imam NII ini disebarkan kemana mana, dan berhasil meruntuhkan daya perjuangan pasukan TII yang masih ada di dalam hutan, karena tertipu oleh bunyi perintah itu –yang seakan akan pertanggung jawaban itu resmi dari Imam.
Karena kondisi kesehatan Kartosoewirjo kurang baik sewaktu tertawan, maka dia mendapat perawatan dokter. Menurut diagnose dokter, ada beberapa penyakit yang dideritanya, diantaranya adalah, dia menderita penyakit gula (diabetes), pembengkakan hati, denyutan jantungnya kurang teratur dan juga menderita kekurangan gizi.
Setelah kesehatan Kartosoewirjo pulih kembali, mulailah diadakan penyelidikan-penyelidikan dan pemeriksaan untuk dapat mengadili perkara tersangka S.M. Kartosoewirjo. Tes analisa dilakukan ketika S.M. Kartosoewirjo berumur 57 tahun, di kamar tahanannya setelah tertangkap pada tanggal 4 Juni 1962. Hasil evaluasi didasarkan pada penilaian grafologis dari tulisan tangan berupa buku harian dari tahun 1960. Di samping itu, juga melalui observasi dan analisa pembicaraan sewaktu diadakan introgasi oleh AS-1 KASKODAM VI/Slw, 27 Juni 1962. Dan observasi sewaktu diadakan interview oleh PA ROKDAM V1/Siliwangi 18 Juli 1962.
Kecerdasan SM. Kartosoewirjo, berdasarkan hasil evaluasi psychologi adalah bertarap tinggi. Mutunya tidak bertitik berat pada kemampuan akademis semata-mata, melainkan juga pada penggunaan fungsi-fungsi intelektual yang ada padanya. Mengingat pada umurnya yang sudah agak lanjut, fungsi intelektual ini masih tampak baik. Bahkan daya ingat, yang pada tarap umur ini biasanya sudah mulai berkurang, hanya memperlihatkan kemunduran sedikit. Di dalam struktur kecerdasannya terdapat keseimbangan antara kemampuan yang bersifat teoritis dan yang praktis.
Faktor kedua yang menarik perhatian di dalam struktur intelegensinya ialah, bahwa kemampuan intuisi (intuitievermogen) juga besar. Terutama dibidang inter human relation. Jadi dalam menghadapi manusia lain sebagai individu maupun sebagai suatu kelompok yang ia secara intuitif dapat mengambil langkah-langkah yang paling sesuai dijalankan untuk dapat mencapai maksudnya. Faktor ini dapat memperkuat kedudukannya sebagai pimpinan. Intuisi yang kuat ini juga menyebabkan, interest terhadap mistik dan metaphysik ada. Akan tetapi di lain pihak, rationalitasnya demikian besar sehingga daya kritik yang obyektif tetap terpelihara.
Segi lain dari pada struktur intelegensianya yang pantas disebut adalah jalan fikirannya yang sangat kausal. Kausalitasnya bertitik tolak pada prinsip-prinsipnya, sehingga pembahasan segala persoalan dilakukannya menurut garis-garis tertentu yang tidak dapat dirobah lagi. Dengan demikian, suatu poblem tertentu, bagi dia, mempunyai suatu cara pemecahan yang tertentu pula. Tindakan-tindakannya yang konsekuen dapat dipandang dari sudut ini. Fantasinya adalah konkrit dan disesuaikan dengan keadaan realita. Itu sebabnya ia dapat menunjukkan akal dan siasat yang tepat untuk mengatasi problema-problema yang nyata. Ia adalah seorang intelektual yang sangat produktif.
Sebagaimana manusia umumnya, SM. Kartosoewirjo juga memiliki emosi. Tetapi karena kuatnya kontrol rasional terhadap pergolakan emosinya, menyebabkan ia tidak mudah terangsang oleh kejadian-kejadian sekitarnya. Secara fisik ia dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan di mana ia berada. Berkat intelegensianya yang penuh dengan perhitungan dan pertimbangan yang konkrit, maka ia mampu menghadapi dan menerima situasi aktual secara obyektif, tanpa mengalami perasaan-perasaan depressif.
Menurut hasil tes psikologis yang dilakukan oleh Kapten Drs. Suyono HW, melanjutkan analisisnya, bahwa struktur pribadi S.M. Kartosoewirjo menggambarkan adanya dorongan-dorongan jasmaniah yang benar, dorongan mana berada di bawah dominasi intelektual secara keras. Terdapat keseimbangan yang sangat luar biasa dalam kepribadiannya antara id dan superego. Oleh karena itu, bisalah kita pahami bagaimana higenisnya cara hidup dan cara mengatur lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial-budaya dan politik. Energi vital yang berakar kuat dari dalam jiwa seorang ulama besar yang penuh kesabaran di tengah penderitaan diri dan pengkhianatan yang dilakukan oleh beberapa orang pelanjutnya meperlihatkan suatu dorongan manusiawi yang menyebabkan dia tidak dapat tinggal diam, melainkan memerlukan penyaluran melalui kegiatan-kegiatan yang produktif. Arus dari penyaluran energi ini adalah keras dan terpusat. Hal ini dapat dilihat dari usaha-usaha yang dijalankan dengan intensif, agresif dan terfokus pada inti persoalan.
Pragnosa mengenai sikapnya dapat pula dievaluasi. Pada waktu itu SM. Kartosoewirjo telah dapat mengatasi proses penyesuaian dari secara rasional dengan situasinya yang baru sebagai tahanan. Berkat intuisi dan daya analisanya yang tajam, maka ia makin hari makin tambah kewaspadaan. Ia sudah dan akan dapat membuat estimate (perkiraan) yang tepat mengenai maksud dan tujuan sebenarnya dari orang-orang yang datang untuk mengadakan introgasi, interview, wawancara dan sebagainya. Sehingga akan dapat menyesuaikan sikapnya sedemikian rupa, yang praktis menguntungkan bagi dirinya.
Hasil evaluasi psychologi seperti yang sudah dikutip di atas terhadap pribadi S.M. Kartosoewirjo menunjukkan, bahwa motivasi dan kesadaran spiritual yang menjadi dasar perjuangan suci Darul Islam, berpengaruh nyata terhadap kehidupan individu muslim. Memang kesadaran demikian akan bereaksi dalam jiwa seseorang yang menghendaki agar setiap individu memiliki intuisi yang peka, yang dengan itu dapat membedakan “yang ini benar dan yang itu salah”. Serta dapat merasakan antara yang indah dan yang buruk. Bukankah Islam mengajarkan cara paling utama untuk menghubungkan hati seorang muslim dengan khaliqnya, yaitu dengan mujahadah, mendidik intuisi yang peka dan perasaan halus. Pemikiran Islam dapat meningkatkan dan mendorong kepada penemuan baru yang dapat mempengaruhi alam dan mengetahui rahasianya. Karena itu manusia muslim diwajibkan agar senantiasa menjaga ibadah dan mengikuti perintah Allah guna meningkatnya intuisi, mempelajari apa-apa yang dapat memperluas wawasan pengetahuan, agar pengamatannya semakin luas, tajam serta menjangkau ke depan.
Menurut pengadilan MAHADPER dalam sidang ke 3 pada tanggal 16 Agustus 1962 telah terbukti, bahwa segala daya usaha yang telah dilakukan selama kurang lebih 13 tahun oleh Kartosoewirjo dengan mendirikan dan memperjuangkan Negara Islam Indonesia (DI/TII) itu adalah rencana makar yang bertujuan akan menggulingkan pemerintahan RI yang syah. Dan pengadilan menyatakan, bahwa perjuangan suci Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah sebuah "pemberontakan". Disamping itu, bahwa dia telah memerintahkan kepada anak buahnya untuk mengadakan aksi pembunuhan terhadap diri Presiden Soekarno. Oleh karena itu ketua sidang mengumumkan keputusan Mahkamah, yaitu hukuman mati atas terdakwa Kartosoewirjo..
Tuduhan-tuduhan fitnah ini semua tidak diakui oleh Kartosoewirjo. Dengan segala ketegarannya, meskipun fisiknya dalam keadaan lemah dan kurus, ia tetap konsisten mempertahankan idealismenya, sebuah cita-cita mewujudkan Daulah Islamiyah di Indonesia adalah perintah Ilahy yang harus diadakan dan diperjuangkan oleh umat Islam. Selanjutnya Kartosoewirjo menyusun surat wasiat yang terdiri dari empat bagian. Dalam bagian pertama (wasiat A) Kartosoewirjo menerangkan kepada anggota-anggota keluarganya tentang jalannya persidangan dan dia meminta agar supaya seluruh anggauta keluarga untuk tetap bersabar dalam menerima Kadar Allah yang pahit itu. Kepada isterinya Siti Dewi Kalsum dia berpesan untuk selalu terus menerus membimbing anak-anaknya menjadi putra-putri Islam yang sejati. Dalam bagian kedua (Wasiat B) Kartosoewirjo mengucapkan selamat berpisah kepada eks-Mujahidin dan bawahannya. Mereka perlu mengetahui, demikian Kartosoewirjo, bahwa dia hingga saat-saat terakhir bertindak dan berbuat selaku Imam Panglima Tertinggi APNII. Dan dia tidak ragu-ragu, bahwa apa yang dia lakukan bersumberkan perintah-perintah Allah dan Sunnah Rasulullah s.a.w, dan siap menjadi saksi kelak di achirat. Dalam wasiat itu juga dituliskan, bahwa dia haqqul yaqin suatu waktu cita-cita Islam yang telah diperjuangkannya akan terlaksana di bumi Indonesia, walaupun lawannya tetap menentang. Dalam kedua bagian terakhir wasiatnya (Wasiat C) Kartosoewirjo mohon kepada instansi yang berwenang, supaya barang-barang milik pribadi diberikan kepada keluarganya. Dia juga menyatakan keinginannya, (Wasiat D) bahwa jika nanti dia mati, supaya dia dikuburkan di tanah miliknya sendiri, yaitu di Suffah yang terletak di desa Cisitu, kecamatan Malangbong. Kepada pemerintah RI dia mengajukan permintaan, supaya wasiat-wasiatnya disiarkan lewat pers dan radio. Namun tidak ada satupun dari wasiat yang ditujukan kepada pemerintah RI yang dilaksanakan. Pemerintah RI memang merupakan pemerintah yang sejak dari dulu tidak pernah amanah.
Kartosoewirjo adalah seorang ulama besar yang berjuang tidak hanya berdasarkan ilmu agama, melainkan juga praktek kehidupan nabawi yang sangat konsisten. Ia ketika ditawarkan untuk mendapatkan "pengampunan" (amnesti) kepada Presiden Soekarno, dengan tegas dan tenang ia mengatakan: "Saya tidak akan pernah meminta ma'af kepada manusia Soekarno. Secepatnya laksanakan hukuman yang sudah Bapak Hakim Terhormat putuskan." Maka segenap manusia yang berada dalam ruang sidang itu terkejut dan tidak sanggup menjangkau mengapa ia lebih mencari "mati" ketimbang "hidup dengan pengampunan Presiden". MAHADPER ini dibentuk dan dibubarkan hanya untuk memberikan hukuman bagi Kartosoewirjo, tidak lebih dari itu.
Menarik untuk disimak sebuah kejadian di akhir-akhir persidangan dimana MAHADPER memutuskan eksekusi mati terhadap diri Kartosoewirjo, adalah upaya dari pihak keluarga Kartosoewirjo dalam hal ini diwakili oleh anak-anaknya, meminta kepada pihak pengadilan untuk menyaksikan eksekusi. Namun dari pihak MAHADPER setelah berkonsultasi dengan Presiden Soekarno tidak mengabulkan permintaan tersebut. Panglima Kodam Jaya Umar Wirahadikusuma telah memerintahkan untuk melaksanakan keputusan MAHADPER dan menyusun regu tembak yang terdiri dari keempat angkatan.
Pada tanggal 4 September 1962 Kartosoewirjo minta diri dari keluarganya dan keesokan hari di pagi buta, Kartosoewirjo bersama-sama dengan regu penembak dibawa dengan sebuah kapal pendarat kepunyaan Angkatan Laut dari pelabuhan Tanjung Priok ke sebuah pulau di teluk Jakarta. Pada pukul 5.50 WIB, hukuman mati dilaksanakan dan beliau menemui syahidnya dihadapan regu tembak disaksikan 7 orang Jenderal RI. Seorang Ulama, Mujahid dan Intelektual yang konsisten telah menyirami bumi ini dengan tetesan darahnya. Dia syahid untuk menyongsong kehidupan abadi di surga Firdaus, dengan sebelumnya telah meninggalkan 12 mujahid dan mujahidah penerusnya yang dalam hal ini adalah anak-anaknya, seperti:
1. Tati lahir pada tahun 1934 (telah meninggal).
2. Sri Rahajoe lahir pada tahun 1935 (telah meninggal).
3. Moehammad Darda (Dodo) lahir tahun 1936 (masih hidup).
4. Rachmat lahir tahun 1939 (telah meninggal).
5. Saleh lahir tahun 1940-an (telah meninggal).
6. Moehammad Tachmid lahir tahun 1942 (masih hidup).
7. Abdoellah lahir tahun 1943/44 (telah meninggal).
8. Semaoen Sjuhada lahir tahun 1945 (telah meninggal).
9. Danti lahir tahun 1947 (masih hidup).
10. Kartika lahir tahun 1950 (masih hidup).
11. Koemala Sari lahir tahun 1952 (masih hidup).
12. Sardjana lahir tahun 1956/57 (masih hidup).
Tiga anak Kartosoewirjo yang terakhir lahir dan besar di hutan dan suatu kondisi perang gerilya yang serba payah. Keluarga ini, mengutip istilah Pramoedya Ananta Toer, adalah "keluarga gerilya", sebenar-benarnya gerilya bahkan hingga zaman sekarang.
3 comments:
Simak diskusi antara Hizbut Tahrir dan mantan Hizbut Tahrir, tentang Hizbut Tahrir dan da'wah khilafahnya di :
http://mantanht.wordpress.com
Semoga menambah wawasan kita bersama.
masih aktif ga nih blog. coba dilihat http://abuqital1.wordpress.com menurut antum siapa itu? balas ke email saya
Sesdika Sansani juga NII
Post a Comment