Bab Sembilan
Syahidnya Seorang Ulama Besar/Negarawan Sejati dan Estafeta Kepemimpinan
Tentang kisah wafatnya S.M. Kartosoewirjo, ternyata Sukarno dan A.H. Nasution cukup menyadari bahwa S.M. Kartosoewirjo adalah tokoh besar yang bahkan jika wafat pun akan terus dirindukan umat, maka mereka dengan segala konspirasinya, didukung oleh Umar Wirahadikusuma, berusaha menyembunyikan rencana jahat mereka ketika mengeksekusi Imam Negara Islam ini. Ketika pihak keluarga Kartosoewirjo mengajukan permintaan kepada pemerintah untuk mengambil jenazah orangtuanya yang seterusnya akan dikebumikan di Tasikmalaya, sebagaimana wasiat yang ditulis sebelum meninggalnya. Namun lagi-lagi permintaan ini ditolak oleh A.H. Nasution yang disaat itu menjadi Menhankam setelah berkonsultasi dengan Soekarno. Kalau jenazahnya tidak dikembalikan ke keluarganya, maka pihak keluarganya juga meminta agar bisa melihat di mana kuburan atau pusaranya. Namun, anehnya, permintaan ini pun tidak diberikan oleh Soekarno. Kartosoewirjo benar-benar berpisah dengan keluarganya dan juga dengan umat Islam Indonesia. Pemisahan ini memang disengaja oleh Soekarno yang ketakutan terhadap kekuatan spiritual yang bisa dimunculkan oleh tokoh S.M. Kartosoewirjo ini di masa depan.
Sekalipun jasad beliau telah tiada dan tidak diketahui di mana pusaranya berada karena alasan-alasan tertentu dari pemerintahan Soekarno, tapi jiwa dan perjuangannya akan tetap hidup. Itulah makna dari firman Allah:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu mati); bahkan sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”. (QS. 2:154).
Terbukti ketika seminggu sebelum eksekusi dilaksanakan terhadap Imam Negara Islam Indonesia Kartosoewirjo, melalui dialog antara Kartosoewirjo dengan seorang Mujahid Darul Islam, yang waktu itu sama-sama menjadi tawanan Pemerintah RI antara lain sebagai berikut ini:
Z.H. : “Kalau saya mau tanya Imam, bagaimana ya, bisa atau tidak?”
K. : “Hayo tanya apa !
Z.H. : “Ini, seandainya Imam berhalangan, untuk selanjutnya itu bagaimana kira-kira?”
K. : “Itu bagus sekali kalau begitu. Ya, lanjutkan !
Z.H. : “ Ya, kalau lanjutkan itukan mesti saya konsolidasi dulu nanti”.
K. : “Tidak begitu ! Disini !
Z.H. : “Kalau di sini bagaimana ini ya?”
K. : “Begini, di sana sahabat kita ada beberapa orang?
Z.H. : “Ada banyak, ada Pak Kiayi Maksum, Haji Sobari”.
K. : “ Nah, sekarang begini, kalau memang ada Pak Kiayi Sobari, ya, tolonglah bantu dengar dengan Pak Kiayi Maksum supaya saya ini mengamanatkan kepada beliau sampaikanlah kepada Pak Kiayi Haji Sobari, lanjutkan dan bentuklah di sini secara sederhana bentuk organisasi sementara. Nah, kemudian pimpinlah sementara !”.
Z.H. : “ Ini, bagaimana Imam kalau Pak Kiayi haji Sobari itu bertahan tidak mau terima, sebab ini urusannya berat?”.
K. : “Sementara ini ! Ini harus terima, karena ini kan tidak permanen. Di situ ada struktur organisasi negara yang perlu menangani nanti kalau sudah ketemu dengan dia, serahkanlah pada dia. Dia yang harus mampu mengembalikan. Jadi, lanjutkan perjuangan ini. Ikutilah kondisi dan situasi !”.
Z.H. : “Bagaimana kalau nanti saya dapat keluar kemudian saya mau mengunjungi putra bapak Den Dodo atau yang lain-lainnya?’.
K. : “Nanti dulu, ya, sekalipun Dodo itu anak saya atau yang lain anak saya, itukan harus “wudhu” lagi !”.
Imam mengatakan harus wudhu lagi, karena beberapa hari sebelum dialog itu, telah datang seorang Letnan Kolonel yang pada dadanya dicabut namanya, membawa map. Pertama ia hormat kepada Imam. Ia hormat juga kepada pemeriksa. Ia menyodorkan isi daripada pernyataan dari yang 32 orang. Ia memperlihatkan juga kepada Imam . Imam tidak kelihatan panik. Bahkan beliau ditanya, “Bagaimana Pak Imam mengenai pernyataan ini?”. Imam dengan tenang, jawab beliau, “Keseluruhannya orang itu sudah mengundurkan diri dan sudah dianggap batal. Jadi, itu bukannya hanya menyerah, tapi menyeberang !”. Dari dialog tersebut diambil kesimpulan bahwa dalam keadaan sedarurat apapun perjuangan harus terus dilanjutkan. Pemimpin perjuangan harus tetap ada, seperti diwashiyatkannya di tahun 1959, bahwa prajurit petit pun dalam keadaan terputus hubungan dengan para perwira harus sanggup tampil mengemban tugas sebagaimana Imam. Apabila keadaan telah berangsur pulih dan hubungan dengan para panglima yang lain bisa dilakukan kembali, maka struktur kepemimpinan negara harus kembali kepada seperti apa yang dinyatakan dalam perundang undangan.
Keteguhan Kartosoewirjo seperti dinyatakan di atas menjadi bukti bahwa dia berjuang di atas keyakinannya yang utuh. Syahidnya Kartosoewirjo tidak menghancur kan nilai negara yang telah didirikannya. Ia tidak menyerah, lebih baik pergi menyongsong syahid, dari pada harus menyerah seperti bawahannya. Ia rela menyaksikan nyawanya lepas dari badan, daripada proklamasi Negara Islam Indonesia dicabut kembali.
Kartosoewirjo tetap konsisten seperti diwashiyatkannya pada tahun 1959, kalaupun warga negara Islam berjuang, baik angkatan perang maupun sipilnya, terputus hubungan dengan pimpinan, maka perjuangan harus terus dilanjutkan. Prajurit petit pun harus sanggup tampil sebagaimana Imam, dalam keadaan hilang syarat berjuang pun, selama kebathilan masih ada, selama itu pula perjuangan harus terus dilanjutkan –kalaupun hanya tinggal punya satu gigi, gunakan gigi yang satu itu untuk menggigit ! Permasalahnnya sekarang, siapakah yang melanjutkan perjuangan ini setelah Kartosoewirjo menemui syahidnya?
Banyak kalangan berpendapat bahwa dari tahun 1962 hingga tahun 1965 tampuk kepemimpinan NII dipegang oleh Kahar Muzakar. Dilanjutkan oleh Agus Abdullah hingga tahun 1970. Setelah Agus Abdullah wafat, kepemimpinan dipegang oleh Tengku Daud beureueh dari tahun 1973 hingga 1978. Dan dari tahun 1978 – 1981 dipegang oleh Adah Djaelani Tirtapradja. Dibalik kepemimpinan Adah Djaelani Tirtapradja itu ada juga yang dipimpin oleh Djadja Sudjadi dari Malangbong – Garut.
Adanya pandangan sedemikian di atas itu disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yaitu:
a) Tidak memakai peraturan estapeta kepemimpinan NII yang berdasarkan perundang-undangan NII sehingga mengangkat pemimpin hanya berdasarkan figuritas atau idolanya masing-masing.
b) Sebagian besar dari para mujahid belum memahami nilai hukum mengenai yang sudah desersi dari NII atau menyerahkan diri kepada musuh sehingga dianggap masih bisa diangkat sebagai pemimpin NII.
Padahal mengenai estapeta (kelanjutan) kepemimpinan NII Dalam Darurat Perang itu sudah ada undang-undangnya. Hal demikian tercantum dalam MKT (Maklumat komandemen Tertinggi) No.11 tahun 1959 . Dengan tegas bahwa dalam Negara Islam Indonesia yang berhak memegang estapeta Imam NII itu ialah yang terdiri dari A.K.T. atau yang jabatannya setaraf dengan A.K.T. seperti halnya K.S.U. dan K.U.K.T.(Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi).
Ditinjau dari sudut sejarah bahwa sebelum Imam S.M. Kartosoewirjo tertangkap musuh tanggal 4 Juni 1962, beberapa tokoh tersebut di atas memiliki catatan sendiri sendiri diantaranya :
Kahar Muzakar sudah membatalkan NII dengan memproklamirkan R.P.I.I tanggal 14 Mei 1962, artinya sejak itu Kahar Muzakar bukan lagi sebagai pejabat NII.
Agus Abdullah masih bertahan sewaktu Imam tertangkap 4 Juni 1962, namun dua puluh hari kemudian Agus Abdullah itu menyerah kepada pemerintah R.I. Dengan itu bukan lagi sebagai A.K.T.
Daud Beureuh, dirinya sudah kembali kepada Pemerintah RI tanggal 9 Mei 1962 sebelum Imam tertangkap tanggal 4 Juni 1962. Jadi, sebelumnya juga sudah bukan lagi sebagai A.K.T.
Adah Djaelani Tirtapradja menyerah kepada musuh tanggal 28 Mei 1962, dengan itu dirinya sudah bukan A.K.T. lagi.
Djadja Sudjadi memang dirinya sampai Imam tertangkap 4 Juni 1962, tidak menyerah yakni tidak datang melaporkan diri kepada musuh, namun akhirnya ikut juga menandatangani “Ikrar Bersama” 1Agustus 1962 sehingga lenyap pula jabatan yang diembannya dalam NII.
Dengan gugurnya jabatan mereka dalam NII, maka secara hukum pengangkatan mereka bertentangan dengan undang-undang NII.
Sungguh penting mengetahui sejarah. Firman Allah: “…Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir” (Q.S.7:176). Dari ayat di atas itu diambil arti, bagi yang tidak mau mengetahui sejarah sama artinya dengan yang tidak mau berpikir secara obyektif sehingga tidak bisa mengambil pelajaran dari sejarah. Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang mensitir mengenai orang-orang yang meninggalkan tugas (Q.S.5:54, 33:13-15) dari medan perang. Tentu, hal itu supaya menjadi peringatan bagi generasi penerusnya sehingga jangan terulang kembali. Allah memerintahkan kita menceritakan sejarah (Q.S.7:176), berarti sejarah itu cepat atau lambat akhirnya akan
terungkap pula, walau tidak sedap dibacanya. Seperti halnya lembaran “Ikrar Bersama” 1 Agustus 1959 di bawah ini :
Untuk lebih jelasnya, berikut salinan dari ikrar bersama tersebut :
IKRAR BERSAMA
Bismillahirrachmanirrachim.
Allah Jang Maha pengasih dan Penjajang telah membukakan mata-hati nurani kami, memberi kesadaran dan keinsjafan kepada kami tentang kesesatan kami dan kemelaratan jang diakibatkan oleh perbuatan2 kami, maka kami bekas pimpinan apa jang dinamakan DI/TII/NII dengan ini menjatakan:
1. Bahwa gerakan kami dulu (DI/TII/NII dan segala sesuatu jang berhubungan kepadanja) adalah sesat, salah dan menjalahi Hukum2 Islam, Hukum2 Kenegaraan, norma2 kemanusiaan dan bertentangan dengan djalan jang seharusnja ditempuh untuk memperdjoangkan idiologie Islam menurut petundjuk2 Allah s.w.t. dalam Al-Qur’an dan Sabda Nabi Muhammad s.a.w.
2. Bahwa kami telah berbuat dosa terhadap Masjarakat Djawa-Barat chususnja dan masjarakat Indonesia umumnja atas gerakan2 kami pada masa jang lalu, atas dosa2 mana kami mengharapkan ampunan masjarakat dan kami sanggup menebus dosa tersebut dengan djalan mewudjudkan perbuatan jang berfaedah, demi kepentingan masjarakat dan Negara R.I.
3. Bahwa kami telah melepaskan diri lachir dan bathin dari ikatan apa jang dinamakan DI/TII dan NII seraja bertaubat memohon ampunan Allah s.w.t. menjesal sebesar-besarnja atas perbuatan2 kami dulu dan berdjandji untuk tidak mengulanginja.
4. Bahwa djalan jang ditempuh oleh Pemerintah R.I. dengan segala dasar/haluan politik dan pembangunannja adalah djalan jang benar dan diridloi Allah s.w.t. dan oleh karenanja dalam pengabdian kepada Agama dan Negara, kami bersumpah:
Demi Allah:
Setia kepada Pemerintah R.I. dan tunduk kepada Undang2 Dasar R.I. 1945.
Setia kepada Manifesto Politik R.I., Usdek, Djarek jang telah mendjadi garis besar haluan Politik Negara R.I.
Sanggup menjerahkan tenaga dan fikiran kami guna membantu Pemerintah R.I. cq. Alat2 Negara R.I.
Selalu berusaha mendjadi Warga Negara R.I. jang ta’at, baik dan berguna dengan didjiwai Pantja sila.
5. Bahwa kami mempertjajakan serta akan menerima dan menta’ati seluruh tjara penjelesaian nasib kami, jang meliputi lapangan hukum, politik dan sosial, kepada kebidjaksanaan Pemerintah Republik Indonesia.
6. Kami jakin bahwa Mudjahidin lainnja akan mengikuti djedjak kami.
Semoga pernjataan kami ini diberkahi Allah s.w.t.
Amien Jaa Robbal A’lamien.-
Bandung, tgl. 1 Agustus 1962.-
Kami jang mengeluarkan Ikrar.-
Agus Abdullah Sukunsari.
Djadja Sudjadi Widjaja.
Adah Djaelani Tirtapradja.
Hadji Zaenal Abidin.
Ateng Djaelani Setiawan.
Danu Mohamad Hassan.
Mohamad Godjin.
Toha Machfud.
Dodo Mohamad Darda.
Tachmid.
Cholil.
Hassan Anwar.
Atjeng Abdullah Mudjahid.
Maskun Sudarmi.
Atjeng Hadjar.
Rahmat Slamet.
Ules Sudja’i.
Engkar Rusbandi.
Hadji Jusuf Kamal.
Usman.
Sjarif Muslim.
Hadji Zakaria.
Bakar Misbah.
Emod Hasan Saputra.
Achmad Mustofa Hidajat.
Sobir.
Mubaroq.
Zainudin Abd. Rahman.
Hadji Djunaedi.
Tohir.
Salam.
O.Z.Mansjur
Ada yang berdalih bahwa hal di atas itu karena dipaksa. Namun, bisanya dipaksa karena didahului dengan sebab datang lapor kepada musuh. Jadi, masalahnya itu ialah penyebabnya, dan bukan akibatnya .
Para mujahid NII, baik itu pada strata bawah maupun atas tidak semuanya memiliki nilai menyerah kepada musuh. Jadi, pada saat Imam S.M. Kartosoewirjo menjalani eksekusi di hadapan regu tembak, masih ada figur yang jabatannya setaraf dengan A.K.T. yaitu Abdul Fattah Wirananggapati sebagai K.U.K.T.(Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi). Beliau tidak menyerah kepada musuh, melainkan tertangkap di Jakarta tahun 1953 sekembalinya dari Aceh melaksanakan tugas dari Imam mengangkat Daud Beureuh sebagai Panglima Wilayah V TII (Tentara Islam Indonesia) Cik Di Tiro. Dan dikeluarkan dari penjara Nusakambangan tahun 1963. Kemudian setelah aktivitasnya tercium oleh Pemerintah RI maka tahun 1975 dipenjarakan lagi, dan keluar tahun 1982. Setelah beliau aktif memberikan penjelasan mengenai perundang- undangan NII serta mengkoordinasi para mujahid, maka pada tahun 1991 Abdul Fattah Wirananggapati itu tertangkap kembali, dan dibebaskan tanggal 2 Agustus 1996. Mengenai kelanjutan estapeta kepemimpinan NII sesudah Abdul Fattah Wirananggapati bukan pada tempatnya dikemukan dalam uraian ini.
Adanya kekeliruan pada masa yang telah lampau mengenai estapeta kepemimpinan NII adalah lumrah karena ketidakpahaman akibat proses memiliki keilmuan serta menerima pemahaman sedemikian adanya. Akan tetapi, jika sudah datang Bayyinah (penjelasan) mengenai perundang-undangan serta sejarah mengenai figur-figur yang jabatannya tertera dalam undang-undang itu, maka wajib mengikuti bayyinah sehingga tidak berselisih. Firman Allah:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang meendapat siksa yang berat.” (Q.S.3:105).
Kartosoewirjo memerintahkan dalam MKT No. 11 antara lain berbunyi:
"Ikutilah zaman, jang beredar setjepat kilat dan kedjarlah waktu, dan djanganlah biarkan waktoe mengejar-ngejar kita !. Goenakanlah tiap sa’at dan detik oentoek menoenaikan perang mentegakkan Kalimatillah, dalam bentoek dan sifat apa dan manapoen !. Ketahoeilah ! Sekali lampau, ia tidak beroelang kembali !. Songsonglah kedatangan kembali Imam Plm. T., dengan realisasi M.K.T. Nomor 11 ini !".
Kemudian ditambahkannya lagi:
"Toenjoekkanlah boekti patoeh-setiamoe kepada Allah ! kepada Rasoeloellah Çlm. ! Dan kepada Oelil-Amrimoe, Oelil Amir Islam, tegasnja: Imam-Plm. T. !. Itoelah jalan Jihad fi Sabilillah, satoe-satoenja Sirathal-Moestaqim !".
Begitu dalamnya ungkapan yang diucapkan oleh Kartosoewirjo, dan mengisyaratkan kepada kita bahwa totalitas kehidupan dalam mendarma baktikan diri kepada Allah sudah terpatri begitu kuat dalam jiwa Kartosoewirjo sehingga tidak ada kesempatan barang sedikitpun untuk dia bermain-main dengan kehidupan dunia."Hayatuna kulluha ibadatun" (Kehidupan kami seluruhnya hanya untuk satu pengabdian). Mungkin ungkapan ini, dapat menggambarkan tentang kepribadiannya secara menyeluruh.
Estafet kepemimpinan Negara Islam Indonesia tetap berlanjut dan eksis untuk beberapa waktu karena dipegang oleh orang-orang hanif dan konsekwen sebagai penerus perjuangannya, dan hal itu memang sudah digariskan oleh Kartosoewirjo dalam penjelasan lain di MKT No. 11 yang berisi:
"Pada ‘oemoemnja segala saloeran kenegaraan, dalam bidang-bidang Militer maoepoen dalam lapangan politik, joega selama masa perang ini, berjalan teroes melaloei systeem Komandemen, seperti jang tetap berlakoe hingga sa’at ini. Tetapi disa’at-sa’at genting-roencing, dimana Imam. Plm.T. mengeloearkan Komando ‘Oemoem, maka disa’at itoe kita hanja akan mengenai 2 (doea) tingkatan Pimpinan Perang, Pimpinan Negara dan Pimpinan Jama’ah Mujahidin, Pimpinan Oemmat berjoeang, Ja’ni:
Tingkatan Pimpinan Perang pertama selakoe pemberi Komando, ialah: 1. Imam-Plm.T., 2. Plm. Per. K.P.W.B., 3, Plm. Per. K.P.W., dan 4. Kmd. Pertempoeran Kompas;dan
Tingkatan Pimpinan Perang kedoea selakoe pelaksana Komando, terdiri daripada Kmd.2 Pertempoeran sejak Kmd. Pertempoeran Soeb-Sektor/Kmd. Lapangan/Kmd.2 Komandemen hingga sampai Kmd2. Baris, pelaksanaan mana akan melipoeti lapisan-lapisan ra’iat jelata seloeroehnja, tanpa kecoeali.
Sendi-dasar bagi tiap gerak-langkah kedepan, teroetama disa’at-sa’at jang menentoekan, seperti tergambarkan diatas, perloe diletakkan moelai sekarang oentoek menghindarkan tiap-tiap pengjimpangan, penjelewengan, persimpang-sioeran, atau pertentangan dalam saloeran, pimpinan dan pelaksanaan segala toegas-toegas moethlak, menoenaikan hoekoem-hoekoem Jihad, Hoekoem-hoekoem Perang sepanjang ajaran Islam.
Dengan cara, sifat dan bentoek, sepanjang isi dan jiwa M.K.T. Nomor 11 ini, maka Insja Allah terhindarlah Negara kita, Negara Islam Indonesia, istimewa dimasa Hoekoem Perang masih berkobar, daripada setiap jenis, sifat dan bentoek Doealisme, dalam bidang dan lapangan apa dan manapoen. Sehingga dilingkoengan Negara kita hanja dikenal satoe Pimpinan Negara, jang joega bertoegas memegang Pimpinan Perang dan Pimpinan Oemmat Berperang.
Dalam pada itoe, tiap-tiap Moejahid, teroetama Pemimpinannja, haroes percaja dan jakin dengan sepenoeh jiwanja, akan benarnja perintah-perintah Allah, perintah-perintah Nabi Çlm. Dan perintah-perintah Imam-Plm. T., jang terealisasi dalam Hoekoem-hoekoem Jihad dan Perintah-perintah Jihad beserta pelaksanaannja. Tegasnja tiap Moejahid, choesoes Pemimpin Moejahid, haroes percaja, dan jakin akan benarnja tiap-tiap tingkah-lakoenja, berwoejoedkan amal-amal pembinaan Negara Koernia Allah, Negara Islam Indonesia. Dikala Jama’atoel-Moedjahidin meroepakan satoe kesatoean Oemmat kompak, dlahir dan bathin, tidak tercerai berai dan tidak berpecah belah, maka baroelah setiap anggauta atau bagian Djama’ah tsb. berhak menerima dan menikmati kasih-sajang dan Koernia Allah.
Tapi apa yang terjadi sebaliknya dari hal di atas itu, pada tahun 1978 terjadi pembunuhan terhadap Djadja Sudjadi oleh Adah Djaelani cs . Saksi Toha Machfud dalam persidangan ‘membenarkan tahun 1978 ia mendapat perintah dari terdakwa untuk memimpin pelaksanaan pembunuhan. Namun ketika operasi berlangsung, saksi hanya menunjukkan rumah Djadja Sudjadi, sedangkan yang membunuhnya adalah Komandan Pasus, Syarif Hidayat .
Tanpa satu alasan yang syar'i dengan begitu mudahnya mereka menghilangkan nyawa seorang mu'min. Padahal membunuh manusia merupakan satu dosa besar setingkat dibawah dosa melakukan kemusyrikan. Allah berfirman:
"Dan barang siapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam." (Q.S. 4: 93).
Terjadinya pembunuhan terhadap Jaja ini awal mula dari kehancuran sendi-sendi moral para pejuang Darul Islam dan terpecah belahnya kesatuan jama'ah mujahidin. Selanjutnya, setelah terbunuhnya Jaja, Adah Jaelani dengan cara yang sangat kontroversial bekerja sama dengan Ali Moertopo, ketua CSIS (Center for Strategic and International Studies), L.B. Moerdany dan Soedjono Hoemardhani untuk menghidupkan kembali NII atau DI, yang rencananya pun telah disiapkan begitu matangnya, sampai orang yang mutaakhir tidak mengetahui tentang kejadian ini. Maka terhadap orang yang belum mengerti betul akan sejarah perjuangan Darul Islam yang sekarang, hendaklah mentabayyunkan dengan orang yang berpengetahuan jangan sampai tersesat dari jalan yang lurus. Karena Allah telah berfirman:
"Jika datang kepadamu orang-orang yang fasik dengan membawa berita, maka telitilah terlebih dahulu dengan seksama. Supaya kamu jangan sampai mencelakakan orang lain tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya, sehingga kamu nanti akan menyesal atas kecerobohanmu itu." (Q.S. 49: 6).
Begitupun program yang dilaksanakan Adah Jaelani hanyalah untuk memeras uang rakyat demi kekayaannya sendiri. Sungguh satu perbuatan yang tercela bila hal itu terjadi pada kehidupan seorang mu'min. Allah swt. Berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan yang bathil,......." (QS. 4: 29).
Ternyata, bagian dari kehidupan yang rendah telah menodai langkah perjuangan mereka, dibandingkan mengambil kehidupan yang hakiki di akhirat kelak. Dalam kondisi hidup perjuangan yang sedang mengalami pasang surut ini, Kartosoewirjo telah memberikan penjelasan yang sangat rinci tentang bagaimana cara mengorganisir Negara untuk bekal para pejuang Darul Islam. Di dalam sebuah penjelasan maklumatnya, ia menerangkan:
"Soedah agak lama kita beladjar hidoep berorganisasi, dan memang tiada manoesia, djiwa moedjahid, jang pandai berdiri sendiri, jang tidak tergantoeng, tidak terpengaroeh atau tidak memerloekan sesoeatoe diloear pribadinja. Moela pertama kita merasa hidoep seorang diri. Lambat-laoen perasaan itoe meningkat hingga mendjadi kesadaran dan keinsjafan selakoe anggauta sesoeatoe keloearga. Dan selandjoetnja meningkat lagi, hingga kita merasa dan menganggap diri kita, insjaf dan sadar sepenoehnja, sebagai warga masjarakat dan negara, warga oemmat dan bangsa. Dengan meningkatnja nilai perasaan dan anggapan, jang kemoedian terrealisir dalam kelakoean dan perboeatan, maka makin bertambah2 meningkat poela rasa tanggoeng djawab kita. Sebagai seorang diri, kita hanja bertanggoeng djawab atas diri kita. Sebagai warga sesoeatoe keloearga atau kelompok, tanggoeng djawab kita meningkat mendjadi tanggoeng djawab terhadap keloearga dan kelompok".
"Begitoelah selandjoetnja, sebagai warga sesoeatoe oemmmat, bangsa atau djama’ah, maka pertanggoeng djawab kita akan melipoeti seloeroeh oemmat, bangsa dan djama’ah itoe. Rasa tanggoeng-djawab jang makin meningkat itoe, tidak hanja akan menambah besarnja hak kita, melainkan djoega makin menambah besar dan beratnja kewadjiban antar-warga, antar-kelompok dan antar-oemmat."
"Sjahdan, dengan sandaran Ma’loemat K.T. jang mendjadi sendi-dasar hidoep dan perdjoeangan kita, hidoep dan berdjoeang hanja oentoek melaksanakan toegas Ilahy moethlak, merealisir dharma jang tertanam dalam djiwa setiap Moedjahid, maka seloeroeh Barisan Moedjahidin tanpa kecoeali, dimanapoen mereka berada dan bertoegas, terikat erat satoe sama lain demikian roepa, baik oleh Bai’at Negara, Bai’at Djabatan, Bai’at Setia maoepoen Bai’at selakoe Moedjahid, sehingga mereka itoe berwoedjoedkan satoe Djama’ah Besar, jang anggauta-anggautanja terdiri daripada tiap-tiap Moedjahid dan Moedjahidah, tegasnja: Djama’ah Besar Moedjahidin. Selakoe warga Djama’ah Besar Moedjahidin, maka tiap-tiap Moedjahid akan merasa makin bertambah-tambah besar dan mendalamnja rasa-setiakawannja, rasa-tanggoeng-djawabnja, rasa wadjibnja. dst. dst. dst., sampai-sampai achirnja melipoeti seloeroeh Oemmat dan Bangsa, Negara dan Agama. Hendaklah semangat, kesadaran dan keinsjafan seroepa itoe ditanam dalam-dalam dan dipoepoek baik-baik dalam djiwa setiap Moedjahid, dan kemoedian diperkembangkan dan diwoedjoedkan dalam bentoek amal dan djasa2, baik djasa terhadap Oemmat dan Bangsa maoepoen terhadap Negara dan Agama. Djika demikian halnja, maka cita-cita Baldatoen Thajibatoen wa Rabboe Ghafoer boekan impian atau khajalan belaka. Daja selamat-menjelamatkan, daja rahmat merahmati dst. dst. akan samboeng menjamboeng tidak koendjoeng-poetoes, sehingga melipoeti seloeroeh Oemmat dan bangsa, seloeroeh Negara dan Agama. Demikianlah “dharmaning ksatrija soeci” pentegak-Kalimatillah ! Harap direnoeng-resapkan sebaik-baik dan sedalam-dalamnja, hingga terwoedjoed dalam bentoek boekti-kenjataan jang sebenarnja."
Jika para pejuang belum insyaf terhadap kekeliruannya bahwa apa yang telah mereka lakukan sebelumnya hanyalah menguntungkan kaum kafir dan sangat melemahkan posisi keberadaan Negara Islam. Dan terlebih lagi mereka telah melupakan statemen Imam Negara Islam kartosoewirjo tentang hal tersebut di atas. Padahal kalau dibandingkan dengan Soekarno—yang menyandang gelar Paduka Yang Mulia—belumlah seberapa kemampuannya untuk menciptakan sebuah negara yang begitu kuat dan kokohnya, hanya karena dibelakang Kartosoewirjo para pejuang tidak siap untuk berjiwa militan maka mengalami kemunduran setelah meninggalnya Kartosoewirjo. Semoga dalam hal ini janji Allah untuk mendatangkan satu kaum yang lebih baik dan lebih siap melanjutkan misi-Nya segera hadir dengan segala kebenarannya sebagaimana yang tertera dalam Al-Quran, Surah Al Maidah, ayat 54.
"Siapa saja diantara kalanganmu yang murtad dari din-Nya , maka Allah akan mendatangkan satu kaum yang Allah cinta kepada mereka, begitupun mereka cinta kepada-Nya,..."
Padahal kalaulah mereka para pejuang mujahidin mau mengerti tentang situasi dan kondisi umat hari ini, yang mereka semua merindukan kehadiran " Juru Penyelamat" untuk melepaskan dan mengeluarkan mereka dari kondisi keterjajahannya dari penguasa dzalim di bumi Indonesia. Maka tentulah mereka semua umat Islam siap dibelakang para pejuang untuk membela jihad suci baik berupa harta bendanya atau jiwanya sekalipun.Tetapi sangat disayangkan, risalatul haq kepada mereka untuk saat ini belum sampai, mungkin juga disebabkan para pejuang mujahid Darul Islam belum memberikan kontribusi apa-apa demi kemajuan Islam pada umumnya. Belumlah tampil untuk waktu sekarang sosok pejuang sejati pengganti para mujahidin terdahulu sebelum mereka.
Imam Assyahid Kartosoewirjo telah meletakkan dasar-dasar manhaj harakah Darul Islam dari segi akhlakul karimah, bagaimana seharusnya Negara Islam Indonesia yang telah diproklamasikannya dibawa oleh para penerusnya.
1. Membina rasa cinta, tha'at, setia dan patuh.
Tha’at-patuh tanpa rasa-cinta setia, akan merasakan kaku-tegang dan kurus-kering-tandus, laksana suara irama. Bahkan kadang-kadang terasakan sebagai sesuatu yang keras dan kejam, kasar dan bengis. Demikian pula benar dan adil, tanpa qisthi dan palamarta. Maka untuk memperoleh hasil amal jang sempurna, jasa-jasa jang besar manfa’at dan maslahat untuk umum, untuk Ummat, Negara dan Agama, maka kuncinja terletak dalam jiwa, atau lebih tegasnja: jiwa Mujahid yang harmonis, selaras dengan tugasnja.
Mujahid yang memiliki keselarasan jiwa ini akan menunaikan segala tugas wajibnja dengan sepenuh-jiwanja, dengan tekun, dengan khusu’ dan khudlu tanpa menghiraukan atau terpengaruh oleh sesuatu diluarnya. Dan keselarasan jiwa itu hendaknya bersifat vertikal (1) mulai tingkatan pemimpin teratasi hingga bawahan yang terendah, dan sebaliknya, dan bersifat pula horizontal (2), merata-mendatar, hingga sampai meliputi Jama’atul-Mujahidin sebagai kesatuan dan keseluruhan.
Maka pokok-pangkal daripada keselarasan jiwa itu terletak pada rasa-cinta, ialah rasa-suci-murni. Yang bersemajam dalam lubuk kalbu setiap Mujahid sejati.
Bagi membina jiwa baru, atau menanam jiwa jihad, jiwa yang sanggup dan mampu menyelaraskan diri dengan hukum-hukum Jahad, jiwa yang berani bertindak menyalurkan tingkat-laku dan amal-perbuatannya dengan Hukum-hukum Jihad, maka landasan pembinaan jiwa kesatria suci semacam ini a.l.l. adalah sbb:
Rasa-cinta setia kepada Allah (Mahabbah) dalam ma’na dan wujudnya:
= sanggup dan mampu melaksanakan tiap-tiap perintah-Nya dan menjauhi tiap- tiap larangan-Nya, tanpa kecuali dan tanpa tawar-menawar;
= mendahulukan dan mengutamakan pelaksanaan perintah-perintah Allah, daripada sesuatu diluarnya; dan
= mendasarkan tiap-tiap laku lampah dan amalnya atas Wahdanijat Allah, tegasnya: atas Tauhid sejati, dan tidak atas alasan, pertimbangan dan dalil apapun, melainkan hanya berdasarkan Khulishan-mukhlisan semata, atau dengan kata-kata lain: “Allah-minded 100%.
Rasa-cinta-setia kepada Rasulullah Çlm., dalam ma’na dan wujud:
= sanggup dan mampu merealisir ajaran dan Sunnah Çlm., dengan kepercajaan dan kejakinan sepenuhnya, bahwa tiada contoh dan tauladan lebih utama daripada ajaran dan Sunnahnya: khusus dalam rangka jihad, tegasnya rangka usaha membina Negara Madinah Indonesia; dan
= pantang melakukan sesuatu diluar ajaran dan hukum Islam, sepanjang Sunnah, hingga mencapai taraf “Islam-minded 100%”.
Rasa-cinta setia kepada Ulil-Amri Islam, atau Imam N.I.I., atau Plm. T. A.P.N.I.I., yang didalamnya termasuk (1) rasa-cinta-setia kepada pemerintah Negara Islam Indonesia, dan tidak kepada sesuatu Pemerintah diluarnya; (2) rasa cinta-setia kepada Negara Islam Indonesia, dan tidak kepada sesuatu Negara diluarnya; (3) rasa-cinta-setia kepada Undang-Undang (Qanun-Asasy) N.I.I., dan tidak kepada Undang-undang negara manapun; dst. dst. dst., yang semuanya itu tercakup dalam istilah “Negara Islam Indonesia-minded 100%”.
Catatan.
Kita hanya mengenal satu Ulil Amri Islam, satu Imam-Plm. T. A.P.N.I.I., tidak lebih, dan tidak kurang.
Tiap-tiap kepercayaan, keyakinan, anggapan dan perlakuan, yang menyimpang atau bertentangan dengan dia, adalah sesat dan menyesatkan, salah, keliru dan durhaka.
Rasa-cinta-setia kepada tanah-air, ummat dan masyarakat, sampai-sampai kepada diri – pribadi, dengan catatan dan perhatian:
= bahwa kecintaan dan kesetiaan kita dalam hubungan ini tidak sekali-kali boleh melanggar atau menyimpang, melebihi atau mengurangi barang apa yang termaktub pada huruf-huruf A., B. dan C. diatas; melainkan semuanya tetap berlaku dalam batas-batas rangka jihad dan usaha jihad, dan tidak sesuatu diluarnya.
Dan rasa-cinta-setia kepada tugasnya, tugas dan wajibnya melaksanakan Jihad-berperang pada Jalan Allah, karena Allah, untuk mentegakkan Kalimatillah, langsung menuju Mardlatillah, lebih dan dilebihkan daripada setiap kecintaan diluarnya, dalam makna dan wujud:
= percaya dan yakin dengan sepenuh jiwanya, bahwa Jihad adalah satu-satunya dharma-bakti muthlak dan maha-suci ‘indallah wa ‘indannas, yang boleh membawa pelakunya naik meninggi sampai kepada harkat-derajat yang termulia, dibawah para Anbiya-Allah dan para Rasulullah;
= karena Jihad berhukumkan Fardlu’ain dan Fardlu kifayah (bersama-sama), maka pada tiap-tiap sa’at Allah berkenan mengidzinkannya, wajib jihad itu diletakkan atas pundak tiap-tiap Mujahid dan atas pundak seluruh Jama’ah Mujahidin, atau dengan kata-kata lain; atas seluruh ummat, tanpa kecuali.
= percaya dan yakin sepenuhnya, bahwa Jihad fi sabilillah adalah satu-satunya cara, laku, usaha dan ‘amal memperjuangkan Keluhuran Agama Islam, Kedaulatan Negara Islam Indonesia beserta Hukum-hukum Syari’at Islam yang menjadi sendi-dasarnya, dan Kebahagiaan Ummat dan Bangsa, yang berharap ingin mengucap-menikmati Kurnia Allah yang Maha-Besar, dalam Kerajaan Allah didunia dan diakhirat, atau sekurang-kurangnya dalam lingkungan Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur di Indonesia atau Negara Islam Indonesia, ialah ujung kesudahan cita-cita Ummatul-Mujahidin, Ummat pilihan dan kekasih-Allah di Indonesia; dan
= sanggup serta mampu menyalurkan tiap-tiap gerak-langkah dan tingkah-lakunya, dlahir maupun bathin, sepanjang Hukum-hukum Jihad; Hukum-hukum Islam dimasa Perang, sehingga menjadi Mujahid tulen dan Mujahid sejati genap-lengkap dlahir-bathin, tegasnya Mujahid yang “Jihad minded 100%, kejakinan mana akan mendorong Mujahid-pelakunya:
Untuk menumpahkan dan mengorbankan segenap tenaga dan hartanya hanya pada Jalan yang ditaburi rahmat dan ridla Ilahy;
- Untuk menggunakan tiap detik sepanyang umurnya hanya bagi jihad mentegakkan Kalimatillah;
Untuk mempertaruhkan jiwa, raga dan nyawanya hanya untuk persembahan dharma-bakti muthlak kepada Dzat ‘Azza wa Jalla semata; tegasnya hanya untuk mentegakkan Kalimatillah, mendhahirkan Kerajaan Allah didunia, khusus dipermukaan bumi Allah Indonesia. Dan tiada sesuatu diluarnya.
2. Menggalang Benteng Islam Nan Kuat Sentausa.
Jika Jama’atul-Mujahidin sungguh-sungguh sanggup, mampu dan kuasa mewujudkan ajaran-ajaran Kitabullah, Al-Qur-anul-‘adzim, dan mengikuti Sunnah Çlm., dengan tepat dan seksama, setingkat demi setingkat, selangkah demi selangkah, sepanjang rangka Jihad dan Hukum Jihad, Insja Allah dalam waktu yang singkat gelombang Jama’ah tsb. akan merupakan satu Benteng Islam raksasa yang maha-kuat dan maha-sen tausa, dlahir maupun bathin, yang sanggup dan mampu menghadapi serta mengatasi segala kemungkinan dan keadaan betapapun sifat dan bentuknya. Beberapa fakta utama, yang akan dapat dijadikan landasan-landasan dan pembinaan ini antara lain ialah:
Memupuk dan memperkembangkan rasa-tanggung-jawab dlahir-bathin yang makin bertambah-tambah besar, dalam ma’na:
= Bertanggung-jawab sepenuhnya akan berlakunya Hukum-hukum Allah, Hukum-hukum sepanjang ajaran Al-Qur-an, dan Sunnah Çlm., tegasnya: Hukum-hukum Sjari’at Islam, atau Undang-undang Islam, atau Undang-undang Negara Islam Indonesia; dan
= Bertanggung jawab sepenuhnya akan berlakunya dan dilaksanakannya dengan tepat Hukum-hukum Islam dimasa Perang.
Memupuk dan memperkembangkan rasa-setiakawan yang makin bertambah-tambah mendalam, terutama, dalam lingkungan Jama’atul-Mujahidin, sepanjang ajaran Islam, sebagaimana yang telah terlaksana dalam pergaulan antara kaum Anshar dan Muhajirin, ialah kaum Mujahidin dibawah pimpinan, bimbingan, tuntunan dan asuhan langsung Rasulullah Çlm. Pada zaman Madinah awal, di Negara Basis Islam Pertama di Jaziratul-Islamijah termaksud meliputi segala bidang dan segi, khusus dan umum, sakhsy dan ijtima’I, dalam sepanjang ajaran suci, terutama dalam menanam, membangkitkan dan mengobar-ngobarkan Semangat Jihad dalam membina dan memperkembangkan Jiwa Jihad, dan dalam melaksanakan Hukum-hukum Jihad.Dengan demikian, maka cita-cita hendak menggalang Persatuan Islam dan Persatuan Ummat, terutama Ummatul-Mujahidin yang kuat-kompak dlahir-bathin bukanlah satu impian khajal ! Jadikanlah Tali-tali Allah, perintah-perintah Allah beserta Sunnah Çlm. Selaku tafsirnya, sebagai daya-pengikat antar-jiwa dalam lingkungan Jama’atul-Mujahidin! Dan kemudian perkuat dan sempurnakanlah segala usahamu dalam jurusan itu, hingga seluruh tubuh Jama’ah akan merupakan satu Benteng Islam raksasa nan kuat-sentausa ! Dalam pada itu, hendaklah diingati pula, tanda setia-kawan itu hendaknya dibuktikan lebih dahulu dari atas kebawah, dan bukan dari bawah keatas, karena pihak atasan Komandan atau Pemimpin, harus lebih dahulu pandai menunjukkan kesungguh-sungguhnya melaksanakan wajibnya: memperlindungi, menuntun dan membimbing pihak bawahan atau anak buahnya, daripada hanya pandai menuntut kepatuhan, kesetiaan, kesetiakawanan, pembelaan dan pertanggung-jawab pihak bawahan terhadap pihak atasnya!
Itulah bukti yang nyata daripada apa yang disebut Mahabbah kepada Allah dan Mushahabah terhadap sesama Mujahidin, sesama Ummatul Muslimin !
Menanam dan memperkuat disiplin, umum dan terutama militer.
Disiplin (Dicipline), dalam ma’na Tha’at patuh dan setia, baik dalam bidang-bidang umum maupun dalam segi-segi kemiliteran, wajib ditanam, dipupuk, diperkembangkan dan diperkuat dalam dada, jiwa, tekad dan ‘amal setiap Mujahid. Karena tiap Mujahid selaku pelaksana hukum-hukum Jihad, Hukum-hukum Islam dimasa Perang, dengan automatis sesungguhnya adalah Prajurit-Tentara Allah. Tanpa disiplin, maka seorang Mujahid hanya merupakan pejuang liar, pejuang yang ingkar, menyimpang dan menyeleweng daripada Jama’ah Besar, Jama’atul-Mujahidin.
Dalam keadaan biasa, sikap liar itu hanya akan mengecewakan. Tapi dimasa berlaku Perang Semesta, Perang Totaliter, maka disiplin masuk salah satu kewajiban muthlak, yang harus berlaku tanpa sjarat, tanpa kajid dan tanpa tawar-menawar.Oleh sebab itu, hendaklah setiap Mujahid suka melatih diri demikian rupa, sehingga rasa-disiplin sungguh-sungguh meresap dan terbukti dalam segala hal, sampai-sampai kepada tingkah-laku dan perbuatannya sehari-hari.
Beberapa pokok, yang boleh dijadikan anak-tangga mencapai disiplin adalah sebagai berikut:
Disiplin kepada Allah, dalam arti kata: tha’at, patuh dan setia melaksanakan setiap perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, dengan hati nan jujur, ikhlas dan ridla, tanpa tawar-menawar, tanpa syarat dan tanpa kajid apa dan manapun.
Disiplin kepada Rasulullah Saw., dengan kenyataan mengikuti jejak Saw., sesempurna mungkin, terutama dalam Jihad membina Negara Basis Madinah.
Disiplin terhadap kepada Ulil-Amri Islam, tegasnya tha’at, patuh dan setia melaksanakan segala perintah Imam-Plm.T., dengan penuh keyakinan dan kepercayaan, dan lepas daripada sjak, nifaq, dan dhan.
Catatan.
Sikap dan perbuatan disipliner terhadap kepada Ulil-Amri, boleh dianggap sebagai tanda-bukti yang nyata akan benarnya apa yang termaktub pada huruf C, 1., dan E diatas.
Sepanyang qiyas dan dalam batas-batas tertentu, maka termasuk pula dalam golongan C 3. Ini: Disiplin terhadap kepada para Panglima (Perang), para Komandan (Lapangan-Pertempuran) dan para Pemimpin N.I.I. (atasan) lainnya.
Disiplin terhadap sesuatu lain diluarnya, termasuk didalamnya disiplin terhadap diri-pribadi. Mitsalnya:
= pandai mengawasi dan menguasai ‘amal dan tindakan sendiri;
= pandai mengekang dan mengatur segala nafsu getaran jiwa, niat, hajat, ‘adzam, rencana dan segala gerak-gerik panca-indranya sendiri;
= sehingga tetap berjalan dan tersalurkan pada jalan dan melalui Hukum-hukum yang ditaburi Rahmat dan Ridla Ilahy; tegasnya: tetap tertib, teliti dan hati-hati dalam melakukan Hukum-hukum Jihad. Hukum-hukum militer, ketentuan-ketentuan militer, tata-tertib Militer, siasat militer, dst. dst.; dalam pada itu segala hal yang membawa kepada daerah dan lalai, ceroboh, dan sembrono/lalainya harus dijauhkan dan dienyahkan, tegasnya sikap tawakkal ‘alallah secara muthlak harus dipersatu-padukan dengan perbuatan-perbuatan taqwa, sifat-sifat ittiqa sepanjang Sunnah; dan kedua unsur jiwa ini harus ditanam dan diperkembangkan dalam jiwa dan ‘amal setiap Mujahid !
Disinilah setiap Mujahid memperoleh kesempatan melakukan Jihadul-Akbar, disamping dan bersama-sama Jihadul-Asghar.
Alangkah tinggi nilai setiap Mujahid, yang tahu dan sadar sepenuhnya akan keluhuran fungsinya, dan yang pandai serta cakap-cukup menunaikan tugasnya nan maha-mulia dan maha-suci itu, walau acapkali terasa maha-berat sekalipun!
Beberapa Macam Kualitas Pejuang
Sekalipun S.M. Kartosoewirjo demikian telaten membina aparat dan tentaranya untuk berakhlaq Islam. Namun akibat dari situasi revolusi yang sungguh mendesak maka dalam situasi demikian, pada waktu itu Negara Islam Indonesia ditegakkan dengan beberapa keterbatasan, terutama mengenai kualitas para pejuangnya. Diantaranya kurang lebih ada lima tipe gerilyawan NII yang berjuang di tengah tengah berkecamuknya peperangan :
Pertama, yaitu kader yang khusus sudah dipersiapkan untuk menempati posisi dan fungsi fungsi vital dalam struktur Negara Islam Indonesia. Jauh sebelum revolusi proklamasi dikumandangkan Imam S.M. Kartosoewirjo telah menggembleng mereka dalam Institut Suffah di Malangbong. Mereka bukan hanya berani dan siap syahid untuk tugas suci ini, tetapi betul betul berangkat dari semurni murninya jiwa tauhid, setinggi tinggi ilmu dan sepandai pandai siasat. Siap memimpin perang, siap pula mengelola negara di saat kemenangan telah dicapai. Mampu memelihara diri dan menjadi contoh teladan bagi mujahidin lainnya -baik di masa damai maupun di masa perang. Dan merekalah yang selalu berada di pront terdepan memimpin perjuangan, membangun kesadaran rakyat dalam melawan kebathilan, pada perjalanan jihad NII kader pilihan ini banyak yang memperoleh syahidnya lebih dahulu. Akibat kekurangan kader yang mengerti persis langkah strategi perjuangan NII, akhirnya perjalanan jihad NII bisa bergeser ke arah yang lain tergantung siapa yang ikut bergabung kepadanya. Imam memang terus memimpin hingga tahun 1962, tetapi pengelolaan jumlah besar dengan sedikit orang kader negarawan, membuat jalannya negara tidak lagi seperti direncanakan semula.
Kedua, pejuang yang bergabung karena kesadarannya didorong oleh ilmu yang telah dimilikinya, walaupun tidak dikader secara khusus di Institut Suffah. Sehingga rasa setianya pada NII sebatas pandangan dirinya saja, belum tentu sejalan dengan misi dan visi NII sebagaimana dicanangkan sebelum proklamasi. Dengan kesadaran ilmu yang dimilikinya, ia bersegera mendukung dan membela Negara Islam, dengan kesadarannya ia tinggalkan “Darul Kufur” Republik Indonesia, namun karena kesadaran sebatas muncul dari dirinya, apalagi di saat berkecamuknya perang, proses penyamaan visi pemikiran mujahidin agak sulit dilakukan. Hal ini disebabkan tuntutan keadaan untuk mendahulukan pertahanan, berjuang menahan gempuran pasukan TNI yang terus menerus memberondong daerah daerah basis. Waktu untuk duduk bersama, merundingkan jalannya negara, pada tingkat komandemen wilayah ke bawah relatif agak sulit dilakukan. Akhirnya pasukan pasukan TII perlahan lahan bermetamorphosis mimiliki kekhasan masing masing tergantung latar belakang pemikiran para perjuang sebelum menggabungkan diri dengan NII. Jejak langkah pasukan yang dipimpin komandan yang berasal dari suffah, menjadi berbeda dengan karakter pasukan yang dipimpin oleh seorang kiayi dari sebuah pasantren yang menekankan nilai nilai kesufian misalnya. Namun karena kesadarannya yang tulus tadi, mereka menjadi mujahid mujahid yang tangguh membela Negara Islam. Di Jawa Tengah di antaranya ialah kiayi Ghafur Ismail. Beliau Syahid ketika mereka yang di Jawa Barat tahun 1962 sudah turun. Kiayi Ghafur tidak mau menyerah, meski bersama sanak keluarganya disergap oleh tentara Republik. Beliau kena tembak. Kemudian sesudah Syahid, maka istrinya mengambil senjata dari suaminya langsung menghantam musuh, tapi kehabisan peluru, lalu istrinya juga menjadi Syahidah. Kemudian seperti halnya juga di Jawa Barat,Kiayi Khoer Affandi dari Manonjaya dirinya bergabung dengan NII hanya karena keilmuan, dan setelah turun gunung Kiayi Khoir Affandi tidak merancang taktik gerilya selanjutnya untuk menggalang Negara Karunia Alloh NII, tetapi membuka pasantren. Walaupun memang ruh tauhid dan ruh jihadnya demikian kental, cintanya pun pada NII tidak diragukan, namun beliau bukanlah seorang negarawan yang terus membela eksistensi Negara Islam Berjuang sebagaimana layaknya sebuah negara dipertahankan.
Ketiga, gerilyawan dan rakyat berjuang yang bergabung ketika revolusi (perang fisik) dimulai. Dalam suasana seperti ini, disaat kebutuhan akan tenaga tempur begitu mendesak, demikian juga keperluan atas rakyat yang mendukung, maka proses rekruitment menjadi kurang memperhatikan unsur kualitas lagi. Saat itu siapa yang siap membantu gerilyawan, siapa yang mendukung mujahidin, maka dia bisa ikut berjuang bersama. Tidak lagi melihat sejauh mana kedalaman ilmunya, sedalam apa kesadarannya dan apakah mereka mengetahui tentang visi negara Islam atau tidak, karena keperluan akan tenaga demikian mendesak maka diterimalah mereka sebagai pasukan TII dan warga Berjuang NII. Masalah yang timbul kemudian adalah, kesulitan memelihara kebersihan citra perjuangan NII itu sendiri, sebab akhlak ketika bertempur, baik keshabaran dan ketabahannya, atau akhlak disaat mereka berinteraksi dengan masyarakat tidaklah sama. Berbeda dengan kader pertama yang benar benar terdidik dengan nilai nilai perjuangan Nabi. Gerilyawan yang bergabung di tengah jalan ini terkadang melangkah atas dasar kemauannya sendiri dan mengabaikan akhlak tentara Islam. Dalam hal ini NII terpaksa harus memikul tanggung jawab kelompok, walaupun itu dilakukan bukan oleh kadernya, maka semua tindakan tidak disiplin mereka berakibat buruk pada citra Negara Islam.
Kempat, yaitu gerilyawan dari yang membelot dari TNI kepada TII, Ketika pasukan tentara Republik kembali dari Yogyakarta menuju Jawa Barat, mereka dicegat oleh kawan kawannya yang tidak ikut mundur ke Yogya, kepada mereka dikatakan bahwa sekarang di Jawa Barat telah diproklamasikan Negara Islam, sebagai wadah bagi tegaknya hukum-hukum Allah secara sempurna. Mendengar itu, berbekal dorongan hati nuraninya yang tulus maka langsung bergabung dengan TII. Misalnya Kadar Solihat seorang perwira TNI yang kemudian bergabung dengan NII, dan menjadi perwira Tentara Islam Indonesia.
Kelima, yaitu pejuang yang lahir dan tumbuh dari daerah yang berhasil dikuasai TII, meskipun mereka bukan dari daerah santri atau kiayi.Mereka pun tidak pernah menjalani masa pengkaderan, bahkan surat Al Fatihah saja banyak yang sama sekali tidak tahu artinya. Namun, karena daerahnya bisa dikuasai TII dan kemudian menjadi basis , maka lama kelamaan mengetahui tujuan Darul Islam. Bahkan tertarik dengan akhlak TII yang demikian wara, membuat mereka pun tertempa menjadi kader mujahid pula, bahkan tidak bisa dianggap sepele. Sebab kenyataannya pada tahun 1962 bulan Juni saja dari salah satu daerah di Brebes, masih banyak baik laki-laki maupun perempuan ada yang masih berangkat ke hutan bergerilya padahal sebelumnya itu sudah banyak pamlet dari pihak musuh yang isinya bahwa Darul Islam di Jawa Barat sudah cease fire. Dari itu para mujahid NII tidak semuanya menyerah kepada musuh. Itu adalah Sunnattullah. Firman Allah:
“Di antara orang-orang mu’min ada yang menepati apa yang sudah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada (juga) yang menunggu-nunggu (apa yang Allah janjikan kepadanya) dan mereka sedikitpun tidak merobah (janjinya).” (Q.S.33:23).
Di samping ke lima unsur di atas ada pula mereka yang sengaja disusupkan musuh ke dalam tubuh TII, dengan memperalat orang orang yang telah luntur semangat jihadnya dan turun ke kota. Dari mereka yang telah turun ke kota inilah mereka memperoleh jalan masuk ke pusat pemerintahan NII, seperti yang dilakukan oleh Serma Ukon Sukandi. Yang lebih potensial lagi untuk menghancurkan dukungan rakyat muslim terhadap perjuangan Islam yang dilakukan para mujahid ini adalah; adanya pasukan liar yang sengaja menggunakan tanda tanda pengenal TII, kemudian melakukan aksi aksi brutalnya membunuhi setiap ulama yang mendukung perjuangan NII, merampok dan membakar rumah rumah penduduk yang dicurigai memihak pada Darul Islam dan merusak kehormatan wanita wanita mereka. Dengan didukung oleh mass media yang memang dikuasai pemerintah Republik Indonesia, maka bermunculanlah kabar kabar buruk mengenai Darul Islam. Di sebut gerombolan, perampok bahkan DI diidentikan dengan Duruk Imah (bahasa Sunda yang artinya Bakar Rumah).
Namun demikian, betapapun kejinya fitnah yang dilemparkan fihak fihak yang membenci mereka. NII sebagai wadah Al-H
Mnb ak di Indonesia maka jelas estafeta kepemimpinannya tetap berlanjut. Firman Allah:
“Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman, demikianlah menjadi kewajiban atas Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (Q.S.10:103).
No comments:
Post a Comment